Anda di halaman 1dari 8

Dinamika

Vol. 4, No. 3, Januari 2014

ISSN 0854-2172

PENGGUNAAN KONSEP KESEBANGUNAN SEGITIGA


DALAM PEMECAHAN MASALAH
MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NHT
Jamal Abdul Azis

SMP Negeri 2 Ulujami Kab. Pemalang


Abstrak
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui partisipasi aktif siswa dalam diskusi kelompok, kinerja
guru dalam pembelajaran, dan kemampuan siswa menggunakan konsep kesebangunan segitiga
dalam pemecahan masalah. Subjek penelitian adalah siswa kelas IXD Semester 1 SMP Negeri 2
Ulujami Kab. Pemalang tahun pelajaran 2013/2014. Penelitian dilaksanakan dalam 2 siklus. Setiap
siklus terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Pembelajaran dimulai
dengan guru menyampaikan materi kemudian membentuk 8 kelompok diskusi dengan anggota
4 siswa. Siswa mengerjakan LKS dalam diskusi kelompok dan guru memberikan bimbingan
secara proporsional. Melalui undian dipilih siswa yang melakukan presentase. Pada setiap akhir
siklus dilakukan tes formatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah pemberian
tes dan pengamatan. Hasil penelitian pada siklus 1 diperoleh 78,44% siswa berpartisipasi aktif
dalam diskusi kelompok; 81,67% kinerja guru sesuai dengan desain pembelajaran; dan 21 siswa
(65,63%) mencapai KKM. Pada siklus 2 menunjukkan hasil 82,50% siswa berpartisipasi aktif dalam
diskusi kelompok; 86,67% kinerja guru sesuai dengan desain pembelajaran; dan 24 siswa (77,42%)
mencapai KKM yang ditetapkan. Indikator keberhasilan telah terlampaui pada akhir siklus 2.
2014 Dinamika
Kata Kunci: konsep kesebangunan segitiga, pemecahan masalah, model pembelajaran kooperatif
tipe NHT.

PENDAHULUAN
Hasil Ujian Nasional mata pelajaran matematika siswa SMP Negeri 2 dalam kurun waktu
3 tahun terakhir kurang menggembirakan. Secara umum disebabkan karena nilai ulangan harian
rendah termasuk pada materi kesebangunan dan kekongruenan. Hal ini terjadi karena proses
pembelajaran yang berlangsung masih konvensional, belum bermakna dan belum memaksimalkan potensi siswa. Untuk itu guru hendaknya dapat memilih berbagai variasi pendekatan,
strategi, metode, dan model pembelajaran yang dapat mengoptimalkan kemampuan siswa sehingga siswa akan aktif, kreatif, bersemangat, dan enjoy dalam mengikuti pembelajaran, dan salah
satunya adalah dengan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT).
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan: partisipasi aktif siswa dalam diskusi kelompok, kinerja guru
dalam pembelajaran, dan kemampuan siswa menggunakan konsep kesebangunan segitiga dalam
pemecahan masalah?

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS


Menurut Oemar Hamalik (1986: 40) belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat
interaksi dengan lingkungan. Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa

setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Taksonomi Bloom dalam Hasan (1991: 23-27) membagi hasil belajar atas 3 ranah, yaitu kognitif (berpikir), afektif (perasaan, sikap, kepribadian), dan
psikomotor (keterampilan motorik).
Piaget dalam Panitia Sergur (2012: 16-19) mengemukakan bahwa kemampuan kognitif
manusia dari lahir sampai dewasa berkembang menurut 4 tahap, yaitu sensori motor (lahir 2
tahun), pre-operasional (2-7 tahun), operasi konket (7-11 tahun), dan operasi formal (12 tahun
ke atas). Tahap-tahap tersebut berlaku untuk setiap orang meskipun dengan kematangan yang
berbeda. Dengan demikian ada kemungkinan sekalipun anak sudah di SMP, perkembangan kemampuan berpikirnya masih berada pada tahap operasi konkret sehingga pembelajaran yang
menekankan pada simbol-simbol dan hal-hal yang bersifat verbal akan sulit dipahami.
Teori Piaget menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan kemampuan intelektual manusia, seperti:
Kematangan (maturation), yaitu perkembangan otak dan sistem syaraf manusia karena
bertambahnya usia, dari lahir sampai dewasa.
Pengalaman (experience), yang terdiri dari:
1. Pengalaman fisik, yaitu interaksi manusia dengan objek-objek di lingkungannya.
2. Pengalaman logiko-matematis, yaitu kegiatan-kegiatan pikiran yang dilakukan manusia.
3. Transmisi sosial, yaitu interaksi dan kerja sama yang dilakukan antar manusia.
4. Penyeimbangan (equilibration). Setelah terjadi equilibrium seseorang berada pada tingkat
kognitif yang lebih tinggi dari sebelumnya dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya.
5. Pemanfaatan teori Piaget dalam pembelajaran (2012: 20) adalah:
6. Memusatkan pada proses berpikir (proses mental), dan bukan sekedar pada hasilnya.
7. Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif dan keterlibatan aktif siswa dalam kegiatan
pembelajaran.
8. Memaklumi adanya perbedaan intelektual dalam hal kemajuan perkembangan.
Teori konstruktivisme (Panitia Sergur, 2012: 11) menyatakan bahwa siswa harus membangun pengetahuan di dalam benak mereka sendiri. Dalam pembelajaran matematika menganggap
bahwa:
1. Pengetahuan tidak dapat ditranfer tetapi harus dibangun sendiri oleh siswa.
2. Belajar akan lebih efektif apabila siswa berinteraksi dengan orang lain.
3. Belajar menjadi lebih efektif apabila pengetahuan baru dikaitkan dengan pengetahuan yang
sudah dimiliki siswa sebelumnya.
4. Matematika dipandang sebagai kegiatan/aktivitas manusia (human activity).
5. Dalam melaksanakan pembelajaran, guru berperan sebagai fasilitator dan mediator.
Vigotsky dalam Panitia Sergur (2012: 15) memunculkan konsep scaffolding, yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat berupa
petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan,
memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa belajar mandiri.
Aspek yang penting dalam scaffolding adalah menunjukkan pembaharuan dimana kemampuan
siswa meningkat dengan pengetahuan baru sehingga siswa mampu menyelesaikan tugasnya secara mandiri. Tujuan scaffolding menurut Hartman dalam Panita Sergur (2012: 12) adalah for the
students become independented and self regulating learner and problem solver.
Dalam pembelajaran perlu dipilih model yang dapat mengakomodasi teori Piaget, teori
konstruktivisme, dan konsep scaffolding dari Vigotsky adalah dengan model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mencapai tujuan
pembelajaran. Tujuan model pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar akademik siswa meningkat, siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya, dan pengembangan keterampilan sosial.

34

Dinamika
Vol. 4. No. 3. (2014)

Menurut Nur dalam Th. Widyantini (2006: 4), prinsip dasar pembelajaran kooperatif sebagai berikut:
1. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikerjakan dalam
kelompoknya.
2. Setiap anggota kelompok harus mengetahui bahwa semua anggota kelompok mempunyai
tujuan yang sama.
3. Setiap anggota kelompok harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya.
4. Setiap anggota kelompok akan dikenai evaluasi.
5. Setiap anggota kelompok berbagi kepemimpinan dan membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
6. Setiap anggota kelompok akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi
yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Adapun ciri-ciri pembelajaran kooperatif sebagai berikut:
Siswa dalam kelompok secara kooperatif menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi
dasar yang akan dicapai.
Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda (tinggi, sedang, atau rendah). Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda,
dan memperhatikan kesetaraan gender.
Penghargaan lebih menekankan pada kelompok daripada masing-masing individu.
Pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif
yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan akademik. Ibrahim (2000: 29)
mengemukakan 3 tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran kooperatif tipe NHT, yaitu:
Hasil belajar akademik struktural, bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam
tugas-tugas akademik.
Pengakuan adanya keragaman, bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya
yang mempunyai berbagai latar belakang.
Pengembangan keterampilan sosial, bertujuan untuk mengembangkan keterampilan sosial
siswa (seperti: berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan
ide/pendapat, bekerja dalam kelompok, dan sebagainya).
Langkah-langkah penerapan NHT dalam pembelajaran menurut Ibrahim dalam Herdian
(2009) ada 6, yaitu:
Persiapan.
Guru mempersiapkan RPP dan LKS yang sesuai dengan model NHT.
Pembentukan kelompok.
Guru membagi para siswa menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 35 orang
siswa. Guru memberi nomor kepada setiap siswa dalam kelompok dan nama kelompok yang
berbeda. Kelompok yang dibentuk merupakan percampuran yang ditinjau dari latar belakang
sosial, ras, suku, jenis kelamin, dan kemampuan belajar. Selain itu, digunakan nilai tes (pre-test)
sebagai dasar dalam menentukan masing-masing kelompok.
Tiap kelompok harus memiliki buku paket atau buku panduan.
Tiap kelompok harus memiliki buku paket atau buku panduan agar memudahkan siswa
dalam menyelesaikan LKS atau masalah yang diberikan oleh guru.
Diskusi masalah.
Dalam kerja kelompok setiap siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap orang mengetahui jawaban dari pertanyaan yang telah ada dalam LKS. Menyadari perlunya konsep scaffolding dari Vigotsky, maka guru harus melakukan pembimbingan
secara proporsional kepada kelompok/individu yang membutuhkan.
Memanggil nomor anggota atau pemberian jawaban.
Guru menyebut 1 (satu) nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang
PENGGUNAAN KONSEP KESEBANGUNAN SEGITIGA DALAM PEMECAHAN MASALAH
MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NHT
Jamal Abdul Azis

35

sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban kepada siswa di kelas.


Memberi kesimpulan.
Guru bersama siswa menyimpulkan jawaban akhir dari semua pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang disajikan.
Lundgren dalam Ibrahim (2000: 18) mengemukakan beberapa manfaat model pembelajaran kooperatif tipe NHT, antara lain:
Rasa harga diri menjadi lebih tinggi.
Memperbaiki kehadiran.
Penerimaan terhadap individu menjadi lebih besar.
Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil.
Konflik antar pribadi berkurang.
Pemahaman yang lebih mendalam.
Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan, dan toleransi.
Hasil belajar lebih tinggi.
Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah apabila pembelajaran dilaksanakan dengan
model pembelajaran kooperatif tipe NHT pada materi kesebangunan dan kekongruenan akan
dapat meningkatkan: partisipasi aktif siswa dalam diskusi kelompok, kinerja guru dalam pembelajaran, dan kemampuan siswa menggunakan konsep kesebangunan segitiga dalam pemecahan
masalah.

METODE PENELITIAN
Subjek penelitian adalah siswa kelas IXD (14 putra dan 18putri) SMP Negeri 2 Ulujami
semester 1 tahun pelajaran 2013/2014. Dalam penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus
1 Siklus 1
Siklus 1 dilaksanakan dalam 2 kali pertemuan yang masing-masing pertemuan dilaksanakan dalam 2 jam pelajaran. Adapun tahapan pada siklus 1 adalah sebagai berikut:
1.1 Perencanaan, meliputi kegiatan:
1. Menyiapkan skenario pembelajaran.
2. Menyiapkan silabus, materi, dan menyusun RPP
3. Menyiapkan butir soal beserta kunci jawaban untuk LKS
4. Menyiapkan butir soal dan kunci jawaban pre-test sebagai dasar acuan pembentukan
kelompok
5. Menyiapkan undian (menentukan siswa dari kelompok tertentu) untuk menyajikan
presentasi
6. Menyiapkan lembar pengamatan.
7. Menyiapkan lembar catatan anekdotal interaksi guru dan siswa
8. Menyiapkan kisi-kisi, butir soal, dan kunci jawaban tes formatif
1.2 Pelaksanaan, meliputi kegiatan:
1. Melaksanakan pre test
2. Pembentukan kelompok.
3. Guru membagi para siswa menjadi 8 (delapan) kelompok yang beranggotakan 4 (empat) siswa. Guru memberi nomor kepada setiap siswa dalam kelompok dan nama
kelompok yang berbeda. Kelompok yang dibentuk merupakan percampuran yang
ditinjau dari nilai tes (pre-test) latar belakang sosial, ras, suku, jenis kelamin, dan kemampuan belajar.
4. Guru menyampaikan materi kesebangunan dan kekongruena.
5. Guru membagikan LKS
6. Diskusi masalah.
7. Memanggil nomor anggota atau pemberian jawaban.

36

Dinamika
Vol. 4. No. 3. (2014)

1.3 Pengamatan, aspek yang diamati meliputi:


1. Perhatian siswa terhadap penjelasan guru.
2. Aktvitas siswa dalam mengerjakan LKS pada diskusi kelompok.
3. Aktivitas siswa dalam mengambil tanggung jawab kelompok.
4. Kemampuan siswa mengemukakan pendapat
5. Kemampuan siswa memanfaatkan waktu, dan
6. Kinerja guru dalam pembelajaran
1.4 Refleksi, hasil refleksi siklus 1 yang dirasa perlu untuk diperbaiki antara lain:
Ada indikasi siswa kurang bebas berdiskusi dengan lawan jenis (sensitif), maka dalam
pembentukan kelompok diskusi pada siklus 2 agar diupayakan dalam satu kelompok terdapat
gender yang sama (2 putra dan 2 putri). Hal inipun hanya untuk siswa-siswa yang merasa malu
tersebut, jadi bukan untuk setiap kelompok.
Siswa merasa gagap dengan model pembelajaran, untuk itu perlu dijelaskan lagi langkahlangkah model pembelajaran yang diterapkan dan siswa dibekali kembali tentang kemampuan
yang harus dimiliki dalam diskusi kelompok, diantaranya keterampilan bertanya, keterampilan
menyampaikan ide/gagasan, dan kemampuan mengambil tanggung jawab kelompok.
2. Siklus 2
Siklus 2 dilaksanakan dalam 2 kali pertemuan yang masing-masing pertemuan dilaksanakan dalam 2 jam pelajaran. Adapun tahapan pada siklus 2 adalah sebagai berikut:
2.1 Perencanaan, meliputi kegiatan:
1. Menyusun RPP perbaikan
2. Menyempurnakan pembentukan kelompok (beberapa siswa sensitif terhadap lawan
jenis, maka kelompok dibentuk disamping berdasarkan keberagaman tingkat kepandaian, kesetaraan gender, juga diupayakan ada siswa berjenis kelamin sama)
3. Menyempurnakan butir soal.
4. Menyempurnakan instrumen alat evaluasi
2.2 Pelaksanaan, meliputi kegiatan:
1. Menerapkan RPP perbaikan
2. Pembentukan kelompok dengan memperhatikan keragaman kepandaian dan kesetaraan gender yang berimbang (diupayakan ada siswa berjenis kelamin sama)
3. Penggunaan butir soal yang telah disempurnakan pada saat diskusi kelompok
4. Penggunaan instrumen alat evaluasi yang telah disempurnakan pada tes formatif
2.3 Pengamatan, aspek yang diamati meliputi:
1. Menerapkan RPP perbaikan
2. Pembentukan kelompok
3. Penggunaan butir soal yang telah disempurnakan pada saat diskusi kelompok
4. Penggunaan instrumen alat evaluasi yang telah disempurnakan pada tes formatif, dan
5. Kinerja guru dalam pembelajaran
2.4 Refleksi
Hasil penelitian siklus 2 yang berupa hasil tes formatif dan hasil pengamatan dianalisis
secara kolaboratif oleh guru mitra dan peneliti serta dibandingkan dengan indikator keberhasilan yang telah ditetapkan. Semua indikator keberhasilan yang ditetapkan sudah terlampui pada
siklus 2 sehingga penelitian dianggap cukup.
Alat/Instrumen Pengambilan Data
Data diperoleh melalui teknik pengamatan dan tes formatif dengan instrumen berupa:
1. Lembar soal tes formatif
2. Lembar pengamatan, meliputi:
1. Descriptive graphich rating scale (lembar pengamatan partisipasi aktif siswa dalam diskusi
kelompok)
PENGGUNAAN KONSEP KESEBANGUNAN SEGITIGA DALAM PEMECAHAN MASALAH
MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NHT
Jamal Abdul Azis

37

2. Lembar Observasi Kinerja Guru dalam Pembelajaran


3. Catatan Anekdotal Interaksi Guru dan Siswa
Indikator Keberhasilan
Penelitian dikatakan berhasil apabila dalam pembelajaran matematika materi kesebangunan dan kekongruenan melalui model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together
(NHT) menunjukkan:
1. Sekurang-kurangnya skor berpartisipasi aktif siswa dalam diskusi kelompok adalah 80%
2. Sekurang-kurangnya 85% kinerja guru sesuai dengan desain pembelajaran.
3. Sekurang-kurangnya 75% siswa mampu menggunakan konsep kesebangunan segitiga dalam
pemecahan masalah.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Partisipasi Aktif Siswa dalam Diskusi Kelompok
Hasil pengamatan peneliti dan guru mitra terhadap partisipasi aktif siswa dalam diskusi
kelompok dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:
Tabel 1: Rekap Prosentase Partisipasi Aktif Siswa dalam Diskusi Kelompok
No. Aspek yang Diamati
Siklus 1
1.
Perhatian siswa terhadap penjelasan guru
88,28%
2.
Aktivitas siswa dalam mengerjakan LKS
87,50%
3.
Aktivitas siswa dalam mengambil tanggung jawab kelompok 73,44%
4.
Kemampuan siswa mengemukakan pendapat
74,22%
5.
Kemampuan siswa memanfaatkan waktu
68,75%
Prosentase
78,44%

Siklus 2
100%
78,13%
78,13%
77,34%
78,91%
82,50%

Pada akhir siklus 2 skor partisipasi aktif siswa dalam diskusi kelompok mencapai 82,50%
(mengalami kenaikan 4,06%) dan telah melampaui indikator keberhasilan yang ditetapkan, yaitu
sekurang-kurangnya skor berpartisipasi aktif siswa dalam diskusi kelompok adalah 80%. Partisipasi aktif dalam diskusi kelompok mengalami kenaikan karena diadakan perbaikan pada:
Pembentukan kelompok diskusi yang lebih mencerminkan kemampuan siswa dan kesetaraan gender.
Aspek-aspek yang masih lemah seperti aspek aktivitas siswa dalam mengambil tanggung
jawab kelompok, kemampuan siswa mengemukakan pendapat, dan kemampuan siswa memanfaatkan waktu diperbaiki dengan menjelaskan lagi langkah-langkah dan prinsip dasar pembelajaran kooperatif bahwa setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikerjakan dalam kelompoknya dan siswa dibekali kembali tentang kemampuan yang harus dimiliki
dalam diskusi kelompok, diantaranya keterampilan bertanya, keterampilan menyampaikan ide/
gagasan, dan kemampuan mengambil tanggung jawab kelompok.
Kinerja Guru dalam Pembelajaran
Hasil pengamatan guru mitra terhadap kinerja guru dalam pembelajaran dapat dilihat
pada tabel 2 berikut ini:
Tabel 2: Prosentase Kinerja Guru dalam Pembelajaran
No. Aspek yang Dinilai Siklus 1 Siklus 2
1.
Pendahuluan
9
10
2.
Kegiatan inti
30
30
3.
Penutup
10
12

38

Dinamika
Vol. 4. No. 3. (2014)

Jumlah
Prosentase

49
81,67%

52
86,67%

Pada akhir siklus 2 skor kinerja guru dalam pembelajaran mencapai 86,67% (mengalami
kenaikan 5%) dan telah melampaui indikator keberhasilan yang ditetapkan, yaitu sekurangkurangnya 85% kinerja guru sesuai dengan desain pembelajaran. Kinerja guru mengalami kenaikan karena diadakan perbaikan-perbaikan pada penyusunan desain pembelajaran(penentuan
alokasi waktu) dengan lebih mencermati dan menyesuaikan tingkat kedalaman/kesukaran materi dengan tingkat kemampuan siswa dalam pemecahan masalah pada diskusi kelompok.
Dengan penentuan alokasi waktu yang lebih cermat, maka tahapan-tahapan yang direncanakan dalam desain pembelajaran dapat terlaksana dengan baik sehingga kelemahan-kelemahan yang muncul pada siklus 1 seperti memotivasi siswa, memberi kesempatan siswa untuk
mencatat, dan melakukan feed back dapat terlaksana sesuai dengan porsi alokasi waktu yang ditentukan.
Hasil Belajar
Tes formatif siklus 1diikuti oleh 32 siswa sedang tes formatif siklus 2 diikuti oleh 31 siswa
(Nurputeranurdin Sukmanegara tidak masuk tanpa keterangan). Adapun hasil tes formatif tersebut dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini:

Siklus 1

20
0
0
0,00

30
1
30
3,13

40
1
40
3,13

50
1
50
3,13

60
8
480
25,00

70
10
700
31,25

80
8
640
25,00

90
3
270
9,38

100
0
0
0.00

Jml
32
2210

Siklus 2

Tabel 3: Hasil Tes Formatif


Nilai
0
10
Frekuensi
0
0
Jumlah
0
0
Prosentase 0,00 0,00
Pencapaian
65,63%
KKM
Nilai Rata69,06
rata Tes
Frekuensi
0
0
Jumlah
0
0
Prosentase 0,00 0,00
Pencapaian
77,42%
KKM
Nilai Rata77,42
rata Tes

0
0
0,00

0
0
0,00

2
80
6,45

0
0
0,00

5
300
16,13

4
280
12,90

9
720
29,03

8
720
25,81

3
300
9,68

31
2400

Pada akhir siklus 2 nilai rata-rata tes formatif 77,42 (mengalami kenaikan 8,36) dan pencapaian KKM 77,42% (mengalami kenaikan 11,79%), dimana KKM yang ditetapkan 70. Jumlah
siswa yang mencapai KKM bertambah 3 orang (dari 21 menjadi 24 siswa). Pencapaian KKM
mengalami kenaikan karena adanya perbaikan pada desain pembelajaran, perbaikan pembentukan anggota kelompok, dan siswa lebih menguasai pra syarat yang diperlukan dalam diskusi
kelompok. Indikator keberhasilan yang ditetapkan yaitu sekurang-kurangnya 75% siswa mampu
menggunakan konsep kesebangunan segitiga dalam pemecahan masalah telah terlampaui pada
akhir siklus 2.

PENUTUP
Pembelajaran materi penggunaan konsep kesebangunan segitiga dalam pemecahan
masalah melalui pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan: partisipasi aktif siswa
dalam diskusi kelompok, kinerja guru dalam pembelajaran, dan hasil belajar siswa. Untuk itu
PENGGUNAAN KONSEP KESEBANGUNAN SEGITIGA DALAM PEMECAHAN MASALAH
MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NHT
Jamal Abdul Azis

39

100

100

disarankan agar model pembelajaran kooperatif tipe NHT tersebut dapat dipergunakan dalam
pembelajaran materi penggunaan konsep kesebangunan segitiga dalam pemecahan masalah
pada kelas yang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Hasan, 1991. Evaluasi Belajar. Depdikbud: Jakarta.
Herdian, 2009. Model Pembelajaran NHT (Numbered Head Together). Diakses tanggal 3 Maret 2013 dari
http://herdy07.wordpress.com.
Kemendiknas, 2011 2013. Daftar Kolektif Hasil Ujian Nasional SMP Negeri 2 Ulujami Kabupaten Pemalang
Propinsi Jawa Tengah. (Tidak dipublikasikan)
M. Ibrahim, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. University Press: Surabaya.
Oemar Hamalik, 1986. Media Pendidikan. Alumni: Bandung.
Panitia Sertifikasi Guru Rayon 112, 2012. Bahan Ajar Sertifikasi Guru Matematika SMP/MTs, UNNES: Semarang.
Th. Widyantini. 2006. Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Koope-ratif. Depdiknas PPPG
Matematika: Yogyakarta.

40

Dinamika
Vol. 4. No. 3. (2014)

Anda mungkin juga menyukai