Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia merupakan salah satu masyarakat dunia yang memiliki
etergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM) sangat tinggi. Baik itu untuk keperluan
rumah tangga, transportasi maupun industri. Sehingga wajar bila negara berusaha keras untuk
memenuhi kebutuhan warga negaranya yang bersifat primer ini dengan memberikan subsidi
terhadap pembelian BBM.
Tahun 2007 hingga 2010 merupakan tahun dimana pemerintah gencar-gencarnya
melakukan sosialisasi penggunanan gas Liquefied Petroleum Gas (LPG/elpiji) bagi konsumsi
rumah tangga dan industri kecil sekaligus membagikan kompor gas beserta tabung gas elpiji
yang berisi 3 kg secara gratis kepada masyarakat. Peraturan presiden republik Indonesia
Nomor 104 tahun 2007 tentang penyediaan, pendistribusian, dan penetapan harga LPG
tabung 3 (tiga) kilogram dan Peraturan Menteri ESDM No. 21 Tahun 2007 tentang
penyelenggaraan penyediaan dan pendistribusian LPG Tabung 3 Kg, menjadi dasar hukum
kebijakan tersebut.
Media massa baik cetak maupun elektronik banyak mengulas tentang konversi
energi ini bahkan hingga sekarang iklan-iklan penggunaan kompor gas yang aman marak
ditemui di media televisi lokal. Untuk mengurangi dampak sosial atas diberlakukannya
program ini, pendistribusian elpiji dilakukan oleh eks Agen dan Pangkalan Minyak Tanah
yang diubah menjadi Agen dan Pangkalan Elpiji 3 Kg.
Program ini ditugaskan kepada Pertamina, berkoordinasi dengan Departemen terkait.
Idealnya, selisih antara pembelian minyak tanah dan elpiji bagi masyarakat dapat
dimafaatkan untuk keperluan lain dalam rangka meningkatkan daya beli, sementara bagi
pemerintah selisih tersebut digunakan untuk pembiayaan lainnya yang lebih bermanfaat.
Adanya kebijakan konversi tersebut salah satunya dipicu oleh beberapa rentetan
kelangkaan minyak tanah di berbagai daerah baik di kota besar maupun di pedesaan. Harga
minyak tanah menjadi melambung karena berbagai hal seperti masalah distribusi,
penimbunan, panik dan sebab-sebab lainnya. Kebijakan pemerintah tentang konversi minyak
tanah ke elpiji merupakan sebuah kebijakan yang cukup tepat.
Hal itu karena cadangan gas di Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan minyak
bumi, meski sebagian besar sudah dikonsesikan pada pihak asing. PT. PERTAMINA

mencatat cadangan minyak tanah dalam minyak bumi Indonesia sangat sedikit dan bila diolah
lebih lanjut dapat menjadi avtur yang bernilai ekonomis lebih tinggi dibandingkan dengan
penjualan minyak tanah secara langsung.
B. Permasalahan
Terjadi permasalahan ketika kebijakan ini diterapkan dimasyarakat, yaitu adanya
kecelakaan-kecelakaan disebabkan meledaknya tabung gas baik itu yang ukuran 3 kg, 12 kg,
dan 50 kg. Tidak lain disebabkan kecerobohan pengguna maupun akibat kebocoran tabung
gas. Permasalahan lebih serius terjadi, LPG sama dengan bahan bakar lainnya seperti
premium, solar, batubara dan lain sebagainya. Kesemuanya merupakan sumber energi yang
tidak dapat diperbaharui dalam waktu singkat, berarti suatu saat akan ada kelangkaan
disebabkan berkurangnya sumber gas dunia.
Dengan adanya konversi minyak tanah ke penggunaan elpiji, ternyata hal ini bukan
solusi bijak dalam mengatasi ketergantungan masyarakat terhadap energi alam yang sulit
untuk diperbaharui . Kemungkinan besar pemerintah suatu saat akan mencari lagi pengganti
LPG ketika harga gas bumi ini naik melebihi harga minyak tanah. Apalagi kebijakan konversi
ini berlangsung singkat, banyak masyarakat terutama masyarakat miskin yang tidak terbiasa
menggunakan bahan bakar gas dipaksa untuk menggunakannya. Terutama bagi mereka yang
bermukim di wilayah pedesaan dan masyarakat perkotaan berusia lanjut.

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Kebijakan Pemeraintah Tentang GAS


Setiap tahunnya pemerintah menganggarkan dana lebih dari Rp 50 Trilyun untuk

mensubsidi BBM: minyak tanah, premium dan solar. Dari ketiga jenis bahan bakar ini,
minyak tanah adalah jenis bahan bakar yang mendapat subsidi terbesar, lebih dari 50%
anggaran subsidi BBM digunakan untuk subsidi minyak tanah. Dari tahun ke tahun anggaran
ini semakin tinggi, karena trend harga minyak dunia yang cenderung meningkat.
Secara teori, pemakaian 1 liter minyak tanah setara dengan pemakaian 0.57 kg elpiji.
Dengan menghitung berdasarkan harga keekonomian minyak tanah dan elpiji, subsidi yang
diberikan untuk pemakaian 0.57 kg elpiji akan lebih kecil daripada subsidi untuk 1 liter
minyak tanah. Secara nasional, jika program konversi minyak tanah ke elpiji berhasil, maka
pemerintah akan dapat menghemat 15-20 Trilyun subsidi BBM per tahun. Manfaat lain yang
dapat diperoleh dari konversi minyak tanah ke elpiji adalah:
1.
2.
3.
4.

Mengurangi kerawanan penyalahgunaan minyak tanah (minyak tanah oplosan)


Mengurangi polusi udara di rumah/dapur
Menghemat waktu memasak dan perawatan alat memasak
Dapat mengalokasikan minyak tanah untuk bahan bakar yang lebih komersil (misalnya

bahan bakar pesawat/avtur)


5. Meningkatkan kualitas hidup masyarakat
Pada tahun 2008, Wakil Presiden (Wapres) RI pada saat itu Yusuf Kalla
(www.kemenkokesra.com) mengatakan program konversi minyak tanah ke gas elpiji ini akan
menguntungkan semua pihak. Pemerintah akan ada penghematan subsidi BBM sebesar Rp 22
triliun rupiah per tahun, sedangkan konsumen atau rakyat akan ada penghematan sebesar Rp
20 s/d Rp 25 ribu per bulan per Kepala Keluarga. Hal itu didapatkan dari hitungan jika
menggunakan minyak tanah satu liter setara dengan 0,4 kg elpiji.
Wapres mengeluarkan hitungan jika penggunaan minyak tanah sebanyak 20 liter
minyak tanah per bulan per KK maka akan setara dengan 2,5 tabung. Dengan asumsi harga
minyak tanah 7 sampai 8 ribu rupiah perliter sedangkan gas 15 ribu rupiah per tabung 3 kg.
Namun, yang sangat tidak tepat adalah kurun waktu program konversi minyak tersebut terlalu
pendek, hanya 4 tahun dan membiarkan orang miskin hidup tanpa subsidi. Apalagi pembelian
gas elpiji tidak sama dengan membeli minyak tanah yang bisa dibeli perliter atau dicicil.

Sedangkan pembelian elpiji harus minimal 3 kg dan tidak bisa dicicil. Akibatnya masyarakat
miskin yang tidak punya uang untuk membeli bahan bakar gas akan bertambah sulit
kehidupannya. Pengalaman di banyak negara, konversi energi memerlukan waktu yang
sangat lama. Misalnya, di Amerika Serikat memerlukan waktu hampir 70 tahun sejak tahun
18501920. Sedangkan konversi energi di Brasil memerlukan waktu selama 44 tahun dari
tahun 19602004 (UN Millenium Project, 2006).
Sehingga melihat begitu lamanya pengalaman negara lain tersebut, maka sudah
sangat pasti kebijakan konversi energi yang dilakukan relatif instan di negeri ini akan kacau
sebagaimana yang telah terjadi akhir-akhir ini. Hal itu karena minyak tanah bersubsidi akan
segera ditarik dari wilayah terkonversi, padahal jaringan distribusi perdagangan elpiji
pengganti belum tersedia maksimal. Sehingga wajar jika penolakan terhadap program
konversi kemudian mencuat di banyak tempat. Belum lagi kecelakaan yang kerap terjadi
akibat penggunaan kompor gas elpiji yang tidak tepat semakin menambah ketakutan
masyarakat dalam melaksanakan kebijakan pemerintah tersebut.
Sebuah persoalan klasik berulang, bukan hanya kali ini saja rakyat kecil
dikecewakan, tetapi hampir tiap program yang ditujukan bagi mereka seperti jaring
pengaman sosial (JPS), bantuan langsung tunai (BLT), dan Askeskin selalu berakhir kelabu
tidak jarang semakin menimbulkan permasalahan baru di negeri ini. Tidak mulusnya program
konversi, lebih karena transisi energi yang melibatkan banyak faktor ternyata oleh pemerintah
dianggap mudah sekadar proses konversi bahan bakar yang dianggapnya dapat tuntas hanya
dengan membagi-bagikan kompor serta tabung gas gratis kepada penduduk miskin.
Harusnya masyarakat miskin bisa meniti ke tangga energi yang lebih modern secara
bertahap dan permanen. Program konversi energi harus simultan dengan kebijakan
pemerintah dalam meningkatkan daya beli masyarakat. Meski orang miskin mau membayar
energi yang mereka konsumsi, kemampuan mereka amat terbatas, bersaing dengan kebutuhan
primer lainnya yang tidak kalah penting.
Sehingga harusnya subsidi atau jaring pengaman sosial tidak bisa serta-merta
dihilangkan ketika mendorong transisi energi. Keberhasilan konversi ke gas elpiji di Brasil
yang mencapai 98 persen pada 2004, salah satunya karena jaringan distribusi gas merata di
seluruh pelosok negeri dengan harga subsidi yang sama di tiap wilayah. Tetapi di Indonesia
berbeda, media televisi lokal (Metro tv program Suara Anda) pernah memberitakan harga
gas elpiji 3 kg bersubsidi berbeda-beda disetiap daerah ada yang Rp. 15 ribu/tabung dan juga
ada yang lebih dari itu.

Penataan kebijakan energi akan sukses manakala mempertimbangkan kompleksitas


persoalan yang dihadapi kaum miskin. Realita menunjukan Indonesia masih kekurangan
pasokan gas untuk menggerakan urbin pembangkit listrik PLN sehingga harus mengimpor
dari negara lain. Adanya kebijakan ini dikawatirkan terjadi kelangkaan elpiji seperti
kelangkaan minyak tanah sebelumnya.
Di tengah ketidakjelasan jaminan pasokan gas tersebut, pemerintah nekat
menggulirkan kebijakannya. Belum lagi soal kesiapan infrastruktur yang mendukung
kebijakan konversi tersebut. Tata niaga dan infrastruktur stasiun pengisian gas elpiji yang
dimiliki Pertamina, baru menjangkau kota-kota besar dan wilayah Indonesia bagian Barat dan
Tengah seperti Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta. Jalur distribusi gas elpiji
Pertamina ini masih terbatas.
Pemerintah perlu menghitung biaya pembangunan infrastruktur untuk daerah yang
belum memiliki jaringan pengisisn gas tersebut. Untuk itu, pemerintah harus lebih matang
dan cermat lagi berhitung, baik hitungan soal harga, distribusi, pasokan elpiji, daya beli
masyarakat serta ongkos sosialnya. Jangan sampai masyarakat terus-menerus dijadikan objek
kebijakan yang tidak tertata baik.
Secara garis besar sebab-sebab terjadinya kelangkaan minyak tanah dan elpiji yang
kerap terjadi dimasyarakat adalah sebagai berikut:
1. Harga minyak bumi dunia naik jauh hingga mencapai 150% yakni mencapai
lebih dari US $ 120 per barrel, hal ini dikarenakan semakin langkanya
persediaan minyak bumi di dunia ini.
2. Karena harga minyak bumi mahal, maka harga minyak hasil pengolahan minyak
bumipun juga meningkat drastis.
3. Pada mulanya minyak tanah disubsidi oleh permerintah untuk rakyat, tetapi oleh
orang-orang kaya yang tidak bertanggung jawab, minyak tanah tersebut di export
ke luar negeri, karena jauhnya beda harga bahan bakar minyak di dalam negeri
dan di luar negeri, dimana harga bahan bakar minyak di dalam negara Indonesia
jauh lebih murah dari harga bahan bakar minyak di luar negara Indonesia.
4. Karena hal tersebutlah, maka pemerintah menarik minyak tanah bersubsidi
tersebut.
5. Dengan ditariknya minyak tanah bersubsidi, maka pemerintah menyediakan
energi penggantinya, yakni elpiji.
6. Indonesia adalah negara pemilik cadangan Gas Alam nomor 1 di dunia.
7. Sejauh ini, penjualan Gas Alam hanyalah ke Jepang dan itupun dalam angka
yang relatif kecil.

8. Kebijakan pemerintah mengganti untuk bahan bakar minyak tanah menjadi gas,
pemerintah menyediakan kompor gas dan tabung gas serta persediaan gas awal
untuk dibagikan kepada masyarakat.
9. Dengan meningkatnya kebutuhan gas (karena beralihnya penggunaan minyak
tanah menjadi pengguna elpiji), pemerintah tidak meningkatkan kemampuan
produksi dan distribusi dari kilang Gas Alam milik pemerintah.
10. Karena kapasitas produksi kilang Gas Alam pemerintah tidak di tambah, padahal
kebutuhan gas dalam hal ini elpiji meningkat dengan sangat pesat, akibatnya
kilang Gas Alam menjadi tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan akan
elpiji dari masyarakat.
11. Karena kilang tidak mampu memproduksi elpiji sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, maka kemudian terjadilah kelangkaan elpiji di masyarakat.
Dari sebab-sebab tersebut diatas muncul persolan lama terulang kembali,
kelangkaan

gas

menyebabkan

penjual

elpiji

menaikan

harga

tanpa

sepengetahuan pemerintah. Hal ini berakibat kerugian dipihak masyarakat,


disamping kesulitan mendapatkan bahan bakar elpiji, masyarakat juga harus
mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli elpiji.
Kesimpulan
Pemerintah kurang siap dalam program pengalihan minyak tanah menjadi penggunaan elpiji,
dimana pemerintah seharusnya terlebih dahulu meningkatkan kapasitas produksi dari Kilang
Gas Alam milik pemerintah, sehingga kelangkaan elpiji tidak akan terjadi. Meskipun secara
hitung-hitungan terjadi penghematan bagi masyarakat sehingga menyebabkan daya beli
masyarakat semakin meningkat, tetapi yang perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah
mencari energi alternatif massal yang mudah diperbaharui dan tidak bergantung kepada
energi

fosil

yang

sulit

diperbaharui

dan

harganya

yang

relatif.

Saran
1. Pemerintah secepatnya meningkatkan kapasitas produksi dari kilang-kilang Gas Alam
milik

pemerintah

untuk

mengatasi

kelangkaan

akan

elpiji.

2. Pemerintah perlu melakukan negosiasi kepada Jepang untuk sementara mengurangi


permintaan akan elpiji demi memenuhi kebutuhan elpiji di dalam negeri sampai pemerintah
selesai membangun kilang-kilang Gas Alam baru yang kapasitasnya sesuai dengan kebutuhan
akan

export

dan

permintaan

di

dalam

negeri.

3. Pemerintah perlu memperpanjang subsidi minyak tanah, jangan terburu-buru ditarik


sehingga tidak menyulitkan masyarakat miskin.

Anda mungkin juga menyukai