Sejak awal berkembangnya pengetahuan tentang penyakit reumatik anak tersebut, para
peneliti telah membuat klasifikasi dan kriteria diagnosis sendiri yang terkadang tidak
selaras sehingga dapat mengganggu pemahaman serta telaah penelitian secara
menyeluruh. Dari berbagai klasifikasi tersebut yang paling berpengaruh dan sering
dipertentangkan adalah skema yang dibuat oleh American College of Rheumatology
(ACR, dulunya ARA) tentang juvenile rheumatoid arthritis dengan yang dibuat oleh
European League Against Rheumatism (EULAR) tentang juvenile chronic arthritis. Oleh
karena itu, munculah kesepakatan Durban oleh ILAR (International League Against
Rheumatism) pada tahun 1997 yang mempertemukan kelompok peneliti penyakit
reumatik anak Eropa dan Amerika Utara dan munculah kriteria klasifikasi dan diagnosis
juvenile idiopathic arthritis1.
Juvenile idhiopathic arthritis (JIA) merupakan istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan beberapa jenis artritis dengan etiologi yang tidak diketahui secara pasti
pada anak-anak2. Terminologi ini juga membedakannya dengan rematoid artritis pada
orang dewasa, sebab kebanyakan anak-anak tidak memiliki gejala nodul, sinovitis erosif,
dan hasil reumatoid faktor positif seperti pada rematoid artritis.3.
Penyakit ini diperkirakan terjadi pada 1 dari setiap 1000 anak diseluruh dunia dan
angka kejadianya bervariasi dikarenakan tampilan klinisnya yang bervariasi. Walaupun
diperkirakan kurang dari 1% di Eropa dan kurang dari 0,5% di Amerika Utara. Sebagian
besar kematian JRA di Eropa terkait dengan amiloidosis, dan di Amerika Serikat
berhubungan dengan infeksi, namun belum ada metode yang dapat digunakan sebagai
alat diagnosis pasti6,7.
Diagnosis Juvenile idhiopathic arthritis (JIA) ditegakkan melalui adanya arrtritis
kronik persisten yang terjadi >=6 minggu pada anak-anak dan remaja dibawah usia 16
tahun, artritis (bengkak atau efusi; adanya dua atau lebih tanda: keterbatasan gerak, nyeri
sendi, dan panas), pada anak kecil yang lebih menonjol adalah morning stiffness. Untuk
menegakkan diagnosis ini diperlukan eksklusi dari kelainan yang lain yang mungkin
memiliki tampilan klinis yang sama1.
Dasar pengobatan JRA adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan pengobatan adalah
mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta rentang gerakan (range of
Prognosis ARJ dapat diperkirakan dari tipe onset penyakit serta perjalanan gambaran
klinisnya. Beberapa gambaran klinis yang dapat dijadikan sebagai petunjuk prognosis
yang buruk adalah tipe onset sistemik atau poliartritis, uveitis kronik, erosi sendi, fase
aktif yang berlangsung lama, nodul reumatoid dan adanya faktor reumatoid pada
pemeriksaan laboratorium13. Kebanyakan pasien (70-90%) sembuh tanpa kecacatan yang
berarti. Namun penderita dapat mengalami JIA bahkan 10 tahun setelah diagnosis kecuali
mendapat terapi yang tepat14.
Definisi
Juvenile idhiopathic arthritis (JIA) merupakan istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan beberapa jenis artritis dengan etiologi yang tidak diketahui secara pasti
pada anak-anak2. Terminologi ini juga membedakannya dengan rematoid artritis pada
orang dewasa, sebab kebanyakan anak-anak tidak memiliki gejala nodul, sinovitis erosif,
dan hasil reumatoid faktor positif seperti pada rematoid artritis.3.
Klasifikasi
Klasifikasi American College of Rheumatology adalah sebagai berikut:1
1. Onset kurang dari 16 tahun
2. Artritis pada satu sendi atau lebih yang ditandai oleh bengkak atau efusi sendi,
atau oleh dua dari gejala kelainan sendi berikut: gerakan sendi terbatas, nyeri atau
sakit pada gerakan sendi, dan peningkatan suhu di daerah sendi
3. Lama sakit lebih dari 6 minggu
4. Jenis onset penyakit dalam 6 bulan pertama yaitu
a. pausiartikular (oligoartritis): < 5 sendi
b. poliartritis: >= 5 sendi
c. penyakit sistemik: artritis disertai demam intermiten
5. Penyakit artritis juvenil lain dapat disingkirkan
nyeri
atau
sakit
pada
banyak dialami oleh wanita ketimbang pria, tetapi terdapat perbedaan pada beberapa
subtipe JIA seperti predominasi wanita pada oligoartritis dan poliartritis 6.
Sekitar 300.000 anak di Amerika Serikat diperkirakan menderita artritis dengan
berbagai tipe. Insiden JRA diperkirakan 4-14 kasus per 100.000 anak per tahun. Di
seluruh dunia, JRA terjadi lebih sering pada populasi tertentu seperti Inggris, Columbia
dan Norwegia. Sebuah studi dari Jerman menemukan tingkat prevalensi 20 kasus per
100.000 penduduk, dengan insiden 3,5 kasus per 100.000 penduduk. Di Norwegia tingkat
prevalensi sekitar 148 kasus per 100.000 penduduk dengan insiden 22 kasus per 100.000
penduduk. Insiden JRA di Jepang dilaporkan sangat rendah.7
Angka kematian JRA sulit untuk dihitung tetapi diperkirakan kurang dari 1% di
Eropa dan kurang dari 0,5% di Amerika Utara. Sebagian besar kematian JRA di Eropa
terkait dengan amiloidosis, dan di Amerika Serikat berhubungan dengan infeksi.7
Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ini belum jelas, namun terdapat 4 jenis teori patogenesis
terjadinya JRA, yaitu :8
1. Berhubungan dengan molekul HLA dan non HLA
Gen HLA merupakan faktor genetik penting pada JRA karena fungsi utama dari
gen ini sebagai APC ke sel T. Hubungan antara HLA dengan JRA berbeda-beda
tergantung subtipe JRA. Secara spesifik oligoartritis dihubungkan dengan genHLA-A2,
HLA-DRB1*11, dan HLA-DRB1*08. Faktor reumatoid positif pada poliartritis
berhubungan dengan gen HLADR4 pada anak, dan begitu juga pada dewasa. Selain itu,
adanya gen HLA-B27 meningkatkan risiko entesitis terkait artritis.
Patogenesis dari JRA tipe sistemik berbeda-beda pada jenis JRA dalam berbagai
bagian seperti kurangnya keterkaitan antara tipe HLA serta tidak adanya autoantibodi dan
sel T reaktif. Penderita dengan penyakit tidak menunjukkan tanda-tanda dari limfosit
mediated antigen yang merupakan respon imun spesifik. Tanda-tanda klinis dari JRA tipe
sistemik juga dihubungkan dengan granulositosis, trombositosis, dan peningkatan
regulasi reaktan fase akut yang menandakan aktivasi tidak terkontrol dari sistem imun
didapat. Selama manifestasi awal dari perjalanan penyakit ini, muncul infiltrasi
perivaskular dari netrofil dan monosit yang memproduksi sitokin proinflamasi yang
berperan dalam proses patogenesis penyakit.
Data terbaru menunjukkan IL-1 memiliki peran utama dalam gejala klinis JRA
tipe sistemik. Pengobatan dengan reseptor antagonis IL-1 telah menunjukkan perbaikan
gejala klinis dan laboratorium pada pasien yang resisten terhadap pengobatan anti-TNF.
Monosit yang teraktivasi pada pasien dengan gejala sistemik memiliki jumlah IL-1 yang lebih
tinggi, dimana sekresi dari TNF dan IL-6 tidak terlalu meningkat. Anggota lain dari IL-1 yaitu
IL-18 ditemukan meningkat tajam pada pasien dengan onset usia yang lebih besar dibandingkan
dengan pasien JRA lainnya. Interleukin-18 (IL-18) ditemukan lebih meningkat pada serum
anak dengan tipe sistemik dibandingkan dengan tipe poliartikular dan pausiartikular.
Konsentrasi IL-18 juga meningkat pada pasien serositis dan hepatosplenomegali.
Konsentrasi IL-6 ditemukan meningkat pada pasien dengan tipe sistemik dan
berhubungan dengan keterlibatan sendi. IL-6 juga meningkat pada cairan sinovial pasien
dengan tipe sistemik dibandingkan dengan pasien JRA tipe lainnya. Produksi berlebihan
IL-6 berhubungan dengan manifestasi ekstra artikular seperti anemia mikrositik dan
gangguan pertumbuhan. Pengobatan dengan monoklonal antibodi yang langsung
menyerang reseptor IL-6 menunjukan perbaikan klinis pada reaktan fase akut pasien
dengan tipe sistemik. Aktivasi dan proliferasi yang tidak terkontrol pada limfosit T dan
makrofag yang menyebabkan terjadinya pelepasan dari sitokin inflamasi seperti TNF ,
IL-1, dan IL-6 mengakibatkan munculnya manifestasi klinis dan patologi pada macrofage
activation syndome (MAS).
4. Mediator anti inflamasi pada JRA
Dua sitokin anti-inflamasi yang paling dikenal pada JRA adalah IL-10 dan IL-4.
Interleukin-10 (IL-10) menunjukkan degradasi kartilago oleh antigen stimulated
mononuclear cell pada pasien dewasa dengan artritis. Polimorfonuklear (PMN) dengan
produksi IL-10 yang rendah berhubungan dengan artritis tipe berat. IL-4 menghambat
aktivasi sel Th1 dan penurunan produksi dari TNF , IL 1 dan menghambat kehancuran
kartilago. Interleukin-4 (IL-4) dan IL-10 menghambat produksi dari sitokin inflamasi
seperti IL-6 dan IL-8. Interleukin-4 (IL-4) dan IL-10 yang tinggi pada sendi
bermanifestasi sebagai pausiartikular yang ringan dan non-erosif. Foxp3, CD4, CD25,
dan sel T regulasi penting untuk pengontrolan inflamasi. Defek pada X-linked pada foxp3
merupakan penyebab dari kondisi multipel autoimun disebut juga imunodisregulasi,
poliendokrinopati, dan enteropati (IPEX syndrome). Kerusakan pada sel T regulasi juga
merupakan penyebab adanya kegagalan toleransi pada penyakit autoimun, meskipun
belum ada bukti yang menunjukkan adanya defek pada sel T regulasi pada JRA.
Penurunan jumlah sel T regulasi menyebabkan oligoartritis yang lebih berat. Pada pasien
dengan JRA ditemukan peningkatan jumlah T regulasi yang lebih tinggi di sendi
dibandingkan darah tepi, yang mengindikasikan terjadinya suatu proses inflamasi.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis utama JIA adalah artritis yang ditandai dengan pembengkakan sendi, atau
menemukan paling sedikit 2 gejala inflamasi sendi, yaitu gerakan sendi yang terbatas,
nyeri atau sakit pada pergerakan dan panas. Pada anak kecil yang lebih jelas adalah
kekakuan sendi pada pergerakan terutama pagi hari ( morning stiffness )7 .Gejala klinis
yang menyokong kecurigaan kearah ARJ yaitu kekakuan sendi pada pagi hari, ruam rematoid,
demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal, nodul rematoid, tenosinovitis 10
Edema pada sendi disebabkan oleh peradangan jaringan lunak periartikuler dan efusi
pada intra-artikular. Sendi yang terlibat biasanya hangat tetapi tidak eritematous. Sendisendi besar seperti lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, siku dan bahu merupakan
sendi yang paling banyak terlibat. Sendi-sendi kecil yang terlibat biasanya sendi tangan
dan kaki.11
Kriteria Diagnosis
Sendi yang terkena artritis terasa hangat dan biasanya hangat dan tidak terlihat eritem
secara klinis ditentukan dengan menemukan paling sedikit 2 gejala inflamasi: gerakan
sendi yang terbatas, nyeri pada pergerakan, dan atau panas. Pada anak kecil yang lebih
menonjol adalah kekauan sendi pada pergerakan terutama pagi hari. Menurut American
College of Rheumatology Association (ACR), yaitu:
Usia penderita kurang dari 16 tahun
Artritis (bengkak atau efusi; adanya dua atau lebih tanda: keterbatasan gerak, nyeri
sendi, dan panas pada sendi) pada satu sendi atau lebih
Lama sakit lebih dari 6 minggu
Tipe Onset penyakit (dalam waktu 6 bulan): poliartritis (>= 5 sendi),;oligoartritis (<5
sendi); sistemik dan artritis dengan demam minimal 2 minggu, mungkin terdapat
ruam atau keterlibatan ekstraartikular, seperti limfadenopati, hepatosplenomegali,
dan perikarditis
Kemungkinan penyakit artritis lain dapat disingkirkan10
Pemeriksaan laboratorium
Tidak ada uji diagnostik yang spesifik. Pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai
penunjang diagnosis. Bila ditemukan Anti Nuclear Antibody (ANA), Faktor Reumatoid
(FR) dan peningkatan C3 serta C4 maka diagnosis JRA menjadi lebih sempurna.7
Selama penyakit aktif, LED dan CRP biasanya meningkat. Pada umumnya
dijumpai Anemia (Hb 7-10 g/dl), biasanya dengan angka retikulosit rendah dan uji
Coomb negatif. Selain itu ditemukan peningkatan sel darah putih. Analisis urin normal,
tetapi selama terapi non-steroid mungkin ditemukan sedikit eritrosit dan sel tubuler
ginjal. Terdapat kenaikan fraksi 2-dan gamma globulin dalam serum dan penurunan
albumin. Salah satu atau semua kadar imunoglobulin serum dapat naik.9
ANA ditemukan pada beberapa anak dengan penyakit faktor reumatoid-negatif
(25%), faktor reumatoid positif (75%), atau pausiartikular tipe I (90%) tetapi jarang, pada
mereka yang dengan penyakit sistemik atau pausiartikuler tipe II. Penemuan ANA tidak
berkolerasi dengan keparahan penyakit.9
Faktor reumatoid ditemukan pada sekitar 5% anak JRA dan berkolerasi dengan
JRA yang mulai pada umur yang lebih tua. Hasil uji positif paling sering dihubungkan
dengan penyakit poliartikular, yang mulai pada akhir masa kanak-kanak, artritis destruksi
berat, dan nodulus reumatoid.9
Cairan sinovial pada JRA tampak seperti berawan dan biasanya berisi jumlah
protein yang naik. Jumlah sel dapat bervariasi dari 5000-80.000 sel/mm3; sel-sel tersebut
terutama netrofil. Kadar glukosa pada cairan sendi mungkin rendah; kadar komplemen
mungkin normal atau menurun.9
Faktor reumatoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah
dideteksi, sedangkan pada JRA lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar dideteksi
laboratorium. Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada JRA.
Kekerapannya lebih tinggi pada penderita wanita muda dengan oligoartritis dengan
komplikasi uveitis.7
Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi JRA dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh kerusakan
yang terjadi pada keadaan klinis tertentu. Kelainan radiologik yang terlihat pada sendi
biasanya adalah pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi,
osteoporosis, dan kelainan yang agak jarang seperti formasi tulang baru periostal. Pada
tingkat lebih lanjut (biasanya lebih dari 2 tahun) dapat terlihat erosi tulang persendian dan
penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi
karpal dan tarsal. Gambaran nekrosis aseptik jarang dijumpai pada JRA walaupun dengan
pengobatan steroid dosis tinggi jangka panjang.
Tidak semua sendi kelompok JRA menunjukkan gambaran erosi, biasanya hanya
didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak, sedangkan erosi sendi hanya didapatkan
pada kelompok poliartikular.
Gambaran agak khas pada tipe oligoartritis dapat terlihat berupa erosi tulang pada
fase lanjut, pengecilan diameter tulang panjang, serta atrofi jaringan lunak regional
sekunder. Kauffman dan Lovell mengajukan beberapa gambaran radiologik yang menurut
mereka khas untuk JRA sistemik, yaitu a)tulang panjang yang memendek, melengkung,
dan melebar, b)metafisis mengembang, dan c)fragmentasi iregular epifisis pada masa
awal sakit yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam metafisis.
Pemeriksaan foto rontgen tidak sensitif untuk mendeteksi penyakit tulang atau
manifestasi jaringan lunak pada fase awal. Selain dengan foto rontgen biasa kelainan
tulang dan sendi JRA dapat pula dideteksi lebih dini melalui skintigrafi dengan
technetium 99m. Pemeriksaan radionuklida ini sensitif namun kurang spesifik. Skintigrafi
menunjukkan keadaan hemodinamik dan aktivitas metabolik di tulang dan sendi saat
pemeriksaan dilakukan, sehingga dapat menunjukkan inflamasi sendi secara dini.
Ultrasonografi merupakan sarana paling baik untuk mengetahui keadaan cairan intraartrikular, terutama pada sendi-sendi yang susah dilakukan pemeriksaan cairan secara
klinis, seperti pinggul dan bahu.
Ultrasonografi juga dapat menilai efusi atau sinovitis dengan menilai penebalan
membran sinovial dari sendi yang meradang, bursa dan pembungkus tendon.
Pemeriksaan MRI yang dipadu dengan gadolinium juga dapat membedakan inflamasi
sinovial dengan cairan sinovial. Sarana MRI dapat digunakan untuk menilai aspek
inflamasi dan destruktif dari penyakit artritis. Berlawanan dengan foto rontgen,
pemeriksaan MRI dapat digunakan untuk mendeteksi inflamasi jaringan lunak dan
perubahan tulang pada fase awal, selain itu dapat menilai progresifitas penyakit.7
Diagnosis banding
1.
2.
Artritis gonorea
Hiperlipoproteinemia
g) Hipertropi osteoartropati
3.
4.
Penatalaksanaan
Dasar pengobatan JRA adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan pengobatan adalah
mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta rentang gerakan (range of
motion), mengatasi komplikasi sistemik, memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan
yang normal. Karena itu pengobatan dilakukan secara terpadu untuk mengontrol
manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan melibatkan dokter anak, ahli
fisioterapi, latihan kerja, pekerja sosial, bila perlu konsultasi pada ahli bedah dan
psikiatri.1
Tujuan penatalaksanaan JRA ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri. Banyak hal
yang harus diperhatikan selain mengatasi nyeri, yaitu mencegah erosi lebih lanjut,
mengurangi kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah kecacatan sendi permanen.
Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi maupun non farmakologi. Selain
obat-obatan, nutrisi juga tak kalah penting. Pada pasien JRA pertumbuhannya sangat
terganggu baik karena konsumsi zat gizi yang kurang atau menurunnya nafsu makan
akibat sakit atau efek samping obat.4
Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS)
Pengelolaan nyeri kronik pada anak tidak mudah. Masalahnya sangat kompleks,
karena pada umumnya anak-anak belum dapat mengungkapkan nyeri. Obat anti inflamasi
non-steroid (OAINS) merupakan anti nyeri pada umumnya yang dapat ditoleransi dengan
baik oleh anak-anak. Selain untuk mengurangi nyeri, OAINS juga dapat digunakan
mengontrol kaku sendi. Efek analgesiknya juga sangat cepat.4
Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) digunakan pada sebagian besar anak
dalam terapi inisial. Obat golongan ini mempunyai efek antipiretik, analgetik, dan
antiinflamasi serta aman untuk penggunaan jangka panjang pada anak. Selain itu obat ini
juga menghambat sintesis prostaglandin. Sebagian besar anak dengan tipe oligoartritis
dan sedikit poliartritis mempunyai respon baik terhadap pengobatan OAINS tanpa
memerlukan tambahan obat lini kedua.4
Penggunaan aspirin sebagai pilihan obat telah digantikan dengan OAINS karena
adanya peningkatan toksisitas gaster dan hepatotoksisitas yang ditandai dengan
transaminasemia. Dengan adanya OAINS yang menghambat siklus siklooksigenase
(COX), khususnya COX-2 maka penggunaan OAINS lebih dipilih daripada aspirin
karena tidak menyebabkan agregasi trombosit, sehingga dapat digunakan pada pasien
yang mempunyai masalah perdarahan. 4
Macam OAINS yang sering digunakan pada anak-anak: 10
a. Tolmetin
progresif
yang
tidak
menunjukan
perbaikan
dengan
OAINS.
Hidroksiklorokuin dapat bermanfaat sebagai obat tambahan OAINS untuk anak besar
dengan dosis awal 6-7 mg/kgBB/hari, dan setelah 8 minggu diturunkan menjadi 5
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, jika setelah terapi 6 bulan tidak ada perubahan obat harus
dihentikan. Pemberian hidroksiklorokuin harus didahului dengan pemeriksaan mata,
khususnya keadaan retina, lapangan pandang, dan warna.
Sulfasalazin tidak diberikan pada anak dengan hipersensitivitas terhadap sulfa
atau salisilat dan penurunan fungsi ginjal dan hati. Dosis dimulai dengan 3050mg/KgBB/hari dibagi 4-6 dosis diberikan bersama makanan, jangan diberikan bersama
antasid. Setelah tidak ada keluhan dosis diturunkan perlahan sampai 25mg/Kgbb/hari.
Peninsilamin diberikan inisial 3mg/KgBB/hari (<250 mg/hari) selama 3 bulan,
kemudian 6mg/KgBB/hari (<500 mg/hari) dalam 2 dosis selama 3 bulan sampai
maksimum 10mg/KgBB/hari dalam 3-4 dosis terbagi selama 3 bulan. Dosis rumatan
diteruskan selama 1-3 tahun
Garam emas bisa dipakai jika penderita tidak responsif terhadap pengobatan
AAS/AINS lain selama 6 bulan. Pengobatan AAS/AINS lain diteruskan selama
pemakaian garam emas. Preparat yang dipakai adalah Gold sodium thiomalate atau auro
thioglucose. Dipakai dosis awal 5 mg IM dan kemudian dosis ditingkatkan sampai 0,75-1
mg/KgBB/minggu (< 50mg). Jika remisi telah tercapai dalam 6 bulan diteruskan dengan
dosis yang sama dengan injeksi tiap-tiap 2 minggu selama 3 bulan, kemudian setiap 3
minggu setelah 3 bulan, lalu setiap 4 minggu, diteruskan sampai beberapa tahun remisi.
Preparat oral garam emas yang dipakai auranofin: dosis dimulai 0,1-0,2 mg?KgBB/hari
(maksimal 9mg/hari). Kemudian ditingkatkan 1 mg/KgBB/hari setiap 3 bulan sampai
mencapai dosis maksimal 6mg. Lama pengobatan sampai beberapa tahun remisi.10
Kortikosteroid
`
Diberikan bila terdapat gejala penyakit sistemik, uveitis kronik, atau untuk suntikan
mg/m2/minggu. Lama pengobatan yang dianggap adekuat adalah 6 bulan. Obat lain yang
biasa digunakan adalah azatiopirin, siklofosfamid dan klorambusil 10.
Biologic Response Modifiers
Pendekatan terapi terbaru menggunakan etanercept sebagai agen biologik yang
berfungsi sebagai penghambat Tumor Necrosis Factor (TNF), sehingga akan menghambat
pengeluaran sitokin yang berperan dalam proses inflamasi. Etanercept akan terikat pada
komponen Fc imunoglobulin dan efektif dalam mengontrol poliartritis yang tidak memberikan
respon dengan terapi konvensional ataupun imunosupresan selama 6 bulan.7. Sebelum diberikan
terapi, data dasar laboratorium (darah perifer, LED, CRP, urinalisis) harus diambil dan uji
tuberkulin kulit dengan PPD (purified protein derivative) menunjukkan hasil negatif. Dosis yang
digunakan untuk anak usia 4-17 tahun yaitu 0,4 mg/kgBB subkutan 2 kali dalam seminggu,
minimal dengan jangka waktu terpisah 72-96 jam (maksimum 25 mg/dosis). Obat sebelumnya,
baik AINS atau metotreksat tetap dilanjutkan. Sedangkan untuk usia 17 tahun keatas diberikan
dengan dosis dewasa, yaitu diberikan bersamaan dengan metotreksat dalam infus intravena 3
mg/kgBB pada minggu 0, 2, 6 dan setelah itu setiap 8 minggu untuk pemeliharaan. Pilihan lain
adalah pemberian dosis tunggal etanercept setiap minggu untuk dosis 25 mg atau kurang pada
pasien baru atau usia 4-17 tahun. Apabila dosis mingguan melebihi 25 mg, maka digunakan dua
lokasi suntikan subkutan. Obat ini tidak boleh digunakan pada anak dengan infeksi atau riwayat
infeksi rekuren 8.
dengan JRA harus sedapat mungkin aktif, namun kegiatan yang menyebabkan kelelahan
berlebih dan nyeri pada sendi perlu dihindari.4
Psikoterapi
Dukungan psikologis bagi anak dan keluarganya sangat penting untuk
memperbaiki prognosis jangka panjang. Anak dengan RJA berat sering mengalami
retardasi pertumbuhan dan sering terlalu dilindungi oleh keluarga, guru dan teman
sekelasnya. Anak tersebut sering memanfaatkan hal ini untuk tidak pergi ke sekolah, tidak
melakukan pekerjaan di rumah ataupun tidak melakukan tugas yang tidak menyenangkan.
Terapis harus dapat meyakinkan semua orang yang berinteraksi dengan anak pengidap
RJA untuk menghadapi anak tersebut secara normal sesuai anak seusianya dan
menekankan indepedensi serta pendewasaan sebanyak mungkin. Bila hal itu tidak
dilakukan, anak mungkin akan makin mengalami regresi atau imatur seiring dengan
waktu.1
Nutrisi
Nutrisi dan vitamin suplemen (vitamin B dan asam folat) menjadi aspek penting
dalam penatalaksanaan jangka panjang, karena adanya proses retardasi pertumbuhan dan
kerusakan mineralisasi tulang akibat penyakit dan pemberian kortikosteroid.
Seringkali didapatkan gangguan pertumbuhan, baik lokal karena kerusakan pusat
pertumbuhan tulang maupun umum karena asupan nutrisi yang kurang dan menurunnya
produksi insulin like growth factor. Anak-anak dengan inflamasi kronis mempunyai risiko
untuk terjadi malnutrisi oleh karena menahan sakit yang menyebabkan nafsu makan
menurun. Dengan demikian jumlah kalori yang didapat berkurang. Selain faktor tersebut,
efek samping obat-obatan juga mempengaruhi penurunan nafsu makan.
Obesitas mungkin dijumpai pada beberapa kasus, hal ini disebabkan karena
kurangnya aktivitas, intake makanan yang berlebihan atau akibat efek samping
kortikosteroid. Penanganan diet pada anak sangatlah kompleks. Vitamin, zat besi, dan
kalsium sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan anak, dan sebaiknya ditambahkan pada
diet. Oleh karena pemakaian steroid jangka panjang, maka diperlukan vitamin D. Dosis
untuk anak umur 1-10 tahun adalah vitamin D 400 IU dan kalsium 400 mg, sedangkan
kalsium 800 mg digunakan pada anak lebih dari 10 tahun.4
Bedah
Pembedahan adalah pilihan pengobatan yang harus dipertimbangkan bila tidak
ada perbaikan dengan obat maupun terapi fisik serta tidak dapat berjalan dan
mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Prosedur Bedah yang disetujui adalah sinovektomi
(untuk kasus JIA yang sangat aktif , proliferatif sinovitis) dan artrodesis (deformitas dan
kerusakan sendi yang parah)7
Hal yang harus diperhatikan sebelum pembedahan dilakukan adalah usia anak,
dan apakah tulang mereka masih tumbuh. Saat mempertimbangkan penggantian sendi
total, sangat penting untuk memikirkan kebutuhan penggantian total pada sendi lainnya
dalam 10-20 tahun berikutnya. Waktunya tergantung pada umur anak, kemungkinan
hidup dengan sendi pengganti, dan kemungkinan kehilangan kekuatan otot dan tulang
bila pembedahan ditunda terlalu lama.7
Edukasi
Edukasi pasien dan keluarga tentang JIA dan gejala, pengobatan, dan efek potensialnya adalah hal
yang sangat penting. Yang terpenting adalah edukasi untuk mempertahankan fungsi dan
mencegah deformitas tulang dan sendi, serta sarankan pasien untuk rutin fisioterapi 710
Komplikasi
Komplikasi ARJ terpenting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat
penutupan epifisis dini seperti yang sering terjadi pada mandibula, metakarpal, dan metatarsal.
Kelainan tulang dan sendi lain dapat pula terjadi seperti angkilosis, luksasi, atau fraktur.
Komplikasi ini biasanya berhubungan dengan berat dan lamanya sakit, tetapi dapat pula akibat
efek pengobatan steroid. Adanya nyeri abdomen yang berhubungan dengan ulkus atau gastritis,
hepatotoksik atau nefrotoksik menandakan perlunya pemeriksaan laboratorium rutin. Kadang
dapat juga terjadi vaskulitis atau ensefalitis pada ARJ. Amiloidosis sekunder jarang terjadi, tetapi
dapat memberikan akibat lanjut yang berat sampai gagal ginjal 8,10.
Perkarditis dapat terjadi dengan gejala terseringnya berupa nafas pendek yang tidak
dapat dijelaskan. Dapat juga terjadi anemia atau kelainan darah sejenisnya. Inflamasi dari
arteri pada tangan dan kaki yang dapat mengganggu sirkulasi dan menyebabkan
kerusakan serius pada jari tangan dan jari kaki. Selain itu pernah juga dilaporkan
terjadinya inflamasi hepar12.
Prognosis
Sebagian besar penderita ARJ (70-90%) sembuh tanpa kecacatan yang berarti. Hanya
10% yang membawa cacat sampai dewasa. Sebagian kecil akan kambuh menjadi bentuk
artritis reumatoid dewasa10. Namun menurut The Royal Australian College of General
Practitioners, penderita akan tetap memiliki artritis, bahkan 10 tahun setelah diagnosis
DS.
Juvenile
Idiopathic
Arthritis.
Diunduh
dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1007276-overview#a0156 , 2011
8. Hahn YS, Kim JG. Pathogenesis and clinical manifestation of juvenile reumathoid
arthritis. Korean Journal of Pediatrics. 2010; 921-30.
9. Kliegman R, Stanton BF, Geme JW, Schor NF, Behrman RE, Arvin A. Artritis
Reumatoid Juvenil. Juvenile Idiopathic Arthritis. Dalam: Kliegman Robert M ... [et
al.]. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th edition. Philadelphia: Elsevier. 2011; 26712689
10. Panduan Praktik Klinik Divisi Alergi Imunologi Departemen Kesehatan Anak RSUP.
Dr. Mohammat Hoesin Palembang 2014
11. Yuliasih. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Interna Publishing. 2010; 2520-5.
12. Shiel,
William
C.
Juvenile
Rheumatoid
Arthritis.
Diunduh
dari:
http://www.emedicinehealth.com/juvenile_rheumatoid_arthritis/article_em.html
tanggal 5 Oktober 2014
13. Miller M. Juvenile Rheumatoid Arthritis. eMedicine.2006;1-20
14. The Royal Australian College of General Practitioners. 2009. Clinical guidelinefor the
diagnosis and management of juvenile idiopathic arthritis