Anda di halaman 1dari 23

REKAMAN STRATIGRAFI

2.1 PENDAHULUAN
Rekaman stratigrafi dan pola strata batuan sedimen merupakan produk interaksi antara tektonik,
guntara, sedimentasi, dan iklim. Interaksi tektonik dengan guntara mengontrol volume
akomodasi (ruang yang tersedia untuk pengendapan sedimen). Interaksi tektonik, guntara, dan
iklim mengontrol volume sedimen yang akan diendapkan dalam akomodasi sehingga secara
tidak langsung menentukan volume akomodasi yang akan terisi oleh sedimen.

Proses-proses sedimentasi autosiklis mengontrol arsitektur sedimen pengisi cekungan.


Tulisan ini disusun untuk memperkenalkan prinsip-prinsip pembentukan, pengisian, dan penghancuran
akomodasi. Setelah itu, akan ditunjukkan bagaimana prinsip-prinsip itu digunakan untuk membagi rekaman
stratigrafi ke dalam sejumlah sekuen dan systems tract yang melukiskan penyebaran batuan dalam ruang
dan waktu. Penjelasan disini ditujukan pada sistem silisiklastik. Sistem karbonat akan dijelaskan pada Bab
10 karena sistem tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan sistem silisiklastik.
2.1.1 Pembentukan Cekungan
Tektonik merupakan faktor utama yang mengontrol pembentukan dan penghancuran akomodasi. Tanpa
subsidensi tektonik, tidak akan ada cekungan sedimen. Tektonik juga mempengaruhi laju pemasokan
sedimen ke dalam cekungan.
Subsidensi tektonik terjadi melalui dua mekanisme utama: ekstensi dan pembebanan fleksur (flexural
loading). Gambar 2-1 melukiskan kurva-kurva laju subsidensi teoritis dalam extensional, foreland, dan
strike-slip basins. Laju subsidensi itu menentu-kan volume sedimen yang terakumulasi dalam cekungan,
setelah dimodifikasi oleh efek pembebanan, kompaksi dan guntara.
Extensional basin dapat terbentuk pada berbagai tatanan tektonik lempeng, namun umumnya
terbentuk pada tepi lempeng konstruktif. Dalam extensional basin, laju perubahan subsidensi
tektonik berlangsung secara sistematis dari waktu ke waktu. Subsidensi pada cekungan ini
diawali oleh perioda subsidensi awal yang berlangsung cepat akibat peneraan isostatis, kemudian
diikuti oleh perioda subsidensi termal yang berlangsung lambat dan berangsur (60-100 juta
tahun) akibat pendinginan astenosfir. Perubahan yang sistematis dari laju subsidensi tektonik
sangat mempengaruhi geometri endapan pengisi cekungan. Hubbard (1988) membagi endapan
cekungan ini ke dalam 3 paket: (1) megasekuen yang terbentuk sebelum terjadinya retakan (prerift megasequence); (2) megasekuen yang terbentuk selama berlangsungnya retakan (syn-rift
megasequence); dan (3) mega-sekuen yang terbentuk setelah terjadinya retakan (post-rift
megasequence). Pada model syn-rift megasequence sederhana, sedimen diendapkan dalam
deposenter-deposenter yang keberadaannya dikontrol oleh sesar-sesar aktif dalam cekungan itu.
Subsidensi diferensial di sepanjang sesar-sesar ekstensi mengontrol penyebaran fasies dalam

deposenter-deposenter tersebut. Dalam post-rift megasequence, setiap topografi yang terbentuk


selama syn-rift phase sedikit demi sedikit akan tertutup oleh sedimen yang diendapkan pada
post-rift phase. Sedimen-sedimen itu akan memperlihatkan pola onlap terhadap tepi cekungan
sehingga menghasilkan geometri streers head (McKenzie, 1978). Syn-rift megasequence dan
post-rift megasequence dalam cekungan bahari mengandung sekuen-sekuen yang
pembentukannya dikontrol oleh perubahan muka air laut frekuensi tinggi.
Foreland basin terbentuk sebagai hasil tanggapan litosfir terhadap beban pada sabuk anjakan.
Litosfir akan melengkung dan amblas akibat beban baru yang diletakkan di atas litosfir itu
melalui proses pensesaran naik. Subsidensi tidak sama di setiap tempat. Subsidensi paling tinggi
terjadi pada pusat beban. Sedimen pengisi cekungan ini memiliki ciri khas, yaitu bentuknya
membaji, dimana ketebalan sedimen bertambah ke arah sabuk anjakan. Lebar cekungan ini
sebanding dengan ketegaran litosfir yang ada di bawah sabuk anjakan, sedangkan kedalamannya
sebanding dengan besarnya beban. Foreland basin di dekat sabuk pegunungan yang sedang
tumbuh umumnya besar serta memperoleh pasokan sedimen dalam jumlah dan laju yang tinggi.
Penghentian sementara pensesaran naik serta tererosinya sabuk pegunungan menyebabkan
berkurangnya beban yang dipikul oleh litosfir dan, pada gilirannya, menyebabkan cekungan
terangkat.
Strike-slip basin tidak memiliki pola subsidensi yang khas. Walau demikian, secara umum laju subsidensi
dan pengangkatan pada cekungan itu sangat tinggi.
Gambar 2-2 menunjukkan kurva subsidensi dari dua cekungan nyatayaitu Llanos Basin (Columbia, AS)
dan South Viking Grabenyang diperoleh dari hasil perhitungan. Di Llanos Basin, pasokan sedimen lebih
tinggi daripada subsidensi. Karena itu, cekungan tersebut terisi penuh oleh sedimen. Sedimen lain yang
masuk ke dalam cekungan tersebut di-bypass menuju laut yang lebih dalam. Kurva subsidensi cekungan
itu menunjukkan bahwa subsidensi Jaman Kapur dan Tersier berlangsung lambat dan ditafsirkan sebagai
subsidensi termal dalam cekungan belakang busur. Dua kali penambahan laju subsidensi yang terjadi pada
Eosen Tengah-Akhir dan Miosen Tengah ditafsirkan terjadi pada dua fasa pembentukan Pegunungan
Andes.
Di South Viking Graben, sebuah rift basin, sedimentasi tidak selalu sejalan dengan subsidensi tektonik.
Pada Jaman Kapur, cekungan ini kekurangan sedimen sehingga laju subsidensi lebih lambat daripada
yang sewajarnya. Pada Jaman Tersier, sewaktu daratan Skotlandia dan North Sea Basin terangkat,
sedimen banyak diangkut ke dalam cekungan ini sehingga kembali mengalami subsidensi (Milton dkk,
1990). Bagian-bagian lain dari cekungan ini kemudian terisi oleh sedimen sehingga akhirnya terbentuk laut
dangkal seperti keadaannya sekarang. Pemisahan fasa subsidensi syn-rift dan post-rift dalam cekungan ini
sukar dilakukan karena adanya perioda kekurangan sedimen yang menjadi perioda transisi dari kedua fasa
tersebut (Milton, 1993).
Sewaktu subsidensi berlangsung cepat, batas-batas sekuen yang terbentuk akibat penurunan muka air laut
akan terhapus sehingga sukar dikenal. Di lain pihak, batas-batas sekuen yang terbentuk pada waktu
subsidensi atau pengangkatan yang lambat akan tampak jelas.
2.1.2 Konsep Tepian Cekungan
Hasil-hasil pengamatan seismik menunjukkan bahwa progradasi pada tepi cekungan sering
memperlihatkan geometri yang konsisten (gambar 2-3).
Topset adalah istilah yang digunakan untuk menamakan bagian puncak profil tepi cekungan yang
bergradien rendah (< 1o). Pada penampang seismik, topset tampak datar dan umumnya mengandung
sistem pengendapan aluvial, delta, dan laut dangkal. Garis pantai merupakan suatu titik pada topset. Titik
itu dapat berimpit dengan offlap break, namun dapat pula terletak ratusan kilometer lebih ke arah darat
daripada offlap break. Titik-titik terminasi topset ke arah daratan disebut coastal onlap. Di atas coastal

onlap terdapat dataran pantai atau fasies paralik. Klinoform (clinoform) adalah istilah yang dipakai untuk
menama-kan bagian profil tepian cekungan yang lebih curam (umumnya > 1 o) serta terletak lebih ke arah
cekungan dibanding topset. Klinoform umumnya mengandung sistem pengendapan perairan yang lebih
dalam dibanding topset serta bercirikan sistem lereng. Kemiringan klinoform seringkali dapat diketahui dari
data seismik. Bottomset adalah istilah yang dipakai untuk menama-kan bagian profil tepi cekungan yang
bergradien rendah dan mengandung sistem pengendapan laut dalam.
Titik dimana terjadi perubahan kemiringan pada profil tepi cekungan terletak antara topset dan klinoform.
Titik itu disebut offlap break (Vail dkk, 1991). Sebelumnya titik itu disebut shelf edge (Vail dan Todd, 1981;
Vail dkk, 1984). Namun, istilah yang disebut terakhir ini dapat menimbulkan kerancuan dengan istilah shelf
break, yaitu tepi cekungan masa kini yang biasanya bukan merupakan gejala pengendapan, melainkan
gejala morfologi. Istilah depositional shoreline break (Van Wagoner dkk, 1988) juga pernah digunakan,
namun istilah itu mengimplikasikan bahwa titik perubahan kemiringan dalam profil pengendapan berimpit
dengan garis pantai. Istilah offlap break dipakai disini mengingat istilah tersebut tidak mengimplikasikan
bahwa titik perubahan kemiringan dalam profil pengendapan sama dengan garis pantai.
Profil topset-clinoform merupakan produk interaksi pasokan sedimen dengan energi gelombang, badai, dan
pasut di dalam cekungan. Sedimen diangkut menuju cekungan melalui coastal onlap oleh sistem sungai,
kemudian didistribusikan ke daerah topset oleh gelombang dan/atau berbagai sistem arus seperti arus
fluvial, arus pasut, arus badai, dsb. Proses pengangkutan sedimen pada topset ini hanya bekerja efektif
pada perairan dangkal, hingga kedalaman beberapa puluh meter. Agar sedimen dapat terangkut menuju
perairan yang lebih dalam, diperlukan adanya lereng yang memungkinkan sedimen dikenai oleh gaya
gravitasi. Klinoform terbentuk dengan kemiringan yang memenuhi persyaratan tersebut. Besarnya sudut
kemiringan klinoform sangat dipengaruhi oleh tipe sedimen penyusunnya. Sedimen kasar akan membentuk
klinoform yang lebih curam dibanding sedimen halus (Ketner, 1990). Sedimen karbonat juga menghasilkan
klinoform yang lebih curam (hingga 35 o) dibanding sedimen klastika halus (0,5 o3o). Selain oleh material
yang kasar, lereng pengendapan sistem klastika yang curam juga dapat terbentuk jika lereng itu
merupakan zona erosi atau zona bypassing sedimen.
Arti penting dari offlap break dalam sistem pengendapan akan tampak jelas sewaktu terjadi penurunan
muka air laut. Jika penurunan muka air laut menyebabkan tersingkapnya offlap break, sungai akan
menoreh sebagian topset untuk membentuk kesetimbangan baru dengan base level baru (hal ini akan
dibahas lebih jauh pada sub bab 2.4.3). Tanggapan sistem peng-endapan terhadap penurunan muka air
laut ini tergantung pada khuluk tepi cekungannya (gambar 2-4).
Shelf break margin adalah tepi cekungan dimana klinoform berkembang baik. Penorehan oleh sungai
selama terjadinya penurunan muka air laut akan menyebabkan diendapkannya sedimen pada bagianbagian tertentu dari klinoform. Hancurnya massa sedimen akan menyebabkan terbentuknya arus turbid
besar dan endapan kipas bawah laut. Shelf break margin umumnya ditemukan pada tepi benua pasif dan
terbentuk pada waktu terjadinya penaikan muka air laut secara lambat, pada saat mana sistem delta
dengan mudah berprogradasi menuju tepi paparan.
Ramp margin umumnya berupa perairan dangkal, dimana badai dan arus dapat mempengaruhi daerah
yang luas. Sudut pengendapan disini umumnya < 1 o dan seismic clinoform (jika ada) akan miring sekitar
0,5o. Offlap break pada ramp margin kemungkinan terletak pada garis pantai, di tempat mana terjadi
perubahan gradien dari gradien sungai menjadi gradien paparan atau perenggan delta yang sedikit lebih
curam daripadanya. Tanggapan ramp margin terhadap perubahan muka air laut berbeda dengan
tanggapan yang diberikan oleh shelf break margin. Dalam tatanan ramp margin, turbidit tidak terbentuk
pada waktu penurunan muka air laut. Pada waktu itu sedimen diangkut menuju cekungan tanpa melalui
proses bypassing. Jadi, turbidit yang ditemukan dalam endapan silisiklastik ramp margin kemungkinan
bukan merupakan kipas bawah laut, melainkan endapan perenggan delta (Van Wagoner dkk, 1990).

Banyak delta masa kini membentuk ramp margin. Delta-delta itu umumnya merupakan delta paparan yang
berprogradasi di atas topset shelf break margin yang terbentuk sebelumnya (gambar 2-4). Frazier (1974)
menyatakan bahwa pengendapan di Teluk Meksiko praktis hanya terbatas pada Delta Mississippi yang
berprogradasi hingga mencapai perairan dengan kedalaman 100 m. Delta Mississippi masa kini
membentuk ramp margin, meskipun sedikit progradasi akan mengubah status delta tersebut menjadi shelf
break margin.
Rift margin merupakan ciri khas dari cekungan yang mengalami ekstensi kerak secara aktif. Dalam
cekungan seperti itu, sesar-sesar ekstensi sangat mempengaruhi paleogeografi dan laju influks sedimen.
Penyebaran akomodasi dalam rift margin terutama dikontrol oleh tektonik. Laju subsidensi umumnya
bertambah ke arah pusat retakan, meskipun setiap individu blok sesar akan memiliki pola akomodasi
masing-masing. Subsidensi paling kecil terjadi pada puncak foot-wall, bahkan bagian itu mungkin terangkat
dan tererosi. Subsidensi makin tinggi ke arah sesar pengontrol. Sistem pengendapan yang ada tergantung
pada tatanan tektonik cekungan; apakah retakan itu terjadi pada tatanan benua atau tatanan samudra.
Zona-zona transfer (transfer zones) pada rift margin akan mengontrol titik-titik dimana sedimen memasuki
cekungan. Rift margin dicirikan oleh relief topografi yang tinggi dan akumulasi sedimen yang sangat rendah
pada beberapa bagian cekungan karena sedimen yang diangkut ke dalam cekungan ini akan di- bypassing
menuju pusat-pusat retakan. Basin margin system, dengan klinoform yang panjang dan topset yang relatif
sempit, mungkin terbentuk di perairan dalam (gambar 2-4). Penjebakan material kasar pada topset
kemungkinan kecil terjadi karena sebagian besar tampaknya di-bypassing menuju cekungan.
Foreland-basin margin sangat tergantung pada apakah sedimen masuk melalui sumbu cekungan
atau langsung dari sabuk anjakan (thrust belt). Jika sedimen masuk ke dalam cekungan langsung
dari sabuk anjakan, maka laju subsidensi cekungan akan bertambah ke arah sabuk anjakan (ke
arah sumber sedimen). Dengan kata lain, akomodasi yang lebih besar tidak berada pada pusat
cekungan, melainkan pada tepinya. Mekanisme itu akan mempengaruhi geometri endapan yang
terbentuk dan akan menghasilkan endapan aggradatif yang kecil kemungkinan memiliki
klinoform berskala seismik (Posamentier & Allen, 1993).
Growth-fault margin dicirikan oleh sesar-sesar ekstensi yang terbentuk bersamaan dengan sedimentasi
akibat gaya gravitasi. Laju subsidensi yang lebih tinggi terjadi pada sisi hanging-wall dari sesar tumbuh
sedemikian rupa sehingga menyebabkan penyebaran sedimen menjadi lebih luas. Efek sesar tumbuh
terhadap sistem pengendapan tergantung pada apakah sesar-sesar itu memiliki ekspresi topografi di dasar
laut atau tidak. Jika hanging-wall memiliki relief topografi yang lebih rendah dibanding foot-wall, diferensiasi
fasies akan terjadi di sepanjang sesar dengan sistem klastik laut-dalam akan terletak pada bagian sesar
yang turun. Growth-fault margin akan dibahas lebih jauh pada sub bab 9.3.3.
2.2 MUKA AIR LAUT RELATIF, GUNTARA, DAN TEKTONIK
2.2.1 Definisi Muka Air Laut
Untuk memahami faktor-faktor yang mengontrol pembentukan sekuen, pertama-tama kita perlu memahami
apa yang dimaksud dengan guntara, muka air laut, dan kedalaman (lihat Gambar 2-5).
2.2.1.1 Guntara
Guntara (eustasy; global eustasy; global sea-level) diukur dari muka air laut hingga suatu datum tetap,
biasanya pusat bumi. Guntara dapat berubah dengan berubahnya volume cekungan (misalnya akibat
perubahan volume punggungan tengah samudra) atau berubahnya volume air laut (misalnya akibat
glasiasi-deglasiasi). Penafsiran perubahan guntara dari rekaman batuan sangat kompleks dan merupakan
topik ilmiah yang kontroversial. Untuk sementara ini, hal yang patut dicatat adalah bahwa guntara dapat

naik atau turun sedemikian rupa sehingga menyebabkan berubahnya posisi base-level secara global. Base
level sendiri didefinisikan sebagai suatu batas di atas mana proses yang terjadi praktis hanya berupa erosi.
2.2.1.2 Muka Air Laut Relatif
Muka air laut relatif (relative sea-level) diukur dari muka air laut hingga suatu datum lokal yang dapat
berubah-ubah posisinya, misalnya batas atas batuan dasar (basement) atau sebuah bidang di dalam
tumpukan sedimen dasar laut (Posamentier dkk, 1988). Subsidensi, pengangkatan batuan dasar, kompaksi
sedimen yang melibatkan bidang acuan pengukuran muka air laut relatif, dan perubahan guntara,
semuanya dapat menyebabkan berubahnya muka air laut relatif. Muka air laut relatif dapat naik karena
subsidensi, kompaksi dan/atau turunnya guntara; muka air laut relatif dapat turun karena adanya
pengangkatan dan/atau penaikan guntara. Muka air laut relatif hendaknya tidak terancukan dengan
kedalaman.
2.2.1.3 Kedalaman
Kedalaman diukur dari muka air laut hingga permukaan sedimen dasar laut. Titik kesetimbangan
(equilibrium point) kadang-kadang digunakan untuk menamakan suatu titik pada profil pengendapan
dimana laju perubahan muka air laut relatif sama dengan nol. Titik tersebut, pada suatu waktu, akan
memisahkan zona dimana terjadi penaikan muka air laut relatif dengan zona dimana terjadi penurunan
muka air laut relatif.
2.2.2 Akomodasi
Laju guntara dan subsidensi secara bersama-sama akan mengontrol akomodasi. Akomodasi didefinisikan
sebagai ruang yang tersedia untuk pengakumulasian sedimen pada suatu waktu (Jervey, 1988).
Akomodasi dikontrol oleh base level karena, untuk dapat terakumulasi, sedimen memerlukan ruang yang
terletak di bawah base level. Posisi base level berbeda-beda, tergantung tatanan pengendapannya
(gambar 2-6). Dalam lingkungan aluvial, base level dikontrol oleh profil sungai yang secara berangsur
berubah mendekati base level laut atau danau, ke tempat mana sungai tersebut bermuara (Mackin, 1948).
Dalam sistem delta dan pesisir, base level praktis ekivalen dengan muka air laut. Dalam lingkungan laut
dangkal, base level juga praktis berupa muka air laut, meskipun dalam kondisi tertentu alas gelombang
(wave base) dapat menyebabkan graded shelf profile berperan sebagai base level.
Gambar 2-7 memperlihatkan kaitan antara akomodasi, guntara, dan kedalaman pada sistem
pesisir-paparan. Berikut akan dibahas kaitan antara muka air laut relatif dengan akomodasi pada
sistem pesisir-paparan. Sistem-sistem pengendapan lain seperti sungai, paralik, kipas bawah laut,
dan karbonat akan dibahas pada bab-bab lain.
2.2.3 Akomodasi dari Waktu ke Waktu
Untuk memahami bagaimana keadaan akomodasi dari waku ke waktu, pertama-tama kita perlu memahami
terlebih dahulu bagaimana laju subsidensi dan perubahan muka air laut global (dalam hal ini diidealkan
bersifat sinusoidal) secara bersama-sama memberikan pengaruh terhadap laju pembentukan dan
penghancuran akomodasi. Dengan kata lain, kita akan melihat pengaruh interaksi antara kedua faktor
tersebut terhadap penaikan dan penuruman muka air laut relatif.
Pada gambar 2-8, subsidensi digambarkan sebagai garis lurus, dimana gradien pada suatu titik dari garis
itu melukiskan laju subsidensi pada titik tersebut. Gradien yang berbeda-beda dapat terjadi untuk bagianbagian cekungan yang laju subsidensinya berubah dari waktu ke waktu. Pada gambar itu akomodasi sama
dengan perubahan muka air laut relatif karena kurvanya dilukiskan dari titik nol. Pada gambar tersebut

guntara dilukiskan dengan sebuah kurva yang sama. Perubahan muka air laut relatif dapat diketahui
dengan mudah, yaitu dengan cara menjumlahkan kedua kurva tersebut.
Jika subsidensi berlangsung lambat, akomodasi maksimum akan tercapai pada saat guntara mencapai
maksimum. Ketika guntara turun hingga mencapai posisi yang sama dengan posisi awalnya, akomodasi
turun hingga mencapai harga yang sama dengan harga yang semata-mata dihasilkan akibat subsidensi.
Jika subsidensi berlangsung lebih cepat, akomodasi maksimum terjadi pada waktu yang lebih lambat.
Akomodasi juga mungkin tidak akan berkurang, walaupun guntara mengalami penurunan, jika laju
subsidensi sangat tinggi.
Perhatikan bahwa kurva yang sama secara teoritis dapat diperoleh jika kita menggunakan kurva subsidensi
yang berubah-ubah dengan waktu, sedangkan guntara dipandang tetap.
2.2.4 Orde Daur Endapan dan Korelasi Global
Sekuen pengendapan merupakan satu siklus endapan lengkap yang bagian atas dan bawahnya dibatasi
oleh bidang ketidakselarasan erosional. Suatu sekuen memiliki umur maksimum yang harganya sama
dengan selisih antara umur bidang-bidang keselarasan yang korelatif dengan bidang ketakselarasan
pembatas sekuen tersebut. Dengan demikian, umur sebuah sekuen ditentukan oleh event yang mengontrol
pembentukan dan penghancuran akomodasi, yaitu subsidensi tektonik dan guntara.
Siklus subsidensi tektonik dan siklus guntara dapat berlangsung pada rentang waktu yang
berbeda-beda. Karena itu, endapan yang terbentuk juga berbeda-beda, sesuai dengan siklus
guntara dan siklus subsidensi yang mengontrolnya. Dengan demikian, sangat penting artinya
bagi kita untuk menggolongkan berbagai daur endapan berdasarkan umurnya. Penggolongan ini
menghasilkan kategori-kategori yang dikenal dengan sebutan daur orde-1, orde-2, orde-3, dst
(gambar 2-9). Adanya skema penggolongan tersebut memungkinkan kita untuk membagi isi
suatu cekungan ke dalam sejumlah daur yang masing-masing mencerminkan siklus subsidensiguntara tertentu.
Pada gambar 2-9 terlihat adanya empat orde daur stratigrafi. Daur penyusupan (encroachment cycle)
terbentuk pada rentang waktu yang lama (> 50 juta tahun) di tepi benua-benua raksasa dan merupakan
daur orde pertama. Hingga saat ini, sebagaimana tersirat dari kurva perubahan muka air laut karya Haq
dkk (1987), hanya dikenal ada dua daur penyusupan dalam rekaman stratigrafi Paleozoikum. Daur orde-1
diperkirakan dikontrol oleh tectono-eustasy, yaitu perubahan volume cekungan yang berkaitan dengan
siklus tektonik lempeng (Pitman, 1978).
Daur orde-2 (350 juta tahun) merupakan bagian utama dari daur orde-1. Daur ini mencerminkan jenjangjenjang tertentu dari evolusi cekungan. Daur ini dapat terbentuk akibat perubahan laju subsidensi tektonik
dalam cekungan atau akibat peningkatan laju pengangkatan di daerah sumber sedimen.
Daur orde-3 (0,53 juta tahun) merupakan daur dasar dalam sekuen stratigrafi karena daur ini sering
terdeteksi dengan baik dalam rekaman seismik. Daur inilah yang disebut "sekuen" oleh para ahli stratigrafi
Exxon pada saat mencetuskan konsep-konsep sekuen stratigrafi. Menurut Vail dkk (1991), pembentukan
daur ini dikontrol oleh glacio-eustasy. Walau demikian, mekanisme tektonik juga memungkinkan
terbentuknya daur orde-3 ini (Cloetingh, 1988).
Sekuen gabungan (composite sequence) adalah istilah yang sering dipakai untuk menyatakan daur orde-2
atau orde-3 yang disusun oleh daur-daur dari orde yang lebih tinggi (Mitchum & Van Wagoner, 1991).
Daur orde-4 (0,10,5 juga tahun) merupakan paket endapan yang menunjukkan lingkungan
pengendapan yang lebih dangkal ke bagian atas serta dibatasi oleh bidang-bidang yang
mencerminkan perubahan kedalaman lingkungan pengendapan yang tiba-tiba. Daur yang disebut
"parasekuen" dalam konsep sekuen stratigrafi Exxon ini mungkin terbentuk oleh proses-proses
allosiklis.

Teori yang mengungkapkan bahwa guntara merupakan faktor utama yang mengontrol pengendapan
sedimen mungkin merupakan salah satu konsep stratigrafi terpadu yang banyak menarik perhatian para
ahli geologi selama berabad-abad (Dott, 1992). Jika memang benar bahwa jejak guntara terekam dalam
semua rekaman stratigrafi, maka kita akan dapat menentukan umur satu paket tertentu berdasarkan pola
sekuen dan systems tract yang terlihat pada rekaman stratigrafi serta memprakirakan tatanan stratigrafi
suatu daerah perawan berdasarkan pengetahuan mengenai tatanan stratigrafi baku.
Diagram perubahan muka air laut global pertama kali diajukan oleh Vail dkk (1977), kemudian diperbarui
oleh Haq dkk (1987), berdasarkan hasil pengukuran-pengukuran yang dilakukan pada berbagai cekungan
di dunia ini. Diagram itu dibuat untuk mendukung teori yang menyatakan bahwa pembentukan sebagian
besar daur orde-3 dikontrol oleh guntara. Diagram itu mengundang banyak pertanyaan dari kalangan ahli
stratigrafi. Sebagian diantaranya kemudian menyimpulkan bahwa diagram itu disusun berdasarkan teori,
bukan data. Masalah kontroversi kurva tersebut berada di luar ruang lingkup pembahasan buku ini. Walau
demikian, akan dikemukakan beberapa komentar penting yang perlu dikaji bersama-sama.
1. Data yang menjadi dasar penyusunan kurva yang disusun oleh Haq dkk (1987) tidak pernah diungkapkan
seluruhnya, khususnya data-data yang menunjukkan bahwa batas-batas sekuen memang korelatif secara
global. Miall (1986, 1992), salah seorang pengkritik kurva tersebut, menyatakan: "Premis dasar dalam
kurva Exxon, yang menyatakan bahwa siklus guntara orde-3 berkorelasi secara global, masih belum
terbukti ... Memang ada kasus-kasus tertentu yang memperlihatkan bahwa paket-paket sedimen tertentu
memperlihatkan kesamaan umur secara global (misalnya siklus glacioeustatic orde-4 dan orde-5 dalam
endapan Neogen dan mungkin pula dalam endapan Paleo-zoikum akhir ...), namun sebagian besar
endapan Fanerozoikum tidak menunjukkan kesamaan umur seperti itu" (Miall, 1991). Miall juga
menyatakan bahwa masih diragukan apakah kontrol biostratigrafi global cukup akurat (tanpa adanya
kerancuan) untuk mengkorelasikan perubahan muka air laut orde-3. Dengan demikian, hingga saat ini,
konsep globalitas kesamaan umur siklus-siklus guntara masih menjadi bahan perdebatan.
2. Mekanisme pembentukan siklus orde-3 masih menjadi masalah untuk beberapa bagian waktu geologi
tertentu. Bertambah-nya volume es selama zaman es akan menyebabkan turunnya guntara pada akhir
Kenozoikum dan akhir Paleozoikum. Namun, mekanisme seperti itu tidak terjadi pada Jaman Kapur dan
Jura yang bebas es. Cloetingh (1985) mengajukan gagasan bahwa intraplate stress merupakan
mekanisme tektonik yang menyebabkan terbentuknya siklus orde-3.
3. Hingga kini para ahli belum sepakat bahwa jejak-jejak guntara memang terekam dalam semua
cekungan. Beberapa ahli, misalnya Hubbard (1988), bahkan berkeyakinan bahwa jejak-jejak itu
kemungkinan tertutup oleh jejak-jejak tektonik.
Walau demikian, penelitian masih terus dilakukan oleh para ahli. Penelitian dewasa ini antara lain
diarahkan untuk menentu-kan umur ketidakselarasan pada tepi-tepi cekungan secara lebih akurat serta
mengaitkan umur tersebut dengan rekaman isotop oksigen sehingga informasi ini dapat dikaitkan langsung
dengan perubahan volume es (a.l. Miller dkk, 1991, 1993). Selain itu, banyak proyek penelitian
dilaksanakan untuk menentukan umur dan mengkorelasikan batas-batas sekuen berskala regional di
Eropa (a.l. De Graciansky dkk, 1993).
2.3 PASOKAN SEDIMEN
Laju pemasokan sedimen mengontrol volume akomodasi yang terisi serta bagian-bagian mana saja yang
akan terisi. Interaksi antara pasokan sedimen dengan subsidensi akan menentukan apakah fasies yang
terbentuk dalam akomodasi berprogradasi ke arah cekungan atau beretrogradasi ke arah darat. Kaliber
sedimen yang diangkut sangat mempengaruhi tipe fasies yang terbentuk dalam akomodasi. Dalam bagian
ini, pertama-tama kita akan membahas prinsip-prinsip yang mengontrol pemasokan sedimen silisiklastik

menuju tepian cekungan serta memperlihatkan bagaimana pasokan sedimen berubah dari waktu ke waktu.
Setelah itu kita akan membahas bagaimana akomodasi terisi pada saat laju pasokan tinggi, sedang, atau
rendah.
2.3.1 Prinsip-Prinsip Pemasokan Sedimen Klastik
Sungai merupakan agen utama yang mengangkut sedimen daratan menuju cekungan pengendapan.
Volume sedimen yang terangkut menuju tepi cekungan merupakan fungsi yang kompleks dari fisiografi,
tektonik, dan iklim daratan yang menjadi sumber sedimen. Hasil-hasil pemelajaran terhadap sungai masa
kini menunjukkan bahwa laju pemasokan sedimen menuju tepi-tepi cekungan yang ada di seluruh dunia
sangat bervariasi (gambar 2-10). Sekitar 70% beban sedimen berasal dari 10% bagian daratan yang ada di
dunia ini. Selain itu, 20% beban sungai diangkut menuju tepi cekungan oleh tiga sungai besar: Gangga,
Brahmaputra, dan Huang He (Sungai Kuning) (Summerfield, 1991).
Jumlah sedimen yang diangkut menuju tepi cekungan merupakan fungsi dari dua faktor utama: (1) luas
cekungan pengaliran dan (2) laju denudasi (erosi) mekanis. Tektonik, baik yang berskala lokal maupun
regional, mempengaruhi bentuk, ukuran, dan relief cekungan pengaliran, geologi daerah sumber, serta
kaliber sedimen yang tererosi. Laju denudasi sungai merupakan fungsi yang kompleks dari relief cekungan
pengaliran dan iklim. Iklim tidak hanya mempengaruhi daya erosi sungai, namun juga erodibilitas tanah
pada cekungan pengaliran serta menentukan ada tidaknya vegetasi. Menurut hasil penelitian akhir-akhir
ini, laju denudasi bervariasi. Sebagai contoh, laju denudasi yang lebih kecil dari 1 mm per 1000 tahun
terjadi di cekungan pengaliran Sungai St Lawrence dan 640 mm per 1000 tahun di cekungan pengaliran
Sungai Brahmaputra. Cekungan pengaliran Sungai Huang He menunjukkan laju denudasi yang ekstrim,
yaitu 19.800 mm per 1000 tahun. Salah satu alasan yang menyebabkan tingginya laju denudasi pada
cekungan itu ialah karena cekungan tersebut mencakup daerah seluas 3000 km 2 yang ditutupi oleh loess
serta terletak pada daerah semiarid yang jarang vegetasi (Summerfield, 1991).
Dari pembahasan di atas tampak jelas bahwa tidak benar apabila kita berpikir bahwa pemasokan
sedimen ke dalam cekungan bersifat tetap, baik dalam segi ruang maupun waktu. Pemasokan
sedimen lokal tergantung pada posisi sebuah titik dimana sungai mulai memasuki wilayah tepi
cekungan. Selain itu, mungkin ada pula kaitan antara siklus muka air laut yang dikontrol oleh
glacio-eustacy dengan iklim pada cekungan pengaliran sungai (Blum, 1990). Hal ini
mengandung pengertian bahwa pemasokan sedimen berubah-ubah pada siklus muka air laut
yang berbeda-beda.
2.3.2 Pengisian Akomodasi
Jumlah sedimen yang diangkut ke dalam cekungan merupakan fungsi dari laju pemasokan sedimen serta
posisi titik masuk sedimen ke dalam cekungan. Gambar 2-11 memperlihatkan kaitan antara fasies, muka
air laut relatif, dan laju akumulasi sedimen. Pada ketiga gambar itu, kurva perubahan muka air laut relatif
dibuat tetap, sedangkan kurva laju sedimentasi berbeda-beda. Dengan demikian, ketiga gambar itu dapat
dipandang sebagai lukisan yang memperlihatkan bagian-bagian cekungan yang jaraknya berbeda-beda,
relatif terhadap titik sumber. Setiap model dibuat pada waktu dan kedalaman nol yang mengandung
pengertian bahwa model itu diawali ketika garis pantai tepat berada pada titik tersebut. Untuk
menyederhanakan gambaran tersebut, Jervey (1988) menyatakan adanya dua tipe endapan yang
disebutnya "mud prone" (endapan bahari) dan "sand prone" (endapan dataran pantai).
Pada lokasi dimana laju pemasokan sedimen rendah, akomodasi selalu lebih besar dari akumulasi
sedimen, garis pantai bermigrasi ke arah daratan, trasgresi terjadi, dan akan membentuk daerah perairan
yang relatif dalam. Pada kondisi seperti itu, kemungkinan besar akan terbentuk fasies bahari "mud prone".

Pada lokasi dimana laju pemasokan sedimen sedang, dasar laut dapat beragradasi hingga mencapai muka
air laut (alas kikis). Laju peningkatan akomodasi pada mulanya lebih tinggi dari pemasokan sedimen
sehingga terjadi trangresi. Pada waktu itu akan diendapkan serpih bahari. Ketika laju penaikan muka air
laut berkurang, akan terjadi regresi. Proses ini terus berlangsung sementara fasies bahari mulai
beragradasi hingga mencapai muka air laut dan garis pantai kembali terletak pada titik tersebut. Setelah
itu, pemasokan sedimen melebihi laju pembentukan akomodasi, namun bidang sedimen masih tetap
dipertahankan pada posisi muka air laut masa itu bersamaan dengan diendapkannya fasies dataran pantai
"sand prone". Sedimen yang berlebih akan di-bypass menuju bagian cekungan yang lebih dalam. Ketika
laju pembentukan akomodasi berkurang (ketika terjadi penurunan muka air laut), sedimen yang telah
terbentuk sebelumnya akan tererosi kembali.
Pada lokasi dengan laju pemasokan sedimen tinggi, laju pemasokan sedimen selalu melebihi laju
pembentukan akomodasi. Pada waktu itu kemungkinan akan diendapkan sedimen dataran pantai atau
sedimen dataran delta. Regresi garis pantai akan terus terjadi selama siklus perubahan muka air laut. Laju
akumulasi pada titik ini tergantung pada laju pembentukan akomodasi. Erosi kemungkinan akan terjadi
sewaktu terjadinya penurunan muka air laut.
2.3.3 Arsitektur Cekungan
Untuk memahami perubahan topset-clinoform dari waktu ke waktu, pertama-tama kita perlu memahami
kaitan antara laju pemasokan sedimen dengan laju pembentukan akomodasi topset . Akomodasi topset
(topset accomodation) itu kadang-kadang disebut juga "akomodasi paparan" (shelf accomodation). Laju
perubahan akomodasi merupakan fungsi dari besaran penaikan muka air laut dikalikan dengan luas topset.
Interaksi antara laju pembentukan akomodasi dengan laju pemasokan sedimen akan menghasilkan
berbagai geometri endapan seperti terlihat pada gambar 2-12.
Geometri progradasional terbentuk jika laju pemasokan sedimen lebih tinggi dari laju pembentukan
akomodasi. Pada waktu itu sabuk-sabuk fasies bermigrasi ke arah cekungan. Pada penampang seismik,
progradasi itu terlihat sebagai klinoform dimana offlap break tampak bergeser secara berangsur menuju
cekungan. Dalam kaitan dengan geometri ini, istilah regresi dapat digunakan untuk menyatakan proses
perpindahan garis pantai ke arah cekungan.
Geometri agradasi terbentuk jika pemasokan sedimen lebih kurang sama dengan laju pembentukan
akomodasi. Sabuk fasies bertumpuk satu di atas yang lain; offlap break tidak pindah, baik ke arah
cekungan maupun ke arah daratan.
Geometri retrogradasi terbentuk jika pemasokan sedimen lebih kecil dari laju pembentukan
akomodasi. Sabuk-sabuk fasies bermigrasi ke arah darat dan offlap break yang relatif tua akan
tinggal sebagai sisa. Dalam kaitannya dengan hal ini, istilah transgresi dipakai untuk menyatakan
proses perpindahan garis pantai ke arah daratan.
Ketiga tipe geometri endapan tersebut di atas (progradasi, agradasi, dan retrogradasi) tidak bersifat
menerus, namun terdiri dari satuan-satuan progradasi berskala sub-seismik yang disebut parasekuen.
Sejumlah parasekuen bertumpuk sedemikian rupa membentuk parasequence set yang keberadaannya
dapat diamati pada penampang seismik.
Tulisan berikutnya akan memperlihatkan bagaimana prinsip-prinsip perubahan akomodasi yang mendaur
dan berubah-ubah dari waktu ke waktu dapat digunakan untuk membagi rekaman stratigrafi ke dalam
sejumlah paket endapan yang masing-masing diendapkan pada fasa perubahan laut tertentu.
2.4 SEKUEN DAN SYSTEMS TRACT
2.4.1 Sekuen dan Batas Sekuen

Istilah "sekuen" dalam pengertian sekuen stratigrafi pertamakali didefinisikan oleh Mitchum dkk (1977).
Menurut mereka, sekuen adalah satuan stratigrafi yang disusun oleh sejumlah stratum yang selaras dan
satu sama lain berkaitan secara genetik; sekuen dipisahkan dari sekuen lain oleh bidang ketakselarasan
atau bidang keselarasan yang korelatif dengan bidang ketakselarasan tersebut.
Definisi di atas tidak memberikan batasan mengenai ukuran fisik dan rentang waktu yang dicerminkan oleh
suatu sekuen serta tidak pula mencerminkan mekanisme penyebab terbentuknya bidang ketakselarasan
yang menjadi bidang pembatasnya. Pada mulanya, pemakaian bidang ketakselarasan sebagai pembatas
sekuen menimbulkan kerancuan karena hal itu dilakukan oleh sejumlah ahli dalam pengertian yang
berbeda-beda. Pada mulanya Mitchum dkk (1977) memasukkan hiatus bahari dan condensed section ke
dalam lingkup ketakselarasan. Namun, pengertian itu kemudian dirubah ketika para ahli memandang perlu
adanya pembedaan yang tegas antara ketakselarasan yang disebabkan oleh erosi daratan dengan hiatus
yang terbentuk di sekitar pusat cekungan. Perlunya pembedaan tersebut terutama dirasakan ketika para
ahli mencoba menyusun model-model pengendapan yang pembentukannya dipengaruhi oleh perubahan
muka air laut relatif. Jadi, dalam sekuen stratigrafi, istilah "ketakselarasan" diartikan relatif sempit:
"ketakselarasan adalah sebuah bidang yang memisahkan strata muda dari strata tua, pada bidang mana
ditemukan jejak-jejak erosi atau pemancungan strata akibat aktivitas permukaan bumi (dalam beberapa
kasus bidang itu juga korelatif dengan bidang erosi bawah laut), jejak-jejak penyingkapan di permukaan
bumi, serta indikasi hiatus yang berarti (van Wagoner dkk, 1988).
Dari pembahasan di atas jelas bahwa sebuah sekuen dibatasi oleh bidang erosi daratan. Satuan-satuan
yang dibatasi oleh condensed surface, bidang transgresi, atau bidang marine onlap tidak termasuk ke
dalam kategori batas sekuen. Perlu diketahui bahwa para peneliti Exxon, sebagaimana dikemukakan oleh
Mitchum dkk (1977), telah mempertimbangkan dengan serius untuk memakai istilah "sintem" (synthem)
sebagai pengganti istilah "sekuen", dengan harapan agar tidak terjadi kerancuan dengan istilah "sekuen"
yang sebelumnya banyak digunakan dalam literatur sedimentologi atau dengan istilah-istilah yang
digunakan untuk menamakan satuan strata yang ditentukan keberadaannya berdasarkan daur sedimentasi
(misalnya "genetic depositonal sequence" yang digunakan oleh Galloway, 1989). Namun tampaknya
mereka sukar untuk menerima "sintem stratigrafi".
Pada mulanya definisi yang sederhana seperti tersebut di atas tampak mudah untuk diterapkan. Namun,
kenyataannya tidak demikian. Adalah suatu hal yang tidak mudah untuk mengenal bidang penyingkapan
dalam rekaman log sumur atau rekaman seismik. Selain itu, pengkorelasian bidang ketakselarasan itu
dengan bidang keselarasan yang ada dalam cekungan juga tidak jarang menimbulkan masalah.
Dimasukkannya ungkapan "mengindikasikan hiatus yang cukup berarti" oleh van Wagoner (1988) tidak
banyak menolong karena tidak ada batasan yang jelas mengenai rentang waktu yang dipandang "cukup
berarti". Sekuen gabungan (composite sequence) dapat mengandung ketakselarasan, namun
ketakselarasan itu adalah ketakselarasan yang "tingkatannya" lebih tinggi daripada ketakselarasan yang
menjadi pembatas sekuen. Ketakselarasan seperti itu dipandang "tidak cukup berarti" dari kacamata
sekuen stratigrafi.
Dalam pengertian yang terbatas, satu sekuen mencerminkan satu siklus pengendapan yang dibatasi oleh
erosi non-bahari dan diendapkan dalam satu siklus naik-turunnya alas kikis yang berarti (dalam skala
penelitian sekuen). Pada kebanyakan cekungan, alas kikis dikontrol oleh muka air laut. Dengan demikian,
setiap sekuen merupakan produk dari satu siklus naik-turunnya muka air laut relatif. Lukisan ideal dari
sebuah sekuen yang terbentuk pada satu siklus perubahan muka air laut diperlihatkan pada gambar 2-13.
Sekuen itu dinamakan sekuen tipe-1. Pada sekuen tipe-1, penurunan muka air laut cukup besar
sedemikian rupa sehingga topset pertama dari sekuen itu terletak onlap terhadap klinoform dari sekuen
yang terbentuk sebelumnya. Sekuen tipe-2 akan dijelaskan kemudian.

Menurut Van Wagoner dkk (1988), batas sekuen tipe-1 dicirikan oleh jejak penyingkapan yang berasosiasi
dengan erosi non-bahari, peremajaan sungai, perpindahan fasies ke arah cekungan, penurunan coastal
onlap, serta pola onlapping dari strata yang terbentuk kemudian. Coastal onlap adalah istilah yang
digunakan untuk menamakan titik onlap pada strata topset yang ada di tepi cekungan (lihat Bab 3). Akibat
migrasi fasies ke arah cekungan, endapan-endapan non-bahari atau pesisir, misalnya batupasir endapan
sungai menganyam dan endapan estuarium, dapat terletak langsung di atas endapan laut dangkal seperti
batupasir lower shoreface atau batulumpur paparan. Superposisi fasies seperti itu disebut dislokasi fasies
(facies dislocation). Van Wagoner dkk (1988) menafsirkan bahwa batas sekuen tipe-1 terbentuk pada saat
laju penurunan guntara lebih tinggi dibanding laju subsidensi cekungan pada offlap break.
2.4.2 Definisi Systems Tract
Sekuen tipe-1 seperti yang terlukis pada gambar 2-13 merupakan bentuk ideal dari sekuen yang
terbentuk pada shelf-break margin. Sekuen itu dapat tersusun oleh sejumlah paket endapan
tertentu. Sejak ditemukannya konsep seismik stratigrafi, diketahui bahwa pengendapan dalam
suatu cekungan tidak berlangsung secara menerus dan seragam di semua tempat, melainkan
dalam paket-paket yang masing-masing dibatasi oleh bidang-bidang seismik tertentu (lihat Bab
3). Para peneliti Exxon menemukan suatu keteraturan dimana paket-paket itu umumnya tersusun
dalam pola yang dapat diprakirakan, sebagaimana kenampakannya pada penampang seismik.
Paket-paket itu dinamakan systems tract.
Istilah systems tract pertama kali didefinisikan oleh Brown & Fisher (1977) sebagai suatu paket sistem
pengendapan seumur. Sistem pengendapan (depositional system) sendiri didefinisikan sebagai kumpulan
tiga dimensional dari berbagai litofasies yang secara genetik dihubungkan satu sama lain oleh prosesproses atau lingkungan pengendapannya (Fisher & McGowen, 1967). Jadi, systems tract adalah satuan
pengendapan tiga dimensional. Batas-batas systems tract dapat berupa onlap, downlap, dsb. Dalam
rekaman seismik, systems tract adalah satuan yang memperlihatkan keseragaman refleksi seismik dan
dibatasi oleh bidang-bidang terminasi strata. Satuan seperti itu disebut seismic-stratigraphic unit oleh
Brown & Fisher (1977); seismic sequence oleh Mitchum dkk (1977); dan seismic package oleh sejumlah
ahli lain.
Systems tract dikenal dari khuluk bidang pembatas dan geometri internalnya. Dalam satu siklus perubahan
muka air laut relatif, dikenal adanya tiga systems tract utama; masing-masing mencirikan tahap perubahan
muka air laut relatif yang berbeda-beda (gambar 2-13). Tata istilah yang berkaitan dengan systems tract
sering menimbulkan kerancuan. Untuk menghindarkan terjadinya kerancuan, kita perlu selalu mengingat
tujuan pembagian stratigrafi ke dalam satuan-satuan yang disebut systems tract itu. Systems tract
merupakan satuan yang dapat dipetakan dan berguna dalam prediksi stratigrafi karena mengandung
kelompok sistem pengendapan dengan paleogeografi dan polaritas pengendapan yang konsisten.
2.4.3 Lowstand Systems Tract
Systems tract paling bawah (jadi, secara stratigrafi berarti paling tua) dalam sekuen tipe-1 disebut lowstand
systems tract. Systems tract ini diendapkan pada perioda antara penurunan muka air laut relatif pada
offlap break dengan penaikan muka air laut relatif yang terjadi kemudian.
Penurunan muka air laut pada offlap break dari shelf-break margin akan menimbulkan efek yang ekstrim
terhadap sistem sungai. Sebelum terjadinya penurunan muka air laut relatif, sungai memiliki graded river
profile yang relatif tetap, di atas mana terjadi erosi dan di bawah mana terjadi pengendapan. Pada waktu
itu, sungai dapat dengan bebas memindahkan alurnya sebagai tanggapan terhadap perubahan muka air
laut yang terjadi di bawah graded river profile. Ketika muka air laut turun pada offlap break, profil sungai
harus menyesuaikan diri dengan alas kikis baru (lihat Bab 7). Sungai harus menoreh endapan-endapan

yang sebelumnya membentuk topset: endapan dataran aluvial, endapan dataran pantai, dan/atau endapan
paparan. Sedimen rombakan yang terbentuk akan langsung diangkut menuju bagian cekungan yang lebih
dalam. Pada waktu itu, sungai tidak lagi bebas lagi untuk memindahkan alurnya. Sedimen yang ada
didalamnya akan diangkut menuju satu titik fokus yang sama, yaitu bagian dalam dari cekungan. Tahap itu
merupakan fasa tidak stabil dimana proses-proses sedimentasi didominasi oleh kekandasan lereng pada
skala besar, bypassing lereng, dan pengendapan kipas bawah laut-dalam. Proses-proses itu terus
mendominasi rekaman stratigrafi pada tahap penurunan muka air laut relatif dan sistem sungai terus
didorong untuk menoreh endapan-endapan tua.
Pada waktu muka air laut relatif mencapai titik paling bawah, profil sungai kembali mengalami masa stabil
dan sistem topset-clinoform kembali terbentuk. Topset pertama yang terbentuk pada waktu itu akan terletak
onlap terhadap offlap break sebelum-nya. Pada mulanya, laju penaikan air laut relatif cukup rendah
sehingga laju pembentukan akomodasi topset juga rendah (gambar 2-15). Laju pembentukan akomodasi
yang rendah ini tidak sebanding dengan pemasokan sedimen yang tinggi. Karena itu, sistem pengendapan
akan berprogradasi. Bertambahnya laju pembentukan akomodasi kemudian dapat mengimbangi, bahkan
melebihi, laju pasokan sedimen sehingga akhirnya sistem pengendapan akan beragradasi dan
beretrogradasi membentuk transgressive systems tract.
Dari penjelasan di atas tampak bahwa lowstand systems tract terdiri dari dua bagian. Pertama, kipas
bawahlaut yang diendapkan selama penurunan muka air laut relatif. Kedua, sistem topset-clinoform yang
pada awalnya berpola progradasi, namun kemudian berpola aggradasi, yang terbentuk selama terjadinya
penaikan muka air laut relatif secara lambat. Bagian-bagian itu sebenarnya dapat dipandang sebagai dua
systems tract tersendiri karena keduanya mungkin tidak mencerminkan satu kesinambungan
pengendapan. Walau demikian, secara tradisional, keduanya dimasukkan ke dalam satu systems tract
karena batas antara keduanya tidak jarang berangsur, di dalam mana kipas bawahlaut menempati bagian
bawahnya (Posamentier dan Vail, 1988).
2.4.3.1 Lowstand Submarine Fan
Ada dua satuan yang dapat dikenal dalam lowstand submarine fan yakni kipas dasar cekungan
(basin floor fan) yang terletak di bagian bawah lereng dan kipas lereng (slope fan) yang terletak
pada lereng (gambar 2-14). Dalam literatur lama, kipas lereng sering disebut slope front fill. Van
Wagoner dkk (1988) menyatakan bahwa kipas dasar cekungan disusun oleh endapan kipas
bawahlaut yang terletak pada lereng bawah atau dasar cekungan. Proses pembentukan kipas
berasosiasi dengan erosi ngarai bawah laut dan penorehan paparan oleh sungai. Sedimen
silisiklastik tidak diendapkan di paparan atau lereng, melainkan langsung diangkut menuju
bagian cekungan yang lebih dalam melalui lembah torehan dan ngarai bawahlaut, untuk
kemudian membentuk kipas dasar cekungan. Alas dari kipas dasar cekungan, yang berimpit
dengan batas bawah lowstand systems tract, berkorelasi dengan batas sekuen tipe-1. Batas atas
dari kipas tersebut dapat berupa bidang downlap dari lowstand progradation wedge (jika yang
disebut terakhir ini berprogradasi cukup jauh) atau bidang downlap dari kipas lereng.
Pengendapan kipas dasar cekungan, pembentukan ngarai, dan erosi lembah torehan ditafsirkan
terjadi selama penurunan muka air laut relatif.
Menurut Van Wagoner dkk (1988), kipas lereng dicirikan oleh turbidit dan endapan aliran gravitasi di bagian
tengah atau bagian bawah dari lereng. Pengendapan kipas lereng dapat terjadi pada waktu yang
bersamaan dengan pem-bentukan kipas dasar cekungan atau dengan waktu pembentukan bagian bawah
dari lowstand wedge. Batas atas dari kipas lereng dapat berperan sebagai bidang downlap untuk bagian
tengah dan bagian atas dari lowstand wedge. Kipas lereng biasanya disusun oleh kompleks alur-tepi alur
(lihat Bab 9).

2.4.3.2 Lowstand Prograding Wedge


Lowstand prograding wedge adalah sistem topset-clinoform yang diendapkan selama naiknya muka air laut
relatif. Sistem ini dipisahkan dari transgressive system tract, yang terletak diatasnya, oleh bidang
progradasi maksimum (maximum progradation surface). Bidang itu menandai terjadinya perubahan
geometri tumpukan parasekuen dari geometri progradasional pada lowstand wedge menjadi geometri
retrogradasional pada transgressive systems tract.
Pada awalnya pengendapan lowstand prograding wedge hanya terbatas di sekitar muara lembah torehan
(gambar 2-15). Hanya sedikit, jika ada, akomodasi topset pada waktu itu; seluruh sedimen di-bypass
melewati topset kemudian diendapkan pada lereng klinoform. Pada waktu itu, lereng kemungkinan tidak
stabil dan pengendapan kipas terjadi sewaktu-waktu. Bagian bawah lowstand prograding wedge dapat
mengandung turbidit yang sering menunjukkan gejala seismik "shingled".
Ketika muka air laut relatif naik sedikit demi sedikit, lembah torehan mulai terisi oleh endapan
fluvial dan estuarium, dan topset dari prograding wedge mulai terbentuk. Peningkatan laju
penaikan muka air laut relatif menghasilkan asosiasi fasies yang mengindikasikan pertambahan
volume akomodasi, misalnya bertambah banyaknya batubara, serpih dataran limpah banjir, fasies
laguna, dan fasies yang mencirikan pengaruh pasut ke bagian atas serta ketidaksinambungan
tubuh-tubuh pasir endapan sungai. Perubahan menuju prograding systems tract yang ada
diatasnya dapat berlangsung secara berangsur maupun tiba-tiba. Batas ini dapat disebut bidang
progradasi maksimum, bidang transgresi, atau lowstand surface.
Lowstand prograding wedge seringkali mengandung lebih banyak pasir dibanding highstand
wedge yang terbentuk kemudian karena banyak memperoleh pasokan pasir hasil daur ulang dari
highstand topset. Karena sering terletak di atas highstand systems tract sebelumnya, yang bagian
atasnya kaya akan serpih, dan kemudian ditutupi oleh serpih transgressive system tract, lowstand
wedge dapat berperan sebagai jebakan stratigrafi.
2.4.4 Transgressive Systems Tract
Transgressive systems tract adalah systems tract yang berada di tengah-tengah sekuen tipe-1 maupun
sekuen tipe-2 (gambar 2-13, 2-16, 2-18). Sistem ini diendapkan pada suatu bagian dari fasa penaikan
muka air laut relatif, pada saat mana laju pertambahan volume akomodasi topset lebih tinggi dibanding laju
pemasokan sedimen. Sistem ini sebagian besar berupa topset, dengan sedikit klinoform, dan seluruhnya
memiliki geometri retrogradasional. Sistem-sistem pengendapan yang aktif pada saat terbentuknya
systems tract adalah sistem-sistem pengendapan topset seperti aluvial, paralik, dataran pantai, delta
paparan, dan paparan. Jenis sedimen yang sering ditemukan antara lain batubara serta endapan limpah
banjir, laguna, dan lakustrin. Sistem-sistem itu mengindikasikan rendahnya pasokan sedimen. Sistemsistem pengaliran mungkin ditutupi oleh air laut sedemikian rupa sehingga membentuk estuarium. Luasnya
paparan dan endapan yang dipengaruhi oleh pasut merupakan sebagian dari ciri transgressive systems
tract. Ke arah cekungan, transgressive systems tract dapat berkorespondensi dengan condensed section
yang mengindikasikan laju pengendapan yang sangat lambat. Condensed section dapat berupa serpih
glaukonitan, serpih organik, serpih fosfatik, maupun karbonat pelagik (lihat Bab 11).
Laju penaikan muka air laut tertinggi terjadi pada fasa pembentukan transgressive systems tract. Systems
tract ini berakhir ketika laju pertumbuhan volume akomodasi topset menurun hingga satu kondisi dimana
laju pertumbuhan tersebut sebanding dengan laju pemasokan sedimen. Produk kondisi itu disebut marine
flooding surface. Pada saat laju pertumbuhan dengan laju pemasokan sedimen mencapai kesetimbangan,
pola endapan akan berubah dari pola retrogradasi menjadi progradasi.

Topset dari transgressive systems tract cenderung mengandung persentase pasir lebih sedikit dibanding
systems tracts lain karena dalam proses pembentukan systems tract ini hanya sedikit terjadi bypassing
sedimen halus menuju bagian cekungan yang lebih dalam. Dengan kata lain, sedimen halus yang dikirim
pada waktu pembentukan transgressive systems tract ini hampir seluruhnya diendapkan pada topset.
Dengan demikian, transgressive systems tract sering mengandung lapisan penutup untuk reservoar
hidrokarbon. Kadang-kadang sedimen berbutir halus dalam systems tract ini juga berperan sebagai batuan
induk (lihat Bab 11). Posamentier & Allen (1993) mengusulkan satu komponen baru untuk transgressive
systems tract yang disebut komponen "healing phase". Mereka menunjukkan adanya baji-baji sedimen
yang terletak pada kaki klinoform transgressive systems tract yang ditafsirkan sebagai endapan rombakan
selama berlangsungnya transgresi. Sebenarnya baji-baji sedimen itu dapat ditafsirkan sebagai komponen
lowstand systems tract dari sekuen yang terbentuk kemudian atau sebagai nendat yang berasal dari
endapan highstand systems tract.
Sistem-sistem pengendapan yang ada di seluruh dunia dewasa ini umumnya membentuk transgressive
systems tract. Dewasa ini banyak terdapat paparan benua yang luas dan sebagian besar diantaranya
merupakan topset dari lowstand systems tract yang terbentuk paling akhir. Delta yang ada dewasa ini
umumnya berupa delta paparan. Dalam delta-delta itu, banyak kipas tidak aktif. Estuarium dan wilayah
pasang-surut banyak ditemukan di bagian baratdaya Eropa. Pantai timur AS, di lain pihak, didominasi oleh
proses mundurnya gosong pesisir dan laguna, sedangkan sedimentasi laut-dalam umumnya hanya berupa
turbidit yang terbentuk akibat nendatan dari lereng benua.
2.4.5 Highstand Systems Tract
Highstand systems tract adalah systems tract termuda, baik dalam sekuen sekuen tipe-1 maupun sekuen
tipe-2 (gambar 2-13, 2-18). Sistem ini merupakan sistem topset-clinoform yang terletak diantara maximum
flooding surface dan batas sekuen. Sistem ini terbentuk pada saat laju penaikan muka air laut mulai
menurun, setelah melalui masa puncak, pada saat mana laju pembentukan akomodasi lebih kecil
dibanding laju pemasokan sedimen (gambar 2-17). Penurunan laju penaikan muka air laut pada mulanya
menyebabkan terbentuknya geometri aggradasi, namun sedikit demi sedikit kemudian berubah menjadi
geometri progradasi. Sistem-sistem pengendapan yang ada pada tahap awal pembentukan highstand
systems tract mungkin sama dengan sistem-sistem pengendapan yang ada pada tahap akhir pembentukan
transgressive systems tract. Namun, menurunnya laju penaikan muka air laut serta terisinya wilayah
paparan melalui proses progradasi, menyebabkan berkurangnya volume batubara, serpih limpah banjir,
endapan laguna, dan endapan lakustrin yang diendapkan pada waktu itu. Tubuh-tubuh pasir endapan alur
makin lama makin banyak diendapkan dan sifatnya menerus.
Posamentier & Vail (1988) membahas berbagai model yang mengimplikasikan bahwa bagian teratas dari
highstand systems tract didominasi oleh endapan fluvial. Mereka menggunakan konsep "bay line" yang
didefinisikan sebagai sebuah garis di tempat mana profil sungai bersifat "graded" dan di tempat mana
proses-proses fluvial diagantikan oleh proses-proses paralik dan paparan. Garis itu juga merupakan titik
coastal onlap selama terjadinya penaikan muka air laut. Pada tahap akhir pembentukan highstand systems
tract, bay line mulai bermigrasi ke arah cekungan, sejalan dengan mulai menurunnya muka air laut relatif.
Pada waktu itu, menurut Posamentier dan Vail (1988), akomodasi fluvial yang berarti akan terbentuk.
Model ini terlalu sederhana dan telah menjadi salah satu penyebab timbulnya kesalahpahaman (lihat Miall,
1991; Shanley & McCabe, 1994).
2.4.6 Batas Sekuen Tipe-2 dan Shelf-margin Systems Tract
Penurunan muka air laut relatif mungkin hanya terjadi pada daerah proksimal dari highstand topset
sehingga muka air laut tidak sampai lebih rendah dibanding offlap break. Jika hal ini terjadi, batas sekuen

akan terbentuk, namun tidak berasosiasi dengan penorehan sungai atau pengendapan kipas bawahlaut.
Batas sekuen itu dapat dikenal dalam penampang seismik berdasarkan adanya perpindahan coastal onlap
hingga suatu posisi yang lebih kurang sejajar dengan offlap break dan terletak onlap terhadap topset
sekuen yang terbentuk sebelumnya (gambar 2-18). Batas sekuen seperti itu disebut batas sekuen tipe-2,
sedangkan systems tract yang dialasi oleh bidang ini disebut shelf-margin systems tract. Pada mulanya,
geometri systems tract ini sedikit progradasional, namun kemudian berubah menjadi aggradasional. Batas
antara shelf-margin systems tract dengan highstand systems tract terletak pada bidang dimana terjadi
perubahan pola tumpukan parasekuen: dari aggradasional menjadi retrogradasional. Di lain pihak, batas
antara shelf-margin systems tract dengan highstand systems tract dari sekuen sebelumnya merupakan
ketakselarasan yang samar dan mungkin hanya dapat dikenal dari perubahan pola tumpukan parasekuen:
dari pro-gradasional menjadi aggradasional. Shelf-margin systems tract mungkin sangat sukar untuk
dikenal dalam singkapan, core, atau well log, kecuali jika singkapannya sangat besar atau jika sumur yang
ada cukup rapat.
Batas sekuen tipe-2 dan shelf-margin systems tract kadang-kadang digunakan secara keliru dalam literatur
karena sulitnya untuk menemukan bukti terjadinya pergeseran coastal onlap ke arah cekungan, namun
tidak sampai melewati offlap break. Selain itu, resolusi rekaman seismik juga sering tidak cukup tinggi
untuk mendeteksi adanya perubahan kemiringan yang samar, misalnya sewaktu suatu topset terletak
onlap terhadap topset lain. Perubahan pola tumpukan parasekuen, dari progradasional menjadi
aggradasional, tidak bersifat definitif karena perubahan pola seperti itu dapat saja terjadi karena peristiwa
lain seperti penurunan laju suplai sedimen.
Dalam studi singkapan, batas sekuen tipe-2 sering digunakan untuk menamakan batas sekuen minor.
Perlu disadari bahwa batas sekuen tipe-2 dapat sebanding dengan sekuen tipe-1, tergantung pola
subsidensi tektonik dari cekungannya.
2.4.7 Lowstand Systems Tract pada Tatanan Ramp Margin
Berbagai systems tract yang telah dijelaskan di atas terbentuk pada tatanan shelf-margin, pada tatanan
mana kemiringan klinoform cukup besar sehingga memungkinkan terbentuknya sistem kipas bawahlaut.
Pada tatanan ramp margin, sebagaimana dijelaskan oleh Van Wagoner dkk (1988), lowstand systems tract
berwujud lowstand wedge yang tipis dan dapat dibedakan menjadi dua bagian (gambar 2-19). Bagian
pertama dicirikan oleh gejala penorehan sungai dan sediment bypassing melalui dataran pantai. Bagian ini
ditafsirkan terbentuk pada suatu fasa penurunan muka air laut yang cepat, hingga suatu saat dimana
penurunan itu mulai stabil. Bagian kedua dicirikan oleh endapan pengisi lembah torehan pada sub-bagian
proksimal dan satu atau lebih parasekuen set progradasional pada sub-bagian distal. Bagian ini ditafsirkan
terbentuk pada tahap awal penaikan muka air laut yang berlangsung lambat.
Selama penurunan muka air laut, pada tatanan ramp margin tidak terjadi bypassing sedimen menuju dasar
cekungan, melainkan pengendapan sedimen dalam bentuk baji-baji endapan yang miring ke arah
cekungan. Setiap baji endapan itu disebut force regressive wedge (Posamentier dkk, 1992). Rangkaian
force regressive wedge terletak diantara lowstand prograding wedge dan highstand prograding wedge dan
membentuk suatu systems tract tersendiri yang disebut force regressive wedge systems tract (Posamentier
dkk, 1992). Batas bawah dari force regressive wedge systems tract adalah regressive marine surface of
erosion, sedangkan batas atasnya adalah regressive subaerial surface of erosion. Regressive marine
surface of erosion berkorelasi dengan bidang ketidakselarasan non-bahari sehingga secara bersama-sama
keduanya berperan sebagai batas sekuen. Force regressive marine wedges sering didominasi pasir dan
dapat berperan sebagai reservoar yang menarik jika diselubungi oleh serpih. Beberapa contoh sekuen
stratigrafi untuk tatanan ramp margin disajikan Posamentier dkk (1992) serta Posamentier & Chamberlain
(1992).

Transgressive dan highstand systems tract pada tatanan ramp margin mirip dengan transgressive dan
highstand systems tract pada tatanan shelf-margin, dengan sedikit perbedaan dimana klinoform tidak
berkembang baik pada tatanan ramp margin.
2.4.8 Faktor-Faktor Pengontrol Batas-Batas Systems Tracts
Pembentukan systems tracts ditafsirkan oleh Van Wagoner dkk (1988) sebagai fungsi dari interaksi antara
guntara, pasokan sedimen, dan tektonik. Menurut penulis, selain itu ada satu faktor lain yang penting
karena mempengaruhi pembentukan bidang transgresi dan maximum flooding surface, yakni daerah
topset. Gambar 2-15 memperlihatkan hubungan antara akomodasi topset dengan systems tract dalam
suatu sistem sederhana yang dicirikan oleh subsidensi menerus dan guntara sinusoidal.
Beberapa kondisi yang menentukan pembentukan setiap tipe batas systems tract adalah sbb:
1. Batas sekuen tipe-1 (alas dari lowsand systems tract) terbentuk ketika laju penaikan muka air laut berharga
nol dan penurunan terjadi melewati offlap break. Waktu pembentukan batas ini merupakan fungsi dari
guntara dan subsidensi.
2. Batas antara lowstand fan dengan lowstand prograding wedge terbentuk ketika laju penaikan muka air laut
relatif berharga nol, namun kemudian diikuti oleh penaikan hingga melewati offlap break. Waktu
pembentukan batas ini merupakan fungsi dari guntara dan subsidensi.
3. Batas antara lowstand prograding wedge dengan transgressive systems tract terbentuk ketika laju
pembentukan akomodasi topset sama, atau sedikit lebih tinggi, dari laju pemasokan sedimen. Kondisi itu
mungkin terjadi ketika muka air laut pertama kali menutupi topset higstand systems tract yang terbentuk
sebelumnya. Waktu pembentukan batas ini merupakan fungsi dari guntara, subsidensi, pasokan sedimen,
dan luas topset.
4. Batas antara transgressive systems tract dengan highstand systems tract (yakni maximum flooding surface)
terbentuk ketika laju pembentukan akomodasi topset sama, atau sedikit lebih rendah, dibanding laju
pemasokan sedimen. Waktu pembentukan batas ini merupakan fungsi dari guntara, subsidensi, suplai
sedimen, dan luas topset.
Dari penjelasan singkat di atas tampak jelas bahwa pembentukan batas-batas systems tract dipengaruhi
oleh sejumlah faktor.
Volume suatu systems tract merupakan fungsi dari durasi dan laju pemasokan sedimen. Selain itu,
pemasokan sedimen juga memiliki kaitan lain dengan systems tract. Sebagai contoh, di daerah lintang
tinggi, rendahnya posisi muka air laut pada jaman es berasosiasi dengan adanya tudung es yang
mempengaruhi sistem pengaliran sungai. Faktor-faktor ini, serta sejumlah faktor lain (misalnya topografi
cekungan) akan menyebabkan terdistorsinya geometri sekuen ideal seperti yang dilukiskan pada gambar
2-15. Memang, sebenarnya sukar bagi kita untuk menemukan suatu penampang seismik yang mirip
dengan diagram ideal tersebut. Walau demikian, hal itu tidak mengandung pengertian bahwa model
tersebut salah. Memang, model tersebut hendaknya tidak digunakan sebagai sebuah "sablon" (template).
2.4.9 Jenis-Jenis Systems Tract Lain
Van Wagoner dkk (1990) menyatakan bahwa systems tract hendaknya ditentukan secara objektif
berdasarkan jenis-jenis bidang pembatasnya, posisinya dalam sekuen (jika hal ini dapat ditentukan), dan
berdasarkan geometri internalnya.
Ada dua systems tract yang tidak tercakup dalam skema penggolongan systems tract yang diajukan oleh
para peneliti Exxon. Berikut akan dijelaskan kedua systems tract tersebut.
Midstand systems tract (atau forced regressive systems tract dalam peristilahan Hunt dan Tucker,
1992) adalah suatu paket strata yang terbentuk ketika subsidensi tidak cukup besar untuk
melampaui laju pemasokan sedimen sehingga tidak memungkinkan terjadinya transgresi.

Systems tract ini kemungkinan besar terbentuk dalam cekungan dimana subsidensi tektonik
rendah atau negatif dan/atau laju pemasokan sedimen tinggi. Keberadaan midstand systems tract
orde-3 pada tepian cekungan telah dilaporkan oleh Jones dan Milton (1994) serta Milton dan
Dyce (1995), sewaktu mereka meneliti endapan Paleogen di Laut Utara. Di daerah shelf-break
margin (seperti Delta Rhone atau endapan Tersier di Laut Utara), midstand systems tract
mungkin terdiri dari satu satuan kipas dan prograding wedge. Di daerah ramp margin, systems
tract ini mungkin hanya akan disusun oleh prograding wedge.
Regressive systems tract (gambar 2-20) adalah systems tract teoritis yang "akan" terbentuk jika ada dua
perioda penaikan muka air laut yang cepat dan diselingi oleh satu perioda penaikan muka air laut yang
lambat atau apabila ada dua perioda pemasokan sedimen yang tinggi dan diselingi oleh satu perioda
pemasokan sedimen yang rendah. Batas bawah dari systems tract ini adalah maximum flooding surface,
sedangkan batas atasnya berupa maximum prograding surface sehingga secara keseluruhan systems
tract ini membentuk suatu prograding wedge. Geometri internal dari baji sedimen ini berubah dari
aggradasional menjadi progradasional dan kembali menjadi aggradasional. Regressive systems tract
kemungkinan akan terbentuk ketika siklus guntara lebih rendah dibanding subsidensi sehingga batas
sekuen tipe-2 sekalipun tidak dapat terbentuk sewaktu terjadi penurunan muka air laut global. Situasi lain
yang dapat menyebabkan terbentuknya systems tract ini adalah jika dalam perioda penaikan muka air laut
yang menerus, terjadi fluktuasi pasokan sedimen. Posamentier & James (1993) memper-kirakan bahwa
transgressive systems tract mungkin dapat terbentuk dalam foreland basin. Walau demikian, kedua peneliti
itu cenderung menamakan systems tract yang terbentuk dalam foreland basin dan tidak memiliki batas
sekuen bawah sebagai shelf-margin systems tract.
2.4.10 Composite Sequence dan Composite Systems Tracts
Mitchum & Van Wagoner (1991) mendefinisikan composite sequence sebagai "paket yang disusun oleh
sejumlah sekuen yang satu sama lain memiliki kaitan genetik, di dalam paket mana setiap individu sekuen
disusun oleh paket lowstand, transgressive, dan highstand systems tracts". Gambar 2-21 memperlihatkan
suatu composite sequence, sedangkan gambar 2-22 merupakan kurva perubahan muka air laut relatif
untuk composite sequence pada gambar 2-21.
Sebagian besar sekuen orde-2 dan banyak sekuen orde-3 mengandung batas-batas dari berbagai
sekuen yang ordenya lebih tinggi. Sebagai contoh, highstand systems tract dari suatu composite
sequence orde-2 dalam kenyataannya mungkin merupakan highstand sequence set, yakni
tumpukan sejumlah sekuen dari orde yang lebih tinggi, di dalam tumpukan mana topset
prograding parasequences bersifat dominan, walaupun endapan-endapan lowstand dari orde
yang lebih tinggi juga masih mungkin ditemukan dalam paket endapan ini. Konsep ini
dibuktikan kesahihannya oleh Jones & Milton (1994), dimana mereka menunjukkan bahwa
semua systems tract dari sekuen orde-2 Tersier di Laut Utara mengandung lowstand fans dari
orde yang lebih tinggi.
Dari penjelasan di atas ini jelas kiranya bahwa adalah suatu hal yang penting untuk menyatakan orde dari
systems tract atau sekuen yang dikomunikasikan. Selain itu, kita juga perlu ingat bahwa batas-batas
systems tract dalam composite sequence bersifat berangsur dan memperlihatkan gejala penjemarian
sekuen-sekuen atau systems tracts yang ordenya lebih tinggi.
2.4.11 Genetic Stratigraphic Sequences
Sekuen, sebagaimana telah dibahas di atas, merupakan satuan stratigrafi berdaur yang dibatasi oleh
ketakselarasan darat. Walau demikian, karena sifatnya yang mendaur, pemilihan bidang yang dipandang
sebagai pembatas gejala pendauran itu sebenarnya bersifat arbiter. Galloway (1989), yang diilhami oleh

gagasan-gagasan Frazier (1974), mengusulkan cara lain untuk membagi stratigrafi sedimen berdaur, yaitu
dengan menggunakan maximum flooding surface sebagai bidang pembatas daur. Dia kemudian
mendefinisikan genetic stratigraphic sequence sebagai suatu paket sedimen yang merupakan rekaman
perioda pengisian dan pertumbuhan-lateral dari cekungan, sedangkan batas-batasnya mencerminkan
perioda penutupan cekungan oleh massa air secara luas (gambar 2-23).
Satu hal yang disayangkan adalah dia menggunakan istilah "sekuen", bukan istilah "depositional episode"
seperti yang semula digunakan oleh Frazier (1974). Pemakaian istilah itu telah menimbulkan kerancuan.
Karena itu, dalam membaca makalah ilmiah yang diterbitkan pada akhir dekade 80-an dan awal dekade
90-an, kita perlu hati-hati mengingat sebagian peneliti menggunakan istilah sekuen dalam pengertian yang
diajukan oleh Mitchum (1977) sedangkan sebagian lain memakai istilah sekuen dalam pengertian yang
diajukan oleh Galloway (1989). Batas sekuen, maximum flooding surface, dan maximum prograding
surface semuanya merupakan bidang korelasi yang sahih dan dapat digunakan untuk membagi rekaman
stratigrafi. Setiap bidang tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Batas sekuen dapat dengan mudah dikenali keberadaannya dalam penampang seismik karena, seperti
telah dijelaskan pada 3.2.4, dicirikan oleh penurunan coastal onlap. Bidang itu mencerminkan terjadinya
bypassing sedimen dan resedimentasi ke arah cekungan, peristiwa mana berasosiasi dengan
pembentukan reservoar dan hydrocarbon play system. Karena itu, pengenalan batas sekuen memiliki nilai
praktis yang tinggi dalam eksplorasi migas. Waktu pembentukan batas sekuen tidak tergantung pada
variasi pasokan sedimen sehingga relatif seumur. Walau demikian, bidang ini sukar dikenal dalam log atau
core, sukar untuk ditentukan umurnya secara cermat (bidang ini terdapat dalam sedimen proksimal yang
seringkali steril akan fosil), serta sukar untuk ditelusuri ke arah cekungan (kecuali jika berasosiasi dengan
kipas bawahlaut).
Maximum flooding surface mudah diketahui keberadaanya dalam penampang seismik, bahkan tidak sukar
dikenali dalam log dan core. Proses pembentukan bidang ini juga sering berasosiasi dengan pembentukan
top seal dan batuan induk. Bidang ini dapat diwujudkan sebagai fasies bahari yang terkondensasikan serta
kaya akan fauna dan mudah untuk ditentukan umurnya. Bidang ini dapat ditelusuri keberadaannya ke arah
cekungan, karena berkorelasi dengan condensed interval, namun sukar ditelusuri keberadaannya ke arah
daratan. Kesulitan dalam menentukan bidang ini akan muncul apabila sistem yang ada tersusun dari
sejumlah lobe yang berprogradasi karena pada sistem seperti itu kita akan sukar untuk menentukan
dengan tepat lobe mana yang terletak paling dekat ke darat (ingat bahwa batas dari lobe seperti inilah yang
akan menjadi maximum flooding surface).
Maximum progradation surface, atau bidang transgresi, juga pernah diusulkan oleh beberapa peneliti untuk
dijadikan sebagai bidang pembagi stratigrafi. Bidang ini menandai progradasi paling jauh ke arah
cekungan. Sebagaimana maximum flooding surface, bidang ini juga mudah dikenali keberadaanya dalam
penampang seismik, singkapan, log, dan core. Umur bidang ini sukar ditentukan dengan cermat serta
sukar dikorelasikan ke arah darat. Selain itu, untuk sistem-sistem yang terdiri dari sejumlah lobe,
kesukaran juga muncul mengingat adanya kesukaran untuk menentukan lobe mana yang terletak paling
dekat ke darat.
Istilah sekuen biasanya sekarang hanya digunakan secara terbatas untuk menamakan satuan yang
dibatasi oleh ketidak-selarasan darat. Walau demikian, seperti dikemukakan oleh Loutit dkk
(1988), bidang yang paling mudah dikenal dalam cekungan adalah maximum flooding surface
dan condensed interval. Bidang-bidang itu dapat digunakan secara pragmatis pada tahap awal
untuk membagi rekaman stratigrafi ke dalam satuan-satuan yang dapat dipetakan. Prosedur ini
akan menghasilkan lahirnya sejumlah "sekuen" dalam pengertian seperti yang dikemukakan oleh
Galloway (1989). Tahap berikutnya, yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang
menyeluruh mengenai paleogeografi dan penyebaran fasies, adalah membagi rekaman yang ada

ke dalam sejumlah systems tracts. Pekerjaan ini hanya akan dapat dilaksanakan apabila kita
dapat mengenal batas-batas sekuen, bidang transgresi, dan maximum flooding surface.
2.5 SEKUEN STRATIGRAFI RESOLUSI TINGGI
2.5.1 Tinjauan Umum
Konsep daur stratigrafi yang pembentukannya dipengaruhi oleh fluktuasi muka air laut relatif
dikembangkan dengan memanfaatkan data seismik. Ancangan ini memiliki resolusi yang rendah
(resolusinya berkisar dari puluhan hingga ratusan meter). Karena itu, Posamentier & Weimer (1993)
menamakan sekuen stratigrafi yang didasarkan pada data seismik sebagai "sekuen stratigrafi resolusi
rendah" (low resolution sequence stratigraphy). Sekuen stratigrafi yang didasarkan pada data-data
singkapan, core, dan log disebut sekuen stratigrafi resolusi tinggi (high-resolution sequence stratigraphy).
Makin lama sekuen stratigrafi makin sering digunakan sebagai prosedur dalam memerikan
reservoar hidrokarbon (sebagai contoh, lihat Posamentier & Chamberlain, 1992; Reynolds,
1994). Karya tulis yang pertama-tama menyajikan konsep dan teknik penerapan konsep sekuen
stratigrafi resolusi tinggi adalah karya Van Wagoner dkk (1990).
2.5.2 Parasekuen dan Daur Kontinental yang Ekivalen dengannya
Sedimen laut dangkal umumnya tersusun dalam satuan-satuan yang makin kasar ke atas (gambar 2-24).
Satuan-satuan itu dapat dibedakan menjadi dua komponen. Pertama, lintap fasies yang mencerminkan
lingkungan yang makin dangkal ke atas; Kedua, lintap fasies yang mencerminkan lingkungan yang makin
dalam ke atas. Walau demikian, perlu diketahui bahwa "volume" kedua komponen itu di dalam satuan
endapan yang mengkasar ke atas tidaklah sama. Satuan yang mengkasar ke atas terutama disusun oleh
lintap fasies yang mencerminkan lingkungan yang makin dangkal ke atas, sedangkan lintap fasies yang
mencerminkan lingkungan yang makin dalam ke atas hanya berperan sebagai sisipan diantara komponenkomponen dominan tersebut. Komponen yang mencerminkan lingkungan yang makin dalam ke atas
kadang-kadang berwujud hardground atau omision surface yang menandai transisi dari fasies perairan
yang relatif dangkal menjadi fasies perairan yang lebih dalam.
Dalam terminologi sekuen stratigrafi, satuan seperti itu disebut parasekuen (parasequence). Van Wagoner
dkk (1990) men-definisikan parasekuen sebagai paket relatif selaras dari sejumlah lapisan atau himpunan
lapisan yang satu sama lain memiliki kaitan genetik serta dibatasi oleh marine flooding surface atau oleh
bidang lain yang korelatif dengannya. Untuk parasekuen yang terletak di dekat batas sekuen, maka batas
atas atau batas bawahnya dapat berupa batas sekuen.
Marine flooding surface adalah bidang yang memisahkan strata muda dari strata yang lebih tua, pada
bidang mana ditemukan bukti-bukti perubahan kedalaman ke arah atas. Proses peningkatan kedalaman
seperti itu biasanya disertai dengan erosi bawahlaut atau non-pengendapan serta mengindikasikan hiatus
minor. Marine flooding surface memiliki bidang yang korelatif dengannya, baik di bagian cekungan yang
lebih dalam maupun di tepi cekungan yang lebih dekat ke darat.
Cara pengenalan batas-batas parasekuen serta perbedaannya dengan batas sekuen telah dibahas
oleh Van Wagoner dkk (1990). Dalam karya tulis itu, mereka menyatakan bahwa batas-batas
parasekuen laut dangkal pada dasarnya berupa condensed horizon yang datar dan mencirikan
terjadinya peningkatan kedalaman yang tiba-tiba serta dapat dicirikan oleh adanya akumulasi
karbonat bahari, fosfat, atau glakonit. Batas-batas itu juga menandai tempat terjadinya perubahan
litologi dan ketebalan, serta kadang-kadang berasosiasi dengan lag deposits. Jika lag deposits
terdapat di batas itu, maka endapan tersebut akan disusun oleh material sedimenter hasil
rombakan sedimen yang terletak dibawahnya.

Parasekuen merupakan produk fluktuasi kesetimbangan antara pasokan sedimen dengan volume
akomodasi. Fluktuasi pasokan sedimen akibat proses-proses autosiklis, misalnya avulsi
(avulsion) dan perpindahan lobus, mungkin merupakan faktor utama yang mengontrol
pembentukan parasekuen. Walau demikian, perubahan muka air laut frekuensi tinggi mungkin
juga menjadi faktor pengontrol pembentukan parasekuen.
Parasekuen dibatasi oleh marine flooding surface. Karena itu, parasekuen tidak akan dapat dikenali
keberadaannya pada paket sedimen yang tidak mengandung rekaman perubahan kedalaman. Walau
masih harus dibuktikan dulu kebenarannya, kemungkinan besar paket yang mirip dengan parasekuen juga
dapat terbentuk dalam strata non-bahari, misalnya paket avulsi fluvial. Marine flooding surface mungkin
dapat dikorelasikan dengan lapisan batubara dan wet palaeosol di dataran pantai serta dengan batulumpur
limpah banjir (overbank mudstone). Tidak ada kriteria yang dapat digunakan untuk mengenal parasekuen
laut-dalam. Parasekuen memiliki satuan yang korelatif dengan salah satu tipe paket endapan pada lereng
klinoform. Parasekuen tidak memiliki satuan yang korelatif dengan fasies kipas dasar cekungan, kecuali
jika sedimen juga di-bypass menuju dasar cekungan. Mitchum & Van Wagoner (1991) memperkirakan
bahwa individu lobe atau leveed channel di laut dalam kemungkinan juga memiliki individu parasekuen
tersendiri.
2.5.3 Parasekuen Set
Van Wagoner dkk (1990) mendefinisikan parasekuen set (parasequence set) sebagai paket selaras yang
disusun oleh sejumlah parasekuen, di dalam lintap mana parasekuen-parasekuen itu memiliki kaitan
genetik, serta dibatasi oleh maximum flooding surface dan keselarasan yang korelatif dengannya (gambar
2-25). Apabila parasekuen mencerminkan individu topset dalam suatu systems tract, sebagaimana yang
tampak dalam rekaman seismik, parasekuen set biasanya mencerminkan keseluruhan komponen topset
tersebut.
Berdasarkan pola tumpukan vertikalnya, dapat dikenal adanya tiga jenis parasekuen set: parasekuen set
progradasional (progradational parasequence set), parasekuen set aggradasional (aggradational
parasequence set), dan parasekuen set retrogradasional (retrogradational parasequence set) (gambar 225 dan 2-26). Dalam parasekuen set progradasional, fasies yang terletak di atas suatu batas parasekuen
mengindikasikan lingkungan yang lebih dangkal dibanding fasies yang terletak di bawah batas parasekuen
itu. Dalam parasekuen set retrogradasional, fasies yang terletak di atas suatu batas parasekuen
mengindikasikan lingkungan yang lebih dalam dibanding fasies yang terletak di bawah batas parasekuen
tersebut. Dalam parasekuen set aggradasional, fasies yang terletak di atas suatu batas parasekuen
mengindikasikan lingkungan yang lebih kurang sama dengan lingkungan yang diindikasikan oleh fasies
yang terletak di bawah batas parasekuen tersebut.
Topset dari lowstand dan highstand prograding wedges umumnya berupa parasekuen set progradasional,
sedangkan transgressive systems tract berupa parasekuen set retrogradasional. Walau demikian,
parasekuen set dan systems tract tidak selalu sinonim seperti itu. Posamentier & James (1993)
memperlihatkan bahwa systems tracts yang terbentuk di daerah dengan laju subsidensi dan laju
pemasokan sedimen yang tinggi dapat disusun oleh sejumlah parasekuen set. Jadi, parasekuen set adalah
satuan pengendapan yang lebih tinggi tingkatannya daripada parasekuen, namun lebih rendah daripada
sekuen. Marine flooding surface utama yang membatasi parasekuen set dapat digunakan sebagai lapisan
penciri dalam korelasi regional.
2.5.4 Ketebalan Parasekuen
Ketebalan suatu parasekuen terutama dikontrol oleh kedalaman tempat ke arah mana garis pantai
berprogradasi. Kedalaman itu mencerminkan penaikan muka air laut. Dengan demikian, ketebalan

parasekuen merupakan produk dari interaksi antara laju penaikan muka air laut relatif dengan periodisitas
parasekuen.
Jika perioda parasekuennya relatif tetap, maka penaikan muka air laut yang lambat akan menyebabkan
terbentuknya parasekuen yang tipis, sedangkan penaikan muka air laut yang cepat akan menyebabkan
terbentuknya parasekuen yang tebal. Laju perubahan muka air laut itu sendiri dapat diketahui dari pola
perubahan ketebalan parasekuen. Gagasan seperti ini telah dikemukakan oleh Posamentier dkk (1988)
yang menyatakan bahwa lowstand prograding wedge dicirikan oleh parasekuen yang mengkasar ke atas
(hal mana mencerminkan peningkatan laju penaikan muka air laut relatif), sedangkan highstand prograding
wedge dicirikan oleh parasekuen yang menipis ke atas (hal mana mencerminkan penurunan laju penaikan
muka air laut relatif).
Analisis pola perubahan ketebalan parasekuen seperti itu hanya dapat diterapkan pada cakupan
yang terbatas. Sebagai contoh, parasekuen set retrogradasional sering memperlihatkan gejala
penipisan ke atas akibat penipisan setiap individu pararasekuen ke arah cekungan. Hal ini tidak
berkaitan dengan penurunan laju penaikan muka air laut. Analisis perubahan ketebalan
parasekuen atau parasekuen set itu juga mengasumsikan bahwa setiap parasekuen memiliki
frekuensi yang tetap, padahal asumsi itu seringkali tidak sahih untuk banyak kasus.
2.5.5 Batas Sekuen
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, batas sekuen dapat dikenal dalam rekaman seismik berdasarkan
penurunan coastal onlap, hal mana mengimplikasikan penurunan muka air laut relatif serta penyingkapan
dan pengerosian highstand topsets. Dalam core, well log, atau singkapan, perpindahan coastal onlap
seperti itu jarang terlihat. Karena itu, dalam rekaman lubang pengeboran atau singkapan, gejala
perpindahan seperti itu perlu dicari (gambar 2-27).
Facies dislocation adalah suatu bidang di atas mana terdapat fasies laut dangkal, sedangkan di
bawah bidang itu terdapat fasies lingkungan yang jauh lebih dalam. Dengan demikian, gejala
perubahan fasies yang berangsur seperti yang diimplikasikan oleh Hukum Walther telah
"terdislokasi". Gejala dislokasi ini mungkin jelas terlihat, misalnya ketika suatu lapisan batubara
terletak di atas batulumpur paparan luar. Walau demikian, gejala inipun mungkin tidak tampak
jelas, misalnya ketika lower shoreface facies ditindih langsung oleh upper shoreface facies, tanpa
adanya endapan transisi yang berupa middle shoreface facies. Dalam tatanan laut dangkal, gejala
dislokasi fasies sering berasosiasi dengan terjadinya perubahan besar butir yang tiba-tiba.
Dislokasi fasies mengindikasikan terjadinya penurunan muka air laut relatif dan pembentukan
ketakselarasan daratan. Walau demikian, jejak-jejak dari kedua peristiwa itu akan lebih jelas
terlihat di daerah yang terletak lebih dekat dengan daratan. Di lain pihak, gejala dislokasi fasies
sendiri lebih jelas terlihat pada highstand topsets yang terletak lebih dekat dengan pusat
cekungan serta pada highstand clinoform. Keseluruhan gejala tersebut di atas mencirikan bidang
ketakselarasan atau keselarasan yang korelatif dengannya dan, oleh karena itu, juga menjadi ciriciri batas sekuen.
Lembah torehan (incised valley) telah dijelaskan oleh Van Wagoner dkk (1990) sebagai sistem fluvial yang
alurnya memasuki wilayah yang semula berupa paparan dan bekerja di tempat itu sebagai bentuk
tanggapan sistem tersebut terhadap penurunan muka air laut relatif. Di daerah paparan, endapan lowstand
pengisi lembah torehan bagian bawahnya dibatasi oleh batas sekuen, sedangkan di bagian atasnya
dibatasi oleh bidang transgresi. Gejala dislokasi fasies mungkin terjadi di bagian dasar lembah torehan.
Untuk membuktikan keberadaaan lembah torehan, kita perlu melakukan pengamatan yang seksama
terhadap singkapan berukuran besar atau terhadap data-data sumur yang rapat.

Lembah torehan dibedakan dari alur sungai biasa dari ukurannya yang lebih dalam dan lebih besar
dibanding individu alur biasa, bahkan dari satu individu sabuk alur sungai. Level lembah torehan lebih
rendah dibanding level alur di muara sungai. Lembah itu sering diisi oleh fasies aluvial yang merupakan
bagian proksimal dari bagian akhir lowstand prograding wedge. Walau demikian, lembah itu mungkin pula
diisi oleh fasies estuarium atau fasies bahari yang diendapkan sebagai bagian dari highstand systems
tract.
Pada daerah yang terletak diantara lembah torehan dan daerah proksimal, batas sekuen kemungkinan
sangat sukar dikenal. Bukti-bukti penyingkapan permukaan seperti paleosol, gejala oksidasi, dan gejalagejala pelapukan hanya terjadi pada bagian terluar dari batuan sehingga kemungkinan akan tersapu pada
waktu terjadi erosi yang berasosiasi dengan transgresi. Bidang yang menandai terjadinya erosi seperti itu
disebut bidang erosi-transgresi (E/T surface) (Walker dan Eyles, 1991). Satu-satunya bukti yang mungkin
dapat digunakan adalah transgressive lag yang sering memiliki besar butir jauh lebih besar dibanding
endapan yang terletak dibawahnya atau mengandung partikel-partikel lain yang bukan berasal dari
endapan dibawahnya.
Pada kasus tertentu yang jarang ditemui, batas sekuen dapat dikenal dari gejala pemancungan
parasekuen di bagian bawah (lihat contoh yang diberikan oleh Van Wagoner dkk, 1990). Walau demikian,
kriteria ini hendaknya diterapkan dengan ekstra hati-hati, mengingat batas-batas parasekuen sendiri
bersifat erosional.
2.5.6 Maximum Flooding Surface
Dalam well log, core, atau singkapan, maximum flooding surface dikenal keberadaannya sebagai bidang
utama yang memisahkan endapan transgresi (retrogradational parasequence sets) dari endapan regresi
(progradational parasequence sets) yang terletak diatasnya. Di daerah proksimal, maximum flooding
surface mungkin terletak di atas aggradational parasequence sets, sedangkan di daerah distal bidang ini
dapat diwakili oleh condensed section. Condensed section sendiri dapat dicirikan oleh log facies atau
litofasies yang khas seperti horizon yang kaya akan glaukonit, lapisan rijang, lapisan batugamping, atau
lapisan serpih dengan kadar radioaktif tinggi atau berkecepatan seismik rendah. Keunikan condensed
section dan tersebar luasnya endapan yang ekivalen dengan condensed section menyebabkan bidang
tersebut menjadi tipe bidang sekuen stratigrafi yang paling mudah dikenal keberadaannya (Loutit dkk,
1988). Istilah condensed section sinonim dengan istilah bidang hiatus (hiatal surface) yang digunakan oleh
Galloway (1989) sebagai batas genetic stratigraphic unit.
Perlu dicamkan bahwa ada sejumlah condensed section yang tidak ekivalen dengan maximum
flooding surface, misalnya condensed section yang memisahkan kipas dasar cekungan dengan
kipas lereng, condensed section yang memisahkan kipas lereng dengan lowstand prograding
wedge, serta condensed section yang merupakan bidang avulsi utama dalam suatu systems tract.
2.5.7 Ravinement Surface
Ravinement surface adalah bidang erosi yang terbentuk selama berlangsungnya transgresi.
Swift (1968) memaparkan bahwa paket-paket endapan transgresi dalam cratonic basin umumnya terletak
disconformably di atas strata yang terletak dibawahnya. Strata yang terletak di bawah paket-paket endapan
transgresi itu dapat berupa endapan yang telah terbentuk sebelumnya. Walau demikian, strata itu
umumnya berupa endapan laut tepian yang satu generasi dengan paket-paket endapan transgresi yang
menindihnya.
Orang yang pertama-tama menyadari kebenaan bidang disconformity seperti tersebut adalah Stamp
(1921). Dalam makalah yang disusunnya, dia memperlihatkan bahwa surf zone dari laut yang sedang

bertransgresi dapat menyebabkan tertorehnya endapan di daerah pantai. Disconformity yang dihasilkan
oleh proses seperti itu kemudian dinamakannya ravinement.
Salah satu mekanisme pembentukan bidang ravinement adalah bermigrasinya gisik atau gosong pesisir ke
arah daratan. Ketika muka air laut naik, sedimen di bagian upper shoreface akan tererosi, kemudian
diendapkan di bagian lower shoreface, di lepas pantai sebagai endapan badai, atau dalam laguna sebagai
washover fan (gambar 2-29).
Luas penyebaran bidang erosi yang terbentuk di daerah pesisir tergantung pada laju penaikan
muka air laut. Di daerah yang laju subsidensinya tinggi atau laju penaikan muka air lautnya
tinggi, endapan transgresi yang lengkap akan dapat terawetkan. Di lain pihak, pada daerah yang
laju subsidensinya rendah atau laju penaikan muka air lautnya rendah, bidang erosi menjadi lebih
jelas terlihat dan paket endapan transgresi tidak terawetkan dengan lengkap (Fischer, 1961).
Selama berlangsungnya transgresi, ravinement surface berlaku seperti sabuk fasies yang bergerak sejajar
dengan sabuk fasies pantai. Dengan cara seperti itu, ravinement surface kemungkinan menjadi bidang
pembatas parasekuen atau parasekuen set. Ravinement surface utama dapat menjadi bidang penciri
transgresi (yakni sebagai pembatas antara lowstand systems tract dan transgressive systems tract).
2.5.8 Masalah dan Ranjau dalam Penerapan Sekuen Stratigrafi Resolusi Tinggi
Penerapan konsep-konsep sekuen stratigrafi resolusi tinggi terhadap sejumlah data bawah permukaan
tidak mudah dilakukan. Ada beberapa permasalahan yang perlu dipecahkan, yaitu:
1. Pengenalan parasekuen, dan tatanan pengendapan dari paket endapan yang diteliti, sukar untuk dilakukan
apabila kita tidak memiliki core control, kontrol biostratigrafi yang baik, atau indikator seismik dari tatanan
cekungan.
2. Korelasi parasekuen mungkin tidak dapat dilakukan secara langsung. Parasekuen sering sangat mirip satu
sama lain. Pengkorelasian ini akan lebih mudah dilakukan apabila jarak sumur cukup dekat, jika
parasekuen yang akan dikorelasikan memiliki bentuk log yang khas, atau jika parasekuen itu mengandung
lapisan penciri litologi, misalnya lapisan batubara.
3. Pengenalan batas sekuen tidak mudah dilakukan untuk daerah-daerah yang terletak diantara lembah
torehan dan untuk batas-batas sekuen yang tersisip diantara sejumlah parasekuen.
4. Pembedaan antara lembah torehan dengan alur yang bukan merupakan lembah torehan seringkali sukar
dilakukan. Untuk itu, Van Wagoner dkk (1990) memberi beberapa petunjuk untuk membedakannya.
5. Batas systems tract dapat dikenal karena merupakan bidang terminasi dari garis-garis korelasi parasekuen.
Bidang itu secara garis besar dibedakan menjadi tiga tipe: (a) bidang onlap; (b) bidang pemancungan, dan
(c) bidang pembajian. Dalam prakteknya, kita sering tidak tahu bidang terminasi seperti apa yang sedang
kita hadapi dan, oleh karena itu, kita juga tidak mengetahui khuluk dari bidang tersebut.
6. Dalam singkapan, sekuen stratigrafi resolusi tinggi relatif lebih mudah dilakukan. Dalam singkapan sejumlah
besar informasi fasies dapat diperoleh dan bidang-bidang yang ada dapat ditelusuri penyebarannya
dengan cara yang relatif mudah. Walau demikian, pembedaan antara lembah torehan dengan lembah yang
bukan merupakan lembah torehan masih sukar untuk dilakukan, walaupun idealnya dasar dari lembah
torehan dapat ditelusuri secara lateral hingga berakhir pada bidang penyingkapan atau bidang erosi.
Singkapan di bumi ini umumnya tidak menerus dan pengkorelasian antar singkapan tidak jarang juga
menimbulkan permasalahan. Dalam singkapan ini tidak ada data seismik yang memungkinkan kita untuk
mengetahui geometri strata secara umum. Walau demikian, tebing-tebing berukuran raksasa kadangkala
memberikan informasi mengenai geometri strata itu (sebagai contoh, lihat karya Boselini, 1984)

Anda mungkin juga menyukai