ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014
Komitmen Pada Perkawinan Ditinjau dari Kepuasan dalam Perkawinan
Dyah Astorini Wulandari Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Raya Dukuhwaluh PO BOX 202 Purwokerto 53182, Telp. (0281) 636751 ext. 209 1 Email: rinirifqi@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap hubungan antara kepuasan dalam perkawinan dengan komitmen pada perkawinan. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah ada hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan dalam perkawinan dengan komitmen pada perkawinan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Penelitian ini melibatkan 77 orang responden dengan ciri-ciri sebagai berikut : pria dan wanita berusia antara 18 sampai dengan 40 tahun sedang terikat dalam hubungan perkawinan paling tidak selama satu tahun pada saat penelitian ini dilakukan. Data dikumpulkan dengan menggunakan skala kepuasan dalam perkawinan dan skala komitmen pada perkawinan. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan korelasi product moment. Berdasarkan hasil uji coba instrumen penelitian, koefisien validitas skala kepuasan dalam perkawinan bergerak dari 0.415 hingga 0.873 dengan koefisien reliabilitas 0.799. Adapun skala komitmen pada perkawinan mempunyai koefisien validitas bergerak dari dari 0.406 hingga 0.868 dan koefisien reliabilitas 0.884. Hasil analisis data menemukan korelasi antara kepuasan dalam perkawinan dengan komitmen pada perkawinan sebesar rxy = 0.55 pada p = 0.000. Hal ini berarti terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan dalam perkawinan dengan komitmen pada perkawinan. Variabel kepuasan dalam perkawinan mempunyai sumbangan efektif sebesar 0.30 atau sebesar 30 % terhadap komitmen dalam perkawinan. Kata kunci : kepuasan dalam perkawinan, komitmen pada perkawinan PENDAHULUAN Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang umumnya dialami oleh individu dalam kehidupannya. Melalui perkawinan, individu berharap dapat memenuhi berbagai kebutuhannya; baik fisik, psikologis, maupun spiritualitasnya. Pada kenyataannya, hidup perkawinan tidak selalu harmonis. Di Purwokerto, sebagaimana di beberapa daerah lain di Indonesia, angka perceraian terus menunjukkan kenaikan yang signifikan. Sumber dari Pengadilan Negeri Agama Tingkat I Purwokerto mencatat bahwa pada tahun 2010 terdapat 2.285 kasus gugatan cerai. Pada tahun 2011 terjadi 2.440 kasus gugatan cerai. Terjadi kenaikan sekitar 10 %. Beberapa alasan terjadinya perceraian antara lain adalah faktor ekonomi (0,65%), tidak ada tanggung jawab (15,69%), KDRT (0,15%), gangguan pihak ketiga (1,35%), ketidakharmonisan (6,87%) dan lain-lain (74,93%). Dari sejumlah perkawinan yang bertahan, kualitasnya pun ditemukan tidak terlalu baik. Banyak orang yang sekedar bertahan karena merasa bertanggung jawab dengan kehidupan pasangan kelak jika ditinggalkan. Ada pula yang merasa harus setia dengan janji perkawinan yang telah diucapkan. Alasanalasan lain yang struktural sifatnya misalkan menjaga nama baik, ajaran agama yang melarang perceraian, dan memikirkan dampak negatif perceraian terhadap anak. Bagi istri yang tidak bekerja, kondisi finansial menjadi salah satu faktor penting yang membuatnya bertahan. Perempuan umumnya juga lebih bertahan karena tidak ingin menyandang predikat janda yang masih negatif di mata masyarakat. Di sinilah penting untuk memahami arti sebuah komitmen perkawinan. Komitmen sendiri oleh Finkel (2002) didefinisikan dalam tiga komponen, yaitu : 1. Kecenderungan untuk tetap ada atau bertahan Komponen komitmen yang paling primitif adalah kecenderungan untuk tetap bertahan atau keputusan untuk tetap bergantung pada pasangan. Kecenderungan untuk tetap ada adalah primitif karena tidak dengan cara yang langsung (baik secara teoritis atau operasional) melibatkan kepentingan temporal yang lebih besar maupun kepentingan interpersonal yang lebih besar.
161
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014
ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 2. Orientasi jangka panjang Komponen komitmen kedua melibatkan kepentingan temporal yang lebih besar atau orientasi jangka panjang. Individu-individu dengan orientasi jangka pendek mungkin menerima hasil yang relatif bagus dengan berperilaku sesuai dengan kepentingan pribadi langsung. Dengan adanya orientasi jangka panjang, menyebabkan pasangan mengembangkan pola kerjasama timbal balik. 3. Kepentingan pribadi atau kelekatan psikologis Komponen komitmen ketiga melibatkan kepentingan pribadi yang lebih besar atau kelekatan psikologis, tergantung pada persepsi bahwa well-being seseorang dan well-being pasangan saling berkaitan. Individu yang punya komitmen mungkin mengerahkan usaha untuk mempertahankan hubungan tanpa memperhitungkan balasan yang akan mereka terima. Jadi komitmen menginspirasi tindakan sepenuhnya yang lebih berorientasi pada orang lain. Menurut Rusbult (Agnew, dkk, 1998) terdapat tiga aspek dalam komitmen pada perkawinan, yaitu : 1. Tingkat kepuasan tinggi Komitmen yang tinggi ditandai dengan tingkat kepuasan terhadap pasangan maupun hubungan tinggi. Artinya hubungan memenuhi kebutuhan paling penting individu, misalnya kebutuhan keintiman, seksualitas dan persahabatan. 2. Mengurangi pilihan-pilihan di luar hubungan Pilihan-pilihan lain di luar hubungan tidak terlalu menarik individu, sehingga individu tidak akan tertarik untuk memenuhi kebutuhan yang dianggapnya paling penting di luar hubungan, misal keterlibatan dalam hubungan romantis dengan orang lain, atau teman atau anggota keluarga dan bukan dengan pasangan 3. Meningkatkan investasi Komitmen terhadap hubungan dikatakan tinggi jika sejumlah sumber penting secara langsung maupun tak langsung dihubungkan dengan hubungan, seperti waktu, usaha, harta, dan jaringan persahabatan yang dulu merupakan milik pribadi kini meningkat menjadi milik dan dilakukan bersama pasangan. Dengan kata lain, individu menjadi lebih kaya bersama pasangan, punya teman yang lebih banyak, uang yang lebih banyak, relasi yang lebih luas. Selama ini komitmen perkawinan dipahami sebatas tingkat keinginan seseorang untuk bertahan dalam perkawinannya. Padahal menurut Johnson (1991) penggagas teori komitmen perkawinan dari The Pennsylvania State University, komitmen perkawinan perlu dipahami dalam tiga bentuk. Pertama adalah komitmen personal, yaitu keinginan untuk bertahan karena cinta terhadap pasangan dan perasaan puas terhadap hubungan itu sendiri. Kedua adalah komitmen moral, yaitu rasa bertanggung jawab secara moral baik terhadap pasangan maupun janji perkawinan. Ketiga adalah komitmen struktural yang berbicara mengenai komitmen untuk bertahan dalam suatu hubungan karena alasan-alasan struktural seperti yang disebutkan di atas. Meskipun Johnson menganggap ketiga komitmen ini dapat berdiri sendiri, adalah menarik untuk melihat kaitannya satu sama lain (http://esterlianawati.wordpress.com/2007). Menurut Johnson, orangorang yang sekedar bertahan karena alasan-alasan yang disebutkan di atas adalah orang yang memiliki komitmen moral dan struktural yang tinggi, namun komitmen personalnya rendah. Komitmen moral dan struktural memegang peranan kunci ketika seseorang hendak memutuskan untuk bercerai. Kedua komitmen tersebut dapat membuat pasangan menghindari perceraian, namun memiliki keduanya tidak menjamin kebahagiaan perkawinan. Kedua komitmen tersebut hanya menurunkan probabilitas terpilihnya perceraian sebagai suatu solusi (http://esterlianawati.wordpress.com/2007). Orang yang memiliki keduanya tetapi tidak memiliki komitmen personal, akan mengeluhkan betapa kering perkawinan mereka. Masing-masing pihak merasa tidak puas dengan pasangan dan hubungan perkawinan tersebut dan pada akhirnya pasangan ini menjadi rentan terhadap perselingkuhan. Hal ini dikarenakan seseorang yang puas dengan kehidupan perkawinannya, akan lebih mungkin untuk berkomitmen dengan perkawinannya. Menjaga komitmen personal berarti menjaga kepuasan hubungan. Kepuasan bersifat subjektif dan tergantung dari masing-masing pasangan. Menurut Lemme (1995) kepuasan perkawinan adalah evaluasi suami istri terhadap hubungan perkawinan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan perkawinan itu sendiri. Kepuasan perkawinan dapat merujuk pada bagaimana pasangan suami istri mengevaluasi hubungan perkawinan mereka, apakah baik, buruk, atau memuaskan (Hendrick, 2004). Olson dan Fowers (dalam Anastasia, 2008) 162
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014
ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 mendefinisikan kepuasan perkawinan sebagai evaluasi terhadap area-area dalam perkawinan yang mencakup komunikasi, kegiatan di wkatu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak dan kesetaraan peran. Kepuasan perkawinan dapat diukur dengan melihat aspek-aspek dalam perkawinan sebagaimana yang dikemukakan oleh Olson & Fowers (dalam Anastasia, 2008). Adapun aspek-aspek tersebut antara lain: komunikasi, pilihan kegiatan untuk mengisi waktu senggang, orientai religius, resolusi konflik, pengelolaan keuangan, orientasi seksual, hubungan dengan keluarga dan teman, pengasuhan anak dan kesetaraan peran. Penelitian-penelitian tentang kepuasan dalam perkawinan secara konsisten menemukan bahwa kepuasan dalam perkawinan akan cenderung terus menurun dari waktu ke waktu. Dalam suatu penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Kurdeck (Handayani dkk, 2008) ditemukan bawah dalam kurun waktu 4 tahun kepuasan perkawinan akan terus berkurang. Penelitian lain mengenai kepuasan perkawinan juga diungkapkan oleh Jay Belksky dan Kuang-Hua Hsieh (Handayani dkk, 2008), yang menemukan bahwa beberapa pasangan mampu menjaga perkawinan yang sehat setelah kelahiran anak pertama, sementara yang lainnya menjadi kurang saling mencintai dan menghadapi banyak konflik Kepuasan dalam perkawinan yang terus menurun ini diduga menjadi faktor penyumbang terbesar terjadinya perpisahan atau perceraian. Meskipun demikian, beberapa peneliti melaporkan adanya pasangan yang tetap bersamasama atau mempertahankan perkawinan meskipun hubungan mereka sudah tidak memuaskan lagi tetapi tidak dapat atau tidak ingin bercerai (Adams & Jones, dalam Wulandari, 2005). Hal ini ditengarai disebabkan oleh faktor komitmen. Komitmen sudah lama dikenal sebagai faktor yang signifikan dalam perkembangan dan stabilitas yang berkelanjutan dalam sebuah perkawinan. Riset menyatakan bahwa komitmen dalam hubungan dekat merupakan prediktor penting dari sejumlah variabel yang menggambarkan aspek positif dalam hubungan personal. Contohnya, pasangan yang tingkat komitmennya tinggi cenderung lebih baik hati dan suka menolong satu sama lain (Wieselquist dkk, dalam Wulandari, 2005), berkomunikasi dan memecahkan masalah secara lebih efektif, dan lebih puas dengan kehidupan daripada pasangan yang komitmennya rendah (Adams & Jones dalam Wulandari, 2005). Pasangan dari pernikahan yang berbahagia menyatakan bahwa komitmen merupakan faktor penting yang mendukung keberhasilan pernikahan mereka. Contoh-contoh ini menggambarkan bahwa komitmen merupakan konstruk yang serbaguna dan bermanfaat dalam menjelaskan perkembangan dan keberlangsungan hubungan, baik yang fungsional maupun yang disfungsional. Adapun kepuasan dalam perkawinan merupakan konstruk yang berpengaruh pada tingkat komitmen dalam perkawinan. Berdasarkan pada uraian di atas maka peneliti tertarik untuk mengungkap hubungan antara kepuasan dalam perkawinan dengan komitmen pada perkawinan. METODE PENELITIAN Penelitian ini melibatkan 77 orang pria dan wanita berusia antara 18 sampai dengan 40 tahun dan sedang terikat dalam hubungan perkawinan paling tidak selama satu tahun. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara pusposif atau purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan skala kepuasan perkawinan dan skala komitmen pada perkawinan. Analisis data menggunakan korelasi product moment. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis data diperoleh koefisien korelasi r xy sebesar 0.55 pada p = 0.000 (p < 0.01). Hasil temuan dalam penelitian ini membuktikan adanya korelasi yang positif dan signifikan antara kepuasan dalam perkawinan dengan komitmen pada perkawinan. Hal ini berarti meningkatnya kepuasan dalam perkawinan secara signifikan akan meningkatkan komitmen pada perkawinan. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian lain yang juga menyatakan bahwa kepuasan dalam perkawinan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi komitmen pada perkawinan. Dalam suatu penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Kurdeck (Handayani dkk, 2008) ditemukan bahwa dalam kurun waktu 4 tahun kepuasan perkawinan akan terus berkurang. Penelitian lain mengenai kepuasan perkawinan juga diungkapkan oleh Jay Belksky dan Kuang-Hua Hsieh (Handayani dkk, 2008) yang menemukan bahwa beberapa pasangan mampu menjaga perkawinan yang sehat setelah kelahiran anak pertama, sementara yang lainnya menjadi kurang saling mencintai dan menghadapi banyak konflik. Kepuasan dalam perkawinan yang terus menurun ini diduga menjadi faktor penyumbang terbesar terjadinya perpisahan atau perceraian. Meskipun demikian, beberapa peneliti melaporkan adanya pasangan yang tetap bersamasama atau mempertahankan perkawinan meskipun hubungan mereka sudah tidak memuaskan lagi tetapi tidak dapat atau tidak ingin bercerai (Adams & Jones dalam Wulandari, 2005). Hal ini ditengarai disebabkan oleh faktor komitmen. Komitmen sudah lama dikenal sebagai faktor yang signifikan dalam perkembangan dan stabilitas yang berkelanjutan dalam sebuah perkawinan. 163
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014
ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 Selama ini komitmen perkawinan dipahami sebatas tingkat keinginan seseorang untuk bertahan dalam perkawinannya. Padahal menurut Johnson (1991), penggagas teori komitmen perkawinan dari The Pennsylvania State University, komitmen perkawinan perlu dipahami dalam tiga bentuk. Pertama adalah komitmen personal, yaitu keinginan untuk bertahan karena cinta terhadap pasangan dan perasaan puas terhadap hubungan itu sendiri. Kedua adalah komitmen moral, yaitu rasa bertanggung jawab secara moral baik terhadap pasangan maupun janji perkawinan. Ketiga adalah komitmen struktural yang berbicara mengenai komitmen untuk bertahan dalam suatu hubungan karena alasan-alasan struktural seperti yang disebutkan di atas. Meskipun Johnson menganggap ketiga komitmen ini dapat berdiri sendiri, adalah menarik untuk melihat kaitannya satu sama lain (http://esterlianawati.wordpress.com/2007). Orang-orang yang sekedar bertahan karena alasan-alasan yang disebutkan di atas adalah orang yang memiliki komitmen moral dan struktural yang tinggi, namun komitmen personalnya rendah. Komitmen moral dan struktural memegang peranan kunci ketika seseorang hendak memutuskan untuk bercerai. Kedua komitmen tersebut dapat membuat pasangan menghindari perceraian, namun memiliki keduanya tidak menjamin kebahagiaan perkawinan. Kedua komitmen tersebut hanya menurunkan probabilitas terpilihnya perceraian sebagai suatu solusi. Orang yang memiliki keduanya tetapi tidak memiliki komitmen personal, akan mengeluhkan betapa kering perkawinan mereka. Perkawinan ini juga lebih rawan akan konflik. Ditambah dengan tidak adanya lagi rasa tertarik terhadap hubungan dan pasangan, masing-masing dapat kehilangan minat untuk menyelesaikan konflik tersebut. Akhirnya pasangan ini menjadi rentan terhadap perselingkuhan. Menjaga komitmen personal berarti menjaga kepuasan hubungan. Kepuasan bersifat subjektif dan tergantung dari masing-masing pasangan. Apabila seseorang merasa puas terhadap perkawinan yang telah dijalani, maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai pada saat ia menikah telah terpenuhi, baik sebagian ataupun keseluruhan. Ia merasa hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap dibandingkan sebelum menikah. Pasangan dari pernikahan yang berbahagia menyatakan bahwa komitmen merupakan faktor penting yang mendukung keberhasilan pernikahan mereka. Contoh-contoh ini menggambarkan bahwa komitmen merupakan konstruk yang serbaguna dan bermanfaat dalam menjelaskan perkembangan dan keberlangsungan hubungan, baik yang fungsional maupun yang disfungsional. Adapun kepuasan dalam perkawinan merupakan konstruk yang berpengaruh pada tingkat komitmen dalam perkawinan. Meskipun demikian faktor kepuasan dalam perkawinan pada penelitian ini mempunyai sumbangan efektif hanya sebesar 0.30 atau 30 % terhadap komitmen pada perkawinan. Adapun 70 % sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini, misal berkurangnya pilihan lain di luar, komunikasi, dan usia pernikahan. Berdasarkan pada temuan dalam peneletian ini maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan dalam perkawinan berhubungan dengan komitmen pada perkawinan. Kepuasan dalam perkawinan yang semakin meningkat akan semakin memperkokoh perkawinan. Meskipun demikian, kepuasan dalam perkawinan bersifat subjektif, dipengaruhi oleh banyak faktor dan bisa bervariatif sejalan dengan usia perkawinan. Kepuasan dalam perkawinan bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi komitmen pada perkawinan. Oleh karenanya bagi peneliti lain yang tertarik mendalami komitmen pada perkawinan disarankan untuk meneliti faktor-faktor lain yang mempengaruhi komitmen pada perkawinan dengan melibatkan jumlah sampel yang lebih banyak. KESIMPULAN Hasil analisis data menemukan korelasi antara kepuasan dalam perkawinan dengan komitmen pada perkawinan sebesar rxy = 0.55 pada p = 0.000. Hal ini berarti terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan dalam perkawinan dengan komitmen pada perkawinan. Variabel kepuasan dalam perkawinan mempunyai sumbangan efektif sebesar 0.30 atau sebesar 30 % terhadap komitmen dalam perkawinan. DAFTAR PUSTAKA Agnew, C.R., Van Lange, P.A.M., Rusbult, C.E., & Langston, C.A., (1998). Cognitive Interdependence : Commitment and the Mental Representation of Close Relationship. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 74. No. 4. p 939-954. Anastasia, S. ( 2008). Kepuasan Perkawinan pada Suami/Istri yang Pasangannya ODHA. USU Repository. Diakses pada tanggal 15 April 20112 Finkel, E.J., Rusbult, C.E., Kumashiro, M., & Hannon, P.A., (2002). Dealing With Betrayal in Close Relationships : Does Commitment Promote Forgiveness ? Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 82. No. 6. p. 965-974. 164
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014
ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 Handayani, M.M., Suminar, D.R., Hendriani, W., Alfian, I.N., & Hartini, N. (2008). Psikologi Keluarga. Surabaya : Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Hendrick, S.S. (2004). Understanding Close Relationships. Boston : Pearson Education, Inc. Johnson, M. P. (1991). Commitment to personal relationships. In W. H. Jones & D. W. Perlman (Eds.), Advances in personal relationships (Vol. 3, pp. 117-143). London: Jessica Kingsley Publishers. Lemme, B.H. (1985). Developmental in Adulthood. Boston : Allyn and Bacon. Wulandari, D.A. (2005). Empati dan Komitmen sebagai Fasilitator Perilaku Memberi Maaf pada Hubungan Romantis. Tesis. Tidak Diterbitkan. Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. http://esterlianawati.wordpress.com/2007/07/16/memahami-komitmen-perkawinan-bersama-hinggaujung-umur. Diakses tanggal 27 September 2013