Anda di halaman 1dari 10

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BUDAYA

Posted: 2012/10/22 in Uncategorized

0
MANUSIA SEBAGAI MAHLUK BUDAYA
Manusia adalah mahluk budaya artinya mahluk yang berkemampuan menciptakan kebaikan,
kebenaran, keadilan dan bertanggung jawab. Sebagai mahluk berbudaya, manusia
mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan baik bagi dirinya maupun bagi
masyarakat demi kesempurnaan hidupnya. Sebagai catatan bahwa dengan pikirannya manusia
mendapatkan ilmu pengetahuan. Dengan kehendaknya manusia mengarahkan perilakunya dan
dengan perasaannya manusia dapat mencapai kebahagiaan.
Adapun sarana untuk memelihara dan meningkatkan ilmu pengetahuan dinamakan LOGIKA.
Sarana untuk meningkatkan dan memelihara pola perilaku dan mutu kesenian adalah ETIKA dan
ESTETIKA.
Tujuan dari pemahaman bahwa manusia sebagai mahluk budaya, agar dapat dijadikan dasar
pengetahuan dalam mempertimbangkan dan mensikapi berbagai problematic budaya yang
berkembang di masyarakat sehingga manusia tidak semata-mata merupakan mahluk biologis saja
namun juga sebagai mahluk social, ekonomi, politik dan mahluk budaya.
Pengertian kebudayaan ditinjau dari bahasa Sansakerta budhayah (jamak), budhi = budi/akal.
Jadi kebudayaan adalah hasil akal manusia untuk mencapai kesempurnaan . EB. Taylor
mengartikan kebudayaan sebagai : keseluruhan kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu
pengetahuan serta yang di dapat manusia sebagai anggota masyarakat. Atau diartikan pula segala
sesuatu yang diciptakan manusia baik materi maupun non material melalui akal. Budaya itu
tidak diwariskan secara generative (biologis) tapi melalui belajar.
Menurut Koentjaraningrat : kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar. Kebudayaan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai sikap,
makna, hirarkhi, agama, waktu, peranan hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek
materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha
individu dan kelompok.
Dengan hasil budaya manusia, maka terjadilah pula kehidupan. Pola kehidupan inilah yang
menyebabkan hidup bersama dan dengan pola kehidupan ini dapat mempengaruhi cara berfikir
dan gerak social. Dengan memfungsikan akal budinya dan pengetahuan kebudayaannya, manusia
bias mempertimbangkan dan menyikapi problema budayanya.
Kebudayaan perlu dikaji agar kita bias mengembangkan kepribadian dan wawasan berfikir.
Kebudayaan diciptakan manusia dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam
rangka mempertahankan hidup serta meningkatkan kesejahteraannya. Dalam proses

perkembangan kebudayaan terjadi pula penyimpangan dari tujuan penciptaan kebudayaan yang
disebut MASALAH KEBUDAYAAN. Masalah kebudayaan adalah segala system/tata nilai,
sikap mental, pola berfikir pola tingkah laku dalam berbagai aspek kehidupan yang tidak
memuaskan bagi warga masyarakat secara keseluruhan. Masalah tata nilai dapat menimbulkan
kasus-kasus kemasyarakatan antara lain : DEHUMANISASI, artinya pengurangan arti
kemanusiaan seseorang. Jadi kita melihat Dehumanisasi terjadi akibat perubahan sikap manusia
sebagai dampak dari penyimpangan tujuan pengembangan kebudayaan. Untuk mengantisipasi
hal itu, manusia harus dikenalkan pada pengetahuan kebudayaan dan filsafat. Melalui filsafat
bias memaknai tentang etika, estetika dan logika
Jadi melalui kajian pengetahuan budaya, kita ingin menciptakan atau penertiban dan pengolahan
nilaii-nilai insane sebagai usaha memanusiakan diri dalam alam lingkungannya baik secara fisik
maupun mental. Manusia memanusiakan dirinya dan lingkungannya, artinya manusia
membudayakan alam, memanusiakan hidup dan menyempurnakan hubungan insane.
Adapun wujud dari kebudayaan adalah :
IDE (gagasan), adalah konsep pikiran manusia yang menjadi system budaya yang jadi adat
istiadat
ACTIVITY, yaitu kompleks aktivitas yang saling berinteraksi yang kemudian menjadi system
social atau pola aktivitas.
BENDA BUDAYA, sebagai hasil aktivitas yang menjadi unsur kebudayaan adalah : bahasa,
system teknologi, mata pencaharian, organisasi soail, system pengetahuan, religi dan kesenian..
sumber : parni-parnisuginipknb,

Etika dan Estetika budaya


Secara historis perkembangan zaman boleh saja mengalami perubahan yang dahsyatmun, peran
kesenian tidak akan pernah berubah dalam tatanan kehidupan manusia. Sebab, melalui media
kesenian, makna harkat menjadi citra manusia berbudaya semakin jelas dan nyata
Bagi manusia Indonesia telanjur memiliki meterai sebagai bangsa yang berbudaya. Semua itu
dikarenakan kekayaan dari keragaman kesenian daerah dari Sabang sampai Merauke yang tidak
banyak dimiliki bangsa lain. Namun, dalam sekejap, pandangan terhadap bangsa kita menjadi
aneh di mata dunia. Apalagi dengan mencuatnya berbagai peristiwa kerusuhan, dan terjadinya
pelanggaran HAM yang menonjol makin memojokkan nilai-nilai kemanusiaan dalam potret
kepribadian bangsa.
Padahal, secara substansial bangsa kita dikenal sangat ramah, sopan, santun dan sangat
menghargai perbedaan sebagai aset kekayaan dalam dinamika hidup keseharian. Transparansi
potret perilaku ini adalah cermin yang tak bisa disangkal. Bahkan, relung kehidupan terhadap
nilai-nilai etika, moral dan budaya menjadi bagian yang tak terpisahkan. Namun, kenyataannya
kini semuanya telah tercerabut dan nyaris terlupakan.
Barangkali ada benarnya, dalam potret kehidupan bangsa yang amburadul ini, kita masih

memiliki wadah BKKNI (Badan Koordinasi Kebudayaan Nasional Indonesia) yang mengubah
haluan dalam transformasi sosial, menjadi BKKI (Badan Kerja sama Kesenian Indonesia) pada
Februari lalu. Barangkali dengan baju dan bendera baru ini, H. Soeparmo yang terpilih sebagai
bidannya dapat membawa reformasi struktural dan sekaligus dapat memobilisasi aktivitas
kesenian sebagaimana kebutuhan bangsa kita. Sebab, salah satu tugas dalam peran berkesenian
adalah membawa kemerdekaan dan kebebasan kreativitas bagi umat manusia sebagai dasar
utama.
Tulang Punggung
Suatu dimensi baru, jika dalam pola kebijakan untuk meraih citra sebagai manusia Indonesia
dapat diwujudkan. Untuk hal tersebut, kebijakan menjadi bagian yang substansial sifatnya.
Bukan memberi penekanan pada konsep keorganisasian, sebagai bendera baru dalam praktik
kebebasan. Melainkan, bercermin pada kebutuhan manusia terhadap kebenaran, dan nilai-nilai
keadilan. Sehingga, kesenian dapat menjadi tulang punggung mempererat kehidupan yang lebih
tenang, teduh dan harmonis.
Dalam koridor menjalin kesatuan dan persatuan bangsa, dan mengangkat citra kehidupan
manusia Indonesia di mata dunia, perlu adanya upaya yang tangguh dan kokoh. Sebab, tanpa
upaya tersebut niscaya kita hanya mengenang masa silam dan mengubur masa depan dari
lahirnya sebuah peradaban. Dalam hal ini kita sebagai bangsa yang dikenal sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai budaya, tentu tidak akan rela.
Namun demikian, gradasi budaya itu menukik tajam, dan dapat dirasakan sejak jatuhnya rezim
Soeharto. Meskipun, pada rezim kekuasaan Orde Baru bukan berarti tidak ada sama sekali
pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, justru karena terselubung dengan rapi maka
borok kemerosotan moral itu tidak begitu tampak. Tetapi, kini semuanya menjadi serba
terbuka dan menganga. Siapa pun punya hak dan kewajiban untuk menjadi pelaku reformasi,
tidak sekadar jadi penonton. Itu sebabnya, tidaklah salah jika dalam memperbaiki kondisi
bangsa, kita juga proaktif dalam menyikapinya.
Tak dapat disangkal, jika kesenian merupakan kebutuhan dasar manusia secara kodrati dan unsur
pokok dalam pembangunan manusia Indonesia. Tanpa kesenian, manusia akan menjadi
kehilangan jati diri dan akal sehat. Sebab, kebutuhan manusia itu bukan hanya melangsungkan
hajat hidup semata, tetapi juga harus mengedepankan nilai-nilai etika dan estetika. Untuk
wujudkan manusia dewasa yang sadar akan arti pentingnya manusia berbudaya, obat penawar itu
barangkali adalah kesenian.
Unsur penciptaan manusia sebagai proses adalah konteks budaya. Dalam hal ini, apa yang
diimpikan Konosuke Matsushita dalam bukunya Pikiran Tentang Manusia menjadi dasar pijakan
kita, jika ingin menjadi manusia seutuhnya. Sebab, pada dasarnya manusia membawa
kebahagiaan dan mengajarkan pergaulan yang baik dan jika perlu memaafkan sesamanya.
Karena, dari sinilah dapat berkembang kesenian, kesusastraan, musik dan nilai-nilai moral.
Sehingga, pikiran manusia menjadi cerah dan jiwanya menjadi kaya.
Bertalian dengan konteks itu, Soeparmo dalam ceramahnya di depan pengurus daerah juga
mengatakan hal yang sama. Artinya, jika manusia sudah tidak mampu menjalankan tugas
kreativitasnya, maka manusia itu menjadi mandek dan mengesampingkan nilai-nilai
kemanusiaan.
Kondisi Semrawut
Carut marut kehidupan saat ini, semakin tumpang tindih. Persoalan bangsa menjadi bara api

yang sulit untuk dipadamkan. Kondisi sosial yang tidak lagi bersahabat, menjadikan manusia
makin kehilangan jati dirinya. Bahkan berbagai ramalan menatap masa depan bangsa, hanya
berisi pesimistis dan sinis. Jika kearifan yang dimiliki manusia semakin sempit dan terbatas,
barangkali kegelisahan sebagai anak bangsa semakin beralasan.
Potret sosial yang kini menjadi skenario massal masih menjadi tekanan dalam konteks berpolitik.
Akibatnya, pertarungan yang tidak pernah akan menyelesaikan masalah terus berjalan tanpa ada
rem nya. Dan itu dapat kita lihat secara kasat mata, pertunjukan dagelan yang hanya untuk
memuaskan nafsu kekuasaan dan ingin menunjukkan kekuatan dalam menggalang massa.
Padahal, tugas sebagai manusia yang berbudaya senantiasa mengulurkan cinta kasih, perdamaian
dan menjaga harmoni kehidupan. Tetapi, kenyataannya sikap dan perilaku dalam potret masa
kini, nilai-nilai etika, norma-norma sosial, dan hukum moral menjadi haram untuk dijadikan
landasan berpikir yang sehat. Bahkan, upaya untuk berani membohongi diri sendiri, adalah ciriciri lenturnya nilai-nilai budaya.
Dimensi sosial semacam ini, Indonesia di mata dunia semakin menjadi bahan lelucon. Apalagi
yang harus dijadikan komoditi bangsa dari berbagai aspek kehidupan.
Bicara soal ekonomi, bangsa Indonesia sudah menggadaikan diri nasibnya pada IMF. Soal
politik, dianggap ludrukan karena hanya sekadar entertainment. Dan lebih mengerikan lagi,
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di daerah-daerah membuat bingkai kemanusiaan
semakin tidak memiliki harga diri. Dan masih banyak persoalan seputar kita yang semakin
semrawut dan kehilangan konteks dalam pijakan untuk membangun manusia seutuhnya.
Jalan pintas melalui kesenian, barangkali masih bisa menjadi mediasi silahturahmi di mata
dunia. Karena dalam pendekatan kesenian, estika, etika, dan hukum moral merupakan ekspresi
yang tidak pernah bicara soal kalah menang. Melainkan, dalam korelasi budaya pintu melalui
kesenian masih bisa dijadikan komoditi yang bisa dijadikan akses kepercayaan.
Apalagi dengan diberikannya kebebasan terhadap otonomi daerah, melalui undang-undang
No.22/1999 harus dipandang sebagai suatu masa pencerahan dalam pembangunan manusia
seutuhnya. Karena dengan otoritas yang ada, daerah dapat membangun wilayahnya dan
pengembangan terhadap kesenian tidak lagi dijadikan proyek yang sentralistik di pusat,
Jakarta. Kebebasan akan hal ini, harus dijadikan peluang untuk membangun potensi yang ada.
Karena itu makna pembangunan, jangan hanya dilihat dari sukses dan tidaknya sarana jalan tol,
pasar swalayan, mal-mal atau bahkan tempat-tempat hiburan yang kini sedang menggoda mata
budaya. Padahal ada hal yang lebih penting dari pesan Eric From dalam bukunya Manusia Bagi
Dirinya bahwa, Ketidakharmonisan eksistensi, manusia menimbulkan kebutuhan yang jauh
melebihi kebutuhan asli kebinatangannya. Kebutuhan-kebutuhan ini menimbulkan dorongan
yang memaksa untuk memperbaiki sebuah kesatuan dan keseimbangan antara dirinya dan bagian
alam.
Jika demikian masalahnya, masihkah kita men-dewa-kan pembangunan dalam arti yang harafiah
sebagai lingkup keberadaan manusia. Sebab masih ada yang lebih substansial, pembangunan
manusia seutuhnya lewat kesenian adalah cermin bagi kepribadian bangsa. Ironis, selama ini kita
hanya terlena dalam memikirkan nasib bangsa dari sisi pembangunan perut semata. Akibatnya,
dari waktu ke waktu, kita hanya bisa merenungi peradaban baru yang membawa bangsa ini
semakin bodoh.
Negara Berkebudayaan

KEBUDAYAAN dapat dilihat bagaimana warga berbuat sesuatu yang bermakna (sebagai proses)
dan hasil perbuatan (produk). Manakala perbuatan dan hasilnya ini dicitrakan melekat pada
kolektivitas suatu bangsa, maka disebut sebagai kebudayaan bangsa (nasional). Persoalan
kebudayaan nasional perlu ditempatkan dalam arus besar kebudayaan global yang didorong oleh
spirit neoliberalisme. Pengadopsian budaya global tidak terelakkan. Umumnya rezim negara
yang korup didukung oleh kekuatan global, sepanjang negara terjamin menjadi pasar. Bagi
kebanyakan penguasa, keadaan ini lebih menguntungkan sebab tanpa perlu membangun budaya
bangsa, toh, dapat menjadi konsumen baik budaya warisan (heritage) maupun global.
Kebudayaan memang praktik warga sehari-hari. Namun, peranan penyelenggara negara sangat
penting mengingat proses menyiapkan warga agar dapat berpraktik budaya (berbudaya)
merupakan tugas utama negara. Makna kebudayaan yang pada hakikatnya mengandung nilai
positif bagi kehidupan dikembangkan dalam tiga dimensi, yaitu keilmuan, etika, dan estetika.
Dimensi keilmuan dilihat dari capaian-capaian pengetahuan dan teknologi, etika dengan
penghayatan kebaikan universal dan multikultural dalam kehidupan nasional, serta estetika
dengan apresiasi keindahan yang meningkatkan harkat kehidupan.
Begitulah kegiatan budaya pada hakikatnya bagaimana warga berkiprah dan menghasilkan
sesuatu yang bermakna dalam ketiga dimensi tersebut. Maka, persoalan kebudayaan adalah
bagaimana menghadirkan warga dengan kapasitas tertentu untuk dapat terlibat di dalamnya.
Penyiapan warga inilah disebut sebagai proses pendidikan.
Menempatkan kebudayaan sebagai ranah yang terpisah dari proses pendidikan, sebagaimana
dianut pemerintahan Megawati, boleh jadi karena mendefinisikan kebudayaan sebagai produk,
bukan sebagai proses. Produk memang lebih mudah dan berharga untuk dijual, apalagi jika
berasal dari warisan. Namun, pemerintah dapat terjebak dalam dimensi tunggal, pendidikan
dipandang hanya melalui satu departemen, sehingga melalaikan masalah yang paling mendasar,
yaitu pendidikan sebagai proses menyiapkan warga berbudaya.
Kata kunci bagi warga berbudaya adalah kecerdasan. Karena itu, sungguh jenial gagasan pendiri
(founding fathers) Republik Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai:
. membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia Dengan empat
tujuan membentuk pemerintahan semacam itu ada guyonan bahwa kabinet yang diperlukan
hanyalah bidang politik dalam negeri yang dapat melindungi warga dan wilayah, kesra yang
dapat menciptakan peluang-peluang bagi kesejahteraan warga, kebudayaan yang dapat
mencerdaskan warga, dan politik luar negeri.
Definisi mencerdaskan kehidupan bangsa ini setelah hampir 60 tahun merdeka diartikan dalam
kerangka sempit sebagaimana pemikiran tahun 1940-an. Bukalah Bab Pendidikan, Pasal 31: 1.
Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran; 2. Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan Undang-undang.
Pendidikan diartikan sebagai pengajaran, sedang kebudayaan, dalam Pasal 32: Pemerintah
memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Dalam penjelasan tercermin kebudayaan dilihat
sebagai produk.

CARA pandang yang mempersempit pendidikan sebagai pengajaran, dan kebudayaan sebagai
produk, menjadi pangkal dari pengabaian suatu strategi kebudayaan dalam kehidupan negara.
Strategi kebudayaan menyangkut pengembangan budaya melalui berbagai institusi negara dan
masyarakat. Untuk itu dilihat dalam dua cara, pertama, institusi yang perlu memiliki budaya
yang menggerakkannya secara internal. Ini berlaku untuk institusi yang berkaitan dengan
kehidupan publik, baik institusi negara maupun korporasi bisnis dan organisasi masyarakat sipil.
Kedua, institusi yang secara eksternal memiliki fungsi dalam penumbuh kembang budaya warga,
yaitu institusi pendidikan (persekolahan) dan media massa.
Pengabaian aspek pertama tercermin dari anomali dalam berbagai penyelenggaraan kehidupan
publik. Birokrasi negara sepanjang Orde Baru mengadopsi tata cara dan etiket bertindak,
termasuk istilah-istilah dari produk budaya Jawa, tetapi tidak berusaha mengembangkan budaya
birokrasi untuk menggerakkan institusi ini. Pasca-Orde Baru, anomali ditunjukkan melalui
perbuatan menyimpang yang meluas oleh anggota parlemen daerah.
Begitu pula pada aspek kedua, ketiadaan strategi kebudayaan ini tercermin dari institusi
pendidikan yang berjalan sendiri-sendiri. Jutaan generasi muda (Islam) belajar di sekolahsekolah yang sekaligus belajar agama dan keilmuan, berada di bawah naungan Departemen
Agama yang disibuki mengurus jemaah haji setiap tahun. Padahal, anak-anak yang sekolah di
madrasah dan pesantren berhak mendapat pendidikan yang sejajar dengan sekolah keilmuan
umum yang berada di bawah Departemen Pendidikan.
Fungsi dari institusi pendidikan sekolah adalah memproses warga agar memiliki kemampuan
berpraktik kebudayaan, dengan orientasi utama untuk dimensi keilmuan, disusul kemudian
dimensi etika dan estetika. Dengan begitu, beban dosa dari institusi pendidikan secara
keseluruhan adalah melalui kemunduran kebudayaan yang ditunjukkan melalui urutan: Pertama,
rendahnya kegiatan dan hasil keilmuan dari suatu bangsa. Kedua, orientasi etika dalam proses
pendidikan yang menghasilkan sikap eksklusif dan sektarian di tengah masyarakat majemuk dan
global. Ketiga, selera estetika warga masyarakat yang semakin rendah.
Oleh karena itu perlu strategi kebudayaan yang dijalankan untuk menggerakkan seluruh institusi
pendidikan untuk tujuan yang sama, baik yang berbasis umum maupun keagamaan. Langkah
raksasa yang mendesak adalah memprioritaskan pembangunan institusi pendidikan berbasis
agama Islam (madrasah dan pesantren) yang termarjinalisasi. Jika secara sosiologis mayoritas
warga beragama Islam, maka bagian terbesar biaya pendidikan tentunya harus ke sini. Fasilitas
untuk pendidikan ganda (dual education) dengan sendirinya memerlukan dukungan pembiayaan
negara yang lebih besar.
Institusi pendidikan lainnya dalam proses kebudayaan adalah media massa. Fungsinya biasa
dilihat dengan dua cara, secara negatif adalah terjaga independensinya agar kekuasaan negara tak
melakukan dominasi informasi dan hegemoni alam pikiran warga. Dengan kata lain, penguasa
negara haram hukumnya melakukan propaganda melalui media yang dikuasainya.
Sementara dari fungsi secara positif, media massa dibedakan, pertama, media pers yang
membawa khalayak ke ruang publik (public sphere); dan kedua, media hiburan yang
memberikan kesenangan psikis. Masing-masing membawa beban budaya, yaitu pertama

menumbuhkan rasionalitas dalam menghadapi fakta di ruang publik, sedangkan yang kedua
menumbuhkan penghayatan etika dan estetika dalam kehidupan warga.
Kedua fungsi ini biasanya tidak dapat berjalan secara optimal akibat dorongan komersial. Dari
sinilah muncul tuntutan adanya media publik, yaitu institusi yang sepenuhnya diorientasikan
untuk menumbuhkan rasionalitas warga di ruang publik serta orientasi etika dan estetika dalam
fungsi psikis bagi publik. Media semacam ini jauh dari modal komersial, sepenuhnya digerakkan
modal sosial ataupun pembiayaan negara.
Di tengah masyarakat majemuk, keberadaan media publik ini semakin dirasakan penting untuk
menjalankan orientasi multikultural dan menumbuhkan masyarakat terbuka. Kalau saat ini di
antara media publik yang disebut dalam UU Penyiaran adalah TVRI, sementara pemerintah
malah menjadikannya sebagai korporasi pesero, sudah selayaknya langkah ini dikoreksi.
SUMBER ; erikson-lorenzo

Problematika Kebudayaan
Adalah sesuatu yang indah jika kebudayaan yang merupakan harta yang turun temurun dari
nenek moyang kita, dapat kita pertahankan kelestariannya. Tapi perkembangan jaman tidak dapat
dibendung, seiring dengan berjalanya waktu, maka kelestarian kebudayaan tersebut harus dijaga
karena kebudayaan hanyalah identitas diri dan merupakan identitas bangsa. Bangsa yang
memiliki identitas akan menjadi bangsa yang kuat dan menjadi bangsa yang tidak mudah untuk
dijajah oleh bangsa lain. Problematika kebudayaan sangat berbahaya jika dibiarkan, karena
kebudayaan merupkan jati diri bangsa, bila itu hilang maka dengan sangat mudah bangsa itu
akan hancur dan dijajah oleh bangsa lain. Oleh sebab itu bagaimanapun juga caranya kita harus
mempertahankan identitas bangsa kita yaitu kebudayaan. Mulailah dengan mencintai
kebudayaan daerah, dan serukan dalam hati yaitu: Aku Cinta Indonesia.
Adapun problematika kebudayaan antara lain ;
1. Hambatan budaya yang berkaitan dengan pandangan hidup dan sistem kepercayaan.
Dalam hal ini, kebudayaan tidak dapat bergerak atau berubah karena adanya pandangan hidup
dan sistem kepercayaan yang sangat kental, karena kuatnya kepercayaan sekelompok orang
dengan kebudayaannya mengakibatkan mereka tertutup pada dunia luar dan tidak mau menerima
pemikiran-pemikiran dari luar walaupun pemikiran yang baru ini lebih baik daripada pemikiran
mereka. Sebagai contoh dapat kita lihat bahwa orang jawa tidak mau meninggalkan kampung
halamannya atau beralih pola hidup sebagai petani. Padahal hidup mereka umumnya miskin.

2 Hambatan budaya yang berkaitan dengan perbedaan presepsi atau sudut pandang.
Hambatan budaya yang berkaitan dengan perbedaan presepsi dan sudut pandang ini dapat terjadi
antara masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Sebagai contoh dapat kita lihat banyak
masyarakat yang tidak setuju dengan program KB yang dicanangkan pemerintah yang salah satu
tujuannya untuk mengatasi kemiskinan dan kepadatan penduduk, karena masyarakat
beranggapan bahwa banyak anak banyak rezeki.

3.Hambatan budaya yang berkaitan dengan faktor psikologi atau kejiwaan.


Upaya untuk mentransmigrasikan penduduk dari daerah yang terkena bencana alam sering
mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan karena adanya kekhawatiran penduduk bahwa ditempat
yang baru hidup mereka akan lebih sengsara dibandingkan dengan hidup mereka ditempat yang
lama.

4. Masyarakat yang terasing dan kurang komunikasi dengan masyarakat luar.


Masyarakat yang tinggal di daerah-daerah terpencil yang kurang komunikasi dengan masyarakat
luar cendrung memiliki ilmu pengetahuan yang terbatas, mereka seolah-olah tertutup untuk
menerima program-program pembangunan.

5. Sikap tradisionalisme yang berprasangka buruk terhadap hal-hal baru.


Sikap ini sangat mengagung-agungkan budaya tradisional sedemikian rupa sehingga
menganggap hal-hal baru itu akan merusak tatanan hidup mereka yang sudah mereka miliki
secara turun-temurun.

6. Sikap etnosentrisme.
Sikap etnosentris adalah sikap yang mengagungkan budaya suku bangsa sendiri dan menganggap
rendah budaya suku bangsa lain. Sikap seperti ini akan memicu timbulnya pertentanganpertentangan suku, ras, agama, dan antar golongan. Kebudayaan yang beraneka ragam yang
berkembang disuatu wilayah seperti Indonesia terkadang menimbulkan sikap etnosentris yang
dapat menimbulkan perpecahan.

7. Perkembangan IPTEK sebagai hasil dari kebudayaan, sering disalah gunakan oleh manusia,
sebagai contoh nuklir dan bom dibuat justru untuk menghancurkan manusia bukan untuk
melestarikan suatu generasi, dan obat-obatan yang diciptakan untuk kesehatan tetapi dalam
penggunaannya banyak disalahgunakan yang justru mengganggu kesehatan manusia.

8. Pewarisan kebudayaan.
Dalam hal pewarisan kebudayaan bisa muncul masalah antara lain, sesuai atau tidaknya budaya
warisan tersebut dengan dinamika masyarakat saat sekarang, penolakan generasi penerima
terhadap warisan budaya tersebut, dan munculnya budaya baru yang tidak lagi sesuai dengan
budaya warisan.
Dalam suatu kasus, ditemukan generasi muda menolak budaya yang hendak diwariskan oleh
pendahulunya. Budaya itu dianggap tidak lagi sesuai dengan kepentingan hidup generasi
tersebut, bahkan dianggap bertolak belakang dengan nilai-nilai budaya yang baru diterima
sekarang ini.

9. Perubahan kebudayaan.
Perubahan kebudayaan yang terjadi bisa memunculkan masalah antara lain perubahan akan
merugikan manusia jika perubahan itu bersifat regress (kemunduran) bukan progress
(kemajuan), perubahan bisa berdampak buruk atau menjadi bencana jika dilakukan melalui
revolusi, berlangsung cepat, dan diluar kendali manusia.

10. Penyebaran kebudayaan.


Penyebaran kebudayaan (difusi) bisa menimbulkan masalah, masyarakat penerima akan
kehilangan nilai-nilai budaya lokal sebagai akibat kuatnya budaya asing yang masuk. Contoh
globalisasi budaya yang bersumber dari kebudayaan Barat pada era sekarang ini adalah
masuknya nilai-nilai budaya global yang dapat memberi dampak negatif bagi perilaku sebagian
masyarakat Indonesia. Misalnya pola hidup konsumtif, hedonisme, pragmatis, dan
induvidualistik. Akibatnya nilai-nilai asli kebudayaan bangsa seperti rasa kebersamaan dan
kekeluargaan lambat laun bisa hilang dari masyarakat Indonesia.

sumber : puturistik, liyazafira

MANAKAH YANG BENAR KEBUDAYAAN ADALAH PRODUK MANUSIA ATA


MANUSIA PRODUK KEBUDAYAAN

Kalau tidak ada manusia di muka bumi ini tidak akan tercipta yg namanya budaya.
Budaya di ciptakan manusia seiring perkembangan zaman

Awal terjadinya adalah manusia menciptakan budaya (dengan sadar atau tidak sadar) dari
aktivitas yang dilakukannya, dari kebiasaan yang cenderung terus menerus itulah terciptanya
suatu budaya,
setelah budaya tercipta, maka ada komitmen untuk mentaati kebiasaan atau budaya tersebut,
bahkan di patenkan, sehingga kedepannya tercipta manusia-manusia yang berbudaya.
jadi awal yang benar adalah budaya adalah produk manusia, yang nantinya budaya yang sudah
terbentuk itu sendiri akan membentuk manusia-manusia yang tidak berbudaya (itu) menjadi
manusia yang berbudaya.

Anda mungkin juga menyukai