Anda di halaman 1dari 12

Penatalaksanaan

BPH
Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya
akan menyebabkan penderita datang kepada dokter. Organisasi
kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk
menentukan berat gangguan miksi yang disebut International
Prostate Symptom Score (IPSS). Skor ini berdasarkan jawaban
penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Nilai IPSS
diantara 0 7 termasuk ringan pada umumnya tidak ada terapi
hanya watchful & waitingdan dilakukan kontrol sahaja. Nilai IPSS
diantara 8 18 derajat sedang dilakukan terapi medikamentosa,
sedangkan nilai 19 35 termasuk derajat berat diperlukan operasi
prostatektomi terbuka (Open Prostatectomy) atau operasi reseksi
transuretral (Transurethral Resection of the Prostate) 1. Intervensi
bedah diindikasikan setelah terapi medis gagal atau terdapat BPH
dengan komplikasi, seperti retensi urin rekuren, gross hematuria
rekuren, batu vesika urinaria rekuren, infeksi saluran kemih yang
rekuren dan insufisiensi renal rekuren2.
Reseksi transuretral prostat atau Transurethral Resection of the
Prostate(TURP) adalah gold standard dalam perawatan bedah
untuk BPH dengan LUTS yang tidak berespon pada pengobatan
konservatif. TURP mengurangi LUTS juga mengurangi skor IPSS
dalam 94,7% kasus-kasus klinis BPH dan meningkatkan kualitas
hidup pasien dengan BPH.2.Terdapat beberapa pilihan tindakan
terapi didalam penatalaksanaan hiperplasia prostat benigna yang
dapat dibagi kedalam 4 macam golongan tindakan, yaitu observasi
(watchful & waiting), medikamentosa, tindakan operatif dan
tindakan invasif minimal.
1. Observasi (Watchful waiting)
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan
medik.Kadang-kadang mereka yang mengeluh pada saluran kemih
bagian bawah (LUTS) ringan dapat sembuh sendiri dengan
observasi ketat tanpa mendapatkan terapi apapun. Tetapi diantara
mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa
atau tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah 3.
2.Medikamentosa

a.Antagonis reseptor adrenergik-


Pengobatan dengan antagonis adrenergik bertujuan menghambat
kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus
leher buli-buli dan uretra. Fenoksibenzamine adalah obat antagonis
adrenergik- non selektif yang pertama kali diketahui mampu
memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi.
Namun obat ini tidak disenangi oleh pasien karena menyebabkan
komplikasi sistemik yang tidak diharapkan, di antaranya adalah
hipotensi postural dan menyebabkan penyulit lain pada sistem
kardiovaskuler3. Diketemukannya obat antagonis adrenergik 1
dapat mengurangi penyulit sistemik yang diakibatkan oleh efek
hambatan pada 2 dari fenoksibenzamin. Beberapa golongan obat
antagonis adrenergik 1 yang selektif mempunyai durasi obat yang
pendek (short acting) di antaranya adalah prazosin yang diberikan
dua kali sehari, dan long acting yaitu, terazosin, doksazosin, dan
tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari. Dibandingkan
dengan plasebo, antagonis adrenergik-a terbukti dapat
memperbaiki gejala BPH, menurunkan keluhan BPH
yang mengganggu, meningkatkan kualitas hidup atau quality of life
(Qol), dan meningkatkan pancaran urine. Perbaikan gejala meliputi
keluhan iritatif maupun keluhan obstruktif sudah dirasakan sejak 48
jam setelah pemberian obat. Golongan obat ini dapat diberikan
dalam jangka waktu lama dan belum ada bukti-bukti terjadinya
intoleransi sampai pemberian 6-12 bulan4.
Dibandingkan dengan inhibitor 5 reduktase, golongan antagonis
adrenergik- lebih efektif dalam memperbaiki gejala miksi yang
ditunjukkan dalam peningkatan skor IPSS, dan laju pancaran urine.
Dibuktikan pula bahwa pemberian kombinasi antagonis adrenergik dengan finasteride tidak berbeda jika dibandingkan dengan
pemberian antagonis adrenergik- saja. Sebelum pemberian
antagonis adrenergik- tidak perlu memperhatikan ukuran prostat
serta memperhatikan kadar PSA; lain halnya dengan sebelum
pemberian inhibitor 5- reductase 4.
Berbagai jenis antagonis adrenergik a menunjukkan efek yang
hamper sama dalam memperbaiki gejala BPH. Meskipun
mempunyai efektifitas yang hampir sama, namun masing-masing
mempunyai tolerabilitas dan efek terhadap sistem kardiovaskuler
yang berbeda. Efek terhadap sistem kardiovaskuler terlihat sebagai
hipotensi postural, dizzines, dan asthenia yang seringkali

menyebabkan pasien menghentikan pengobatan3. Doksazosin dan


terazosin yang pada mulanya adalah suatu obat antihipertensi
terbukti dapat memperbaiki gejala BPH dan menurunkan tekanan
darah pasien BPH dengan hipertensi. Sebanyak 5-20% pasien
mengeluh dizziness setelah pemberian doksazosin maupun
terazosin, < 5% setelah pemberian tamsulosin, dan 3-10% setelah
pemberian plasebo. Hipotensi postural terjadi pada 2-8% setelah
pemberian doksazosin atau terazosin dan kurang lebih 1% setelah
pemberian tamsulosin atau plasebo5.
Dapat
dipahami
bahwa
penyulit
terhadap
sistem
kardiovaskuler tidak tampak nyata pada tamsulosin karena obat ini
merupakan antagonis adrenergik yang superselektif, yaitu hanya
bekerja pada reseptor adrenergik-1A. Penyulit lain yang dapat
timbul adalah ejakulasi retrograd yang dilaporkan banyak terjadi
setelah pemakaian tamsulosin, yaitu 4,5-10% dibandingkan dengan
plasebo 0-1%13,32. Lepor (2007) menyebutkan bahwa efektifitas
obat golongan antagonis adrenergik- tergantung pada dosis yang
diberikan, yaitu makin tinggi dosis, efek yang diinginkan makin
nyata, namun disamping itu komplikasi yang timbul pada sistem
kardiovaskuler semakin besar. Untuk itu sebelum dilakukan terapi
jangka panjang, dosis obat yang akan diberikan harus disesuaikan
dahulu dengan cara meningkat-kannya secara perlahan-lahan
(titrasi) sehingga diperoleh dosis yang aman dan efektif. Dikatakan
bahwa salah satu kelebihan dari golongan antagonis adrenergik1A (tamsulosin) adalah tidak perlu melakukan titrasi seperti
golongan obat yang lain. Tamsulosin masih tetap aman dan efektif
walaupun diberikan hingga 6 tahun.
b. Inhibitor 5 a-redukstase
Finasteride adalah obat inhibitor 5- reduktase pertama yang
dipakai untuk mengobati BPH. Obat ini bekerja dengan cara
menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari
testosteron, yang dikatalisis oleh enzim 5 -redukstase di dalam
sel-sel prostat. Beberapa uji klinik menunjukkan bahwa obat ini
mampu menurunkan ukuran prostat hingga 20-30%, meningkatkan
skor gejala sampai 15% atau skor AUA hingga 3 poin, dan
meningkatkan pancaan urine. Efek maksimum finasteride dapat
terlihat setelah 6 bulan. Pada penelitian yang dilakukan oleh
McConnell et al tentang efek finasteride terhadap pasien BPH

bergejala, didapatkan bahwa pemberian finasteride 5 mg per hari


selama 4 tahun ternyata mampu menurunkan volume prostat,
meningkatkan pancaran urine, menurunkan kejadian retensi urine
akut, dan menekan kemungkinan tindakan pembedahan hingga
50%35. Finasteride digunakan bila volume prostat >40 cm3. Efek
samping yang terjadi pada pemberian finasteride ini minimal, di
antaranya dapat terjadi impotensia, penurunan libido, ginekomastia,
atau timbul bercak-bercak kemerahan di kulit. Finasteride dapat
menurunkan kadar PSA sampai 50% dari harga yang semestinya
sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat. Bila
respon dari pengobatan ini baik maka ini merupakan indikator untuk
masuk kedalam tahap perawatan Watch and wait.
c.Fitoterapi
Kelompok kemoterapi pada umumnya telah mempunyai informasi
farmakokinetik dan farmakodinamik terstandar secara konvensional
dan universal. Kelompok obat ini juga disebut dengan obat
modern. Tidak semua penyakit dapat diobati secara tuntas dengan
kemoterapi ini. Sehingga diperlukan terapi komplementer atau
alternatif. Kelompok terapi ini disebut Fitoterapi dan disebut
demikian karena berasal dari tumbuhan3.
Bahan aktifnya belum diketahui dengan pasti, masih memerlukan
penelitian yang panjang.Namun secara empirik, manfaat sudah
lama tercatat dan semakin diakui.Diantara sekian banyak fitoterapi
yang sudah masuk pasaran, diantaranya yang terkenal adalah
Serenoa repens atau Saw Palmetto dan Pumpkin seeds yang
digunakan untuk pengobatan BPH. Keduanya, terutama Serenoa
repens semakin diterima pemakaiannya dalam upaya pengendalian
prosatisme BPH dalam kontek watchfull waiting strategy 3. Saw
Palmetto Berry (SPB) yang disebut juga Serenoa repens adalah
suatu obat tradisional India..Mekanisme kerja obat ini belum dapat
dipastikan tetapi diduga kuat ia menghambat aktifitas enzim 5 alpha
reduktase an memblokir reseptor androgen atau bersifat anti
inflamasi dan anti udem dengan cara menghambat aktifitas enzim
cycloxygenase dan 5 lipoxygenase.
Pumpkin seeds atau disebut juga Cucurbitae peponis semen
mempunyai testimoni empirik tradisional bahan ini telah digunakan
di Jerman dan Austria sejak abad 16 untuk gangguan urinoir dan
belakangan ini ekstraknya dipakai untuk mengatasi gejala yang

berhubungan dengan BPH didalam konteks farmakoterapi maupun


uji klinis kombinasi dengan ekstraks Serenoa repens. Penelitian di
Jerman melakukan studi terhadap preparat yang mengandung
komponen utama beta-sitosterol dengan sedikit campuran
campesterot dan stigmasterol untuk mengobati hiperplasia prostat.
Hasilnya, terjadi perbaikan seperti halnya terapi menggunakan
penghambat reseptor alpha dan 5-alpha reduktase, tetapi dengan
efek samping yang lebih minimal. Walaupun mekanisme kerja dari
preparat campuran fitosterol ini belum dapat dibuktikan, penelitian
terus dikembangkan untuk keperluan di masa depan.
2. Tindakan operatif
Tindakan opertaif terbagi kepada dua iaitu, prostatektomi terbuka,
contohnya seperti Retropubic infravesica (Terence Millin),
Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer), dan Transperineal dan
prostatektomi endourologi seperti Transurethral resection (TURP),
Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP), dan Pembedahan
dengan laser (Laser prostatectomy). Tujuan terapi pada pasien
hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada leher bulibuli.
a.Transurethral resection (TURP)
Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi
hamper seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan
perifer ditinggalkan bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman,
efektif dan berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi retrograd dan pada
sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh
pasien yang sungguh membutuhkan tindakan bedah. Untuk
keperluan tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna untuk
membedakan pasien dengan obstruksi dari pasien nonobstruksi 6.

Transurethral resection of prostate (TURP)8


Evaluasi ini berperan selektif dalam penentuan perlu tidaknya
dilakukan TURP. Suatu penelitian menyebutkan bahwa hasil
obyektif TURP meningkat dari 72% menjadi 88% dengan
mengikutsertakan evaluasi urodinamik pada penilaian pra-bedah
dari 152 pasien. Mortalitas TURP sekitar 1% dan morbiditas sekitar
8%. Saat ini tindakan TURP merupakan tindakan operasi paling
banyak dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat
dilakukan trans-uretra dengan mempergunakan cairan irigan
(pembilas) agar supaya daerah yang akan direseksi tetap terang
dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah
berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak terjadi
hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan
harganya cukup murah adalah H2O steril (aquades) 3,6.

b.Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)


Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif,
tetapi ukuran prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia
prostat yang tidak begitu besar dan pada pasien yang umurnya
masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau incisi leher
buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi
ini juga dilakukan secara endoskopik yaitu dengan menyayat
memakai alat seperti yang dipakai pada TURP tetapi memakai alat
pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai dari
dekat muara ureter sampai dekat ke verumontanum dan harus
cukup dalam sampai tampak kapsul prostat 3.
c. Pembedahan dengan laser (Laser prostatectomy)

Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TURP) untuk


mengangkat prostat yang membesar merupakan operasi yang
berdarah, sedang pengobatan dengan TUMT dan TURF belum
dapat memberikan hasil yang sebaik dengan operasi maka dicoba
cara operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan.
Penggunaan laser untuk operasi prostat pertamakali diusulkan oleh
Sander (1984). Untuk mengobati carcinoma prostat yang masih
lokal dengan memakai Nd YAG (Neodymium, Yttrium Aluminium
Garnet)7 Solid state Nd YAG ini pertamakali diperkenalkan tahun
1964 tapi baru tahun 1975 baru dicoba dibidang urologi untuk
mengablasi tumor buli superficial (Hoffstetter). PcPhee menulis
mengenai penggunaan YAG laser untuk photo irradiasisegmental
pada mukosa buli7. Nd YAG mempunyai panjang gelombang 1064
nm sehingga gelombang ini tidak banyak diserap oleh air seperti
laser CO2 dan mempunyai sifat divergensi tetapi masih mempunyai
daya penetrasi yang cukup dalam. Apabila laser Nd YAG ini
mengenai jaringan prostat energinya akan berubah menjadi energi
termal yang dapat menguapkan jaringan dengan Nd YAG tanpa
kontak dengan jaringan mempunyai efek laser maksimal pada
kedalaman 3mm dibawa mukosa dan efek termal dapat mencapai
100C sehingga pada kekuatan 4060 watts akan menyebabkan
koagulasi pada kedalaman 3mm sehingga akan terjadi letusan kecil
yang disebut pop corn effect) 7. Waktu yang diperlukan untuk
melaser prostat biasanya sekitar 2-4 menit untuk masing-masing
lobus prostat (lobus lateralis kanan, kiri dan medius). Pada waktu
ablasi akan ditemukan pop corn effect sehingga tampak melalui
sistoskop terjadi ablasi pada permukaan prostat, sehingga uretra
pars prostatika akan segera akan menjadi lebih lebar, yang
kemudian masih akan diikuti efek ablasi ikutan yang akan
menyebabkan laser nekrosis lebih dalam setelah 4-24 minggu
sehingga hasil akhir nanti akan terjadi rongga didalam prostat
menyerupai rongga yang terjadi sehabis TURP.
3. Tindakan Invasif Minimal
a. Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)
Cara memanaskan prostat sampai 44,5C47C ini mulai
diperkenalkan dalam tiga tahun terakhir ini. Dikatakan dengan

memanaskan kelenjar periuretral yang membesar ini dengan


gelombang mikro (microwave) yaitu dengan gelombang ultarasonik
atau gelombang radio kapasitif akan terjadi vakuolisasi dan
nekrosis jaringan prostat, selain itu juga akan menurunkan tonus
otot polos dan kapsul prostat sehingga tekanan uretra menurun
sehingga obstruksi berkurang. Prinsip cara ini ialah memasang
kateter semacam Foley dimana proximal dari balon dipasang
antene pemanas yang baru dipanaskan dengan gelombang mikro
melalui kabel kecil yang berada didalam kateter. Pemanasan
dilakukan antara 1-3 jam. Dengan cara pengobatan ini dengan
mempergunakan alat THERMEX II diperoleh hasil perbaikan kirakira 70-80% pada symptom obyektif dan kira-kira 50-60% perbaikan
pada flow rate maksimal. Mekanisme yang pasti mengenai efek
pemanasan prostat ini belum semuanya jelas, salah satu teori yang
masih harus dibuktikan ialah bahwa dengan pemanasan akan
terjadi perusakan pada reseptor alpha yang berada pada leher
vesika dan prostat. Cara kerja TUMT ialah antene yang berada
pada kateter dapat memancarkan microwave kedalam jaringan
prostat. Oleh karena temperature pada antene akan tinggi maka
perlu dilengkapi dengan surface costing agar tidak merusak
mucosa ureter. Dengan proses pendindingan ini memang mucosa
tidak rusak tetapi penetrasi juga berkurang 8.
b. Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)
Dilatasi uretra pars prostatika dengan balon ini mula-mula
dikerjakan dengan jalan melakukan commisurotomi prostat pada
jam 12.00 dengan jalan melalui operasi terbuka (transvesikal).
Konsep dilatasi dengan balon ini ialah mengusahakan agar uretra
pars prostatika menjadi lebar melalui mekanisme prostat di tekan
menjadi dehidrasi sehingga lumen uretra melebar, kapsul prostat
diregangkan, tonus otot polos prostat dihilangkan dengan
penekanan tersebut dan reseptor alpha adrenergic pada leher
vesika dan uretra pars prostatika dirusak 3,8.
c. Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)
Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi untuk
menghasilkan ablasi termal pada prostat. Cara ini mempunyai
prospek yang baik guna mencapai tujuan untuk menghasilkan
prosedur dengan perdarahan minimal, tidak invasif dan mekanisme
ejakulasi dapat dipertahankan 9

d. Stent Urethra
Pada hakekatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra,
hanya saja kateter tersebut dipasang pada uretra pars prostatika.
Bentuk stent ada yang spiral dibuat dari logam bercampur emas
yang dipasang diujung kateter (Prostacath). Stents ini digunakan
sebagai protesis indwelling permanen yang ditempatkan dengan
bantuan
endoskopi
atau
bimbingan
pencitraan.
Untuk
memasangnya, panjang uretra pars prostatika diukur dengan USG
dan kemudian dipilih alat yang panjangnya sesuai, lalu alat tersebut
dimasukkan dengan kateter pendorong dan bila letak sudah benar
di uretra pars prostatika maka spiral tersebut dapat dilepas dari
kateter pendorong. Pemasangan stent ini merupakan cara
mengatasi obstruksi infravesikal yang juga kurang invasif, yang
merupakan alternatif sementara apabila kondisi penderita belum
memungkinkan untuk mendapatkan terapi yang lebih invasif.
Bentuk lain ialah adanya mesh dari logam yang juga dipasang di
uretra pars prostatika dengan kateter pendorong dan kemudian
didilatasi dengan balon sampai mesh logam tersebut melekat pada
dinding uretra 3
Pengawasan Berkala BPH
Semua pasien BPH setelah mendapatkan terapi atau petunjuk
watchful waiting perlu mendapatkan pengawasan berkala (follow
up) untuk mengetahui hasil terapi serta perjalanan penyakitnya
sehingga mungkin perlu dilakukan pemilihan terapi lain atau
dilakukan terapi ulang jika dijumpai adanya kegagalan dari terapi
itu. Secara rutin dilakukan pemeriksaan IPSS, uroflometri, atau
pengukuran volume residu urine pasca miksi. Pasien yang
menjalani tindakan intervensi perlu dilakukan pemeriksaan kultur
urine untuk melihat kemungkinan penyulit infeksi saluran kemih
akibat tindakan itu 10
Diagnosa banding
Kondisi obstruksi saluran kemih bawah, yang menyebabkan resistensi uretra meningkat
disebabkan oleh penyakit seperti hyperplasia prostat jinak atau ganas, atau kelainan yang
menyumbatkan uretra seperti uretralitiasis, urethritis akut atau kronik, striktur urethra, atau
kekakuan leher kandung kemih yang mengalami fibrosis, batu saluran kemih, prostatitis akut

atau kronis dan carcinoma prostat merupakan antara diagnosa banding apabila mendiagnosa
pasien BPH. Kandung kemih neuropati, yang disebabkan oleh kelainan neurologik, neuropati
perifer, diabetes mellitus, dan alkoholisme menjadi antara diagnose banding BPH. Obstruksi
fungsional seperti disenergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi
detrusor dengan relaksasi sfingter juga merupakan diagnose banding BPH 11.

komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat menimbulkan
komplikasi sebagai berikut 11,12:
1. Inkontinensia
2. Batu Kandung Kemih
3. Hematuria
4. Sistitis
5. Pielonefritis
6. Retensi Urin Akut Atau Kronik
7. Refluks Vesiko-Ureter Gagal Ginjal

Prognosis
Prognosis BPH berubah-ubah dan tidak bisa diprediksi tiap individu. BPH yang tidak diterapi
akan menunjukkan efek samping yang merugikan pasien itu sendiri seperti retensi urin,
insufisiensi ginjal, infeksi saluran kemih yang berulang, dan hematuria 11.

1.

Singodimedjo, P. 2000. International-Prostate Symptom Score sebagai Cara untuk


Menentukan Derajat Hiperplasia Prostat Jinak dan Menilai Keberhasilan Tindakan
Operasi Prostatektomi. Kumpulan Makalah Karya Ilmiah. Jogjakarta

2.

Bozdar, R. H., Memon, R. S., Paryani, P. J., 2010. Outcome Of Transurethral


Resection of Prostate in Clinical Benign Prostatic Hyperplasia. J Ayub Med Coll
Abbottabad.

3.

Presti, J. C., 2008. Smiths General Urology. 17th ed. McGraw-Hill Companies

4.

Marks, L. S., 2004. 5-Reductase: History & Clinical Importance. Reviews in


Urology, Volume 6

5.

Lepor, H. 2007. Alpha Blockers for the Treatment of Benign Prostatic Hyperplsia.
Reviews in Urology, Volume 9

6.

Rahardjo, D., Birowo, P., Pakasi, L. S., 1999. Correlations between Prostate Volume,
PSA and Age in the BPH Petients. Medical Journal of Indonesia, Volume 8.

7.

Roehrborn, C. G., 2012 Benign Prostate Hyperplasia. In: Campbell-Walsh Urology.


10th ed. Elsevier Inc

8.

Loughlin, K. R., et al., 2011. Benign Prostate Hyperplasia. Available from:


http://www.harvardprostateknowledge.org/harvard-experts-discuss-surgical- optionsfor-benign-prostatic-hyperplasia

9.

Muruve, N. A., et al., 2012. Transurethral Needle Ablation of the Prostate (TUNA),
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/449477-overview

10.

Homma, Y. et al. 2011. Outline of JUA Clinical Guidelines For Benign Prostatic
Hyperplasia. Japanese Urological Association.

11.

Deters, L. A., 2014. Benign Prostate Hypertrophy, Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/437359-overview#aw2aab6b2b4

12.

Andriole, G. L., 2011. Benign Prostate Disease, In : The Merck Manual. 19th ed. New
York: Elsevier Inc.

Anda mungkin juga menyukai