Anda di halaman 1dari 13

Mohammad Basyuni: Konsep Ekonomi Lingkungan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Menuju Pembangunan, 2001

USU Repository2006

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR . ......... ................................................ .................... ......... i


DAFTAR ISI .ii
I. PENDAHULUAN................................. .1
II. KONSEP EKONOMI LINGKUNGAN.3

A. Konsep Ekternalitas ................................................................................... 3


B. Pembangunan yang Berkelanjutan ..4

III. PEMBAHASAN6

A. Memperkirakan Biaya Pencemaran.....6


B. Pembatasan secara Sah terhadap Hak Penguasaan .................................... 6
G. Harga sebagai Refleksi dari Struktur Insentif ........................................... 7
D. Gontoh Kasus HTI : Sebuah Ilusi Kebijakan yang
Mendukung Keberlanjutan ..........................................8

IV. KESIMPULAN . ................... . 10


DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 11

ii
Mohammad Basyuni: Konsep Ekonomi Lingkungan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Menuju Pembangunan, 2001
USU Repository2006

I. PENDAHULUAN

Pembangunan dalam kacamata ekonomi berarti peningkatan kesejahteraan material


manusia melalui peningkatan konsumsi berbagai barang dan jasa. Peningkatan kesejahteraan
non-material yang juga merupakan bagian dari konsep pembangunan Indonesia berada di luar
jangkauan teori ekonomi konvensional. Untuk dapat meningkatkan konsumsi material
manusia harus meningkatkan pendapatannya melalui peningkatan produksi, yaitu
memanfaatkan segala sumberdaya seperti tenaga kerja, keahlian, tanah, modal, dan
kewirausahaan (entrepreneurship) untuk menghasilkan lebih banyak barang dan jasa.
Sedangkan pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan
masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan
mereka sendiri (WCED. 1988) Oleh karena itu, kemampuan sumberdaya-sumberdaya alam
dan lingkungan dalam meneropong proses masa depan perlu dilestarikan.
Dalam kegiatan ekonomi suatu masyarakat yaitu kegiatan mengkonsumsi dan
memproduksi barang dan jasa, teori ekonomi menempatkan manusia pada dua peran.
Pertama, sebagai aktor atau pelaku kegiatan ekonomi, yaitu pihak yang melakukan kegiatan
konsumsi atau kegiatan produksi. Kedua sebagai incident atau pihak yang terkena pengaruh
kegiatan ekonomi. Pengaruh ini dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Dari sisi
lain, kedua pengaruh tadi, baik yang langsung maupun tidak langsung dapat bersifat positif
atau negatif. Positif, jika meningkatkan kesejahteraan manusia yang terkena dampak negatif,
jika menurunkan kesejahteraan pihak yang terkena ( Ahmad. 1992)
Karena ekonomi merupakan sistem terbuka, maka ketiga proses dasarnya (ekstraksi,
prosesing/fabrikasi, dan konsumsi) masing-masing menghasilkan residual (limbah) yang
akhirnya kembali ke lingkungan. Terlalu banyak di tempat dan pada waktu yang salah
(terlalu lama) akan menyebabkan perubahan biologis dan perubahan lainnya (kontaminasi.),
yang selanjutnya dapat mengganggu atau merusak tanaman/hewan dan ekosistemnya
(pencemaran).

Jika

kerusakan

tersebut

selanjutnya

berpengaruh

negatif

terhadap

kesejahteraan manusia, maka hal ini memenuhi batasan ekonomi pencemaran. Batasan
ekonomi dari pencemaran,

1
Mohammad Basyuni: Konsep Ekonomi Lingkungan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Menuju Pembangunan, 2001
USU Repository2006

mensyaratkan dua hal, yaitu terjadinya pengaruh fisik terhadap lingkungan dan reaksi
manusia terhadap pengaruh fisik yang bersangkutan. Dalam bahasa ekonomi, telah terjadi
kerugian (berkurang kesejahteraan) yang tidak dikompensasi, karena adanya biaya eksternal
yang berkaitan dengan disposal limbah ke media lingkungan, yang melahirkan biaya sosial
yang harus ditanggung masyarakat (Turner. Pearce & Bateman, 1994)

2
Mohammad Basyuni: Konsep Ekonomi Lingkungan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Menuju Pembangunan, 2001
USU Repository2006

II. KONSEP EKONOMI LINGKUNGAN

A.

Konsep Eksternalitas (Biaya Sosial)


Eksternalitas terjadi bila suatu kegiatan menimbulkan manfaat atau biaya bagi kegiatan

atau pihak di luar pelaksana kegiatan tersebut. Eksternalitas dalam biaya inilah yang disebut
pula sebagai biaya sosial. Perbincangan mengenai biaya sosial ini sesungguhnya berkaitan
dengan masalah pencemaran lingkungan yang sebagai akibatnya adalah kerusakan
lingkungan hidup yang dapat dianggap sebagai biaya pembangunan ekonomi (Soeparmoko,
1989).
Biaya ekternalitas juga timbul dengan adanya penebangan hutan, karena banyak
pengusaha telah menebang tanpa memperhatikan aturan main yang telah ditetapkan oleh
pemerintah, sehingga membahayakan kelangsungan pembangunan berhubungan dengan
jumlah kayu yang dipasok ke industri kayu dikhawatirkan semakin menurun jumlahnya.
Dengan penebangan hutan akan hancur pula sumber plasma nutfah dan meningkatkan laju
erosi dan resiko banjir. Pada gilirannya erosi dan banjir akan menghancurkan kesuburan
tanah, memperpendek umur waduk, mendangkalkan saluran irigasi, dan merusak tanaman.
Setiap kegiatan itu memiliki biaya yang harus dibayar sendiri (internal cost.), ternyata juga
menciptakan biaya yang harus dipikul orang lain (external cost). Oleh sebab itu biaya
lingkungan itu nyata dan harus dipertimbangkan dalam kegiatan pembangunan.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Saemarwoto (1989) bahwa dalam dunia yang
fana ini tidak ada yang gratis. Apabila seseorang ingin memperoleh sesuatu tanpa membayar,
pasti ada prang lain yang harus membayar biaya yang diperlukan untuk memperoleh sesuatu
yang dianggap menguntungkan. Contohnya bila ada orang yang membuang limbah ke
sungai; pada hakekatnya ia menggunakan sungai untuk mengangkut limbah secara gratis.
Namun orang lain yang harus memikul biaya pengangkutan limbah yaitu dalam bentuk
penurunan hasil ikan atau biaya penjernihan air minum yang lebih tinggi yang harus
dikeluarkan oleh PAM.
Dampak yang dituju oleh kegiatan ekonomi tetapi dirasakan pihak selain pelaku disebut
eksternalitas (externalities). Konsumen dan produsen tidak memasukkan eksternalitas ini,
baik yang positif maupun yang negatif, sebagai
3
Mohammad Basyuni: Konsep Ekonomi Lingkungan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Menuju Pembangunan, 2001
USU Repository2006

keuntungan atau biaya dari kegiatan ekonomi yang dilakukannya. Di dalam konsep
pembangunan berkelanjutan (Sustainable development) dikenal istilah eksternalitas
ekonomi (economic externalities), eksternalitas ekologi (ecological externalities) dan
eksternalitas sosial (Social externalities) (Ahmad, 1992). Selain itu, teori ekonomi juga
menawarkan alternatif bagi pengelolaan imbas-pengaruh kegiatan ekonomi (impact ad
incident), juga mencakup bahkan menekankan peran manusia sebagai aktor atau pelaku
kegiatan ekonomi (Ahmad. 1992).

B. Pembangunan yang Berkelanjutan


Pembangunan berkelanjutan sebagai proses peningkatan kesejahteraan masyarakat luas
suatu bangsa secara terus-menerus dan dalam kurun waktu yang mencakup antar generasi.
Dalam ekonomi, keberlanjutan pembangunan menunjuk pada kemampuan untuk tumbuh dan
berubah secara terus-menerus agar masyarakat dapat menikmati tingkat kesejahteraan yang
sekurang-kurangnya sama dari waktu ke waktu dan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam upaya mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, sedikitnya ada tiga komponen
keberlanjutan yang harus dicapai secara simultan untuk mewujudkan kondisi keberlanjutan
yang harus dicapai secara simultan untuk mewujudkan kondisi pembangunan yang
berkelanjutan. Ketiga komponen itu ialah keberlanjutan ekonomi (economic sustainability),
berkelanjutan ekonomi (ecological sustainability) dan keberlanjutan sosial (social
sustainability) (Ahmad, 1992).
Secara ringkas, pendekatan kebijaksanaan yang sistemik bagi pembangunan
berkelanjutan bertumpu pada empat unsur kebijaksanaan berikut:
1. Menetapkan harga yang benar (get tire priceright) untuk memberikan insentif yang sesuai
bagi pelaksanaan ekonomi untuk mengarahkan kegiatannya ke tujuan economic
sustainability yang diinginkan.
2. Menetapkan regulasi yang benar (get tire regulation tight) untuk menghentikan
perusakan lingkungan dan sumberdaya tanpa menimbulkan distorsi dalam bidang lain.
3. Menetapkan instalasi yang benar (get tire instalation right) untuk meneraskan fungsi,
wewenang dan tanggung jawab antar lembaga dan anggota masyarakat.

4
Mohammad Basyuni: Konsep Ekonomi Lingkungan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Menuju Pembangunan, 2001
USU Repository2006

4. Menetapkan dasar hukum dan pelaksanaannya yang benar (get the law and its
enforcement right) untuk memastikan bahwa ketiga unsur lain dijalankan dengan cara
yang sah (legitimate).

5
Mohammad Basyuni: Konsep Ekonomi Lingkungan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Menuju Pembangunan, 2001
USU Repository2006

III. PEMBAHASAN

A.

Memperkirakan Biaya Pencemaran


Biaya pencemaran yang tidak dapat diukur dengan mudah disebut intangible cost atau

non pecuniary cost, seperti asap yang memedaskan mata, limbah I sungai yang mematikan
banyak ikan. Salah satu cara untuk menentukan biaya pencemaran adalah dengan melihat
tingkat harga, tetapi bila tidak dapat secara langsung mengetahui harga pasar untuk kerugian
karena polusi, maka harus ditemukan cara lain, yakni menggunakan harga barang lain
seperti berapa nilai udara bersih dan nilai air yang bersih dengan cara melihat kesediaan
membayar bagi pengurangan pencemaran itu. Apabila kita telah mengetahui berapa nilai
hilangnya pencemaran untuk setiap orang, maka kita dapat menjumlahkannya untuk
memperoleh perkiraan biaya marginal dari pencemaran itu.
Cara lain adalah dengan pemberian subsidi terhadap penekanan jumlah pencemaran
apakah dengan mensubsidi pembelian alat-alat penanggulangan pencemaran atau subsidi
untuk mengganti kerugian bila diadakan penekanan volume pencemaran di bawah standar
yang diijinkan.

B.

Pembatasan Secara Sah Terhadap Hak Penguasaan


Dalam hal ini Siapa yang bertanggung jawab terhadap biaya sosial akhirnya

dilimpahkan kepada pemerintah untuk mengaturnya secara legal, contoh : sebuah pabrik
yang membuang limbah ke udara, air, lautan dan pabrik tersebut tidak mengeluarkan biaya
apa-apa untuk pembuangan limbah tersebut dan bila limbah yang dibuang tersebut tidak
menimbulkan dampak yang merugikan kepada siapapun berarti biaya swasta dan biaya
sosial identik dengan nol dan keputusan produsen secara perorangan (swasta) tidak efisien
secara sosial. Namun, bila pembuangan limbah tidak sama dengan nol maka biaya sosial
tidak lama dengan nol Biaya swsata dan biaya sosial tidak sama dengan dengan keputusan
swasta untuk memaksimumkan keuntungan menjadi tidak efisien dalam arti sosial.
Misalnya, pabrik semen yang menghamburkan debu ke udara dan mengganggu penduduk
sekitarnya, tetapi produsen tersebut tidak membayar apa-apa ke penduduk maupun
pemerintah dalam bentuk pajak, maka akan timbul kecendrungan
6
Mohammad Basyuni: Konsep Ekonomi Lingkungan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Menuju Pembangunan, 2001
USU Repository2006

masyarakat akan menghadapi harga semen terlalu rendah dan menggunakannya secara
berlebihan karena tidak memasukkan biaya sosial dalam perhitungan biaya perusahaan.

C.

Harga Sebagai Refleksi dari Struktur Intensif


Aplikasi mekanisme pasar dalam konsep pembangunan berkelanjutan menuntut

perubahan dalam sistem penetapan harga. Perubahan ini mensyaratkan perhitungan


eksternalitas dalam negatif dari suatu kegiatan ekonomi dimasukkan sebagai biaya dalam
perhitungan bisnis. Penggunaan konsep ini juga menuntut konsumen untuk dapat menerima
biaya ekternalitas itu sebagai bagian dari harga barang yang harus dibayar, serta meminta
konsumen untuk menghargai rente ekonomi yang mencerminkan nilai kelangkaan
sumberdaya yang dihasilkan melalui proses akumulasi alami. Rente ekonomi itu sendiri
harus direinvestasikan untuk pemeliharaan keberlanjutan sumberdaya alam, atau untuk
menghasilkan suatu kapasitas produktif baru yang euivalen dengan jenis nilai yang hilang
dari suatu sumberdaya tak terbarukan (unrenwable) yang terpakai.
Karena itu stategi penetapan harga yang ideal untuk mendukung pembangunan
berkelanjutan harus memasukkan nilai kelangkaan alami dan nilai ekternalitas dari suatu
harga sebagai tambahan biaya faktor produksi. Kekeliruan dalam penetapan harga
sumberdaya alam dan kegiatan-kegiatan ekonomi yang menurunkan kualitas lingkungan akan
menjadi insentif yang menyesatkan dan mengarahkan manusia pada pemborosan sumberdaya
dan perusakan lingkungan. Dalam perspektif untung rugi ini, pajak dan subsidi merupakan
dua instrumen yang paling tidak distortif sifatnya untuk memperbaiki harga (to get the price
right).
Dan

sudut

ekonomi,

penggunaan

pendekatan sistemik dalam pembangunan

berkelanjutan menjadi konsep intervensi kebijakan yang optimal. Pasar tidak dapat
diandalkan mengoreksi masalah ketidaksempurnaan sendiri. Adanya fenomena eksternalitas
dan barang publik, misalnya fungsi ekologis lingkungan; karena inheren menyebabkan
kegagalan mekanisme pasar bebas. Karena itulah kita memerlukan intervensi kebijakan untuk
mengoreksi ketidaksempurnaan itu melalui mekanisme pajak dan subsidi.

7
Mohammad Basyuni: Konsep Ekonomi Lingkungan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Menuju Pembangunan, 2001
USU Repository2006

D.

Contuh Kasus HTI : Sebuah ilusi tentang Kebijakan yang Mendukung

Keberlanjutan
Semua pihak tentu sepakat dan mendukung kebijakan pemerintah dalam
pembangunan HTI (Hutan Tanaman Industri) yang bertujuan mendukung industri kayu dan
kertas, serta menunjang kelestarian hutan alam Indonesia. Agaknya karena itulah
pemerintah mensponsori pembangunan HTI dengan memberikan berbagai insentif. Jika
dicermati, benarkah kebijakan itu dapat mendukung kelestarian hutan alam atau bersifat
pro-sustainable ?
Teori ekonomi mengungkapkan bahwa produsen akan mencari substitusi jika bahan
baku yang biasa dipergunakan menjadi lebih mahal. Tidak masuk akal bagi perusahaan
untuk mencari bahan baku alternatif selama bahan baku yang biasa dipergunakan masih
sangat murah harganya. Prinsip ini berlaku juga pada kayu alam menjadi bahan baku utama
industri kayu. Selama harga kayu alam masih sangat murah, tidak terdapat insentif ekonomi
yang murni untuk memproduksi bahan baku alternatif dengan membangun HTI. Bagi
pengusaha, kayu dari HTI pasti lebih mahal dibanding dari kayu hutan alam, karena harus
dihasilkan dari proses investasi jangka panjang. Karena itu sukar mengharapkan HTI
terwujud seperti yang dicita-citakan pemerintah, betapapun banyak insentif yang ditawarkan
untuk pengembangannya.
Teori ekonomi menyebutkan, jika ada pengusaha yang membangun HTI mungkin saja
untuk tujuan lobi, public relation, dan menikmati insentif yang ditawarkan terutama dana
murah yang tentu saja selalu dapat dialihkan dan dimanfaatkan untuk keperluan lain.
Untuk pembangunan dan mengembangkan HTI, pemerintah memberikan tiga macam
insentif yang sangat memikat. Pertama, penyertaan dana pemerintah dalam unit HTI dan
kesempatan memperoleh pinjaman dengan suku bunga 0 %. Secara keseluruhan sebuah HTI
berhak mendapatkan dana gratis sebesar 46 % dari total aset perusahaan tersebut. Kedua,
rabat dari jumlah kewajiban pajak bumi dan bangunan yang dikenakan atas wilayah HTI
yang luas ekonominya ditentukan secara resmi sebesar 300.000 ha untuk HTI pulp dan
60.000 ha untuk HTI kayu gelondongan. Untuk memenuhi skala ekonomis resmi wilayah
HTI seperti ini memberi kemungkinan bagi perusahaan status atau konversi dari berbagai
kategori hutan non produksi (termasuk hutan lindung dan suaka alam) menjadi wilayah HTI.
8
Mohammad Basyuni: Konsep Ekonomi Lingkungan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Menuju Pembangunan, 2001
USU Repository2006

Kasus perubahan status sebagian kawasan Taman Nasional Plehairi menjadi kawasan HTI
merupakan salah satu contoh implementasi peraturan pemerintah ini.
Ketiga, dalam pelaksanaan pemberian HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan Tanaman
Industri) pemerintah juga memberi kesempatan bagi konversi kawasan HPH yang sudah
rusak menjadi HPHTI. Dengan praktek ini, pengusaha HPH yang tidak menjalankan
kewajibannya melakukan penanaman kembali (replanting) dan pengayaan kembali
(enrichment planting) atas biaya sendiri di samping kewajiban membayar Dana Reboisasi
mendapat kesempatan untuk mengkonversi wilayahnya menjadi HTI dan menanaminya
kembali atas biaya negara.
Berdasrkan hal tersebut, menurut perhitungan pengusaha HPH yang rasional akan
mengarahkannya untuk mempercepat pengundulan HPH-nya, berusaha mengubah statusnya
menjadi HTI, memenuhi kewajiban minimum dan mencairkan dana gratis yang ditawarkan.
Bahkan hutan lindung yang ada dapat dikonversi menjadi HTI.
Skenario lainnya yang sangat mungkin adalah pengusaha akan meminta HPHTI di
kawasan hutan alam yang masih perawan (Irian Jaya misalnya) dengan mengatakan bahwa
tujuannya adalah membangun pabrik kertas. Kemudiaan, pengusaha tersebut akan membabat
hutan alam yang ada untuk meperoleh keuntungan dari kayu yang sudah tersedia dan hanya
akan membangun pabriknya jika pelaksanaan untuk itu tidak lagi dapat dihindarkan. Bahkan
jika izin investasinya dicabut pun, pengusaha tersebut telah menikmati keuntungan dari
penebangan kayu alam dari kawasan HPHTI-nya plus dana gratis 46 % dari modal HTI yang
mungkin sudah dicairkan.
Studi kasus di atas menunjukkan bahwa insentif yang tidak tepat bukan hanya
menghambat pencapaian tujuan keberlanjutan, bahkan memperkuat ancaman terjadinya
ketidak-berlanjutan dalam proses pembangunan. Hal ini menunjukkan bagaimana harga dan
insentif yang salah mendorong terjadinya pemborosan sumberdaya dan bagaimana insentif
yang benar tapi dalam setting pasar yang salah bekerja melawan tujuan kesinambungan
pembangunan. Dalam kasus HTI, seluruh insentif yang secara resmi ditunjukkan untuk
mendukung keberlanjutan hutan alam berubah menjadi insentif untuk mempercepat
kemusnahannya.

9
Mohammad Basyuni: Konsep Ekonomi Lingkungan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Menuju Pembangunan, 2001
USU Repository2006

IV. KESIMPULAN

Masalah biaya eksternal yang selalu ada dalam perekonomian dan pembangunan
memerlukan perhatian khusus dari pemerintah karena umumnya pihak produsen tidak
mampu atau tidak mau memikirkannya dan memasukannya dalam biaya proses produksi dan
usahanya, sehingga pihak masyarakatlah seringkali yang dirugikan.
Keinginan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dimulai dari ketulusan
melakukan komitmen (political will) yang murni dan kemauan untuk melaksanakan
prinsip-prinslp ekonomi lingkungan serta konsistensi untuk mencapai tujuan pembangunan
yang berkelanjutan.

10
Mohammad Basyuni: Konsep Ekonomi Lingkungan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Menuju Pembangunan, 2001
USU Repository2006

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, M. 1992. Ekologi Manusia den Konsep Ekonomi Kebijaksanaan Industrialisasi


Dalam Prosiding Seminar Pendekatan Ekologi Manusia dalam Menyongsong Era
Industrialisasi Menjelang PJPT II, Jakarta. Desember 1992. Komphalindo. Jakarta.
Salim. E. 1993 . Pembangunan Berwawasan Lingkungan. LP3ES. Jakarta.
Soemarwoto, O. 1955. Ekonomi Berwawasan Lingkungan. Kompas 12 Juni 1959. Halaman
4-5.
Soerjani, M.,R. Ahmad & R. Munir (editor). 1981. Lingkungan : Sumberdaya Alam dan
Kependudukan Dalam Pembangunan. UI-Press. Jakarta.
Suparmoko, M. 1959 Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PAU-Studi Ekonomi
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Turner. R.K., D. Pearce & I. Bateman. 1994. Environmental Economics An Elementary
Introduction. Harvester Wheatsheaf. New York.
WCEG. 1988. Hari Depan kita Bersama (B. Sumantri, Penerjemah). Gramedia. Jakarta.

11
Mohammad Basyuni: Konsep Ekonomi Lingkungan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Menuju Pembangunan, 2001
USU Repository2006

Anda mungkin juga menyukai