Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pemerintah pada tanggal 13 Juni 2013 telah mengundangkan peraturan
perundang-undangan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau
Diperoleh Wajib Pajak Yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Peraturan
Pemerintah ini diterbitkan dalam rangka upaya pemerintah untuk menggali
potensi penerimaan perpajakan. Sasaran dari penerbitan PP ini menggali potensi
penerimaan perpajakan dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang lebih
dikenal dengan UMKM. UMKM umumnya adalah pengusaha yang berbentuk
orang pribadi ataupun badan yang jumlah modalnya relatif masih kecil. Salah
satu modal utama UMKM adalah kreaktivitas dan sumber daya manusia, yang
lebih dikenal dengan usaha pada karya. Usaha yang dijalankan oleh pengusaha
tersebut

lebih

mengutamakan

operasional,

sehingga

pembukuan

atau

administrasi seringkali diabaikan. Pembukuan atau administrasi merupakan


beban tambahan yang harus dikeluarkan oleh UMKM, apalagi pada saat belum
menghasilkan.
Pembukuan dan tertib administrasi dalam rangka penghitungan pajak
penghasilan merupakan kendala yang banyak dihadapi oleh UMKM. UMKM
mengalami kesulitan dalam menyajikan laporan keuangan yang dapat dipercaya,
akurat,

dan

tepat

waktu.

Implikasinya

mereka

kesulitan

pula

dalam

memperhitungkan kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi olehnya. Oleh


karena itu jika dilihat dari sisi kepatuhan Wajib Pajak UMKM ternyata masih
banyak kekurangan disana sini. Banyak Wajib Pajak UMKM yang dengan
sengaja tidak melaporkan dan membayar pajak dikarenakan oleh beberapa hal,
seperti peraturan yang sulit untuk di mengerti. Bagi Wajib Pajak UMKM yang
masih menggunakan perhitungan akuntans sederhana belum mampu menyusun
pembukuan secara rinci, hal ini juga menjadi faktor melemahnya tingkat
kepatuhan Wajib Pajak khususnya UMKM.
Berangkat dari permasalah UMKM tersebut, pemerintah bermaksud
memberikan kemudahan kepada para wajib pajak dengan jalan menyediakan
suatu mekanisme perpajakan yang lebih sederhana dan dapat mudah
diperhitungkan kewajiban perpajakannya. Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun
2013 diterbitkan pemerintah dengan semangat itu. Peraturan Pemerintah
1

tersebut mengatur bahwa kepada UMKM yang skala usahanya masih kecil dan
sederhana akan diperhitugkan kewajiban perpajakannya dengan tarif final
terhadap keseluruhan peredaran brutonya dalam suatu tahun pajak. Dengan tarif
final ini, pemerintah berharap UMKM akan dapat lebih mudah menghitung
besaran kewajiban pajaknya secara mudah dan kemudian menyetorkannya ke
kas negara tanpa merasa kesulitan.
Namun apa yang terjadi di lapangan, ternyata pemberlakuan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini banyak menuai respon negatif dan kritikan
dari masyarakat baik akademisi maupun pelaku usaha beromzet kecil seperti
UMKM. Selain dipandang ternyata tidak memenuhi asas keadilan dalam
pengenaan pajak, Peraturan Pemerintah ini juga bertentangan dengan isi
ketentuan undang-undang perpajakan tentang pajak penghasilan yaitu UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Secara materi dan
asas pemungutan pajak, Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini
memang terdapat hal-hal yang menyimpangi Undang-Undang induknya tersebut.
Lantas apa dan bagaimana saja kelemahan dan penyimpangan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tersebut? Pada bagian tulisan selanjutnya,
kami, penulis

akan membahas lebih

lanjut

mengenai kelemahan dan

penyimpangan dalam Peraturan Pemerintah tersebut.


B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis disini hendak
merumuskan pokok permasalahan sebagai alasan penulisan ini dengan
Rumusan Masalah yang akan diangkat adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana isi ketentuan dari Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013?
2. Hal apa saja dari ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
yang banyak dikritisi dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan?
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan ini adalah yaitu :
1. Untuk mengetahui isi ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun
2013.
2. Untuk

mengetahui hasil studi komparasi antara Peraturan Pemerintah

Nomor 46 Tahun 2013 dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. KETENTUAN POKOK DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46
TAHUN 2013.
Pokok-pokok penting yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha
Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu yang diberlakukan efektif mulai 1 Juli 2013 tersebut adalah sebagai
berikut:
I. OBYEK PPH FINAL
Obyek dari Pajak Penghasilan Final yang diatur dalam PP No. 46 Tahun
2013 adalah penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu.
II. KRITERIA WP YANG DIKENAKAN PPH FINAL
1. WP yang memiliki peredaran bruto tertentu ini adalah WP yang memenuhi
kriteria sebagai berikut:
WP OP atau WP badan tidak termasuk BUT; dan
menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak
melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) ini ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari
usaha seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak terrnasuk peredaran
bruto dari:
- jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
- penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
- usaha yang atas penghasilannya telah dikenai PPh yang bersifat final
dengan

ketentuan

peraturan

perundang-undangan

perpajakan

tersendiri; dan
- penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
2. Tidak termasuk WP OP yang atas penghasilannya dikenai PPh Final adalah
WP OP yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang
dalam usahanya:

menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik


yang menetap maupun tidak menetap; dan
menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum
yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
III. CARA PENGENAAN PPH FINAL
1. Pengenaan PPh ini didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1
(satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang
bersangkutan.
Cara Penghitungan jumlah peredaran bruto :
Dalam hal peredaran bruto dari usaha pada Tahun Pajak terakhir sebelum
Tahun Pajak yang bersangkutan tidak meliputi jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, pengenaan PPh didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun
Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan yang disetahunkan.
Dalam hal WP baru terdaftar pada tahun pajak 2013 sebelum PMK ini
berlaku (sebelum 1 Juli 2013), pengenaan PPh didasarkan pada jumlah
peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan
sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini yang disetahunkan.
Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak berlakunya PMK ini (sejak 1 Juli
2013), pengenaan PPh didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada
bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan.
2. PPh terutang (bersifat final) = 1% (satu persen) X jumlah peredaran bruto
setiap bulan .
Dengan ketentuan sebagai berikut:
Dalam hal peredaran bruto kumulatif WP pada suatu bulan telah melebihi
jumlah Rp.4.800.000.000,- dalam suatu Tahun Pajak, WP tetap dikenai tarif
PPh final 1% (satu persen) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang
bersangkutan.
Dalam hal peredaran bruto WP telah melebihi jumlah Rp.4.800.000.000,pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
WP pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif PPh berdasarkan ketentuan
UU PPh.
IV. KETENTUAN TERKAIT KOMPENSASI RUGI
Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan
kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai PPh yang bersifat
final dengan ketentuan sebagai berikut:
5

kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun berikutnya berturut-turut sampai


dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka
waktu sebagaimana dimaksud diatas;
kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang
bersifat

final

berdasarkan

Peraturan

Pemerintah

ini

tidak

dapat

dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.

B. KELEMAHAN-KELEMAHAN

DALAM

PERATURAN

PEMERINTAH

NOMOR 46 TAHUN 2013


1. DASAR PENGENAAN PAJAK BERDASARKAN PADA PEREDARAN
BRUTO
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
pasal 4 ayat (1), disebutkan bahwa yang menjadi objek pajak adalah
penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Pasal
tersebut

bersifat

mengatur

mengenai

apa

yang

menjadi

obyek

pajak

penghasilan, sekaligus memberikan definisi mengenai bagaimana batasan


tentang penghasilan sebagai obyek pajak.
Sebagai pasal yang bersifat mengatur sekaligus memberi definisi, pasal
tersebut menjadi acuan dalam praktek pengenaan pajak penghasilan. Setiap
tambahan kemampuan ekonomis warga negara, baik yang diperoleh dari gaji,
upah, honorarium, hadiah, laba usaha, bunga, royalty, dividen, dan berbagai jenis
sumber penghasilan lainnya, menjadi obyek pajak yang merupakan dasar dari
dikenakannya pajak.
Konsistensi dijadikannya penghasilan sebagai obyek pajak kemudian
mendapat tanda Tanya besar seiring dengan terbitnya Peraturan Pemerintah
Nomor 46 tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha
yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut disebutkan bahwa pengenaan
pajak penghasilan dari usaha yang diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto di bawah Rp. 4.800.000.000,- didasarkan pada peredaran bruto
6

(omzet), bukan lagi berdasarkan penghasilan kena pajak.


Ketentuan

mengenai dasar

pengenaan

pajak

berdasarkan

nilai

peredaran bruto (omzet), bukan lagi penghasilan bersih sebelum dikenakan


pajak tentu saja menimbulkan persoalan jika ditinjau dari sudut mengenai apa
yang sebenarnya menjadi obyek pajak penghasilan. Undang-Undang Nomor 36
tahun 2008 mengatur bahwa obyek pajak penghasilan adalah penghasilan yang
didefiniskan sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, sedangkan dalam kenyataan dunia usaha, omzet jelasjelas tidak sama dengan penghasilan. Peredaran Bruto (omzet) dalam dunia
perdagangan tidak mewakili profit, omzet juga tidak mencerminkan laba, dan
akhirnya omzet bukan rujukan penghasilan. Omzet adalah kuantitas peredaran
barang semata, yang nilainya juga akan sangat beragam, tergantung jenis
barangnya ( Berlian, mobil, rokok, ayam, korek kuping, dan lain-lain).
Jika menilik dari latar belakang mengenai penetapan tarif 1% (satu
persen) dari peredaran bruto oleh Pemerintah, yaitu asumsi menteri keuangan
yang mematok laba rata-rata pengusaha Usaha Kecil Menengah adalah 7%
(tujuh persen) dari omzet, tentu sangat bias dan tidak bijaksana. Dalam dunia
usaha, banyak transaksi tidak menggunakan prosentasi, tetapi cukup dengan
nominal, misalnya berlian terjual Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
dengan keuntungan Rp. 1.0000.0000,- (satu juta rupiah), artinya memperoleh
laba 2% (dua persen) dari omzet ) atau contoh lain, sayur-mayur yang dikirim
dari Jawa Ke Kalimantan, karena terhambat oleh banjir yang melanda di
perjalanan dan mulai menjadi busuk karena basah terlalu lama di perjalanan,
hanya terjual Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), sama persis dengan harga
belinya, yaitu Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Dan terdapat sesuatu yang
dilupakan oleh pemerintah, bahwa setiap lahirnya omzet, didalamnya terdapat
komponen biaya, baik biaya perawatan, pengiriman, dan lain-lain. Jadi,
prosentase laba berbanding biaya kadang kala melahirkan kerugian.
Hanya para kartel, pelaku monopoli, atau pengusaha besar yang
bergelimang profit sampai 50% (lima puluh persen), sedangkan para Usaha Kecil
dan Menengah yang lahir dari perjuangan dan kerja keras, harus bertarung
dengan persaingan dagang yang ketat, kompetisi yang terjadi di kalangan
mereka, atau diberondongnya lahan mereka oleh produk impor dari Tiongkok
yang menggila, memaksa mereka untuk lebih kompetitif sekaligus telaten dengan
mengambil laba sekedarnya, asalkan usaha dapat berjalan lancar dan bertahan.
Pendek kata, digunakannya peredaran bruto sebagai dasar penetapan
pajak jelas-jelas menyalahi prinsip obyek pajak dari pajak penghasilan. Sebab,
7

bahkan kerugian dari usaha pun tetap dikenakan pajak 1% (satu persen) dari
peredaran bruto. Hal ini sungguh di luar nalar prinsip-prinsip keadilan.
II. TIDAK ADANYA PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK
Pada hakikatnya, tujuan pemungutan pajak adalah untuk mewujudkan
kemakmuran rakyat, sehingga dalam pelaksanaan pemungutannya tidak
dibenarkan jika akan menimbulkan kesengsaraan kepada rakyat. Dalam teori
keilmuan perpajakan, dikenal adanya teori daya pikul, yaitu suatu teori yang
menggambarkan bahwa sebelum masyarakat diberi beban untuk membayar
pajak, maka harus dipastikan terlebih dahulu bahwa masyarakat tersebut telah
mampu untuk membiayai biaya hidup minimal untuk diri dan keluarganya. Hal ini
diumpamakan seperti jembatan, tidak mungkin suatu jembatan diberi beban
untuk mananggung bobot benda-banda lain yang melaju di atasnya jika jembatan
tersebut belum mampu menopang bebannya sendiri.
Dalam praktek perpajakan di tanah air kita, teori daya pikul ini
diwujudkan dalam bentuk Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP), yaitu nilai
nominal tertentu dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Nilai nominal
tersebut merupakan nilai yang dianggap sebagai nilai minimal bagi seseorang
untuk dapat hidup.
Nilai PTKP tahun 2015 adalah Rp. 36.000.000,- per tahun untuk orang
pribadi belum menikah. Jika berstatus kawin atau memiliki tanggungan, PTKP
akan ditambah masing-masing Rp. 3.000.000,- per tahun untuk paling banyak 3
(tiga tanggungan). Hal demikian merupakan hal yang wajar dan sudah cukup
memberikan rasa keadilan.
Berdasarkan teori daya pikul tersebut, seseorang dapat dikenakan
beban pajak hanya jika penghasilannya telah melampaui nilai minimal untuk
biaya hidup. Artinya, jika penghasilan seseorang telah melampaui nilai PTKP,
maka kelebihan tersebut merupakan pendapatan yang dapat dikenakan pajak
(Pendapatan Kena Pajak). Pendapatan Kena Pajak (PKP) inilah yang menjadi
dasar penetapan tarif pajak.
Namun, pendekatan yang digunakan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 46 tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha
yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu sangat bertolak belakang sekaligus mengangkangi prinsip daya pikul.
Penggunaan peredaran bruto sebagai dasar pengenaan pajak jelas-jelas tidak
mengindahkan pemisahan antara Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan
Pendapatan Kena Pajak (PKP). Dalam Peraturan Pemerintah ini, setiap omzet
8

usaha dikenai pajak sebesar 1% (satu persen), terlepas apakah pelaku usaha
tersebut telah memiliki pendapatan yang melampaui PTKP atau tidak.
Sebagai contoh, X menjalankan usaha kecil toko kelontong, dia
berstatus menikah dan memiliki 2 (empat) orang anak. Omzet penjualannya
berkisar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) per bulan. Dari hasil usahanya
tersebut, pendapatan bersih real yang X peroleh dalam satu bulan rata-rata
sebesar Rp. 2.500.000,- atau sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah)
per tahun. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013, X
diwajibkan membayar pajak sebesar (Rp. 30.000.000,- x 12 x 1% = Rp
3.600.000,- (tiga juta enam ratus ribu rupiah). Padahal, dengan tanggungan istri
dan empat orang anak, biaya PTKP X sebagai wujud biaya hidup minimal adalah
sebesar Rp. 39.000.000,-.
Pengenaan

pajak

berdasarkan

peredaran

bruto

dengan

mengesampingkan nilai kebutuhan hidup minimal yang diwujudkan dalam PTKP


sungguh-sungguh di luar nalar yang manusiawi. Belum lagi jika misalnya karena
suatu hal tertentu, ternyata dari hitungan nilai omzet barang usahanya,
pengusaha justru memperoleh kerugian. Dan keadaan tersebut sama sekali tidak
tertolong oleh Peraturan Pemerintah yang tetap memaksa pelaku usaha yang
merugi tersebut untuk tetap membayar pajak.
III. ASAS KESEDERHANAAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK YANG SULIT
DITERAPKAN
Disebutkan dalam dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013 bahwa alasan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah tersebut adalah
didasarkan pada pertimbangan perlunya kesederhanaan dalam pemungutan
pajak, berkurangnya administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat
Jenderal Pajak, serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter.
Sedangkan tujuan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah tersebut adalah untuk
memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan dari usaha yang memiliki peredaran bruto tertentu, untuk melakukan
penghtungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013

ini

diharapkan Wajib Pajak, terutama bagi Wajib Pajak yang menerima penghasilan
dari usaha yang memiliki peredaran bruto di bawah Rp.4.800.000.000,- , akan
semakin mudah dalam menghitung pajaknya dan mengurangi keengganan Wajib
Pajak untuk menghitung, membayar, dan membayar pajak.

Namun Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013

ini

menyebutkan bahwa Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak,
dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan. Hal ini berarti jika Wajib Pajak yang menerima penghasilan dari
usaha yang memiliki peredaran bruto di bawah Rp.4.800.000.000.- juga
memperoleh penghasilan di luar dari apa yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, maka ia harus melakukan pemisahan
pembukuan untuk menghitung pajaknya. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan
apa yang menjadi tujuan dari Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
dibuat, karena Wajib Pajak diharuskan untuk mengetahui dan memisahkan
penghitungan

penghasilan

dari

usahanya

tersebut

dari

omsetnya

dan

menghitung sendiri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perpajakan.


Padahal jika kita cermati, kebanyakan Wajib Pajak yang menjadi sasaran dari
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah Wajib Pajak dengan
usaha kecil yang tidak memiliki pembukuan yang rinci dan mengerti mengenai
pembukuan

akuntansi.,

penghitungan

omset

dan

penghasilan

hanya

berdasarkan catatan-catatan yang sederhana. Hal ini juga mengakibatkan


bertambahnya beban administrasi bagi Wajib Pajak karena harus melakukan dua
kali perhitungan. Akibatnya Wajib Pajak menjadi lebih enggan untuk menghitung
dan membayar pajaknya, dan pada akhirnya penerapan Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 ini tidak berhasil mengena pada tujuan awalnya
memberikan kemudahan perhitungan dan administrasi Wajib Pajak.
IV. KERUGIAN YANG TIDAK DAPAT DIKOMPENSASIKAN
Sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
dasar pengenaan pajak bagi Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan dari
usaha dengan peredaran uang di bawah Rp.4.800.000.000,- adalah UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Berdasarkan
Undang-undang PPh tersebut, dasar perhitungan pajaknya adalah penghasilan
bruto dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan.
Sehingga jika apabila penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya-biaya
ternyata terdapat kerugian, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan
dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5
(lima) tahun (Pasal 6 ayat 2 UU PPh).
Dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013,
maka Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan dari usaha dengan peredaran
10

uang di bawah Rp.4.800.000.000,- harus mengikuti ketentuan dalam Peraturan


Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tersebut. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
ini, wajib pajak, baik wajib pajak badan maupun wajib pajak orang pribadi yang
peredaran brutonya tidak melebihi Rp.4.800.000.000,-/tahun serta tidak termasuk
yang

dikecualikan,

apabila

dalam

suatu

tahun

pajak

menderita

kerugian, tetap dikenakan pajak sebesar 1% dari peredaran brutonya. Hal ini
tentunya sangat merugikan bagi Wajib Pajak.
Berdasarkan keempat uraian kelemahan PP tersebut diatas ternyata
pada kenyataannya ketentuan-ketentuan dalam PP tersebut jelas bertentangan
dengan prinsip pemungutan pajak yang adil dan didasarkan pada teori daya
pikul.
Pemungutan pajak yang adil adalah pemungutan pajak yang sesuai
dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, dimana undang-undang dan
pelaksananan pemungutannya harus adil. Adil dalam perundang-undangan
diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya
yaitu dengan memberikan hak-hak bagi wajib pajak untuk mengajukan
keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada
Majelis Pertimbangan Pajak.
Sedangkan pemungutan pajak yang berdasarkan teori daya pikul adalah
bahwa beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak
harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang yang diukur
melalui dua pendekatan yaitu :
1. Pendekatan unsur obyektif, yaitu dengan melihat besarnya penghasilan atau
kekayaan yang dimiliki seseorang; dan
2. Pendekatan unsur subyektif, yaitu dengan melihat besarnya kebutuhan
materiil yang harus dipenuhi seseorang.

V. Penegasan Mengenai Ketentuan Penyetoran dan Pelaporan SPT

Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Sesuai Ketentuan PP 46 Tahun 2013


a. Ketentuan Penyetoran PPh
Wajib Pajak wajib menyetorkan PPh terutang ke kas negara melalui:

Kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan
menggunakan SSP;
Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bank-bank tertentu dimana Wajib
Pajak menerima Bukti Penerimaan Negara (BPN) dengan teraan
11

Nomor Transaksi Penerimaa Negara (NTPN) dalam bentuk cetakan


struk ATM yang kedudukannya disamakan dengan SSP; paling lama
tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh: untuk setoran PPh Final 1% masa pajak September 2014
disetorkan paling lambat tanggal 15 Oktober 2014.
b. Ketentuan Pelaporan SPT Masa
Wajib

Pajak

yang

melakukan

pembayaran

Pajak

Penghasilan

sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib menyampaikan SPT Masa PPh


paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh: untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) masa pajak
September 2014 dilaporkan paling lambat tanggal 20 Oktober 2014.
Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran PPh final 1% dan telah
mendapatkan validasi NTPN, dianggap telah menyampaikan/melaporkan SPT
Masa PPh, dengan tanggal pelaporan sesuai tanggal NTPN yang tercantum
pada SSP atau cetakan struk ATM.
Wajib Pajak dengan jumlah PPh Pasal 4 ayat (2) nihil tidak wajib
melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) ini.
Ketentuan mengenai pelaporan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) ini
diberlakukan mulai Masa Pajak Januari 2014, sehingga atas keterlambatan
pelaporan (sesuai tanggal validasi NTPN) masa Juli s.d. Desember 2013 tidak
dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000 untuk setiap
masa pelaporan.

12

BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 yang menggunakan peredaran
bruto sebagai dasar penetapan pajak jelas-jelas menyalahi prinsip obyek pajak dari
pajak penghasilan. Sebab, Peraturan Pemerintah ini tidak peduli apakah pengusaha
mengalami kerugian dalam usahanya. Pajak penghasilan sebesar 1% dari omset
tetap harus dibayar. Kerugian dari usaha yang bersifat final inipun tidak boleh
dikompensasikan.
Peraturan Pemerintah ini juga mengebiri hak pengusaha peorangan untuk
mendapatkan

Penghasilan

Tidak Kena

Pajak

(PTKP)

sebagai

pengurang

penghasilan yang akan dikenai pajak. Dengan demikian, tidak ada lagi
pertimbangan jumlah keluarga yang harus dihidupi. Pengusaha dengan omset yang
sama harus membayar pajak yang sama, walaupun status dan tanggungan mereka
berbeda.
Asas kesederhanaan dalam pemungutan pajak yang sulit diterapkan apabila
Wajib Pajak mempunyai penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud
sebagai obyek pajak dalam Peraturan Pemerintah ini dan penghasilan tersebut
dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan. Sehingga hal ini menyebabkan Wajib Pajak harus melakukan
pemisahan pembukuan untuk menghitung pajaknya dan juga mengakibatkan
bertambahnya beban administrasi bagi Wajib Pajak karena harus melakukan dua
kali perhitungan. Akibatnya Wajib Pajak menjadi lebih enggan untuk menghitung
dan membayar pajaknya, dan pada akhirnya penerapan Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 ini tidak berhasil mengena pada tujuan awalnya memberikan
kemudahan perhitungan dan administrasi Wajib Pajak.

13

Anda mungkin juga menyukai