Anda di halaman 1dari 6

Sejarah Buruh di Indonesia

A. Zaman Kolonial
Pada zaman colonial, buruh adalah sebutan untuk sekelompok masyarakat di
koloni yang termasuk kaum pekerja, kuli, petani, pegawai Pemerintah, buruh
kereta api, perkebunan, pertambangan, industri, jasa, pelabuhan, dan sebagainya.
[2] Gerakan-gerakan protes dari kaum petani yang muncul untuk menuntut
perbaikan kesejahteraan, kemudian memberikan inspirasi kepada kaum buruh
untuk menggalang kekuatan secara kolektif, yang diinisiasi oleh buruh yang
bekerja di perusahaan kereta api menuntut perbaikan kondisi kerja.
Perekonomian di zaman kolonial, sebagian besar pekerjaan menuntut tenagatenaga fisik yang kuat dan sedikit keterampilan. Oleh karena itu banyak penduduk
khususnya di perkotaan yang bekerja sebagai buruh dengan upah harian atau perjam yang sangat rendah, tanpa jaminan pekerjaan yang mengakibatkan buruh
harus terus berpindah pekerjaan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya.
Sebagian besar bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk masyarakat
Eropa, atau untuk tingkat yang lebih rendah, bagi orang-orang Indonesia atau
orang-orang Cina yang kaya, dimana mereka diikat dalam perjanjian dengan upah
yang tidak tetap atau kontrak kerja. Sensus tahun 1930, sensus paling teliti di
antara sensus-sensus lainnya, menghitung bahwa antara 30%-40% buruh Pribumi
di Batavia, Semarang, Surabaya, dan Bandung bekerja sebagai buruh dengan upah
harian atau sebagai pembantu rumah tangga.
Serikat Buruh pertama di Jawa dibentuk pada 1905 dalam Perusahaan Kereta
Api, tetapi serikat buruh ini dan serikat-serikat buruh lainnya berada dibawah
kendali Eropa dan hanya merekrut sejumlah kecil buruh Pribumi. Serikat Buruh
mulai banyak terbentuk dan meluas pada tahun 1910-an segera setelah Perang
Dunia I ketika serikat-serikat buruh tersebut melakukan gelombang pemogokan
yang berkesinambungan dan cukup berhasil sampai 1921.
Pada tahun 1920 telah tercatat bahwa ada sekitar 100 serikat buruh dengan
100.000 anggota. Hal ini tidak terlepas upaya propaganda yang dilakukan oleh

aktivis buruh dengan berbagai macam cara seperti pamflet, sura kabar, dan
selebaran. Peningkatan jumlah buruh upahan di perkotaan yang terus meluas, dan
sadar akan kondisi eksploitatif tempat mereka bekerja dan hidup, serta mulai
percaya bahwa mungkin mereka mampu melakukan perbaikan. Pada zaman itu,
serikat buruh sudah secara aktif dalam usaha kerasnya meningkatkan upah dan
juga memperbaiki kondisi kerja bagi para anggota, melalui berbagai cara salah
satunya adalah pemogokan.
B. Zaman Kemerdekaan
Di Indonesia, khususnya jelang dan setelah proklamasi kemerdekaan tahun
1945, serikat buruh menjadi organisasi sosial yang penting karena keterlibatan
mereka di dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankannya. Ini
mendorong lahirnya berbagai undang-undang dan peraturan yang amat
melindungi buruh justeru ketika Indonesia belum sepenuhnya merdeka, seperti
UU No. 33/1947 tentang Kecelakaan Kerja yang merupakan undang-undang
pertama hasil karya pemerintah Indonesia, disusul dengan UU No. 12/1948
tentang Kerja yang berisi berbagai ketentuan yang amat maju pada masanya untuk
perlindungan buruh, seperti waktu kerja delapan jam sehari, hak cuti haid bagi
buruh perempuan dan lain-lain.
Kecenderungan undang-undang protektif ini berlanjut terus hingga tahun
1950an dengan lahirnya beberapa undang-undang lain yang senada. Seperti UU
No 21/1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan
yang berisi jaminan untuk hak berunding secara kolektif bagi serikat buruh. Juga
UU

No.

22/1957

tentang

Penyelesaian

Perselisihan

Perburuhan

yang

mengkanalisasi perselisihan ke lembaga semi-pengadilan Panitia Penyelesaian


Perselisihan Perburuhan; termasuk di dalam UU ini adalah larangan pemutusan
hubungan kerja tanpa izin terlebih dahulu dari Negara; dan sebagainya.
Di sisi lain, pada masa orde lama Pemimpin Buruh Indonesia telah
diperhitungkan dalam kancah internasional karena jadi pelaku utama yang
melahirkan wadah serikat buruh internasional. Serikat Buruh Sarbumusi dan

Gasbindo ikut mendirikan Konfederasi Buruh Independen Dunia (ICFTU),


sementara SOBSI ikut mendirikan wadah serikat buruh sosialis (WFTU).[8]
C. Zaman Orde Baru
Hingga kemudian lahir Orde Baru pada tahun 1965 di bawah Jenderal
Soeharto, yang mengambil alih kekuasaan dengan terutama menghancurkan
seluruh gerakan progresif termasuk gerakan buruh yang dilumpuhkan dengan
tuduhan keterlibatan pada percobaan kudeta yang diklaim dilakukan oleh Partai
Komunis Indonesia (PKI) dengan Gerakan 30 September (G30S), yang memberi
legitimasi tentara mengambil alih kekuasaan dengan menghancurkan berbagai
organisasi pendukung PKI dan khususnya organisasi buruh yang tergabung di
bawah Sentral Organisasi Buruh Indonesia (SOBSI).
Penghancuran gerakan buruh ini tidak hanya dialami oleh organisasi buruh di
bawah PKI, tetapi semua organisasi buruh yang ada pada waktu itu. Sehingga,
dengan demikian, Orde Baru pun lahir dan berkembang dengan penghilangan
secara sistematis sebuah kekuatan pengimbang dari organisasi sosial dengan
tuntutan kesejahteraan dan keadilan sosial seperti serikat buruh, yang selama lebih
30 tahun berada dalam kontrol ketat Negara tanpa peluang menjadi kekuatan
pengimbang yang sesungguhnya.
Cukup percaya diri dengan kekuatannya, Orde Baru mempertahankan, atau
lebih tepatnya tidak menaruh peduli, undang-undang yang protektif tadi selama
era kekuasaannya yang otoriter, namun juga tidak melaksanakannya. Inilah yang
dulu disebut sebagai policy of law non-enforcement, atau kebijakan untuk tidak
menegakkan hukum. Serikat buruh dan gerakannya pun secara sistematis
dibungkam, yang menghasilkan posisi tawar buruh yang amat lemah di tingkat
perusahaan apalagi untuk mempengaruhi kebijakan dan pembentukan kebijakan
ekonomi yang lebih berkeadilan di negeri ini. Satu-satunya serikat buruh yang
dibolehkan ada hanyalah SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), yang praktis
hanya menjadi stempel dari kebijakan Pemerintah Orde Baru pada waktu itu.
D. Zaman Reformasi

Barulah setelah reformasi yang menjatuhkan kekuasaan Orde Baru tahun


1998, mulai terjadi perubahan dengan khususnya relaksasi prosedur pembentukan
serikat buruh. Begitu mulai berkuasa, Presiden Habibie yang menggantikan
Presiden Soeharto meratifikasi Konvensi ILO No. 87 menjamin hak untuk
berserikat bagi buruh. Konvensi ini melengkapi Konvensi No. 98 tentang
perundingan kolektif yang sudah diratifikasi sejak tahun 1950an. Sebelumnya
Menteri Tenaga Kerja Fahmi Idris pun mengeluarkan sebuah Peraturan Menteri
Tenaga Kerja yang mewajibkan agar seluruh serikat buruh yang ada, termasuk
SPSI, untuk mendaftar ulang. Ini memungkinkan hadirnya serikat-serikat baru
yang marak bermunculan setelahnya, baik yang merupakan pecahan dari SPSI
maupun yang betul-betul baru dibentuk pasca-reformasi.
Kebijakan ini kemudian dikuatkan dengan disahkannya UU No. 21/2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yang menjadi dasar hukum untuk
berkembang dan berfungsinya serikat buruh yang independen dan gerakan yang
mereka lakukan kemudian. Undang-undang ini merupakan satu paket dengan UU
No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menjadi sumber hukum material, dan
UU No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang
menjadi sumber hukum formil penyelesaian perselisihan perburuhan.
Bagi Indonesia, dengan disahkannya UU No. 21/2000, inilah pertama kalinya
ada undang-undang yang merupakan pengakuan secara tegas keberadaan dan hak
hukum serikat buruh, setelah lebih tiga puluh tahun gerakan serikat buruh
dijinakkan dan dikontrol di bawah konsep dan praktek korporatisme Negara.
Meski undang-undang tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar
bagi berkembangnya serikat buruh di negeri ini, posisi mereka secara umum
masih amat lemah. Pengakuan Negara mengenai keberadaan mereka tidak lantas
berarti pengakuan dari pengusaha, yang dikombinasikan dengan lemahnya
penegakan hukum yang aktif dari pemerintah dan ketidakpedulian pengusaha
yang tidak melihat baik konsekuensi negatif maupun positif untuk mengakui
keberadaan serikat buruh itu. Ditambah lagi oleh konflik dan fragmentasi di antara
serikat buruh sendiri yang masih amat problematis dan menghambat
perkembangan dari posisi serikat buruh yang lebih kuat di masyarakat.

Daftar Referensi
Surya Tjandra, Opini: Refleksi Kritis terhadap Putusan Pengadilan Hubungan
.. Industrial pada Mahkamah Agung terkait Perkara yang Bernuansa
. Tindakan Anti-Serikat Buruh (Putusan No. 97 PK/Pdt.Sus/2012,
Putusan No. 786 K/Pdt.Sus/2012, Putusan No. 403 K/PDT.SUS/2008,
dan Putusan No. Putusan No. 203 PK/Pdt.Sus/2012).
John Ingleson, Perkotaan, Masalah Sosial, & Perburuhan Di Jawa Masa
.. Kolonial, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, Hal vi.
Rekson Silaban, Opini Kompas: Pergerakan Buruh Indonesia, Kamis, 1 Mei
..2014,http://nasional.kompas.com/read/2014/05/01/1217264/Pergerakan
..Buruh.Indonesia, diunduh pada tanggal 6 Januari 2015, Pk. 14.05 WIB.
http://turc.or.id/news/sejarah-gerakah-buruh-indonesia/
..Rabu (14 September 2016 pukul 17.17 WIB)

diakses

pada

hari

Artikel
Sejarah Buruh Di Indonesia

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS TERSTRUKTUR DALAM MATA


KULIAH HUBUNGAN INDUSTRIAL PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

Disusun oleh:
Ezha Fericko.Y

(C1B014011)

Riyanto

(C1B014019)

Muhammad Shollih .A

(C1B014 081)

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PERGURUAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PURWOKERTO
2016

Anda mungkin juga menyukai