Kasus Sirosis Hepatis DR Rachmad
Kasus Sirosis Hepatis DR Rachmad
Disusun oleh :
Suci Nuryanti
G4A014076
Sudjati Adhinugroho
G4A014078
Yanuar Firdaus
G4A014080
Pembimbing :
dr. Rachmad Aji Saksana, M.Sc, Sp.PD
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
G4A014076
Sudjati Adhinugroho
G4A014078
Yanuar Firdaus
G4A014080
Oktober 2015
Pembimbing,
BAB I
LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Tn. B
Usia
: 49 tahun
Jenis kelamin : Laki
Status
: Menikah
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Wirasyasta
Alamat
: Pasir Sari 13/5 Cikarang
Tanggal masuk : 28 September 2015
Tanggal periksa : 29 Sptember 2015
No. CM
: 00839809
II.
SUBJEKTIF
1 Keluhan Utama
Nyeri kepala
2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien Tn.B datang ke IGD RSMS keluhan nyeri kepala. Pasien nyeri
kepala kambuh kambuhan. Pasien merasakan semakin lama semakin berat
dan mengganggu aktivitas. Pasien membeli obat diwarung untuk
mengurangi nyeri kepala. Selain itu pasien merasakan sesak nafas. Kadang
kadang pasien merasakan kembung.
Selain sesak nafas dan perut terasa kembung, pasien juga mengalami
kesadaran turun sejak hari Sabtu, tanggal 27 Septemer 2015 jam 13.00
WIB. Pasien pernah mengalami muntah darah dan buang air besar
berwarna coklat ke hitaman.
: disangkal
: disangkal
c Riwayat OAT
: disangkal
d Riwayat hipertensi
: diakui.
e Riwayat kencing manis
: disangkal
f Riwayat asma
: disangkal
g Riwayat alergi
: disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
a Riwayat keluhan serupa
: disangkal
b Riwayat mondok
: disangkal
c Riwayat hipertensi
: disangkal
d Riwayat kencing manis
: disangkal
e Riwayat asma
: disangkal
f Riwayat alergi
: disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
a Community
Pasien tinggal di lingkungan pedesaan yang cukup padat penduduk.
Rumah satu dengan yang lain jaraknya berdekatan. Hubungan antara
pasien dengan tetangga dan keluarga dekat baik. Dilingkungan rumah
b
pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien.
Home
Pasien tinggal di rumah dihuni oleh 4 orang yaitu pasien, suami pasien
dan anaknya. Lantai rumah masih beralaskan tegel, dan ada beberapa
buah jendela serta ventilasi yang jarang dibuka. Rumah pasien terdiri
dari 3 kamar tidur, satu ruang tamu, satu dapur, dan satu kamar mandi.
merokok
dan
tidak
menggunakan
: sedang
alkohol
ataupun
b.
c.
d.
e.
Kesadaran
BB
TB
Vital sign
- Tekanan Darah
- Nadi
- RR
- Suhu
d. Status Generalis
1) Kepala
- Bentuk
- Rambut
2) Mata
- Palpebra
- Konjungtiva
- Sklera
- Pupil
3)
4)
5)
6)
mm
- Exopthalmus
: (-/-)
- Lapang pandang
: tidak ada kelainan
- Lensa
: keruh (-/-)
- Gerak mata
: normal
- Tekanan bola mata
: nomal
- Nistagmus
: (-/-)
Telinga
- otore (-/-)
- deformitas (-/-)
- nyeri tekan (-/-)
Hidung
- Nafas cuping hidung (-/-)
- Deformitas (-/-)
- Discharge (-/-)
Mulut
- Bibir sianosis (-)
- Bibir kering (-)
- Lidah kotor (-)
Leher
- Trakhea
: deviasi trakhea (-/-)
- Kelenjar lymphoid
: tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid
: tidak membesar
- JVP
: nampak,tidak kuat angkat
7) Dada
a) Paru
- Inspeksi: bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
-
b) Jantung
- Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V LMC sinistra
- Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMC sinistra,
tidak kuat angkat
- Perkusi : Batas jantung kanan atas
: SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas
: SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah
:SICIV LPSD
Batas jantung kiri bawah
: SIC V LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
8) Abdomen
- Inspeksi
: cembung, dilatasi vena, simetris
- Auskultasi
: bising usus (+) normal
- Perkusi
: timpani,tes pekak sisi (+), pekak beralih (+)
- Palpasi
: Supel, nyeri tekan (+), undulasi (+)
- Hepar
: teraba 2 jari BACD, tepi tumpul,
permukaan rata, konsistensi kenyal
- Lien
:tidak teraba besar
9) Ekstrimitas
- Superior
- Inferior
2. Pemeriksaan penunjang
a. USG Abdomen, tanggal 1 September 2015
Interprestasi:
Struktur menyerupai loop
Hemoglobin
: 8.7 g/dl
Leukosit
: 8050 /uL
Hematokrit
: 26 %
Eritrosit
: 3.4 /uL
Trombosit
: 89000 /uL
MCV
: 74.1 Fl
MCH
: 25.3 pg
MCHC
: 34.1%
RDW
: 17.0 %
MPV
: *000 fL
Hitung Jenis
Basofil
: 0.4 %
Eosinofil
: 2.7 %
Batang
: 0.5 %
Segmen
: 68.0%
Limfosit
: 18.0%
Monosit
: 9.7 %
Kimia klinik
Bilirubun Total
: 1.37 mg/dl H
Bilirubin Direk
: 0.34 mg/dl
Bilirubin Indirek
: 1.03 mg/dl H
SGOT
: 52 U/L
SGPT
: 42 u/L
Ureum darah
: 100.5 mg/dl H
Kreatinin darah
: 2.04 mg/dl
Glukosa sewaktu
: 132 mg/dl
Natrium
: 137 mmol/L
Kalium
: 4.5 mmol/L
Klorida
: 104 mmol/L
Tanggal 30/09/2015
PT
: 11.7 detik H
non reaktif
Anti HCV
non reaktif
DIAGNOSIS
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
IV.
Sirosis Hepatis
Ulkus ventrikuli
Uklus diodenum
Varises esofagus
Renal Failure
Hematemesis melena
Enchepalopati hepar
PLANNING
1. Terapi
a. Farmakologi
1) IVFD D5% comafusin hepar 20 tpm
2) Inj. Ceftriakson 1g/12j
3) Omeprazol 1amp/12j
4) Lactolac 3x1
5) Ulsafat 3x1
6) Vit K 3x1
7) Furosemid 1-0-0
8) Celistin 3x1
9) Proponolol 2x10gr
Plan:
1. USG
2. Endoskopi ligasi
b. Non Farmakologi
1) Edukasi pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit TB,
penyebab,
komplikasinya.
dan
: dubia ad malam
Ad fungsionam
Ad sanationam
: dubia ad malam
: dubia ad malam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sirosis Hepatis
1. Definisi
Istilah Sirosis diberikan petama kali oleh Laennec tahun 1819, yang
berasal dari kata kirrhos yang berarti kuning orange (orange yellow), karena
terjadi perubahan warna pada nodul-nodul hati yang terbentuk (Bureau,
2011).
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan
adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan
adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan
ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan
perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat
penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut. Telah diketahui bahwa
penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan
terjadinya pengerasan dari hati yang akan menyebabkan penurunan fungsi
hati dan bentuk hati yang normal akan berubah disertai terjadinya penekanan
pada pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena porta yang
akhirnya menyebabkan hipertensi portal. Pada sirosis dini biasanya hati
membesar, teraba kenyal, tepi tumpul, dan terasa nyeri bila ditekan (Burean,
2011).
Menurut Lindseth, Sirosis hati adalah penyakit hati kronis yang
dicirikan dengan distorsi arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar
jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati. Sirosis hati dapat
mengganggu sirkulasi sel darah intra hepatik, dan pada kasus yang sangat
lanjut, menyebabkan kegagalan fungsi hati (Price S.A, 2006)
2. Anatomi Hati
Hati adalah organ yang terbesar yang terletak di sebelah kanan atas
rongga perut di bawah diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5 % dari berat
badan orang dewasa normal. Pada kondisi hidup berwarna merah tua karena
kaya akan persediaan darah (Smeltzer, 2001).
Hati terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh
ligamentum falciforme, di inferior oleh fissure dinamakan dengan
ligamentum teres dan di posterior oleh fissure dinamakan dengan
ligamentum venosum. . Lobus kanan hati enam kali lebih besar dari lobus
kirinya dan mempunyai 3 bagian utama yaitu: lobus kanan atas, lobus
caudatus, dan lobus quadrates. Hati dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang
dinamakan kapsul glisson dan dibungkus peritorium pada sebagian besar
keseluruhan permukaannnya (Sitepu S, 2006).
Hati disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu: Vena porta hepatica
yang berasal dari lambung dan usus, yang kaya akan nutrien seperti asam
amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air, dan mineral dan Arteri
hepatica, cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen (Sitepu S,
2006). Untuk lebih jelasnya anatomi hati dapat dilihat pada gambar berikut
(Irianto, 2008):
merusak pertukaran antara hepatik sinusoid dan jaringan parenkim yang berd
ekatan, contohnya hepatosit. Hepatik sinusoid
berfenestrasi yang berada pada lapisan jaringan ikat permeabel (ruang Disse)
yang mengandung selstelat hepatik (HSC) dan beberapa sel mononuklear.
Bagian lain dari ruang Dissedilapisi oleh hepatosit yang menjalankan
sebagian besar fungsi hati (Schuppan dan Afdhal, 2008).
Pada kondisisirosis, ruang Disse terisi oleh jaringan parut dan
fenestrasi endotel menghilang, proses ini disebut kapilarisasi sinusoidal.
Secara histologis, sirosis dicirikan oleh septafibrotik tervaskularisasi yang
menghubungkan portal tract satu
dengan
yang
lainnya
dan
dengan
sirkulasi
general
yang
terjadi
pada
sirosis
meningkatnya
output kardiak)
sangar
eratkaitannya
dengan
B. Ulkus Ventrikuli
1. Definisi
Ulkus ventrikuli atau tukak lambung adalah lambung yang
mengalami luka yang ditandai dengan rasa kembung dan perih. Ulkus
ventrikuli yaitu penyakit mukosa lambung. Mukosa dinding lambung rusak
sehingga mungkin pula merusak oror lambung di bawahnya (Aries, 2005).
2. Etiologi
Ulserasi membrana mukosa lambung tepat kurang lazim ditemukan
dibandingkan ulkus duodenum. Ditimbul dalam pasien tua, sering menyertai
malnutrisi dan sedikit lebih lazim dalam pria dibandingkan wanita. Jenis
Hipersekresi
realtif
berikutnya
bagi
asam
lambung.
Bukti
percobaan
dan
klinik
yang
besar
2. Etiologi
Ulkus duodenum yang telah diketahui sebagai faktor agresif yang
merusak pertaganan mukkosa adalah Helicobacter pylori, obat anti inflamasi
nonsteroid, asam lambung/pepsin dan faktor-faktor lingkungan serta
kelainan satu atau beberapa faktor pertahanan yang berpengaruh pada
kejadian Ulkus Duodenum (Akil HAM, 2006).
3. Patogenesis
Helicobacter pylori ditularkan secara feko-oral atau oral-oral.
Didalam terutama terkonsentrasi dalam antrum, bakteri ini berada pada
lapisan mukus dan sewaktu-waktu dapat menembus sel-sel epitel/ antar
epitel (Akil HAM, 2006).
Bila terjagi infeksa H.pylori maka bakteri ini akan melekat pada
permukaan epitel dangan bantuan adhesin sehingga akan terjadi gastritis
akut yang akan berlanjutmaenjadi gastritis kronik aktif atau duodenitis
kronik aktif (Akil HAM, 2006).
Bila terjadi infeksi H.pylori, host akan memberi respon untuk mengel
iminasi/memusnahkan bakteri ini melalui mobilitas sel-sel PMN/limfosit
yang
menginfiltrasi
mukosa
secara
intensif
dengan
mengeluarkan
siklin yang
berperan
dalam
kemungkinan
transfusi.
2) Keadaan syok
- Letakkan penderita pada posisi telentang tanpa bantal, kepala m
-
asam.
aluminium-magnesium
Pemberian
antasida
hidroksida
yang
mengandung
30-120cc/jam
untuk
a. Koloid bismuth
Mekanisme kerja belum jelas, kemungkinan membentuk
lapisan penangkal bersama protein pada dasar tukak dan
melindunginya terhadap pengaruhasam dan pepsin, berikatan d
engan pepsin, merangsang sekresi prostagladin, bikarbonat,
mukus. Efek samping jangka panjang dosis tinggiadalah neuro
toksik. Obat ini mempunyai efek penyembuhan hampir
samadengan ARH2 serta adanya efek bakterisidal terhadap
H.Pylori sehinggakekambuhan berkurang (Tarigan, 2006).
b. Sukralfat
Melindungi tukak dari pengaruh agresif asam dan pepsin. Efek
lainmembantu sintesa prostaglandin, menambah sekresi bikarb
onat dan mukus, meningkatkan daya pertahanan dan perbaikan
mukosal. Efek samping konstipasi, tidak dianjurkan pada gagal
ginjal kronik (Tarigan, 2006).
c. Prostaglandin
Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung ,
menambah sekresimukus, bikarbonat, dan meningkatkan aliran
darah mukosa dan perbaikanmukosa. Efek penekanan asam
lambung kurang kuat dibandingkan ARH2. Biasanya digunakan
sebagai penangkal timbulnya tukak gaster pada pasienyang
mengguankan OAINS. PGE/misoprostol. Efek samping diare,
mual,
muntah
dan
menimbulkan
kontraksi
otot
dapat
juga
digunakan
untuk pengobatan
gastritis kronis
yang
setara
dengan
cimetidin
dan
ranitidindalam
kekambuhan. Penderita
tukak peptik
yang
dua
kali
sehari.
Pemberian
iniselama 3-
(vena
portal)
yang
membawa
darah
kehati. Tekanan
adanyatambahan darah. Karena venanya berdinding tipis, kadangkadang vena bisa pecah dan menyebabkan perdarahan.
c) Infeksi Parasit
Schistosomiasis adalah infeksi parasit yang ditemukan di bagian
Afrika,Amerika
Selatan,
Karibia, Timur
Tengah
dan
Asia
kondisi
yang
jarang
yang
baik
diukur
dengan
menggunakan
5. Diagnosis
Oesofagogastroduodenoskopi
merupakan
gold
standar
untuk
Varises tanpa riwayat pendarahan dapat ditangani menggunakan nonselektif beta-adrenergik bloker (misalnya, propranolol, nadolol, timolol),
asalkan
tidak
ada
kontraindikasi
menggunakan
obat
tersebut.
Pemberian
beta-
memeriksa
fungsi
hati
dan
ginjal,
dan
urin normal.
Lindungi jalan nafas dari pendarahan saluran cerna bagian
7. Prognosis
Pada beberapa studi, angka mortalitas pada episode awal dari
perdarahan varises adalah sebesar 50%. Angka kematian akibat perdarahan
varises ini di hubungkan dengan derajat keparahan penyakit hati. Setelah di
lakukan follow-up selama 1 tahun, angka kematian akibat perdarahan varises
pada Child A sebesar 5%, 25% pada Child B dan 50% pada Child C (D
Amico G,2002).
E. Chronic Renal Failure
1. Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal
ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).
2. Klasifikasi
Menurut Suharyanto dan Madjid (2009), gagal ginjal kronis dapat
diklasifikasikan berdasarkan sebabnya, yaitu :
3. Patogenesis
Menurut Aru Sudoyo (2009) penyakit ginjal kronik pada awalnya
tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan
selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa
ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokinin dan growth faktor.
Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi
ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron
yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis reninangiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti
transforming growth factor (TGF-). Beberapa hal juga yang dianggap
berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas
interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulointerstitial.
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal
LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi
pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik),
tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi keluhan pada seperti nokturia,
badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.
Sampai pada LFG kurang 30 % pasien memperlihatkan gejala dan tanda
Gangguan elektrolit
Penurunan GFR sampai di bawah 50% nilai normal akan disertai
penurunan reabsorpsi bikarbonat yang menyebabkan asidosis sistemik,
akibatnya terjadi degradasi protein dan efluks kalsium dari tulang. Terapi
ditujukan untuk mempertahankan konsentrasi bikarbonat serum sebesar
20-22 mEq/L (20-22 mmol/L) dengan cara pemberian suplemen sodium
bikarbonat atau pengikat fosfat.
Hiperkalemia dapat terjadi karena ketika penyakit ginjal memburuk,
tubulus distal yang terisisa terus menerus mensekresikan kalium.
Peningkatan aldosteron juga mendorong sekresi kalium dengan
menstimulasi pertukaran natrium kalium di ginjal dan kolon. Hipokalemia
dapat juga terjadi pada anak yang menderita CKD, namun cenderung
terjadi pada pasien yang memiliki defek tubular seperti pada sindrom
Faconi.
Tabel 2.1. Pengobatan hiperkalemia Obat Dosis Efek samping
Anemia
Anemia pada CKD dapat disebabkan oleh menurunnya produksi
eritropoeitin atau kekuranagn zat besi. Data morbiditas, mortalitas dan
kualitas hidup dari K/DOQI menunjukan bahwa mempertahankan
hematokrit pada 33- 36% dan hemoglobin pada 11,0-12,0 g/dl sangat
penting untuk anak dengan CKD. Dengan perbaikan anemia, terdapat
perbaikan dalam perkembangan kognitif, fungsi jantung, dan ketahanan
fisik serta menurunnya mortalitas. Terapi zat besi oral sebaiknya dimulai
pada dosis 2-3 mg/kgBB per hari berupa zat besi elemental diberikan
dalam dua atau tiga dosis terbagi saat perut kosong dan tidak boleh
bersamaan dengan pengikat fosfat karena zat besi berikatan dengan
pengikat fosfat. Eritropoeitindapat diberikan1-3 kali per minggu. Dosis
awal sebesar 30-300 unit/kgBB per minggu, dosis rumatan ditentukan dan
disesuaikan
berdasarkan
nilai
hemoglobin
bulanan.
Darbepoeitin
Hipertensi
Target tekanan darah pada anak dengan CKD adalah di bawah persentil
90 sesuai usia dan jenis kelamin. Angiotensin converting enzyme inhibitor
(ACEI) dan angiotensin reseptor blocker (ARB) lebih efektif dalam
mencegah progresifitas kerusakan ginjal karena menurunkan tekanan
intraglomerular dan
proteinuria melalui efek langsung pada sirkulasi glomerulus.
Transplantasi Ginjal
Begitu anak mengalami ESRD, penanganan terbaik adalah transplantasi
ginjal. Transplantasi jarang dilakukan pada bayi berusia kurang dari 6
bulan dengan berat badan kurang dari 6 kg karena dugaan peningkatan
risiko kegagalan akibat infeksi, masalah teknis dan obat-obatan
imunosupresan. Pada umumnya yang dapat dilakukan transplantasi adalah
yang usianya lebih dari 1 tahun dan
berat badan minimal 10 kg.
F. Hematemesis Melena
1. Definisi
Perdarahan saluran cerna bahagian atas (didefinisikan sebagai
perdarahan yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada
duodenum distal. Sebagian besar perdarahan saluran cerna bahagian atas
terjadi sebagai akibat penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease)
(yang disebabkan oleh H. Pylori atau penggunaan obat-obat anti-inflamasi
non-steroid (OAINS) atau alkohol). Robekan Mallory-Weiss, varises
esofagus, dan gastritis merupakan penyebab perdarahan saluran cerna
bahagian atas yang jarang. (Dubey, S., 2008)
2. Etiologi
Banyak kemungkinan penyebab perdarahan saluran cerna bahagian
atas pada buku The Merck Manual of Patient Symptoms (Porter, 2008):
1. Duodenal ulcer (20 30 %)
2. Gastric atau duodenal erosions (20 30 %)
3. Varices (15 20 %)
4. Gastric ulcer (10 20 %)
lambung. Hal ini terutama penting apabila perdarahan tidak jelas. Tujuan
dari tindakan ini adalah:
mendiagnosa
dan
jika
diperlukan.
Pasien
dengan
perdarahan
aktif
G. Enchepalopati Hepar
1. Definisi
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom
neuropsikiatri
yang dapat terjadi pada penyakit hati akut dan kronik berat dengan
beragam manifestasi, mulai dari ringan hingga berat, mencakup
perubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran
tanpa adanya kelainan pada otak yang mendasarinya. Di Indonesia,
prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti karena
sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada 30%-84%
pasien sirosis hepatis. Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
mendapatkan prevalensi EH minimal sebesar 63,2% pada tahun 2009.
Data pada tahun 1999 mencatat prevalensi EH stadium 2-4 sebesar
14,9%. Angka kesintasan 1 tahun dan 3 tahun berkisar 42% dan 23%
pada pasien yang tidak menjalani transplantasi hati (Lesmana LA, 2014).
2. Etiologi
EH terbagi menjadi tiga tipe terkait dengan kelainan hati yang
mendasarinya; tipe A berhubungan dengan gagal hati akut dan ditemukan
pada hepatitis fulminan, tipe B berhubungan dengan jalur pintas portal
dan sistemik tanpa adanya kelainan intrinsik jaringan hati, dan tipe C
yang berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal, sekaligus paling
sering ditemukan pada pasien dengan gangguan fungsi hati (Riggio,
2010).
Klasifikasi EH berdasarkan gejalanya dibagi menjadi EH minimal
(EHM) dan EH overt. EH minimal merupakan istilah yang digunakan bila
ditemukan
adanya
defisit
kognitif
seperti
perubahan
kecepatan
hepatik
menghasilkan
suatu
spektrum
luas
pemeriksaan
lain
untuk
mendiagnosis
EH.
Namun,
akan
menunjukkan
perlambatan
(penurunan
EH,
pengaturan
keseimbangan
nitrogen,
pencegahan
Tatalaksanaan farmakologi
Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang
diterapkan dalam tatalaksana EH. Beberapa modalitas untuk
menurunkan kadar amonia dilakukan dengan penggunaan laktulosa,
antibiotik, L-Ornithine L-Aspartate, probiotik, dan berbagai terapi
potensial lainnya (Riggio, 2010).
- Non-absorbable Disaccharides (Laktulosa)
Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan
EH.7 Sifatnya yang laksatif menyebabkan penurunan sintesis
dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga
mengurangi uptake glutamin. Selain itu, laktulosa diubah
menjadi monosakarida oleh flora normal yang digunakan sebagai
sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan
menekan bakteri lain yang menghasilkan urease. Proses ini
menghasilkan asam laktat dan juga memberikan ion hidrogen
pada amonia sehingga terjadi perubahan molekul dari amonia
(NH3) menjadi ion amonium (NH4+). Adanya ionisasi ini
menarik amonia dari darah menuju lumen.
Dari metaanalisis yang dilakukan, terlihat bahwa
laktulosa
tidak
lebih
baik
dalam
mengurangi
amonia
Penggunaan
laktulosa
secara
berlebihan
akan
Antibiotik
Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan
menekan
pertumbuhan
bakteri
yang
bertanggung
jawab
ketoglutarate
menjadi
glutamat,
melalui
ornithine
(PAG),
dan
menghasilkan
amonia
kembali
Probiotik
Probiotik
didefinisikan
sebagai
suplementasi
diet
suplementasi
sinbiotik
(serat
dan
probiotik)
menyerap
molekul
kecil,
diantaranya
amonia,
BAB III
KESIMPULAN
1
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
radiologis
Varises oesofagus adalah tampak protrusi pembuluh darah vena mulai dari
duodenum distal.
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat
terjadi pada penyakit hati akut dan kronik berat. mencakup perubahan
perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya
kelainan pada otak yang mendasarinya
DAFTAR PUSTAKA
Mount
Sinai
School
of
Medicinesm
of
Hepatic
11. Irianto K. 2008. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia Paramedis. Penerbit
Yrama Widia, Bandung.
12. Kanitkar CM. 2009. Chronic Kidney Disease in Children: An Indian
Perspective, update. MJAFI .hal: 65:45-49.
13. Lesmana LA, Nusi IA, Gani RA, Hasan I, Sanityoso A, Lesmana CRA, et al.
2014. Panduan praktik klinik penatalaksanaan ensefalopati hepatik di
Indonesia 2014. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia.
14. Laine, L., 2008. Gastrointestinal Bleeding. Dalam: Fauci, A.S., et al.
Harrisons Principles of Internal Medicine: 17th ed. Vol 1. USA: McGrawHill Companies, 257 260.
15. Price S.A. 2006, Patofisiologi konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 6,
EGC. Jakarta.
16. National Vital Statistics Reports, 2010. Percentage of total deaths, death rates,
age-adjusted death rates for 2007, percentage change in age-adjusted death
rates in 2007 from 2006, and ratio of age-adjusted death rates, by race and sex
for the 15 leading causes of death for the total population in 2007,
http://www.cdc.gov/nchs Diakses 15 Maret 2011
17. Nursalam. 2006. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
18. Perhimpunan Nefrologi Indonesia. 2003. Penyakit Ginjal Kronik dan
Glomerulopati : Aspek Klinik dan Patologi Ginjal Pengelolaan Hipertensi
Saat ini. Jakarta.
19. Porter, R.S., et al., 2008. The Merck Manual of Patient Symptoms. USA:
Merck Research Laboratories.
20. Riggio O, Ridola L, Pasquale C. . 2010. Hepatic encephalopathy therapy: An
overview.World J Gastrointest Pharmacol Ther;1(2):54-63.
21. Suharyanto, Toto dan Abdul Madjid. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien
dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Trans Info Media
22. Soeprapto, P., et al., 2010. Kegawatdaruratan Gastrointestinal Dalam: Juffrie,
M., et al. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi: 1st ed. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI, 27 50.
23. Savides, T.J., et al., 2010. Chapter 19: Gastrointestinal Bleeding. Dalam:
Feldman, M., et al. Sleisenger and Fordtrans Gastrointestinal and Liver
Disease Pathophysiology/ Diagnosis/ Management 9th ed Vol 1. USA:
Saunders Elsevier
24. Sharma V, Garg S . 2013. Probiotics and Liver Disease. Perm J.17(4):62-7.
25. Vilstrup H, Amodio P, Bajaj J, Cordoba J, Fereni P, Mullen KD, et al. 2014 .
Hepatic encephalopathy in chronic liver disease: practice guideline by the
European Association for the Study of the Liver and the American Association
for the Study of Liver Diseases. J Hepatol