Anda di halaman 1dari 19

Pendahuluan

Sejak awal berkembangnya pengetahuan tentang penyakit reumatik anak tersebut, para
peneliti telah membuat klasifikasi dan kriteria diagnosis sendiri yang terkadang tidak
selaras sehingga dapat mengganggu pemahaman serta telaah penelitian secara
menyeluruh. Dari berbagai klasifikasi tersebut yang paling berpengaruh dan sering
dipertentangkan adalah skema yang dibuat oleh American College of Rheumatology
(ACR, dulunya ARA) tentang juvenile rheumatoid arthritis dengan yang dibuat oleh
European League Against Rheumatism (EULAR) tentang juvenile chronic arthritis. Oleh
karena itu, munculah kesepakatan Durban oleh ILAR (International League Against
Rheumatism) pada tahun 1997 yang mempertemukan kelompok peneliti penyakit
reumatik anak Eropa dan Amerika Utara dan munculah kriteria klasifikasi dan diagnosis
juvenile idiopathic arthritis1.
Juvenile idhiopathic arthritis (JIA) merupakan istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan beberapa jenis artritis dengan etiologi yang tidak diketahui secara pasti
pada anak-anak2. Terminologi ini juga membedakannya dengan rematoid artritis pada
orang dewasa, sebab kebanyakan anak-anak tidak memiliki gejala nodul, sinovitis erosif,
dan hasil reumatoid faktor positif seperti pada rematoid artritis.3.
Penyakit ini diperkirakan terjadi pada 1 dari setiap 1000 anak diseluruh dunia dan
angka kejadianya bervariasi dikarenakan tampilan klinisnya yang bervariasi. Walaupun
diperkirakan kurang dari 1% di Eropa dan kurang dari 0,5% di Amerika Utara. Sebagian
besar kematian JRA di Eropa terkait dengan amiloidosis, dan di Amerika Serikat
berhubungan dengan infeksi, namun belum ada metode yang dapat digunakan sebagai
alat diagnosis pasti6,7.
Diagnosis Juvenile idhiopathic arthritis (JIA) ditegakkan melalui adanya arrtritis
kronik persisten yang terjadi >=6 minggu pada anak-anak dan remaja dibawah usia 16
tahun, artritis (bengkak atau efusi; adanya dua atau lebih tanda: keterbatasan gerak, nyeri
sendi, dan panas), pada anak kecil yang lebih menonjol adalah morning stiffness. Untuk
menegakkan diagnosis ini diperlukan eksklusi dari kelainan yang lain yang mungkin
memiliki tampilan klinis yang sama1.
Dasar pengobatan JRA adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan pengobatan adalah
mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta rentang gerakan (range of

motion), mengatasi komplikasi sistemik, memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan


yang normal. Penatalaksanaan JIA terdiri dari medikamentosa dan non-medikamentosa.
Medikamentosa terdiri dkortikosteroid oral ataupun intraartikular, NSAID, agen biologis,
dan disease modifying anti-rheumatoid drugs (DMARDs). Sedangkan terapi nonmedikamentosa terdiri dari bedah, fisioterapi, nutrisi, dan psikologis bila diperlukan.
Edukasi pasien juga tidak kalah penting yang terpenting adalah edukasi untuk
mempertahankan fungsi dan mencegah deformitas tulang dan sendi, serta sarankan pasien untuk
rutin fisioterapi.

Prognosis ARJ dapat diperkirakan dari tipe onset penyakit serta perjalanan gambaran
klinisnya. Beberapa gambaran klinis yang dapat dijadikan sebagai petunjuk prognosis
yang buruk adalah tipe onset sistemik atau poliartritis, uveitis kronik, erosi sendi, fase
aktif yang berlangsung lama, nodul reumatoid dan adanya faktor reumatoid pada
pemeriksaan laboratorium13. Kebanyakan pasien (70-90%) sembuh tanpa kecacatan yang
berarti. Namun penderita dapat mengalami JIA bahkan 10 tahun setelah diagnosis kecuali
mendapat terapi yang tepat14.

Definisi
Juvenile idhiopathic arthritis (JIA) merupakan istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan beberapa jenis artritis dengan etiologi yang tidak diketahui secara pasti
pada anak-anak2. Terminologi ini juga membedakannya dengan rematoid artritis pada
orang dewasa, sebab kebanyakan anak-anak tidak memiliki gejala nodul, sinovitis erosif,
dan hasil reumatoid faktor positif seperti pada rematoid artritis.3.
Klasifikasi
Klasifikasi American College of Rheumatology adalah sebagai berikut:1
1. Onset kurang dari 16 tahun
2. Artritis pada satu sendi atau lebih yang ditandai oleh bengkak atau efusi sendi,
atau oleh dua dari gejala kelainan sendi berikut: gerakan sendi terbatas, nyeri atau
sakit pada gerakan sendi, dan peningkatan suhu di daerah sendi
3. Lama sakit lebih dari 6 minggu
4. Jenis onset penyakit dalam 6 bulan pertama yaitu
a. pausiartikular (oligoartritis): < 5 sendi
b. poliartritis: >= 5 sendi
c. penyakit sistemik: artritis disertai demam intermiten
5. Penyakit artritis juvenil lain dapat disingkirkan

Klasifikasi European League Against Rheumatism (EULAR): (1)


1. Usia onset kurang dari 16 tahun
2. Artritis pada satu sendi atau lebih
yang ditandai oleh bengkak atau
efusi sendi, atau oleh dua dari gejala
kelainan sendi berikut: gerakan sendi
terbatas,

nyeri

atau

sakit

pada

gerakan sendi, peningkatan suhu di


daerah sendi
3. Lama sakit lebih dari 3 bulan
4. Jenis onset penyakit setelah 6 bulan
diklasifikasikan sebagai:
a. pausiartikular (oligoartritis): 4 sendi atau kurang
b. poliartritis (5 sendi atau lebih), FR negatif
c. poliartritis (5 sendi atau lebih), FR positif
d. spondilitis angkilosis
e. artritis psoriatik
f. penyakit sistimik: artritis disertai demam intermiten

5. Penyakit artritis juvenil lain dapat disingkirkan


Epidemiologi
Penyakit ini diperkirakan terjadi pada 1 dari setiap 1000 anak diseluruh dunia dan angka
kejadianya bervariasi dikarenakan tampilan klinisnya yang bervariasi dan belum ada
metode yang dapat digunakan sebagai alat diagnosis pasti. Dari hasil penelitian dilaporkan
bahwa pasien ARJ yang berlangsung lebih dari 7 tahun, 60% mengalami kecacatan 8. ARJ banyak
menyerang anak-anak dengan tingkat umur sekitar 4-5 tahun. Secara keseluruhan, JIA lebih

banyak dialami oleh wanita ketimbang pria, tetapi terdapat perbedaan pada beberapa
subtipe JIA seperti predominasi wanita pada oligoartritis dan poliartritis 6.
Sekitar 300.000 anak di Amerika Serikat diperkirakan menderita artritis dengan
berbagai tipe. Insiden JRA diperkirakan 4-14 kasus per 100.000 anak per tahun. Di
seluruh dunia, JRA terjadi lebih sering pada populasi tertentu seperti Inggris, Columbia
dan Norwegia. Sebuah studi dari Jerman menemukan tingkat prevalensi 20 kasus per
100.000 penduduk, dengan insiden 3,5 kasus per 100.000 penduduk. Di Norwegia tingkat
prevalensi sekitar 148 kasus per 100.000 penduduk dengan insiden 22 kasus per 100.000
penduduk. Insiden JRA di Jepang dilaporkan sangat rendah.7
Angka kematian JRA sulit untuk dihitung tetapi diperkirakan kurang dari 1% di
Eropa dan kurang dari 0,5% di Amerika Utara. Sebagian besar kematian JRA di Eropa
terkait dengan amiloidosis, dan di Amerika Serikat berhubungan dengan infeksi.7
Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ini belum jelas, namun terdapat 4 jenis teori patogenesis
terjadinya JRA, yaitu :8
1. Berhubungan dengan molekul HLA dan non HLA
Gen HLA merupakan faktor genetik penting pada JRA karena fungsi utama dari
gen ini sebagai APC ke sel T. Hubungan antara HLA dengan JRA berbeda-beda
tergantung subtipe JRA. Secara spesifik oligoartritis dihubungkan dengan genHLA-A2,
HLA-DRB1*11, dan HLA-DRB1*08. Faktor reumatoid positif pada poliartritis
berhubungan dengan gen HLADR4 pada anak, dan begitu juga pada dewasa. Selain itu,
adanya gen HLA-B27 meningkatkan risiko entesitis terkait artritis.

Protein Tyrosine Phosphatase Nonreceptor 22 (PTPN22) mengkode suatu


fosfatase limfoid spesifik (lyp), suatu varian dalam pengkodean region di gen ini. Gen ini
dihubungkan dengan sejumlah penyakit autoimun yang juga telah teridentifikasi sebagai
suatu lokus untuk JRA. Efek dari PTPN22 ini bervariasi antara masing-masing subtipe
JRA tetapi secara umum lebih terkait daripada gen HLA. Beberapa gen lainnya yaitu
faktor makrofag inhibitor, IL-6, IL-10 dan TNF juga berhubungan dengan JRA.
2. Mediator inflamasi pada kerusakan sendi
Membran sinoval pada pasien JRA mengandung sel T, sel T yang teraktivasi sel
plasma, dan makrofag yang teraktivasi, yang didatangkan melalui suatu proses
neovaskularisasi. Antigen spesifik sel T berperan dalam patogenesis subtipe artritis pada
JRA. Sel T predominan adalah sel Th1. Sel ini akan mengaktivasi sel B, monosit,
makrofag dan fibroblas sinovial untuk memproduksi immunoglobulin (Ig) dan mediator
inflamasi. Sel B yang teraktivasi akan memproduksi immunoglobulin termasuk faktor
reumatoid dan antinuclear antibody (ANA).
Patogenesis yang tepat tentang faktor reumatoid belum diketahui sepenuhnya,
diduga melibatkan aktivasi komplemen melalui pembentukan komplek imun. Antinuclear
antibody (ANA) dihubungkan dengan onset dini terjadinya oligoartritis tetapi antibodi ini
tidak spesifik untuk JRA. Makrofag yang teraktivasi, limfosit, dan fibroblas
memproduksi vascular endothelial growth factor (VEGF) dan osteopontin yang
menstimulasi terjadinya angiogenesis. Pada pasien JRA, VEGF banyak ditemukan di
jaringan sinovial. Osteopontin meningkat di cairan sinovial dan berhubungan dengan
neovaskularisasi.
Tumor necrosis factor (TNF) dan IL-1 diproduksi oleh monosit teraktivasi,
makrofag dan fibroblas sinovial. Mediator inflamasi ini sepertinya memiliki peran
penting dalam terjadinya JRA. Sitokin ini ditemukan meningkat pada cairan sendi
penderita JRA dan telah diketahui menstimulasi sel mesenkim seperti fibroblas sinovial,
osteoklast dan khondrosit untuk melepas matrix metaloproteinase (MTP) yang
mengakibatkan kerusakan jaringan. Pada kelinci percobaan, injeksi IL-1 pada sendi lutut
mengakibatkan terjadinya degradasi pada kartilago.

Interleukin-6 (IL-6) adalah sitokin multifungsi yang memiliki aktivitas biologik


yang luas dalam regulasi respon imun, reaksi fase akut, hematopoesis dan metabolisme
tulang. Jumlah IL-6 yang beredar di sirkulasi meningkat pada pasien JRA. Hal ini
dihubungkan dengan hasil laboratorium dan manifestasi klinis dari derajat aktivitas
penyakit. Interleukin-6 (IL-6) menstimulasi hepatosit dan menginduksi produksi protein
fase akut seperti C-reactive Protein (CRP). Jadi, peningkatan kadar IL-6 dalam serum
berkorelasi dengan peningkatan CRP dalam fase aktif penyakit.
Interleukin-17 (IL-17) diproduksi oleh sel Th17 dan menginduksi reaksi jaringan
yang berlebihan karena memiliki reseptor yang tersebar luas di seluruh tubuh. Bukti
terbaru menunjukkan IL-17 mempunyai peran penting dalam reaksi inflamasi autoimun.
Interleukin-17 (IL-17) akan meningkatkan sitokin proinflamasi di jaringan sendi,
menstimulasi produksi TNF dan IL-1, serta akan saling bersinergi untuk meningkatkan
produksi IL-6, IL-8 dan IL-17 sehingga menyebabkan kerusakan sendi akibat proses
inflamasi. Interleukin-17 (IL-17) meningkat pada pasien JRA dengan penyakit yang aktif
dibandingkan dengan pasien yang mengalami remisi.
3. Profil inflamasi khas pada penyakit tipe sistemik

Patogenesis dari JRA tipe sistemik berbeda-beda pada jenis JRA dalam berbagai
bagian seperti kurangnya keterkaitan antara tipe HLA serta tidak adanya autoantibodi dan
sel T reaktif. Penderita dengan penyakit tidak menunjukkan tanda-tanda dari limfosit
mediated antigen yang merupakan respon imun spesifik. Tanda-tanda klinis dari JRA tipe
sistemik juga dihubungkan dengan granulositosis, trombositosis, dan peningkatan
regulasi reaktan fase akut yang menandakan aktivasi tidak terkontrol dari sistem imun
didapat. Selama manifestasi awal dari perjalanan penyakit ini, muncul infiltrasi
perivaskular dari netrofil dan monosit yang memproduksi sitokin proinflamasi yang
berperan dalam proses patogenesis penyakit.
Data terbaru menunjukkan IL-1 memiliki peran utama dalam gejala klinis JRA
tipe sistemik. Pengobatan dengan reseptor antagonis IL-1 telah menunjukkan perbaikan
gejala klinis dan laboratorium pada pasien yang resisten terhadap pengobatan anti-TNF.
Monosit yang teraktivasi pada pasien dengan gejala sistemik memiliki jumlah IL-1 yang lebih
tinggi, dimana sekresi dari TNF dan IL-6 tidak terlalu meningkat. Anggota lain dari IL-1 yaitu

IL-18 ditemukan meningkat tajam pada pasien dengan onset usia yang lebih besar dibandingkan
dengan pasien JRA lainnya. Interleukin-18 (IL-18) ditemukan lebih meningkat pada serum

anak dengan tipe sistemik dibandingkan dengan tipe poliartikular dan pausiartikular.
Konsentrasi IL-18 juga meningkat pada pasien serositis dan hepatosplenomegali.
Konsentrasi IL-6 ditemukan meningkat pada pasien dengan tipe sistemik dan
berhubungan dengan keterlibatan sendi. IL-6 juga meningkat pada cairan sinovial pasien
dengan tipe sistemik dibandingkan dengan pasien JRA tipe lainnya. Produksi berlebihan
IL-6 berhubungan dengan manifestasi ekstra artikular seperti anemia mikrositik dan
gangguan pertumbuhan. Pengobatan dengan monoklonal antibodi yang langsung
menyerang reseptor IL-6 menunjukan perbaikan klinis pada reaktan fase akut pasien
dengan tipe sistemik. Aktivasi dan proliferasi yang tidak terkontrol pada limfosit T dan
makrofag yang menyebabkan terjadinya pelepasan dari sitokin inflamasi seperti TNF ,
IL-1, dan IL-6 mengakibatkan munculnya manifestasi klinis dan patologi pada macrofage
activation syndome (MAS).
4. Mediator anti inflamasi pada JRA
Dua sitokin anti-inflamasi yang paling dikenal pada JRA adalah IL-10 dan IL-4.
Interleukin-10 (IL-10) menunjukkan degradasi kartilago oleh antigen stimulated
mononuclear cell pada pasien dewasa dengan artritis. Polimorfonuklear (PMN) dengan
produksi IL-10 yang rendah berhubungan dengan artritis tipe berat. IL-4 menghambat
aktivasi sel Th1 dan penurunan produksi dari TNF , IL 1 dan menghambat kehancuran
kartilago. Interleukin-4 (IL-4) dan IL-10 menghambat produksi dari sitokin inflamasi
seperti IL-6 dan IL-8. Interleukin-4 (IL-4) dan IL-10 yang tinggi pada sendi
bermanifestasi sebagai pausiartikular yang ringan dan non-erosif. Foxp3, CD4, CD25,
dan sel T regulasi penting untuk pengontrolan inflamasi. Defek pada X-linked pada foxp3
merupakan penyebab dari kondisi multipel autoimun disebut juga imunodisregulasi,
poliendokrinopati, dan enteropati (IPEX syndrome). Kerusakan pada sel T regulasi juga
merupakan penyebab adanya kegagalan toleransi pada penyakit autoimun, meskipun
belum ada bukti yang menunjukkan adanya defek pada sel T regulasi pada JRA.
Penurunan jumlah sel T regulasi menyebabkan oligoartritis yang lebih berat. Pada pasien

dengan JRA ditemukan peningkatan jumlah T regulasi yang lebih tinggi di sendi
dibandingkan darah tepi, yang mengindikasikan terjadinya suatu proses inflamasi.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis utama JIA adalah artritis yang ditandai dengan pembengkakan sendi, atau
menemukan paling sedikit 2 gejala inflamasi sendi, yaitu gerakan sendi yang terbatas,
nyeri atau sakit pada pergerakan dan panas. Pada anak kecil yang lebih jelas adalah
kekakuan sendi pada pergerakan terutama pagi hari ( morning stiffness )7 .Gejala klinis
yang menyokong kecurigaan kearah ARJ yaitu kekakuan sendi pada pagi hari, ruam rematoid,
demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal, nodul rematoid, tenosinovitis 10

Edema pada sendi disebabkan oleh peradangan jaringan lunak periartikuler dan efusi
pada intra-artikular. Sendi yang terlibat biasanya hangat tetapi tidak eritematous. Sendisendi besar seperti lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, siku dan bahu merupakan
sendi yang paling banyak terlibat. Sendi-sendi kecil yang terlibat biasanya sendi tangan
dan kaki.11
Kriteria Diagnosis
Sendi yang terkena artritis terasa hangat dan biasanya hangat dan tidak terlihat eritem
secara klinis ditentukan dengan menemukan paling sedikit 2 gejala inflamasi: gerakan
sendi yang terbatas, nyeri pada pergerakan, dan atau panas. Pada anak kecil yang lebih
menonjol adalah kekauan sendi pada pergerakan terutama pagi hari. Menurut American
College of Rheumatology Association (ACR), yaitu:
Usia penderita kurang dari 16 tahun
Artritis (bengkak atau efusi; adanya dua atau lebih tanda: keterbatasan gerak, nyeri
sendi, dan panas pada sendi) pada satu sendi atau lebih
Lama sakit lebih dari 6 minggu
Tipe Onset penyakit (dalam waktu 6 bulan): poliartritis (>= 5 sendi),;oligoartritis (<5
sendi); sistemik dan artritis dengan demam minimal 2 minggu, mungkin terdapat
ruam atau keterlibatan ekstraartikular, seperti limfadenopati, hepatosplenomegali,
dan perikarditis
Kemungkinan penyakit artritis lain dapat disingkirkan10

Pemeriksaan laboratorium
Tidak ada uji diagnostik yang spesifik. Pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai
penunjang diagnosis. Bila ditemukan Anti Nuclear Antibody (ANA), Faktor Reumatoid
(FR) dan peningkatan C3 serta C4 maka diagnosis JRA menjadi lebih sempurna.7
Selama penyakit aktif, LED dan CRP biasanya meningkat. Pada umumnya
dijumpai Anemia (Hb 7-10 g/dl), biasanya dengan angka retikulosit rendah dan uji
Coomb negatif. Selain itu ditemukan peningkatan sel darah putih. Analisis urin normal,
tetapi selama terapi non-steroid mungkin ditemukan sedikit eritrosit dan sel tubuler
ginjal. Terdapat kenaikan fraksi 2-dan gamma globulin dalam serum dan penurunan
albumin. Salah satu atau semua kadar imunoglobulin serum dapat naik.9
ANA ditemukan pada beberapa anak dengan penyakit faktor reumatoid-negatif
(25%), faktor reumatoid positif (75%), atau pausiartikular tipe I (90%) tetapi jarang, pada
mereka yang dengan penyakit sistemik atau pausiartikuler tipe II. Penemuan ANA tidak
berkolerasi dengan keparahan penyakit.9
Faktor reumatoid ditemukan pada sekitar 5% anak JRA dan berkolerasi dengan
JRA yang mulai pada umur yang lebih tua. Hasil uji positif paling sering dihubungkan
dengan penyakit poliartikular, yang mulai pada akhir masa kanak-kanak, artritis destruksi
berat, dan nodulus reumatoid.9
Cairan sinovial pada JRA tampak seperti berawan dan biasanya berisi jumlah
protein yang naik. Jumlah sel dapat bervariasi dari 5000-80.000 sel/mm3; sel-sel tersebut
terutama netrofil. Kadar glukosa pada cairan sendi mungkin rendah; kadar komplemen
mungkin normal atau menurun.9
Faktor reumatoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah
dideteksi, sedangkan pada JRA lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar dideteksi
laboratorium. Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada JRA.
Kekerapannya lebih tinggi pada penderita wanita muda dengan oligoartritis dengan
komplikasi uveitis.7
Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi JRA dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh kerusakan
yang terjadi pada keadaan klinis tertentu. Kelainan radiologik yang terlihat pada sendi

biasanya adalah pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi,
osteoporosis, dan kelainan yang agak jarang seperti formasi tulang baru periostal. Pada
tingkat lebih lanjut (biasanya lebih dari 2 tahun) dapat terlihat erosi tulang persendian dan
penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi
karpal dan tarsal. Gambaran nekrosis aseptik jarang dijumpai pada JRA walaupun dengan
pengobatan steroid dosis tinggi jangka panjang.
Tidak semua sendi kelompok JRA menunjukkan gambaran erosi, biasanya hanya
didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak, sedangkan erosi sendi hanya didapatkan
pada kelompok poliartikular.
Gambaran agak khas pada tipe oligoartritis dapat terlihat berupa erosi tulang pada
fase lanjut, pengecilan diameter tulang panjang, serta atrofi jaringan lunak regional
sekunder. Kauffman dan Lovell mengajukan beberapa gambaran radiologik yang menurut
mereka khas untuk JRA sistemik, yaitu a)tulang panjang yang memendek, melengkung,
dan melebar, b)metafisis mengembang, dan c)fragmentasi iregular epifisis pada masa
awal sakit yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam metafisis.
Pemeriksaan foto rontgen tidak sensitif untuk mendeteksi penyakit tulang atau
manifestasi jaringan lunak pada fase awal. Selain dengan foto rontgen biasa kelainan
tulang dan sendi JRA dapat pula dideteksi lebih dini melalui skintigrafi dengan
technetium 99m. Pemeriksaan radionuklida ini sensitif namun kurang spesifik. Skintigrafi
menunjukkan keadaan hemodinamik dan aktivitas metabolik di tulang dan sendi saat
pemeriksaan dilakukan, sehingga dapat menunjukkan inflamasi sendi secara dini.
Ultrasonografi merupakan sarana paling baik untuk mengetahui keadaan cairan intraartrikular, terutama pada sendi-sendi yang susah dilakukan pemeriksaan cairan secara
klinis, seperti pinggul dan bahu.
Ultrasonografi juga dapat menilai efusi atau sinovitis dengan menilai penebalan
membran sinovial dari sendi yang meradang, bursa dan pembungkus tendon.
Pemeriksaan MRI yang dipadu dengan gadolinium juga dapat membedakan inflamasi
sinovial dengan cairan sinovial. Sarana MRI dapat digunakan untuk menilai aspek
inflamasi dan destruktif dari penyakit artritis. Berlawanan dengan foto rontgen,
pemeriksaan MRI dapat digunakan untuk mendeteksi inflamasi jaringan lunak dan
perubahan tulang pada fase awal, selain itu dapat menilai progresifitas penyakit.7

Diagnosis banding
1.

Arthritis pada penyakit infeksi


a) Endokarditis bakterial
b) HIV
c) Sepsis
d) Infeksi virus (parvovirus, EBV)
e) Penyakit lyme
f)

2.

Artritis gonorea

Arthritis pada penyakit metabolik dan endokrin


a) Gout
b) Pseudogout
c) Hemokromatosis
d) Hipertiroidisme
e) Hipotiroidisme
f)

Hiperlipoproteinemia

g) Hipertropi osteoartropati
3.

Artritis pada sindrom jaringan ikat


a) SLE
b) Skleroderma
c) Polimyositis

4.

Artritis pada penyakit lainnya


a) Keganasan
b) Polikondritis
c) Sarcoidosis
d) Displasia epifisis

Penatalaksanaan
Dasar pengobatan JRA adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan pengobatan adalah
mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta rentang gerakan (range of
motion), mengatasi komplikasi sistemik, memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan

yang normal. Karena itu pengobatan dilakukan secara terpadu untuk mengontrol
manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan melibatkan dokter anak, ahli
fisioterapi, latihan kerja, pekerja sosial, bila perlu konsultasi pada ahli bedah dan
psikiatri.1
Tujuan penatalaksanaan JRA ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri. Banyak hal
yang harus diperhatikan selain mengatasi nyeri, yaitu mencegah erosi lebih lanjut,
mengurangi kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah kecacatan sendi permanen.
Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi maupun non farmakologi. Selain
obat-obatan, nutrisi juga tak kalah penting. Pada pasien JRA pertumbuhannya sangat
terganggu baik karena konsumsi zat gizi yang kurang atau menurunnya nafsu makan
akibat sakit atau efek samping obat.4
Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS)
Pengelolaan nyeri kronik pada anak tidak mudah. Masalahnya sangat kompleks,
karena pada umumnya anak-anak belum dapat mengungkapkan nyeri. Obat anti inflamasi
non-steroid (OAINS) merupakan anti nyeri pada umumnya yang dapat ditoleransi dengan
baik oleh anak-anak. Selain untuk mengurangi nyeri, OAINS juga dapat digunakan
mengontrol kaku sendi. Efek analgesiknya juga sangat cepat.4
Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) digunakan pada sebagian besar anak
dalam terapi inisial. Obat golongan ini mempunyai efek antipiretik, analgetik, dan
antiinflamasi serta aman untuk penggunaan jangka panjang pada anak. Selain itu obat ini
juga menghambat sintesis prostaglandin. Sebagian besar anak dengan tipe oligoartritis
dan sedikit poliartritis mempunyai respon baik terhadap pengobatan OAINS tanpa
memerlukan tambahan obat lini kedua.4
Penggunaan aspirin sebagai pilihan obat telah digantikan dengan OAINS karena
adanya peningkatan toksisitas gaster dan hepatotoksisitas yang ditandai dengan
transaminasemia. Dengan adanya OAINS yang menghambat siklus siklooksigenase
(COX), khususnya COX-2 maka penggunaan OAINS lebih dipilih daripada aspirin
karena tidak menyebabkan agregasi trombosit, sehingga dapat digunakan pada pasien
yang mempunyai masalah perdarahan. 4
Macam OAINS yang sering digunakan pada anak-anak: 10
a. Tolmetin

Tolmetin diberikan bersama makanan, dalam dosis inisial 20 mg/kgBB/hari,


dibagi dalam 3-4 dosis, diberi bersama makanan atau antasid
b. Naproksen
Naproksen efektif dalam tatalaksana inflamasi sendi dengan dosis 15-20
mg/kgBB/hari yang diberikan dua kali perhari bersama makanan.
c. AAS
Dosis yang biasa dipakai adalah 75-90 mg/kgBB/hari dalam 3 atau 4 kali
pemberian, diberikan bersama dengan makanan untuk mencegah iritasi lambung
dan diberikan terus sampai 1 atau 2 tahun setelah gejala klinis menghilang
an.
Analgetik
Walaupun bukan obat antiinflamasi, asetaminofen 10-15 mg/KgBB/kali, setiap 46 jam sesuai kebutuhan, jangan diberikan lebih dari 5 kali perhari.10
Obat Antireumatik Kerja Lambat
Golongan ini terdiri dari obat antimalaria (hidroksiklorokuin), preparat emas oral
dan suntikan, penisilamin, dan sulfasalazin. Obat golongan ini hanya diberikan untuk
poliartritis

progresif

yang

tidak

menunjukan

perbaikan

dengan

OAINS.

Hidroksiklorokuin dapat bermanfaat sebagai obat tambahan OAINS untuk anak besar
dengan dosis awal 6-7 mg/kgBB/hari, dan setelah 8 minggu diturunkan menjadi 5
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, jika setelah terapi 6 bulan tidak ada perubahan obat harus
dihentikan. Pemberian hidroksiklorokuin harus didahului dengan pemeriksaan mata,
khususnya keadaan retina, lapangan pandang, dan warna.
Sulfasalazin tidak diberikan pada anak dengan hipersensitivitas terhadap sulfa
atau salisilat dan penurunan fungsi ginjal dan hati. Dosis dimulai dengan 3050mg/KgBB/hari dibagi 4-6 dosis diberikan bersama makanan, jangan diberikan bersama
antasid. Setelah tidak ada keluhan dosis diturunkan perlahan sampai 25mg/Kgbb/hari.
Peninsilamin diberikan inisial 3mg/KgBB/hari (<250 mg/hari) selama 3 bulan,
kemudian 6mg/KgBB/hari (<500 mg/hari) dalam 2 dosis selama 3 bulan sampai
maksimum 10mg/KgBB/hari dalam 3-4 dosis terbagi selama 3 bulan. Dosis rumatan
diteruskan selama 1-3 tahun

Garam emas bisa dipakai jika penderita tidak responsif terhadap pengobatan
AAS/AINS lain selama 6 bulan. Pengobatan AAS/AINS lain diteruskan selama
pemakaian garam emas. Preparat yang dipakai adalah Gold sodium thiomalate atau auro
thioglucose. Dipakai dosis awal 5 mg IM dan kemudian dosis ditingkatkan sampai 0,75-1
mg/KgBB/minggu (< 50mg). Jika remisi telah tercapai dalam 6 bulan diteruskan dengan
dosis yang sama dengan injeksi tiap-tiap 2 minggu selama 3 bulan, kemudian setiap 3
minggu setelah 3 bulan, lalu setiap 4 minggu, diteruskan sampai beberapa tahun remisi.
Preparat oral garam emas yang dipakai auranofin: dosis dimulai 0,1-0,2 mg?KgBB/hari
(maksimal 9mg/hari). Kemudian ditingkatkan 1 mg/KgBB/hari setiap 3 bulan sampai
mencapai dosis maksimal 6mg. Lama pengobatan sampai beberapa tahun remisi.10
Kortikosteroid
`

Diberikan bila terdapat gejala penyakit sistemik, uveitis kronik, atau untuk suntikan

intraartikular. Penggunaan kortikosteroid tunggal tidak dianjurkan untuk menekan


inflamasi sendi, namun dosis rendah dapat digunakan pada anak dengan poliartritis berat
yang tidak berespon dengan terapi lain. Dosis prednisolon yang diberikan 0,25-1
mg/KgBB/hari dosis tunggal jika keadaan lebih berat berikan beberapa dosis terbagi dan
jika terjadi perbaikan klinis dosis diturunkan perlahan 10. Efek samping yang dapat terjadi
pada pemakaian jangka panjang antara lain sindrom cushing, penekanan pertumbuhan,
fraktur, katarak, gejala gastrointestinal dan defisiensi glukokortikoid. 8
Kortikosteroid intra-artikular dapat diberikan pada oligoartritis yang tidak
berespon dengan OAINS atau sebagai bantuan dalam terapi fisik pada sendi yang sudah
mengalami inflamasi dan kontraktur. Kortikosteroid intra-artikular juga dapat diberikan
pada poliartritis dimana satu atau beberapa sendi tidak berespon dengan OAINS. Namun,
pemberian injeksi intra-artikular ini harus dibatasi, misalnya 3 kali pada 1 sendi selama 1
tahun. Triamsinolon heksasetonid merupakan obat pilihan dengan dosis 20-40 mg untuk
sendi besar. 4
Imunosurpresan
Imunosupresan diberikan untuk keadaan berat yang mengancam kehidupan. Obat yang
paling sering digunakan adalah metotreksat, dosis inisial 5 mg/m2/minggu, bila respons
tidak adekuat setelah pemberian selama 8 minggu dosis dapat dinaikkan menjadi 10

mg/m2/minggu. Lama pengobatan yang dianggap adekuat adalah 6 bulan. Obat lain yang
biasa digunakan adalah azatiopirin, siklofosfamid dan klorambusil 10.
Biologic Response Modifiers
Pendekatan terapi terbaru menggunakan etanercept sebagai agen biologik yang
berfungsi sebagai penghambat Tumor Necrosis Factor (TNF), sehingga akan menghambat
pengeluaran sitokin yang berperan dalam proses inflamasi. Etanercept akan terikat pada
komponen Fc imunoglobulin dan efektif dalam mengontrol poliartritis yang tidak memberikan
respon dengan terapi konvensional ataupun imunosupresan selama 6 bulan.7. Sebelum diberikan
terapi, data dasar laboratorium (darah perifer, LED, CRP, urinalisis) harus diambil dan uji
tuberkulin kulit dengan PPD (purified protein derivative) menunjukkan hasil negatif. Dosis yang
digunakan untuk anak usia 4-17 tahun yaitu 0,4 mg/kgBB subkutan 2 kali dalam seminggu,
minimal dengan jangka waktu terpisah 72-96 jam (maksimum 25 mg/dosis). Obat sebelumnya,
baik AINS atau metotreksat tetap dilanjutkan. Sedangkan untuk usia 17 tahun keatas diberikan
dengan dosis dewasa, yaitu diberikan bersamaan dengan metotreksat dalam infus intravena 3
mg/kgBB pada minggu 0, 2, 6 dan setelah itu setiap 8 minggu untuk pemeliharaan. Pilihan lain
adalah pemberian dosis tunggal etanercept setiap minggu untuk dosis 25 mg atau kurang pada
pasien baru atau usia 4-17 tahun. Apabila dosis mingguan melebihi 25 mg, maka digunakan dua
lokasi suntikan subkutan. Obat ini tidak boleh digunakan pada anak dengan infeksi atau riwayat
infeksi rekuren 8.

Fisioterapi dan Latihan Fisik


Banyak manfaat terapi dengan fisioterapi. Kegunaannya antara lain untuk
mengontrol nyeri, TENS, terapi panas dingin, dan hidroterapi. Selain itu, fisioterapi
berguna bagi anak-anak untuk melakukan peregangan otot yang dapat berguna
memperbaiki fungsi sendi. Peregangan pasif sangat diperlukan, tetapi harus dikerjakan
dengan pengawasan. Latihan aktif dengan atau tanpa beban sangat membantu menambah
massa otot. Fisioterapi juga berguna untuk mempertahankan fungsi gerak sendi serta
mempertahankan pertumbuhan normal.
Latihan fisik bertujuan untuk meminimalisir nyeri, menjaga dan mengembalikan
fungsi dan mencegah deformitas dan disabilitas. Pada anak dengan artritis aktif
dianjurkan untuk beristirahat dan meningkatkan waktu tidur saat malam hari. Pasien

dengan JRA harus sedapat mungkin aktif, namun kegiatan yang menyebabkan kelelahan
berlebih dan nyeri pada sendi perlu dihindari.4
Psikoterapi
Dukungan psikologis bagi anak dan keluarganya sangat penting untuk
memperbaiki prognosis jangka panjang. Anak dengan RJA berat sering mengalami
retardasi pertumbuhan dan sering terlalu dilindungi oleh keluarga, guru dan teman
sekelasnya. Anak tersebut sering memanfaatkan hal ini untuk tidak pergi ke sekolah, tidak
melakukan pekerjaan di rumah ataupun tidak melakukan tugas yang tidak menyenangkan.
Terapis harus dapat meyakinkan semua orang yang berinteraksi dengan anak pengidap
RJA untuk menghadapi anak tersebut secara normal sesuai anak seusianya dan
menekankan indepedensi serta pendewasaan sebanyak mungkin. Bila hal itu tidak
dilakukan, anak mungkin akan makin mengalami regresi atau imatur seiring dengan
waktu.1
Nutrisi
Nutrisi dan vitamin suplemen (vitamin B dan asam folat) menjadi aspek penting
dalam penatalaksanaan jangka panjang, karena adanya proses retardasi pertumbuhan dan
kerusakan mineralisasi tulang akibat penyakit dan pemberian kortikosteroid.
Seringkali didapatkan gangguan pertumbuhan, baik lokal karena kerusakan pusat
pertumbuhan tulang maupun umum karena asupan nutrisi yang kurang dan menurunnya
produksi insulin like growth factor. Anak-anak dengan inflamasi kronis mempunyai risiko
untuk terjadi malnutrisi oleh karena menahan sakit yang menyebabkan nafsu makan
menurun. Dengan demikian jumlah kalori yang didapat berkurang. Selain faktor tersebut,
efek samping obat-obatan juga mempengaruhi penurunan nafsu makan.
Obesitas mungkin dijumpai pada beberapa kasus, hal ini disebabkan karena
kurangnya aktivitas, intake makanan yang berlebihan atau akibat efek samping
kortikosteroid. Penanganan diet pada anak sangatlah kompleks. Vitamin, zat besi, dan
kalsium sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan anak, dan sebaiknya ditambahkan pada
diet. Oleh karena pemakaian steroid jangka panjang, maka diperlukan vitamin D. Dosis
untuk anak umur 1-10 tahun adalah vitamin D 400 IU dan kalsium 400 mg, sedangkan
kalsium 800 mg digunakan pada anak lebih dari 10 tahun.4

Bedah
Pembedahan adalah pilihan pengobatan yang harus dipertimbangkan bila tidak
ada perbaikan dengan obat maupun terapi fisik serta tidak dapat berjalan dan
mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Prosedur Bedah yang disetujui adalah sinovektomi
(untuk kasus JIA yang sangat aktif , proliferatif sinovitis) dan artrodesis (deformitas dan
kerusakan sendi yang parah)7
Hal yang harus diperhatikan sebelum pembedahan dilakukan adalah usia anak,
dan apakah tulang mereka masih tumbuh. Saat mempertimbangkan penggantian sendi
total, sangat penting untuk memikirkan kebutuhan penggantian total pada sendi lainnya
dalam 10-20 tahun berikutnya. Waktunya tergantung pada umur anak, kemungkinan
hidup dengan sendi pengganti, dan kemungkinan kehilangan kekuatan otot dan tulang
bila pembedahan ditunda terlalu lama.7
Edukasi
Edukasi pasien dan keluarga tentang JIA dan gejala, pengobatan, dan efek potensialnya adalah hal
yang sangat penting. Yang terpenting adalah edukasi untuk mempertahankan fungsi dan
mencegah deformitas tulang dan sendi, serta sarankan pasien untuk rutin fisioterapi 710

Komplikasi
Komplikasi ARJ terpenting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat
penutupan epifisis dini seperti yang sering terjadi pada mandibula, metakarpal, dan metatarsal.
Kelainan tulang dan sendi lain dapat pula terjadi seperti angkilosis, luksasi, atau fraktur.
Komplikasi ini biasanya berhubungan dengan berat dan lamanya sakit, tetapi dapat pula akibat
efek pengobatan steroid. Adanya nyeri abdomen yang berhubungan dengan ulkus atau gastritis,
hepatotoksik atau nefrotoksik menandakan perlunya pemeriksaan laboratorium rutin. Kadang
dapat juga terjadi vaskulitis atau ensefalitis pada ARJ. Amiloidosis sekunder jarang terjadi, tetapi
dapat memberikan akibat lanjut yang berat sampai gagal ginjal 8,10.

Perkarditis dapat terjadi dengan gejala terseringnya berupa nafas pendek yang tidak
dapat dijelaskan. Dapat juga terjadi anemia atau kelainan darah sejenisnya. Inflamasi dari
arteri pada tangan dan kaki yang dapat mengganggu sirkulasi dan menyebabkan
kerusakan serius pada jari tangan dan jari kaki. Selain itu pernah juga dilaporkan
terjadinya inflamasi hepar12.

Prognosis
Sebagian besar penderita ARJ (70-90%) sembuh tanpa kecacatan yang berarti. Hanya
10% yang membawa cacat sampai dewasa. Sebagian kecil akan kambuh menjadi bentuk
artritis reumatoid dewasa10. Namun menurut The Royal Australian College of General
Practitioners, penderita akan tetap memiliki artritis, bahkan 10 tahun setelah diagnosis

kecuali mendapat terapi yang tepat14.


Prognosis ARJ dapat diperkirakan dari tipe onset penyakit serta perjalanan gambaran
klinisnya. Beberapa gambaran klinis yang dapat dijadikan sebagai petunjuk prognosis
yang buruk adalah tipe onset sistemik atau poliartritis, uveitis kronik, erosi sendi, fase
aktif yang berlangsung lama, nodul reumatoid dan adanya faktor reumatoid pada
pemeriksaan laboratorium.Angka kematian ARJ sangat rendah yaitu kurang dari 1 %.13
Daftar pustaka
1. Akib AAP.2003. Artritis Idiopatik Juvenil Kesepakatan Baru Klasifikasi dan Kriteria
Diagnosis Penyakit Artritis pada anak. Sari Pediatri, Vol. 5, 2: 40-48
2. Cron, R.Q dan Stoll, M. 2014. Treatment of juvenile idiopathic arthritis: a revolution
in care. Pediatric Rheumatology; 12 (13): 1-10
3. Olson, J.C. 2003. Juvenile Idiopathic Arthritis: An Update. Winconsin Medical
Journal; 102 (7): 45-50
4. Akib AAP. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N,
penyunting. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak. Jakarta: IDAI. 2008; hal 322-44
5. Judarwanto, Widodo. 2008. Artritis Pada Anak, available at: www. childrens
IMMUNOLOGY CLINIC. Com
6. Huang, J.L. 2011. Review Article: New Advances in Juvenile Idiopathic Arthritis.
Chang Gung Med J; 35: 1-14
7. David

DS.

Juvenile

Idiopathic

Arthritis.

Diunduh

dari:

http://emedicine.medscape.com/article/1007276-overview#a0156 , 2011

8. Hahn YS, Kim JG. Pathogenesis and clinical manifestation of juvenile reumathoid
arthritis. Korean Journal of Pediatrics. 2010; 921-30.

9. Kliegman R, Stanton BF, Geme JW, Schor NF, Behrman RE, Arvin A. Artritis
Reumatoid Juvenil. Juvenile Idiopathic Arthritis. Dalam: Kliegman Robert M ... [et
al.]. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th edition. Philadelphia: Elsevier. 2011; 26712689
10. Panduan Praktik Klinik Divisi Alergi Imunologi Departemen Kesehatan Anak RSUP.
Dr. Mohammat Hoesin Palembang 2014
11. Yuliasih. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Interna Publishing. 2010; 2520-5.
12. Shiel,

William

C.

Juvenile

Rheumatoid

Arthritis.

Diunduh

dari:

http://www.emedicinehealth.com/juvenile_rheumatoid_arthritis/article_em.html
tanggal 5 Oktober 2014
13. Miller M. Juvenile Rheumatoid Arthritis. eMedicine.2006;1-20
14. The Royal Australian College of General Practitioners. 2009. Clinical guidelinefor the
diagnosis and management of juvenile idiopathic arthritis

Anda mungkin juga menyukai