Anda di halaman 1dari 9

Konjungtivitis

2.2.1. Definisi
Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini adalah penyakit mata yang
paling umum di dunia. Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak mikroorganisme dan
faktor-faktor lingkungan lain yang mengganggu (Vaughan, 2010). Penyakit ini bervariasi mulai
dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret
purulen kental (Hurwitz, 2009).
Jumlah agen-agen yang pathogen dan dapat menyebabkan infeksi pada mata semakin banyak,
disebabkan oleh meningkatnya penggunaan oat-obatan topical dan agen imunosupresif sistemik,
serta meningkatnya jumlah pasien dengan infeksi HIV dan pasien yang menjalani transplantasi
organ dan menjalani terapi imunosupresif (Therese, 2002).
Universitas Sumatera Utara

2.2.2. Pembagian Konjungtivitis


2.2.2.1. Konjungtivitis Bakteri
Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh bakteri. Pada
konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan mata merah, sekret pada mata dan
iritasi mata (James, 2005).
Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu hiperakut, akut, subakut dan
kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya disebabkan oleh N gonnorhoeae, Neisseria
kochii dan N meningitidis. Bentuk yang akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus pneumonia
dan Haemophilus aegyptyus. Penyebab yang paling sering pada bentuk konjungtivitis bakteri
subakut adalah H influenza dan Escherichia coli, sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi
pada konjungtivitis sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis (Jatla,
2009).
Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian mengenai mata yang sebelah
melalui tangan dan dapat menyebar ke orang lain. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang yang
terlalu sering kontak dengan penderita, sinusitis dan keadaan imunodefisiensi (Marlin, 2009).
Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti streptococci, staphylococci
dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada mekanisme pertahanan tubuh ataupun pada jumlah
koloni flora normal tersebut dapat menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada flora normal
dapat terjadi karena adanya kontaminasi eksternal, penyebaran dari organ sekitar ataupun melalui
aliran darah (Rapuano, 2008).
Penggunaan antibiotik topikal jangka panjang merupakan salah satu penyebab perubahan flora
normal pada jaringan mata, serta resistensi terhadap antibiotik (Visscher, 2009). A. Definisi B.
Etiologi dan Faktor Resiko C. Patofisiologi
Universitas Sumatera Utara

Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang meliputi konjungtiva
sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya adalah sistem imun yang berasal dari perdarahan
konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air mata, mekanisme
pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada mekanisme
pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada konjungtiva (Amadi, 2009).
Gejala-gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri biasanya dijumpai injeksi konjungtiva baik
segmental ataupun menyeluruh. Selain itu sekret pada kongjungtivitis bakteri biasanya lebih
purulen daripada konjungtivitis jenis lain, dan pada kasus yang ringan sering dijumpai edema
pada kelopak mata (AOA, 2010).
Ketajaman penglihatan biasanya tidak mengalami gangguan pada konjungtivitis bakteri namun
mungkin sedikit kabur karena adanya sekret dan debris pada lapisan air mata, sedangkan reaksi
pupil masih normal. Gejala yang paling khas adalah kelopak mata yang saling melekat pada pagi
hari sewaktu bangun tidur. (James, 2005).
Pada saat anamnesis yang perlu ditanyakan meliputi usia, karena mungkin saja penyakit
berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh pada pasien yang lebih tua. Pada pasien yang
aktif secara seksual, perlu dipertimbangkan penyakit menular seksual dan riwayat penyakit pada
pasangan seksual. Perlu juga ditanyakan durasi lamanya penyakit, riwayat penyakit yang sama
sebelumnya, riwayat penyakit sistemik, obat-obatan, penggunaan obat-obat kemoterapi, riwayat
pekerjaan yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit, riwayat alergi dan alergi terhadap
obat-obatan, dan riwayat penggunaan lensa-kontak (Marlin, 2009). D. Gejala Klinis E. Diagnosis
Universitas Sumatera Utara F. Komplikasi

Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis bateri, kecuali pada pasien yang sangat
muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut di konjungtiva paling sering terjadi dan dapat merusak
kelenjar lakrimal aksesorius dan menghilangkan duktulus kelenjar lakrimal. Hal ini dapat
mengurangi komponen akueosa dalam film air mata prakornea secara drastis dan juga komponen
mukosa karena kehilangan sebagian sel goblet. Luka parut juga dapat mengubah bentuk palpebra
superior dan menyebabkan trikiasis dan entropion sehingga bulu mata dapat menggesek kornea
dan menyebabkan ulserasi, infeksi dan parut pada kornea (Vaughan, 2010).
Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen mikrobiologiknya. Terapi
dapat dimulai dengan antimikroba topikal spektrum luas. Pada setiap konjungtivitis purulen yang
dicurigai disebabkan oleh diplokokus gram-negatif harus segera dimulai terapi topical dan
sistemik . Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen, sakus konjungtivalis harus dibilas
dengan larutan saline untuk menghilangkan sekret konjungtiva (Ilyas, 2008).
2.2.2.2. Konjungtivitis Virus
Konjungtivitis viral adalah penyakit umum yang dapat disebabkan oleh berbagai jenis virus, dan
berkisar antara penyakit berat yang dapat menimbulkan cacat hingga infeksi ringan yang dapat
sembuh sendiri dan dapat berlangsung lebih lama daripada konjungtivitis bakteri (Vaughan,
2010).
Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi adenovirus adalah virus yang
paling banyak menyebabkan penyakit ini, dan G. Penatalaksanaan A. Definisi B. Etiologi dan
Faktor Resiko
Universitas Sumatera Utara

herpes simplex virus yang paling membahayakan. Selain itu penyakit ini juga dapat disebabkan
oleh virus Varicella zoster, picornavirus (enterovirus 70, Coxsackie A24), poxvirus, dan human
immunodeficiency virus (Scott, 2010).
Penyakit ini sering terjadi pada orang yang sering kontak dengan penderita dan dapat menular
melalu di droplet pernafasan, kontak dengan benda-benda yang menyebarkan virus (fomites) dan
berada di kolam renang yang terkontaminasi (Ilyas, 2008).
Mekanisme terjadinya konjungtivitis virus ini berbeda-beda pada setiap jenis konjungtivitis
ataupun mikroorganisme penyebabnya (Hurwitz, 2009). Mikroorganisme yang dapat
menyebabkan penyakit ini dijelaskan pada etiologi.
Gejala klinis pada konjungtivitis virus berbeda-beda sesuai dengan etiologinya. Pada
keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh adenovirus biasanya dijumpai demam dan
mata seperti kelilipan, mata berair berat dan kadang dijumpai pseudomembran. Selain itu
dijumpai infiltrat subepitel kornea atau keratitis setelah terjadi konjungtivitis dan bertahan selama
lebih dari 2 bulan (Vaughan & Asbury, 2010). Pada konjungtivitis ini biasanya pasien juga
mengeluhkan gejala pada saluran pernafasan atas dan gejala infeksi umum lainnya seperti sakit
kepala dan demam (Senaratne & Gilbert, 2005).
Pada konjungtivitis herpetic yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV) yang biasanya
mengenai anak kecil dijumpai injeksi unilateral, iritasi, sekret mukoid, nyeri, fotofobia ringan dan
sering disertai keratitis herpes.
Konjungtivitis hemoragika akut yang biasanya disebabkan oleh enterovirus dan coxsackie virus
memiliki gejala klinis nyeri, fotofobia, sensasi benda asing, hipersekresi airmata, kemerahan,
edema palpebra dan perdarahan subkonjungtiva dan kadang-kadang dapat terjadi kimosis (Scott,
2010). C. Patofisiologi D. Gejala Klinis
Universitas Sumatera Utara E. Diagnosis

Diagnosis pada konjungtivitis virus bervariasi tergantung etiologinya, karena itu diagnosisnya
difokuskan pada gejala-gejala yang membedakan tipe-tipe menurut penyebabnya. Dibutuhkan
informasi mengenai, durasi dan gejala-gejala sistemik maupun ocular, keparahan dan frekuensi
gejala, faktor-faktor resiko dan keadaan lingkungan sekitar untuk menetapkan diagnosis
konjungtivitis virus (AOA, 2010). Pada anamnesis penting juga untuk ditanyakan onset, dan juga
apakah hanya sebelah mata atau kedua mata yang terinfeksi (Gleadle, 2007).
Konjungtivitis virus sulit untuk dibedakan dengan konjungtivitis bakteri berdasarkan gejala
klinisnya dan untuk itu harus dilakukan pemeriksaan lanjutan, tetapi pemeriksaan lanjutan jarang
dilakukan karena menghabiskan waktu dan biaya (Hurwitz, 2009).
Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti blefarokonjungtivitis. Komplikasi
lainnya bisa berupa timbulnya pseudomembran, dan timbul parut linear halus atau parut datar,
dan keterlibatan kornea serta timbul vesikel pada kulit (Vaughan, 2010).
Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau pada orang dewasa umumnya
sembuh sendiri dan mungkin tidak diperlukan terapi, namun antivirus topikal atau sistemik harus
diberikan untuk mencegah terkenanya kornea (Scott, 2010). Pasien konjungtivitis juga diberikan
instruksi hygiene untuk meminimalkan penyebaran infeksi (James, 2005).
2.2.2.3. Konjungtivitis Alergi
Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paing sering dan disebabkan oleh
reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh F. Komplikasi G. Penatalaksanaan A.
Definisi
Universitas Sumatera Utara

sistem imun (Cuvillo et al, 2009). Reaksi hipersensitivitas yang paling sering terlibat pada alergi
di konjungtiva adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Majmudar, 2010).
Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu konjungtivitis alergi musiman dan
konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan yang biasanya dikelompokkan dalam satu grup,
keratokonjungtivitis vernal, keratokonjungtivitis atopik dan konjungtivitis papilar raksasa
(Vaughan, 2010).
Etiologi dan faktor resiko pada konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan subkategorinya.
Misalnya konjungtivitis alergi musiman dan tumbuh-tumbuhan biasanya disebabkan oleh alergi
tepung sari, rumput, bulu hewan, dan disertai dengan rinitis alergi serta timbul pada waktu-waktu
tertentu. Vernal konjungtivitis sering disertai dengan riwayat asma, eksema dan rinitis alergi
musiman. Konjungtivitis atopik terjadi pada pasien dengan riwayat dermatitis atopic, sedangkan
konjungtivitis papilar rak pada pengguna lensa-kontak atau mata buatan dari plastik (Asokan,
2007).
Gejala klinis konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan sub-kategorinya. Pada
konjungtivitis alergi musiman dan alergi tumbuh-tumbuhan keluhan utama adalah gatal,
kemerahan, air mata, injeksi ringan konjungtiva, dan sering ditemukan kemosis berat. Pasien
dengan keratokonjungtivitis vernal sering mengeluhkan mata sangat gatal dengan kotoran mata
yang berserat, konjungtiva tampak putih susu dan banyak papila halus di konjungtiva tarsalis
inferior.
Sensasi terbakar, pengeluaran sekret mukoid, merah, dan fotofobia merupakan keluhan yang
paling sering pada keratokonjungtivitis atopik. Ditemukan jupa tepian palpebra yang eritematosa
dan konjungtiva tampak putih susu. Pada kasus yang berat ketajaman penglihatan menurun,
sedangkan B. Etiologi dan Faktor Resiko C. Gejala Klinis
Universitas Sumatera Utara

pada konjungtiviitis papilar raksasa dijumpai tanda dan gejala yang mirip konjungtivitis vernal
(Vaughan, 2010).
Diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien serta observasi pada gejala
klinis untuk menegakkan diagnosis konjungtivitis alergi. Gejala yang paling penting untuk
mendiagnosis penyakit ini adalah rasa gatal pada mata, yang mungkin saja disertai mata berair,
kemerahan dan fotofobia (Weissman, 2010).
Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada kornea dan infeksi sekunder
(Jatla, 2009).
Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-antihistamin topikal dan kompres
dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan steroid topikal jangka pendek untuk meredakan gejala
lainnya (Vaughan, 2010).
2.2.2.4. Konjungtivitis Jamur
Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans dan merupakan infeksi
yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya bercak putih dan dapat timbul pada
pasien diabetes dan pasien dengan keadaan sistem imun yang terganggu. Selain Candida sp,
penyakit ini juga dapat disebabkan oleh Sporothrix schenckii, Rhinosporidium serberi, dan
Coccidioides immitis walaupun jarang (Vaughan, 2010).
2.2.2.5. Konjungtivitis Parasit
Konjungtivitis parasit dapat disebabkan oleh infeksi Thelazia californiensis, Loa loa, Ascaris
lumbricoides, Trichinella spiralis, Schistosoma D. Diagnosis E. Komplikasi F. Penatalaksanaan
Universitas Sumatera Utara

haematobium, Taenia solium dan Pthirus pubis walaupun jarang (Vaughan, 2010).
2.2.2.6. Konjungtivitis kimia atau iritatif
Konjungtivitis kimia-iritatif adalah konjungtivitis yang terjadi oleh pemajanan substansi iritan
yang masuk ke sakus konjungtivalis. Substansi-substansi iritan yang masuk ke sakus
konjungtivalis dan dapat menyebabkan konjungtivitis, seperti asam, alkali, asap dan angin, dapat
menimbulkan gejala-gejala berupa nyeri, pelebaran pembuluh darah, fotofobia, dan
blefarospasme.
Selain itu penyakit ini dapat juga disebabkan oleh pemberian obat topikal jangka panjang seperti
dipivefrin, miotik, neomycin, dan obat-obat lain dengan bahan pengawet yang toksik atau
menimbulkan iritasi.
Konjungtivitis ini dapat diatasi dengan penghentian substansi penyebab dan pemakaian tetesan
ringan (Vaughan, 2010).
2.2.2.7. Konjungtivitis lain
Selain disebabkan oleh bakteri, virus, alergi, jamur dan parasit, konjungtivitis juga dapat
disebabkan oleh penyakit sistemik dan penyakit autoimun seperti penyakit tiroid, gout dan
karsinoid. Terapi pada konjungtivitis yang disebabkan oleh penyakit sistemik tersebut diarahkan
pada pengendalian penyakit utama atau penyebabnya (Vaughan, 2010).
Konjungtivitis juga bisa terjadi sebagai komplikasi dari acne rosacea dan
dermatitis herpetiformis ataupun masalah kulit lainnya pada daerah wajah.
(AOA, 2008).

Anda mungkin juga menyukai