Anda di halaman 1dari 51

PRESENTASI KASUS

SIROSIS HEPATIS, ULKUS VENTRIKULI, UKLUS DIODENUM,


VARISES ESOFAGUS, RENAL FAILURE, HEMATEMESIS MELENA,
DAN ENCHEPALOPATI HEPAR

Disusun oleh :
Suci Nuryanti

G4A014076

Sudjati Adhinugroho

G4A014078

Yanuar Firdaus

G4A014080

Pembimbing :
dr. Rachmad Aji Saksana, M.Sc, Sp.PD
SMF ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2015
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
SIROSISI HEPATIS, ULKUS VENTRIKULI, UKLUS DIODENUM,
VARISES ESOFAGUS, RENAL FAILURE, HEMATEMESIS MELENA,
DAN ENCHEPALOPATI HEPAR
Disusun oleh :
Suci Nuryanti

G4A014076

Sudjati Adhinugroho

G4A014078

Yanuar Firdaus

G4A014080

Telah dipresentasikan pada


Tanggal,

Oktober 2015

Pembimbing,

dr. Rachmad Aji Saksana, M.Sc, Sp.PD

BAB I
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Tn. B
Usia
: 49 tahun
Jenis kelamin : Laki
Status
: Menikah
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Wirasyasta
Alamat
: Pasir Sari 13/5 Cikarang
Tanggal masuk : 28 September 2015
Tanggal periksa : 29 Sptember 2015
No. CM
: 00839809
II.

SUBJEKTIF
1 Keluhan Utama
Nyeri kepala
2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien Tn.B datang ke IGD RSMS keluhan nyeri kepala. Pasien nyeri
kepala kambuh kambuhan. Pasien merasakan semakin lama semakin berat
dan mengganggu aktivitas. Pasien membeli obat diwarung untuk
mengurangi nyeri kepala. Selain itu pasien merasakan sesak nafas. Kadang
kadang pasien merasakan kembung.
Selain sesak nafas dan perut terasa kembung, pasien juga mengalami
kesadaran turun sejak hari Sabtu, tanggal 27 Septemer 2015 jam 13.00
WIB. Pasien pernah mengalami muntah darah dan buang air besar
berwarna coklat ke hitaman.

Riwayat Penyakit Dahulu


a Riwayat keluhan serupa
b Riwayat mondok

: disangkal
: disangkal

c Riwayat OAT
: disangkal
d Riwayat hipertensi
: diakui.
e Riwayat kencing manis
: disangkal
f Riwayat asma
: disangkal
g Riwayat alergi
: disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
a Riwayat keluhan serupa
: disangkal
b Riwayat mondok
: disangkal
c Riwayat hipertensi
: disangkal
d Riwayat kencing manis
: disangkal
e Riwayat asma
: disangkal
f Riwayat alergi
: disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
a Community
Pasien tinggal di lingkungan pedesaan yang cukup padat penduduk.
Rumah satu dengan yang lain jaraknya berdekatan. Hubungan antara
pasien dengan tetangga dan keluarga dekat baik. Dilingkungan rumah
b

pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien.
Home
Pasien tinggal di rumah dihuni oleh 4 orang yaitu pasien, suami pasien
dan anaknya. Lantai rumah masih beralaskan tegel, dan ada beberapa
buah jendela serta ventilasi yang jarang dibuka. Rumah pasien terdiri
dari 3 kamar tidur, satu ruang tamu, satu dapur, dan satu kamar mandi.

Pencahayaan rumah pasien kurang baik.


Occupational
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pembiayaan rumah sakit

selama dirawat pasien menggunakan biaya sendiri.


d Personal habit
Pasien mengaku makan sehari 2-3 kali sehari, dengan nasi, sayur dan
lauk pauk seadanya. Pasien mengaku jarang mengonsumsi sayursayuran dan lebih memilih goreng-gorengan. Pasien mengaku tidak
pernah

merokok

dan

tidak

menggunakan

mengkonsumsi obat-obatan terlarang.


III. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum

: sedang

alkohol

ataupun

b.
c.
d.
e.

Kesadaran
BB
TB
Vital sign
- Tekanan Darah
- Nadi
- RR
- Suhu
d. Status Generalis

: compos mentis, GCS = E4M6V5


: 70 kg
: 166 cm
: 120/80 mmHg
: 86x/menit
: 20x/menit
: 36,7oC

1) Kepala
- Bentuk
- Rambut
2) Mata
- Palpebra
- Konjungtiva
- Sklera
- Pupil

3)

4)

5)

6)

: mesochepal, simetris, venektasi temporal (-)


: warna hitam kecoklatan, tidak mudah dicabut,
distribusi merata, tidak rontok
: edema (-/-) ptosis (-/-)
: anemis (-/-)
: ikterik (+/+)
: reflek cahaya (+/+), isokor, diameter 3

mm
- Exopthalmus
: (-/-)
- Lapang pandang
: tidak ada kelainan
- Lensa
: keruh (-/-)
- Gerak mata
: normal
- Tekanan bola mata
: nomal
- Nistagmus
: (-/-)
Telinga
- otore (-/-)
- deformitas (-/-)
- nyeri tekan (-/-)
Hidung
- Nafas cuping hidung (-/-)
- Deformitas (-/-)
- Discharge (-/-)
Mulut
- Bibir sianosis (-)
- Bibir kering (-)
- Lidah kotor (-)
Leher
- Trakhea
: deviasi trakhea (-/-)
- Kelenjar lymphoid
: tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid
: tidak membesar
- JVP
: nampak,tidak kuat angkat

7) Dada
a) Paru
- Inspeksi: bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
-

retraksi (-), jejas (-)


Palpasi: vocal fremitus kanan = kiri
Perkusi: sonor pada lapang paru kiri dan kanan
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+)
Suara tambahan wheezing (-/-), RBH (-/-),
RBK (-/-)

b) Jantung
- Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V LMC sinistra
- Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMC sinistra,
tidak kuat angkat
- Perkusi : Batas jantung kanan atas
: SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas
: SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah
:SICIV LPSD
Batas jantung kiri bawah
: SIC V LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
8) Abdomen
- Inspeksi
: cembung, dilatasi vena, simetris
- Auskultasi
: bising usus (+) normal
- Perkusi
: timpani,tes pekak sisi (+), pekak beralih (+)
- Palpasi
: Supel, nyeri tekan (+), undulasi (+)
- Hepar
: teraba 2 jari BACD, tepi tumpul,
permukaan rata, konsistensi kenyal
- Lien
:tidak teraba besar
9) Ekstrimitas
- Superior
- Inferior

: deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-)


: deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-)

2. Pemeriksaan penunjang
a. USG Abdomen, tanggal 1 September 2015

Interprestasi:
Struktur menyerupai loop

usus di anterior dari hepar curiga

Chiladitis sundrom hepar dengan ukuran dan parenkim masih dalam


batas normal. Splenomegali.
b. Laboratorium
Darah Lengkap
Tanggal 2 Agustus 2015

Hemoglobin

: 8.7 g/dl

Leukosit

: 8050 /uL

Hematokrit

: 26 %

Eritrosit

: 3.4 /uL

Trombosit

: 89000 /uL

MCV

: 74.1 Fl

MCH

: 25.3 pg

MCHC

: 34.1%

RDW

: 17.0 %

MPV

: *000 fL

Hitung Jenis
Basofil

: 0.4 %

Eosinofil

: 2.7 %

Batang

: 0.5 %

Segmen

: 68.0%

Limfosit

: 18.0%

Monosit

: 9.7 %

Kimia klinik
Bilirubun Total

: 1.37 mg/dl H

Bilirubin Direk

: 0.34 mg/dl

Bilirubin Indirek

: 1.03 mg/dl H

SGOT

: 52 U/L

SGPT

: 42 u/L

Ureum darah

: 100.5 mg/dl H

Kreatinin darah

: 2.04 mg/dl

Glukosa sewaktu

: 132 mg/dl

Natrium

: 137 mmol/L

Kalium

: 4.5 mmol/L

Klorida

: 104 mmol/L

Tanggal 30/09/2015
PT

: 11.7 detik H

APTT : 43.9 detik H


GBSAG

non reaktif

Anti HCV

non reaktif

DIAGNOSIS
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
IV.

Sirosis Hepatis
Ulkus ventrikuli
Uklus diodenum
Varises esofagus
Renal Failure
Hematemesis melena
Enchepalopati hepar

PLANNING
1. Terapi
a. Farmakologi
1) IVFD D5% comafusin hepar 20 tpm
2) Inj. Ceftriakson 1g/12j
3) Omeprazol 1amp/12j
4) Lactolac 3x1
5) Ulsafat 3x1
6) Vit K 3x1
7) Furosemid 1-0-0
8) Celistin 3x1
9) Proponolol 2x10gr
Plan:
1. USG
2. Endoskopi ligasi
b. Non Farmakologi
1) Edukasi pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit TB,
penyebab,

penularan, pengobatan, efek samping obat

komplikasinya.

dan

2) Edukasi mengenai kebersihan lingkungan rumah, seperti buka


ventilasi setiap hari agar sinar matahari dan udara masuk juga
edukasi untuk selalu membersihkan rumahnya dan edukasi agar
pasien tidak mambuang dahak di sembarang tempat.
3) Makan makanan yang bergizi
4) Screening pada anggota keluarga yang lain apabila ada yang
mengalami gejala yang sama dan untuk tindakan pencegahan juga
pengobatan lebih awal jika keluarga lain sudah tertular.
2. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Evaluasi klinis.
- Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidaknya komplikasi.
- Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik.
d. Evaluasi bakteriologis
- Sebelum pengobatan dimulai
- Satu minggu pada akhir bulan ke 2 pengobatan (setelah fase intensif)
- Akhir bulan kelima pengobatan
- Pada akhir pengobatan
e. Evaluasi radiologi
- Sebelum pengobatan
- Pada akhir pengobatan
f. Evaluasi efek samping
- Periksa fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin)
- Periksa fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
- Periksa GDS, G2PP, asam urat
- Pemeriksaan visus
- Pemeriksaan keseimbangan dan pendengaran
g. Evaluasi keteraturan obat
3. Prognosis
Keberhasilan kesembuhan penyakit tuberculosis tergantung pada:
a. Kepatuhan minum obat
b. Komunikasi dan edukasi serta pengawasan minum obat
c. Umur penderita
d. Penyakit yang menyertai
e. Resistensi obat
Ad vitam

: dubia ad malam

Ad fungsionam
Ad sanationam

: dubia ad malam
: dubia ad malam

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sirosis Hepatis
1. Definisi
Istilah Sirosis diberikan petama kali oleh Laennec tahun 1819, yang
berasal dari kata kirrhos yang berarti kuning orange (orange yellow), karena
terjadi perubahan warna pada nodul-nodul hati yang terbentuk (Bureau,
2011).
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan
adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan
adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan
ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan
perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat
penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut. Telah diketahui bahwa
penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan
terjadinya pengerasan dari hati yang akan menyebabkan penurunan fungsi
hati dan bentuk hati yang normal akan berubah disertai terjadinya penekanan
pada pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena porta yang
akhirnya menyebabkan hipertensi portal. Pada sirosis dini biasanya hati

membesar, teraba kenyal, tepi tumpul, dan terasa nyeri bila ditekan (Burean,
2011).
Menurut Lindseth, Sirosis hati adalah penyakit hati kronis yang
dicirikan dengan distorsi arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar
jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati. Sirosis hati dapat
mengganggu sirkulasi sel darah intra hepatik, dan pada kasus yang sangat
lanjut, menyebabkan kegagalan fungsi hati (Price S.A, 2006)
2. Anatomi Hati
Hati adalah organ yang terbesar yang terletak di sebelah kanan atas
rongga perut di bawah diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5 % dari berat
badan orang dewasa normal. Pada kondisi hidup berwarna merah tua karena
kaya akan persediaan darah (Smeltzer, 2001).
Hati terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh
ligamentum falciforme, di inferior oleh fissure dinamakan dengan
ligamentum teres dan di posterior oleh fissure dinamakan dengan
ligamentum venosum. . Lobus kanan hati enam kali lebih besar dari lobus
kirinya dan mempunyai 3 bagian utama yaitu: lobus kanan atas, lobus
caudatus, dan lobus quadrates. Hati dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang
dinamakan kapsul glisson dan dibungkus peritorium pada sebagian besar
keseluruhan permukaannnya (Sitepu S, 2006).
Hati disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu: Vena porta hepatica
yang berasal dari lambung dan usus, yang kaya akan nutrien seperti asam
amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air, dan mineral dan Arteri
hepatica, cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen (Sitepu S,
2006). Untuk lebih jelasnya anatomi hati dapat dilihat pada gambar berikut
(Irianto, 2008):

Gambar 2.1.Anatomi hati


Sumber : Leanerhelp Image Liver
Untuk perbedaan hati yang sehat dengan yang sirosis dapat dilihat
pada gambar berikut (Velsundar, 2008):

Gambar 2.2 : Hati dengan sirosis


Sumber : Info Kesehatan Fungsi Organ Hati
3. Etiologi
Penyebab pasti dari sirosis hati sampai sekarang belum jelas, tetapi
sering disebutkan antara lain:
a. Faktor Kekurangan Nutrisi
Menurut Spellberg, Shiff (1998) bahwa di negara Asia faktor
gangguan nutrisi memegang penting untuk timbulnya sirosis hati. Dari
hasil laporan Hadi di dalam simposium Patogenesis sirosis hati di
Yogyakarta tanggal 22 Nopember 1975, ternyata dari hasil penelitian

makanan terdapat 81,4 % penderita kekurangan protein hewani , dan


ditemukan 85 % penderita sirosis hati yang berpenghasilan rendah, yang
digolongkan ini ialah: pegawai rendah, kuli-kuli, petani, buruh kasar,
mereka yang tidak bekerja, pensiunan pegawai rendah menengah (Hadi
S, 2002).
b. Hepatitis Virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu
penyebab sirosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh
Blumberg pada tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit hati
kronis , maka diduga mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya
nekrosa sel hati sehingga terjadi sirosis. Secara klinik telah dikenal
bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk
lebih menetap dan memberi gejala sisa serta menunjukan perjalanan
yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A (Hadi S, 2002).
c. Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan
hati akut akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan
kerusakan kronis akan berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering
disebut-sebut ialah alkohol (Hadi S, 2002).
d. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan , biasanya terdapat pada
orang-orang muda dengan ditandai sirosis hati, degenerasi basal ganglia
dari otak, dan terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat
kehijauan disebut Kayser Fleischer Ring. Penyakit ini diduga
disebabkan defesiensi bawaan dari seruloplasmin. Penyebabnya belum
diketahui dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan penimbunan
tembaga dalam jaringan hati (Hadi S, 2002).
e. Hemokromatosis

Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua


kemungkinan timbulnya hemokromatosis, yaitu:
1. Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
2. Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai
pada penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya
absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis hati.
f. Sebab-Sebab Lain
1. Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya
sirosis kardiak. Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder
terhadap reaksi dan nekrosis sentrilobuler
2. Sebagai saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran
empedu akan dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit
ini lebih banyak dijumpai pada kaum wanita.
3. Penyebab sirosis hati yang tidak diketahui dan digolongkan dalam
sirosis kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris.
Dari data yang ada di Indonesia Virus Hepatitis B
menyebabkan sirosis 40-50% kasus, sedangkan hepatitis C dalam
30-40 % . sejumlah 10-20% penyebabnya tidak diketahui dan
termasuk disini kelompok virus yang bukan B atau C (National
Vital Statistics Reports, 2010).
4. Patofisiologi
Fibrosis merupakan enkapsulasi atau penggantian jaringan yang
rusak oleh jaringan kolagen. Fibrosis hati merupakan hasil perpanjangan
respon penyembuhanluka normal yang mengakibatkan abnormalitas proses
fibrogenesis (produksi dandeposisi jaringan ikat). Fibrosis berlangsung
dalam berbagai tahap, tergantung pada penyebab kerusakan, lingkungan,
dan faktor host. Sirosis hati merupakan tahapanlanjut dari fibrosis hati, yang
juga disertai dengan kerusakan pembuluh darah. Sirosishati menyebabkan
suplai darah dari arteri yang menuju hati, berbalik ke pembuluhvena,

merusak pertukaran antara hepatik sinusoid dan jaringan parenkim yang berd
ekatan, contohnya hepatosit. Hepatik sinusoid

dilapisi oleh endotel

berfenestrasi yang berada pada lapisan jaringan ikat permeabel (ruang Disse)
yang mengandung selstelat hepatik (HSC) dan beberapa sel mononuklear.
Bagian lain dari ruang Dissedilapisi oleh hepatosit yang menjalankan
sebagian besar fungsi hati (Schuppan dan Afdhal, 2008).
Pada kondisisirosis, ruang Disse terisi oleh jaringan parut dan
fenestrasi endotel menghilang, proses ini disebut kapilarisasi sinusoidal.
Secara histologis, sirosis dicirikan oleh septafibrotik tervaskularisasi yang
menghubungkan portal tract satu

dengan

yang

lainnya

dan

dengan

vena sentral, membentuk pulau hepatosit yang dikelilingi oleh septafibrotik


yang tidak memiliki vena sentral. Akibat klinis yang utama dari sirosis
adalah terganggunya fungsi hati, meningkatnya resistensi intrahepatik (portal
hipertensi) dan perkembangan yang mengarah pada hepatoselular karsinoma
(HCC). Abnormalitas

sirkulasi

general

yang

terjadi

pada

sirosis

(splachnic vasodilatation, vasokonstriksi dan hiperfusi ginjal, retensi air dan


garam,

meningkatnya

output kardiak)

sangar

eratkaitannya

dengan

perubahan vaskularisasi hati dan portal hipertensi. Sirosis dangangguan


vaskular yang diakibatkannya bersifat irreversibel, namun penyembuhan
sirosis masih mungkin terjadi (Schuppan dan Afdhal, 2008).
5. Diagnosis
Manifestasi klinis dari Sirosis hati disebabkan oleh satu atau lebih
hal-hal yang tersebut di bawah ini (Friedmen, 2011):
1. Kegagalan Prekim hati
2. Hipertensi portal
3. Asites
4. Ensefalophati hepatitis
Keluhan dari sirosis hati dapat berupa:
a. Merasa kemampuan jasmani menurun
b. Nausea, nafsu makan menurun dan diikuti dengan penurunan berat
badan
c. Mata berwarna kuning dan buang air kecil berwarna gelap
d. Pembesaran perut dan kaki bengkak

e. Perdarahan saluran cerna bagian atasf. Pada keadaan lanjut dapat


dijumpai pasien tidak sadarkan diri (Hepatic Enchephalopathy)
f. Perasaan gatal yang hebat
Seperti telah disebutkan diatas bahwa pada hati terjadi gangguan
arsitektur hati yang mengakibatkan kegagalan sirkulasi dan kegagalan
perenkym hati yang masingmasing memperlihatkan gejala klinis berupa:
1. Kegagalan sirosis hati
a. Edema
b. Ikterus
c. Koma
d. spider nevi
e. alopesia pectoralis
f. ginekomastia
g. kerusakan hati
h. asites
i. rambut pubis rontok
j. eritema palmaris
k. atropi testis
l. kelainan darah (anemia,hematon/mudah terjadi perdaarahan)
2. Hipertensi portal
a. varises oesophagus
b. spleenomegali
c. perubahan sum-sum tulang
d. caput meduse
e. asites
f. collateral veinhemorrhoid
g. kelainan sel darah tepi (anemia, leukopeni dan trombositopeni)
6. Penatalaksanaan
Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :
a. Simtomatis
b. Supportif, yaitu :
1. Istirahat yang cukup
2. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang; misalnya :
cukup kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin
3. Pengobatan berdasarkan etiologi
4. Misalnya pada sirosis hati akibat infeksi virus C dapat
dicoba dengan interferon.
Sekarang telah dikembangkan perubahan strategi terapi bagian pasien
dengan hepatitis C kronik yang belum pernah mendapatkan pengobatan IFN,
seperti (Friedmen, 2011):

a) kombinasi IFN dengan ribavirin


b) terapi induksi IFN
c) terapi dosis IFN tiap hari, yaitu:
1. Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta
unit 3x seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari
tergantung berat badan (1000mg untuk berat badan kurang
dari 75kg) yang diberikan untukjangka waktu 24-48
minggu.
2. Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan
dosis yang lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4
minggu yang dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu
selama 48 minggu dengan atau tanpa kombinasi dengan
RIB.
3. Terapi dosis interferon setiap hari. Dasar pemberian IFN
dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit tiap hari sampai HCV4.

RNA negatif di serum dan jaringan hati.


Pengobatan yang spesifik dari sirosishati akan diberikan
jika telah terjadi komplikas, seperti:
a. Astises
b. Spontaneous bacterial peritonitis
c. Hepatorenal syndrome
d. Ensefalophaty hepatic

B. Ulkus Ventrikuli
1. Definisi
Ulkus ventrikuli atau tukak lambung adalah lambung yang
mengalami luka yang ditandai dengan rasa kembung dan perih. Ulkus
ventrikuli yaitu penyakit mukosa lambung. Mukosa dinding lambung rusak
sehingga mungkin pula merusak oror lambung di bawahnya (Aries, 2005).
2. Etiologi
Ulserasi membrana mukosa lambung tepat kurang lazim ditemukan
dibandingkan ulkus duodenum. Ditimbul dalam pasien tua, sering menyertai
malnutrisi dan sedikit lebih lazim dalam pria dibandingkan wanita. Jenis

tersering cepet sembuh dengan terapi nonbedah, tetapi mempunyai klinik


tambahan untuk membedakan ulkus demikian dari karsinoma lambung.
3. Patogenesis
Tidak semua ulkus ventrikuli serupa secara etiologi. Telah dibedakan
tiga jenis, yaitu (Jonatan oswari, 1995):
a. Ulkus ventrikui jinak Tioe III (15% dari total) merupakan prapylorus,
yang ditemukan dalam 2 cm dari pylorus. Etiologi ulkus mungkin
serupa dengan ulkus duodeni, yaitu sudah kedalam lokasi ulkus duodeni
tang telah kasar. Sehingga sewaktu diperlukan terapi bedah, maka harus
dilakukan tindakan yang tepat untuk ulkus duodeni.
b. Ulkus ventrikuli jinak Tipe II (20%) ditemukan menyertai ulkus duodeni
yang telah menyumbat saluran keluar lambung. Hipotesis Dragted
menggambarkan bahwa ini akibat statik antrum, yang menghasilkan
hipergastrinemia.

Hipersekresi

realtif

berikutnya

bagi

asam

menyebabkan ulserasi lambung pada titik resistensi paling lemah,


sambungan mukosa antrum dan pensekresi asam peptik setinggi
eneisura pada curvatura minor. Seperti ulkus ventrikuli tipe III, suatu
operasi yang tepat untuk ulkus duodeni memberikan hasul memuaskan.
c. Ulkus ventrikuli jinak terlazim (65%) tipe I. Hal ini juga timbul dalam
curvatura minor, biasanya pada incisura, tetapi kadang-kadang lebih
proksimal. Tetapi berbeda dari ulkus tipe II, ulkus Tipe I selalu soliter
bisa ditemukan pada curcatura major tempat dapat sulit pembedaan dari
karsinoma

lambung.

Bukti

percobaan

dan

klinik

yang

besar

menggambarkan bahwa ulsersi ini suatu akibat pylorus tidak kompeten,


yang memungkinkan refluks isi usus atas berlebihan ke dalam lambung.
Kemudian menyebabkan perkembangan gastritis atrofikans bertahap,
yang bermigrasi ke proksimal dengan berlalunya waktu. Mukosa
lambung atrodi padat diperlihatkan lebih retan terhadap perncernaan
asam peptikum dibandingkan mukosa normal. Mungkin sebagai akibat
difusi balik asam berlebihan, sehingga walaupun ada fakta bahwa pasien
ulkus Tipe I biasanya normo atau hipokloridik pada tes sekresi lambung,

namun ulkus tepat diklasifikasi sebagai peptikum. Biasanya ulserasi


timbul paa sambungan mukosa pensekresi asam yang normal dan
mukosa lambung yang tidak mensekresi asam. Dari semua ulkus
peptikum tractus gartrointestinal atas, jenis ini paling jelas berhubungan
deengan cacat dalam retensi mukosa. Kenyataanya makan senyawa anti
inflamasi nonsteroid (NSAID) berlebihan telah jelas dilibatkan dalam
perkembangan ulkus ini pada subkelompokan pasien tertentu.
4. Diagnosis
Gejala klinin yang ditunjukan meliputi nyeri di epigatrium, mual,
munta, berat badan menurun, perdarahan (25% ), perforasi ( tidak sesering
pada ulkus duodeni), sering kambuh dan penyembuhan terlihat dengan
ukuran ulkus mengecil 50% dalam 3 bulan.

Manifetasi klinik ulkus

ventrikuli cukup bervariasi. Diagnosisi pasti ulkus ventrikuli dibuat secara


radiologi, barium inloop dan endoskopi (Monica Ester, 2000).
5. Penatalaksanaan
Seperti dinyatakan sebelumnya, pasien ulkus ventrikuli jinak tipe II
dan tipe III harus menjadi sasaran operasi yang tepat untuk ulkus duodeni.
Operasi pada keadaan ini ertujuan mengeksisi ulkus dan melakukan tindakan
mengurangi asam, baik gastrektomi distal atau vagotomi trunkus dan
drainase. Vagotomi sel parieetal mungkin tidak tepat pada keadaan yang
muncul ini. Pada abses lokal perlu dilakukan drainage. Kemudian pasien
dengan flegmon difus perlu gastrektomi dan pengaturan diet
C. Ulkus Diodenum
1. Definisi
Ulkus duodenum atau tukak duodenum (TD) secara anatomis
didefinisikan sebagai suatu defek mukosa/submukosa yang berbatas
tegas dapat menembus muskularis mukosa sampai lapisan serosa sehingga
dapat terjadi perforasi. Secara klinis, suatu tukak adalah hilangnya epitel
superficial atau lapisan lebih dalam dengan diameter 5mm yang dapat
diamati secara endoskopi atau radiologis (Akil HAM, 2006).

2. Etiologi
Ulkus duodenum yang telah diketahui sebagai faktor agresif yang
merusak pertaganan mukkosa adalah Helicobacter pylori, obat anti inflamasi
nonsteroid, asam lambung/pepsin dan faktor-faktor lingkungan serta
kelainan satu atau beberapa faktor pertahanan yang berpengaruh pada
kejadian Ulkus Duodenum (Akil HAM, 2006).
3. Patogenesis
Helicobacter pylori ditularkan secara feko-oral atau oral-oral.
Didalam terutama terkonsentrasi dalam antrum, bakteri ini berada pada
lapisan mukus dan sewaktu-waktu dapat menembus sel-sel epitel/ antar
epitel (Akil HAM, 2006).
Bila terjagi infeksa H.pylori maka bakteri ini akan melekat pada
permukaan epitel dangan bantuan adhesin sehingga akan terjadi gastritis
akut yang akan berlanjutmaenjadi gastritis kronik aktif atau duodenitis
kronik aktif (Akil HAM, 2006).
Bila terjadi infeksi H.pylori, host akan memberi respon untuk mengel
iminasi/memusnahkan bakteri ini melalui mobilitas sel-sel PMN/limfosit
yang

menginfiltrasi

mukosa

secara

intensif

dengan

mengeluarkan

bermacam-macam mediator inflamasi atau sitokinin, yang bersama-sama


dengan reaksi imun yang timbul justru akan menyebabkan kerusakan sel-sel
epitel gastroduodenal yang lebih parah namun tidak berhasil mengeliminasi
bakteri dan infeksi menjadi konik (Akil HAM, 2006).
Penggunaan OAINS secara kronik dan reguler bukan hanya dapat
menyebabkan kerusakan struktral pada gastroduodenal, tapi juga pada usus
halus dan usus besar berupa inflamasi, ulserasi atau perforasi. OAINS
bersifat asam sehingga dapat menyebabkan kerusakan epitel dalam berbagai
tingkat, namun yang paling utama adalah efek OAINS yang menghambat
kerja dari enzim siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat, sehingga
menekan produksi prostaglandin dan prosta

siklin yang

berperan

dalam

memelihara keutuhan mukosa dengan mengatur aliran darah mukosa,


proliferasi sel-sel epitel, sekresi mukus dan bikarbonat, mengatur fungsi
immunositmukosa serta sekresi basal asam lambung (Akil HAM, 2006).
4. Diagnosis
Gambaran klinik TD sebagai salah satu bentuk dispepsia organik
adalah sindrom dispepsia berupa nyeri atau rasa tidak nyaman pada
epigastrium. Nyeri seperti rasa terbakar, nyeri rasa lapar, rasa sakit/tidak
nyaman yang mengganggu dan tidak terlokalisasi, biasanya terjadi setelah 90
menit sampai 3 jam post prandial dan nyeridapat berkurang semaentara
sesudah makan, minum susu atau minum antasida.Nyeri yang spesifik pada
75% pasien adalah nyeri tengah malam yang membangunkan pasien. Neri
yang muncul tiba-tiba dan menjalar ke punggung perludiwaspadai adanya
penetrasi tukak ke pankreas, sedangkan nyeri yang muncul danmenetap
mengenai seluruh perut dicurigai ssuatu perforasi (Akil HAM, 2006).
Selain itu ulkus duodenum dilakukan dengan pemeriksaan endoskopi
saluran cernabagian atas dan sekaligus dilakukan biopsi lambung untuk
detiksi H.pylori atau denganpemeriksaan foto barium kontras ganda (Akil
HAM, 2006).
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ulkus duodenum awal pada perdarahan saluran
makanan bagian atas, yaitu (Tarigan, 2006):
a. Resusitasi
Prioritas pertama adalah penilaian, pemantauan, dan menjaga kestabilan
status hemodinamika.
1) Tanpa syok
- Perdarahan 500cc, dilakukan observasi tekanan darah-nadisuhu kesadaran. Periksa hemoglobin/hematokrit secara berkala
-

untuk evaluasi kemungkinan transfusi.


Perdarahan 500-1000cc, dilakukan evaluasi

kemungkinan

transfusi sambil terpasang infus larutan kristaloid (Ringer


Laktat)

Perdarahan masif (>1000cc, Hb<8 gr%), lakukan infus larutan


kristaloiddipercepat sambil menunggu darah untuk segera

transfusi.
2) Keadaan syok
- Letakkan penderita pada posisi telentang tanpa bantal, kepala m
-

iring kesamping, diberikan O2.


melalui kateter hidung 5 liter/menit dan pasang kateter foley

untuk pemantauan produksi urin.


Infus larutan kristaloid (Ringer Laktat) 1000cc dalam 1 jam.
Bila tetap syok, infus diteruskan dengan plasma ekspander
sambil menunggu darah untuk segera ditransfusi. Jumlah
transfusi tergantung pada respon hemodinamik yaitu CVP stabil

normal, tanda vital baik, diuresis cukup, Ht>30%.


b. Kuras lambung
Sesudah resusitasi berhasil baik, pasang pipa nasogastrik untuk aspirasi
isi lambung dan kuras lambung dengan air es 150cc tiap 2, 4, atau 6 jam
tergantung perdarahannya (Tarigan, 2006).
c. Pada perdarahan saluran makanan bagian atas masif/diduga perdarahan
arteriil, perlu segera

diketahui sumber perdarahannya melalui

pemeriksaan arteriografi mesentrika selektif. Tindakan pembedahan atau


laparotomi eksplorative dipertimbangkan pada kasus perdarahan massif
untuk diagnostik dan terapi (Tarigan, 2006).
d. Panendoskopi
Setelah hemodinamika stabil dan air kurasan berwarna merah muda
jernih, secara panendoskopi dapat dilihat sumber perdarahan yaitu
perdarahan varises esofageiatau perdarahan bukan berasal dari varises
esofagei (Tarigan, 2006).
e. Terapi mendikamentosa
1) Antasida
Saat ini antasida sudah jarang digunakan, antasida sering digunakan
untuk menghilangkan rasa sakit atau dispepsia. Obat ini bekerja
menetralisir

asam.

aluminium-magnesium

Pemberian

antasida

hidroksida

yang

mengandung

30-120cc/jam

mempertahankan pH intragastrik minimal 4,5 (Tarigan, 2006).


2) Obat panagkal kerusakan mukus (cyto protective)

untuk

a. Koloid bismuth
Mekanisme kerja belum jelas, kemungkinan membentuk
lapisan penangkal bersama protein pada dasar tukak dan
melindunginya terhadap pengaruhasam dan pepsin, berikatan d
engan pepsin, merangsang sekresi prostagladin, bikarbonat,
mukus. Efek samping jangka panjang dosis tinggiadalah neuro
toksik. Obat ini mempunyai efek penyembuhan hampir
samadengan ARH2 serta adanya efek bakterisidal terhadap
H.Pylori sehinggakekambuhan berkurang (Tarigan, 2006).
b. Sukralfat
Melindungi tukak dari pengaruh agresif asam dan pepsin. Efek
lainmembantu sintesa prostaglandin, menambah sekresi bikarb
onat dan mukus, meningkatkan daya pertahanan dan perbaikan
mukosal. Efek samping konstipasi, tidak dianjurkan pada gagal
ginjal kronik (Tarigan, 2006).
c. Prostaglandin
Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung ,
menambah sekresimukus, bikarbonat, dan meningkatkan aliran
darah mukosa dan perbaikanmukosa. Efek penekanan asam
lambung kurang kuat dibandingkan ARH2. Biasanya digunakan
sebagai penangkal timbulnya tukak gaster pada pasienyang
mengguankan OAINS. PGE/misoprostol. Efek samping diare,
mual,

muntah

dan

menimbulkan

kontraksi

otot

uterus/perdarahan sehingga tidak dianjurkan pada wanita yang


akan hami (Tarigan, 2006).
3) H-2 reseptor antagonis
Obat golongan ini mempunyai satu persamaan, yaitu memiliki
gugus imidazolhistamin yang dianggap penting sekali menghambat
reseptor Histamin-2 yang merupakan mediator untuk sekresi asam.
a. Cimetidin
Cimetidin mempunyai fungsi menghambat sekresi asam
basal dannokturnal. Obat ini juga akan menghambat sekresi
asam lambung, oleh karena rangsangan makanan. Obat ini

dapat

juga

digunakan

untuk pengobatan

gastritis kronis

dengan hipersekresi asam lambung dan tukak peptik

yang

mengalami perdarahan (Hadi, 2002).


b. Ranitidin
Ranitidin banyak dimanfaatkan untuk pengobatan tukak peptik
baik yang akut maupun yang kronis, dan khasiatnya 4-10 kali
cimetidin. Ranitidin menghambat sekresi asam lambung baik
dalam keadaan basal maupun sebagai respon terhadap berbagai
rangsangan. Sifat inhibitor terhadap sekresi asam lambung
tergolong kuat dengan masa kerja lama, sehingga (Hadi, 2002).
c. Roxatidin
Pemberian roxatidin asetat terbukti sangat kuat menghambat
sekresi asam lambung pada malam hari. Pengeluaran asam
lambung basal juga berkurang sekitar 90% setelah 3 jam
pemberian peroral 50 mg roxatidinasetat. Efektivitas roxatidin
asetat

setara

dengan

cimetidin

dan

ranitidindalam

mempertahankan bebas tukak, tetapi dengan roxatidin hal ini


dapatdicapai dengan dosis rendah (Hadi, 2002).
d. Famotidin
Famotidin dapat diberikan pada penderita tukak peptik yang
disertai sirosishati, dan juga pada gangguan faal ginjal yang
ringan. Dosis yangdianjurkan adalah 20 mg sehari atau 40 mg
yang diberikan hanya sekalisebelum tidur malam hari. Pada
tukak peptik diberikan pengobatan selama 4-6 minggu,
selanjutnya diberikan 20 mg tiap malam selama 4 mingguguna
mencegah

kekambuhan. Penderita

tukak peptik

yang

mengalami perdarahan atau pada stress ulcer dengan


perdarahan sebaiknya diberikan famotidin 20 mg secara
intravena

dua

kali

sehari.

Pemberian

iniselama 3-

5 hari dan biasanya perdarahan akan berhenti, kemudiandilanju


tkan peroral. Penderita dengan gastritis dapat diberikan dosis

lebihrendah yaitu 20 mg tiap malam sebelum tidur (Hadi,


2002).
D. Varises Esofagus
1. Definisi
Varises oesofagus adalah tampak protrusi pembuluh darah vena
mulai dari distal oesofagus sampai ke proksimal akibat hipertensi porta.
Hipertensi portal adalah salah satu komplikasi sirosis hati. Komplikasi
hipertensi portal yang sangat berbahaya adalah perdarahan varises
oesofagus. (DAmico, 2002).
Tekanan portal di ukur secara tidak langsung melalui gradien antara
wedged hepatic venous pressure dan free hepatic venous pressure gradient.
Secara normal HVPG lebih kecil dari 5 mmHg. (De Franchis, 2010)
2. Etiologi
Penyakit dan kondisi yang dapat menyebabkan varises esophagus adalah
sebagai berikut (Hadi, 2002):
a) Sirosis
Sejumlah penyakit hati dapat menyebabkan sirosis, seperti infeksi
hepatitis, penyakit hati alkoholik dan gangguan saluran empedu yang
disebut sirosis bilier primer.
b) Bekuan Darah (Trombosis)
Trombosis adalah terbentuknya massa bekuan darah intravaskuler
padaorang yang masih hidup. Dalam hal ini terjadi trombosis dalam
vena portalatau vena yang berhubungan dengan vena portal
yang disebut venalienalis. Pembesaran bentuk vena pada varises
esophagus terbentuk ketikaaliran darah ke hati diperlambat.
Seringkali aliran darah tersebut diperlambat oleh jaringan parut pada
hati yang disebabkan oleh penyakittertentu pada hati. Aliran darah
yang diperlambat menyebabkan peningkatantekanan dalam vena
besar

(vena

portal)

yang

membawa

darah

kehati. Tekanan

ini memaksa darah ke dalam vena yang lebih kecil didekatnya,


seperti vena pada esofagus. Ini menyebabkan vena-vena di
sekitaresofagus menjadi mengembung seperti balon-balon dengan

adanyatambahan darah. Karena venanya berdinding tipis, kadangkadang vena bisa pecah dan menyebabkan perdarahan.
c) Infeksi Parasit
Schistosomiasis adalah infeksi parasit yang ditemukan di bagian
Afrika,Amerika

Selatan,

Karibia, Timur

Tengah

dan

Asia

Tenggara. Ini adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit (Genus


Schistosoma) yang masuk kedalam tubuh manusia dengan menembus
kulit, kemudian bermigrasi melaluisistem vena ke vena portal, disana
parasit bereproduksi sehingga dapatmenimbulkan gejala penyakit
akut maupun kronis. Parasit ini dapat merusakhati, serta paru-paru,
usus dan kandung kemih.
d) Budd-Chiari Syndrome
Budd-Chiari Syndrome adalah

kondisi

yang

jarang

yang

menyebabkan penggumpalan darah yang bisa menyumbat pembuluh


darah yang membawadarah keluar dari hati.
3. Patogenesis
Pada sirosis hati, hipertensi portal timbul dari kombinasi peningkatan
vaskular intrahepatik dan peningkatan aliran darah ke sistem vena porta.
Peningkatan resistensi vaskular intrahepatik akibat ketidakseimbangan
antara vasodilator dan vasokontriktor. Peningkatan gradient tekanan
portocaval menyebabkan terbentuknya kolateral vena portosistemik yang
akan menekan sistem vena porta. Drainage yang lebih dominan pada vena
azygos menyebabkan terbentuknya varises oesofagus yang cenderung mudah
berdarah. Varises oesofagus dapat terbentuk pada saat HVPG diatas 10
mmHg (de Franchis 2010).
Hipertensi portal paling

baik

diukur

dengan

menggunakan

pengukuran hepatic vein pressure gradient (HVPG). Perbedaan tekanan


antara sirkulasi portal dan sistemik sebesar 10-12 mmHg sangat penting
dalam terbentuknya varises. Nilai normal HVPG adalah 3-5 mmHg.
Pengukuran awal HPVG bermanfaat bagi sirosis compensate dan
decompensate, sedangkan pengukuran secara berulang HPVG berguna untuk
monitoring pengobatan dan progresivitas penyakit hati (de Franchis 2010).

Gambar 2.3: Patofisiologi Varises Oesofagus (de Franchis 2010)


4. Perjalanan Alamiah Varises Oesofagus
Pasien sirosis hati dengan tekanan portal yang normal, maka belum
terbentuk varises oesofagus. Ketika tekanan portal meningkat maka secara
progresif akan terbentuk varises yang kecil. Dengan berjalannya waktu,
dimana terjadi peningkatan sirkulasi hiperdinamik maka aliran darah di
dalam varises akan meningkat dan meningkatkan tekanan dinding.
Perdarahan varises akibat ruptur yang terjadi karena tekanan dinding yang
maksimal. Jika tidak dilakukan penanganan terhadap tinggi tekanan tersebut,
maka merupakan faktor resiko untuk terjadinya perdarahan ulang (de
Franchis 2010).

Gambar 2.4: Perjalanan alamiah terbentuknya varises oesofagus dan


terjadinya perdarahan pada pasien sirosis hati (de Franchis, 2010).

5. Diagnosis
Oesofagogastroduodenoskopi

merupakan

gold

standar

untuk

mendiagnosa adanya varises oesofagus. Jika pemeriksaan gold standar


tersebut tidak dapat digunakan, maka ada prosedur diagnostik lainnya seperti
USG Dopler. Meskipun pemeriksaan USG Dopler ini kurang baik, namum
pemeriksaan ini dapat menggambarkan adanya varises. Alternatif lainnya
dapat berupa radiografi / barium swallow, manometri dan angiografi vena
porta (D Amico G,2002).
Oesofagogastroduodenoskopi sangat penting dalam menentukan
lokasi dan ukuran varises, perdarahan akut dan berulang serta menentukan
penyebab dan derajat beratnya penyakit hati (D Amico G,2002).
Sirosis hati dengan hipertensi portal dapat menyebabkan perdarahan
saluran cerna bagian atas oleh karena rupturnya varises oesofagus. Data
secara luas menggambarkan bahwa 50% pasien dengan sirosis akan
berkembang menjadi hipertensi portal dan varises oesofagus. Prevalensi
varises oesofagus pada sirosis hati sebesar 50-80%. Angka mortalitas akibat
perdarahan varises oesofagus sebesar 17-57% (D Amico G,2002).
Pemeriksaan gold standar untuk menegakkan varises oesofagus
adalah dengan menggunakan endoskopi. Namun pemeriksaan endoskopi
secara periodik atau berkala sangatlah mahal dan sering dihubungkan dengan
komplikasi yang dapat timbul akibat pemeriksaan endoskopi seperti
perdarahan maupun perforasi. Di samping itu, tidak semua pusat pemberi
pelayanan kesehatan terutama di daerah yang memiliki fasilitas endoskopi
serta adanya keterbatasan kompetensi dari seorang dokter untuk melakukan
pemeriksaan endoskopi. Sehingga dibutuhkan pemeriksaan (marker) noninvasive yang berhubungan dengan hipertensi portal, yang dapat
mengidentifikasi adanya varises oesofagus pada penderita sirosis hati (D
Amico G,2002).
6. Penatalaksanaan
a) Varises esofagus tanpa riwayat perdarahan

Varises tanpa riwayat pendarahan dapat ditangani menggunakan nonselektif beta-adrenergik bloker (misalnya, propranolol, nadolol, timolol),
asalkan

tidak

ada

kontraindikasi

menggunakan

obat

tersebut.

Misalnyariwayat diabetes militus tipe insulin dependent, penyakit paru


obtruktif

yang parah dan gagal jantung kogestif).

Pemberian

beta-

blokerditentukan dari 25% penurunan detak jantung istirahat atau


penurunan detak jantung 55x per menit. Penggunaan beta bloker
menurunkan 45% isiko pendarahan awal. Jika penderita mengalami
kontraindikasi terhadap beta- bloker dapat diberikan nitrat jangka
panjang (isosorbide 5 mononitrat) sebagai alternatif. Penggunaan
endoscopic sclerotherapy atau ligasivisera dengan dikombinasikan
propanolol dapat menurunkan risiko pendarahan pada varises esofagus
(Hadi, 2002).
b) Varises Esifagus dengan Riwayat Perdarahan
Pada varises dengan pendarahan hal yang harus dilakukan adalah:
menilaitingkat dan volume pendarahan, melakukan pemeriksaan tekanan
darah dandenyut nadi pasien dengan posisi terlentang dan duduk,
melakukan pemeriksaan hematokrit segera, mengukur jumlah trombosit
dan protrombintime,

memeriksa

fungsi

hati

dan

ginjal,

dan

melakukan pengobatan daruratseperti dibawah ini (Hadi, 2002):


Segera kembalikan tekanan dan volume darah penderita

yangdicurigai sirosis dan pendarahan visera


Lakukan transfuse darah, dilakukan dengan infuse cepat
dextrosedan larutan koloid sampai tekanan darah dan ekskresi

urin normal.
Lindungi jalan nafas dari pendarahan saluran cerna bagian

atas,terutama jika penderita tidak sadar.


Jika memungkinkan, perbaiki factor pembekuan dengan

cairan plasma dan darah segar, dan vitamin K-1.


Masukkan tabung nasogastrik untuk menilai keparahan
pendarahansebelum dilakukan endoskopi.

Pertimbangkan terapi farmakologis (octreotide atau


somatostatin)dan endoskopi segera setelah penderita pulih.
Tujuannya untukmenentukan dan mengendalikan pendarahan.

7. Prognosis
Pada beberapa studi, angka mortalitas pada episode awal dari
perdarahan varises adalah sebesar 50%. Angka kematian akibat perdarahan
varises ini di hubungkan dengan derajat keparahan penyakit hati. Setelah di
lakukan follow-up selama 1 tahun, angka kematian akibat perdarahan varises
pada Child A sebesar 5%, 25% pada Child B dan 50% pada Child C (D
Amico G,2002).
E. Chronic Renal Failure
1. Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal
ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).
2. Klasifikasi
Menurut Suharyanto dan Madjid (2009), gagal ginjal kronis dapat
diklasifikasikan berdasarkan sebabnya, yaitu :

Tabel 2.1: klasifikasi gagal ginjal (Suharyanto dan Madjid, 2009)


Berdasarkan perjalanan klinis, gagal ginjal dapat dibagi menjadi
tiga stadium (Suharyanto dan Madjid, 2009), yaitu :
a) Stadium I, dinamakan penurunan cadangan ginjal
Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan
penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat
diketahui dengan tes pemekatan kemih dan tes GFR yang teliti.
b) Stadium II, dinamakan insufisiensi ginjal
Pada stadium ini dimana lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi
telah rusak. GFR besarnya 25 % dari normal. Kadar BUN dan
kreatinin serum mulai meningkat dari normal. Gejala-gejala nokturia
atau seting berkemih di malam hari sampai 700 ml dan poliuria
(akibat dari kegagalan pemekatan) mulai timbul.
c) Stadium III, dinamakan gagal ginjal stadium akhir atau uremia \
Sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur atau rusak, atau hanya
sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10 %
dari keadaan normal. Kreatinin serum dan BUN akan meningkat
dengan mencolok. Gejala-gejala yang timbul karena ginjal tidak
sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit
dalam tubuh, yaitu: oliguri karena kegagalan glomerulus, sindrom
uremik.
Menurut The Kidney Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) ,
gagal ginjal kronis dapat diklasifikasikan berdasarkan tahapan penyakit
dari waktu ke waktu sebagai berikut :
Stadium 1 : kerusakan masih normal (GFR > 90 ml/min/1,73 m2)
Stadium 2 : ringan (GFR 60-89 ml/min/1,73 m2)
Stadium 3 : sedang (GFR 30-59 ml/min/1,73 m2)
Stadium 4 : gagal berat (GFR 15-29 ml/min/1,73 m2)
Stadium 5 : gagal ginjal terminal (GFR <15 ml/min/1,73 m2)
Pada gagal ginjal kronis tahap 1 dan 2 tidak menunjukkan tandatanda kerusakan ginjal termasuk komposisi darah yang abnormal atau
urin yang abnormal (Destia, 2010).

3. Patogenesis
Menurut Aru Sudoyo (2009) penyakit ginjal kronik pada awalnya
tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan
selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa
ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokinin dan growth faktor.
Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi
ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron
yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis reninangiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti
transforming growth factor (TGF-). Beberapa hal juga yang dianggap
berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas
interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulointerstitial.
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal
LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi
pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik),
tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi keluhan pada seperti nokturia,
badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.
Sampai pada LFG kurang 30 % pasien memperlihatkan gejala dan tanda

uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan


metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran
kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan
terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia,
gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada
LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius
dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini
pasien dikataan sampai pada stadium gagal ginjal.
4. Diagnosis
Pada gagal ginjal kronis, setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh
kondisi uremia, maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan
gejala. Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat
kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari dan usia pasien (Nursalam,
2006).
Menurut Nursalam (2006), manifestasi klinis yang terjadi :
a) Gastrointestinal : ulserasi saluran pencernaan dan perdarahan.
b) Kardiovaskuler : hipertensi, perubahan EKG, perikarditis, efusi
pericardium, tamponade pericardium.
c) Respirasi : edema paru, efusi pleura, pleuritis.
d) Neuromuskular : lemah, gangguan tidur, sakit kepala, letargi,
gangguan muskular, neuropati perifer, bingung dan koma.
e) Metabolik/ endokrin : inti glukosa, hiperlipidemia, gangguan hormon
seks menyebabkan penurunan libido, impoten dan ammenore.
f) Metabolik/ endokrin : inti glukosa, hiperlipidemia, gangguan hormon
seks menyebabkan penurunan libido, impoten dan ammenore.
g) Cairan-elektrolit : gangguan asam basa menyebabkan
kehilangan sodium sehingga terjadi dehidrasi, asidosis, hiperkalemia,
hipermagnesemia, hipokelemia.
h) Dermatologi : pucat, hiperpigmentasi, pluritis, eksimosis, uremia
frost.
i) Abnormal skeletal : osteodistrofi ginjal menyebabkan osteomalaisia.
j) Hematologi : anemia, defek kualitas flatelat, perdarahan meningkat.

k) Fungsi psikososial : perubahan kepribadian dan perilaku serta


gangguan proses kognitif.
5. Penatalaksanaan
Evaluasi dan penanganan pasien dengan CKD memerlukan
pengertian konsep terpisah namun saling berhubungan mengenai
diagnosis, kondisi komorbid, derajat keparahan penyakit, komplikasi
penyakit dan risiko hilangnya fungsi ginjal serta peyakit kardiovaskular
Kanitkar CM. 2009.
Nutrisi
Anak-anak yang menderita CKD mengalami kekurangan gizi dan protein
akibat anoreksia, mual dan muntah akibat uremia dan sensasi kecap yang
abnormal. Asupan kalori dan protein harus cukup untuk menopang
pertumbuhan. Karena banyak vitamin yang hilang saat dialisis, pasien
anak yang mengalami dialisis harus diberi tambahan vitamin, khususnya
asam folat, mineral trace, dan
vitamin B kompleks.

Gangguan elektrolit
Penurunan GFR sampai di bawah 50% nilai normal akan disertai
penurunan reabsorpsi bikarbonat yang menyebabkan asidosis sistemik,
akibatnya terjadi degradasi protein dan efluks kalsium dari tulang. Terapi
ditujukan untuk mempertahankan konsentrasi bikarbonat serum sebesar
20-22 mEq/L (20-22 mmol/L) dengan cara pemberian suplemen sodium
bikarbonat atau pengikat fosfat.
Hiperkalemia dapat terjadi karena ketika penyakit ginjal memburuk,
tubulus distal yang terisisa terus menerus mensekresikan kalium.
Peningkatan aldosteron juga mendorong sekresi kalium dengan
menstimulasi pertukaran natrium kalium di ginjal dan kolon. Hipokalemia
dapat juga terjadi pada anak yang menderita CKD, namun cenderung

terjadi pada pasien yang memiliki defek tubular seperti pada sindrom
Faconi.
Tabel 2.1. Pengobatan hiperkalemia Obat Dosis Efek samping

Anemia
Anemia pada CKD dapat disebabkan oleh menurunnya produksi
eritropoeitin atau kekuranagn zat besi. Data morbiditas, mortalitas dan
kualitas hidup dari K/DOQI menunjukan bahwa mempertahankan
hematokrit pada 33- 36% dan hemoglobin pada 11,0-12,0 g/dl sangat
penting untuk anak dengan CKD. Dengan perbaikan anemia, terdapat
perbaikan dalam perkembangan kognitif, fungsi jantung, dan ketahanan
fisik serta menurunnya mortalitas. Terapi zat besi oral sebaiknya dimulai
pada dosis 2-3 mg/kgBB per hari berupa zat besi elemental diberikan
dalam dua atau tiga dosis terbagi saat perut kosong dan tidak boleh
bersamaan dengan pengikat fosfat karena zat besi berikatan dengan
pengikat fosfat. Eritropoeitindapat diberikan1-3 kali per minggu. Dosis
awal sebesar 30-300 unit/kgBB per minggu, dosis rumatan ditentukan dan
disesuaikan

berdasarkan

nilai

hemoglobin

bulanan.

Darbepoeitin

merupakan eritropoeitin bentuk baru yang memiliki waktu paruh lebih


panjang dan dapat diberikan sekali tiap 2 minggu atau satu bulan yang
saat ini sedang diteliti penggunaannya untuk anak-anak.

Hipertensi
Target tekanan darah pada anak dengan CKD adalah di bawah persentil
90 sesuai usia dan jenis kelamin. Angiotensin converting enzyme inhibitor
(ACEI) dan angiotensin reseptor blocker (ARB) lebih efektif dalam
mencegah progresifitas kerusakan ginjal karena menurunkan tekanan
intraglomerular dan
proteinuria melalui efek langsung pada sirkulasi glomerulus.
Transplantasi Ginjal
Begitu anak mengalami ESRD, penanganan terbaik adalah transplantasi
ginjal. Transplantasi jarang dilakukan pada bayi berusia kurang dari 6
bulan dengan berat badan kurang dari 6 kg karena dugaan peningkatan
risiko kegagalan akibat infeksi, masalah teknis dan obat-obatan
imunosupresan. Pada umumnya yang dapat dilakukan transplantasi adalah
yang usianya lebih dari 1 tahun dan
berat badan minimal 10 kg.
F. Hematemesis Melena
1. Definisi
Perdarahan saluran cerna bahagian atas (didefinisikan sebagai
perdarahan yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada
duodenum distal. Sebagian besar perdarahan saluran cerna bahagian atas
terjadi sebagai akibat penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease)
(yang disebabkan oleh H. Pylori atau penggunaan obat-obat anti-inflamasi
non-steroid (OAINS) atau alkohol). Robekan Mallory-Weiss, varises
esofagus, dan gastritis merupakan penyebab perdarahan saluran cerna
bahagian atas yang jarang. (Dubey, S., 2008)
2. Etiologi
Banyak kemungkinan penyebab perdarahan saluran cerna bahagian
atas pada buku The Merck Manual of Patient Symptoms (Porter, 2008):
1. Duodenal ulcer (20 30 %)
2. Gastric atau duodenal erosions (20 30 %)
3. Varices (15 20 %)
4. Gastric ulcer (10 20 %)

5. Mallory Weiss tear (5 10 %)


6. Erosive esophagitis (5 10 %)
7. Angioma (5 10 %)
8. Arteriovenous malformation (< 5 %)
9. Gastrointestinal stromal tumors
Dalam buku Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology
ada beberapa etiologi yang dapat menimbulkan perdarahan saluran cerna
bahagian atas beserta tabel hasil penelitian dari Center for Ulcer Research
and Education (CURE) (Porter, 2008).
3. Gejala Klinis
Gejala klinis perdarahan saluran cerna, ada 3 gejala khas, yaitu:
a) Hematemesis
Muntah darah dan mengindikasikan adanya perdarahan saluran cerna
atas, yang berwarna coklat merah atau coffee ground. (Porter, R.S.,
et al., 2008)
b) Hematochezia
Keluarnya darah dari rectum yang diakibatkan perdarahan saluran
cerna bahagian bawah, tetapi dapat juga dikarenakan perdarahan
saluran cerna bahagian atas yang sudah berat. (Porter, R.S., et al.,
2008)
c) Melena
Kotoran (feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan kotoran
bercampur asam lambung; biasanya mengindikasikan perdarahan
saluran cerna bahagian atas, atau perdarahan daripada usus-usus
ataupun colon bahagian kanan dapat juga menjadi sumber lainnya.
(Porter, R.S., et al., 2008)
Disertai gejala anemia, yaitu: pusing, syncope, angina atau dyspnea.
(Laine, L., 2008)
4. Diagnosis
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan inspeksi muntahan pasien atau
pemasangan selang nasogastric (NGT, nasogastric tube) dan deteksi
darah yang jelas terlihat; cairan bercampur darah, atau ampas kopi
Namun, aspirat perdarahan telah berhenti, intermiten, atau tidak dapat
dideteksi akibat spasme pilorik. (Dubey S., 2008)
Pada semua pasien dengan perdarahan saluran gastrointestinal
(GIT) perlu dimasukkan pipa nasogastrik dengan melakukan aspirasi isi

lambung. Hal ini terutama penting apabila perdarahan tidak jelas. Tujuan
dari tindakan ini adalah:

Menentukan tempat perdarahan.


Memperkirakan jumlah perdarahan dan apakah perdarahan telah
berhenti. (Soeprapto, P., et al., 2010)
Angiography dapat digunakan untuk

mendiagnosa

dan

menatalaksana perdarahan berat, khususnya ketika penyebab perdarahan


tidak dapat ditentukan dengan menggunakan endoskopi atas maupun
bawah. (Savides, T.J., et al., 2010)
Conventional radiographic imaging biasanya tidak terlalu
dibutuhkan pada pasien dengan perdarahan saluran cerna tetapi
adakalanya dapat memberikan beberapa informasi penting. Misalnya
pada CT scan; CT Scan dapat mengidentifikasi adanya lesi massa, seperti
tumor intra-abdominal ataupun abnormalitas pada usus yang mungkin
dapat menjadi sumber perdarahan. (Savides, T.J., et al., 2010).
5. Penatalaksanaan
Mempertahankan saluran nafas paten dan restorasi volume
intravascular adalah tujuan tata laksana awal. Infus kristaloid awal,
sampai 30 mL/ kg, dapat diikuti transfusi darah O-negatif atau yang
crossmatched

jika

diperlukan.

Pasien

dengan

perdarahan

aktif

memerlukan konsultasi emergensi untuk esofagogastroduodenoskopi


(EGD). Pasien tanpa perdarahan aktif dapat dipantau, diobservasi, dan
mungkin dijadwalkan untuk EGD. Intervensi selama EGD meliputi
injeksi epinefrin submukosa, skleroterapi, dan ligase pita. Jika tindakan
ini gagal menghentikan perdarahan, angiografi dengan embolisasi atau
pembedahan mungkin diperlukan. Untuk pasien yang diduga mengalami
perdarahan varises, tata laksana medis dapat diberikan sambil menunggu
tindakan definitif. Oktreotid dapat digunakan untuk menurunkan tekanan
vena porta, dan pipa Sengstaken-Blakmore dapat dipasang sebagai
tindakan sementara untuk bertahan. (Dubey S., 2008).

G. Enchepalopati Hepar
1. Definisi
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom

neuropsikiatri

yang dapat terjadi pada penyakit hati akut dan kronik berat dengan
beragam manifestasi, mulai dari ringan hingga berat, mencakup
perubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran
tanpa adanya kelainan pada otak yang mendasarinya. Di Indonesia,
prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti karena
sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada 30%-84%
pasien sirosis hepatis. Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
mendapatkan prevalensi EH minimal sebesar 63,2% pada tahun 2009.
Data pada tahun 1999 mencatat prevalensi EH stadium 2-4 sebesar
14,9%. Angka kesintasan 1 tahun dan 3 tahun berkisar 42% dan 23%
pada pasien yang tidak menjalani transplantasi hati (Lesmana LA, 2014).

2. Etiologi
EH terbagi menjadi tiga tipe terkait dengan kelainan hati yang
mendasarinya; tipe A berhubungan dengan gagal hati akut dan ditemukan
pada hepatitis fulminan, tipe B berhubungan dengan jalur pintas portal
dan sistemik tanpa adanya kelainan intrinsik jaringan hati, dan tipe C
yang berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal, sekaligus paling
sering ditemukan pada pasien dengan gangguan fungsi hati (Riggio,
2010).
Klasifikasi EH berdasarkan gejalanya dibagi menjadi EH minimal
(EHM) dan EH overt. EH minimal merupakan istilah yang digunakan bila
ditemukan

adanya

defisit

kognitif

seperti

perubahan

kecepatan

psikomotor dan fungsi eksekutif melalui pemeriksaan psikometrik atau


elektrofisiologi. Sedangkan EH overt terbagi lagi menjadi EH episodik
(terjadi dalam waktu singkat dengan tingkat keparahan yang befluktuasi)

dan EH persisten (terjadi secara progresif dengan gejala neurologis yang


kian memberat) (Riggio, 2010).
3. Diagnosis
Ensefalopati

hepatik

menghasilkan

suatu

spektrum

luas

manifestasi neurologis dan psikiatrik nonspesifik. Pada tahap yang paling


ringan, EH memperlihatkan gangguan pada tes psikometrik terkait
dengan atensi, memori jangka pendek dan kemampuan visuospasial.
Dengan berjalannya penyakit, pasien EH mulai memperlihatkan
perubahan tingkah laku dan kepribaldian, seperti apatis, iritabilitas dan
disinhibisi serta perubahan kesadaran dan fungsi motorik yang nyata.
Selain itu, gangguan pola tidur semakin sering ditemukan. Pasien dapat
memperlihatkan disorientasi waktu dan ruang yang progresif, tingkah
laku yang tidak sesuai dan fase kebingungan akut dengan agitasi atau
somnolen, stupor, dan pada akhirnya jatuh ke dalam koma (Vilstrup,
2014).
Kriteria West Haven membagi EH berdasarkan derajat gejalanya
(Tabel 1). Stadium EH dibagi menjadi grade 0 hingga 4, dengan derajat 0
dan 1 masuk dalam EH covert serta derajat 2-4 masuk dalam EH overt,
seperti pada tabel 2.2 (Vilstrup, 2014):
Tabel 2.2. Stadium ensefalopati hepatik sesuai kriteria West
Haven

Menegakkan diagnosis EH. Pemeriksaan Number Connecting Test


(NCT), NCT-A dan NCT-B, maupun Critical Flicker Frequency (CFF)
merupakan

pemeriksaan

lain

untuk

mendiagnosis

EH.

Namun,

pemeriksaan MMSE, NCT, CFF masih sulit untuk dilakukan secara


merata di Indonesia. Oleh karena itu, para klinisi diharapkan memberi
penjelasan terhadap pasien beserta keluarganya mengenai tanda-tanda
EH, seperti komunikasi, perubahan pola tidur, penurunan aktivitas seharihari pasien hingga tanda-tanda seperti asteriksis, klonus maupun
penurunan kesadaran yang jelas. Pemeriksaan radiologis berupa magnetic
resonance imaging (MRI) serta elektroensefalografi (EEG) dapat menjadi
pilihan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan lain pada otak.
Elektroensefalografi

akan

menunjukkan

perlambatan

(penurunan

frekuensi gelombang alfa) aktivitas otak pada pasien dengan EH.


Pemeriksaan kadar amonia tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis pasti
EH. Peningkatan kadar amonia dalam darah (> 100 mg/100 ml darah)
dapat menjadi parameter keparahan pasien dengan EH.18 Pemeriksaan
kadar amonia darah belum menjadi pemeriksaan standar di Indonesia
mengingat pemeriksaan ini belum dapat dilakukan pada setiap rumah
sakit di Indonesia. Gambar dibawah ini menunjukkan alur diagnosis
pasien dengan kecurigaan EH (Vilstrup, 2014).

Tabel 2.3: Alur Diagnosis Pasien Dengan Kecurigaan Ensefalopati


Hepatik
4. Penatalaksanaan
Tatalaksana EH diberikan sesuai dengan derajat EH yang terjadi.
Dasar penatalaksanaan EH adalah: identifikasi dan tatalaksana faktor
presipitasi

EH,

pengaturan

keseimbangan

nitrogen,

pencegahan

perburukan kondisi pasien, dan penilaian rekurensi ensefalopati hepatik


(Frederick, 2011).
Beberapa faktor presipitasi dapat mencetuskan terjadinya EH,
seperti dehidrasi, infeksi, obat-obatan sedatif dan perdarahan saluran
cerna. Pencegahan dan penatalaksanaan terhadap faktor-faktor tersebut
berperan penting dalam perbaikan EH. Pemberian laktulosa dan konsumsi
cairan perlu dipantau untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Pemberian
antibiotik spektrum luas diindikasikan pada keadaan infeksi, sebagai
faktor presipitasi tersering, baik pada saluran cerna maupun organ lain.
Konsumsi alkohol dan obat-obatan sedatif harus dihentikan sejak awal
timbulnya manifestasi EH. Ligasi sumber perdarahan, observasi cairan
dan penurunan tekanan vena porta perlu dilakukan dengan tepat dan cepat
bila ditemukan perdarahan saluran cerna, terutama pecahnya varises
esofagus. Gangguan elektrolit juga menjadi salah satu pencetus EH pada

pasien sirosis sehingga membutuhkan penanganan yang adekuat (Riggio,


2010).
Ditemukannya faktor presipitasi EH pada pasien semakin
menguatkan diagnosis EH. Faktor presipitasi dapat diidentifikasi pada
hampir semua kasus EH episodik tipe C dan sebaiknya dievaluasi secara
aktif dan ditatalaksana segera saat ditemukan (Riggio, 2010).

Tatalaksanaan farmakologi
Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang
diterapkan dalam tatalaksana EH. Beberapa modalitas untuk
menurunkan kadar amonia dilakukan dengan penggunaan laktulosa,
antibiotik, L-Ornithine L-Aspartate, probiotik, dan berbagai terapi
potensial lainnya (Riggio, 2010).
- Non-absorbable Disaccharides (Laktulosa)
Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan
EH.7 Sifatnya yang laksatif menyebabkan penurunan sintesis
dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga
mengurangi uptake glutamin. Selain itu, laktulosa diubah
menjadi monosakarida oleh flora normal yang digunakan sebagai
sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan
menekan bakteri lain yang menghasilkan urease. Proses ini
menghasilkan asam laktat dan juga memberikan ion hidrogen
pada amonia sehingga terjadi perubahan molekul dari amonia
(NH3) menjadi ion amonium (NH4+). Adanya ionisasi ini
menarik amonia dari darah menuju lumen.
Dari metaanalisis yang dilakukan, terlihat bahwa
laktulosa

tidak

lebih

baik

dalam

mengurangi

amonia

dibandingkan dengan penggunaan antibiotik.12 Akan tetapi,


laktulosa memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mencegah
berulangnya EH dan secara signifikan menunjukkan perbaikan
tes psikometri pada pasien dengan EH minimal

Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml


sehari dan dapat diberikan 3 hingga 6 bulan. Efek samping dari
penggunaan laktulosa adalah menurunnya persepsi rasa dan
kembung.

Penggunaan

laktulosa

secara

berlebihan

akan

memperparah episode EH, karena akan memunculkan faktor


presipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan hiponatremia
-

Antibiotik
Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan
menekan

pertumbuhan

bakteri

yang

bertanggung

jawab

menghasilkan amonia, sebagai salah satu faktor presipitasi


EH.7,12,18 Selain itu, antibiotik juga memiliki efek antiinflamasi dan downregulation aktivitas glutaminase. Antibiotik
yang menjadi pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas
dan diserap secara minimal. Dosis yang diberikan adalah 2 x
550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan.12,21 Rifaximin
dipilih menggantikan antibiotik yang telah digunakan pada
pengobatan HE sebelumnya, yaitu neomycin, metronidazole,
paromomycin, dan vancomycin oral karena rifaximin memiliki
efek samping yang lebih sedikit dibandingkan antibiotik lainnya
(Frederick RT, 2011).
-

L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)


LOLA merupakan garam stabil tersusun atas dua asam
amino, bekerja sebagai substrat yang berperan dalam perubahan
amonia menjadi urea dan glutamine. LOLA meningkatkan
metabolisme amonia di hati dan otot, sehingga menurunkan
amonia di dalam darah.7 Selain itu, LOLA juga mengurangi
edema serebri pada pasien dengan EH (Frederick RT, 2011).
LOLA, yang merupakan subtrat perantara pada siklus urea,
menurunkan kadar amonia dengan merangsang ureagenesis. Lornithine dan L-aspartate dapat ditransaminase dengan -

ketoglutarate

menjadi

glutamat,

melalui

ornithine

aminotrasnferase (OAT) dan aspartate aminotransferase (AAT),


berurutan. Molekul glutamat yang dihasilkan dapat digunakan
untuk menstimulasi glutamine synthetase, sehingga membentuk
glutamin dan mengeluarkan amonia. Meskipun demikian,
glutamin dapat dimetabolisme dengan phosphate-activated
glutaminase

(PAG),

dan

menghasilkan

amonia

kembali

(Frederick RT, 2011).


Suatu RCT double blind menunjukkan pemberian LOLA
selama 7 hari pada pasien sirosis dengan EH menurunkan
amonia dan memperbaiki status mental. Akan tetapi, penurunan
amonia pada pasien EH yang mendapatkan LOLA diperkirakan
hanya sementara (Frederick RT, 2011).
-

Probiotik
Probiotik

didefinisikan

sebagai

suplementasi

diet

mikrobiologis hidup yang bermanfaat untuk nutrisi pejamu.


Amonia dan substansi neurotoksik telah lama dipikirkan
berperan penting dalam timbulnya EH. Amonia juga dihasilkan
oleh flora dalam usus sehingga manipulasi flora usus menjadi
salah satu strategi terapi EH. Mekanisme kerja probiotik dalam
terapi EH dipercaya terkait dengan menekan substansi untuk
bakteri patogenik usus dan meningkatkan produk akhir
fermentasi yang berguna untuk bakteri baik (Frederick RT,
2011).
Saat terhadap feses pasien EH minimal dan menemukan
pemberian

suplementasi

sinbiotik

(serat

dan

probiotik)

berhubungan dengan menurunnya jumlah bakteri patogenik


Escherichia coli, Fusobacterium, dan Staphylococcus dengan
peningkatan pada Lactobacillus penghasil nonurease. Penelitian
metaanalisis dari 9 laporan penelitian menunjukkan prebiotik,
probiotik dan sinbiotik mempunyai manfaat pada pasien EH.

Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan


dalam penggunaan probiotik pada tatalaksana dan prevesi
sekunder EH overt (Sharma, 2013).
-

TERAPI POTENSIAL LAINNYA


Beberapa obat lain saat ini masih dalam penelitian, antara
lain ammonia scavenger, activated charcoal, dan L-Ornithine
Phenylacetate (OP). Ammonia scavenger (natrium benzoat,
natrium fenilasetat, natrium fenilbutirat) digunakan untuk
memintas siklus urea yang telah tersaturasi penuh. Obat ini
diberikan secara intravena dan baru digunakan pada pasien
dengan gangguan siklus urea dan hiperamonemia, namun belum
disetujui untuk digunakan pada pasien EH. Activated charcoal
bekerja

menyerap

molekul

kecil,

diantaranya

amonia,

lipopolisakarida dan sitokin. AST-120, karbon berbentuk sferis


saat ini sedang diteliti efikasinya pada pasien dengan EH. Pada
pilot study terlihat bahwa AST-120 memiliki efikasi yang sama
dengan laktulosa namun dengan efek samping yang lebih
sedikit.L-Ornithinge Phenylacetate (OP) bekerja menurunkan
kadar amonia dengan berfungsi sebagai substrat pebentukan
glutamin dari amonia pada otot rangka (Frederick RT, 2011).

BAB III
KESIMPULAN
1

Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya

pembentukan jaringan ikat disertai nodul.


Sirosis merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya
pengerasan dari hati yang akan menyebabkan penurunan fungsi hati dan
bentuk hati yang normal akan berubah disertai terjadinya penekanan pada
pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya

menyebabkan hipertensi portal.


Ulkus ventrikuli atau tukak lambung yaitu penyakit mukosa lambung yang

mengalami luka yang ditandai dengan rasa kembung dan perih.


Ulkus duodenum tukak adalah hilangnya epitel superficial atau lapisan lebih
dalam dengan diameter 5mm yang dapat diamati secara endoskopi atau

radiologis
Varises oesofagus adalah tampak protrusi pembuluh darah vena mulai dari

distal oesofagus sampai ke proksimal akibat hipertensi porta


Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan

umumnya berakhir dengan gagal ginjal.


Hematemesis Melena perdarahan saluran cerna bahagian atas (didefinisikan
sebagai perdarahan yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada

duodenum distal.
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat
terjadi pada penyakit hati akut dan kronik berat. mencakup perubahan
perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya
kelainan pada otak yang mendasarinya

DAFTAR PUSTAKA

1. Aru Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. InternaPlubiding.


Jakarta. Hal: 668.
2. Bureau US Census, 2005. International Data Base, Statistics by Country
for Cirrhosis of the liver. http://www.cureresearch.com/c /cirrhosis_ of_the
_liver/stats-country_ printer.html (Diakses 11 Agustus 2011).
3. De franchis R. 2010. Revising consensus in portal hypertension: report of the
Baveno V consensus workshop on methodology of diagnosis and therapy in
portal hypertension. J hepatol. 53:762-768.
4. Desita. 2010. Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Peningkatan Kualitas
Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa di RSUP
HAM Medan.
5. Dubey S. 2008. Perdarahan Gastrointestinal Atas. Dalam: Greenberg, M.I.,
et al. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan Greenberg Vol 1. Jakarta: Penerbit
Erlangga, 275.Smeltzer dkk. 2001. Keperawatan medikal bedah 2 Edisi 8,
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
6. DAmico G, Criscuoli V, Fili D. 2002. Metaanalysis of trials for variceal
bleeding. Hepatology. 36:1023-1024.
7. Frederick RT. 2011. Current concepts in the pathophysiology and management
of hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol;7(4):222-33.
8. Friedmen, 2011. Mechanism of Hepatic Fibrogenesis, Division of Liver
Diseases,

Mount

Sinai

School

of

Medicinesm

of

Hepatic

http://id.wikipedia.org/wiki/Sirosis_hati. Diakses 04 April 2011


9. Sitepu S. 2006. Anatomi Tubuh Manusia. Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, Medan.
10. Hadi Sujono. 2002. Gastroenterologi, Penerbit Alumni Bandung, Bandung.

11. Irianto K. 2008. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia Paramedis. Penerbit
Yrama Widia, Bandung.
12. Kanitkar CM. 2009. Chronic Kidney Disease in Children: An Indian
Perspective, update. MJAFI .hal: 65:45-49.
13. Lesmana LA, Nusi IA, Gani RA, Hasan I, Sanityoso A, Lesmana CRA, et al.
2014. Panduan praktik klinik penatalaksanaan ensefalopati hepatik di
Indonesia 2014. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia.
14. Laine, L., 2008. Gastrointestinal Bleeding. Dalam: Fauci, A.S., et al.
Harrisons Principles of Internal Medicine: 17th ed. Vol 1. USA: McGrawHill Companies, 257 260.
15. Price S.A. 2006, Patofisiologi konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 6,
EGC. Jakarta.
16. National Vital Statistics Reports, 2010. Percentage of total deaths, death rates,
age-adjusted death rates for 2007, percentage change in age-adjusted death
rates in 2007 from 2006, and ratio of age-adjusted death rates, by race and sex
for the 15 leading causes of death for the total population in 2007,
http://www.cdc.gov/nchs Diakses 15 Maret 2011
17. Nursalam. 2006. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
18. Perhimpunan Nefrologi Indonesia. 2003. Penyakit Ginjal Kronik dan
Glomerulopati : Aspek Klinik dan Patologi Ginjal Pengelolaan Hipertensi
Saat ini. Jakarta.
19. Porter, R.S., et al., 2008. The Merck Manual of Patient Symptoms. USA:
Merck Research Laboratories.
20. Riggio O, Ridola L, Pasquale C. . 2010. Hepatic encephalopathy therapy: An
overview.World J Gastrointest Pharmacol Ther;1(2):54-63.

21. Suharyanto, Toto dan Abdul Madjid. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien
dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Trans Info Media
22. Soeprapto, P., et al., 2010. Kegawatdaruratan Gastrointestinal Dalam: Juffrie,
M., et al. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi: 1st ed. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI, 27 50.
23. Savides, T.J., et al., 2010. Chapter 19: Gastrointestinal Bleeding. Dalam:
Feldman, M., et al. Sleisenger and Fordtrans Gastrointestinal and Liver
Disease Pathophysiology/ Diagnosis/ Management 9th ed Vol 1. USA:
Saunders Elsevier
24. Sharma V, Garg S . 2013. Probiotics and Liver Disease. Perm J.17(4):62-7.
25. Vilstrup H, Amodio P, Bajaj J, Cordoba J, Fereni P, Mullen KD, et al. 2014 .
Hepatic encephalopathy in chronic liver disease: practice guideline by the
European Association for the Study of the Liver and the American Association
for the Study of Liver Diseases. J Hepatol

Anda mungkin juga menyukai