Anda di halaman 1dari 2

Dinamisasi kebudayaan dan tantangan global (termasuk lokal dan nasional) lewat pemberdayaan

kebudayaan dalam negara dan pasar yang mendialogkan kebudayaan, politik, dan ekonomi, dan pasar
diwakili oleh entitas ''glokalisasi'' (paduan globalisasi dan lokalisasi) dan dinamisasi kebudayaan. Dengan
kata lain, dinamisasi kebudayaan dan glokalisasi adalah kata-kata kunci. Kalau dua hal itu tidak
dihadirkan, paling tidak secara teoretis, jangan-jangan masyarakat Bali hanya akan menjadi korban
hegemoni dan/atau dominasi kebudayaan, politik, dan pasar global.
----------------------------------------

Globalisasi-Lokalisasi Kebudayaan Bali


Oleh I Gede Mudana
============================================================
Terutama politik dan ekonomi, yang dibawa oleh fenomena globalisasi di sisi yang lain. Kebudayaan,
politik, dan ekonomi, secara ideal harus klop dalam rangka menghadapi persaingan-persaingan lokal,
nasional, dan tentu saja global.
Dinamisasi kebudayaan dan tantangan global (termasuk lokal dan nasional) lewat pemberdayaan
kebudayaan dalam negara dan pasar yang mendialogkan kebudayaan, politik, dan ekonomi di ranahranah pura, puri, dan pasar diwakili oleh entitas 'glokalisasi' (paduan globalisasi dan lokalisasi) dan
dinamisasi kebudayaan. Dengan kata lain, dinamisasi kebudayaan dan glokalisasi adalah kata-kata
kunci.
Derasnya Globalisasi
Globalisasi atau globalisme, menengarai faktor-faktor yang mengoyak-ngoyak struktur negara-bangsa
hingga tak lagi berbatas sebagaimana di masa lalu adalah empat: industri, investasi, individu, dan
informasi. Mengaca pada tengara Ohmane, karena empat 'I' yang sama, globalisasi pun sangat
berpeluang mengoyak-ngoyak kemodernan kebudayaan Bali. Ini memang zamannya posmodern.
ketika terjadi globalisasi, ternyata juga berlangsung lokalisasi, yaitu semacam proses yang berbalik dari
globalisasi itu sendiri. Globalisasi menyediakan fragmentasi-fragmanetasi, seperti halnya yang marak
dalam ekonomi-politik dan politik ekonomi di Indonesia dengan tersedianya ruang-ruang bagi
desentralsiasi lewat proses-proses otonomi (daerah). Derasnya gelombang glokalisasi lebih menyoroti
Bali ''dari dalam'', sebagai inward looking, lewat ritual agama dan/atau peristiwa kesenian, seperti
halnya wacana-wacana umum kebudayaan setempat yang sering muncul.
dari makalah yang saya temukan di internet yang berjudul ''Manusia Bali Tempo Dulu dan Kekinian
dalam Berbudaya'' menyatakan, sejak masa lalu, manusia Bali mempunyai kemampuan tersendiri untuk
mengolah berbagai kebudayaan luar. sampai kini manusia Bali menghadapi globalisasi dan lokalisasi
(itulah glokalisasi), internasionalisasi dan tradisionalisasi, kosmopolitisme dan parokialisme. Ingin
dikatakannya, Bali mengalami ''paradoks budaya'' yang tidak main-main. Paradoks seperti itu, dalam
bahasa sejarawan adalah ''ketumpangtindihan budaya'' yang tidak bisa dimungkiri.
Prof. Ngurah Bagus, tampaknya banyak ''belajar'' dari Pierre Bourdieu, seorang filsuf kritis kontemporer
dari Prancis. Menurut Bourdieu (1977), lewat 'praktik'' keterlibatan aktif ''dari bawah'', masyarakatlah
yang aktif menentukan kebduayaannya, sehingga kebudayan tidak diwariskan begitu saja kepadanya.
Konsep ini sangat cocok dengan keadaan di Bali yang masyarakatnya dibekali pemahaman desa (ruang),
kala (waktu), dan patra (mausia), yang menunjukkan bahwa setiap gagasan, perilaku, dan materi
kebudayaan senantiasa ''menyesuaikan''. Tanpa cara konstruksi sosial terhadap kebudayaan seperti itu,
jagadhita ya ca iti dharma yang ingin ''membebaskan'' manusia tinggal kata-kata belaka.
Model Pelestarian Kebudayaan

Berangkat dari titik pijak bahwa kebudayaan 1) bersifat dinamis sesuai desa, kaa, dan patra-nya, (2)
tidak lagi berdimensi lokal tetapi juga menasional dan mengglobal, dan (3) secara tulus dimaksudkan
untuk tujuan emansipasi manusia Bali dengan jagadhita ya ca iti dharma (kesejahteraan lahir dan
batin) sebagaimana dikonsepkan di atas, harus siasat untuk ''melestarikan'' kebudayaan.
Satu lontaran disampaikan oleh prof. Ngurah Bagus lewat pemikiran transformasi spiralnya.
Transformasi spiral adalah upaya terus-menerus mengembangkan segala sesuatunya, di mana inti
kebudayaan yang menjadi identitas dapat terjaga dan manusianya mampu memaknai proses-proses
kebudayaannya dan mentransformasikan ke dalam nilai-nilai. Sehingga dari sana, diharapkan muncul
keterikatan, keseimbangan, dan kebanggaan. Mirip dengan cara kerja transformasi spiral adalah konsep
''trikon'' yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara. Dengan trikon, kebudayaan merupakan lanjutan
langsung dari kebudayaan sendiri (kontinuitet) menuju arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergent)
dengan tetap memiliki sifat kepribadian dalam lingkungan kemanusiaan sedunia (konsentrisitet).
Transformasi spiral dan trikon memiliki keunggulan karena sangat berpeluang mensinergikan
keberagaman lokal-nasional-global, masyarakat sipil-negara-pasar, dan kebudayaan-politik-ekonomi, di
mana kebudayan Bali ada di tengah-tengahnya. Model pelestarian kebudayaan seperti itu tentu masih
agak abstrak. Diperlukan berbagai cara yang lebih teknis dan operasional agar pelaksanaannya dapat
lebih baik. Bahkan, tawaran pengidentifikasian cultural development index dalam kehidupan manusia
Bali perlu ditindaklanjuti untuk mengejawantahkan bahwa, di Bali, ''pembangunan berwawasan budaya''
memang benar ''pembangunan berwawasan manusia''.
Penulis, mahasiswa S3 Kajian Budaya Universitar Udayana

Anda mungkin juga menyukai