Anda di halaman 1dari 10

PEWARISAN GEN RANGKAI KELAMIN (Sex Linkage)

Oleh:
Nama
NIM
Rombongan
Kelompok
Asisten

: Maria Pricilia Gita Permana Putri


: B1A015068
: IV
:4
: Rani Eva Dewi

LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2016

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
Sex Linkage Kelompok 4 Rombongam IV
Jantan

Betina

White eyes

Wild type

White eyes

Wild type

B. Pembahasan
Individu memiliki dua macam kromosom yaitu autosom dan seks kromosom.
Karena itu biasanya individu jantan dan betina memiliki kromosom yang sama oleh
karena itu sifat keturunan yang ditentukan oleh gen pada autosom akan diwariskan
dari orang tua pada anak-anaknya tanpa membedakan seks. Contohnya seperti albino,

warna mata, bentuk rambut, dan polidaktili dapat diwariskan, tapi keturunan pada F1
dan F2 tidak pernah disebut jenis kelaminnya dan jenis kelamin itu tidak
mempengaruhi terhadap sifat-sifat tersebut (Suryo, 2005).
Jumlah gen dalam suatu sel jauh lebih besar daripada jumlah kromosom. Setiap
kromosom mengandung ratusan atau ribuan gen. Sejauh ini hanya 78 gen yang telah
diidentifikasi pada kromosom Y, namun mungkin lebih banyak lagi yang akan
ditemukan seiring perkembangan metode-metode analisis sekuens genetik. Gen-gen
yang terletak pada kromosom yang sama dan cenderung diwariskan bersama-sama
dalam persilangan genetik disebut sebagai gen-gen tertaut/berangkai (linked genes).
Ketika ahli genetika mengikuti gen-gen tertaut dalam percobaan persilangan, hasilhasil yang diperoleh menyimpang dari yang diharapkan oleh hukum Mendel tentang
pemilihan bebas (Campbell et al., 2010).
Gen-gen yang terletak pada kromosom kelamin dinamakan gen rangkai
kelamin (sex-linked genes) sementara fenomena yang melibatkan pewarisan gen-gen
ini disebut peristiwa rangkai kelamin (linkage). Adapun gen berangkai adalah gen-gen
yang terletak pada kromosom selain kromosom kelamin, yaitu kromosom yang pada
individu jantan dan betina sama strukturnya sehingga tidak dapat digunakan untuk
membedakan jenis kelamin. Kromosom semacam ini dinamakan autosom (Zaif,
2009).
Seperti halnya gen berangkai (autosomal), gen-gen rangkai kelamin tidak
mengalami segregasi dan penggabungan secara acak di dalam gamet-gamet yang
terbentuk. Akibatnya, individu-individu yang dihasilkan melalui kombinasi gamet
tersebut memperlihatkan nisbah fenotipe dan genotipe yang menyimpang dari hukum
Mendel. Selain itu, jika pada percobaan Mendel perkawinan resiprok (genotipe tetua
jantan dan betina dipertukarkan) menghasilkan keturunan yang sama, tidak demikian
halnya untuk sifat-sifat yang diatur oleh gen rangkai kelamin (Zaif, 2009).
Gen rangkai kelamin dapat dikelompok-kelompokkan berdasarkan atas macam
kromosom kelamin tempatnya berada. Oleh karena kromosom kelamin pada
umumnya dapat dibedakan menjadi kromosom X dan Y, maka gen rangkai kelamin
dapat menjadi gen rangkai X (X-linked genes) dan gen rangkai Y (Y-linked genes). Di
samping itu, ada pula beberapa gen yang terletak pada kromosom X tetapi memiliki
pasangan pada kromosom Y. Gen semacam ini dinamakan gen rangkai kelamin tak
sempurna (incompletely sex-linked genes) (Zaif, 2009). Beberapa teori menyebutkan,

bahwa variasi genetik kromosom X dan autosom realtif besar. Tetapi, ada pula yang
menyebutkan kelangkaan pada kromosom X (Stocks et al., 2015).
Pewarisan Rangkai X
Percobaan yang pertama kali mengungkapkan adanya peristiwa rangkai kelamin
dilakukan oleh T.H Morgan pada tahun 1910. Dia menyilangkan lalat D.
melanogaster jantan bermata putih dengan betina bermata merah. Lalat bermata
merah lazim dianggap sebagai lalat normal atau tipe alami (wild type), sedang gen
pengatur tipe alami, misalnya pengatur warna mata merah ini, dapat dilambangkan
dengan tanda +. Biasanya, meskipun tidak selalu, gen tipe alami bersifat dominan
terhadap alel mutannya.Hasil persilangan Morgan tersebut, khususnya pada generasi
F1, ternyata berbeda jika tetua jantan yang digunakan adalah tipe alami (bermata
merah) dan tetua betinanya bermata putih. Dengan perkataan lain, perkawinan
resiprok menghasilkan keturunan yang berbeda. Persilangan resiprok dengan hasil
yang

berbeda

ini

memberikan

petunjuk

bahwa

pewarisan

warna

mata

pada Drosophila ada hubungannya dengan jenis kelamin, dan ternyata kemudian
memang diketahui bahwa gen yang mengatur warna mata pada Drosophila terletak
pada kromosom kelamin, dalam hal ini kromosom X. Oleh karena itu, gen pengatur
warna mata ini dikatakan sebagai gen rangkai X. Lalat F1 betina mempunyai mata
seperti tetua jantannya, yaitu normal/merah. Sebaliknya, lalat F1 jantan warna
matanya seperti tetua betinanya, yaitu putih. Pewarisan sifat semacam ini disebut
sebagai criss-cross inheritance (Jones & Rickards, 1991).
Pada Drosophila, dan juga beberapa spesies organisme lainnya, individu betina
membawa dua buah kromosom X, yang dengan sendirinya homolog, sehingga gametgamet yang dihasilkannya akan mempunyai susunan gen yang sama. Oleh karena itu,
individu betina ini dikatakan bersifat homogametik. Sebaliknya, individu jantan yang
hanya membawa sebuah kromosom X akan menghasilkan dua macam gamet yang
berbeda, yaitu gamet yang membawa kromosom X dan gamet yang membawa
kromosom Y. Individu jantan ini dikatakan bersifat heterogametik (Jones & Rickards,
1991).
Rangkai X pada kucing
Warna bulu pada kucing ditentukan oleh suatu gen rangkai X. Dalam keadaan
heterozigot gen ini menyebabkan warna bulu yang dikenal dengan istilah tortoise
shell. Oleh karena genotipe heterozigot untuk gen rangkai X hanya dapat dijumpai
pada individu betina, maka kucing berbulu tortoise shell hanya terdapat pada jenis

kelamin betina. Sementara itu, individu homozigot dominan (betina) dan hemizigot
dominan (jantan) mempunyai bulu berwarna hitam. Individu homozigot resesif
(betina) dan hemizigot resesif (jantan) akan berbulu kuning. Istilah hemizigot
digunakan untuk menyebutkan genotipe individu dengan sebuah kromosom X.
Individu dengan gen dominan yang terdapat pada satu-satunya kromosom X
dikatakan hemizigot dominan. Sebaliknya, jika gen tersebut resesif, individu yang
memilikinya disebut hemizigot resesif (Jones & Rickards, 1991).
Rangkai X pada manusia
Salah satu contoh gen rangkai X pada manusia adalah gen resesif yang
menyebabkan penyakit hemofilia, yaitu gangguan dalam proses pembekuan darah.
Sebenarnya, kasus hemofilia telah dijumpai sejak lama di negara-negara Arab ketika
beberapa anak laki-laki meninggal akibat perdarahan hebat setelah dikhitan. Namun,
waktu itu kematian akibat perdarahan ini hanya dianggap sebagai takdir semata.
Hemofilia baru menjadi terkenal dan dipelajari pola pewarisannya setelah beberapa
anggota keluarga Kerajaan Inggris mengalaminya. Awalnya, salah seorang di antara
putra Ratu Victoria menderita hemofilia sementara dua di antara putrinya karier atau
heterozigot. Dari kedua putri yang heterozigot ini lahir tiga cucu laki-laki yang
menderita hemofilia dan empat cucu wanita yang heterozigot. Melalui dua dari
keempat cucu yang heterozigot inilah penyakit hemofilia tersebar di kalangan
keluarga Kerajaan Rusia dan Spanyol. Sementara itu, anggota keluarga Kerajaan
Inggris saat ini yang merupakan keturunan putra/putri normal Ratu Victoria bebas dari
penyakit hemofilia (Suryo, 2005).
Rangkai Z pada ayam
Pada dasarnya pola pewarisan sifat rangkai Z sama dengan pewarisan sifat
rangkai X. Hanya saja, kalau pada rangkai X individu homogametik berjenis kelamin
pria/jantan sementara individu heterogametik berjenis kelamin wanita/betina, pada
rangkai Z justru terjadi sebaliknya. Individu homogametik (ZZ) adalah jantan, sedang
individu heterogametik (ZW) adalah betina. Contoh gen rangkai Z yang lazim
dikemukakan adalah gen resesif br yang menyebabkan pemerataan pigmentasi bulu
secara normal pada ayam. Alelnya, Br, menyebabkan bulu ayam menjadi burik. Jadi,
pada kasus ini alel resesif justru dianggap sebagai tipe alami atau normal
(dilambangkan dengan +), sedang alel dominannya merupakan alel mutan (Jones &
Rickards, 1991).
Pewarisan Rangkai Y

Pada umumnya kromosom Y hanya sedikit sekali mengandung gen yang aktif.
Jumlah yang sangat sedikit ini mungkin disebabkan oleh sulitnya menemukan alel
mutan bagi gen rangkai Y yang dapat menghasilkan fenotipe abnormal. Biasanya
suatu gen/alel dapat dideteksi keberadaannya apabila fenotipe yang dihasilkannya
adalah abnormal. Oleh karena fenotipe abnormal yang disebabkan oleh gen rangkai Y
jumlahnya sangat sedikit, maka gen rangkai Y diduga merupakan gen yang sangat
stabil. Gen rangkai Y jelas tidak mungkin diekspresikan pada individu betina/wanita
sehingga gen ini disebut juga gen holandrik. Contoh gen holandrik pada manusia
adalah Hg dengan alelnya hg yang menyebabkan bulu kasar dan panjang, Ht dengan
alelnya ht yang menyebabkan pertumbuhan bulu panjang di sekitar telinga, dan Wt
dengan alelnya wt yang menyebabkan abnormalitas kulit pada jari. Contoh penyakit
yang disebabkan oleh gen terpaut kromosom Y adalah Webbed Toes. Selain itu, dapat
menyebabkan pula hystrix gravior atau pertumbuhan rambut kasar (Suryo, 2005).
Pewarisan Rangkai Kelamin Tak Sempurna
Meskipun dari uraian di atas secara tersirat dapat ditafsirkan bahwa kromosom X
tidak homolog dengan kromosom Y, ternyata ada bagian atau segmen tertentu pada
kedua kromosom tersebut yang homolog satu sama lain. Dengan perkataan lain, ada
beberapa gen pada kromosom X yang mempunyai alel pada kromosom Y. Pewarisan
sifat yang diatur oleh gen semacam ini dapat dikatakan tidak dipengaruhi oleh jenis
kelamin, dan berlangsung seperti halnya pewarisan gen autosomal. Oleh karena itu,
gen-gen pada segmen kromosom X dan Y yang homolog ini disebut juga gen rangkai
kelamin tak sempurna. Pada D. melanogaster terdapat gen rangkai kelamin tak
sempurna yang menyebabkan pertumbuhan bulu pendek. Perkawinan resiprok untuk
gen rangkai kelamin tak sempurna akan memberikan hasil yang sama seperti halnya
hasil yang diperoleh dari perkawinan resiprok untuk gen-gen autosomal. Jadi,
pewarisan gen rangkai kelamin tak sempurna mempunyai pola seperti pewarisan gen
autosomal (Jones & Rickards, 1991).
Percobaan ini menggunakan Drosophila betina white eyes karena gen yang
mengatur warna mata pada Drosophila terletak pada kromosom kelamin, dalam hal
ini kromosom X. Oleh karena itu, gen pengatur warna mata ini dikatakan sebagai gen
rangkai X. Pada Drosophila, dan juga beberapa spesies organisme lainnya, individu
betina membawa dua buah kromosom X, yang dengan sendirinya homolog, sehingga
gamet-gamet yang dihasilkannya akan mempunyai susunan gen yang sama. Oleh
karena itu, individu betina ini dikatakan bersifat homogametik. Sebaliknya, individu

jantan yang hanya membawa sebuah kromosom X akan menghasilkan dua macam
gamet yang berbeda, yaitu gamet yang membawa kromosom X dan gamet yang
membawa kromosom Y. Individu jantan ini dikatakan bersifat heterogametik
(Susanto, 2011).
Hasil percobaan yang seharusnya didapatkan, menunjukkan adanya criss-cross
inheritance, yaitu individu jantan akan memiliki fenotipe seperti tetua betinanya, dan
sebaliknya individu betina akan menyerupai tetua jantannya. Russel (1994)
mengatakan bahwa persilangan resiprok yang dilakukan pada lalat dan melibatkan
gen rangkai kelamin menghasilkan F1 maupun F2 yang berbeda. Perbedaan pada
nisbah fenotipe F2 yaitu persilangan antara jantan liar dengan betina white eyes adalah
1 : 1 : 1 : 1, sedangkan pada persilangan jantan white eyes dengan betina liar, nisbah
fenotipenya 3 : 1 dengan white eyes untuk lalat jantan sehingga dapat dikatakan
bahwa sex parental menentukan generasi yang diturunkan. Individu F2 yang diperoleh
menunjukkan pola pewarisan saling-silang pada perkawinan antara jantan liar dan
betina white. Warna putih dapat muncul pada lalat betina bila dua buah kromosom
yang mengandung gen warna mata white bertemu. Pada lalat betina umumnya warna
mata bergantung pada gen yang dibawa oleh kromosom X. Warna putih dapat muncul
pada lalat jantan karena lalat jantan memiliki satu kromosom X dan kromosom Y
dimana kromosom Y tidak membawa gen warna mata. Gen rangkai Y hanya akan di
ekspresikan pada individu jantan sehingga sering juga dinamakan gen holandrik.
Perkawinan resiprok yang melibatkan baik gen rangkai kelamin X maupun gen
rangkai kelamin Y akan menghasilkan keturunan yang berbeda (Russel, 1994).
Berikut adalah diagram persilangan antara lalat jantan tipe liar dan lalat betina tipe
white eyes.
P
Gamet

Jantan liar (wild type)

Betina white eyes

X+ Y

X- X-

X+ Y

X-

XX+

X+ X-

X- Y

F1

X+ X(Betina normal)

dan

X- Y
(Jantan white eyes)

Percobaan yang dilakukan kelompok 4 rombongan IV, tidak menunjukkan pola


pewarisan criss-cross inheritance. Hal ini disebabkan karena saat melakukan
percobaan, proses pemindahan kulturnya tidak berjalan dengan sempurna, sehingga
individu F1 yang dihasilkan tidak sesuai yang diharapkan. Selain itu, banyak pula
Drosophila yang mati dalam tempat kultur yang menempel pada media karena media
terlalu basah dan berair. Hasil individu F1 yang diperoleh pada kultur sex linkage
hampir semuanya jantan, sehingga reproduksi tidak dapat dilakukan apabila individu
yang ada jantan semuanya. Pupa yang dihasilkan hanya satu. Sehingga dapat
disimmpulkan, percobaan sex linkage kelompok kami tidak berhasil.

KESIMPULAN
Hasil percobaan yang didapatkan, menunjukkan adanya criss-cross inheritance,
yaitu individu jantan akan memiliki fenotipe seperti tetua betinanya, dan sebaliknya
individu betina akan menyerupai tetua jantannya. Pada percobaan ini, hasil yang
seharusnya didapatkan adalah betina wild type dan jantan white eyes dengan nisbah
1:1:1:1.

DAFTAR REFERENSI
Campbell, Neil A., Jane B. Reece, Lisa A. Urry, Michael L. Cain, Steven A.
Wasserman, Peter V. Minorsky & Robert B. Jackson. 2010. Biologi Edisi
Kedelapan Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Jones, R.N. & Rickards G.K. 1991. Practical Genetics. Open University Press:
Milton Keynes.
Russell, P.J. 1994. Foundamental of Genetics. New York: Harper Collins College
Publishers.
Stocks, Michael, Rebecca Dean, Bjrn Rogell & Urban Friberg. 2015. Sex-specific
Trans-regulatory Variation on the Drosophila melanogaster X Chromosome. Plos
Genetic, 11(2), pp. 1-19.

Suryo. 2005. Genetika Strata 1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


Susanto, Agus Hery. 2011. Genetika. Yogyakarta: Graha ilmu.
Zaif. 2009. Rangkai Kelamin dan Penentuan Jenis Kelamin. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai