Anda di halaman 1dari 28

BAB I

ILUSTRASI KASUS
I.

IDENTITAS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama

: By. Ny. O

Umur

: BBL

Tempat dan tanggal lahir

: Soreang, 7 Mei 2016

Jenis kelamin

: Perempuan

Alamat

: Bobojong 01/11 Buninagara

Masuk RS

: 12 Mei 2016, Jam 22:00 WIB

Tanggal Periksa

: 12 Mei 2016

2. IDENTITAS ORANG TUA PASIEN


AYAH PASIEN
Nama Ayah

: Tn. U

Umur

: 35 tahun

Pendidikan

: SD

Pekerjaan

: Buruh

IBU PASIEN
Nama Ibu

: Ny. O

Umur

: 34 tahun

Pendidikan

: SD

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Hubungan pasien dengan orang tua : anak kandung

II.

ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Bayi terlihat kuning.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Bayi baru lahir di RSUD Soreang pada tanggal 7 Mei 2016, pukul 19:30
WIB secara spontan. Bayi dilahirkan dengan usia kandungan 9 bulan.
Berat lahir: 2.900 gr, PB: 50 cm, jenis kelamin perempuan. Sejak 5 hari
sebelum masuk rumah sakit bayi terlihat kuning seluruh tubuh dan
lemah. Kesadaran composmentis, kejang (-), mencret (+).
3. Riwayat Penyakit Dahulu Pada Ibu
Hipertensi : (-)
DM

: (-)

Riwayat dirawat di RS selama hamil : (-)


4. Riwayat Penyakit Keluarga
5. Riwayat Pribadi

Riwayat Kehamilan
Ibu hamil tunggal. Usia ibu saat hamil adalah 34 tahun. Ibu selalu
memeriksakan kehamilan
pemakaian

obat-obatan

di

bidan secara

ketika

hamil

rutin. Riwayat

disangkal.

Riwayat

mengkonsumsi jamu jamuan disangkal.

Riwayat Persalinan
Pasien lahir secara spontan dengan presentasi kepala, dalam usia
kehamilan 9 bulan. Berat lahir 2.900 gram.

Riwayat Pasca Lahir


Bayi terlihat kuning saat <24 jam.

6. Riwayat Makanan
Diberikan ASI/PASI adlib.
7. Riwayat Imunisasi
Pasien belum imunisasi
8. Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Pasien Anak kedua dari dua bersaudara pasangan Ny. O dan Tn. U yang
bekerja sebagai IRT dan Buruh. Penghasilan Rp. 250.000,- per minggu.
9. PEMERIKSAAN FISIK
(Dilakukan Pada Tanggal 12 Mei 2016)
A. Pemeriksaan Umum
1) Kesadaran

: STATE 5

2) Down Score

:0

3) Tanda Utama
Heart Rate

: 148 x/menit,

Frekuensi Nafas

: 46 x/menit, tipe Abdominal Thoracal

Suhu

: 36,8o C

4) Status gizi
Antropometris :
Berat Badan (BB)

: 2.900 gram

Panjang Badan (PB) : 50 cm


Lingkar Kepala

: 33 cm

Lingkar Dada

: 31 cm

Kepala symphisis

: 26 cm

Simpisis Kaki

: 24 cm

BB/U

: < 1 SD

PB/U

: < 1 SD

BB/PB

: < -1 SD

B. Pemeriksaan khusus
a. Sutura

: Ubun ubun datar


3

b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.

Rambut
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Tenggorokan
Tonsil
Lidah
Gigi
Leher

: Hitam tidak mudah dicabut


: Konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik
: Pinna +/+, Recoil kembali langsung
: Pernapasan cuping hidung (-)
: Perioral cyanosis (-), langit-langit intak
: Sulit dinilai
: Sulit dinilai
: Makroglosia (-)
: Belum erupsi
: KGB tidak teraba membesar.

1. Thoraks
:
a. Pernapasan : Bentuk dan gerak simetris, retraksi
intercostae (-)
b. Pulmo
: Bronkovesikuler sound kanan = kiri,
ronkhi -/-, wheezing -/-, slem -/c. Cor
: Bunyi Jantung I II murni regular,
gallop (-), murmur (-)
2. Abdomen
: datar, lembut, bising
usus (+)
a. Hepar
: Tidak teraba
b. Lien
: Tidak teraba
3. Ekstremitas
: Akral hangat, sianosis (-), capillary
refill time < 3
4. Genital
: perempuan
5.

Neurologi

: reflex moro (+)

reflex rooting (+)

reflex pegang (+)

reflex hisap (+)

reflex babinski (+)

Pemeriksaan

New

Ballad

Score

dan

Maturitas

Fisik

Hasil :

New Ballad Score : 4, 4, 3, 3, 3,3

Maturitas Fisik

: 4, 2, 3, 2, 3, 3

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium 12 Mei 2016
Nilai

Satuan

Normal

Bilirubin Total

20,74

mg/dL

0,1~1,2

Bilirubin Direk
Bilirubin Indirek

0,66
20,08

mg/dL
mg/dL

<= 0,2
<=0,75

DIAGNOSIS KERJA:
Neonatal Hiperbilirubinemia
TATALAKSANA :
ASI Adlib.
Fototerapi.
PROGNOSIS
Quo ad vitam

: ad bonam

Quo ad functionam

: ad bonam

Follow up
Tanggal

Keluhan

Terapi

15 Mei S : Aktif menangis , kuning (+) Kramer II, P:


2016

demam (-), muntah (-), mencret (-). BAB hijau

Fototerapi

14:00

lembek.

ASI Adlib.

O: State: 5 Downscore: 0
HR : 144 x/ menit
RR : 54 x/menit
S

: 36,6 oC

Kepala : Caput sucae (-)


Mata

: CA (-), SI (+)

Hidung : PCH (-)


Mulut : POC (-), Hipersalivasi (-)
Leher

: KGB tidak teraba membesar.

Thoraks : Bentuk dan gerak simetris


Paru

: BVS Ki = Ka,
Rhonki -/-, whezing -/-, slem -/-

Jantung : BJ I II murni reguler murmur (-),


gallop (-).
Abdomen : Datar lembut, Hepar/Lien tidak
teraba membesar. BU (+).
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <3
A: Neonatal Hiperbilirubinemia

Pemeriksaan Laboratorium 15 Mei 2016


Nilai

Satuan

Normal

Bilirubin Total

10,35

mg/dL

0,1~1,2

Bilirubin Direk
Bilirubin Indirek

0,41
9,94

mg/dL
mg/dL

<= 0,2
<=0,75

Tanggal

Keluhan

Terapi

16 Mei S : Aktif menangis , kuning (+) Kramer II, P:


2016

demam (-), muntah (-), mencret (-). BAB kuning

Fototerapi

18:00

kehijauan, ampas (+).

ASI Adlib.

O: State: 5 Downscore: 0
HR : 152 x/ menit
RR : 54 x/menit
S

: 36,7 oC

Kepala : Caput sucae (-)


Mata

: CA (-), SI (+)

Hidung : PCH (-)


Mulut : POC (-), Hipersalivasi (-)
Leher

: KGB tidak teraba membesar.

Thoraks : Bentuk dan gerak simetris


Paru

: BVS Ki = Ka,
Rhonki -/-, whezing -/-, slem -/-

Jantung : BJ I II murni reguler murmur (-),


gallop (-).
Abdomen : Datar lembut, Hepar/Lien tidak
teraba membesar, BU (+).
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <3
A: Neonatal Hiperbilirubinemia

Tanggal

Keluhan

Terapi

10

17 Mei S : Aktif menangis, kuning (+) Kramer I, P:


2016

demam (-), muntah (-), mencret (-). BAB

Fototerapi

09:00

kehijauan lembek.

ASI Adlib.

O: State: 5 Downscore: 0
HR : 110 x/ menit
RR : 46 x/menit
S

: 36,5 oC

Kepala : Caput sucae (-)


Mata

: CA (-), SI (-)

Hidung : PCH (-)


Mulut : POC (-), Hipersalivasi (-)
Leher

: KGB tidak teraba membesar.

Thoraks : Bentuk dan gerak simetris


Paru

: BVS Ki = Ka,
Rhonki -/-, whezing -/-, slem -/-

Jantung : BJ I II murni reguler murmur (-),


gallop (-).
Abdomen : Datar lembut, Hepar/Lien tidak
teraba membesar, BU (+).
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <3
A: Neonatal Hiperbilirubinemia

Tanggal

Keluhan

Terapi

11

18 Mei S : Aktif menangis, kuning (+) Kramer I, P:


2016

demam (-), muntah (-), mencret (-). BAB

Fototerapi

12:00

kehijauan lembek.

ASI Adlib.

O: State: 5 Downscore: 0
HR : 120 x/ menit
RR : 44 x/menit
S

: 36,4 oC

Kepala : Caput sucae (-)


Mata

: CA (-), SI (-)

Hidung : PCH (-)


Mulut : POC (-), Hipersalivasi (-)
Leher

: KGB tidak teraba membesar.

Thoraks : Bentuk dan gerak simetris


Paru

: BVS Ki = Ka,
Rhonki -/-, whezing -/-, slem -/-

Jantung : BJ I II murni reguler murmur (-),


gallop (-).
Abdomen : Datar lembut, Hepar/Lien tidak
teraba membesar, BU (+).
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <3
A: Neonatal Hiperbilirubinemia

Pemeriksaan Laboratorium 18 Mei 2016


Nilai

Satuan

Normal

Bilirubin Total

5,67

mg/dL

0,1~1,2

Bilirubin Direk
Bilirubin Indirek

0,49
5,18

mg/dL
mg/dL

<= 0,2
<=0,75

BAB II
ANALISA KASUS

12

1.
2.
3.
4.

Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?


Apa yang menyebabkan hiperbilirubinemia pada pasien ini?
Apakah tatalaksana pada pasien ini sudah tepat?
Apa kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien ini?

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

13

1. NEONATAL HIPERBILIRUBINEMIA
1.1 DEFINISI
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar
nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2001). Nilai normal bilirubin indirek 0,3
1,1mg/dl, bilirubin direk 0,1 0,4 mg/dl.
Hiperbillirubin ialah suatu keadaan di mana kadar billirubinemia mencapai suatu
nilai yang mempunyai potensi menimbulkan kernikterus kalau tidak ditanggulangi
dengan baik (Prawirohardjo, 1999). Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir)
adalah meningginya kadar bilirubin didalam jaringan ekstravaskuler, sehingga kulit,
konjungtiva, mukosa dan alat tubuhlainnya berwarna kuning (Ngastiyah, 2000).

1.2 ETIOLOGI
Etiologi hiperbilirubin antara lain (Suriadi & Rita, 2001):
1. Peningkatan produksi
a. Hemolisis, misalnya pada inkompalibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan rhesus dan ABO.
b. Perdarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
c. Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang
terdapat pada bayi hipoksia atau asidosis.
d. Defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phostat Dehidrogenase).
e. Kurangnya enzim glukoronil transferase, sehingga kadar bilirubin indirek
meningkat misalnya pada BBLR.
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya
hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya sulfadiazine.
3. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi,
toksoplasmosis, syphilis.
4.

Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ektra hepatik.

5.

Peningkatan sirkulasi enterohepatik, misalnya pada ileus obstruktif.

Faktor risiko hiperbilirubinemia pada neonatus


a. Ras
Orang-orang Asia Timur pada dasarnya memiliki kadar bilirubin lebih tinggi
pada kelahiran dibadingkan dengan ras kulit putih. Variasi etnik ini telah
diketahui dan mutasi genetik berhubungan dengan hiperbilirubinemia pada
14

beberapa kelompok etnik Asia. Pada penelitian yang dilakukan di Washington


terhadap bayi dari orang tua murni Asia Timur, dan bayi dari orang tua campuran
Asia Timur dan kulit putih didapatkan presentase ikterus pada bayi dari orang tua
murni Asia Timur lebih tinggi dibanding dengan ras kulit putih.
b. Diabetes Melitus
Bayi yang dilahirkan dari ibu yang memiliki riwayat diabetes melitus (Infant
of diabetic mothers / IDMs) memiliki faktor risiko yang meningkat untuk terjadinya
hiperbilirubinemia. Hal ini dikarenakan terjadinya pembesaran massa eritrosit,
eritropoesis yang tidak efektif dan immaturitas relatif bilirubin terkonjugasi serta
ekskresi. Massa eritrosit yang lebih besar ditemukan pada IDMs karena memiliki
sumber bilirubin 30% lebih besar dimana bilirubin tersebut harus dikonjugasikan
dan ekskresikan oleh hati. Konjugasi yang tidak efektif oleh enzim glucoroniltransferase menyebabkan meningkatnya konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi. IDMs
memiliki sumber lain bilirubin karena eritropoesis yang tidak efisien. Prekursor
eritrosit mengalami sirkulasi tetapi terperangkap dalam lien dan dikeluarkan.
Pemecahan eritrosit ini menyumbangkan bilirubin tambahan dalam hati.
c.Inkompatibilitas Rhesus
Sangat jarang di Indonesia karna sering terjadi di negara bagian barat karna 15 %
penduduknya memiliki golongan darah rhesus negatif. Bayi Rh positif dari ibu Rh
negatif tidak selamanya menunjukkan gejala-gejala klinik pada waktu lahir. Gejala
klinik yang dapat terlihat adalah ikterus yang timbul pada hari pertama dan semakin
lama semakin berat disertai anemia yang berat pula. Bila sebelum kelahiran terdapat
hemolisis berat maka bayi lahir dengan oedema umum disertai ikterus dan
pembesaran hepar. Terapi yang ditujukan adalah dengan memperbaiki anemia dan
mengeluarkan bilirubin yang berlebih dalam serum agar tak menjadi kern ikterus.
d.Inkompatibilitas ABO
Isoimunisasi ABO biasanya terjadi saat ibu memiliki golongan darah O dan
bayi memiliki golongan darah A atau lebih jarang dijumpai bayi memiliki golongan
darah B. Inkompatibilitas ABO juga diduga melindungi janin dari inkomptabilitas

15

Rh karena antibodi A dan anti-B ibu menghancurkan setiap sel janin yang bocor ke
dalam sirkulasi maternal. Akibat hemoloisis inkompatibilitas golongan darah ABO.
*Penyebab Hiperbilirubinemia pada pasien kemungkinan adalah gangguan
konjugasi hepar, karena didapatkan hasil bilirubin indirek yang sangat meningkat.
*Penyebab karena inkompatibilitas Rhesus atau ABO tidak dapat ditentukan karena
golongan darah ayah dan ibu pasien tidak diketahui. Tetapi hal ini dapat menjadi
salah satu kemungkinan penyebab karena pasien memiliki golongan darah AB.
1.3 KlASIFIKASI
1. Ikterus Fisiologis.
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang
tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi kernicterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang memiliki
karakteristik sebagai berikut (Schwats, 2005):
a. Timbul pada hari kedua - ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus
c.
d.
e.
f.

cukup bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.


Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai hubungan dengan
keadaan patologis tertentu.

Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau hiperbilirubinemia dengan


karakteristik sebagai berikut (Surasmi, 2003) bila:
a. Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
b. Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24 jam.
c. Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus < bulan dan 12,5
mg% pada neonatus cukup bulan.
d. Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G6PD
dan sepsis).
e. Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu, asfiksia,
hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia,
hiperosmolalitas darah.
2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia.

16

Adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai
suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kernikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang
patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila

kadar bilirubin

mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang bulan.
Manifestasi klinik:
Tanda dan gejala yang jelas pada anak yang menderita hiperbilirubin adalah;
1. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.
2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit
hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi.
Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai puncak
pada hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun pada hari ke lima sampai
hari ke tujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis.
3. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang cenderung
tampak kuning terang atau orange, ikterus pada tipe obstruksi (bilirubin direk)
kulit tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat
4.
5.
6.
7.
8.

dilihat pada ikterus yang berat.


Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti dempul
Perut membuncit dan pembesaran pada hati.
Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap.
Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental.
Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus,
kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.

Penilaian Ikterus Menurut Kramer (Dewi, 2012):


Kadar
Daera

Bilirubin

Luas Ikterus

(mg%)

Kepala dan leher

Daerah 1+ badan bagian atas

Daerah 1,2 + badan bagian bawah dan Tungkai

11
17

Daerah 1,2,3 + lengan dan kaki dibawah tungkai

12

Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki

16

Pemeriksaan Diagnostik
1) Laboratorium (Pemeriksan Darah)
a. Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin lebih dari
14 mg/dl dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl merupakan
keadaan yang tidak fisiologis.
b. Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
c. Protein serum total.
2) USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
3) Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan hapatitis dan
atresia billiari.
4) Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi
5) Pemeriksaan kadar enzim G6PD.
6) Pada ikterus yang lama lakukan uji fungsi hati,uji urin terhadap galaktosemia
(Suriadi & Rita, 2001).
*Diagnosis pada pasien sudah tepat karena secara klinis pasien mengalami seluruh
tubuh kuning, sklera ikterik pada 24 jam pertama. Hal ini didukung dengan hasil
Bilirubin total 20,74 mg/dL.

3. Kern Ikterus.
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak
terutama pada korpus striatum, talamus, nucleus subtalamus, hipokampus,
nukleus merah, dan nukleus pada dasar ventrikulus IV. Kern ikterus ialah
ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada neonatus cukup bulan
dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg%) dan disertai penyakit
hemolitik berat dan pada autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak. Kern
ikterus secara klinis berbentuk kelainan syaraf simpatis yang terjadi secara
kronik (Suriadi & Rita, 2001).

18

1.4 METABOLISME BILIRUBIN

Bilirubin adalah pigmen kristal berbentuk jingga ikterus yang merupakan


bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasireduksi. Bilirubin berasal dari katabolisme protein heme, dimana 75% berasal dari
penghancuran eritrosit dan 25% berasal dari penghancuran eritrosit yang imatur dan
protein heme lainnya seperti mioglobin, sitokrom, katalase dan peroksidase.
Metabolisme bilirubin meliputi pembentukan bilirubin, transportasi bilirubin, asupan
bilirubin, konjugasi bilirubin, dan ekskresi bilirubin.
Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase yaitu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel
hati, dan organ lain. Biliverdin yang larut dalam air kemudian akan direduksi
menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan
terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut.
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya
dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bilirubin yang terikat
dengan albumin serum ini tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasikan
ke sel hepar. Bilirubin yang terikat pada albumin bersifat nontoksik.
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit,
albumin akan terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, ditransfer
melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga
19

dengan protein ikatan sitotoksik lainnya. Berkurangnya kapasitas pengambilan


hepatik bilirubin yang tak terkonjugasi akan berpengaruh terhadap pembentukan
ikterus fisiologis.
Bilirubin yang tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi
yang larut dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine
diphosphate

glucoronosyl

transferase

(UDPG-T).

Bilirubin

ini

kemudian

diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin yang


tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi
berikutnya.
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke dalam
kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui
feces. Setelah berada dalam usus halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung
dapat diresorbsi, kecuali dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi
oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin
dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk dikonjugasi disebut sirkulasi
enterohepatik (Syaifuddin, 2000).
Bilirubin pada neonatus
Neonatus akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB per hari, sedangkan
orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB per hari. Produksi bilirubin yang meningkat pada
neonatus disebabkan masa hidup eritrosit neonates lebih pendek (70-90 hari)
dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn
over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang
meningkat (siklus enterohepatik).
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada neonatus yang ditandai
dengan pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak
terkonjugasi yang berlebih. Secara klinis akan tampak pada neonatus bila kadar
bilirubin 5-7 mg/dL. Kadar bilirubin neonatus akan menurun setelah 10-14 hari
kelahiran. Neonatus yang sehat dan yang diidentifikasi tanpa faktor risiko ikterus
patologis memiliki kadar bilirubin serum 12 mg/dL (Syaifuddin, 2000).
1.5. PATOFISIOLOGI
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan
20

bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur


eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya
peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan
protein-Y terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan
anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii
transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis
neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan
jaringan otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek
ini yang memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat
menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus
atau ensefalopati biliaris.
Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya
tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan
neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila
pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia,
hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin
plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat
terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah
apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami
gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu
Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama
ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah
larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak
apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada
otak disebut kernikterus.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin
akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya
21

kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada
keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila
bayi terdapat keadaan BBLR , hipoksia, dan hipoglikemia (AH Markum, 1991).
1.6. KOMPLIKASI
1. Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, retardasi mental,
hiperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinasi otot dan tangisan yang
melengking.
1.7.

PENATALAKSANAAN

1. Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini


(pemberian ASI).
2. Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran, misalnya
sulfa furokolin.
3. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
4. Fenobarbital: Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase yang mana
dapat meningkatkan billirubin konjugasi dan clereance hepatik pigmen dalam
empedu. Fenobarbital tidak begitu sering digunakan.
5. Antibiotik, bila terkait dengan infeksi.
6. Fototerapi: Fototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbillirubin patologis dan berfungsi untuk menurunkan billirubin di kulit melalui tinja dan urine
dengan oksidasi foto pada billirubin dari billiverdin.
Penghentian terapi sinar:
- Bayi cukup bulan bilirubin 12 mg/dL (205 mol/dL)
- Bayi kurang bulan bilirubin 10 mg/dL (171 mol/dL)
7. Transfusi tukar: Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani
dengan foto terapi (Doengoes, et al. 2001).
*Tatalaksana pada pasien ini sudah tepat yaitu dengan diberikan ASI dan fototerapi
selama 3 hari, lalu dilakukan pemeriksaan bilirubin ulang.
*Fototerapi diberikan sampai kadar bilirubin terakhir 5,67 mg/dL.
2. FOTOTERAPI
2.1 PENGERTIAN
22

Fototerapi digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin serum pada


neonatus dengan hiperbilirubinemia jinak hingga moderat. Fototerapi dapat
menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin indirek yang mudah larut di dalam
plasma dan lebih mudah di ekskresi oleh hati ke dalam saluran empedu. Meningkatnya foto bilirubin dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan
empedu ke dalam usus sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih
cepat meninggalkan usus (Budhi & Nike, 2008).
2.2 INDIKASI
Penggunaan fototerapi sesuai anjuran dokter biasanya diberikan pada
neonatus dengan kadar bilirubin indirek lebih dari 10mg % sebelum tranfusi tukar,
atau sesudah transfuse tukar.
2.3 PRINSIP KERJA FOTO TERAPI
Foto terapi dapat memecah bilirubin menjadi dipirol yang tidak toksis dan di
ekskresikan dari tubuh melalui urine dan feses. Cahaya yang dihasilkan oleh terapi
sinar menyebabkan reaksi fotokimia dalam kulit (fotoisomerisasi) yang mengubah
bilirubin tak terkonjugasi ke dalam fotobilirubin dan kemudian di eksresi di dalam
hati kemudian ke empedu, produk akhir reaksi adalah reversible dan di ekresikan ke
dalam empedu tanpa perlu konjugasi. Energy sinar dari foto terapi mengubah
senyawa 4Z-15Z bilirubin menjadi senyawa bentuk 4Z-15E bilirubin yang
merupakan bentuk isomernya yang mudah larut dalam air.
Fototerapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan transfuse pengganti
untuk menurunkan bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas
yang tinggi akan menurunkan bilirubin dalam kulit. Fototerapi menurunkan kadar
bilirubin dengan cara memfasilitasi ekskresi bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini
terjadi jika cahaya yang diabsorpsi jaringan merubah bilirubin tak terkonjugasi
menjadi dua isomer yang disebut fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan
ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah fotobilirubin
berikatan dengan albumin dan di kirim ke hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke
empedu dan di ekskresikan kedalam duodenum untuk di buang bersama feses tanpa
proses konjugasi oleh hati. Hasil fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi
bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.

23

Fototerapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar bilirubin,


tetapi tidak dapat mengubah penyebab kekuningan dan hemolisis dapat menyebabkan anemia.
Secara umum fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4-5 mg/dl.
Noenatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi
dengan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk
memberikan fototerapi profilaksasi pada 24 jam pertama pada bayi resiko tinggi dan
berat badan lahir rendah (Doengoes, et al. 2001).
Tabel Terapi
Berikut tabel yang menggambarkan kapan bayi perlu menjalani fototerapi dan
penanganan medis lainnya, sesuai The American Academy of Pediaatrics (AAP)
tahun 1994:
Bayi lahir cukup bulan (38 42 minggu)
Usia bayi Pertimbangan
(jam)

Terapi sinar

terapi sinar

Transfuse tukar Transfuse tukar


bila terapi sinar dan terapi sinar
intensif gagal

intensif

Kadar bilirubin

Indirek serum

Mg/dl

25 -48

>9

>12

>20

>25

49 72

>12

>15

>25

>30

>72

>15

>17

>25

>30

<24

Bayi lahir kurang bulan perlu fototerapi jika:

Usia (jam)

BL 1500 2000 g kadar BL

>2000

bilirubin

kadar bilirubin

<>

>4

>5

25 48

>7

>8

49 72

>8

> 10

> 72

>9

> 12

24

Transfusi Pengganti
Transfuse pengganti atau imediat didindikasikan adanya faktor-faktor :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.


Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir.
Penyakit hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
Kadar bilirubin direk labih besar 3,5 mg/dl di minggu pertama.
Serum bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl pada 48 jam pertama.
Hemoglobin kurang dari 12 gr/dl.
Bayi pada resiko terjadi kern Ikterus

Transfusi pengganti digunakan untuk:


1. Mengatasi anemia sel darah merah yang tidak susceptible (rentan) terhadap
sel darah merah terhadap antibody maternal.
2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang tersensitisasi (kepekaan).
3. Menghilangkan serum bilirubin.
4. Meningkatkan albumin bebas bilirubin dan meningkatkan keterikatan dangan
bilirubin (Rukiyah & Ai Yeyeh. 2010).

Efek Samping Fototerapi


1. Peningkatan kehilangan cairan yang tidak teratur (insensible water loss) Energi
fototerapi dapat meningkatkan suhu lingkungan dan menyebabkan peningkatan
penguapan melalui kulit, terutama bayi premature atau berat lahir sangat rendah.
Keadaan ini dapat diantisipasi dengan pemberian cairan tambahan.
2. Frekuensi defekasi meningkat.
3. Meningkatnya bilirubin indirek pada usus akan meningkatkan pembentukan
enzim laktase yang dapat meningkatkan peristaltik usus. Pemberian susu dengan
kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare.
4. Timbul kelainan kulit flea bite rash di daerah muka badan dan ekstrimitas.
Kelainan ini akan segera hilang setelah terapi dihentikan. Dilaporkan pada
beberapa terjadi Bronze baby syndrom hal ini terjadi karena tubuh tidak
mampu mengeluarkan dengan segera hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit ini
bersifat sementara dan tidak mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi.
5. Peningkatan suhu: Beberapa neonatus yang mendapat terapi sinar, menunjukkan
kenaikan suhu lingkungan yang meningkat atau gangguan pengaturan suhu
tubuh bayi pada bayi prematur fungsi termostat atau yang belum matang. Pada
keadaan ini fototerapi dapat dilanjutkan dengan mematikan sebagian lampu yang
25

digunakan dan dilakukan pemantauan suhu tubuh neontus dengan jangka waktu
(unterval) yang lebih singkat.
6. Kadang ditemukan kelainan, seperti gangguan minum, lateragi, dan iritabilitas.
Keadaan ini bersifat sementara dan akan hilang dengan sendirinya.
7. Gangguan pada mata dan pertumbuhan: Kelainan retina dan gangguan
pertumbuhan ditemukan pada binatang percoban. Pada neonatus yang mendapat
terapi sinar, gangguan pada retina dan fungsi penglihatan lainnya serta gangguan
tumbuh kembang tidak dapat dibuktikan dan belum ditemukan, walupun
demikian diperlukan kewaspadaan tentang kemungkinan timbulnya keadaan
tersebut (Dewi & Vivian, 2012)

3.PEMBERIAN ASI PADA NEONATAL HIPERBILIRUBIN


Pathologic Jaundice
Dalam kondisi seperti ini, jumlah sel-sel darah merah yang mati melebihi
jumlah rata-rata, sehingga mengakibatkan terbentuknya lebih banyak lagi Bilirubin
atau dalam hal ketidakcocokan golongan darah, kandangkala golongan darah ibu
yang berbeda dapat membentuk antibodi yang justru bersifat menghancurkan sel-sel
darah merah BBL. Sekarang ini, jarang sekali ditemukan kasus Rh incompatibility
(yang biasanya juga disertai oleh permasalahan seputar metabolisme bayi, gagal
jantung dan anemia), yang mungkin lebih sering adalah kasus ketidakcocokan
golongan darah antara ibu dan bayi (Newman & Teresa, 2006).
Selain dilakukan penanganan dan pengobatan penyakit yang menyebabkan
jenis jaundice tersebut, BBL juga harus lebih sering minum ASI, minimal 8-12
kali dalam 24 jam untuk membantu pembuangan Bilirubin melalui BAB bayi.
Kolostrum, yaitu ASI yang pertama kali keluar setelah persalinan dan memang
jumlahnya sangat sedikit sehingga harus sering-sering diberikan, mengandung zat
laksatif, sehingga bayi cenderung lebih sering BAB dan Bilirubin yang terdapat
dalam BAB-nya dapat dikeluarkan (Wahab, Samik, 2012).
Breastfeeding Jaundice, disebabkan karena bayi tidak mendapatkan ASI
yang cukup (bedakan dengan breastmilk jaundice yang bayi mendapatkan cukup
ASI) dan bayi terlambat untuk mulai mendapatkan ASI. Ketika bayi tidak
mendapatkan cukup ASI, maka pergerakan sistem pencernaannya berkurang,
26

sehingga bilirubin tidak banyak dikeluarkan dan menumpuk dalam darah. Bilirubin
seharusnya dikeluarkan bersama feses (kotoran). Ketika Bilirubin yang telah larut
dalam air (water soluble) masuk ke dalam usus untuk dibuang melalui BAB,
ternyata ada sebagian yang akan terserap kembali oleh tubuh setelah oleh dinding
usus diubah lagi komposisinya menjadi larut dalam lemak (fat soluble). Semakin
banyak BAB yang berhasil mengeluarkan Bilirubin, maka akan semakin sedikit
yang terserap kembali oleh tubuh bayi (Mitayani, 2010).
Breastmilk Jaundice. Kondisi ini biasanya timbul setelah bayi berusia
sekitar 1 minggu dan memuncak pada hari ke-10 sampai ke-21, namun dapat
berlangsung selama 2-3 bulan. Selama kurun waktu tersebut, walaupun bayi banyak
minum ASI, pertambahan BB-nya bagus, BAB sering, BAK berwarna bening, bayi
sehat, aktif, lincah dan responsif, namun Bilirubin-nya tetap tinggi dan bayi tetap
kelihatan kuning. Belum diketahui secara pasti apa yang menyebaban kondisi ini,
namun kalangan medis mencurigai bahwa Beta Glucuronidase, suatu zat yang
terdapat dalam ASI mengurangi kemampuan lever bayi untuk mengatasi kadar
Bilirubin dalam tubuhnya. Breastmilk Jaundice adalah normal. Tidak perlu untuk
berhenti menyusui dalam rangka melakukan diagnosa atas kondisi ini. Apabila
bayi dalam kondisi sehat seperti disebutkan di atas, maka tidak ada alasan untuk
berhenti menyusui dan memberikan ASI (Mitayani, 2010).

27

DAFTAR PUSTAKA

AH Markum. 1991. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI.


Brown, et al. 2008. A systematic review of neonatal toxoplasmosis exposure and
sensorineural hearing loss. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology; 73.707711.
Budhi & Nike Subekti. 2008. Buku Saku Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir.
EGC :Jakarta
Dewi & Vivian. 2012. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita.Jakarta : Salemba Medika
Doengoes, et al. 2001. Rencana Perawatan Maternal / Bayi. EGC. Jakarta
Mitayani. 2010. Bayi Baru Lahir dan Penatalaksanaannya. Sumatera: Baduose
Media
Muslihatub & Wafi Nur. 2010. Asuhan neonatus, Bayi dan Balita. Yogyakarta:
Fitramaya
Newman & Teresa Pitman. 2006. The Ultimate Breastfeeding Book of Answers.
Three Rivers Press.
Ngastiyah. 2000. Keperawatan anak sakit, Jakarta : EGC
Prawirohardjo, Sarwono. 1999. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Rukiyah & Ai Yeyeh. 2010. Asuhan neonatus, Bayi dan Balita. Jakarta : Trans Info
Media.
Schwartz, M.William. (2005). Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC
Suriadi & Yuliani. 2001. Asuhan Keperawatan pada Anak. Jakarta: CV sagung Seto.
Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Jakarta: Fajar
Inter Pratama.
Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal
Dan Neonatal.
Wahab, Samik. 2012. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Buku Kedokteran EGC

28

Anda mungkin juga menyukai