Pendahuluan
Epilepsi merupakan kekambuhan periodik yang ditandai adanya bangkitan, baik
dengan atau tanpa kejang. Peristiwa kejang dihasilkan dari pelepasan berlebihan dari neuron
kortikal dan ditandai oleh perubahan aktivitas listrik yang diukur oleh electroencephalographi (EEG) (Wells dkk., 2008). Gangguan ini sering dihubungkan dengan
disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penderitanya,
di samping itu juga dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang
tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan
psikiatrik (WHO, 2001). Insiden epilepsi tertinggi terjadi pada kategori anak-anak dan
merupakan penyakit neurologis utama pada kelompok usia tersebut. Ditemukan bahwa
prevalensi epilepsi pada anak-anak cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Secara statistik,
jenis epilepsi pada masa anak-anak bervariasi, tetapi jenis epilepsi yang secara umum lebih
sering terjadi adalah epilepsi umum (generalized epilepsy) (Pinzon, 2006).
Pengobatan epilepsi bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita dengan
manifestasi adanya penurunan atau pengendalian kejang, serta perbaikan dalam aspek psikis,
kognitif, dan sosial (Heaney dkk., 2002). Terapi utama epilepsi yaitu pemberian obat anti
epilepsi untuk mengontrol kejang pasien (Gidal dan Garnett, 2005). Terapi pasien pediatrik
sebaiknya diawali dengan monoterapi.
Sekitar 50% pasien epilepsi dapat terkontrol frekuensi dan aktifitas kejang dengan
obat anti epilepsi, tetapi 30-40% pasien mengalami kesukaran dalam mengontrol kejadian
kejang setelah penggunaan obat anti epilepsi dan berkembang menjadi epilepsi refractory
(Gidal dan Garnett, 2005; Lawthom dan Smith, 2001). Kesukaran ini antara lain
dikarenakan oleh banyaknya jenis serangan epilepsi yang memerlukan terapi obat anti
epilepsi (OAE) tertentu, pengobatan yang bersifat individual, prognosis pada sebagian
kasus mengecewakan, lamanya pengobatan, seringnya terapi lebih dari 1 obat, adanya
interaksi obat-obat, timbul efek samping, toksisitas yang menahun, berbagai faktor yang
dapat mempengaruhi pengobatan, dan lain-lain (Moe dkk., 2006). Politerapi sering
dipertimbangkan pada kelompok pasien ini (Lawthom dan Smith, 2001; Gidal dan Garnett,
2005).
Efek terapi merupakan hasil yang diharapkan setelah pemberian terapi. Efek terapi
dapat diketahui dengan melihat pengurangan jumlah kejang, pengurangan keparahan
kejang, adverse reaction yang minimal dan perbaikan kualitas hidup pasien (Gidal dan
Garnett, 2005).
Kuesioner Hague Seizure Severity Scale (HASS) merupakan kuesioner yang
digunakan untuk mengevaluasi efek terapi pasien epilepsi pediatrik berdasarkan keparahan
kejang. Kuesioner tersebut merupakan pengembangan dari kuesioner LSSS (Liverpool
Seizure Severity Scale) yang digunakan untuk mengevaluasi efek terapi pasien epilepsi
dewasa. Alasan digunakan kuesioner HASS pada penelitian ini karena HASS digunakan
untuk mengevaluasi efek terapi pada pasien epilepsi pediatrik (Carpay, 1996).
Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka bagaimanakah pola pengobatan obat anti
epilepsi pada pasien epilepsi dan bagaimanakah efek terapi obat anti epilepsi politerapi pada
pasien epilepsi pediatrik.
Tinjauan pustaka
1.
Epilepsi
Secara etimologi epilepsi berasal dari bahasa Yunani epilambanein yang kurang lebih
berarti sesuatu yang menimpa seseorang dari luar hingga ia jatuh (Mutiawati, 2008).
Penyakit epilepsi pertama kali ditemukan Hippocrates, seorang dokter dari Yunani pada
tahun 400 SM. Masyarakat Yunani percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat
dan juga dipercaya bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Hippocrates
menolak paradigma tersebut dan menyatakan bahwa epilepsi merupakan akibat dari
terjadinya kerusakan pada otak, yang diungkapkan dalam bukunya yang berjudul On
the Sacred Disease. Ia menyarankan untuk memberi terapi fisik, bukan terapi spiritual.
Ia menyatakan bahwa jika epilepsi menjadi kronis, maka epilepsi tidak dapat
disembuhkan (Hantoro, 2013). Tahun 1859-1906, ahli neurologi Inggris mendefinisikan
epilepsi sebagai penyakit karena ketidakstabilan dan kerusakan pada jaringan saraf di
otak, sehingga mempengaruhi kesadaran dan tingkah laku penderita (Indrayati, 2004).
a.
Definisi
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh
terjadinya bangkitan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked)
dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat
mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat
sinkron dan berirama. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk bangkitan yang
terjadi selama penyakit akut berlangsung, dan occasional provoked seizures
misalnya kejang atau bangkitan pada hipoglikemi (Harsono, 2007).
Menurut World Health Organization (WHO), epilepsi merupakan gangguan
kronik otak yang menunjukkan gejala berupa serangan berulang akibat
ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena
cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang berlebihan, yang dapat
menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba
dan sesaat (Wibowo dan Gofir, 2006).
b.
Epidemologi
Epilepsi dapat menyerang bayi, anak-anak, orang dewasa, maupun lanjut usia.
Di seluruh dunia, kasus baru diperkirakan terjadi sekitar 3,5 juta tiap tahun dengan
proporsi 40% golongan anak, 40% golongan dewasa dan 20% golongan lanjut usia
(Harsono, 2001). Prevalensi di negara berkembang 2-25 kali lebih tinggi daripada
di negara maju yang hanya 5-6/1000 penduduk (Radhakrishnan, 2000).
sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada
anak-anak (Suwarba, 2011).
Penelitian Heaney dkk (2002) di Inggris dilakukan secara prospektif
terhadap 369.283 orang-tahun pengamatan. Selama dilakukan penelitian
tersebut, dijumpai sebanyak 190 kasus baru epilepsi. Pada 190 kasus baru
epilepsi tersebut, 65 pasien diantaranya (34, 2%) dimulai saat pada saat pasien
berumur di bawah 14 tahun (onset epilepsi di bawah 14 tahun).
c.
Etiologi
Dasar serangan epilepsi adalah gangguan fungsi neuron otak dan transmisi
pada sinaps. Setiap sel hidup, termasuk neuron otak memiliki kegiatan listrik
yang disebabkan adanya potensial membran sel. Potensial membran neuron
bergantung pada permeabilitas selektif membran neuron yaitu perbedaan
konsentrasi ion-ion seperti K, Na, Ca, Cl (Shih, 2007).
1)
2)
3)