Anda di halaman 1dari 22

PRESENTASI KASUS DAN REFERAT

STASE ILMU KESEHATAN MATA


KONJUNGTIVITIS VERNAL

Dosen Pembimbing
dr. Teguh Anamani, Sp.M

Disusun Oleh:
Maya Alvionita

G4A015106

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PROFESI DOKTER

2016

LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS DAN REFERAT
KONJUNGTIVITIS VERNAL

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik


Di bagian SMF Ilmu Kesehatan Mata
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Disusun Oleh:
Maya Alvionita

G4A015106

Telah disetujui,
Pada tanggal:

April 2016

Pembimbing,

dr. Teguh Anamani, Sp.M

I.

STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
1. Nama

: An. A

2. Usia

: 3 tahun

3. Alamat

: Purwokerto

4. Nama orang tua

: Ny. S

5. Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

6. Tanggal Periksa

: 12 April 2016

B. Keluhan Utama
ODS mata kuning keruh
C. Keluhan Tambahan
ODS kadang terasa gatal, kemerahan setelah terkena angin dan terpapar sinar
matahari, dan mata berair.
D. Anamnesis
Pasien datang ke poli mata RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan
ibunya pada tanggal 12 April 2016 mata terlihat kuning keruh, tidak jernih,
dan sering gatal. Keluhan ini sudah muncul sejak empat bulan yang lalu.
Pada saat datang, mata pasien sedang tidak gatal dan kemerahan. Namun, ibu
pasien mengeluhkan bahwa selama empat bulan terakhir, mata kanan dan kiri
pasien sering tiba-tiba merah disertai dengan rasa gatal yang hebat, kadang
disertai dengan mata sedikit berair, ada perasaan mengganjal di mata, tidak
nyeri. Tidak ada pandangan kabur pada saat terjadi gejala-gejala tersebut.
Keluhan muncul tiba-tiba, terutama setelah pasien bermain diluar dan sering
terpapar angin dan sinar matahari. Keluhan tidak hanya dialami sekali, dan
seringkali sembuh sendiri tanpa pengobatan. Pasien juga sering mengucek
matanya apabila gatal. Tidak ada riwayat mengalami penyakit yang serupa di
dalam keluarga, namun kakak pasien mempunyai riwayat asma.
E. Status Pasien
Keadaan umum : Baik
Kesadaran
: Kompos mentis
BB/TB
: 14 kg/96 cm
Nadi
: 80x/menit
Nafas
: 20x/menit
Suhu
: 36,5oC
F. Status Oftalmologi
Occuli Dekstra (OD)

Occuli Sinistra (OS)

Penampilan
1,0
Eksoftalmus (-), gerak
bebas ke segala arah
Madarosis (-), trikiasis (-),
distikiasis (-), krusta (-)
Edema (-), benjolan (-),
lagoftalmus (-), ptosis (-),
entropion (-), ektropion (-)
Edema (-), benjolan (-),
entropion (-), ektropion (-)
Edema (-), hiperemis (-),
sekret (-), injeksi (-)
Edema (-), injeksi (-),
benda asing (-), jaringan
fibrovaskular (-)
Ikterik (-), injeksi
episklera (-), sedikit keruh
(+)
Kekeruhan (-), infiltrat (-),
keratik presipitat (-),
keratokonus/keratoglobus
(-)
COA dalam, tyndall effect
(-), hifema (-), hipopion (-)
Cokelat gelap,bentuk
regular,sinekia (-),nodul(-)
Bentuk bulat, tepi reguler,
isokor, berukuran +3mm,
letak sentral, refleks direk
indirek (+)
Kekeruhan (-), iris shadow
(-)
Positif cemerlang
Tidak dinilai
Normal
Edema (-), nyeri tekan (-),
hiperemis (-)
G. Ringkasan
Anamnesis:

Visus
Bola Mata
Silia
Palpebra Superior
Palpebra Inferior
Konjungtiva Palpebra
Konjungtiva Bulbi

Sklera

Kornea

Bilik Mata Depan


Iris

Pupil

Lensa
Refleks Fundus
Korpus Vitreus
Tekanan Intraokuli
Sistem Kanalis
Lakrimalis

1,0
Eksoftalmus (-), gerak
bebas ke segala arah
Madarosis (-), trikiasis (-),
distikiasis (-), krusta (-)
Edema (-), benjolan (-),
lagoftalmus (-), ptosis (+),
entropion (-), ektropion (-)
Edema (-), benjolan (-),
entropion (-), ektropion (-)
Edema (-), hiperemis (-),
sekret (-), injeksi (-)
Edema (-), injeksi (-),
benda asing (-), jaringan
fibrovaskular (-)
Ikterik (-), injeksi
episklera (-),sedikit keruh
(+)
Kekeruhan (-), infiltrat (-),
keratik presipitat (-),
keratokonus/keratoglobus
(-)
COA dalam, tyndall effect
(-), hifema (-), hipopion (-)
Cokelat gelap, bentuk
regular,sinekia (-),nodul(-)
Bentuk bulat, tepi reguler,
isokor, berukuran +3mm,
letak sentral, refleks direk
indirek (+)
Kekeruhan (-) putih
merata, iris shadow (-)
Positif cemerlang
Tidak dinilai
Normal
Edema (-), nyeri tekan (-),
hiperemis (-)

An. A usia 3 tahun dengan keluhan utama mata kuning, tidak jernih, dan
sering gatal
-

OD
Sklera mata kurang jernih
Onset 4 bulan yang lalu
Keluhan tambahan : sering
kemerahan disertai dengan
sangat gatal, mata sedikit
berair, perasaan mengganjal di
mata
Pasien mempunyai keluarga
dengan riwayat penyakit
atopik

OS
Sklera mata kurang jernih
Onset 4 bulan yang lalu
Keluhan tambahan : sering
kemerahan disertai dengan
sangat gatal, mata sedikit berair,
perasaan mengganjal di mata
Pasien mempunyai keluarga
dengan riwayat penyakit atopik

Pemeriksaan Fisik:
Nadi 80x/menit, Pernafasan 20x/menit, Suhu 36,2oC
Status Oftalmologik :
Occuli Dekstra (OD)
Sedikit keruh (+)

Occuli Sinistra (OS)


Sklera

Sedikit keruh (+)

H. Diagnosis Diferensial
ODS Konjungtivitis vernal
ODS Konjungtivitis atopik
ODS Konjungtivitis virus
I. Diagnosis Kerja
ODS Konjungtivitis vernal
J. Terapi
1. Vasokonstriktor : naphazoline 4x1 gtt
2. Antihistamin : Chlorpeneramin maleat topikal 4x1 gtt
3. Rujuk apabila papil besar dan harus dieksisi
4. Non-medikamentosa:
a. Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit, rencana
terapi, dan prognosis
b. Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai identifikasi alergen
spesifik dan menghindari paparan alergen spesifik serta alergen
spesifik yang dapat menimbulkan gejala
c. Kompres dingin apabila terjadi serangan
d. Edukasi agar tidak menggosol-gosok mata
K. Prognosis

1. Quo Ad Visam
Occuli Dekstra (OD)
Ad Bonam
2. Quo Ad Sanam

Occuli Sinistra (OS)


Ad Bonam

Occuli Dekstra (OD)


Dubia ad bonam
3. Quo Ad Vitam
Ad Bonam
4. Quo Ad Cosmeticam
Ad Bonam
L. Usulan/Rencana
1. Vasokonstriktor
2. Antihistamin
3. Rujuk untuk eksisi papil

Occuli Sinistra (OS)


Dubia ad bonam

II.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konjungtiva adalah membran mukosa yang tipis dan transparan,
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)
dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Lokasi konjungtiva
terletak paling luar dan menyebabkan seringnya pajanan terhadap
mikroorganisme dan faktor-faktor lingkungan luar yang mengganggu (Eva
dan John, 2009).
Peradangan pada konjuntiva disebut konjungtivitis. Penyakit ini
bervariasi mulai dari hiperemis ringan dengan mata berair sampai
konjuntivitis berat dengan banyak sekret purulen. Konjungtivitis dapat
bersifat akut maupun kronik, dan umumnya disebabkan oleh infeksi (seperti
bakteri, klamidia, virus, jamur), kimia, penyakit sistemik, etiologi tidak
diketahui, serta reaksi imunologik atau alergi. Salah satu penyakit
konjungtivitis yang disebabkan oleh reaksi imunologik adalah konjuntgtivitis
vernal (Eva dan John, 2009 Ilyas, 2010).
Insidensi konjungtivitis di Indonesia

berkisar

antara

2-75%.

Konjungtivits termasuk dalam 10 besar penyakit rawat jalan terbanyak pada


tahun 2009, dan menduduki peringkat kedua 10 penyakit utama pada mata
(9,7%) setelah kelainan refraksi (25,35%). Sedangkan insidensi dari
konjungtivitis vernal sendiri di seluruh dunia sama yaitu sekitar 0,1%-0,5%,
dan lebih sering terjadi pada musim panas atau di negara tropis.
Konjungtivitis vernal lebih sering terjadi pada anak-anak diawah usia 10
tahun yaitu antara usia 4-7 tahun dan lebih banyak pada anak laki-laki
dibandingkan dengan anak perempuan dengan perbandingan 3:1. Alergen
spesifik pada konjungtivitis vernal sulit dilacak. (Eva dan John, 2009 ;
Kemkes RI, 2010; Leonardi, 2006).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perjalanan penyakit dan perjalanan penyakit
konjungtivitis vernal.
2. Tujuan Khusus
Untuk menyelesaikan tugas presentasi kasus dan referat dari kepaniteraan
klinik di SMF Mata RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

III.

PEMBAHASAN

A. Konjungtiva
1. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang tipis dan transparan,
melapisi bagian posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan

anterior

sklera

(konjungtiva

bulbaris).

Konjungtiva

bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan


mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus (Eva dan John, 2009).
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu (Ilyas, 2010; Eva dan
John, 2009):
a. Konjungtiva palpebra
Melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke
tarsus serta penuh dengan pembuluh darah. Di tepi superior dan
inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks
superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi
konjungtiva bulbaris.
b. Konjungtiva bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerkakkan dari sklera di bawahnya.
Konjungtiva bulbi melekat longgar ke septum orbita di forniks dan
melipat berkali-kali. Adanya lipatan ini memungkinkan bola mata
bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik.
Konjungtiva bulbi melekat longgar pada kapsul tenon dan sklera di
bawahnya, kecuali di limbus (tempat kapsul tenon dan konjungtiva
menyatu sepanjang 3 mm.
c. Konjungtiva forniks
Merupakan tempat peralihan konjungtiva palpebra dan konjungtiva
bulbi. Forniks superior sebelah lateral merupakan tempat
bermuaranya duktus kelenjar lakrimal. Konjungtiva forniks
strukturnya sama dengan konjungtiva palpebra. Tetapi hubungan
dengan jaringan di bawahnya lebih lemah dan membentuk lekukanlekukan serta mengandung banyak pembuluh darah. Oleh karena
itulah apabila terjadi pembengkakan pada tempat ini menyebabkan
mudah terjadi peradangan mata.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar
dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.

Gambar 3.1. Anatomi Konjungtiva


Perdarahan pada konjungtiva berasal dari arteri konjungtiva
anterior dan arteri konjungtiva posterior. Arteri konjungtiva posterior
merupakan cabang dari arkade arteri palpebra yang dibentuk oleh arteri
nasalis dan arteri lakrimalis cabang palpebra. Sedangkan arteri
konjungtiva anterior merupakan cabang dari arteri siliaris anterior. Arteri
palpebra dan arteri siliaris beranostomosis dan bersama dengan vena
konjungtiva membentuk jaring-jaring vaskular konjungtiva yang sangat
banyak. Pembuluh darah balik pada konjungtiva yaitu vena palpebralis
dan vena oftalmika (Eva dan John, 2009).
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun di dalam lapisan superfisial
dan profundus bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk
pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari cabang
pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmika. Saraf ini memiliki
serabut nyeri yang lebih sedikit (Eva dan John, 2009).
2. Histologi Konjungtiva
Lapisan epitel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel
epitel silindris bertingkat, superfisial, dan basal. Lapisan epitel
konjungtiva di dekat limbus, di atas caruncula, dan di dekat
persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel

epitel skuamosa bertingkat. Sel epitel konjungtiva terdiri atas sel epitel
superfisial dan sel epitel basal. Sel-sel epitel superfisial mengandung sel
goblet yang berbentuk bulat atau oval, berfungsi untuk mensekresi
mukus yang diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara
merata. Sedangkan sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat, dan dapat
mengandung pigmen apabila terletak di dekat limbus (Eva dan John,
2009).
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid dan satu
lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di
beberapa tempat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum
germinativum. lapisan adenoid tidak berkembang setelah berumur 2-3
bulan. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat
pada lempeng tarsus. Kelenjar air mata asesoria (kelenjar Krause dan
Wolfring), yang struktut dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di
dalam stroma. Sebagian besar kelenjar Krause berada di forniks atas dan
sedikit ada di forniks bawah. Sedangkan kelenjar Wolfring terletak di tepi
tarsus atas (Eva dan John, 2009).
B. Definisi
Konjungtivitis vernal adalah peradangan yang terjadi pada konjungtiva
yang disebabkan karena reaksi alergi berupa reaksi hipersensitivitas tipe 1,
bersifat bilateral, rekuren, dan self-limiting. Penyakit ini juga dikenal sebagai
catarrh musim semi dan konjungtivitis musiman atau konjungtivitis
musim kemarau. Konjungtivitis vernal lebih sering terjadi pada musim
panas, cuaca yang kering, dan cuaca yang berangin (Ilyas, 2010; Eva dan
John, 2009; Kumar 2009).
C. Klasifikasi
Terdapat dua bentuk konjungtivitis vernal yang dapat muncul masingmasing atau dapat muncul secara bersamaan pada satu pasien, yaitu :
1. Bentuk palpebra
Pada tipe ini terutama mengenai konjungtiva tarsal superior. Terdapat
pertumbuhan papil yang besar (Coble stone) yang diliputi sekret yang
mukoid. Konjungtiva tarsal bawah mengalami edema dan hiperemis,
dengan kelainan kornea yang lebih parah dibandingkan dengan bentuk

limbal. Secara klinik, coble stone tampak sebagai tonjolan bersegi


banyak dengan permukaan yang rata dengan kapiler di tengahnya
(Ilyas, 2010).

Gambar 3.3. Konjungtivitis vernal tipe palpebra


2. Bentuk limbal
Pada tipe ini terjadi hipertrofi papil pada limbus superior yang
dapat membentuk jaringan hiperplastik gelatin, disertai dengan adanya
Trantas dot berupa bintik-bintik berwarna putih yang merupakan
degenerasi epitel kornea atau eosinofil di bagian epitel limbus kornea.
Ditemukan banyak eosinofil dan granula eosinofilik bebas di dalam
Trantas dot dan sediaan hapus eksudat konjungtiva yang terpulas
Giemsa. Selain itu sering dijumpai adanya pseudogerontoxon (kabut
serupa-busur) di daerah limbus.

Gambar 3.3. Konjungtivitis vernal tipe palpebra


D. Etiologi
Etiologi pada konjungtivitis vernal berhubungan dengan adanya
interaksi antara predisposisi genetik, adanya alergen lingkungan, serta
perubahan cuaca. Faktor genetik mempengaruhi regulasi gen-gen yang
berfungsi untuk pengaturan imunitas di kromosom 5q. Regulasi ini berfungsi
untuk produksi interleukin (IL-3) dan mediator inflamasi lain, regulasi Th2,

pengaturan pertumbuhan sel mast dan basofil, serta pengaturan produksi IgE.
Kelebihan

produksi

dari

mediator-mediator

tersebut

menyebabkan

hipersensitivitas tipe 1 terhadap alergen tertentu (Vichyanond, 2014).


Faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya konjungtivitis vernal
diantaranya adalah adanya alergen dan cuaca. Konjungtivitis vernal dapat
dipengaruhi oleh hal-hal berikut, diantaranya adalah :
1. Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
2. Iritasi oleh angin, debu, asap, dan polusi udara, dan sinar matahari
E. Epidemiologi
Insidensi dari konjungtivitis vernal sendiri di seluruh dunia sama yaitu
sekitar 0,1%-0,5%, dan lebih sering terjadi pada musim panas atau di negara
tropis dan bersifat rekuren serta bilateral. Konjungtivitis vernal banyak terjadi
di daerah Mediteranian, Afrika Tengh dan Afrika Barat, Jepang, India, Eropa
Timur, Australia, Amerika Utara, dan Amerika Selatan (Kumar, 2009).
Konjungtivitis vernal mengenai pasien usia muda antara 3-25 tahun.
Biasanya onset pada dekade pertama dibawah usia 10 tahun dan menetap
selama 2 dekade. Penyakit ini lebih banyak pada anak laki-laki dibandingkan
dengan anak perempuan dengan perbandingan 3:1. Gejala paling jelas
dijumpai sebelum onset pubertas dan kemudian berkurang. Alergen spesifik
pada konjungtivitis vernal sulit dilacak (Ilyas, 2010; Eva dan John, 2009 ;
Leonardi, 2006).
Konjungtivitis vernal umumnya terjadi pada pasien yang mempunyai
riwayat atopik dalam keluarga. Sekitar 90% pasien yang menderita
konjungtivitis vernal memiliki satu atau lebih keluarga setingkat yang
memiliki penyakit turunan misalnya asma, dermatitis kontak alergi, atau
rinitis alergi (Bonini, 2000).
F. Patomekanisme
Konjungtivitis vernal terjadi karena reaksi hipersensitif tipe 1. Pada
hipersensitif tipe 1, alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon
imun berupa IgE. Urutan kejadian reaksi tipe 1 adalah sebagai berikut
(Baratawidjaya, 2010) :
1. Fase semsitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikat silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sel
mast/basofil.

2. Fase aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast melepaskan isinya yang berisikan
granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi karena adanya ikatan
antara antigen dan IgE.
3. Fase efektor yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks sebagai efek
lepasnya mediator-mediator dari sel mast.

Gambar 3.5. Reaksi hipersensitif tipe 1


Pajanan dengan antigen mengaktifkan Th2 yang merangsang sel B
berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang
dilepas kemudian diikat oleh FceR1 pada sel mast. Pajanan kedua dengan
alergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat oleh
sel mast. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan membran dalam sel mast
dan menimbulkan degranulasi, metabolisme asam arakidonat, dan transkripsi
gen sitokin/kemokin (Baratawidjaya, 2010).
Mediator inflamasi utama yang keluar karena degranulasi sel mast
adalah histamin, yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskuler
dan vasodilatasi pembuluh darah. Metabolisme asam arakidonat juga
menyebabkan terbentuknya prostaglandin dan leukotrien yang juga berperan
dalam peningkatan permeabilitas vaskular. Sedangkan sitokin yang dilepas
antara lain adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, Il-10, IL-13, GM-CSF, dan TNF-.
Sitokin-sitokin

tersebut

berperan

dalan

vasodilatasi,

peningkatan

permeabilitas vaskular, peningkatan produksi IgE, dan kemoatraktan untuk


sel inflamasi lain seperti eosinofil dan neutrofil (Baratawidjaya, 2010).

Pada konjungtivitis, terjadi injeksi konjungtiva yang disebabkan oleh


vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu, gatal yang berat juga terjadi akibat
pengeluaran histamin. Pada konjungtivitis vernal, terjadi penebalan epitel dan
proliferasi fibroblast akibat ekspresi Th2 yang berlebihan, produksi growth
factor berupa TGF-, PDGF, dan histamin. Peningkatan growth factor ini
memicu

pertumbuhan

sel dan peningkatan

ekspresi integrin, juga

menyebabkan induksi infiltrasi dan proliferasi sel-sel PMN, eosinofil, basofil


dan sel mast, terjadi deposit kolagen dan hyalinisasi. Pertumbuhan sel, adanya
deposit kolagen dan infiltrasi sel radang menyebabkan terbentuknya papil
sehingga muncul gambaran cobble stone dan trantas dot. Reaksi inflamasi
juga menyebabkan terjadinya degenerasi mukoid epitel sehingga terbentuk
pesudomembran milkywhite yang menutupi papil (Baratawidjaya, 2010;
Kumar, 2009).

G. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terdapat pada konjungtivitis vernal adalah
sebagai berikut (Kumar 2009; Eva dan John, 2009) :
1. Gatal yang berat, terutama apabila terkena angin, debu, cahaya
matahari, panas, atau berkeringat.
2. Mata kemerahan
3. Biasanya rekuren pada musim panas
4. Lakrimasi
5. Fotofobia
6. Inflamasi bilateral
7. Sensitif terhadap cahaya matahari dan angin pada saat fase aktif
8. Adanya folikel, papil, dan coblestone pada konjungtiva tarsal superior
9. Trantas dot pada area limbal
10. Pembengkakan gelatinosa (papillae) pada limbus
H. Penegakan diagnosis
1. Anamnesis
Pasien umumnya mengeluhkan sangat gatal dengan kotoran mata
berserat-serat. Manifestasi lain yang menyertai adalah mata berair, rasa
pedih terbakar, sensitif terhadap cahaya, dan perasaan seolah-olah ada
benda asing yang masuk. Selain itu pada anamnesis perlu ditanyakan
adanya riwayat atopik pada keluarga. Gejala biasanya terjadi rekuren,
mengenai kedua mata, serta bersifat musiman. Sering terjadi pada cuaca
panas dan berangin. Pada saat fase aktif, pasien akan lebih sensitif
terhadap cahaya matahari, angin, dan debu (Kumar 2009; Eva dan John,
2009).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, terdapat injeksi konjungtiva. Pada tipe
palpebra, terdapat papil besar/raksasa yang tersusun seperti batu (cobble
stone). Cobble stone berbentuk poligonal dengan permukaan yang rata
dengan kapiler di tengahnya, tebal, dan kasar karena adanya serbuka
limfosit, eosinofil, plasma, serta akumulasi kolagen dan fibrosa. Adanya
coble stone dapat menggesek kornea sehingga dapat terjadi ulkus kornea
(Ilyas, 2010).
Pada tipe limbal terlihat penebalan sekeliling limbus karena adanya
massa putih keabuan, disertai dengan adanya Trantas dot berupa bintikbintik putih yang terdiri dari sebukan sel limfosi, eosinofil, dan akumuasi
kolagen dan fibrosa (Ilyas,2010).

Berdasarkan ukurannya, adanya papil pada konjungtivitis vernal ini


diklasifikasikan ke dalam beberapa tingkat (Bonini et al, 2000) :
1. Grade 0 : tidak terdapat reaksi pembentukan papil
2. Grade 1 (+) : ada sedikit papil dengan ukuran 0,2 mm tersebar pada
konjungtiva tarsal superior atau dekat limbus
3. Grade 2 (+) : papil berukuran 0,3-1 mm tersebar pada konjungtiva
tarsal superior atau dekat limbus
4. Grade 3 (+) : papil berukuran 1-3 mm di seluruh konjungtiva tarsal
atau 3600 daerah limbus
5. Grade 4 (+) : papil berukuran >3 mm di konjungtiva tarsal atau
muncul tampakan gelatin di limbus melingkupi area perifer kornea.
I. Tatalaksana
1. Farmakologi
Pada umumnya, konjungtivitis vernal merupakan penyakit yang dapat
sembuh sendiri. Obat-obatan yang berfungsi untuk menurunkan respon
imun dapat digunakan untuk mengobati konjungtivitis alergi, diantaranya
adalah sebagai berikut :
a. Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal merupakan salah satu obat yang paling
efektif dalam mengontrol tanda dan gejala pada konjungtivitis vernal.
Akan tetapi, penggunaan steroid jangka panjang dapat menyebabkan
komplikasi lain seperti katarak, glaukoma, dan infeksi virus, jamur,
dan bakteri sekunder sehingga tidak digunakan sebagai lini pertama
pengobatan. Steroid yang sering dipakai adalah fluotometholon,
medrysone, bethamethasone, dan dexametason. Kortikosteroid
biasanya digunakan pada fase akut dan dapat diberikan setiap 2 jam
selama 4 hari. (Eva dan John, 2009; Kumar, 2009).
b. Vasokonstriktor dan antihistamin non spesifik topikal
Obat ini menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah,
menurunkan permeabilitas pembuluh darah, dan mengurangi gatal
dengan cara memblokir reseptor H1. Obat ini dalam bentuk tetes dan
mengandung kombinasi antara vasokontstriktor seperti naphazoline
atau tetrahydrozoline dan antihistamin seperti pyrilamine dan
pheniramine. Tetes mata ini aman dan efektif untuk pengobatan
konjungtivitis vernal (Kumar, 2009).
c. Antihistamin sistemik

Obat anti-histamin oral ini digunakan apabila terdapat reaksi


alergi pada mata, hidung, kulit, dan faring secara bersamaan. Apabila
reaksi alergi hanya terdapat pada mata, lebih baik digunakan
antihistamin topikal karena efek yang lebih cepat dan lebih baik
dibandingkan dengan antihistamin sistemik (Kumar, 2009).
d. H1 reseptor bloker
Obat ini berfungsi untuk mengurangi gatal dengan memblok
reseptor H1 dan mencengah terjadi vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah. Selektif H1 bloker topikal lebih baik
dibandingkan dengan penggunaan kombinasi vasokonstriktor dan
antihistamin dalam mengontrol tanda dan gejala pada konjungtivitis
vernal. Obat dalam golongan ini adala levocabastine (0,05%) dan
emedastine 0,05% (Kumar, 2009).
e. Non-steroid anti-inflammatory drug (NSAID)
Obat ini menghambat aktivitas siklooksigenase

yang

bertanggung jawan untuk mengubah asam arakidonat menjadi


prostaglandin. Ketorolac trometramin 0,5% dan natrium diklofenak
0,1% efektif dalam mengurangi tanda-tanda dan gejala yang
berhubungan dengan konjungtivitis alergi. Natrium diklofenak 0,1%
tetes mata dapat menghambat produksi prostaglandin pada 40%
pasien. Meskipun hiperemis konjungtiva dapat berkurang, tetapi
ukuran papil dan lesi kornea tidak berubah pada pemberian NSAID
topikal ini (Kumar, 2009).
f. Stabilisator sel mast
Agen ini berfungsi untuk menghambat degranulasi sel mast,
sehingga membatasi pelepasan mediator inflamasi, termasuk
neutrofil, eosinofil, faktor kemotaktik, dan platelet activating factor
(PAF). Contoh obat ini antara lain cromoglycate, lodoxamide,
nedocromil, dan pemirolast. Cromolyn 4% sering digunakan untuk
penyakit mata karena alergi selama kurang lebih 25 tahun dan dapat
digunakan untuk pengobatan jangka panjang tanpa adanya efek
samping. Lodoxamide 0,1% dapat mengurangi sel CD4 dan sel
inflamasi lain terutama eosinofil lebih baik dibandingkan dengan
cromolyn 4% (Kumar, 2009).
g. Imunosupresan

Siklosporin A adalah agen imunosupresan sistemik yang ampuh


digunakan untuk mengobati berbagai kondisi immunomediated.
Studi klinis menunjukkan bahwa tetes mata topikal cyclosporine 2%
efektif untuk kasus-kasus berat yang tidak responsif. Penyuntikan
depot-kortikosteroid

supratarsal

dengan

atau

tanpa

eksisi

papilaraksasa terbukti efektif untuk ulkus perisai vernal. Sebanyak


86% pasien mengalami perbaikan gejala yang cepat setelah
pemberian siklosporin. Akan tetapi, siklosporin bersifat lipofilik dan
harus dilarutkan dalam alkohol atau zat berminyak . Hal ini dapat
menyebabkan efek samping berupa iritasi pada mata (Eva dan John,
2009; Kumar, 2009).
Jadi, pada konjungtivitis vernal, pasien dapat diberikan :
a. Pada fase akut, dapat diberikan kortikosteroid topikal setiap 2 jam
selama 4 hari. Obat lain yang dapat digunakan adalah naphazoline
tetes + pheniramin tetes, sodium cromaglycate 4% sebanyak 4-6 x 1
tetes/hari, lodoxamide tromethamie 0,1%, levocabastin, atau
cyclosporin.
b. Pada kasus berat dengan reaksi alergi yang bersamaan dengan di
tempat lain, diberikan anti histamin dan steroid oral.
2. Non-farmakologi
Terapi non-farmakologis yang dapat diberikan pada pasien konjungtivitis
vernal antara lain sebagai berikut (Vichyanond, 2014, Eva dan John,
2009; Kumar, 2009; Widyastuti, 2004):
a. Edukasi pasien untuk menghindari alergen spesifik dan alergen nonspesifik yang dapat memperburuk gejala, seperti angin, debu,
polutan, dan sinar matahari.
b. Memakai kacamata untuk mengurangi paparan
c. Edukasi terhadap pasien dan keluarga agar tidak menggosok-gosok
mata.
d. Kompres

dingin

untuk

mengurangi

iritasi

dan

sebagai

vasokonstriktor.
e. Tetes mata artifisial dapat melarutkan alergen dan mencuci mata
f. Klimatoterapi seperti pendingin udara di rumah atau pindah ke
tempat yang berhawa dingin.
3. Terapi bedah

Terapi bedah yang dilakukan yaitu berupa eksisi pada papil yang
berukuran besar apabila menyebabkan lesi pada kornea (Kumar, 2009).
J. Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada konjungtivitis vernal dapat disebabkan
oleh perjalanan penyakitnya atau efek samping pengobatan yang diberikan.
Bila proses penyakit meluas ke kornea, dapat terjadi parut kornea,
astigmatisme, keratokonus dan gangguan penglihatan. Akibat pasien sering
menggosok-gosok matanya, dapat terjadi bintik-bintik epitelial dan sikatriks
di kornea serta kekeruhan pada sklera. Selain itu juga dapat timbul
komplikasi lain berupa blefaritis dan konjuntivitis stafilokokus. Perjalanan
penyakit ini sangat menahun dan berulang, serta sering menimbulkan
kekambuhan pada saat cuaca panas (Eva dan John, 2009; Widyastuti, 2004).
Komplikasi penyakit akibat pengobatan disebabkan karena penggunaan
kortikosteroid jangka panjang. Penggunaan steroid jangka panjang dapat
menyebabkan glaukoma, katarak, dan infeksi bakteri sekunder (Eva dan John,
2009; Widyastuti, 2004).
K. Prognosis
Prognosis penderita konjungtivitis vernal pada umumnya baik karena
sebagian besar kasus dapat sembuh spontan (self-limiting disease), namun
komplikasi dapat terjadi dan menyebabkan prognosis menjadi buruk apabila
tidak ditangani dengan baik (Eva dan John, 2009; Widyastuti, 2004).

IV.

KESIMPULAN

Konjungtivitis vernal adalah peradangan yang terjadi pada konjungtiva


yang disebabkan karena reaksi alergi berupa reaksi hipersensitivitas tipe 1,
bersifat bilateral, rekuren, dan self-limiting. Etiologi pada konjungtivitis vernal
berhubungan dengan adanya interaksi antara predisposisi genetik, adanya alergen
lingkungan, serta perubahan cuaca.
Manifestasi klinis yang ada pada pasien adalah gatal yang berat, terutama
apabila terkena angin, debu, cahaya matahari, panas, atau berkeringat, mata
kemerahan, lakrimasi, fotofobia, sensitif terhadap cahaya matahari dan angin pada
saat fase aktif. Tanda klinis khas adalah adanya cobble stone pada bentuk
palpebralis dan trantas dot pada bentuk limbalis.
Penyakit ini pada umumnya dapat sembuh sendiri. Pengobatan yang dapat
diberikan yaitu menghindari menggosok-gosok mata, menghindari alergen
spesifik dan non spesifik, kompres dingin, air mata artifisial, pemakaian
kacamata, lingkungan yang dingin, serta pemberian obat berupa steroid topikal,
vasokonstriktor, antihistamin, NSAID, dan imunosupresan.

V.

DAFTAR PUSTAKA

Bonani S., Lambiase A., Marchi S. Vernal Keratokonjungtivitis : a case series of


195 patients with long-term followup. Ophthalmology Vol. 107 : 1157-63
Eva, Paul-Riordan dan John P. Witcher. 2009. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Jakarta: EGC
Ilyas, S. dan Yulianta, SR. 2014. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI
Kumar, S. 2009. Review Article : Vernal Keratokonjungtivitis : a Major Review.
Acta Ophthalmol Vol. 87 : 133-147
Leonardi A. Busca F. Motterle L. 2006. Case Series of 406 Vernal
keratoconjunctivitis patients : a demographic an epidemiological study. Acta
Opthalmol Scand Vol. 84 : 406-10
Vichyanond, P., Pacharn, P., Pleyer U., dan Leonardi, A. 2014. Review Article :
Vernal Keratokonjungtivitis : A Severe Allergic Eye Disease with
Remodeling Changes. Pediatric and Immunology Journal. DOI :
10.1111/pai.12197
Widyastuti, BS. Siregar SP. 2004. Konjungtivitis Vernalis. Sari Pediatri Vol.5 : 4

Anda mungkin juga menyukai