sudah berkurang, pasien sudah tidak muntah tetapi masih mual, pasien sudah BAK satu kali,
Belum buang air besar. Pasien sudah makan dan minum. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
vital sign pasien, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 76 x/menit, respirasi 20x/menit, suhu
36,80C. Bed rest, Infus RL 20 tpm, ceftriaxone 1gr/12, Ranitidin 1amp/12 jam, ondancetron,
pragesol 1mp/8jam, antasid syr 3 dd CI. Hari kedua (20 juni 2013), pasien sudah tidak
demam, sakit kepala sudah tidak ada, pasien sudah tidak muntah, masih mual , BAK sudah
normal, sudah buang air besar 1satu kali, cair, ada ampas, tidak ada lendir, warna kehitaman.
Pasien sudah makan dan minum. Pada pemeriksaan fisik didapatkan vital sign pasien,
tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 76 x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 36,80C. Bed rest,
Infus RL 20 tpm, ceftriaxone 1gr/12, Ranitidin 1amp/12 jam, ondancetron, pragesol
1amp/8jam, antasid syr 3 dd CI. Hari ketiga (21 Juni 2013), pasien sudah tidak demam, sakit
kepala sudah tidak ada, pasien sudah tidak muntah, tidak mual , BAK dan BAB sudah
normal,. Pada pemeriksaan fisik didapatkan vital sign pasien, tekanan darah 120/80 mmHg,
nadi 76 x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 36,50C. Pasien sudah diperbolehkan pulang
Diskusi Seorang pasien perempuan berusia 18 tahun datang ke IGD RSUD Karanganyar
dengan keluhan demam sejak tujuh hari yang lalu. Demam dirasakan naik turun, demam
terutama pada malam hari disertai menggigil dan keringat dingin, pasien juga batuk, batuk
jarang jarang, dahak tidak ada. Sakit kepala juga dikeluhkan penderita, seperti ditusuktusuk, hilang timbul pada kepala bagian depan. Pasien juga mengeluhkan mual, muntah,
terutama tiap makan dan minum, nafsu makan menurun,belum buang air kecil sejak 24 jam
sebelum masuk rumah sakit,belum buang air besar sejak 7 hari yang lalu. Dari alloanamnesis
didapatkan bahwa sejak bulan April 2013 sampai dengan sekarang, pasien sudah empat kali
mondok di rumah sakit dengan keluhan yang sama. Riwayat alergi obat atau makanan
disangkal. Riwayat asma disangkal. Pada keluarga pasien dan tetangga sekita rumah pasien
tidak ada yang menderita sakit serupa dengan pasien. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum
pasien tampak lemas, dengan kesadaran compos mentis, tinggi badan 150 cm, berat badan 42
kg, status gizi normoweight, tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 76 x/menit irama reguler,
respiration rate 20 x/ menit, dan suhu 38,00C. Pada pemeriksaan kepala leher, konjungtiva
tidak anemis, sklera tidak ikterik, pada lidah ditemukan lidah kotor ditengah dan hiperemis di
pinggir, tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening pada leher. Pada pemeriksaan
thoraks pulmo dan cor dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri
tekan pada regio hipocondriaca dextra et sinistra, regio epigastrica, regio abdominal lateralis
dextra dan regio inguinalis dextra. Pada pemeriksaan ekstremitas dalam batas normal tidak
ditemukan edema. Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan adalah laboratorium darah
rutin dan widal. Pada hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin dan widal yang dilakukan
pada tanggal 18 Juni 2013, AL (26,4 x103 g/dL) , HCT (34,2%), trombosit (320x103/L), Hb
(11,7 g/dL). Widal, S.typhi : titer O (+) 1/320, H (+) 1/320, S.Paratyphi A: titer O : (+) 1/80,
H (-). S. Paratyphi B : titer O (+) 1/160, titer H (+) 1/160, S.Paratyphi C: titer O (+) 1/320.
Titer H (+) 1/160. Pada pasien ini diberikan terapi Infus RL 20 tpm, ceftriaxone 1gr/12,
Ranitidin 1amp/12 jam, ondancetron, pragesol 1amp/8jam, antasid syr 3 dd CI. Dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium, pasien ini di diagnosis dengan
demam tifoid Melalui anamnesis, ditemukan adanya gejala panas yang dialami pasien sejak 1
minggu sebelum masuk Rumah Sakit. Panas tinggi pada perabaan, bersifat naik turun, Panas
terutama pada malam hari. Tipe panas yang ditemui pada pasien ini berupa panas yang naik
secara bertahap lalu menentap selama beberapa hari (1 minggu) dan panas terutama pada
malam hari. Poin ini memenuhi salah satu komponen kriteria penegakkan diagnosis demam
tifoid yaitu demam yang berkepanjangan (lebih dari 7 hari) dengan sifat demam yang naik
secara bertahap lalu menentap selama beberapa hari, demam terutama pada sore/ malam hari.
Panas yang naik turun dan terus menerus menggambarkan demam yang bersifat remitten juga
bersifat kontinua. Demam tifoid merupakan salah satu bekteremia yang disertai oleh infeksi
dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Penelitian yang
dilakukan terhadap sukarelawan menunjukkan dosis infeksi organism adalah 105-109
organisme, dengan masa inkubasi berjarak selama 4-14 hari, bergantung jumlah kuman yang
dapat masuk. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam
usus dan selanjutnya berkembang biak. Seperti yang diketahui S.typhi menginvasi tubuh
dengan menembus mukosa usus ileum terminal, yang mungkin melalui antigen sample sel
yang dikhususkan yang diketahui sebagai sel M, yang melapisi usus, berhubungan dengan
jaringan limfoid, melalui enterosit atau melalaui rute paraselular. Bila respons imunitas
humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak
dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama olah makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterica. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman
yang terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam
sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tandatanda dan gejala penyakit infeksi sitemik. Didalam hati kuman masuk kedalam kandung
empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intemiten ke
dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi
kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
infeksi sitemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vascular, gangguan mental dan koagulasi. Didalam plague peyeri makrofag hiperaktif
menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran
cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami
nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear didinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga kelapisan otot, serosa usus dan dapat
mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel direseptor endotel kapiler dengan
akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan
dan gangguan organ lainnya. D.TANDA DAN GEJALA Masa inkubasi demam tifoid
berlangsung antara 7-14 hari, namun ini juga bergantung dosis infeksi (3-30 hari). Gejalagejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik
hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi. Pada minggu pertama gejala klinis
penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa infeksi akut pada umumnya yaitu Demam
sekitar interminten/remiten Lidah kotor, mulut kering, mual muntah Gambaran gejala
saluran nafas atas Sakit kepala hebat, tampak apatis, lelah Tidak enak di perut dan
mungkin kontipasi/ diare, ditemukan splenomegali/ hepatomegali Raseola mungkin
ditemukan Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa Demam kontinyu
Bradikardi relatif (peningkatan suhu 1C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali
permenit) Keadaan penderita semakin menurun, apatis, bingung Hepatomegali dan
splenomegali, Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor)
dan kehilangan nafsu makan Nyeri, distensi perut, meteorismus Pada minggu ketiga dapat
ditemukan gejala antara lain: Suhu turun jika berhasil diobati tanpa komplikasi Jika
keadaan memburuk: - Disorientasi, bingung, insomnia, - Komplikasi perdarahan dan
perforasi. E.DIAGNOSIS Penegakan diagnosis demam tifoid dapat dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Namun diagnosis pasti dapat ditegakkan dari
hasil kultur darah. Hasil kultur darah menunjukkan 40-60% positif pada pasien di awal
penyakit dan kultur feses dan urin akan positif setelah minggu pertama infeksi. Hasil kultur
feses kadang-kadang juga positif pada masa inkubasi. Pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid tidak terlalu spesifik. Pada pemeriksan
darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, namun dapat pula terjadi leukositosis
atau kadar leukosit normal. Pemeriksaan widal juga dilakukan dalam membantu penegakan
diagnosis demam tifoid. Uji widal dilakukan dengan mengukur antibodi terhadap antigen O
dan H dari Salmonella Typhi, namun tes ini kurang spesifik dan sensitive. Karena bnyak hasil
tes false-negative dan false-positif terjadi. Tes Widal Uji widal dilakukan untuk deteksi
antibodi terhadap kuman S.typhi. pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen
kuman S.typhi dengan antibody yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji
widal adalah suspense Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium. Tujuan
uji widal adalah untuk menentukan adanya agluitinin dalam serum penderita tersangka
demam tifoid yaitu : a). agglutinin O (dari tubuh kuman) b). agglutinin H (flagella kuman) c).
agglutinin Vi (simpai kuman) Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu
pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu
keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul
agglutinin O, kemudian diikuti dengan agglutinin H. Pada orang yang telah sembuh
agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, setelah agglutinin H menetap lebih lama
antara 9-12 bulan. Sekurang-kurangnya diperlukan dua bahan serum, yang diperoleh dengan
selang waktu 7-10 hari, untuk membuktikan adanya kenaikan titer antibody. Serum yang
tidak dikenal diencerkan berturut-turut (dua kali lipat) lalu dites terhadap antigen Salmonella.
Hasilnya ditafsirkan sebagai berikut : 1) Titer O yang tinggi atu kenaikan titer O ( 1 : 160)
menunjukkan adanya infeksi aktif. 2) Titer H yang tinggi ( 1 : 160) menunjukkan bahwa
penderita itu pernah divaksinasi atau pernah terkena infeksi. 3) Titer Vi yang tinggi terdapat
pada beberapa pembawa bakteri Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu : 1)
Pengobatan dini dengan antibiotik 2) Gangguan pembentukan antibodk dan pemberian
kortikosteroid 3) Waktu pengambilan darah 4) Daerah endemik atau non endemik 5) Riwayat
vaksinasi 6) Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan demam
tifoid akibat demam tifoid masa lalu atau vaksinasi 7) Faktor teknik pemeriksaan antar
laboratorium, akibat aglutinasi silang dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspense
antigen. Kultur darah Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri
S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses. Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah
mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin
negatif. 2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang
dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside
langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman 3)
Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibody dalam darah psien.
Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif. 4) Saat
pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin meningkat.
F.PENATALAKSANAAN Penegakan diagnosis awal demam tifoid dan penatalakasaan
yang tepat merupakan hal yang penting. Sebagian besar pasien dengan tifoid dapat dirawat
dirumah dengan antibiotic oral dan dilakukan follow-up untuk mengikuti perkembangan
penyakit dan melihat apakah ada komplikasi atau kegagalan terapi. Pasien dengan muntah
yang persisten, diare berta dan distensi abdomen memerlukan perawatan di rumah sakit dan
terapi antibiotic parenteral. Secara umum terdapat tiga prinsip penatalaksanaan demam tifoid.
Istirahat yang adekuat, hydrasi dan pengobatan penting untuk mengoreksi ketidakseimbangan
cairan-elektrolit. Terapi antipiretik (aceminophen 120-750 mg stiap 4-6 jam PO) harus
diberikan jika diperlukan. Makanan yang lunak, harus dilanjutkan pada pasien distensi
abdomen atau ileus. Terapi antibiotic penting untuk meminimalisir komplikasi. Pengggunaan
chloramphenicol atau amoxicillin diketahhui mempunyai angka kekambuhan masing-masing
5-15% dan 4-14%. Berikut adalah antibiotik yang biasa digunakan pada demam tifoid.
Sebagai tambahan untuk antibiotik, terapi suportif juga penting dan pemeliharaan
keseimbangan cairan dan elektrolit juga harus diperhatikan. Pemberian terapi tambahan
dengan dexametason 3mg/kgBB dosis awal, diikuti 1 mg/kg setiap 6 jam selama 48 jam)
telah diekomendasikan pada pasien dengan syok, penurunan kesadaran, stupor atau koma, hal
ini harus dilakukan dengan pengawasan G.KOMPLIKASI DEMAM TIFOID Komplikasi
pada demam tifoid dibagi menjadi komplikasi intestinal dan ekstraintestinal. - Intestinal :
peritonitis, perdarahan intestinal dan perforasi - Ekstraintestinal : Komplikasi
kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis), miokarditis, trombosis dan
tromboflebitis. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi
intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik. Komplikasi paru: pneuomonia,
empiema dan pleuritis. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis. Komplikasi tulang:
osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium,
mengingismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom
katatonia. - H.PECEGAHAN 1. Higiene peorangan dan lingkungan Demam tifoid ditularkan
melalui rute fekal-oral, maka pencagahan utama memutuskan rantai tersebut dengan
meningkatkan higiene perorangan dan lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan,
penyediaan air bersih, dan penanganan pembuangan limbah feses. 2. Imunisasi Imunisasi
aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien demam tifoid, terjadi kejadian luar
biasa dan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik. a. Vaksin polisakarida (capsular Vi
polysacharide), pada usia 2 tahun atau lebih diberikan secara intramuscular dan diulang setiap
3 tahun. b. Vaksin tifoid oral , diberikan pada usia >6 tahun dengan interval selang sehari
(hari 1,3 dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Vaksin ini belum beredar di Indonesia, terutama
direkomendasikan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik. I.PROGNOSIS Prognosis
terhadap pasien demam tifoid bergantung kepada kecepatan penegakan diagnosis dan
ketepatan terapi antibiotik. Faktor lain yang mempengaruhi meliputi umur pasien, status
kesehatan dan nutrisi, serotype Salmonella dan munculnya komplikasi. Individu yang
mengekskresikan S.typhi 3bulan setelah infeksi dianggap sebagai karier kronik.
Bagaimanapun resiko untuk menjadi karier rendah pada anak-anak dan meningkat dengan
bertambahnya umur, namun secara umum < 2% dari semua anak yang terinfeksi. DAFTAR
PUSTAKA Background Document.2003.The Diagnosis, Treatment and Prevention of
Thypoid Fever. Comunicable Disease Surveillance and Response Vaccinase and Biologicals.
WHO. Bhutta ZA. 2006.Clinical Review. Current Concepts in the Diagnosis and Treatment
of Thypoid Fever. BMJ; 333: 78-82 Braunwald. 2008.Harrisons Principles of Internal
Medicine. 17th Edition, New York, Brush john L.2009. typhoid fever, in
http://emedicine.medscape.com Jawetz Ernest et al. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Alih
Bahasa : Nugroho Edi, Maulani RF. Jakarta EGC Ranjan L.Fernando et al. 2001. Tropical
Infectious Diseases Epidemiology, Investigation, Diagnosis and Management,
London,;45:270-272 Widodo Djoko. 2007. Demam Tifoid didalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta FKUI