Chapter II PDF
Chapter II PDF
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prevalensi
Prevalensi adalah bagian dari studi epidemiologi yang membawa
pengertian jumlah orang dalam populasi yang mengalami penyakit, gangguan atau
kondisi tertentu pada suatu tempoh waktu dihubungkan dengan besar populasi
dari mana kasus itu berasal. Prevalensi sepadan dengan insidensi dan tanpa
insidensi penyakit maka tidak akan ada prevalensi penyakit. Insidensi merupakan
jumlah kasus baru suatu penyakit yang muncul dalam satu periode waktu
dibandingkan dengan unit populasi tertentu dalam periode tertentu. Insidensi
memberitahukan tentang kejadian kasus baru. Prevalensi memberitahukan tentang
derajat penyakit yang berlangsung dalam populasi pada satu titik waktu
(Timmereck, 2001). Dalam hal ini prevalensi setara dengan insidensi dikalikan
dengan rata-rata durasi kasus (Lilienfeld dan Lilienfeld, 2001 dalam Timmereck,
2001).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi. Faktor-faktor
tersebut adalah:
a) Kasus baru yang dijumpai pada populasi sehingga angka insidensi
meningkat.
b) Durasi penyakit.
c) Intervensi dan perlakuan yang mempunyai efek pada prevalensi.
d) Jumlah populasi yang sehat.
2.
Idiopatik
3.
2.2.3 Patogenesis
Kelebihan gula darah memasuki sel glomerulus melalui fasilitasi glucose
transporter (GLUT), terutama GLUT 1, yang mengakibatkan aktivasi beberapa
mekanisme seperti poloy pathway, hexoamine pathway, Protein Kinase C (PKC)
pathway, dan penumpukan zat yang disebut sebagai advanced glycation endproducts (AGEs). Beberapa zat biologis aktif ternyata dapat dijumpai pada
berbagai percobaan, baik in vitro maupun in vivo, yang dapat berperan penting
dalam pertumbuhan sel, diferensiasi sel, dan sintesis bahan matriks ekstraselular.
Diantara zat ini adalah mitogen activated protein kinases (MAPKs), PKC-13
isoform dan extracellular regulated protein kinase (ERK). Ditemukannya zat yang
mampu menghambat aktivitas zat zat tersebut telah terbukti mengurangi akibat
yang timbul, seperti mencegah peningkatan derajat albuminuria dan derajat
kerusakan struktural berupa penumpukan matriks mesangial. Kemungkinan besar
perubahan ini diakibatkan penurunan ekspresi transforming growth factor-f3
(TGF-) dan penurunan extra-cellular matrix (ECM). Peran TGF- dalam
perkembangan nefropati diabetik ini telah ditunjukkan pula oleh berbagai peneliti,
bahwa kadar zat ini meningkat pada ginjal pasien diabetes. Berbagai proses di atas
dipercaya bukan saja berperan dalam terbentuknya nefropati pada pasien DM
akan tetapi juga dalam progresifitasnya menuju tahap lanjutan. (Suwitra, 2006).
2.2.4 Diagnosis dan Gejala Klinis
Gejala klinis DM yang kiasik: mula-mula polifagi, polidipsi, poliuri, dan
berat badan naik (Fase Kompensasi). Apabila keadaan ini tidak segera diobati,
maka akan timbul gejala Fase Dekompensasi (Dekompensasi Pankreas), yang
disebut gejala klasik DM, yaitu poliuria, polidipsi, dan berat badan turun. Ketiga
gejala kiasik tersebut di atas disebut pula TRIAS STNDROM DIABETES
AKUT (poliuri, polidipsi, berat badan menurun) bahkan apabila tidak segera
diobati dapat
(Tjokroprawiro, 2007)
Langkah-langkah diagnostik DM dan TGT Pemeriksaan penyaring perlu
dilakukan pada kelompok tersebut di bawah ini (Committee Report ADA-2 006):
(Tjokroprawiro, 2007)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
bahwa mencapai target ini tidak mudah. Sering harus memakai kombinasi
berbagai jenis obat, dengan berbagai efek samping, dan harga obat yang kadang
sulit dijangkau pasien. Hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah tercapainya
tekanan darah yang ditargetkan, apapun jenis obat yang dipakai. Tetapi karena
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I) dan angiotensin receptor
blocker (ARB) dikenal mempunyai efek antiproteinurik maupun renoproteksi
yang baik, maka obat-obatan ini sebagai awal pengobatan hipertensi pada pasien
DM. (Suwitra, 2006).
c. Pengaturan Diet
Pengaturan diet terutama dalam kerangka manajemen DM tidak
diterangkan dalam judul ini Dalam upaya mengurangi progresivitas nefropati
maka pemberian diet rendah protein sangat penting. Dalam suatu peneliti di klinik
selama 4 tahun pada pasien DM tipe 1 yang diberi diet mengandung protein 0,9
gram/kgBB/hari selama 4 tahun menurunkan risiko terjadinya penyakit ginjal
tahap akhir (PGTA=ESRD) sebanyak 76%. Umumnya dewasa ini disepakati
pemberian diet mengandung protein sebanyak 0,8 gram/kgBB/hari, atau sekitar
10% kebutuhan kalori, pada pasien dengan Nefropati overt, tetapi bila LFG telah
mulai menurun maka pembatasan protein dalam diet menjadi 0,6 gram/kgBB/hari
mungkin bermanfaat
untuk memperlambat
2.3 Hipertensi
2.3.1 Defenisi
Klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC 7 adalah klasifikasi untuk orang
dewasa umur18 tahun. Menurut JNC 7, definisi hipertensi adalah jika
didapatkan TDS 140 mmHg atau TDD 90 mmHg. Penentuan klasifikasi ini
berdasarkan rata-rata 2 kali pengukuran tekanan darah pada posisi duduk.
renal,
hiperaldosteronisme
primer,
dan
sindrom
cushing,
Hipertensi
2.
Merokok
3.
4.
Inaktivitas fisik
5.
Dislipidemia
6.
Diabetes mellitus
7.
8.
9.
menjadi pekat
dan tinggi
osmolalitasnya.
Untuk
Bila terjadi hiperkalemi atau penurunan fungsi ginjal lebih dan 30%,
pemberian obat ini harus dihentikan. Sesuai anjuran dan The Seventh Report of
the Joint National Comm itee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), tahun 2003, tekanan darah sasaran
pada gagal ginjal kronik adalah 130/80 mmHg untuk menahan progresi penurunan
fungsi ginjal, maka tekanan darah diusahakan diturunkan untuk mencapai sasaran
dengan kombinasi obat-obat di atas.
b. Penatalaksanaan non farmakologis ( diet)
Penatalaksanaan non farmakologis (diet) sering sebagai pelengkap
penatalaksanaan farmakologis, selain pemberian obat-obatan antihipertensi perlu
terapi dietetik dan merubah gaya hidup (Yogiantoro, 2006).
Tujuan dari penatalaksanaan diet :
a. Membantu
menurunkan
tekanan
darah
secara
bertahap
dan
2.
LFG < 60 mL/menit/l .73 m2 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Gagal ginjal kronis chronic renal failure (CRF) didefinisikan sebagai nilai
laju filtrasi glomerulus (GFR) yang berada di bawah batas normal selama> 3
bulan. Banyak penyakit dapat menyebabkan gagal ginjal kronis, termasuk
glomerulonefritis (30%), nefritis interstisial dan nefropati refluks (20%), penyakit
ginjal polikistik (10%), diabetes melitus (10%), hipertensi/ penyakit renovaskular
(10%), uropati obstruktif, dan penyakit-penyakit lain yang tidak diketahui (20%).
Insidensi gagal ginjal kronis yang perlu mendapat terapi penggantian ginjal adalah
65-100/1.000.000 populasi/tahun dan 500/1.000.000 pasien menjalani terapi gagal
ginjal stadium akhir (ESRF).(Davey, 2007)
GFR <60 ml/men/1,73 m2 3 bulan diklasifikasikan sebagai PGK tanpa
memperhatikan ada atau tidak adanya kerusakan ginjal oleh karena pada tingkat
GFR tersebut atau lebih rendah, ginjal telah kehilangan fungsinya
50% dan
terdapat komplikasi. Disisi lain adanya kerusakan ginjal tanpa memperhatikan
tingkat GFR juga dikiasifikasikan sebagai PGK. Pada sebagian besar kasus, biopsi
ginjal jarang dilakukan, sehingga kerusakan ginjal didasarkan pada adanya
beberapa petanda seperti proteinuria, kelainan sedimen (hematuria, pyuria dengan
cast), kelainan darah yang patognomonik untuk kelainan ginjal seperti sindroma
tubuler (misalnya asidosis tubuler ginjal, diabetes insipidus nefrogenik), serta
adanya gambaran radiologi yang abnormal misalnya hidronefrosis. Ada
kemungkinan GFR tetap normal atau meningkat, tetapi sudah terdapat kerusakan
ginjal sehingga mempunyai risiko tinggi untuk mengalami 2 keadaan utama akibat
PGK, yaitu hilangnya fungsi ginjal dan terjadinya penyakit kardiovaskuler.
2.4.2. Etiologi
Penyebab paling lazim dari ESRD adalah mayority dari pasien hipertensi,
diabetes mellitus, atau keduanya. Penyebab lainnya adalah glomerulonephritis,
penyakit interstisial, cystic/hereditery/congenital dan yang tidak diketahui
penyebabnya (Fisch, 2000).
Penyakit ginjal primer terbatas pada ginjal dan biasanya hadir dengan
gagal ginjal kronis atau sindrom nefrotik tanpa riwayat penyakit sistemik.
Penyakit non-glomerular seperti uropathy obstruktif, nefritis interstisial primer,
dan nefropati iskemik sering diidentifikasi selama hasil pemeriksaan untuk
hipertensi yang baru ditemukan atau hematuria asimtomatik. Pasien menyajikan
dengan proteinuria atau sindrom nefrotik tapi tanpa bukti infeksi, penyakit
kolagen-vaskular, atau keganasan cenderung memiliki glomerulonefritis idiopatik
(Fisch, 2000).
Hipertensi dan diabetes biasanya hadir untuk setidaknya 10 tahun sebelum
mereka menyebabkan gagal ginjal kronis dengan hipertensi yang mengarah ke
ESRD, hipertensi tidak terkontrol dan dipercepat adalah yang paling sering (Fisch,
2000).
Menurut Markum (2006), Penyebab dari PGK adalah:
- Tekanan darah tinggi (hipertensi)
- Penyumbatan saluran kemih
- Glomerulonefritis
- Kelainan ginjal, misalnya penyakit ginjal polikista
- Diabetes melitus (kencing manis)
- Kelainan autoimun, misalnya lupus eritematosus sistemik.
2.4.3 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas
dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosa etiologi. Klasifikasi
atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan
rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
Tabel 2.3 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat
Penjelasan
LFG
(ml/mnt/1,73m2)
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
90
2
Kerusakan ginjal dengan LFG ringan
60 -89
3
Kerusakan ginjal dengan LFG sedang
30 -59
4
Kerusakan ginjal dengan LFG berat
15 -29
5
Gagal ginjal
< 15 atau dialisis
Sumber : (NKF-KDOQI, 2002)
2. Indikasi lainnya
a. Proteinuria
b. Hematuria
c. Abnormal urinary sedimen
d. Hipertensi
2.2.4. Penatalaksanaan
Tergantung pada gambaran klinis yang khas
1. Anemia
a. PRC / Wash Erythrocyte Transfusion.
b. Rrytnropoetin
c. Supplement Ferro Sulfat & asam folat.
2. Asidosis Metabolik .
a. Na H C03 parenteral
b Na N C03 oral.
3. Sindroma Uremika
a Diet tinggi kalori 30 - 15 k kal/hari.
Rendah protein 3.6 - 0.8 / Kg BB/hari
Rendah fosfat
4. Hipertensi
- Dengan bentuk hipertensi overload diberikan rendah garam.
- Diuretika.
- Dialisa.
5. Neuropati
- Vitamin D
- CaCO3.
- supplemen kalsium
6. Hiperkalemia
- NaHCO3.
- Diet Rendah Kalium
- Exchange Resin.
2.5 Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu prosedur untuk membuang racun atau sisa
metabolisme dari dalam darah dengan mengalirkan darah ke suatu tabung ginjal
buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien
dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput
semipermeabel buatan dengan kompartemen dialisat (Rahardjo et al, 2006).
Keputusan untuk inisiasi hemodialisis terutama berdasarkan parameter
laboratorium yaitu LFG antara 5-8 ml/menit/1,73 m (Sukandar, 2006).
Komplikasi akut hemodialisa adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisa berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung,
gatal, demam dan menggigil. Komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom
disekuilibrium,
reaksi
dialiser,
aritmia,
tamponade
jantung,
perdarahan
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN dan DEFENISI OPERASIONAL
DM
GGK
DM dan Hipertensi
Jenis
kelamin
Penyakit
penyebab
Definisi operasional
Hasil ukur
Skala
a). 20 40 tahun
b). 41 70 tahun
c). 70 tahun
Interval
a). Laki-laki
b). perempuan
Nominal
a). DM
b). Hipertensi
c). DM dan
hipertensi
Nominal