Anda di halaman 1dari 33

TUGAS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DI
RSAL DR. MINTOHARDJO
NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA

Disusun Oleh:
1. Ardina Citra Astuti
2. Chairunnisa
3. David Januardi
4. Dwi Setianingrum
5. Ega Elvira
6. Ervina Bhakti Utami
7. Himatul Millah
8. Humaeroh
9. Mia Sagita Sofyan
10. Suci Widiastuti

(1504026140)
(1504026143)
(1504026145)
(1504026153)
(1504026154)
(1504026159)
(1504026171)
(1504026172)
(1504026194)
(1504026228)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Narkotika dan psikotropika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat
di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan, dan pegembangan ilmu pengetahuan.
Pada sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
dipergunakan tanpa pengendalian, pengawasan secara ketat dan seksama. Zat-zat
narkotika yang semula ditujukan sebagai kepentingan pengobatan. Seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, jenis-jenis narkotika dapat diolah
sedemikian banyak serta dapat pula disalahgunakan fungsinya.
Peningkatan pengawasan dan pengendalian merupakan salah satu bentuk
upaya yang diperlukan untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika, karena kejahatan dibidang ini semakin berkembang
baik dalam segi kualitas maupun kuantitasnya.
Perkembangan kualitas tindak pidanan narkotika tersebut sudah menjadi
ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia, khususnya bagi
generasi muda, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar lagi
dampaknya bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa. Anak merupakan
bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang
merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki
peranan yang strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus,, memerlukan
pembinaan dan perlindungan dalam rangksa menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.
Upaya pemerintah dalam meningkatkan pengawasan dan pengendalian
narkotika dan psikotropika dengan mengeluarkan Peraturan berupa Undangundang maupun Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Untuk
narkotika telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2009 dan telah direvisi kedalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 3 tahun 2015, sedangkan untuk psikotropika telah diatur dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 dan telah direvisi kedalam Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 3 tahun 2015.
Diharapkan dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan republik
Indonesia yang terbaru ini peredaran gelap, pengawasan, dan pengendalian
narkotika dan psikotropika dapat perketat lagi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
1. Narkotika
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun
2009dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015
yang dimaksud dengan Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
2. Psikotropika
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997
yang dimaksud dengan Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun
sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku.
B. Perbedaan
Perundang-undangan yang baru mengenai Narkotika diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009, yang sebelumnya
diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika. Sedangkan perundang-undangan mengenai Psikotropika diatur dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997. Selain itu peraturan
mengenai narkotika dan psikotropika juga diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran,
Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekusor
Farmasi. Di bawah ini merupakan perubahan-perubahan yang terdapat di dalam
perundang-undangan mengenai narkotika dan psikotropika yang lama dengan
perundang-undangan yang baru.
Aspek
Perbedaan
Perluasan Jenis
dan Golongan

Undang-Undang lama
UU RI No. 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika dan UU RI No. 5 Tahun
1997 tentang Psikotropika:
Pada undang-undang

Undang-undang terbaru
UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika:
Pada bagian lampirannya terdapat
65 jenis narkotika golongan I.

terdahulu,jenis golongan untuk


masing-masing Narkotika dan
Psikotropika dipisahkan secara
jelas melalui lampiran jenis
golongan di tiap-tiap undangundang. Hal ini diatur pada pasal 2
ayat (2) UU No. 22 tahun 1997
yang diikuti dengan lampiran untuk
setiap jenis golongannya. Pada
lampiran UU No. 22 tahun 1997
dinyatakan bahwa Narkotika
Golongan I terdiri dari 26 jenis
narkotika.

Pengobatan dan
Rehabilitasi

UU RI No. 22 Tahun 1997:


Dalam hal rehabilitasi,pihak yang
wajib menjalankan rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial hanya
pecandu narkotika.

Penambahan pada jenis Narkotika


Golongan I ini dikarenakan
digabungkannya jenis Psikotropika
Golongan I dan II kedalam kategori
Narkotika Golongan I.

PMK No. 9 tahun 2015 tentang


Perubahan Penggolongan
Psikotropika:
Mengubah Daftar Psikotropika
Golongan IV dalam Lampiran
Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1997 tentang Psikotropika dengan
menambahkan satu jenis Psikotropika
Golongan IV yaitu zolpidem
sehingga Golongan IV Psikotropika
seluruhnya menjadi 61 jenis
psikotropika.
UU RI No. 35 Tahun 2009:
Dalam hal pengobatan, dijelaskan
bahwa untuk kepentingan
pengobatan dan indikasi medis jenis
narkotika yang dapat dimiliki,
disimpan atau dibawa hanyalah
jenis narkotika Golongan II dan
Golongan III saja.
Dalam hal rehabilitasi, menyatakan
bahwa pihak yang wajib
menjalankan rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial antara lain
pecandu narkotika, dan juga
terhadap korban penyalahgunaan.
Kemudian pada pasal 55 ayat (2)
dikatakan bahwa Pecandu
Narkotika yang sudah cukup umur
wajib melaporkan diri atau
dilaporkan oleh keluarganya kepada
pusat kesehatan masyarakat, rumah
sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial yang
ditunjuk oleh Pemerintah untuk
mendapatkan pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.

Pencegahan dan
Pemberantasan

UU RI No. 22 Tahun 1997:


Tidak tercantum

Penyidikan

UU RI No. 22 Tahun 1997:


Peranan Badan Narkotika Nasional
tidak diatur dalam perundangundangan tentang narkotika.
Penyidikan hanya dilakukan
Penyidik Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia dan PPNS
sesuai pasal 65.
Waktu penangkapan, hanya
memberikan waktu 24 jam dalam
menangkap di ikuti perpanjangan
selama 48 jam apabila dalam
pemeriksaan waktu tersebut tidak
mencukupi (pasal 67).
Waktu penyadapan hanya selama
30 hari (pasal 66).

UU RI No. 35 Tahun 2009:


Pasal 64 ayat (1) dikatakan bahwa
dalam rangka pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika, dengan
Undang-Undang ini dibentuk
Badan Narkotika Nasional, yang
selanjutnya disingkat BNN. Tidak
hanya itu, undang-undang ini juga
mengatur mengenai kewenangan
dan kedudukan BNN sampai
dengan di tingkat daerah.
UU RI No. 35 Tahun 2009:
Secara jelas peranan dan
kewenangan dari BNN sebagai
badan Nasional diatur sedemikian
rupa terutama mengenai
kewenangan penyidikan.
Pasal 81 bahwa Penyidik
Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan penyidik BNN
berwenang melakukan penyidikan
terhadap penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika berdasarkan
Undang-Undang ini, ditambah
dengan PPNS tertentu.
Penangkapan dapat dilakukan
selama 3 x 24 jam kemudian dapat
diperpanjang 3 x 24 jam lagi
apabila pemeriksaan dirasa belum
mencukupi.
Penyadapan terkait peredaran
narkotika ini diperpanjang menjadi
3 bulan (90 hari), hal ini diatur pada
pasal 77 ayat (1) yang menyatakan
bahwa Penyadapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 huruf i
dilaksanakan setelah terdapat bukti
permulaan yang cukup dan
dilakukan paling lama 3 (tiga)
bulan terhitung sejak surat

penyadapan diterima penyidik.


Peran Serta
Masyarakat

UU RI No. 22 Tahun 1997:


Pasal 58 dimana pemerintah
memberikan penghargaan kepada
masyarakat yang telah berjasa
dalam mencegah dan memberantas
peredaran gelap narkotika.

UU RI No. 35 Tahun 2009:


Pasal 109 pemerintah juga
memberikan penghargaan kepada
penegak hukum.

C. Penggolongan
1. Penggolongan Narkotika
Penggolongan Narkotika berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
35 Tahun 2009, sebagai berikut:
Sumber/Golonga
n
Narkotika
Golongan I

Undang-Undang RI
No. 22 Tahun 1997

Undang-Undang RI
No. 35 Tahun 2009

Jumlah :

Jumlah terbatas

Jumlah terbatas

Tujuan :

1. Untuk kepentingan
pengembangan Ilmu
Pengetahuan dan
Teknologi, Untuk
reagensia diagnostik,
2. Untuk reagensia
laboratorium setelah
mendapatkan
persetujuan Menteri
atas Rekomendasi
Kepala BPOM

1. Untuk kepentingan
pengembangan Ilmu
Pengetahuan dan
Teknologi, Untuk
reagensia diagnostik,
2. Untuk reagensia
laboratorium setelah
mendapatkan
persetujuan Menteri
atas Rekomendasi
Kepala BPOM

Potensi :

Potensi sangat tinggi


menyebabkan
ketergantungan

Potensi sangat tinggi


menyebabkan
ketergantungan

1. Tanaman Papaver
Somniverum L
2. Opium Mentah

1. Tanaman Papaver
Somniverum L
2. Opium Mentah

Contoh :

3. Opium Masak
4. Tanaman Koka
5. Daun Koka
6. Kokain Mentah
7. Kokaina
8. Tanaman Ganja
9. Heroina
10. Brolamfetamina
11. MDMA
12. Amfetamina
13. Deksamfetamin
14. Metamfetamina
15. Campuran/sediaan
opium obat dengan
bahan lain bukan
narkotika

3. Opium Masak
4. Tanaman Koka
5. Daun Koka
6. Kokain Mentah
7. Kokaina
8. Tanaman Ganja
9. Heroina
10. Brolamfetamina
11. MDMA
12. Amfetamina
13. Deksamfetamin
14. Metamfetamina
15. Campuran/sediaan
opium obat dengan
bahan lain bukan
narkotika

Jumlah Narkotika
golongan I :
Narkotika
Golongan II

26 Jenis

65 Jenis

Jumlah :

Jumlah terbatas

Jumlah terbatas

Tujuan :

Untuk kepentingan
pengobatan sebagai pilihan
terakhir, terapi, dan untuk
tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan

Untuk kepentingan
pengobatan sebagai pilihan
terakhir, terapi, dan untuk
tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan

Potensi:

Potensi tinggi
mengakibatkan
ketergantungan

Potensi tinggi
mengakibatkan
ketergantungan

Contoh :

1. Fentanil
2. Metadona
3. Morfina
4. Petidina
5. Tebain
6. Alfentanil
7. Benzetidin
8. Dekstromoramida
9. Difenoksin
10. Dihidromorfina

1. Fentanil
2. Metadona
3. Morfina
4. Petidina
5. Tebain
6. Alfentanil
7. Benzetidin
8. Dekstromoramida
9. Difenoksin
10. Dihidromorfina

11. Ekgonina
12. Furetidina
13. Hidrokodona
14. Garam-garam dari
Narkotika Golongan
tersebut di atas

11. Ekgonina
12. Furetidina
13. Hidrokodona
14. Garam-garam dari
Narkotika Golongan
tersebut di atas

87 Jenis

86 Jenis

Jumlah :

Jumlah Terbatas

Jumlah Terbatas

Tujuan :

Untuk kepentingan
pengobatan, terapi, dan
untuk tujuan
pengembangan ilmu
pengetahuan

Untuk kepentingan
pengobatan, terapi, dan
untuk tujuan
pengembangan ilmu
pengetahuan

Potensi :

Potensi ringan
mengakibatkan
ketergantungan

Potensi ringan
mengakibatkan
ketergantungan

Contoh :

1. Etilmorfina
2. Kodeina
3. Nikodikodina
4. Nikokodina
5. Norkodeina
6. Polkodina
7. Propiram
8. Buprenorfina
9. Asetildihidrokodeina
10. Dekstropropoksifena
11. Dihidrokodeina
12. Garam-garam dari
narkotika dalam
golongan tersebut
diatas
13. Campuran/sediaan
difenoksin dengan
bahan bukan narkotika
14. Campuran/sediaan
difenoksilat dengan
bahan lain bukan

1. Etilmorfina
2. Kodeina
3. Nikodikodina
4. Nikokodina
5. Norkodeina
6. Polkodina
7. Propiram
8. Buprenorfina
9. Asetildihidrokodeina
10. Dekstropropoksifena
11. Dihidrokodeina
12. Garam-garam dari
narkotika dalam
golongan tersebut
diatas
13. Campuran/sediaan
difenoksin dengan
bahan bukan narkotika
14. Campuran/sediaan
difenoksilat dengan
bahan lain bukan

Jumlah Narkotika
golongan II :
Narkotika
Golongan III

narkotika.

Jumlah Narkotika
golongan III :

14 Jenis

narkotika.

14 Jenis

2. Penggolongan Psikotropika
Penggolongan Psikotropika berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2015, sebagai berikut:
Sumber/Golonga
n
Psikotropika
Golongan I
Tujuan :

Potensi :

Contoh :

Undang-Undang RI
No. 5 Tahun 1997

Peraturan Menteri Kesehatan RI


No. 9 Tahun 2015

1. Untuk kepentingan
pengembangan Ilmu
Pengetahuan
2. Dalam rangka
penelitian, dapat
digunakan untuk
kepentingan medis yang
sangat terbatas dan
dilaksanakan oleh orang
yang diberi wewenang
untuk itu oleh Menteri
3. Tidak digunakan untuk
terapi

1. Untuk kepentingan
pengembangan Ilmu
Pengetahuan
2. Dalam rangka penelitian,
dapat digunakan untuk
kepentingan medis yang
sangat terbatas dan
dilaksanakan oleh orang
yang diberi wewenang
untuk itu oleh Menteri
3. Tidak digunakan untuk
terapi

Potensi sangat kuat


mengakibatkan sindroma
ketergantungan

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Brolamfetamina
Etisiklidina
Etriptamina
Katinona
Lisergida
Mekatinona
Psilosibina
Rlisiklidina

Potensi sangat kuat


mengakibatkan sindroma
ketergantungan

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Brolamfetamina
Etisiklidina
Etriptamina
Katinona
Lisergida
Mekatinona
Psilosibina
Rlisiklidina

9. Tenamfetamina
10. Tenoksilidina

9. Tenamfetamina
10. Tenoksilidina

Jumlah
Psikotropika
golongan I :
Psikotropika
Golongan II

10 Jenis

10 Jenis

Tujuan :

1. Dapat digunakan dalam


terapi,
2. Untuk tujuan ilmu
pengetahuan

1. Dapat digunakan dalam


terapi,
2. Untuk tujuan ilmu
pengetahuan

Potensi:

Potensi kuat mengakibatkan


sindroma ketergantungan

Potensi kuat mengakibatkan


sindroma ketergantungan

Contoh :

Jumlah
Psikotopika
golongan II :
Psikotropika
Golongan III

1. Amfetamina
2. Deksamfetamina
3. Fenetilina
4. Fenmetrazina
5. Fensiklidina
6. Levamfetamina
7. Meklokualon
8. Metamfetamina
9. Metamfetamina rasemat
10. Metakualon
11. Metilfenidat
12. Sekobarbital
13. Zipeprol

1. Amfetamina
2. Deksamfetamina
3. Fenetilina
4. Fenmetrazina
5. Fensiklidina
6. Levamfetamina
7. Meklokualon
8. Metamfetamina
9. Metamfetamina rasemat
10. Metakualon
11. Metilfenidat
12. Sekobarbital
13. Zipeprol

13 Jenis

13 Jenis

Tujuan :

1. Berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan
dalam terapi
2. Untuk tujuan ilmu
pengetahuan

1. Berkhasiat pengobatan dan


banyak digunakan dalam
terapi
2. Untuk tujuan ilmu
pengetahuan

Potensi :

Potensi sedang
mengakibatkan sindroma

Potensi sedang mengakibatkan


sindroma ketergantungan

ketergantungan
Contoh :

Jumlah
Psikotropika
golongan III :
Psikotropika
Golongan IV

Tujuan :

Potensi :

Contoh :

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Amobarbital
Buprenofrina
Butalbital
Flunitrazepam
Glutetimida
Katina
Pentazosina
Pentobarbital
Siklobarbital

9 Jenis

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Amobarbital
Buprenofrina
Butalbital
Flunitrazepam
Glutetimida
Katina
Pentazosina
Pentobarbital
Siklobarbital

9 Jenis

1. Berkhasiat pengobatan
1. Berkhasiat pengobatan dan
dan sangat luas digunakan
sangat luas digunakan dalam
dalam terapi
terapi
2. Untuk tujuan ilmu
2. Untuk tujuan ilmu
pengetahuan
pengetahuan
Potensi ringan
mengakibatkan sindroma
ketergantungan

Potensi ringan mengakibatkan


sindroma ketergantungan

1. Allobarbital
2. Alprazolam
3. Amfepramona
4. Aminorex
5. Barbital
6. Benzefetamina
7. Bromazepam
8. Brotizolam
9. Butabarbital
10. Delorazepam
11. Diazepam
12. Estazolam
13. Etil amfetamina
14. Etil loflazepate
15. Etinamat
16. Etklorvinol
17. Fencamfamina
18. Fendimetrazina
19. Fenobarbital

1. Allobarbital
2. Alprazolam
3. Amfepramona
4. Aminorex
5. Barbital
6. Benzefetamina
7. Bromazepam
8. Brotizolam
9. Butabarbital
10. Delorazepam
11. Diazepam
12. Estazolam
13. Etil amfetamina
14. Etil loflazepate
15. Etinamat
16. Etklorvinol
17. Fencamfamina
18. Fendimetrazina
19. Fenobarbital

20. Fenproporeks
21. Fentermina
22. Fludiazepam
23. Flurazepam
24. Halazepam
25. Haloksazolam
26. Kamazepam
27. Ketazolam
28. Klobazam
29. Kloksazolam
30. Klonazepam
31. Klorazepat
32. Klordiazepoksida
33. Klotiazepam
34. Lefetamina
35. Loprazolam
36. Lorazepam
37. Lormetazepam
38. Mazindol
39. Medazepam
40. Mefenoreks
41. Meprobamat
42. Mesokarb
43. Metilfenobarbital
44. Metiprilon
45. Midazolam
46. Nimetazepam
47. Nitrazepam
48. Nordazepam
49. Oksazepam
50. Oksazolam
51. Pemolina
52. Pinazepam
53. Pipadrol
54. Pirovalerona
55. Prazepam
56. Sekbutabarbital
57. Temazepam
58. Tetrazepam
59. Triazolam
60. Vinilbital

20. Fenproporeks
21. Fentermina
22. Fludiazepam
23. Flurazepam
24. Halazepam
25. Haloksazolam
26. Kamazepam
27. Ketazolam
28. Klobazam
29. Kloksazolam
30. Klonazepam
31. Klorazepat
32. Klordiazepoksida
33. Klotiazepam
34. Lefetamina
35. Loprazolam
36. Lorazepam
37. Lormetazepam
38. Mazindol
39. Medazepam
40. Mefenoreks
41. Meprobamat
42. Mesokarb
43. Metilfenobarbital
44. Metiprilon
45. Midazolam
46. Nimetazepam
47. Nitrazepam
48. Nordazepam
49. Oksazepam
50. Oksazolam
51. Pemolina
52. Pinazepam
53. Pipadrol
54. Pirovalerona
55. Prazepam
56. Sekbutabarbital
57. Temazepam
58. Tetrazepam
59. Triazolam
60. Vinilbital
61. Zolpidem

60 Jenis

61 Jenis

Jumlah
Psikotropika
golongan IV :

D. Penandaan
1. Penandaan Narkotika
Penandaan narkotika berdasarkan peraturan yang terdapat dalam
Ordonasi Obat Bius (Versdoovende Middelen Ordonnantie, Stbl.1927 No.278
jo.No.536) yaitu Palang Medali Merah

Gambar penandaan Narkotika


2. Penandaan Psikotropika
Penandaan mengenai Psikotropika diatur dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 02396/A/SK /lll/86 tentang Tanda Khusus
Obat Keras Daftar G, Pasal 2:
(1) Pada etiket dan bungkus luar obat jadi yang tergolong obat keras harus
dicantumkan secara jelas tanda khusus untuk obat keras.
(2) Ketentuan dimaksud dalam ayat (1) merupakan pelengkap dari keharusan
mencantumkan kalimat "Harus dengan resep dokter" yang ditetapkan dalam
Keputusan Menter Kesehatan No. 197/A/Sl/77 tanggal 15 Maret 1977.
(3) Tanda khusus dapat tidak dicantumkan pada blisters, trip aluminium/selofan,
vial, ampul, tube atau bentuk wadah lain, apabila wadah tersebut dikemas dalam
bungkus luar.
Pada Pasal 3:
(1) Tanda khusus untuk obat keras adalah lingkaran bulat berwarna merah dengan
garis tepi berwarna hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi.

(2) Tanda khusus untuk obat keras dimaksud dalam ayat (1) harus diletakkan
sedemikian rupa sehingga jelas terlihat dan mudah dikenali.
(3) Ukuran lingkaran tanda khusus dimaksud dalam ayat (1) disesuaikan dengan
ukuran dan desain etiket dan bungkus luar yang bersangkutan dengan ukuran
diameter lingkaran terluar, tebal garis tebal dan tebal huruf K yang proporsional,
berturut-turut minimal satu cm, satu mm dan satu mm.
(4) Penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (4) harus mendapatkan
persetujuan khusus dari Menteri Kesehatan cq. Direktur Jenderal Pengawasan
Obat dan Makanan.

Gambar penandaan Psikotropika


E. Penyimpanan
1. Penyimpanan Obat-obat Narkotika dan Psikotropika
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.3 tahun 2015 tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika,
dan Prekusor Farmasi pada Pasal 25 disebutkan bahwa tempat penyimpanan
Narkotika atau Psikotropika dapat berupa gudang, ruangan, atau lemari khusus.
Tempat penyimpanan tersebut dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain
Narkotika atau Psikotropika.
Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika dan Bedagang Besar
Farmasi yang menyalurkan Narkotika harus memiliki tempat penyimpanan
Narkotika berupa gudang khusus, yang terdiri atas: gudang khusus narkotika
dalam bentuk bahan baku, dan gudang khusus narkotika dalam bentuk obat jadi.
Sedangkan untuk Industri Farmasi yang memproduksi Psikotropika dan
Peadagang Besar Farmasi yang menyalurkan Psikotropika harus memiliki tempat
penyimpanan Psikotropika berupa gudang khusus atau ruang khusus, yang terdiri
atas: gudang khusus atau ruang khusus Psikotropika dalam bentuk bahan baku,
dan gudang khusus atau ruang khusus psikotropika dalam bentuk obat jadi.
Gudang khusus dan ruang khusus tersebut di atas harus berada dalam penguasaan
Apoteker penanggung jawab.

Instalasi

Farmasi

Pemerintah

yang

menyimpan

Narkotika

atau

Psikotropika harus memiliki tempat penyimpanan Narkotika atau Psikotropika


berupa ruang khusus atau lemari khusus. Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit,
Puskesmas, Instalasi Farmasi Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan yang
menyimpan Narkotika atau Psikotropika harus memiliki tempat penyimpanan
Narkotika atau Psikotropika berupa lemari khusus. Ruang khusus atau lemari
khusus tersebut di atas harus berada di bawah penguasaan Apoteker penanggung
jawab.
Adapun mengenai persyaratan gudang khusus, ruang khusus, dan lemari
khusus penyimpanan narkotika dan psikotropika diatur dalam pasal 26. Pada ayat
1 disebutkan persyaratan mengenai gudang khusus penyimpanan narkotika dan
psikotropika diantaranya:
Dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang dilengkapi
dengan pintu jeruju besi dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
langit-langit dapat terbuat dari tembok beton atau jeruji besi;
jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi;
gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker
penanggung jawab; dan kunci gudang dikuasai oleh Apoteker penanggung
jawab dan pegawai lain yang dikuasakan.
Pada pasal 26 ayat 2 disebutkan persyaratan mengenai ruang khusus penyimpanan
narkotika dan psikotropika diantaranya:
dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat;
jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi;
mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
kunci ruang khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab/Apoteker
yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan; dan
tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker penanggung
jawab/Apoteker yang ditunjuk.
Pada pasal 26 ayat 3 disebutkan persyaratan mengenai lemari khusus
penyimpanan narkotika dan psikotropika diantaranya:
terbuat dari bahan yang kuat;

tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci yang


berbeda;
harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk Instalasi
Farmasi Pemerintah;
diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum, untuk
Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Instalasi Farmasi
Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan ; dan
kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab/Apoteker
yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.
2. Penyimpanan Resep yang Mengandung Narkotika dan Psikotropika
Penyimpanan resep-resep narkotika maupun psikotropika harus dipisahkan
dari resep lainnya. Adapun ketentuan lain pada penyimpanan resep narkotika dan
psikotropika sama dengan penyimpanan resep lainnya:
Resep yang mengandung narkotika harus diberi tanda garis bawah dengan
tinta merah;
Resep harus disimpan berdasarkan tanggal dan nomor urut penerimaan resep
perhari;
Resep-resep dibuat bundelan perbulan, dimana bundalan tersebut harus
berdasarkan penggolongan obat: 1. Obat narkotika; 2. Obat psikotropika; 3.
Obat bebas + obat bebas terbatas + obat keras;
Lama penyimpanan resep dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun. Setelah 3 tahun,
resep-resep dapat dimusnahkan.
F. Pemusnahan
1. Pemusnahan Obat Narkotika
No
.
1.

Aspek
Syarat
dan tata
cara

Perundangan Lama
UU No. 22 Tahun 1997
Pemusnahan narkotika
dilakukan dalam hal : (pasal 60)
a. diproduksi tanpa memenuhi
standar dan persyaratan yang
berlaku dan tidak dapat
digunakan dalam proses
produksi
b. kadaluarsa
c. tidak memenuhi syarat untuk

Perundangan Baru
PMK NO. 3 Tahun 2015
Terdapat perubahan dan
penambahan dalam prosedur
pemusnahan narkotika , yaitu :
(pasal 37)
a. diproduksi tanpa memenuhi
standar dan persyaratan
yang berlaku dan tidak
dapat diolah kembali,
b. telah kadaluarsa,

digunakan pada pelayanan


kesehatan dan untuk
pengembangan ilmu
pengetahuan
d. berkaitan dengan tindak
pidana.

2.

3.

Pelaksan
a
Pemusna
han

Berita
Acara

a. Pemusnahan narkotika yang


dimaksud Pasal 60 huruf a, b,
dan c dilaksanakan oleh :
Pemerintah,
orang atau badan yang
bertanggung jawab atas
produksi dan peredaran
narkotika,
saran kesehatan tertentu
serta lembaga ilmu
pengetahuan tertentu
b. Disaksikan oleh pejabat yang
ditunjuk Mentri Kesehatan.

c. tidak memenuhi syarat


untuk digunakan pada
pelayanan kesehatan dan
untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, termasuk sisa
penggunaan ,
d. dibatalkan izin edarnya,
e. berhubungan dengan tindak
pidana.
a. Pemusnahan narkotika yang
dimaksud Pasal 37 huruf a
sampai d dilaksanakan oleh :
industri farmasi
PBF
instalasi farmasi
pemerintah
apotek
instalasi farmasi rumah
sakit
instalasi farmasi klink
lembaga ilmu pengetahuan
dokter atau toko obat

c. Pemusnahan narkotika dalam


Pasal 60 huruf d, dilaksanakan
oleh:
Penyidik Pejabat Polisi Negara
RI , Penyidik Pejabat Peegawai
Negeri Sipil, dan Pejabat
Kejaksaan, sesuai dengan
ketentuan perundang
undangan.

b. Pemusnahan narkotika dan


psikotropika yang berada di
Puskesmas harus dikembalikan
kepada Instalasi Farmasi
Pemerintah Daerah setempat.

Pembuatan berita acara memuat:


a. nama, jenis, sifat, dan jumlah
b. keterangan tempat, jam, hari,
tanggal,bulan, dan tahun
dilakukan pemusnahan,
c. tanda tangan dan identitas
lengkap pelaksana dan pejabat
yang menyaksikan pemusnahan

Terdapat penambahan tata cara


pembuatan berita acara
pemusnahan yaitu :
a. nama penanggung jawab
fasilitas produksi/fasilitas
distribusi/fasilitas pelayanan
kefarmasian/pimpinan
lembaga/ dokter praktik

c. Pemusnahan narkotika
dalam Pasal 37 huruf e,
dilaksanakan oleh instansi
pemerintah yang berwenang
sesuai dengan perundang
undangan.

perorangan,
b.nama petugas yang menjadi
saksi dan saksi lain
badan/sarana tersebut,
c. cara pemusnahan.

4.

Tahap
Pemusna
han

2. Pemusnahan Obat Psikotropika

Berita acara pemusnahan


dibuat rangkap 3 dan
tembusannya disampaikan
kepada Direktur Jendral dan
Kepala Badan/Kepala Balai.
Pemusnahan Narkotika :
a. penanggung jawab (sesuai
ketentuan UU)
menyampaikan surat
pemberitahuan dan
permohonan saksi kepada
Badan dan atau Dinas
terkait sesuai ketentuan
UU.
b. Kementerian Kesehatan,
BPOM, Dinas kesehatan
Provinsi dan Kota, serta
Balai Besar menjadi saksi
pemusnahan sesuai dengan
surat permohonan sebagai
saksi,
c. pemusnahan disaksikan
oleh petugas yang telah
ditetapkan,
d. Narkotika dalam bentuk
bahan baku, produk ruahan
dan produk antara
dilakukan sampling untuk
kepentingan pengujian oleh
petugas yang berwenang
sebelum dimusnahkan,
e. Narkotika dalam bentuk
obat jadi dilakukan
pemastian kebenaran secara
organoleptis oleh saksi
sebelum dimusnahkan.

No
.
1.

2.

Aspek

Perundangan Lama
UU No. 5 Tahun 1997
Pemusnahan narkotika
dilakukan dalam hal: (pasal 53)
a. berhubungan dengan tindak
pidana
b. diproduksi tanpa memenuhi
standar dan persyaratan yang
berlaku dan tidak dapat
digunakan dalam proses
produksi psikotropika,
c. kadaluarsa
d. tidak memenuhi syarat untuk
digunakan pada pelayanan
kesehatan dan untuk
pengembangan ilmu
pengetahuan.

Perundangan Baru
PMK NO. 3 Tahun 2015
Syarat
Terdapat perubahan dan
dan tata
penambahan dalam prosedur
cara
pemusnahan psikotropik ,
yaitu: (pasal 37)
a. tanpa memenuhi standar
dan persyaratan yang
berlaku dan tidak dapat
diolah kembali,
b. telah kadaluarsa,
c. tidak memenuhi syarat
untuk digunakan pada
pelayanan kesehatan dan
untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, termasuk sisa
penggunaan ,
d. dibatalkan izin edarnya,
e. berhubungan dengan tindak
pidana.
Pelaksan a. Pemusnahan narkotika yang
a. Pemusnahan psikotropika
a
dimaksud Pasal 53 ayat (1) ,
yang dimaksud Pasal 37 huruf
Pemusna sebagai berikut :
a sampai d dilaksanakan oleh :
han
dilakukan oleh pemerintah,
industri farmasi
khuusus golongan 1, wajib
PBF
dilaksanakan paling lambat 7 instalasi farmasi
hari setelah dilakukan
pemerintah
penyitaan
apotek
pada ayat (1) butir b,c , dan
instalasi farmasi rumah
d dilakukan oleh pemerintah,
sakit
sarana kesehatan, serta
instalasi farmasi klink
lembaga pendidikan atau
lembaga ilmu pengetahuan
lembaga penelitian dengan
dokter atau toko obat
disaksikan oleh pejabat
b. Pemusnahan psikotropika
departemen yang
yang berada di Puskesmas
bertanggung jawab dibidang harus dikembalikan kepada
kesehatan, dalam waktu 7
Instalasi Farmasi Pemerintah
hari setelahh mendapat
Daerah setempat.
kepastian.
c. Pemusnahan psikotropika
dalam Pasal 37 huruf e,
dilaksanakan oleh instansi
pemerintah yang berwenang
sesuai dengan perundang
undangan.

3.

4.

Berita
Acara

Setiap pemusnahan psikotropika, Tata cara pembuatan berita


wajib dibuatkan berita acara.
acara pemusnahan yaitu :
a. hari, tanggal , bulan , dan
tahun pemusnahan,
b. tempat pemusnahan,
c. nama penanggung jawab
fasilitas produksi/fasilitas
distribusi/fasilitas
pelayanan
kefarmasian/pimpinan
lembaga/ dokter praktik
perorangan,
d. nama petugas yang menjadi
saksi dan saksi lain
badan/sarana tersebut,
e. nama dan jumlah
psikotropika yang
dimusnahkan,
f. cara pemusnahan,
g. tanda tangan penanggung
jawab.

Tahap
Pemusna
han

Berita acara pemusnahan


dibuat rangkap 3 dan
tembusannya disampaikan
kepada Direktur Jendral dan
Kepala Badan/Kepala Balai.
Pemusnahan Psikotropika :
a. penanggung jawab (sesuai
ketentuan UU)
menyampaikan surat
pemberitahuan dan
permohonan saksi kepada
Badan dan atau Dinas
terkait sesuai ketentuan
UU.
b. Kementerian Kesehatan,
BPOM, Dinas kesehatan
Provinsi dan Kota, serta
Balai Besar menjadi saksi
pemusnahan sesuai dengan
surat permohonan sebagai
saksi,

c. pemusnahan disaksikan
oleh petugas yang telah
ditetapkan,
d. Psikotropika dalam bentuk
bahan baku, produk ruahan
dan produk antara
dilakukan sampling untuk
kepentingan pengujian oleh
petugas yang berwenang
sebelum dimusnahkan,
e. Psikotropika dalam bentuk
obat jadi dilakukan
pemastian kebenaran secara
organoleptis oleh saksi
sebelum dimusnahkan.

3. Pemusnahan Resep-resep Narkotika dan Psikotropika


Prosedur

tetap

pemusnahan

resep

berdasarkan

SK

Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 dan PERMENKES RI No.35 tahun 2014 tentang


Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek:
1) Resep yang dimusnahkan adalah resep yang telah disimpan melebihi jangka
waktu 5 (lima) tahun
2) Tata cara pemusnahan :
a) Resep narkotika dihitung lembar nya
b) Resep dihancurkan, lalu dikubur atau dibakar
c) Pemusnahan Resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh sekurangkurangnya petugas lain di Apotek yang dibuktikan dengan Berita Acara
Pemusnahan Resep dan selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan
kabupaten/kota.
G. Pemesanan
Peraturan perundang-undangan mengenai pemesanan Narkotika dan
Psikotropika diatur dalam PERMENKES RI Nomor 3 Tahun 2015, Pasal 9:
(1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat
dilakukan berdasarkan:

a. surat pesanan; atau


b. Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) untuk
pesanan dari Puskesmas.
(2) Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat
berlaku untuk masing-masing Narkotika, Psikotropika, atau Prekursor
Farmasi.
(3) Surat pesanan Narkotika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis
Narkotika.
(4) Surat pesanan Psikotropika atau Prekursor Farmasi hanya dapat digunakan
untuk 1 (satu) atau beberapa jenis Psikotropika atau Prekursor Farmasi.
(5) Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) harus
terpisah dari pesanan barang lain.
H. Pelayanan
1. Pelayanan Resep yang Mengandung Narkotika
Narkotika dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan hanya
berdasarkan resep dokter.Untuk salinan resep yang mengandung narkotika
dan resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali,
antara lain:
Apotek dilarang melayani salinan resep yang mengandung narkotika. Untuk
resep narkotika yang baru dilayani sebagian, apotek boleh membuat salinan
resep tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani di apotek yang
menyimpan resep asli.
Salinan resep dari resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh dilayani
sama sekali. Oleh karena itu dokter tidak boleh menambah tulisan iter pada
resep yang mengandung narkotika.

I. Pencatatan
Pencatatan Obat Narkotika
UU RI Nomor 22 Tahun 1997
UU RI Nomor 35 Tahun 2009
Pasal 9

Ayat (3)
Rencana kebutuhan tahunan
Narkotikadisusun berdasarkan data
pencatatan dan pelaporan rencana dan
realisasi produksi tahunan yang diaudit secara
komprehensif dan menjadi pedoman
pengadaan, pengendalian, dan pengawasan
Narkotika secara nasional.
Pencatatan Obat Psikotropika
UU RI Nomor 5 Tahun 1997
Pasal 33
Ayat (1)
Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
Pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesma, balai pengobatan, dokter, lembaga
penelitian dan/atau lembaga pendidikan, wajib membuat dan menyimpan catatan
mengenai kegiatan masing-masing yang berhubungan dengan psikotropika.
Ayat (2)
Menteri melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas pelaksanaan pembuatan
dan penyimpanan catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 34
Pabrik obat, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, puskesmas, lembaga
penelitian dan/atau lembaga pendidikan wajib melaporkan catatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) kepada Menteri secara berkala.
Penjelasan :
Pasal 33
Ayat (1)
Dokter yang melakukan praktik pribadi dan/atau pada sarana kesehatan yang
memberikan pelayanan medis, wajib membuat catatan mengenai kegiatan yang
berhubungan dengan

psikotropika, dan disimpan sesuai dengan ketentuan masa simpan resep, yaitu
tiga tahun.
Catatan mengenai psikotropika di badan usaha sebagaimana diatur pada ayat ini
disimpan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dokumen
pelaporan mengenai psikotropika yang berada di bawah kewenangan departemen
yang bertanggung jawab di bidang kesehatan, disimpan, sekurang-kurangnya
dalam waktu tiga tahun.
Permenkes RI Nomor 3 tahun 2015
Tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi

Pasal 43
Ayat (1)
Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi
Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau dokter praktik
perorangan yang melakukan produksi, Penyaluran, atau Penyerahan Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau
pengeluaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.

Ayat (2)
Toko Obat yang melakukan penyerahan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi wajib
membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Prekursor Farmasi dalam
bentuk obat jadi.

Ayat (3)
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit terdiri atas:
a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi;
b. jumlah persediaan;

c. tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan


d. jumlah yang diterima
e. tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan
d. jumlah yang disalurkan/diserahkan
e. nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran/penyerahan dan
f. paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.

Ayat (3)
Pencatatan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dibuat
sesuai dengan dokumen penerimaan dan dokumen penyaluran termasuk dokumen impor,
dokumen ekspor dan/atau dokumen penyerahan.

Pasal 44
Seluruh dokumen pencatatan, penerimaan, penyaluran, dan/atau dokumen penyerahan
termasuk surat pesanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib disimpan
secara terpisah paling singkat 3 (tiga) tahun.
J. Sistem Pelaporan
UU Kesehatan No. 22 Tahun 1997

UU Kesehatan No. 35 Tahun 2009

Pasal 11
Ayat (2) :
Importir, eksportir, pabrik obat,
pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan
sediaan
farmasi
pemerintah, apotek, rumah sakit,
puskesmas, balai pengobatan, dokter,
dan lembaga ilmu pengetahuan, wajib
membuat,
menyampaikan,
dan
menyimpan laporan berkala mengenai
pemasukan
dan/atau
pengeluaran
narkotika
yang
ada
dalam
penguasaannya.
Ayat (3) :
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara penyimpanan secara khusus
sebagaimana dimaksud dalam ayat(1)
dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata
cara pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan
Menteri Kesehatan.
Ayat (4) :
Pelanggaran terhadap ketentuan
mengenai penyimpanan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan/atau
ketentuan
mengenai
pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dapat dikenakan sanksi administratif
oleh Menteri Kesehatan berupa :
teguran, peringatan, denda administratif,
penghentian sementara kegiatan atau
pencabutan izin.
PENJELASAN :

Ayat (2) :
Kewajiban dokter yang melakukan
praktek pribadi untuk membuat laporan
yang berbentuk catatan mengenai
kegiatan yang berhubungan dengan
narkotika yang sudah melekat pada
rekam medis dandisimpan sesuai
dengan ketentuan masa simpan resep

Pasal 14
Ayat (2) :
Industri Farmasi, pedagang besar
farmasi, sarana penyimpanan sediaan
farmasi
pemerintah,
apotek,
rumahsakit,
pusat
kesehatan
masyarakat, balai pengobatan, dokter,
dan lembaga ilmu pengetahuan wajib
membuat,
menyampaikan,
dan
menyimpan laporan berkalamengenai
pemasukan
dan/atau
pengeluaran
Narkotika
yang
berada
dalam
penguasaannya.
Ayat (4) :
Pelanggaran terhadap ketentuan
mengenai penyimpanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau
ketentuan
mengenai
pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenai sanksi administratif oleh
Menteri atas rekomendasi dari Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan
berupa: teguran, peringatan, denda
administratif, penghentian sementara
kegiatan atau pencabutan izin.
PENJELASAN :

Ayat (2) :
Ketentuan ini memberi kewajiban
bagi dokter yang melakukan praktek
pribadi untuk membuat laporan yang di
dalamnya memuat catatan mengenai
kegiatan yang berhubungan dengan
Narkotika yang sudah melekat pada
rekam medis dan disimpan sesuai
dengan ketentuan masa simpan resep
selama 3 (tiga) tahun.
Dokter yang melakukan praktek pada
sarana kesehatan yang memberikan
pelayanan medis, wajib membuat
laporan mengenai kegiatan yang

selama 3 (tiga) tahun.


Dokter yang melakukan praktekpada
sarana kesehatan yang memberikan
pelayanan medis, wajib membuat
laporanmengenai
kegiatan
yang
berhubungan dengan narkotika, dan
disimpan sesuai denganketentuan masa
simpan resep selama 3 (tiga) tahun.
Catatan mengenai narkotika dibadan
usaha sebagaimana diatur dalam ayat ini
disimpan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dokumen
pelaporan
mengenai
narkotika yang berada di bawah
kewenangan Departemen Kesehatan,
disimpan
sesuaidengan
ketentuan
sekurang-kurangnya dalam waktu 3
(tiga) tahun.
Maksud adanya kewajiban untuk
membuat,
menyimpan,
dan
menyampaikan laporan adalah agar
Pemerintah
setiapwaktu
dapat
mengetahui
tentang
persediaan
narkotika yang ada dalam peredarandan
sekaligus
sebagai
bahan
dalam
penyusunan rencana kebutuhan tahunan
narkotika.

Ayat (4) :
Yang dimaksud denganpelanggaran
termasuk
juga
segala
bentuk
penyimpangan terhadap ketentuan yang
berlaku.
Yang
dimaksud
dengan
"pencabutanizin" adalah izin yang
berkaitan dengan kewenangan untuk

berhubungan dengan Narkotika, dan


disimpan sesuai dengan ketentuan
masa simpan resep selama 3 (tiga)
tahun.
Catatan mengenai Narkotika di
badan usaha sebagaimana diatur pada
ayat ini disimpan sesuai dengan
ketentuan
peraturan
perundangundangan.
Dokumen
pelaporan
mengenai Narkotika yang berada di
bawah kewenangan Badan Pengawas
Obat dan Makanan, disimpan dengan
ketentuan sekurang-kurangnya dalam
waktu 3 (tiga) tahun.
Maksud adanya kewajiban untuk
membuat,
menyimpan,
dan
menyampaikan laporan adalah agar
Pemerintah setiap waktu dapat
mengetahui
tentang
persediaan
Narkotika yang ada di dalam peredaran
dan sekaligus sebagai bahan dalam
penyusunan
rencana
kebutuhan
tahunan Narkotika.

mengelolanarkotika.

UU Kesehatan No. 51 Tahun 1997


Pasal 33
Ayat (1) :
Pabrik Obat, Pedagang Besar Farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
Pemerintah, apotek, Rumah Sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter,
lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan, wajib membuat dan
penyimpanan pencatatan mengenai kegiatan masing-masing yang berhubungan
dengan psikotropika.

Pasal 34
Pabrik obat, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, puskesmas,
lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan wajib melaporkan catatan
kepada Menteri secara berkala.
PENJELASAN :
Ayat (1) :
Dokter yang melakukan praktik pribadi dan/atau pada sarana kesehatan yang
memberikan pelayanan medis, wajib membuat catatan mengenai kegiatan yang
berhubungan dengan psikotropika, dan disimpan sesuai dengan ketentuan masa
simpan resep, yaitu tiga tahun.
Catatan mengenai psikotropika di badan usaha sebagaimana diatur pada ayat
ini disimpan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dokumen pelaporan mengenai psikotropika yang berada dibawah
kewenangan departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan,
disimpan, sekurang-kurangnya dalam waktu tiga tahun.

Ayat (4) :
Cukup jelas

PERMENKES RI No.3 Tahun 2015


Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan Dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika Dan Prekusor Farmasi
Pasal 45

Ayat (1) :
Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan produksi dan
penyaluran produk jadi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi setiap
bulan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala Badan.
Ayat (2) :
PBF yang melakukan penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor
Farmasi dalam bentuk obat jadi wajib membuat, menyimpan, dan
menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi setiap bulan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi dengan tembusan Kepala Badan/Kepala Balai.
Ayat (3) :
Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat wajib membuat, menyimpan, dan
menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan Kepala Badan.
Ayat (4) :
Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah wajib membuat, menyimpan, dan
menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi kepada Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi atau Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Balai
setempat.
Ayat (5) :
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4)
paling sedikit terdiri atas:
a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan/atau

Prekursor Farmasi;
b. jumlah persediaan awal dan akhir bulan;
c. tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan;
d. jumlah yang diterima;
e. tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran;
f. jumlah yang disalurkan; dan
g. nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran dan
persediaan awal dan akhir.
Ayat (6) :
Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga
Ilmu Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib membuat, menyimpan,
dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/penggunaan Narkotika
dan Psikotropika, setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dengan tembusan Kepala Balai setempat.
Ayat (7) :
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling sedikit terdiri atas: a.
nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan/atau
Prekursor Farmasi;
b. jumlah persediaan awal dan akhir bulan;
c. jumlah yang diterima; dan
d. jumlah yang diserahkan.
Ayat (8) :
Puskesmas wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan
pemasukan dan penyerahan/penggunaan Narkotika dan Psikotropika sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (9) :
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dan
ayat (6) dapat menggunakan sistem pelaporan Narkotika, Psikotropika,
dan/atau Prekursor Farmasi secara elektronik.
Ayat (10) :
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dan
ayat (6) disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya.
Ayat (11) :
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi diatur oleh Direktur Jenderal.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 02396/A/SK
/lll/86 tentang Tanda Khusus Obat Keras Daftar G.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015
tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekusor Farmasi.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Penggolongan Psikotropika.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.

Anda mungkin juga menyukai