Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gangrene Radiks
2.1.1. Definisi
Gangren radiks adalah tertinggalnya sebagian akar gigi. Jaringan akar gigi yang
tertinggal merupakan jaringan mati yang merupakan tempat subur bagi
perkembangbiakan bakteri.1
2.1.2. Etiologi
Gangren radiks dapat disebabkan oleh karies, trauma, atau ekstraksi yang tidak
sempurna.1
2.1.3. Patogenesis2,3
Karies dapat terjadi akibat pertumbuhan bakteri di dalam mulut yang mengubah
karbohidrat yang menempel pada gigi menjadi suatu zat bersifat asam yang
mengakibatkan demineralisasi email. Umumnya, proses remineralisasi dapat
dilakukan oleh air liur, namun jika terjadi ketidakseimbangan antara
demineralisasi dan remineralisasi, maka akan terbentuk karies (lubang) pada gigi.
Karies kemudian dapat meluas dan menembus lapisan dentin. Pada tahap ini, jika
tidak ada perawatan, dapat mengenai daerah pulpa gigi yang banyak berisi
pembuluh darah, limfe dan syaraf. Pada akhirnya, akan terjadi nekrosis pulpa,
meninggalkan jaringan mati dan gigi akan keropos perlahan hingga tertinggal sisa
akar gigi.
Mahkota gigi dapat patah akibat trauma pada gigi, seperti terbentur benda keras
saat terjatuh, berkelahi, atau sebab lainnya. Seringkali mahkota gigi yang patah
menyisakan akar gigi yang masih tertanam dalam gusi, dengan pulpa gigi yang
telah mati.
Pencabutan tidak sempurna juga sering menyebabkan gangren radiks. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain struktur gigi yang rapuh, akar gigi yang

bengkok, akar gigi yang menyebar, kalsifikasi gigi, aplikasi forceps yang kurang
tepat dan tekanan yang berlebihan pada waktu tindakan pencabutan.
Sisa akar gigi atau gangren radiks yang hanya dibiarkan saja dapat muncul keluar
gusi setelah beberapa waktu, hilang sendiri karena teresorbsi oleh tubuh, atau
dapat berkembang menjadi abses, kista dan neoplasma. Setiap sisa akar gigi juga
berpotensi untuk mencetuskan infeksi pada akar gigi dan jaringan penyangga gigi.
Infeksi ini menimbulkan rasa sakit dari ringan sampai hebat, terjadi pernanahan,
pembengkak pada gusi atau wajah hingga sukar membuka mulut (trismus). Pasien
terkadang menjadi lemas karena susah makan. Pembengkakan yang terjadi di
bawah rahang dapat menginfeksi kulit, menyebabkan selulitis atau flegmon,
dengan kulit memerah, teraba keras bagaikan kayu, lidah terangkat ke atas dan
rasa sakit yang menghebat. Perluasan infeksi ini sangat berbahaya, bahkan
penanganan yang terlambat dapat merenggut jiwa, seperti pada angina Ludwig.
Infeksi pada akar gigi maupun jaringan penyangga gigi dapat mengakibatkan
migrasinya bakteri ke organ yang lain melalui pembuluh darah. Teori ini dikenal
dengan fokal infeksi. Keluhan seperti nyeri, bengkak dan pembentukan pus
(nanah) adalah reaksi tubuh terhadap infeksi gigi. Bakteri yang berasal dari infeksi
gigi dapat meluas ke jaringan sekitar rongga mulut, kulit, mata, saraf, atau organ
berjauhan seperti otot jantung, ginjal, lambung, persendian, dan lain sebagainya.
Gigi atau sisa akar seperti ini sebaiknya segera dicabut (ekstraksi), namun
antibiotik umumnya diberikan beberapa hari sebelumnya untuk menekan infeksi
yang telah terjadi. Pencabutan tidak dapat dilakukan dalam keadaan gigi yang
sedang sakit, karena pembiusan lokal (anestesi lokal) seringkali tidak maksimal.
Sisa akar gigi yang tertinggal ukurannya bervariasi mulai dari kurang dari 1/3 akar
gigi sampai sebatas permukaan gusi.
Gigi yang tinggal sisa akar tidak dapat digunakan untuk proses pengunyahan yang
sempurna. Gangguan pengunyahan menjadi alasan masyararakat untuk membuat
gigi tiruan. Masalahnya, sampai sekarang banyak yang masih membuat gigi tiruan
di atas sisa akar gigi. Keadaan ini bisa memicu infeksi lebih berat.

2.1.4. Tatalaksana1,3
Penatalaksanaan sisa akar gigi ini tergantung dari pemeriksaan klinis akar gigi dan
jaringan penyangganya. Akar gigi yang masih utuh dengan jaringan penyangga
yang masih baik, masih bisa dirawat. Jaringan pulpanya dihilangkan, diganti
dengan pulpa tiruan, kemudian dibuatkan mahkota gigi. Akar gigi yang sudah
goyah dan jaringan penyangga gigi yang tidak mungkin dirawat perlu dicabut.
Sisa akar gigi dengan ukuran kecil (kurang dari 1/3 akar gigi) yang terjadi akibat
pencabutan gigi tidak sempurna dapat dibiarkan saja. Untuk sisa akar gigi ukuran
lebih dari 1/3 akar gigi akibat pencabutan gigi sebaiknya tetap diambil. Untuk
memastikan ukuran sisa akar gigi, perlu dilakukan pemeriksaan radiologi gigi.
Pencabutan sisa akar gigi umumnya mudah. Gigi sudah mengalami
kerusakan yang parah sehingga jaringan penyangga giginya sudah tidak kuat lagi.
Untuk kasus yng sulit dibutuhkan tindakan bedah ringan.

2.2 KANDIDIASIS ORAL


Kandidiasis oral merupakan infeksi oportunistik di rongga mulut yang
disebabkan oleh pertumbuhan abnormal dari jamur Kandida albikan. Kandida
albikan ini sebenarnya merupakan flora normal rongga mulut, namun berbagai
faktor seperti penurunan sistem kekebalan tubuh maupun pengobatan kanker
dengan kemoterapi, dapat menyebabkan flora normal tersebut menjadi patogen.
2.2.1 Defenisi, etiologi, epidemiologi
Kandidiasis oral merupakan salah satu penyakit pada rongga mulut berupa
lesi merah dan lesi putih yang disebabkan oleh jamur jenis Kandida sp, dimana
Kandida albikan merupakan jenis jamur yang menjadi penyebab utama.
Kandidiasis oral pertama sekali dikenalkan oleh Hipocrates pada tahun 377 SM,
yang melaporkan adanya lesi oral yang kemungkinan disebabkan oleh genus
Kandida. Terdapat 150 jenis jamur dalam famili Deutromycetes, dan tujuh
diantaranya ( C.albicans, C. tropicalis, C. parapsilosi, C. krusei, C. kefyr, C.
glabrata, dan C. guilliermondii ) dapat menjadi patogen, dan C. albican

merupakan jamur terbanyak yang terisolasi dari tubuh manusia sebagai flora
normal dan penyebab infeksi oportunistik. Terdapat sekitar 30-40% Kandida
albikan pada rongga mulut orang dewasa sehat, 45% pada neonatus, 45-65% pada
anak-anak sehat, 50-65% pada pasien yang memakai gigi palsu lepasan, 65-88%
pada orang yang mengkonsumsi obat-obatan jangka panjang, 90% pada pasien
leukemia akut yang menjalani kemoterapi, dan 95% pada pasien HIV/AIDS.
Kandidiasis oral dapat menyerang semua umur, baik pria maupun wanita.
Meningkatnya prevalensi infeksi Kandida albikan ini dihubungkan dengan
kelompok penderita HIV/AIDS, penderita yang menjalani transplantasi dan
kemoterapi maligna. Odds dkk ( 1990 ) dalam penelitiannya mengemukakan
bahwa dari penderita HIV/AIDS, sekitar 44.8% adalah penderita kandidiasis.
2.2.2 Faktor resiko
Pada orang yang sehat, Kandida albikan umumnya tidak menyebabkan
masalah apapun dalam rongga mulut, namun karena berbagai faktor, jamur
tersebut dapat tumbuh secara berlebihan dan menginfeksi rongga mulut. Faktorfaktor tersebut dibagi menjadi dua, yaitu
a. Patogenitas jamur
Beberapa faktor yang berpengaruh pada patogenitas dan proses infeksi
Kandida adalah adhesi, perubahan dari bentuk ragi ke bentuk hifa, dan produksi
enzim ekstraseluler. Adhesi merupakan proses melekatnya sel Kandida ke dinding
sel epitel host. Perubahan bentuk dari ragi ke hifa diketahui berhubungan dengan
patogenitas dan proses penyerangan Kandida terhadap sel host. Produksi enzim
hidrolitik ekstraseluler seperti aspartyc proteinase juga sering dihubungkan
dengan patogenitas Kandida albikan.
b. Faktor Host
Faktor host dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor lokal dan faktor
sistemik. Termasuk faktor lokal adalah adanya gangguan fungsi kelenjar ludah
yang dapat menurunkan jumlah saliva. Saliva penting dalam mencegah timbulnya
kandidiasis oral karena efek pembilasan dan antimikrobial protein yang
terkandung dalam saliva dapat mencegah pertumbuhan berlebih dari Kandida, itu

sebabnya kandidiasis oral dapat terjadi pada kondisi Sjogren syndrome,


radioterapi kepala dan leher, dan obat-obatan yang dapat mengurangi sekresi
saliva. Pemakaian gigi tiruan lepasan juga dapat menjadi faktor resiko timbulnya
kandidiasis oral. Sebanyak 65% orang tua yang menggunakan gigi tiruan penuh
rahang atas menderita infeksi Kandida, hal ini dikarenakan pH yang rendah,
lingkungan anaerob dan oksigen yang sedikit mengakibatkan Kandida tumbuh
pesat. Selain dikarenakan faktor lokal, kandidiasis juga dapat dihubungkan
dengan keadaan sistemik, yaitu usia, penyakit sistemik seperti diabetes, kondisi
imunodefisiensi seperti HIV, keganasan seperti leukemia, defisiensi nutrisi, dan
pemakaian obat-obatan seperti antibiotik spektrum luas dalam jangka waktu lama,
kortikosteroid, dan kemoterapi.
2.2.3 Klasifikasi dan Gambaran Klinis
Gambaran klinis kandidiasis oral tergantung pada keterlibatan lingkungan
dan interaksi organisme dengan jaringan pada host. Adapun kandidiasis oral
dikelompokkan atas tiga, yaitu :
1. Akut, dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
a. Kandidiasis Pseudomembranosus Akut
Kandidiasis pseudomembranosus akut yang disebut juga sebagai thrush,
pertama sekali dijelaskan kandidiasis ini tampak sebagai plak mukosa yang putih,
difus, bergumpal atau seperti beludru, terdiri dari sel epitel deskuamasi, fibrin,
dan hifa jamur, dapat dihapus meninggalkan permukaan merah dan kasar. Pada
umumnya dijumpai pada mukosa pipi, lidah, dan palatum lunak.

Penderita

kandidiasis ini dapat mengeluhkan rasa terbakar pada mulut. Kandidiasis seperti
ini sering diderita oleh pasien dengan sistem imun rendah, seperti HIV/AIDS,
pada pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid, dan menerima kemoterapi.
Diagnosa dapat ditentukan dengan pemeriksaan klinis, kultur jamur, atau
pemeriksaan mikroskopis secara langsung dari kerokan jaringan

10

Gambar 1. Kandidiasis Pseudomembranosus Akut pada lidah dan mukosa bukal pasien

b. Kandidiasis Atropik Akut.


Kandidiasis jenis ini membuat daerah permukaan mukosa oral mengelupas
dan tampak sebagai bercak-bercak merah difus yang rata. Infeksi ini terjadi
karena pemakaian antibiotik spektrum luas, terutama Tetrasiklin, yang mana obat
tersebut dapat mengganggu keseimbangan ekosistem oral antara Lactobacillus
acidophilus dan Kandida albikan. Antibiotik yang dikonsumsi oleh pasien
mengurangi populasi Lactobacillus dan memungkinkan Kandida tumbuh subur.
Pasien yang menderita Kandidiasis ini akan mengeluhkan sakit seperti terbakar.

Gambar 2. Kandidiasis Atropik Akut

2. Kronik, dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :


a. Kandidiasis Atropik Kronik
Disebut juga denture stomatitis atau alergi gigi tiruan. Mukosa
palatum maupun mandibula yang tertutup basis gigi tiruan akan menjadi merah,
kondisi ini dikategorikan sebagai bentuk dari infeksi Kandida. Kandidiasis ini
hampir 60% diderita oleh pemakai gigi tiruan terutama pada wanita tua yang
sering memakai gigi tiruan selagi tidur.

11

Gambar 3. Kandidiasis Atropik Kronik

b. Kandidiasis Hiperplastik Kronik


Infeksi jamur timbul pada mukosa bukal atau tepi lateral lidah berupa
bintik-bintik putih yang tepinya menimbul tegas dengan beberapa daerah merah.
Kondisi ini dapat berkembang menjadi displasia berat atau keganasan, dan kadang
disebut sebagai Kandida leukoplakia. Bintik-bintik putih tersebut tidak dapat
dihapus, sehingga diagnosa harus ditentukan dengan biopsi.

Kandidiasis ini

paling sering diderita oleh perokok.

Gambar 4. Kandidiasis Hiperplastik Kronik

c. Median Rhomboid Glositis


Median Rhomboid Glositis adalah daerah simetris kronis di anterior lidah
ke papila sirkumvalata, tepatnya terletak pada duapertiga anterior dan sepertiga
posterior lidah. Gejala penyakit ini asimptomatis dengan daerah tidak berpapila.

12

Gambar 5. Median Rhomboid Glositis


3. Keilitis Angularis
Keilitis angularis merupakan infeksi Kandida albikan pada sudut mulut,
dapat bilateral maupun unilateral. Sudut mulut yang terkena infeksi tampak merah
dan pecah-pecah, dan terasa sakit ketika membuka mulut. Keilitis angularis ini
dapat terjadi pada penderita defisiensi vitamin B12 dan anemia defisiensi besi.
2.2.4 Perawatan
Pada pasien yang kesehatan tubuhnya normal, seperti perokok dan
pemakai gigi tiruan, perawatan kandidiasis oral relatif mudah dan efektif, namun
pasien yang mengkonsumsi antibiotik jangka panjang, dan pasien dengan sistem
imun tubuh rendah yang mendapat perawatan kemoterapi dimana infeksi jamur
mau tidak mau akan timbul, maka perawatan kandidiasisnya lebih spesifik.
Adapun perawatan kandidiasis oral yaitu dengan menjaga kebersihan rongga
mulut, memberi obat- obatan antifungal baik lokal maupun sistemik, dan berusaha
menanggulangi faktor predisposisi, sehingga infeksi jamur dapat dikurangi.
Kebersihan mulut dapat dijaga dengan menyikat gigi maupun menyikat
daerah bukal dan lidah dengan sikat lembut. Pada pasien yang memakai gigi
tiruan, gigi tiruan harus direndam dalam larutan pembersih seperti Klorheksidin,
hal ini lebih efektif dibanding dengan hanya meyikat gigi tiruan, karena
permukaan gigi tiruan yang tidak rata dan poreus menyebabkan Kandida mudah
melekat, dan jika hanya menyikat gigi tiruan tidak dapat menghilangkannya.

13

Pemberian obat-obatan antifungal juga efektif dalam mengobati infeksi


jamur. Terdapat dua jenis obat antifungal, yaitu pemberian obat antifungal secara
topikal dan sistemik. Pengobatan antifungal topikal pada awal abad 20 yaitu
dengan menggunakan gentian violet, namun karena perkembangan resisten dan
adanya efek samping seperti meninggalkan stain pada mukosa oral, sehingga obat
itu diganti dengan Nystatin yang ditemukan pada tahun 1951 dan Amphotericin B
pada tahun 1956. Obat-obat tersebut bekerja dengan mengikat sterol pada
membran sel jamur, dan mengubah permeabilitas membran sel. Nystatin
merupakan obat antifungal yang paling banyak digunakan. Obat antifungal
sistemik digunakan pada pasien yang tidak mempan terhadap obat antifungal
topikal dan pada pasien dengan resiko tinggi menderita infeksi sistemik.
Selain menjaga kebersihan rongga mulut dan memberi obat-obatan
antifungal

pada

pasien,

faktor

predisposisi

juga

harus

ditanggulangi.

Penanggulangan faktor predisposisi meliputi pembersihan dan penyikatan gigi


tiruan secara rutin dengan menggunakan cairan pembersih, seperti Klorheksidin,
mengurangi rokok dan konsumsi karbohidrat, mengunyah permen karet bebas
gula untuk merangsang pengeluaran saliva, menunda pemberian antibiotik dan
kortikosteroid, menangani penyakit yang dapat memicu kemunculan kandidiasis
seperti penanggulangan penyakit diabetes, HIV, dan leukemia.
2.3.Empiema
2.3.1. Definisi
Empiema adalah keadaan terkumpulnya nanah (pus) didalam
ronggga pleura dapat setempat atau mengisi seluruh rongga pleura
(Ngastiyah, 1997). Empiema adalah penumpukan cairan terinfeksi atau
pus pada cavitas pleura (Diane C. Baughman, 2000). Empiema adalah
penumpukan materi purulen pada areal pleural (Hudak & Gallo, 1997).
Empiema adalah kondisi dimana terdapatnya udara dan nanah dalam
rongga pleura dengan yang dapati timbul sebagai akibat traumatik
maupun proses penyakit lainnya.
Pada

awalnya,cairan

pleura

encer

dengan

jumlah

leukosit

rendah,tetapi sering kali menjadi stadium fibropurulen dan akhirnya

14

sampai pada keadaan dimana paru-paru tertutup oleh membran eksudat


yang kental.Meskipun empiema sering kali disebabkan oleh komplikasi
dari infeksi pulmonal, namun tidak jarang penyakit ini terjadi karena
pengobatan yang terlambat.
2.3.2. Etiologi
1.

Infeksi yang berasal dari dalam paru :


a.

2.

3.

Pneumonia

b.

Abses paru

c.

Bronkiektasis

d.

TBC paru

e.

Aktinomikosis paru

f.

Fistel Bronko-Pleura

Infeksi yang berasal dari luar paru :


a.

Trauma Thoraks

b.

Pembedahan thorak

c.

Torasentesi pada pleura

d.

Sufrenik abses

e.

Amoebic liver abses

Penyebab lain dari empiema adalah :


a.

Stapilococcus

b.

Pnemococcu

c.

Streptococcus

2.3.3. Patofisiologi
Akibat invasi basil piogeneik ke pleura, maka akan timbulah
peradangan akut yang diikuti dengan pembentukan eksudat serous.
Dengan sel polimorphonucleus (PMN) baik yang hidup maupun yang
mati dan meningkatnya kadar protein, maka cairan menjadi keruh dan
kental. Adanya endapan endapan fibrin akan membentuk kantung
kantung yang melokalisasi nanah tersebut.
Sekresi

cairan

menuju

celah

pleura

normalnya

membentuk

keseimbangan dengan drainase oleh limfatik subpleura. Sistem limfatik

15

pleura dapat mendrainase hampir 500 ml/hari. Bila volume cairan


pleura melebihi kemampuan limfatik untuk mengalirkannya maka, efusi
akan terbentuk.
Efusi

parapnemonia

merupakan

sebab

umum

empiema.

Pneumonia mencetuskan respon inflamasi. Inflamasi yang terjadi dekat


dengan pleura dapat meningkatkan permeabilitas sel mesotelial, yang
merupakan lapisan sel terluar dari pleura. Sel mesotelial yang terkena
meningkat permeabilitasnya terhadap albumin dan protein lainnya. Hal
ini mengapa suatu efusi pleura karena infeksi kaya akan protein.
Mediator kimia dari proses inflamasi menstimulasi mesotelial untuk
melepas kemokin, yang merekrut sel inflamasi lain. Sel mesotelial
memegang peranan penting untuk menarik neutrofil ke celah pleura.
Pada kondisi normal, neutrofil tidak ditemukan pada cairan pleura.
Neutrofil ditemukan pada cairan pleura hanya jika direkrut sebagai
bagian dari suau proses inflamasi. Netrofil, fagosit, mononuklear, dan
limfosit meningkatkan respon inflamasi dan mengeleluarkan mediator
untuk menarik sel-sel inflamator lainya ke dalam pleura.
Efusi pleura parapneumoni dibagi menjadi 3 tahap berdasarkan
patogenesisnya, yaitu efusi parapneumoni tanpa komplikasi, dengan
komplikasi dan empiema torakis.
Efusi parapneumoni tanpa komplikasi merupakan efusi eksudat
predominan neutrofil

yang

terjadi

saat

cairan

interstisiil

paru

meningkat selama pneumonia. Efusi ini sembuh dengan pengobatan


antibiotik yang tepat untuk pneumonia.
Efusi parapneumoni komplikasi merupakan invasi bakteri pada
celah

pleura

yang

mengakibatkan

peningkatan

jumlah

neutrofil,

asidosis cairan pleura dan peningkatan konsentrasi LDH. Efusi ini


sering bersifat steril karena bakteri biasanya dibersihkan secara cepat
dari celah pleura.
Pembentukan empiema terjadi dalam 3 tahap, yaitu :

16

1.

Fase

eksudatif

Selama

fase

eksudatif,

cairan

pleura

steril

berakumulasi secara cepat ke dalam celah pleura. Cairan pleura


memiliki kadar WBC dan LDH yang rendah, glukosa dan pH dalam
batas normal. Efusi ini sembuh dengan terapi antibiotik, penggunaan
chest tube tidak diperlukan.
2.

Fase fibropurulen : invasi bakteri terjadi pada celah pleura, dengan


akumulasi leukosit PMN, bakteri dan debris. Terjadi kecendrungan
untuk lokulasi, pH dan kadar glukosa menurun, sedangkan kadar LDH
menngkat.

3.

Fase organisasi : Bentuk lokulasi. Aktivitas fibroblas menyebabkan


pelekatan pleura visceral dan parietal. Aktivitas ini berkembang dengan
pembentukan

perlengketan

dimana

lapisan

pleura

tidak

dapat

dipisahkan. Pus, yang kaya akan protein dengan sel inflamasi dan
debris berada pada celah pleura. Intervensi bedah diperlukan pada
tahap ini.
Gambaran bakteriologis efusi parapneumoni dengan kultur positif
berubah seiring berjalannya waktu. Sebelum era antibiotik, bakteri
yang

umumnya

didapatkan

adalah

Streptococcus

pneumoniae

danstreptococci hemolitik. Saat ini, organisme aerob lebih sering


diisolasi dibandingkan organisme anaerob. Staphylococcus aureus dan
S pneumoniae tumbuh pada 70 % kultur bakteri gram positif aerob.
Bakteriologi suatu efusi parapneumoni berhubungan erat dengan
bakteriologi pada proses pneumoni. Organisme aerob gram positif dua
kali lebih sering diisolasi dibandingkan organisme aerob gram negatif.
Klebsiela,

Pseudomonas,

dan

Haemophilus

merupakan

jenis

organisme aerob gram negatif yang paling sering diisolasi.


Bacteroides danPeptostreptococcus merupakan organisme anaerob
yang paling sering diisolasi. Campuran bakteri aerob dan anaerob lebih
sering menghasilkan suatu empiema dibandingkan infeksi satu jenis
organisme. Bakteri anaerob telah dikultur 36 sampai 76 % dari
empiema. Sekitar 70 % empiema merupakan suatu komplikasi dari

17

pneumoni.

Pasien

dapat

mengeluh

menggigil,

demam

tinggi,

berkeringat, penurunan nafsu makan, malaise, dan batuk. Sesak napas


juga dapat dikeluhkan oleh pasien.

2.3.4. Gejala
Manifestasi klinis

empiema

hampir sama dengan penderita

pneumonia bakteria, gejalanya antara lain adalah panas akut, nyeri


dada (pleuritic chest pain), batuk, sesak, dan dapa juga sianosis.
Inflamasi pada ruang pleura dapat menyebabkan nyeri abdomen dan
muntah. Gejala dapat terlihat tidak jelas dan panas mungkin tidak
dialami penderita dengan sistem imun yang tertekan. Juga terdapat
batuk pekak pada perkusi dada, dispneu, menurunnya suara pernapasan,

18

demam pleural rub (pada fase awal) ortopneu, menurunnya vokal


fremitus, nyeri dada.
2.3.5. Penatalaksanaan
Sasaran penetalaksanaan adalah mengaliran cavitas pleura hingga
mencapai ekspansi paru yang optimal. Dicapai dengan drainase yang
adekuat, anti biaotika (dosis besar ) dan atau streptokinase. Drainase
cairan pleura atau pus tergantung pada tahapan penyakit dengan :
1.

Aspirasi jarum ( Thorasintesis ),jika cairan tidak terlalu kental

2.

Drainase tertutup dengan WSD, indikasi bila nanah sangat kental,


pnemothoraks

3.

Drainase dada terbuka untuk mengeluarkan pus pleural yang


mengental dan debris serta mesekresi jaringan pulmonal yang
mendasari penyakit.

4.

Dekortikasi, jika imflamasi telah bertahan lama

2.4 Tuberkulosis paru


2.4.1 Definisi
Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti
tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun
tembok mengelilingi bakteri dalam paru. Tb paru ini bersifat menahun dan secara
khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan.
Tb paru dapat menular melalui udara, waktu seseorang dengan Tb aktif pada paru
batuk, bersin atau bicara.
2.4.2 Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi Tb paru yaitu menurut Depkes (2007) yaitu:
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis paru

19

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.


tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
a. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada
Tb Paru:
1. Tuberkulosis paru BTA positif

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.


1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.


1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tb positif.
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2. Tuberkulosis paru BTA negatif


Kriteria diagnostik Tb paru BTA negatif harus meliputi:

Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.


Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

b. Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan


sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:
1. Kasus baru

20

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.
3. Kasus setelah putus berobat (default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam kelompok ini
termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2006).
2.4.3 Epidermiologi
A. Personal
1. Umur
Tb Paru Menyerang siapa saja tua, muda bahkan anak-anak. Sebagian besar
penderita Tb Paru di Negara berkembang berumur dibawah 50 tahun. Data WHO
menunjukkan bahwa kasus Tb paru di negara berkembang banyak terdapat pada
umur produktif 15-29 tahun. Penelitian Rizkiyani pada tahun 2008 menunjukkan
jumlah penderita baru Tb Paru positif 87,6% berasal dari usia produktif (15-54
tahun) sedangkan 12,4 % terjadi pada usia lanjut ( 55 tahun).
2. Jenis Kelamin

21

Penyakit Tb Paru menyerang orang dewasa dan anak-anak, lakilaki dan


perempuan.Tb paru menyerang sebagian besar laki-laki usia produktif.
3. Stasus gizi
Status nutrisi merupakan salah satu faktor yang menetukan fungsi seluruh sistem
tubuh termasuk sistem imun.Sistem kekebalan dibutuhkan manusia untuk
memproteksi tubuh terutama mencegah terjadinya infeksi yang disebabkan oleh
`mikroorganisme. Bila daya tahan tubuh sedang rendah, kuman Tb paru akan
mudah masuk ke dalam tubuh. Kuman ini akan berkumpul dalam paruparu
kemudian berkembang biak.Tetapi, orang yang terinfeksikkuman TB Paru belum
tentu menderita Tb paru. Hal ini bergantung pada daya tahan tubuh orang tersebut.
Apabila, daya tahan tubuh kuat maka kuman akan terus tertidur di dalam tubuh
(dormant) dan tidak berkembang menjadi penyakt namun apabila daya tahan
tubuh lemah makan kuman Tb akan berkembang menjadi penyakit. Penyakit Tb
paru Lebih dominan terjadi pada masyarakat yang
status gizi rendah karena sistem imun yang lemah sehingga memudahkan kuman
Tb Masuk dan berkembang biak
2.4.4 Etiologi
Penyakit Tb paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Mycobakterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan
asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA).
2.4.5. Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis,
mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik. Pada program tuberkulosis nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis
utama.

Pemeriksaan

dapatdigunakan

lain

sebagai

seperti
penunjang

radiologi,
diagnosis

biakan

dan

sepanjang

uji
sesuai

kepekaan
dengan

indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan

22

pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang
khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
2.4.6 Gejala
a) Gejala sistemik/umum

Penurunan nafsu makan dan berat badan.


Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul.

b) Gejala khusus

Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paruparu) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan

menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.


Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.

23

2.4.7 Patogenesis
Sumber penularan Tb Paru adalah penderita Tb BTA+ ,Pada waktu
batuk/bersin,penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk dropler
(percikan dahak)

24

2.4.8. Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Mikobakteri merupakan kuman tahan
asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat
dan cepat sekali timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat. Umumnya
antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah
dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah. Sifat lambat membelah
yang dimiliki mikobakteri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
perkembangan penemuan obat antimikobakteri baru jauh lebih sulit dan lambat
dibandingkan antibakteri lain :

25

Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH, Rifampisin, Streptomisin,
Etambutol. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin , Amikasin, Kuinolon.

2.5 Infeksi Fokal


Fokus infeksi merupakan area jaringan berbatas tegas yang terinfeksi oleh
mikroorganisme patogen eksogen yang biasanya terletak dekat permukaan kulit
atau mukosa. Infeksi fokal adalah metastasis dari fokus infeksi, organisme, atau
produknya yang memiliki kemampuan untuk merusak jaringan. 5
2.5.1 Mekanisme Infeksi Fokal

Metastasis mikroorganismedapat menyebar secara hematogen atau limfogen.


Mikroorganisme ini kemudian akan menetap pada jaringan. Organisme
tertentu memiliki predileksi untuk mengisolasi dirinya pada daerah tertentu

pada tubuh.
Toksin dan produk toksinmenyebar melalui aliran darah atau saluran
limfatikus, dari fokus yang jauh di mana dapat terjadi reaksi hipersensitivitas
pada jaringan. Contoh: scarlet fever, akibat toksin eritrosit yang berasal dari
streptokokus.4

2.5.2 Fokus Infeksi Oral

Lesi periapikal terinfeksikhususnya, pada kasus kronik, daerah terinfeksi


akan dikelilingi oleh kapsul fibrosa, yang akan melindungi area bebas infeksi
dari area terinfeksi, tetapi tidak dapat mencegah absorpsi bakteri atau toksin.

26

Granuloma periapikal dideskripsikan sebagai manifestasi pertahanan tubuh


dan reaksi penyembuhan, sementara kista adalah bentuk lanjut dari
granuloma. Abses terjadi ketika fase penyembuhan dan pertahanan tubuh

rendah.
Gigi dengan saluran akar yang terinfeksi merupakan sumber potensial dari
penyebaran mikroorganisme dan toksin. Sering kali terjadi akibat
streptokokus hemolitikus; yang merupakan penyebab penting dari artritis

reumatoid dan demam rematik.


Penyakit periodontal merupakan sumber infeksi potensial yang signifikan.
Organisme yang sering ditemukan adalah Streptococcus viridans. Masase
ringan pada gusi dapat menyebabkan bakteremia transitori. Menggoyangkan
gigi dari soketnya dengan menggunakan forsep sebelum melakukan ekstraksi
dapat menyebabkan bakteremia pada pasien dengan penyakit periodontal.
Profilaksis oral dapat diikuti dengan bakteremia. Sehingga dianjurkan untuk
memberikan antibiotik pada anak dengan penyakit jantung kongenital atau
penyakit jantung rematik untuk mencegah terjadinya endokarditis bakterialis.
4,5

2.5.3 Dampak Penyebaran Fokus Infeksi Oral


Ada beberapa laporan bahwa fokus infeksi oral dapat menyebabkan atau
memperparah penyakit-penyakit sistemik. Contoh yang paling sering adalah:

Artritistermasuk artritis rematoid dan demam rematik. Artritis rematoid


merupakan jenis yang tidak diketahui etiologinya. Pasien ini memiliki titer
antibodi terhadap streptokokus hemolitikus yang tinggi. Ini merupakan reaksi

hipersensitivitas jaringan.
Penyakit katup jantungendokarditis bakterialis subakut berkaitan dengan
infeksi oral. Ada kemiripan antara keduanya, yaitu antara agen penyebab
penyakit dan mikroorganisme pada lesi di rongga mulut, pulpa, dan periapikal
gejala endokarditis bakterialis subakut ditemukan pada beberapa kasus segera
setelah ekstraksi gigi. Bakteremia transien terjadi segera setelah ekstraksi
gigi. Streptokokus jenis viridan merupakan sebagian besar penyebab
endokarditis bakterialis subakut. Setelah kestraksi gigi, terjadi bakteremia

27

streptokokus, sehingga kejadian endokarditis bakterialis subakut dapat terjadi

setelah operasi dan ekstraksi gigi.


Penyakit gastrointestinalbeberapa pekerja menyatakan bahwa menelan
mikroorganisme secara spontan dapat menyebabkan berbagai macam
penyakit gastrointestinal. Ulkus gaster dan ulkus duodenum dapat diakibatkan

oleh penetrasi streptokokus.


Penyakit matafaktor-faktor mendukung hipotesis Woods tentang peranan

fokus infeksi pada penyakit mata


Penyakit ginjal mikroorganisme yang sering ditemukan pada infeksi saluran
kemih

adalah

E.coli,

stafilokokus,

dan

streptokokus.

Streptokokus

hemolitikus tampaknya merupakan mikroorganisme yang paling sering.


Streptokokus merupakan inhabitan saluran akar gigi atau area periapikal dan
gingiva yang jarang. Karena mikroorganisme ini sering berhubungan dengan
infeksi renal, tampaknya hubungan antara fokus infeksi oral dan penyakit
ginjal sedikit. 4,5

28

BAB III
ANALISIS KASUS
Ny. L (37 tahun) dirawat di bagian Penyakit Dalam RSMH Palembang
dengan TB Paru + Empiema paru dekstra dikonsulkan ke bagian poliklinik gigi
dan mulut RSMH dengan untuk dilakukan pemeriksaan adanya fokal infeksi pada
gigi. Pasien sebelumnya tidak pernah melakukan pemeriksaan ke dokter gigi.
Keadaan umum penderita tampak kompos mentis, nadi 88 x/menit,
pernapasan 24 x/menit, dan suhu 36,5C. Pada pemeriksaan ekstra oral tidak
ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan intraoral ditemukan kalkulus pada seluruh
regio dan suspek kandidiosis oral. Pada status lokalis ditemukan adanya gangrene
radiks pada gigi 1.4.
Berdasarkan hasil pemeriksaan gigi pasien dengan gangren radiks yang
diduga sebagai fokal infeksi yang menjadi penyabab terjadinya penyakit sistemik
yang dialami pasien sekarang, sehingga baiknya dilakukan penanganan pada
sumber infeksinya juga. Hal ini dilakukan agar bakteri yang terdapat pada gigi
tidak memperparah kondisi yang dialami pasien dan menyebar ke organ yang lain.
Pasien juga diduga mengalami suatu kandidiasis oral ditandai gambaran
warna keputihan pada dorsum lidah menandakan adanya koloni jamur. Oleh
karena itu disarankan bagi pasien untuk dilakukan swab pemeriksaan preparat
jamur untuk memastikan adanya kondisi kandidiasis oral ini pada pasien tersebut.
Rencana terapi yang diberikan pada pasien ini adalah pro exodonsi untuk
gangrene radiks 1.4, dental health education, dan swab pemeriksaan preparat
jamur. Edukasi juga penting untuk diberikan pada pasien untuk menjaga
kebersihan gigi dan mulut dengan menyikat gigi dua kali sehari yaitu setelah
sarapan dan sebelum tidur selama 3 menit. Pasien juga diajarkan cara menyikat
gigi yang benar. Pasien diharapkan melakukan kunjungan ke dokter gigi untuk
mengatasi permasalahan pada giginya serta melakukan kunjungan teratur ke
dokter gigi setiap 6 bulan.

29

DAFTAR PUSTAKA
1. Lix, Kolltveit, Tronstad L, Olsen I. Systemic diseases caused by oral
infection. Clinical Microbiology Reviews 2000 Oct; 547-58.
2. Peterson
LJ.
Odontogenic
infections.
Diunduh
http://famona.erbak.com/OTOHNS/Cummings?cumm069.pdf,

dari
29

:
Juni

2009).
3. Sonis ST, Fazio RC, Fang L. Principles and practice of oral medicine. 2 nd ed.
Philadelphia: WB Saunders Company; 1995. p.399-415.
4. Ghom, AG. Infections of Oral Cavity. Textbook of Oral Medicine, 2nd ed.
New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. 2010. Hal.484-486.
5. Priantoro D, HA Sjakti. Leukemia Akut. Dalam: Tanto C, F Liwanag, S
Hanifati, EA Pradipta, penyunting. Kapita Selekta Kedokteran: essentials of
medicine edisi IV. Jakarta: Media Aesculapicus. 2014: hal. 55-57.

Anda mungkin juga menyukai