kebudayaan dalam negara dan pasar yang mendialogkan kebudayaan, politik, dan ekonomi, dan pasar
diwakili oleh entitas ''glokalisasi'' (paduan globalisasi dan lokalisasi) dan dinamisasi kebudayaan. Dengan
kata lain, dinamisasi kebudayaan dan glokalisasi adalah kata-kata kunci. Kalau dua hal itu tidak
dihadirkan, paling tidak secara teoretis, jangan-jangan masyarakat Bali hanya akan menjadi korban
hegemoni dan/atau dominasi kebudayaan, politik, dan pasar global.
----------------------------------------
Berangkat dari titik pijak bahwa kebudayaan 1) bersifat dinamis sesuai desa, kaa, dan patra-nya, (2)
tidak lagi berdimensi lokal tetapi juga menasional dan mengglobal, dan (3) secara tulus dimaksudkan
untuk tujuan emansipasi manusia Bali dengan jagadhita ya ca iti dharma (kesejahteraan lahir dan
batin) sebagaimana dikonsepkan di atas, harus siasat untuk ''melestarikan'' kebudayaan.
Satu lontaran disampaikan oleh prof. Ngurah Bagus lewat pemikiran transformasi spiralnya.
Transformasi spiral adalah upaya terus-menerus mengembangkan segala sesuatunya, di mana inti
kebudayaan yang menjadi identitas dapat terjaga dan manusianya mampu memaknai proses-proses
kebudayaannya dan mentransformasikan ke dalam nilai-nilai. Sehingga dari sana, diharapkan muncul
keterikatan, keseimbangan, dan kebanggaan. Mirip dengan cara kerja transformasi spiral adalah konsep
''trikon'' yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara. Dengan trikon, kebudayaan merupakan lanjutan
langsung dari kebudayaan sendiri (kontinuitet) menuju arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergent)
dengan tetap memiliki sifat kepribadian dalam lingkungan kemanusiaan sedunia (konsentrisitet).
Transformasi spiral dan trikon memiliki keunggulan karena sangat berpeluang mensinergikan
keberagaman lokal-nasional-global, masyarakat sipil-negara-pasar, dan kebudayaan-politik-ekonomi, di
mana kebudayan Bali ada di tengah-tengahnya. Model pelestarian kebudayaan seperti itu tentu masih
agak abstrak. Diperlukan berbagai cara yang lebih teknis dan operasional agar pelaksanaannya dapat
lebih baik. Bahkan, tawaran pengidentifikasian cultural development index dalam kehidupan manusia
Bali perlu ditindaklanjuti untuk mengejawantahkan bahwa, di Bali, ''pembangunan berwawasan budaya''
memang benar ''pembangunan berwawasan manusia''.
Penulis, mahasiswa S3 Kajian Budaya Universitar Udayana