S2 2013 236847 Chapter1
S2 2013 236847 Chapter1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penjara atau yang saat ini kita sebut sebagai Lembaga Pemasyarakatan atau
Lapas adalah merupakan tempat penghukuman yang telah berlangsung kurang lebih
200 tahun yang lalu dan hingga saat ini masih berguna menampung berbagai pelaku
kriminal. Penjara merupakan tempat untuk menghukum seseorang yang telah
melanggar hukum dengan cara membatasi kebebasannya dengan cara dikurung,
sehingga si terhukum merasa sangat menderita karena kebebasannya telah diambil
oleh yang berwenang atau aparat penegak hukum.
Menurut Dwidja Priyatno (2006:87-88), bahwa Di sekitar abad ke-16 di Inggris
terdapat pidana penjara dalam arti tindakan untuk melatih bekerja di Bridewell yang
terkenal dengan nama Thriftless Poor bertempat di bekas istana Raja Edward VI tahun
1522. Bahwa pidana penjara diperkirakan dalam tahun-tahun permulaan abad ke-18
mulai tumbuh sebagai pidana baru yang berbentuk membatasi kebebasan bergerak,
merampas kemerdekaan, menghilangkan kemerdekaan yang harus dirasakan sebagai
derita selama menjalani pidana penjara bagi narapidana.
Menurut A. Josias Simon R., dan Thomas Sunaryo (2011:1), Penjara masa
dulu
penyiksaan, mutilasi, dieksekusi gantung atau dibakar. Namun saat ini, penjara di
Indonesia yang sudah berubah namanya dengan sebutan Lembaga Pemasyarakatan
merupakan
bangunan
tempat
isolasi
yang
secara
filosofis
ditujukan
untuk
Lapas, dengan alasan peraturan atau kebijakan. Hal ini menunjukkan sistem birokrasi
pemerintah di dalam Lapas menjadi sesuatu yang sakral.
Menurut R. Abdoel Djamali (2009 : 188-189), Penjara adalah suatu tempat
yang khusus dibuat dan digunakan para terhukum dalam menjalankan hukumannya
sesuai putusan hakim. Fungsi kamar untuk ditempati terhukum seorang diri tanpa dapat
berkomunikasi dengan terhukum lainnya, seperti dikucilkan dari pergaulan sosial.
Dengan jalan demikian, diharapkan setelah menjalankan hukumannya ia akan menjadi
insaf dan tidak mau lagi melakukan tindak pidana kejahatan. Dengan demikian secara
logika, seorang yang dimasukkan ke dalam penjara atau Lapas tidak bisa secara bebas
berkomunikasi dengan orang luar, karena telah diisolasikan dan tidak bisa keluar atau
bebas dari Lapas tanpa seijin dari pimpinan Lapas atau telah selesai masa tahanannya.
Penjara atau Lapas merupakan tempat untuk menampung berbagai pelaku
kriminal, tempat yang bersifat isolasi, yang membatasi gerak-gerik para pelaku kriminal
dengan tembok yang kokoh dan tinggi serta pintu dan jendela yang terbuat dari trali
besi, terkungkung dalam kamar yang gelap dan pengab. Selain itu, pengawasan dan
penjagaan di dalam penjara oleh para petugas Lapas sangat ketat serta karakter dari
Petugas Lapas sering dikenal sangat beringas dan kejam serta menyeramkan.
Bahwa gambaran dari penjara atau Lapas adalah tempat yang sangat
menyeramkan, tidak mendapatkan makanan yang enak, tidur di lantai dan digigit
nyamuk, terdapat penyiksaan dan sangat tidak nyaman, sulit berkomunikasi dengan
dunia luar dan keluarga, tidak ada hiburan serta menderita dan terbatas dalam segala
hal. Penjara juga dapat memberikan gambaran kepada masyarakat umum, bahwa
tempat tersebut merupakan tempat dimana para pelaku kejahatan dirampas
kebebasannya dan disiksa serta dipekerjakan atau dilatih agar dapat membentuk
perilaku dan karakter yang baik setelah keluar dari penjara. Pidana penjara adalah
salah satu bentuk dari pidana perampasan kemerdekaan (Prasetyo, 2010:78).
Gambaran penjara yang memberikan image menakutkan bagi masyarakat
umum, bertujuan memberikan unsur jera bagi para pelaku kejahatan (kriminal), agar
menjadi sadar dan merubah sikap dan perilakunya yang jahat. Pidana penjara yang
dilaksanakan di Indonesia bertujuan untuk menghukum seseorang yang secara sadar
dan dengan sengaja melakukan suatu tindakan kejahatan agar orang tersebut tidak
akan mengulangi perbuatannya yang salah.
Lapas sebagai institusi tentu memiliki keterbatasan-keterbatasan fisik dan
organisatoris. Lapas tidak saja dibatasi oleh batas-batas fisik tapi juga batas-batas
sosial. Batas fisik seperti pagar, tembok, jeruji, diberlakukan bagi terhukum agar tidak
berinteraksi secara bebas layaknya masyarakat di luar Lapas. Batas sosial seperti tidak
dapat berinteraksi dengan masyarakat secara bebas layaknya masyarakat di luar
Lapas. Batas-batas fisik dan sosial mendasari timbulnya kesepakatan-kesepakatan
tertentu diantara petugas dan narapidana untuk saling bekerja sama menafsirkan
penggunaan dan pemanfaatan batas-batas tersebut sesuai kebutuhan dan kepentingan
masing-masing. Batas-batas ini mencerminkan struktur masyarakat di balik tembok
Lapas tak jauh berbeda dengan struktur masyarakat di Luar Lapas (Josias Simon R,
2012:4).
Munculnya sistem pemidanaan dengan penggunaan penjara dapat diketahui
dari Kodifikasi hukum Perancis yang dibuat tahun 1670, belum dikenal pidana penjara,
terkecuali dalam arti tindakan penyanderaan dengan
penebusan
uang atau
penggantian hukuman mati sebelum ditentukan keringanan hukuman dengan cara lain.
Pada permulaan abad ke-18 mulai tumbuh sebagai pidana baru yang berbentuk
membatasi
kebebasan
bergerak,
merampas
kemerdekaan,
menghilangkan
kemerdekaan yang harus dirasakan sebagai derita selama menjalani pidana penjara
bagi narapidana.
Dengan berjalannya waktu, pandangan masyarakat umum tentang penjara
yang begitu menyeramkan dan menakutkan seperti yang diuraikan di atas mulai
berubah pandangannya menjadi tempat pembinaan dan pembimbingan bagi para
pelaku kriminal, yaitu dengan Bertolak dari pandangan Dr.Saharjo,SH., tentang hukum
sebagai pengayoman. Hal ini membuka jalan perlakuan terhadap narapidana dengan
cara pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara. Konsep pemasyarakatan tersebut
kemudian disempurnakan oleh Keputusan Konfrensi Dinas Para Pimpinan Kepenjaraan
pada tanggal 27 April 1964 yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di
Indonesia dilakukan dengan sistem pemasyarakatan, suatu pernyataan di samping
sebagai arah tujuan, pidana penjara dapat juga menjadi cara untuk membimbing dan
membina (Dwidja Priyatno, 2006:97).
Bahwa sejak saat itulah terjadi pembaharuan pidana penjara di Indonesia, yaitu
merubah nama kepenjaraan menjadi pemasyarakatan. Perubahan nama dari penjara
menjadi Pemasyarakatan merupakan suatu proses yang panjang, sehingga dengan
suatu kebijakan yang tegas perubahan itu dapat terjadi. Hal ini menjadi lebih jelas sejak
diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
sehingga kata penjara sudah jarang disebut atau jarang terdengar oleh masyarakat
berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik
dan bertanggungjawab.
Pidana penjara dengan pendekatan secara sistem pemasyarakatan diharapkan
dapat merubah paradigma masyarakat pada umumnya, bahwa kebijakan dan tindakan
Pimpinan Lapas dan Petugas Lapas tidak seperti pada jaman dahulu, yaitu penjara
merupakan tempat pemukulan dan penyiksaan bagi para pelaku tindak kriminal.
Lembaga Pemasyarakatan juga bukan berarti tempat untuk menampung orang-orang
yang telah melakukan suatu tindak pidana kejahatan lalu setelah dimasukan ke dalam
Lapas, para tahanan atau narapidana tersebut bisa santai-santai dan bisa hidup enak di
dalam penjara dengan fasilitas yang tidak bedanya seperti di luar penjara.
Dengan
berubahnya
paradigma
masyarakat
tentang
penjara
yang
di dalam Lembaga Pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib
bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.
Peraturan-peraturan yang berlaku di dalam Lapas merupakan kebijakan yang
telah dibuat untuk dipatuhi dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku di
dalam Lapas, baik oleh para tahanan, narapidana maupun Petugas Lapas. Dan
peraturan-peraturan atau kebijakan yang dibuat untuk mengatur agar dapat mencapai
tujuan yang diharapkan dari kebijakan tersebut. Seperti yang didefinisikan oleh Titmuss
(1974), yaitu kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan
kepada tujuan-tujuan. Demikian juga menurut Edi Suharto (2010:2), bahwa fungsi
kebijakan adalah untuk memberikan rumusan mengenai berbagai pilihan tindakan dan
prioritas yang diwujudkan dalam program-program pelayanan sosial yang efektif untuk
mencapai tujuan pembangunan.
Menurut Dwidja Priyatno (2006:103), bahwa Lembaga Pemasyarakatan
sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk
mencapai tujuan, yaitu melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi sesuai dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sejalan dengan peran Lembaga
Pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan yang
melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan
dalam undang-undang ini ditetapkan sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum.
Untuk mewujudkan tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan nilai-nilai dari Pancasila, diperlukan
implementasi kebijakan yang baik dan benar serta tidak menyimpang dari peraturan
atau kebijakan yang telah ditetapkan. Menurut Edi Suharto (2010:18), bahwa
Implementasi merupakan suatu proses yang dinamis yang melibatkan secara terus
menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan.
Implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu
program ke dalam tujuan kebijakan yang diinginkan.
Dari penjelasan tentang penjara di atas dapat memberikan gambaran bahwa
sistem birokrasi yang dibangun di dalam Lapas ini cukup ketat dan bersifat tertutup
serta didukung dengan berbagai aturan yang menutupi kebijakan yang diterapkan di
dalam Lapas. Selain dari itu, birokrasi yang tertutup di dalam Lapas tersebut didukung
oleh bentuk bangunan dengan tembok yang tinggi dan diberi kawat berduri, sehingga
tidak mudah diakses oleh masyarakat umum, kecuali mendapat ijin dari pengadilan
atau lembaga yang berwenang.
Alasan logis dari dibangunnya sistem birokrasi yang ketat dan tertutup ini,
karena Lapas merupakan tempat isolasi yang menampung berbagai pelaku kriminal
yang secara sadar dan dengan sengaja melakukan suatu tindakan kejahatan agar
orang tersebut tidak akan mengulangi perbuatannya yang salah atau memberikan
unsur jera baginya serta untuk menghilangkan atau pencabutan kemerdekaan
narapidana. Sistem birokrasi yang bersifat tertutup membuat banyak masyarakat tidak
mengetahui aktifitas dan kebijakan yang diterapkan di dalam Lapas.
Sistem birokrasi yang tertutup yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
sistem birokrasi yang tertutup karena sistem yang terbentuk di dalam Lapas atau sistem
di dalam Lapas yang menggariskan demikian, seperti sistem yang digariskan pada
lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang mana tidak bisa semua orang
keluar masuk lingkungan TNI tanpa ijin, sehingga lingkungan tersebut menjadi tampak
sakral atau menakutkan. Selain daripada itu karena pandangan masyarakat, yang
mana Lapas merupakan tempat dimana orang umum sulit untuk memasukinya apabila
tidak mempunyai tujuan selain daripada membesuk para narapidana yang ada di dalam
Lapas. Bahwa dengan sistem birokrasi yang terbangun secara tertutup seperti di dalam
Lapas
tersebut,
sehingga
tidak
menutup
kemungkinan
terjadinya
berbagai
10
11
tertutup dan tidak bisa secara bebas berkomunikasi dengan orang luar, serta dirampas
kebebasannya karena memang demikian kebijakan yang diterapkan dengan tujuan
untuk memberikan unsur jera dan memperbaiki kelakuan agar menjadi baik, namun
mengapa dalam praktek implementasi kebijakan tidak mencapai tujuan yang
diharapkan?
Banyak
terjadi
penyimpangan-penyimpangan
dalam
implementasi
Kompas, Kamis, 10 Maret 2011, Ada Jaringan Narkotik di LP dan Mengatur dari Nusakambangan, hal.3-7, 15.
12
menggunakan telepon seluler dan penguat jaringan yang dipasang di luar sel. Selain
daripada itu, narapidana mampu membeli dan memasang antena tanpa sepengetahuan
petugas Lapas.
Dengan modal komunikasi itulah narapidana di sebuah pulau yang terpencil di
Nusakambangan dapat mengendalikan bisnis narkotika di luar Lapas, bahkan
komunikasi yang dilakukan dapat mencapai mancanegara. Manajemen bisnis narkotika
di Lapas Nusakambangan sudah sangat rapi. Narapidana, khususnya bandar narkotika
dapat berkomunikasi untuk memesan barang kepada pemasok dengan telepon seluler.
Bahkan di Lapas Narkotika, narapidana dapat menggunakan antena penguat jaringan 2.
Demikian pula dengan seorang warga negara asing bernama SBT alias Kiran
dari negara Nepal dapat melakukan transaksi Narkotika secara internasional dari dalam
Penjara di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.3 SBT merasa lebih nyaman
melakukan transaksi Narkotika dari dalam Penjara (Lapas) Nusakambangan, karena
berpikir melakukan transaksi Narkotika dari dalam Lapas Nusakambangan lebih aman
dibanding melakukan transaksi Narkotika di luar Lapas. Menurutnya, kalau melakukan
transaksi di luar Lapas akan menjadi kejaran aparat penegak hukum, sedangkan jika
dilakukan dari dalam Lapas tidak mungkin dikejar-kejar, tetapi malah dilindungi atau
mendapat perlindungan dari Petugas Lapas (Polisi Khusus Lapas atau disingkat
Polsuspas).
Transaksi Narkotika dari dalam Lapas Nusakambangan dilakukan juga oleh
SBT alias Kiran dengan menggunakan Handphone yang disewakan atau disediakan
Ibid.
Kompas, Rabu, 9 Maret 2011, Jaringan Narkoba, Kepala LP Ditangkap Aparat BNN, Bisnis Narkoba dari Penjara,
hal.1.
13
4
5
Kompas, Sabtu, 24 Maret 2012, Bisnis Narkoba dari Sel Tahanan, hal. 23.
Kompas, Sabtu, 2 April 2011, Penyuapan, Kepala Rutan Terima Rp. 264 Juta, hal. 4 dan Selasa, 7 Juni 2011,
Suap Gayus, Iwan Akui Langgar Prosedur, hal. 3.
14
diduga sudah sering dilakukan oleh nenek tersebut untuk diberikan kepada menantu
dan cucunya yang sedang menjalani hukuman di Lapas tersebut.6
Kasus bisnis Sabu senilai hampir Rp.100 Milyar yang dikendalikan dari Lapas
Salemba, Jakarta Pusat dengan tersangka Jl yang merupakan narapidana narkoba
yang baru saja keluar/bebas dari penjara. Seperti yang dikatakan oleh Kepala Unit
Direktorat Narkoba Mabes Polri Ajun Komisaris Besar, Reza Kelvian Gumay, bahwa
awalnya Jl dianggap sudah kapok, namun ternyata cara beroperasinya yang berubah. 7
Bahwa dari berbagai kasus yang telah dijelaskan di atas, yang terjadi dan
dilakukan atau dikendalilan dari dalam Lapas, seringkali terungkap setelah pelaku atau
kurir yang berada di luar Lapas tertangkap oleh aparat penegak hukum. Namun apabila
pelaku atau kurir di luar Lapas tidak tertangkap, maka hampir pasti segala praktek
penyimpangan implementasi kebijakan yang dilakukan di dalam Lapas tidak akan
terungkap kepada masyarakat banyak. Sedangkan tujuan dari dibangunnya Lapas agar
memberikan unsur jera kepada para pelaku kriminal agar tidak mengulangi
perbuatannya, merampas kebebasan atau kemerdekaan, dan membina para pelaku
kriminal menjadi baik. Namun sebaliknya para pelaku kriminal merasa aman dan
terlindung melakukan praktek kriminalnya bila berada di dalam Lapas, bahkan
dilindungi serta dibantu oleh birokrat dalam melakukan praktek kriminal tersebut, yaitu
dengan cara misalnya memfasilitasi penggunaan handphone di dalam Lapas. Perilaku
para narapidana di dalam Lapas bukannya menjadi baik, karena memberikan unsur jera
dan dapat dibina menjadi baik, namun sebaliknya justru di dalam Lapas para
narapidana mendapat pengetahuan untuk melakukan pola kriminalnya dengan cara6
7
Jawa Pos, Minggu, 15 April 2007, Banjarmasin, Nenek Selundupkan Lexotan ke Lapas, hal.4.
Kompas, Senin, 21 Maret 2011, Disita, Sabu Rp. 100 Milyar, Sindikat Sabu Malaysia-Indonesia Gunakan Pola
Baru Melalui Jalur Darat, hal, 26.
15
cara yang professional serta dengan bentuk kejahatan yang baru, yang dapat
dilakukannya setelah bebas dari Lapas.
Bahwa implementasi kebijakan yang menyimpang yang dilakukan oleh birokrat
dalam birokrasi yang bersifat tertutup atau bersifat tidak transparan terhadap
masyarakat publik, akan sulit mendapatkan pengawasan atau kontrol dari publik.
Demikian
pula
segala
informasi
tentang
praktek-praktek
implementasi
yang
16
interaksi yang mengakibatkan timbulnya kejahatan ini dikemukakan pula oleh Harry
A.Allen dan Clifford E.Simonsen (1989 : 17), seorang kriminal atau narapidana ada,
bukan karena dibentuk secara lahiriah tapi karena dibentuk secara sosial budaya
dimana ia berada, demikian pula penghukuman yang dijalani bukanlah konstruksi
sosial-budaya seperti hasil interaksi, komunikasi, bentukan solidaritas dan konflik yang
terjadi.
Pejabat
dan
Petugas
Lapas
yang
melakukan
praktek
birokrasi
dan
berdasarkan
kebijakan
(peraturan-peraturan)
sesuai
dengan
8
9
17
Warga
Binaan
Pemasyarakatan
(para
tahanan
dan
narapidana)
menyadari
kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana serta mewajibkan
para tahanan dan narapidana untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku
di dalam Lapas.
Lapas menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk melakukan tindakan
kejahatan (kriminal) yang baru, bahkan bukan hanya dalam skala nasional saja, tetapi
juga dalam skala internasional. Tujuan kebijakan di dalam Lapas, agar seorang
Narapidana yang dimasukan ke dalam Lapas dapat dididik dan dibina supaya menjadi
baik, namun dalam kenyataannya, seorang narapidana yang dimasukan ke dalam
Lapas lebih professional dalam melakukan tindakan kriminal dibanding dengan
perilakunya sebelum dimasukan ke dalam Lapas. Hal ini telah membuktikan adanya
penyimpangan dalam implementasi kebijakan di dalam Lapas, sehingga tujuan
kebijakan dalam implementasi kebijakan tidak tercapai seratus persen.
Lapas dibangun atas dasar aturan (fair play) dan sistem birokrasi yang telah
dibentuk, yaitu para birokrat dan birokrasi, guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Menurut Martin Albrow (1996), birokrasi sebagai organisasi rasional; birokrasi
dipandang sebagai suatu alat yang dapat membuat suatu organisasi berjalan secara
efisien dalam mencapai tujuan. Birokrasi diartikan sebagai suatu bentuk organisasi
yang muncul sebagai upaya birokrat untuk bekerja sama mencapai tujuan-tujuan.
Selaku
individu
(birokrat)
dalam
organisasi
(birokrasi),
keduanya
mempunyai
karakteristik tersendiri dan jika kedua karakteristik tersebut berinteraksi, maka akan
menimbulkan perilaku birokrat dan birokrasi, seperti yang dikemukakan oleh David
A.Nadler, dkk (dalam Miftah Thoha (2002: 30-31), dapat dikemukakan bahwa perilaku
18
birokrat adalah suatu fungsi dari interaksi antara birokrat tersebut dengan lingkungan
organisasinya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana yang dijelaskan
sebelumnya, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan pertanyaan mendasar
yang
akan
dijadikan
fokus
penelitian
sebagai
berikut:
Mengapa
terjadi
19
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk kepentingan
teoritis dan praktis, antara lain:
a. Menjadi rujukan bagi pengambil kebijakan untuk lebih tegas, konsisten dan
konsekuen dalam implementasi kebijakan sesuai dengan aturan main (fair
play).
b. Dapat memberikan gambaran bagaimana bentuk-bentuk penyimpangan
implementasi kebijakan dapat terjadi dalam sistem birokrasi tertutup di Lapas
dan bagaimana solusi untuk mengatasi penyimpangan implementasi tersebut.
c. Dapat menunjukkan faktor-faktor yang memberikan peluang (penyebab) terjadi
penyimpangan dalam Implementasi kebijakan di dalam sistem birokrasi
tertutup di Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.
D. Kerangka Pikir
1. Sistem Birokrasi Pemerintah
Sistem birokrasi di dalam Lapas sebenarnya terdapat beberapa perbedaan
dengan sistem birokrasi pemerintah yang ada pada institusi atau lembaga
pemerintah yang ada di Indonesia. Beberapa perbedaan tersebut dapat terlihat pada
aturan, kebijakan dan bangunan fisik, implementasi kebijakan serta pada sistem
birokrasi. Misalnya pada sistem birokrasi di dalam Lapas yang turut melibatkan pada
narapidana dalam sistem birokrasi di dalam Lapas, yaitu dengan menempatkan
narapidana, yang bukan sebagai Petugas Lapas, sebagai Tamping guna membantu
tugas-tugas Petugas Lapas. Berbeda dengan sistem birokrasi pada institusi atau
20
lembaga pemerintah lainnya yang tidak melibatkan pihak luar, yang bukan pegawai
institusi pemerintah tersebut sebagai bagian dari pegawai institusi.
Namun sebagai pendekatan guna mempermudah memahami sistem
birokrasi di dalam Lapas, maka dilakukan pendekatan dengan teori-teori pada
sistem birokrasi pemerintah pada umumnya dan setelah itu baru akan dibahas
tentang sistem birokrasi yang terbangun di dalam Lapas. Demikian pula dengan
kebijakan-kebijakan dan implementasi kebijakan serta penyimpangan dalam
implementasi kebijakan di dalam Lapas, akan dilakukan pendekatan secara teoritis
tentang kebijakan publik dan implementasi kebijakan publik serta penyimpangan
dalam implementasi kebijakan publik, yang mana semuanya itu guna memudahkan
pemahaman terhadap kebijakan dan implementasi kebijakan serta penyimpangan
dalam implementasi kebijakan di dalam Lapas.
Sebelum membahas tentang birokrasi, kita terlebih dahulu melihat apa yang
dimaksudkan dengan biro dan siapa birokrat itu. Biro (bureau) merupakan suatu
bentuk organisasi. Organisasi adalah suatu sistem koordinasi kegiatan-kegiatan
atau kekuatan-kekuatan dua orang atau lebih yang secara sadar dibentuk untuk
mencapai tujuan tertentu (Joko Widodo, 2005:9). Implementasi kebijakan tidak
dapat dilakukan apabila tidak terdapat birokrat (individu) dan birokrasi (organisasi).
Suatu kebijakan dapat diimplementasikan apabila terdapat dua unsur tersebut.
Birokrasi dalam arti harfiahnya adalah kekuasaan kantor, umumnya
berupa organisasi formal yang mempunyai skala luas/besar, mempunyai
pemisahan yang jelas, dan diorganisasi secara efisien oleh jaringan perintah yang
hierarkis. Birokrasi yang berkembang di Indonesia, sebagaimana birokrasi di bekas
21
Birokrasi
dalam
bentuk
yang
demikian
adalah
birokrasi
yang
individu
(birokrat)
dalam
organisasi
(birokrasi),
keduanya
22
menujukkan suatu lembaga atau tingkatan lembaga khusus. Dalam pengertian ini,
birokrasi dinyatakan sebagai suatu konsep yang sama dengan biro (walaupun tidak
semua pengarang setuju dengan konsep tersebut). Kedua, birokrasi juga dapat
berarti suatu metode tertentu untuk mengalokasikan sumber daya dalam suatu
organisasi yang berskala besar. Pergertian ini sama dengan pembuatan keputusan
birokratis (bureaucratic decision making). Ketiga, birokrasi diartikan sebagai
bureauness or quality that distinguishes bureaus from other types of organization.
Menurut David Osborne dan Peter Plastrik (2004 :20), birokrasi dituntun oleh aturan:
yaitu, oleh hukum atau peraturan-peraturan administrasi yang stabil, yang
mencakup semua hal dan birokrasi terstandarisasi dan impersonal, memberikan
perlakuan atau pelayanan yang sama kepada setiap orang.
Birokrasi sebagai organisasi didefinisikan oleh Eva Etsioni-Halevy (dalam
Amalinda Savirani & Haryanto : 2006), sebagai organisasi hirarkis pemerintah yang
ditunjuk untuk melayani kepentingan umum. Pengertian birokrasi yang lebih luas
dalam perkembangannnya hingga saat ini, telah didefinisikan oleh Martin Albrow
(1996) dalam tujuh (7) konsep modern birokrasi sebagai berikut:
1. Birokrasi sebagai organisasi rasional; birokrasi dipandang sebagai suatu alat
yang dapat membuat suatu organisasi berjalan secara efisien dalam mencapai
tujuan.
2. Birokrasi sebagai enefisiensi organisasional; dalam konsep ini birokrasi
dipandang sebagai salah satu penyebab tidak efisiennya organisasi dalam
mencapai tujuannya.
3. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.
23
birokrasi
sebagai
komponen
sistem
politik
administrasi
pemerintah,
tetapi
juga
kehidupan
politik
masyarakat
secara
keseluruhan.
Birokrasi sebenarnya diciptakan untuk menjalankan fungsi pendisiplinan
dan pengendalian. Dan kebutuhan akan fungsi pendisiplinan dan pengendalian ini
berkaitan dengan perkembangan kapitalisme. Birokrasi mengusahakan agar
masyarakatnya bekerja lebih giat dan menghasilkan output yang lebih dari sekedar
cukup untuk hidup. Pembahasan mengenai birokrasi tidak bisa dilepaskan dari
pembicaraan mengenai kapitalisme. Bahwa tidak dapat dipungkiri seringkali terjadi
24
birokrasi bekerja demi kepentingan atau golongan borjuasi atau kapitalis. Pada
negara metropolit ada kelompok borjuasi sebagai motor penggerak kehidupan politik
yang bisa mengendalikan birokrasi. Birokrasi itu dirancang untuk bekerja demi
kepentingan borjuasi di negara metropolit itu (Mohtar Masoed, 2003:70-78)
Dalam sistem birokrasi pemerintahan, implementasi kebijakan dilakukan
oleh pejabat-pejabat karier dan/atau pegawai-pegawai birokrasi (implementor).
Pejabat adalah orang-orang yang menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi
pemerintah. Pejabat birokrasi pemerintah adalah sentra dari penyelesaian urusan
masyarakat (Miftah Thoha, 2010:2-3).
Birokrasi umumnya dipandang sebagai aktor yang sekedar menerapkan
kebijaksanaan yang telah diputuskan di pejabat pemerintah yang berwenang
membuat kebijakan. Posisi birokrasi didukung oleh unsur-unsur yang merupakan
sumber-sumber kekuasaannya, yaitu: kerahasiaan, monopoli informasi, keahlian
teknis dan status sosial yang tinggi (Mohtar, 2003:71).
Menurut Joko Widodo (2005 : 14), dalam setiap birokrasi, perlu ada struktur
organisasi (hierarchy). Artinya, harus ada perjenjangan dan tanggung jawab di
antara mereka yang berada dalam suatu birokrasi. Ada yang bertindak sebagai
pemimpin dan ada pula yang bertindak sebagai staf, pelaksana, atau bawahan. Hal
ini menjadi penting, karena dengan adanya hierarki tersebut, setiap orang dalam
suatu birokrasi menjadi tahu ia harus bertanggung jawab dan melapor kepada siapa.
Demikian pula sebaliknya, tahu kepada siapa-siapa harus meminta laporan dan
tanggungjawab dan melapor kepadanya. Hierarki tersebut akan mempermudah
berlangsungnya proses koordinasi, pelaporan, dan pengendalian.
25
resmi
(official
duties)
yang
memperjelas
batas-batas
kewenangan
26
maka
dengan
demikian
implementasi
kebijakan
publik
yang
27
28
efektivitas,
kegiatan),
efektivitas
komunikasi
antarunit,
sumber
daya
dan
29
Dengan demikian agar suatu birokrasi dapat dikatakan berdaya guna dan
berhasil, maka birokrasi tersebut harus transparan, akuntabilitas dan jujur serta
senantiasa melakukan pengembangan organisasi sesuai dengan beberapa hal yang
telah dijelaskan di atas.
30
31
32
kebijakan
publik
sebagai
sarana
pemenuhan
kebutuhan
atau
33
sedikit banyak ditentukan oleh kualitas dari produk hukum yang hendak
diterapkan (Saiful Bahri, 2004:88-89). Gagalnya sebuah kebijakan juga
disebabkan oleh karena desain kebijakan aslinya kurang, atau mungkin karena
disain tidak pernah diimplementasikan (George Edwards, 2003:10).
Kegagalan implementasi kebijakan yang disebabkan oleh karena
birokrasi, Purwo Santoso memberikan pendapat sebagai berikut, yaitu, Kalau
birokrasi gagal, masyarakat harus berani memojokkan birokrasi. Di level
masyarakat, reformasi birokrasi harus dijadikan gerakan sosial. Di level
pemerintah, harus dikawal orang-orang yang kuat. Komitmen harus datang dari
pucuk pemerintah. Repotnya, banyak orang yang justru diuntungkan dari
birokrasi yang bobrok. Kalaupun gagal, mereka happy-happy saja.10
Menurut Riant Nugroho (2003:158) tentang implementasi kebijakan yang
gagal, yaitu Perencanaan atau sebuah kebijakan yang baik akan berperan
menentukan hasil yang baik. Bahkan kontribusi konsep mencapai 60% dari
keberhasilan. Jika sudah mempunyai konsep yang baik, maka 60% keberhasilan
sudah di tangan. Namun yang 60% itu pun akan hangus, jika 40%
implementasinya tidak konsisten dengan konsep.
Menurut Rondinelli (1983:3), menjelaskan bahwa program-program aksi
itu sendiri boleh jadi juga diperinci lebih lanjut ke dalam bentuk-bentuk proyekproyek ke dalam bentuk proyek-proyek ini dapat dimaklumi mengingat proyekproyek
itu
merupakan
instrumen
yang
lazim
digunakan
untuk
Jawa Pos, Senin, 12 November 2007, Publik Turut Bersalah, hal. 14.
34
perubahan
terjadi,
bagaimana
kemungkinan
perubahan
bisa
35
dan berinteraksi satu sama lain; apa motivasi-motivasi mereka bertindak seperti itu,
dan apa motivasi lain yang mungkin membuat mereka bertindak secara berbeda.
Berbicara tentang kinerja dari kebijakan publik, pada dasarnya kita sedang
berbicara tentang bagaimana proses implementasi kebijakan itu dapat dilaksanakan
dengan baik sampai pada tingkat yang paling bawah. Sebuah kebijakan publik itu
akhirnya akan bermuara pada hasil (output) dari sebuah proses kebijakan. Apabila
kebijakan dan proses implementasi kebijakan itu dapat diimplementasikan dengan
baik oleh implementornya, maka pencapaian hasilnya akan baik pula. Demikian pula
sebaliknya,
itu
menyimpang,
maka
36
kebijakan adalah upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan yang dinyatakan dalam
formula kebijakan, sebagai policy statement, ke dalam policy outcome, yang muncul
sebagai akibat dari aktivitas pemerintah. Kebijakan publik yang baik adalah kebijakan
yang mampu diimplementasi dengan baik, dan sekaligus kebijakan publik itu dalam
proses implementasi dapat mencapai hasil yang diinginkan (Saiful Bahri dkk,
2004:86). Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya (Riant Nugroho, 2003:158).
Implementasi kebijakan juga menekankan pada suatu tindakan yang
difokuskan untuk mencapai tujuan kebijakan yang telah ditetapkan. Tindakantindakan tersebut, pada suatu saat berusaha untuk mentransformasikan keputusankeputusan menjadi pola operasional, dan melanjutkan upaya tersebut untuk
mencapai perubahan seperti yang digariskan dalam peraturan atau keputusankeputusan tertentu, yang merupakan suatu kebijakan yang telah ditetapkan.
Mazmanaian dan Sabatier (Hartono, 2002:99) menjelaskan bahwa mempelajari
masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang
senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan, yakni
peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan
kebijakan, baik itu menyangkut usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu
pada masyarakat (Bambang Dwi Hartono: 2002).
Implementasi menurut Edi Suharto (2010:18), Implementasi merupakan suatu
proses yang dinamis yang melibatkan secara terus menerus usaha-usaha untuk
mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Implementasi mengatur kegiatankegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan
37
kebijakan yang diinginkan. Menurut Patton dan Sawicki (1993), bahwa implementasi
berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasi program,
dimana
pada
posisi
ini
eksekutif
mengatur
cara
untuk
mengorganisir,
kebijakan
untuk menghasilkan
perubahan
sosial
ke
arah
yang
sasaran
kebijakan
untuk
memastikan
tercapainya
misi
kebijakan.
besar
dan
kecil
yang
ditetapkan
oleh
keputusan-keputusan
kebijaksanaan.
Menurut Bahri dkk (2004:26), bahwa dalam melihat kinerja dari kebijakan
publik, pada dasarnya kita sedang berbicara tentang bagaimana proses yang ada di
dalam keseluruhan dimensi kebijakan publik itu, yaitu baik pada saat formulasi,
implementasi maupun evaluasinya. Dinamika proses implementasi kebijakan,
menurut Grindle, melibatkan paling tidak ada dua variabel utama, yaitu policy content
dan policy context. Policy content mempengaruhi proses implementasi karena policy
content yang dihasilkan melalui proses policy making menentukan apa yang harus dideliver melalui sebuah kebijakan, perubahan apa yang bakal muncul sebagai akibat
38
dari
kebijakan
yang
diimplementasikan,
di
mana
kebijakan
tersebut
11
39
kebijakan dapat dievaluasi dengan cara mengukur atau membandingkan antara hasil
akhir dari program-program tersebut dengan tujuan-tujuan kebijakan.
Grindle (1980:7) menjelaskan proses implementasi kebijakan negara beserta
cara mengevaluasinya dengan diagram berikut:
Tujuan-tujuan
Kebijakan
Tujuan
Tercapai
Program-program
Aksi dan proyekproyek tertentu dirancang & dibiayai
Kegiatan-kegiatan Implementasi
Dipengaruhi oleh:
a. Isi Kebijakan
1. Pihak yang kepentingannya
dipengaruhi
2. Jenis manfaat yang bisa diperoleh
3. Jangkauan perubahan yang diharapkan
4. Letak pengambilan keputusan
5. Pelaksanaan-pelaksanaan program
6. Sumber -sumber yg dpt disediakan
b. Konteks Implementasi
1. Kekuasaan, Kepentingan, dan
Strategi-strategi dari para aktor yang
terlibat.
2. Ciri-ciri kelembagaan dan regim.
3. Konsistensi dan daya tanggap
Hasil Akhir:
a.Dampaknya terhadap
masyarakat, perseorangan dan kelompok.
b.Tingkat Perubahan dan
penerimaannya
Program-program
disampaikan sesuai
dengan rancangan
PENGUKURAN KEBERHASILAN
Gambar 1.7.
Implementasi sebagai Proses Politik dan Administrasi.
Sumber: Grindle, 1980:7
pedoman
pemerintah,
menstrukturkan
tanggapan-tanggapan
penyimpangan
atau
kegagalan
dalam
implementasi
41
dengan
mulia, belum tentu dapat tercapai dengan baik sesuai yang diharapkan, apabila
tidak diimplementasi dengan baik oleh pelaksana kebijakan pada tingkat (level)
yang paling bawah.
Menurut Riant Nugroho (2003:158) tentang implementasi kebijakan
yang gagal, yaitu Perencanaan atau sebuah kebijakan yang baik akan berperan
menentukan hasil yang baik. Bahkan kontribusi konsep mencapai 60% dari
keberhasilan. Jika sudah mempunyai konsep yang baik, maka 60% keberhasilan
sudah di tangan. Namun yang 60% itu pun akan hangus, jika 40%
implementasinya tidak konsisten dengan konsep.
Implikasi dari semua proses kebijakan publik akan mengkonsentrasikan
dirinya pada proses internal pencapaian hasil yang dicita-citakan. Keberhasilan
sebuah proses kebijakan publik yang dijalani ketika hasil (output) yang
ditetapkan sudah dapat dicapai dengan baik. Bahwa yang menjadi persoalan di
sini adalah apakah hasil yang telah dicapai melalui proses internal tersebut
sudah sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat atau belum?
Karena
kebijakan
publik
sebagai
sarana
pemenuhan
kebutuhan
atau
E. Kerangka Konseptual
Konsep merupakan generalisasi dari sekelompok fenomena abstrak yang
secara empirik dapat memberikan arah pada variabel penelitian. Kepastian arah
dalam ruang lingkup penelitian akan mudah dipahami melalui pembatasan dan
penegasan definisi konsep. Definisi konsep disesuaikan dengan permasalahan
44
1. Birokrasi
Adalah organisasi hierarkis pemerintah yang dijalankan oleh pejabat (birokrat),
yang berfungsi untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi, menjalankan
fungsi pendisiplinan dan pengendalian serta dapat melayani kepentingan
umum.
2. Kebijakan
Adalah suatu perangkat pedoman yang dibuat oleh suatu organisasi formal
guna memberikan arah dan cara serta penyederhanaan dalam pelaksanaan
suatu produk hukum dan/atau keputusan lisan, agar mudah dipahami, yang
umumnya dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan. Kebijakan dapat berupa
produk hukum tertulis dan juga dapat berupa keputusan lisan, atau perilaku
pejabat publik, atau dapat berupa kesepakatan.
3. Implementasi Kebijakan
Adalah usaha-usaha pada suatu waktu untuk mengubah keputusan-keputusan
menjadi operasional, maupun melanjutkan usaha-usaha atau pelaksanaan
kebijakan dengan baik sampai pada tingkat yang paling bawah untuk mencapai
perubahan-perubahan yang lebih baik atau mencapai tujuan atau pencapaian
hasil yang telah ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Implementasi
sebagai upaya untuk membantu atau memperlancar penerapan hukum
(rechtstoepassing) yang telah ditetapkan.
45
4.
Implementasi
memiliki
diskresi
yang
hebat
di
dalam
F. Definisi Operasional
Bahwa
untuk
menghindari
terjadinya
kekaburan/kesalahan
dalam
46
1. Sistem Birokrasi
a. Birokrasi Publik, sebagai pedoman, standart dan/atau tolok ukur dalam
menilai sistem birokrasi yang tertutup di dalam Lembaga Pemasyarakatan
Kelas II B Cebongan Sleman.
b. Birokrasi dan Struktur Organisasi di Lapas
b.1. Birokrasi di Lapas, untuk melihat dan menilai bagaimana sistem
birokrasi yang terbangun di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman
sesuai
dengan
Prosedur
Tetap
(Protap)
Pelaksanaan
Tugas
Pemasyarakatan.
b.2. Struktur Organisasi di Lapas, untuk melihat dan menilai bagaimana
struktur organisasi telah ditetapkan oleh Pejabat Birokrasi di dalam
Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.
47
c. Kebijakan di Lapas
c.1. Kebijakan Terhadap Tahanan Baru, untuk melihat dan menilai
bagaimana kebijakan di dalam Lapas terhadap Para Tahanan yang baru
dimasukan ke dalam Lapas membandingkannya dengan fakta atau
kenyataan yang terjadi di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.
c.2. Kebijakan Penyimpanan dan Penggunaan Uang Tahanan, untuk melihat
dan menilai bagaimana kebijakan di dalam Lapas terhadap uang dari
Para Tahanan dan/atau Narapidana yang disimpan di dalam Lapas serta
membandingkannya dengan fakta atau kenyataan yang terjadi di dalam
Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.
c.3. Kebijakan Terhadap Narapidana, untuk melihat dan menilai bagaimana
kebijakan yang diterapkan kepada para narapidana di dalam Lapas,
setelah narapidana tersebut ditetapkan bersalah oleh pengadilan, serta
membandingkannya dengan fakta atau kenyataan yang terjadi di dalam
Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.
d. Tujuan Kebijakan di Lapas, untuk melihat dan menilai tentang tujuan
kebijakan di dalam Lapas dengan fakta atau kenyataan yang terjadi di
dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.
48
oleh
Pejabat
Birokrasi,
agar
dapat
diterapkan,
dilaksanakan
atau
sebenarnya
tentang
bagaimana
implementasi
kebijakan
praktek
implementasi
kebijakan
terhadap
para
tahanan
dan
narapidana?
c. Tujuan Implementasi Kebijakan di Lapas, untuk melihat dan menilai apakah
tujuan dari implementasi kebijakan di dalam Lapas Kelas IIB Cebongan
Sleman tercapai atau tidak.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian mengenai Implementasi Kebijakan dalam Sistem Birokrasi
Tertutup di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan, Kabupaten
Sleman,
merupakan
Penggunaan
metode
penelitian
kualitatif
yang
pada
menggunakan
penelitian
ini
metode
kualitatif.
dimaksudkan
untuk
berhadapan dengan kenyataan yang ada. Kedua, metode ini lebih peka dan
lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama
dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 2001:5). Ketiga peneliti
bisa bertemu dan mendengar secara langsung dari pembuat kebijakan (pimpinan
Lapas atau pejabat di atasnya), pelaksana kebijakan (petugas Lapas) serta
melihat dan mengalami secara langsung dari implementasi kebijakan yang
diterapkan atau dilaksanakan di dalam Lapas terhadap para tahanan dan/atau
narapidana.
Selain daripada itu, dengan jenis penelitian kualitatif ini bisa lebih
memberikan kesempatan ruang dan waktu bagi peneliti untuk melakukan
penelitian, observasi pada lokasi penelitian dan memilih objek penelitian yang
akan diteliti. Kelebihan lainnya, yaitu dari hasil penelitian ini dapat memberikan
informasi secara deskriptif bagi masyarakat umum dan pembuat kebijakan serta
hasil penelitiannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
Fokus dalam penelitian mengenai Implementasi Kebijakan dalam Sistem
Birokrasi Tertutup di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan,
Kabupaten Sleman, yaitu pada kebijakan di dalam Lapas terhadap para tahanan
yang baru dimasukkan ke dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman, kebijakan
terhadap para tahanan dan narapidana selama berada di dalam serta kebijakan
sesaat sebelum bebas dari Lapas Kelas II B Cebongan Sleman. Fokus dalam
penelitian tersebut bertujuan agar penelitian ini menjadi lebih rinci dan jelas
tentang bagaimana implementasi kebijakan di dalam Lapas guna dapat
memberikan gambaran bagi masyarakat umum.
50
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat peneliti dapat menangkap keadaan yang
sebenarnya terjadi dari obyek yang akan diteliti, mengingat kondisi yang dilihat
adalah proses implementasi kebijakan dalam sistem birokrasi pemerintahan
yang tertutup, maka lokasi penelitiannya adalah Lembaga Pemasyarakatan
Kelas IIB Cebongan Sleman. Adapun pertimbangan lokasi penelitian adalah
sesuai dengan substansi penelitian yang merupakan masalah birokrasi
pemerintahan yang tertutup dan merupakan pembicaraan masyarakat publik
yang menjadi berita yang sedang up to date (hangat) dibicarakan baik di media
cetak maupun media elektronik. Sedangkan dipilihnya lokasi penelitian di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan Sleman, karena lokasi tersebut
merupakan salah satu contoh implementasi kebijakan dalam sistem birokrasi
pemerintahan yang tertutup serta dekat dengan lembaga pendidikan yang
sedang dijalani oleh peneliti. Bahwa selain daripada itu, peneliti juga telah
meneliti di dalam Lapas Kelas II B di Cebongan Sleman selama lebih dari 6
(enam) bulan, yaitu dengan cara tinggal bersama-sama tahanan dan narapidana
di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman serta melihat, mengamati serta
berkomunikasi dengan para tahanan dan narapidana di dalam Lapas.
karena itu penelitian ini lebih banyak bergantung pada data-data primer di dalam
pengumpulan data dan juga data sekunder. Dalam rangka memperoleh data dan
informasi
yang
dapat
melengkapi
dalam
penelitian
ini,
maka
peneliti
52
4. Sumber Data
Sesuai masalah dan fokus penelitian, sumber data penelitian adalah:
a. Narasumber
Narasumber dipilih secara sengaja (purposive sampling), pemilihan informan
ini didasarkan atas subyek penelitian yang menguasai masalah, memiliki
53
Mantan
Narapidana
yang
telah
bebas
dari
Lembaga
b. Kuesioner
Kuesioner dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada:
b.1. Para Tahanan pria dan wanita di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B
Cebongan Sleman.
b.2. Para Narapidana pria dan wanita di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
B Cebongan Sleman.
c. Dokumen
Dokumen yang relevan dengan masalah dan fokus penelitian adalah sebagai
berikut:
54
Peraturan
tentang
Pemasyarakat,
Direktorat
Jenderal
Pemasyarakatan 2009.
c.4. Prosedur Tetap Pelaksanaan Tugas Pemasyarakatan, Departemen
Kehakiman & Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan Tahun 2003.
c.5. Buku Pegangan untuk Kalapas, Kepala Sub.Bagian Tata Usaha,
KAURS Kepegawaian dan Keuangan, KAURS Umum, Kepala Seksi
Binadik dan Giatja, Kepala Sub.Seksi Registrasi dan Bimpas, Kepala
Sub.Seksi Perawatan, Kepala Seksi Administrasi Kamtib, Kepala
Sub.Seksi Keamanan, Kepala Sub.Seksi Pelatib, Kepala KPLP.
c.6. Buku Peraturan Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan (PPLP), Kepala
Divisi Pemasyarakatan Kanwil Depatemen Hukum dan HAM DIY Tahun
2008.
c.7. Buku catatan tentang sewa-menyewa Handphone di dalam Lapas Kelas
II B Cebongan Sleman oleh Para Tahanan dan Narapidana dari para
Petugas Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.
55
c.8. Surat jual-beli fasilitas negara untuk para tahanan dan narapidana di
dalam Lapas oleh KAUR Umum kepada para tahanan dan narapidana.
c.9. Liflet Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.
d. Dokumen Bank yang sebagai bukti adanya transaksi mencurigakan yang
dilakukan oleh seorang narapidana (kasus penipuan) dari dalam Lapas
Kelasa II B Cebongan Sleman.
56