Anda di halaman 1dari 10

2.

2 Anemia Pada GGK


2.2.1 Pengertian
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah
,kuantitas hemoglobin, dan volume packed red cells (hematokrit) per 100 ml darah. Anemia
bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang
mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan
konfirmasi laboratorium.
Anemia merupakan satu dari gejala klinik pada gagal ginjal. Anemia pada GGK
muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh, dan
hal ini menjadi lebih parah dengan semakian memburuknya fungsi ekskresi ginjal. Terdapat
variasi hematokrit pada pasien penurunan fungsi ginjal.
Kadar nilai hematokrit dan klirens kreatinin memiliki hubungan yang kuat. Kadar
hematokrit biasanya menurun, saat kreatinin klirens menurun sampai kurang dari 30-35 ml
per menit. Anemia pada gagal ginjal merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada
faktor lain yang memperberat seperti defisiensi besi (menjadi gambaran hipokrom mikrositer)
yang terjadi pada gagal ginjal. Anemia ini bersifat hiporegeneratif. Jumlah retikulosit yang
nilai hematokrit nya dikoreksi menjadi normal, tidak adekuat.
2.2.2 Patogenesis
Terdapat 3 mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada gagal ginjal,
yaitu : hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat, dan penghambatan respon dari
sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin. Proses sekunder yang memperberat dapat terjadi
seperti intoksikasi aluminium
Hemolisis
Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada
pasien hemodialisis kronik, masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr
menunjukkan variasi dari sel darah merah normal yang hidup tetapi ratarata waktu hidup berkurang 25-30%. Efek faktor yang terkandung pada
uremic plasma pada Na-ATPase membran dan enzim dari Pentosa phospat
shunt pada eritrosit diperkirakan merupkan mekanisme yang
menyebabkan terjadinya hemolisis.
Kelainan fungsi dari Pentosa phospat shunt mengurangi
ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena itu mengartikan
kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb dengan proses hemolisisis.
Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari luar
masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan. Peningkatan kadar
hormon PTH pada darah akibat sekunder hiperparatioidsm juga
menyebabkan penurunan sel darah merah yang hidup pada uremia, sejak
PTH yang utuh atau normal terminal fragmen meningkatkan kerapuhan
osmotik dari SDM manusia secara in vitro, kemungkinan oleh karena
peningkatan kerapuhan seluler. Hyperparatiroidism dapat menekan
produksi sel darah merah melalui 2 mekanisme.yang pertama, efek
langsung penekanan sumsum tulang akibat peningkatan kadar PTH, telah

banyak dibuktikan melalui percobaan pada hewan. Yang kedua, efek


langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi respon sumsum tulang
terhadap eritropoetin asing. Terdapat laporan penelitian yang menyatakan
adanya peningkatan Hb setelah dilakukan paratiroidektomi pada pasien
dengan uremia. Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan
rigiditas eritrosit yang mengakibatkan hemolisis pada gagal ginjal adalah
penurunan fosfat intraseluler (hypofosfatemia) akibat pengobatan yang
berlebihan dengan pengikat fosfat oral, dengan penurunan intracellular
adenine nucleotides dan 2,3- diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis dapat
timbul akibat kompliksaidari prosedur dialisis atau dari interinsik
imunologi dan kelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk
menyiapkan dialisat dan kesalahan teknik selama proses rekonstitusi
dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang hidup, bahkan terjadi
hemolisis.
Filter karbon bebas kloramin yang tidak adekuat akibat saturasi filter dan ukuran
filter yang tidak mencukupi, dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin pemhambatan
hexose monophosphate shunt, dan hemolisis kronik. Lisisnya sel juga dapat disebabkan
tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat, atau formaldehide. Autoimun dan kelainan biokomia
dapat menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit. Hipersplenism merupakan gejala sisa
akibat transfusi, yang distimulasi oleh pembentukan antibodi, fibrosis sumsum tulang,
penyakit reumatologi, penyakit hati kronis dapat mengurangi sel darah merah yang hidup
sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal terminal. Ada beberapa mekanisme lainnya
yang jarang , yang dapat menyebabkan hemolisis seperti kelebihan besi pada darah, Zn, dan
formaldehid, atau karena pemanasan berlebih. Perburukan hemolisis pada gagal ginjal juga
dapat disebabkan karena proses patologik lainnya seperti splenomegali atau mikroangiopati
yang berhubungan dengan periarteritis nodosa, SLE, dan hipertensi maligna.
Defisiensi Eritropoetin
Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain yang
memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon eritropoesis mencukupi
tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu.
Alasan yang paling utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi eritropoetin
pada pasien dengan gagal ginjal yang berat. Produksi eritropoetin yang inadekuat ini
merupakan akibat kerusakan yang progresif dari bagian ginjal yang memproduksi
eritropoetin. Peran penting defisiensi eritropoetin pada patogenesis anemia pada gagal ginjal
dilihat dari semakin beratnya derajat anemia. Selanjutnya pada penelitian terdahulu
menggunakan teknik bio-assay menunjukkan bahwa dalam perbandingan dengan pasien
anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan penyakit ginjal menunjukkan
peningkatan konsentrasi serum eritropoetin yang tidak adekuat. Inflamasi kronik,
menurunkan produksi sel darah merah dengan efek tambahan terjadi defisiensi erotropoetin.
Proses inflamasi seperti glomerulonefritis, penyakit reumatologi, dan pielonefritis
kronik, yang biasanya merupakan akibat pada gagal ginjal terminal, pasien dialisis terancam
inflamasi yang timbul akibat efek imunosupresif.

Defisiensi eretropoetin merupakan penyebab utama anemia pada GGK. Dalam


keadaan normal 90% eritropoetin diproduksi ginjal dan hanya 10% diproduksi hati. Keadaan
hypoxia merupakan rangsangan untuk peningkatan pembentukan eritropoetin. Eritropoetin
mempengaruhi produksi eritrosit dengan merangsang proliferasi, diferensiasi, dan maturasi
precursor eritroid.
Penghambatan eritropoesis
Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel prekursor
eritrosit terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak adekuat
pada pasien uremia.
Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan proses ertropoesis yang dapat dilihat
pada proses hematologi pada pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapi reguler
dialisis. Ht biasanya meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur dengan kadar Fe
yang meningkat pada eritrosit, karena penurunan kadar eritropetin serum.
Substansi yang menghambat eritropoesis ini antara lain poliamin, spermin, spermidin, dan
PTH hormon. Spermin dan spermidin yang kadar serumnya meningkat pada gagal ginjal
kronik yang tidak hanya memberi efek penghambatan pada eritropoesis tetapi juga
menghambat granulopoesis dan trombopoesis. Karena ketidakspesifikkan, leukopenia, dan
trombositopenia bukan merupakan karakteristik dari uremia, telah disimpulkan bahwa
spermin dan spermidin tidak memiliki fungsi yang signifikan pada patogenesis dari anemia
pada penyakit ginjal kronik.
Kadar PTH meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsm sekunder, tetapi hal ini masih
kontroversi jika dikatakna bahwa PTH memberikan efek penghambatan pada eritropoesis.
Walaupun menurut penelitian, dilaporkan paratiroidektomi menyebabkan peningkatan dari
kadar Hb pada pasien uremia, peneliti lain mengatakan tidak ada hubungan antara kadar
PTH dengan derajat anemia pada pasien uremia. Walaupun efek langsung penghambatan
PTH pada eritropoesis belum dibuktikan secara final, akibat yang lain dari peningkatan PTH
seperti fibrosis sum-sum tulang dan penurunan masa hidup eritrosit ikut bertanggung jawab
dalam hubungan antara hiperparatiroidsm dan anemia pada gagal ginjal.
Faktor Lain
Mekanisme lain yang mempengaruhi eritropoesis pada pasien dengan gagal ginjal
terminal dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat terpapar oleh
konsentrasi tinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat yang mengandung
aluminium.
Aluminium menyebabkan anemia mikrositik yang kadar feritin serum nya meningkat
atau normal pada pasien hemodialisis, menandakan anemia pada pasien tersebut
kemungkinan diperparah oleh intoksikasi alumnium. Patogenesisnya belum sepenuhnya
dimengerti tetapi terdapat bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium
pada eritropoesis menyebabkan hambatan sintesis dan ferrochelation hemoglobine.
Akumulasi aluminium dapat mempengaruhi eritropoesis melalui penghambatan
metabolisme besi normal dengan mengikat transferin, melalui terganggunya sintesis porfirin,
melalui terganggunya sirkulasi besi antara prekursor sel darah merah pada sumsum tulang.
2.2.3 Diagnosis
Anamnesis pada anemia dengan gagal ginjal ditanyakan tentang riwayat penyakit
terdahulu, pemeriksaan fisik, evaluasi pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan apus
darah perifer. Kebanyakan pasien yang tidak memiliki komplikasi, anemia ini bersifat

hipoproliferatif normositik normokrom, apus darah tepi menunjukkan burr cell. Perubahan
morfologi sel darah merah menampilkan proses hemolitik primer , mikroangiopati atau
hemoglobinopati. Jumlah total retikulosit secara umum menurun.
Mean corpuscular volume meningkat pada defisiensi asam folat, defisiensi
B 12 dan pasien dengan kelebihan besi. Mean corpuscular volume menurun pada
pasien dengan thalasemia, defisiensi besi yang berat, dan intosikasi aluminium
yang berat. Pada era penggunaan rekombinant human eritropoetin
(rHuERITROPOETIN) , penilaian terhadap simpanan besi melalui perhitungan
feritin serum, transferin, dan besi sangat diperlukan. Pada keadaan dimana tidak
ada faktor yang memperberat seperti penyakit inflamasi, penyakit hati, atau
respons yang buruk dari rHuERITROPOETIN, feritin serum merupakan indikator
yang tepat dari simpanan besi tubuh.
Jika simpanan menurun , nilai feritin serum menurun sebelum saturasi
transferin. Walaupun penyakit kronik dapat menurunkan besi dan transferin,
pasien dengan saturasi transferin kurang dari 20% dan feritin kurang dari 50 ng/
mm dapat dianggap terjadi defisiensi besi. Di sisi lain pasien memiliki saturasi
lebih dari 20% yang gagal berespons terhadap replacement besi harus
diperkirakan mengalami intoksikasi aluminium atau hemoglobinopati. Walaupun
alat serologi dapat mengidentifikasi defisiensi besi dengan spesifisitas,
Memastikan dengan pasti penyebab membutuhkan berbagai jalur kehilangan
besi pada pasien tersebut termasuk saluran gastro intestinal (4-5 ml blood loss /
hari atau 5 ml kehilangan besi/ hari), prosedur dialisis (4-50 ml/ terapi dimana
mungkin disebabkan karena antikoagulan yang inadequat dan teknik
penggunaan kembali dialister yang buruk), flebotomi yang rutin untuk kimia
darah dan konsumsi besi pada terapi rHuERITROPOETIN.

2.3 Eritropoetin
2.3.1 Pengertian
Eritropoietin (bahasa Inggris: erythropoetin, erithropoyetin, hematopoietin,
hemopoietin, ERITROPOETIN) adalah hormon glikoprotein yang merupakan stimulan bagi
eritropoiesis, sebuah lintasan metabolisme yang menghasilkan eritrosit.
Sintesis dominan ERITROPOETIN terjadi pada sel di area interstitial peri-tubular di
dalam ginjal, selain hati dan otak. Sintesis ERITROPOETIN diregulasi oleh konsentrasi
oksigen di dalam darah, meskipun mekanisme yang mendalam masih belum dimengerti.
Eritropoietin, suatu glikoprotein dengan berat molekul 34-39 kDA yang dikode oleh gen pada
kromosom 7, merupakan factor pertumbuhan hematopoietic yang pertama kali diisolasi.
Eritropoeitin merupakan factor pertumbuhan sel darah merah yang diproduksi terutama oleh
sel interstitial peritubular ginjal, dan sebagian kecil juga diproduksi di hati. Untuk
kepentingan pengobatan, eritropoietin diproduksi sebagai rekombinan eritropoietin manusia
yang disebut eritropoetinetin alfa.
ERITROPOETIN hasil sekresi dan beredar dalam sirkulasi darah akan meregulasi
eritropoiesis pada sumsum tulang melalui pencerap Eritropoetin yang masih tergolong
sebagai pencerap sitokina, dan mekanisme transduksi sinyal selular melalui beberapa kinase
termasuk lintasan JAK/STAT dan Ras/MAP. Lintasan ini memelihara dan menstimulasi
mitosis dan kematangan sel, meningkatkan sintesis hemoglobin. Mutasi pada lintasan ini
akan mengakibatkan terminus karboksil eritrosit terpotong seperti pada simtoma eritrositosis.
2.3.2 Farmakodinamik

Eritropoietin endogen diproduksi oleh sel tubulointersitial ginjal sebagai respon


terhadap hipoksia jaringan. Hipoksia menghambat kerja enzim prolyl hydroxylase sehingga
terjadi akumulasi HIF-1 (Hipoxia Inducible factor) yang mengaktivasi ekspresi eritropoietin.
Eritropoietin berinteraksi dengan reseptor eritropoietin pada permukaan sel induks sel darah
merah, menstimulasi proliferasi dan diferensiasi eritroid. Eritropoietin juga menginduksi
pelepasan retikulosit dari sumsum tulang.
Bila terjadi anemia maka eritropoietin diproduksi lebih banyak dan eritropoietin
kemudian menstimulasi sumsum tulang untuk menghasilkan lebih banyak sel darah merah.
Keadaan anemia dapat diperbaiki bila respon sumsum tulang tidak terganggu oleh adanya
defisiensi zat gizi (terutama zat besi) atau adanya gangguan atau penekanan sumsum tulang
(misalnya pada anemia aplastik, leukemia, myeloma multipel). Kadar eritropoietin serum
umumnya berbanding terbalik dengan kadar hematokrit atau hemoglobin. Pada pasien tidak
anemis, kadar eritropoietin serum kurang dari 20 IU/L, tetapi pada keadaan anemia berat
dapat mencapai kadar 100-500 IU/L atau lebih. Akan tetapi pada anemia akibat penyakit
ginjal seperti gagal ginjal kronik, kadar eritropoietin umumnya rendah karena ginjal tidak
dapat memproduksi eritropoietin.
2.3.3 Peran Eritropoetin pada pembentukan sel darah
Proses eritropoiesis diatur oleh glikoprotein bernama eritropoietin yang diproduksi
ginjal (85%) dan hati (15%). Pada janin dan neonatus pembentukan eritropoietin berpusat
pada hati sebelum diambil alih oleh ginjal. Eritropoietin bersirkulasi di darah dan
menunjukkan peningkatan menetap pada penderita anemia, regulasi kadar eritropoietin ini
berhubungan eksklusif dengan keadaan hipoksia. Sistem regulasi ini berkaitan erat dengan
faktor transkripsi yang dinamai hypoxia induced factor -1 (HIF-1) yang berkaitan dengan
proses aktivasi transkripsi gen eritropoeitin. HIF-1 termasuk dalam sistem detektor kadar
oksigen yang tersebar luas di tubuh dengan efek relatif luas (cth: vasculogenesis,
meningkatkan reuptake glukosa, dll), namun perannya dalam regulasi eritropoiesis hanya
ditemui pada ginjal dan hati. Eritropoeitin ini dibentuk oleh sel-sel endotel peritubulus di
korteks ginjal, sedangkan pada hati hormon ini diproduksi sel Kupffer dan hepatosit. Selain
keadaan hipoksia beberapa zat yang dapat merangsang eritropoiesis adalah garam-garam
kobalt, androgen, adenosin dan katekolamin melalui sistem -adrenergik. Namun
perangsangannya relatif singkat dan tidak signifikan dibandingkan keadaan hipoksia.
Eritropoietin yang meningkat dalam darah akan mengikuti sirkulasi sampai bertemu
dengan reseptornya pada sel hematopoietik yaitu sel bakal/stem cell beserta turunannya
dalam jalur eritropoiesis. Ikatan eritropoietin dengan reseptornya ini menimbulkan beberapa
efek seperti; Stimulasi pembelahan sel eritroid (prekursor eritrosit), memicu ekspresi protein
spesifik eritroid yang akan menginduksi diferensiasi sel-sel eritroid, menghambat apoptosis
sel progenitor eritroid. Eritropoietin bersama-sama dengan stem cell factor , interleukin-3,
interleukin-11, granulocyte-macrophage colony stimulating factor dan trombopoietin akan
mempercepat proses maturasi stem cell eritroid menjadi eritrosit (Hoffman,2005). Secara
umum proses pematangan eritosit dijabarkan sebagai berikut :
1. Stem cell : eritrosit berasal dari sel induk pluripoten yang dapat memperbaharui diri dan
berdiferensiasi menjadi limfosit, granulosit, monosit dan megakariosit (bakal platelet).
2. BFU-E : burst-forming unit eritroid, merupakan prekursor imatur eritroid yang lebih
fleksibel dalam ekspresi genetiknya menjadi eritrosit dewasa maupun fetus. Sensitivitas
terhadap eritropoeitin masih relatif rendah.
3. CFU-E : colony-forming unit eritroid, merupakan prekursor eritroid yang lebih matur dan
lebih terfiksasi pada salah satu jenis eritrosit (bergantung pada subunit hemoglobinnya.
4. Proeritroblast, eritroblast dan normoblast : progenitor eritrosit ini secara morfologis lebih
mudah dibedakan dibanding sel prekursornya, masih memiliki inti, bertambah banyak

melalui pembelahan sel dan ukurannya mengecil secara progresif seiring dengan penambahan
hemoglobin dalam sel tersebut.
5. Retikulosit : eritrosit imatur yang masih memiliki sedikit sisa nukleus dalam bentuk
poliribosom yang aktif mentranslasi mRNA, komponen membran sisa dari sel prekursornya,
dan hanya sebagian enzim, protein serta fosfolipid yang diperlukan sel selama masa
hidupnya. Selelah proses enukleasi, retikulosit akan memasuki sirkulasi dan menghabiskan
sebagian waktu dalam 24 jam pertamanya di limpa untuk mengalami proses maturasi dimana
terjadi remodeling membran, penghilangan sisa nukleus, dan penambahan serta pengurangan
protein, enzim, dan fosfolipid. Setelah proses ini barulah eritrosit mencapai ukuran dan
fungsi optimalnya dan menjadi matur (Munker, 2006). Peran eritropoetin sangat perpengaruh
dalam pembentukan eritrosit, seperti yang terdapat pada gambar 2.1 dibawah ini.

Gambar 2.1 Peran Eritropoetin


2. 3.4. Farmakokinetik
Setelah pemberian intravena waktu paruh eritropoeitin pada pasien gagal ginjal kronik
sekitar 4-13 jam. Eritropoietin tidak dikeluarkan melalui dialysis. Darbopoietin alfa
merupakan eritropoietin bentuk glikosilasi memiliki waktu paruh 2-3 kali eritropoietin.
2.3.5. Farmakologi Klinik
Eritropoietin diindikasikan untuk pengobatan gagal ginjal dengan anemia.
Eritropoietin secara konsisten memperbaiki kadar hematokrit dan Hb serta biasanya tidak
memerlukan transfuse pada pasien ini.
Suatu peningkatan jumlah retikulosit biasanya terjadi sekitar 20 hari serta
peningkatan hematokrit dan kadar Hb dalam 2- 6 minggu. Kebanyakan pasien

dapat mempertahankan hematokrit kira kira 35% dengan dengan dosis


eritripoietin 50-150 UI/kg secara intravena atau subkutan 3 kali seminggu.
Kegagalan respon terhadap eritropoietin paling sering disebabkan karena
bersaamaan dengan defisiensi besi, yang dapat di koreksi dengan pemberian
besi per oral. Penambahan folat mungki juga perlu untuk beberapa pasien.
Eritropoietin mungkin juga berguna untuk pengobatan anemia dengan kelainan
sumsum tulang primer dan anemia sekunder pada pasien tertentu . Ini meliputi
pasien dengan anemia aplastik dan kegagalan sumsum tulang lainya, kelainan
mieloprolieratif dan mielodisplastik, myeloma multiple dan mungkin keganasan
kronik sumsum tulang lainya, dan anemia yang menyertai peradangan kronik,
AIDS, dan kanker.
Pasien dengan kelainan ini yang mengalamai kadar eritripoietin serum
yang rendah tidak sebanding untuk derajat anemianya yang mungkin
memberikan respon terhadap pengobatan dengan factor pertumbuhan ini.
Pasien dengan kadar eritropoietin endogen kurang dari 100UI/L hanya kadang
kadang memberikan rerspon . Pasien seperti ini biasanya memerlukan dosis
yang lebih tinggi (150-300 UI/kg, 3 kali seminggu) untuk mencapai suatu respon,
dan respon sering tidak lengkap.

Namun pada prinsipnya, pemakaian eritropoetin adalah untuk mengoreksi anemia


pada GGK dengan target Hb 11-12 gr/dl. Kadar hemoglobin lebih dari 13 gr/dl meningkatkan
resiko kejadian thrombosis. eritropoetin menurut Persatuan Nefrologi Indonesia
(PERNEFRI) diindikasikan bila didapat Hb 10 gr/dl, Ht 30%, penyebab anemia lain
sudah disingkirkan dan status besi yang cukup.
Terapi eritropoetin tediri dari 2 fase, yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Fase
koreksi bertujuan mengoreksi anemia sampai target Hb /Ht tercapai.
a. Umumnya dimulai dengan 2.000-4.000 IU (International Unit) subkutan, 2-3 kali/ minggu
selama 4 minggu.
b. Target respon yang diharapkan : Hb naik 1-2 gr/dl dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4%
dalam 2-4 minggu,
c. Bila target tercapai pertahankan dosis eritropoetin sampai target Hb tercapai (>10gr/dl).
d. Bila target respon belum tercapai, naikkan dosis 50%.
e. Bila Hb naik > 2,5 gr/dl atau Ht naik >8% dalam 4 minggu, turunkan dosis 25%.
f. Pemantauan status besi : selama terapi eritropoetin pantau status besi, berikan suplemen
sesuai panduan terapi besi.
Terapi eritropoetin fase pemeliharaan dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>10gr/dl)
dengan dosis 1-2x 2000 IU/ minggu. Pemantauan Hb dan Ht tiap bulan serta periksa status
besi tiap 3 bulan. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai >12 gr/dl dan status besi
cukup, maka dosis eritropoetin diturunkan 25%. Pemakaian eritropoetin dapat dilakukan
secara intravena (IV) atau subkutan, pasien pasien yang menjalani hemodialisis biasanya
menggunakan eritropoetin secara IV sedangkan pasien CAPD (Continous Ambulatory
Peritoneal Dialysis) atau GGK pre-dialisis umumnya menggunakan eritropoetin secara
subkutan.Pemakaian secara subkutan biasanya menggunakan dosis 30% lebih rendah
daripada dosis IV eritropoetin dapat menyebabkan hipertensi dan meningkatnya viskositas
darah sehingga diperlukan monitoring rutin terhadap kondisi pasien.
2.3.6. Indikasi Gagal ginjal kronik
Pada pasien ini pemberian eritropoietin umumnya meningkatkan kadar hematokrit
dan hemoglobin dan mengurangi kebutuhan transfuse. Peningkatan jumlah retikulosit
umumnya terlihat dalam waktu 10 hari dan peningkatan kadar hematokrit dan hemoglobin
dalam 2-6 minggu.

Pada kebanyakan pasien kadar hematokrit sekitar 35% dapat dipertahankan dengan
pemberian eritropoietin 50-150 IU/kg IV atau SC tiga kali seminggu. Pemberian subkutan
umumnya lebih disenangi karena absorbsinya lebih lambat dan jumlah yang dibutuhkan
berkurang 20-40%. Respon pasien dialysis terhadap pemberian eritropoietin tergantung pada
beratnya kegagalan ginjal, dosis eritropoietin dan cara pemberian serta ketersediaan zat besi.
Kegagalan respon paling sering disebabkan oleh adanya defisiensi zat besi yang dapat diatasi
dengan pemberian preparat besi per oral. Pasien yang mendapat eritropoietin harus dimonitor
ketat dan dosis perlu disesuaikan agar peningkatan hematokrit terjadi secara bertahap untuk
mencapai 33-36% dalam 2-4 bulan.
Kadar hematokrit yang dicapai dianjurkan tidak melebihi 36% untuk menghindari
infark miokard.
Anemia karena gangguan primer atau sekunder pada sumsum tulang umumnya
kurang memberikan respon terhadap pemberian eritropoietin. Respon paling baik bila kadar
eritropoetin kurang dari 100 IU/L. umumnya untuk pasien ini dibutuhkan dosis lebih tinggi,
sekitar 150-300 IU/L tiga kali seminggu, dan responnya biasa tidak terlalu baik.
Indikasi terapi eritropoetin dapat dilihat pada tabel 2.3 dibawah ini.

2.3.7 Kriteria
Pengobatan anemia dengan eritropoetin dapat diberikan pada penderita GGK yang
menjalani HD maupun CAPD. Pemberiannya dimulai setelah keadaan stabil serta telah
terkendalinya gejala uremia, kelebihan cairan dan hipertensi. Pada penderita yang belum
menjalani dialysis dapat pula diberikan dan dimulai jika hematokrit dibawah 30%.
Pengobatan dengan eritropoetin hanya boleh dimulai setelah semua penyebab anemia
kecuali defisiensi erotropoetin disingkarkan, terutama defidiensi Fe, asam folat, vitamin B12,
dan adanya perdarahan.
The Renal Association of Great Britain memakai kriteria sebagai berikut:
1.Hemoglobin dibawah 8 g/dl

2. Penderita memerlukan tranfusi berkala


3. Anemia yang memperberat angina atau payah jantung
4. Anemia yang membahayakan jiwa serta berhubungan dengan gangguan fungsi tubuh
5. Penderita dimana tranfusi harus dihindarkan untuk mengurangi sensitisasi pada waktu
tranplantasi.
2.3.9 Kontra Indikasi
Pasien yang tidak memenuhi persyaratan untuk terapi Eritropoiet. Pasien dengan
berbagai kondisi berikut :
1. Defisiensi asam folat. Vitamin B12 atau besi
2. Pasien perdarahan atau hemolisis
3. Leukemia mieloenik kronik maupun akut
4. Fibrosis sumsum tulang belakang
5. Resisten eritropoietin di kernakan neutralisasi antibody
7. Anemia dikarenakan pengobatan kanker jika mempunyai hipertensi yang tidak
terkontrol
2.3.10 Manfaat
Terdapat beberapa manfaat dalam pemberian eritropoetin, disamping karena
perbaikan anemia, dapat member kentungan lain yaitu, perbaikan perasaan enak,
kemampuan fisik meningkat, nafsu makan meningkat, kemampuan seksual meembaik, dan
perbaikan hemostasis.
2.3.11 Efek Samping
Hipertensi
Menginduksi terjadinya peningkatan tekanan darah dan memperberat hipertensi yang
ada pada 20-30% pasien yang paling sering akibat peningkatan hematokrit yang terlalu cepat.
Tendensi thrombosis terutama pada pasien diabetes mellitus.
2.3.12 Beberapa produk eritropoietin yang tersedia di Indonesia

ERITROPOETINGLOBIN (produksi Ikapharmaindo) Rekombinan eritropoeitin


manusia 2.000 dan 6.000 UI/ vial

ERITROPOETINTREX-NP (produksi Novell-Pharma) Rekombinan eritropoeitin


manusia 2.000 dan 4.000 IU/vial

HEMAPO (produksi Kalbe Farma) Rekombinan eritropoeitin alfa 3.000 UI; 10.000
UI/mL

RECORMON (produksi Roche Indonesia) Eritropoetinietin 2.000 UI; 5.000 UI/ 0,3
mL PFS (prefilled syringe); 10.000 IU/0,6mL PFS

Gambar 2.2 Contoh Sediaan RhEpo

Anda mungkin juga menyukai

  • Sinusitis Maksilaris
    Sinusitis Maksilaris
    Dokumen17 halaman
    Sinusitis Maksilaris
    Yuniar
    Belum ada peringkat
  • Cover Case Luka Bakar
    Cover Case Luka Bakar
    Dokumen5 halaman
    Cover Case Luka Bakar
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • Cover Case Peritonitis
    Cover Case Peritonitis
    Dokumen5 halaman
    Cover Case Peritonitis
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • Cover Case Rizqi Khairun Nisa Revisi
    Cover Case Rizqi Khairun Nisa Revisi
    Dokumen5 halaman
    Cover Case Rizqi Khairun Nisa Revisi
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • Absensi Laporan Kasus Adil
    Absensi Laporan Kasus Adil
    Dokumen1 halaman
    Absensi Laporan Kasus Adil
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    indra_kabhuom9288
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Konjungtivitis Vernal
    Lapkas Konjungtivitis Vernal
    Dokumen12 halaman
    Lapkas Konjungtivitis Vernal
    Melissa Setiawan Putra
    Belum ada peringkat
  • COVER Crs Mata
    COVER Crs Mata
    Dokumen3 halaman
    COVER Crs Mata
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • Cover 1
    Cover 1
    Dokumen4 halaman
    Cover 1
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Mata Terjemahan
    Jurnal Mata Terjemahan
    Dokumen13 halaman
    Jurnal Mata Terjemahan
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • COVER Kumpulan Tugas Harvey 2
    COVER Kumpulan Tugas Harvey 2
    Dokumen3 halaman
    COVER Kumpulan Tugas Harvey 2
    indra_kabhuom9288
    Belum ada peringkat
  • Cover Jurnal
    Cover Jurnal
    Dokumen2 halaman
    Cover Jurnal
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • Cover Oftalmia Simpatika
    Cover Oftalmia Simpatika
    Dokumen4 halaman
    Cover Oftalmia Simpatika
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • Cover Jurnal
    Cover Jurnal
    Dokumen3 halaman
    Cover Jurnal
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • BLEPHARITIS
    BLEPHARITIS
    Dokumen6 halaman
    BLEPHARITIS
    Fetti Onenk
    Belum ada peringkat
  • Cover 1
    Cover 1
    Dokumen4 halaman
    Cover 1
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar
    Triana Amalia
    Belum ada peringkat
  • Cover Crs Faren Anes
    Cover Crs Faren Anes
    Dokumen4 halaman
    Cover Crs Faren Anes
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • Cover Crs Aku
    Cover Crs Aku
    Dokumen3 halaman
    Cover Crs Aku
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen1 halaman
    Bab V
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • BAB I Apek
    BAB I Apek
    Dokumen4 halaman
    BAB I Apek
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • Cover Refrat Zikri
    Cover Refrat Zikri
    Dokumen4 halaman
    Cover Refrat Zikri
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen5 halaman
    Cover
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen2 halaman
    Daftar Pustaka
    bramaadithya
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen5 halaman
    Bab I
    bramaadithya
    Belum ada peringkat