Anda di halaman 1dari 106

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Karya sastra merupakan tiruan atau pemanduan antara kenyataan dengan imajinasi pengarang atau
hasil imajinasi pengarang yang bertolak dari suatu kenyataan yang ada (semi, 1990:43). Dalam hal ini
termasuk juga penciptaan sebuah novel. Novel juga bias mempengaruhi seseorang untuk bias bertindak
atau meniru gaya dari novel yang dibacanya. Dengan alasan itu maka novel juga dimamfaatkan oleh para
pengarang untuk memperoleh masa baik dalam hal dunia politik atau yang linnya.
Keadaan geografis, politik, social juga kebudayaan dapat mempengaruhi hasil dari suatu karya sastr.
Karya sastra yang dihasilkan dari pegunungan tentu berbeda dengan karya sastra dari lingkungan laut.
Demikian juga dengan sastra dari suatu kerajaan berbeda dengan sastra dari suatu daerah liberal. Sastra
dari budaya timur berbeda dengan sastra budaya barat. Begitu juga dengan karya sastra dari golongan
kiri akan berbeda dengan karya sastra dari golongan kanan.
Sastra dan realitas sosial masyarakat menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena sastra
diproduksi dan distrukturasi dari berbagai perubahan realitas tersebut. Realitas pada sastra merupakan
suatu cara pandang penciptanya dalam melakukan pengingkaran atau pelurusan atas realitas sosial yang
melingkupi kehidupannya. Dengan demikian, sastra merupakan potret sosial yang menyajikan kembali
realitas masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran dan ideology
pengarangnya.
Marxisme merupakan filsafat kontradiksi, dan setiap usaha untuk menjelaskan teori Marxis secara
rasional akan menghadapi inkontensi. Keyakinan akan keunggulan materi dan usaha simultan untuk
menekankan peranan manusia dalam mengubah keadaan ini merupakan salah satu kontradiksi khas
Marxisme.
Seandainya seseorang menerima bahwa kontradiksi ini dapat diselesaikan dengan menggunakan
metode dialektis, masalah baru akan muncul, yaitu pertanyaan apakah setiap kritik metode dialektis juga
dimungkinkan. Berbeda dengan formalisme rusia atau strukturalisme prancis, teori-teori sastra Marxis
memiliki filsafat normative dengan ide-ide ekplisit tentang masalah-masalah epistimologis.
Menurut Selden (1986:23) di antara kritik sastra, tradisi Marxis dapat dianggap sebagai memliki sejarah
yang paling panjang. Tradis ini di awali dengan gagasan-gagasan mengenai peranan ideology dan
kebudayaan yang dikemukakan pada tahun 1840-an. Salah satu pernyataan yang hingga sekarang
banyak dikutip orang sekaligus mendasari argumentasi penelitian kritik social, adalah: keberadaan social
manusia menentukan kesadaran sosialnya, bukan sebaliknya. Argumentasi ini juga yang dianggap teori
Marxian selanjutnya, yang juga diadopsi oleh kritik cultural lain, termasuk teori-teori kontemporer.
Marxisme merupakan teori filsafat kontradiksi, dan setiap usaha untuk menjelaskan teori Marxis secara
rasional akan menghadapi inkonsistensi. Keyakinan akan keunggulan materi dan usaha simultan untuk
menekankan peranan manusia dalam mengubah keadaan ini merupakan salah satu kontradiksi khas
Marxisme.
Sebagai salah seorang sastrawan Indonesia, menurut Umar Kayam, Pramoedya Ananta Toer merupakan
seorang figur transisional. Umurnya di sekitar angka yang sama dengan kebanyakan sastrawan Angkatan
45, tetapi latar belakang pendidikan (di mana ia tidak termasuk yang bersekolah pada sekolah menengah
Belanda) dan latar belakang budaya Jawa-nya yang begitu kuat, membuatnya berbeda dengan anggota
lain kelompok tersebut.
Identitas kepengarangan dari Pramoedya yang khas menjadi identitasnya yakni Pramudya Ananta Toer
sering kali juga melatarbelakangi ceritanya dengan paparan sejarah maupun pengalaman hidupnya.
Tulisan-tulisan awalnya banyak mengambil latar belakang masa sebelum Perang Dunia Kedua, terutama
kehidupan di sekitar kota Blora tempat ia tinggal di masa kecil, serta masa-masa seputar revolusi
kemerdekaan.
Pramudya juga menulis cerita dengan latar belakang masa pendudukan Jepang di Indonesia, antara lain

melalui roman Perburuan. Karyanya yang terbesarempat mahakarya yang merupakan tetralogi berjudul
Karya Buru (meliputi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca)ditulis
dengan latar belakang tamasya sejarah pergerakan nasional Indonesia 1898-1918. Menengok sejarah
kembali ia lakukan untuk romannya yang terbit pertengahan 1990-an, berjudul Arus Balik, dengan latar
belakang masuknya Islam ke tanah Jawa.
Kegandrungannya terhadap sejarah ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh teori sederhana Maxim
Gorky: "The people must know their history" (rakyat mesti tahu sejarahnya). Pengaruh lain bisa
disebutkan datang dari aliran realisme, terutama realisme sosialis. Bagi Pramoedya, salah satu watak
realisme sosialis adalah "terutama memberanikan rakyat untuk melakukan orientasi terhadap sejarahnya
sendiri".
Pengaruh realisme sosialis jelas bukan sesuatu yang mengada-ada, sebab Pramoedya sendiri kerap
mengungkapkan antusiasmenya terhadap aliran tersebut. Ia antara lain pernah menulis makalah dalam
kesempatan memberikan prasaran untuk sebuah seminar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada
tanggal 26 Januari 1963, dengan judul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Selain oleh Pramoedya,
klaim realisme sosialis juga dipergunakan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sebagai dasar
kreatif mereka.
Dalam tradisi seni sendiri, kelahiran realisme sosialis sebagai aliran seni agak sulit ditentukan waktunya
secara pasti. Akan tetapi, menurut Pramoedya, realisme sosialis diperkirakan muncul sekitar tahun 1905.
Dalam hal ini Maxim Gorky adalah pengarang yang sering dianggap sebagai bapak pendiri realisme
sosialis.
Lebih lanjut, perkembangan sastra realis ini tidak bisa lepas dari cara pandang manusia terhadap sejarah
yang berubah, terutama di Eropa, tempat kelahiran tradisi realisme itu sendiri. Hal ini tampak misalnya
dalam tinjauan Lukcs atas epik Tolstoy, War and Peace. "Prinsip-prinsip yang ia (Tolstoy) ikuti dalam
realismenya secara obyektif menampilkan suatu kesinambungan tradisi realis terbesar, tapi secara
subyektif prinsip-prinsip ini ditimbulkan dari masalah-masalah pada masanya serta dari sikapnya
terhadap masalah terbesar zamannya, yakni hubungan penindas dan tertindas di pedesaan Rusia".
Dengan begitu, realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang mendasarkan pada
kontemplasi dialektik antara seniman dan lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari
lingkungan tempatnya berada. Hakikat dari realisme sosialis ini bisa dikatakan menempatkan seni
sebagai wahana "penyadaran" bagi masyarakat untuk menimbulkan kesadaran akan keberadaan dirinya
sebagai manusia yang terasing (teralienasi, dalam istilah Marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai
manusia yang memiliki kebebasan.
Sekitar tahun 1950-an, beberapa seniman kiri menemui Nyoto untuk menyatakan peranan seni dalam
perjuangan kelas. Nyoto sendiri dalam pidato sambutan pendirian Lekra yang berjudul Revolusi adalah
Api Kembang menyatakan bahwa hanya ada dua pertentangan antara dua asas besar, yakni kebudayaan
rakyat dan kebudayaan bukan rakyat, dan tak ada jalan ketiga. Dan baginya, tak mungkin kebudayaan
rakyat bisa berkibar tanpa merobek kebudayaan bukan rakyat.
Akan tetapi, Pramoedya dalam Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia menyenarai, jauh hari ke
belakang tradisi sastra realisme sosialis Indonesia telah muncul melalui, antara lain, Sumantri dengan
karya novelnya yang berjudul Rasa Merdika. Nama lain yang bisa disebut ialah Semaoen (Hikayat
Kadirun) serta Mas Marco Kartodikromo (Student Hijo).
Realisme sosialis mereka memang bukan layaknya realisme sosialis yang berkembang kemudian.
Keberpihakan mereka terhadap rakyat pekerja yang lemah lebih merupakan suatu komitmen sosial, dan
bukan atas dorongan landasan-landasan yang lebih ilmiah seperti halnya realisme sosialis sebagai aliran
yang datang lebih kemudian. Atau dengan kata lain, realisme sosialis mereka bisa dikatakan sebagai
realisme sosialis "cikal bakal" yang masih bersifat sosialisme utopis. Sedikit membela mereka,
Pramoedya mengistilahkannya sebagai kekeliruan, bukan kesalahan.
1.1. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana Realisme sosialis dilihat dari segi pertentangan kelas pada novel bumi manusia karya
Pramudya Ananta Toer?
2. Bagaimana Realisme Sosialis Dilihat Dari Kedekatan Atau Pembelaan Kaum Borjuis Terhadap Kaum
Proletar?
3. Bagaimana Realisme Sosialis Dilihat Dari Perlawanan Kaum Proletar Kepada Borjuis?
1.2. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penulis memberikan tujuan dari peneliti sebagai berikut:
1. Mendiskripsikan Realisme sosialis dilihat dari segi pertentangan kelas pada novel bumi manusia karya
Pramudya Ananta Toer.
2. Mendiskripsikan Realisme Sosialis Dilihat Dari Kedekatan Atau Pembelaan Kaum Borjuis Terhadap
Kaum Proletar.
3. Mendiskripsikan Realisme Sosialis Dilihat Dari Perlawanan Kaum Proletar Kepada Borjuis.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Realisme Sosialis
Realisme sosialis lahir sebagai penerus tradisi seni kritis, yang terutama merupakan bentuk baru dari
tradisi realisme yang berkembang di Eropa. Realisme (klasik), dalam catatan Georg Lukcs, muncul
dalam atmosfer "membuyarnya awan mistisisme, yang pernah mengelilingi fenomena sastra dengan
warna dan kehangatan puitik serta menciptakan suatu atmosfer yang akrab dan menarik di sekitarnya".
Dalam kalimat tersebut Lukcs merujuk pada masa pertengahan abad kesembilan belas serta
diterimanya filsafat Marxis. Filsafat sejarah Marxis, masih menurut Lukcs, menganalisis manusia secara
keseluruhan, dan menggambarkan sejarah evolusi manusia juga secara keseluruhan. Ia berusaha untuk
menggali hukum tersembunyi yang mengatur seluruh hubungan manusia. Dengan cara ini, filsafat Marxis
memberi jembatan ke arah sastra klasik dan menemukan sastra klasik yang baru: Yunani kuno, Dante,
Shakespeare, Goethe, Balzac, atau Tolstoy. "Realisme terbesar yang sesungguhnya dengan demikian
menggambarkan manusia dan masyarakat sebagai wujud yang lengkap, dan bukan semata-mata
memperlihatkan satu atau beberapa aspeknya".
Dalam definisi Pramoedya, "Realisme sosialis merupakan metode yang meneruskan filsafat materialisme
dalam karya sastra serta meneruskan pandangan sosialisme-ilmiah. Dalam menghadapi persoalan
masyarakat, realisme sosialis mempergunakan pandangan yang struktural fundamental".
Lebih lanjut, perkembangan sastra realis ini tidak bisa lepas dari cara pandang manusia terhadap sejarah
yang berubah. Dengan begitu, realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang mendasarkan
pada kontemplasi dialektik antara seniman dan lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak
terpisah dari lingkungan tempatnya berada. Hakikat dari realisme sosialis ini bisa dikatakan
menempatkan seni sebagai wahana "penyadaran" bagi masyarakat untuk menimbulkan kesadaran akan
keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing (teralienasi, dalam istilah Marxis) dan mampu
menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan.
Sebelumnya, sejarah dipandang sebagai suatu gerak yang tetap, mutlak, dan alamiah. Perkembangan
selanjutnya dari cara pandang ini adalah munculnya pemahaman baru mengenai sejarah. Sejarah mulai
dipandang sebagai perubahan yang justru tergantung kepada diri manusia itu sendiri.
"Para filsuf hanya memberikan interpretasi berbeda kepada dunia, yang perlu adalah mengubahnya", itu
salah satu bunyi Tesa-tesa mengenai Feuerbach Marx. Manusia, dengan pikiran dan perbuatannya,
mampu menentukan arah dari gerak sejarah. Sejarah tidak bersifat mandiri atau berada di luar jangkauan
manusia. Dalam arah pemikiran seperti itulah realisme sosialis lahir untuk menempatkan kaum lemah
(proletar, dalam bahasa Marxis) sebagai manusia-manusia penggerak dan penentu arah sejarah. Dan
secara serta-merta aliran ini mengambil jarak atau berseberangan dengan tradisi realisme sebelumnya

yang lebih memihak kepada golongan penguasa (atau borjuis), yang kemudian dikenal dengan nama
realisme borjuis.
2.2 Tokoh-Tokoh Marxis
2.2.1 Karl Marx dan Frederik Engels
Menurut Marx susunan masyarakat dalam bidang ekonomi yang dinamakna bangunan bawah
menentukan kehidupan social, politik, intelektual dan cultural bangunan atas. Sejarah dipandang sebagai
perkembangan terus menerus; daya- daya kekuatan di dalam kenyataan secar progresif mereka dan ini
semuanya menuju masyarakat yang ideal tanpa kelas. Dalam teori ekonominya Marx terutama
menerangkan, bagaimana pertentangan antara kelas borjuis dan proletar yang jaya akan melaksanakan
masyarakat tanpa kelas. Bagi Marx sastra sama dengan gejala-gejala lainnya mencerminkan hubungan
ekonomi, sebuah karya sastra hanya dapat dimengerti kalau itu tidak dikaitkan dengan hubunganhubungan tersebut.
Perhatian Marx terhadap sastra dapat dilihat dari surat-surat serta karangannya yang tanpak betapa Marx
menghargai sebuah lukisan mengenai kenyataan masyarakat di dalam sastra yang sesuai dengan
contahnya, namaun ia juga tidak buta terhadap nilai-nilai sastra. Ia menolak pandangan determinisik yang
sempit, seloah-olah perubahan dalam bangunan atas langsung diakibatkan oleh perubahan bangunan
bawah. (saraswati, 2003:37-38). Pendapat Marx dalam sastra yang masih abstrak di atas diuraikan lebih
lanjut oleh Engels. Menurut Engels sastra adalah cermin pemantul proses social.
Dari idealisme jerman, Engels meminjam pandangan bahawa setiap tokoh dalam novel harus menjadi
sebuah tipe, tetapi juga sekaligus menjadi sesorang individu tertentu, seorang yang ini, seperti
dinyatakan sendiri oleh hegel (fokkema, 1998:111).
Di dalam suratnya kepada Margaret harknes yang di tulis pada awal april 1888, Engels berpendapat
bahwa pemilihan karakter yang bersifat tipikal harus sesuai dengan persyaratan realisme. Dalam
suratnnya yyang ditulis dalam bahasa ingris ini, Engels menulis suatu kalimat terkenal : realisme,
menurut saya, mengisyaratkan, di samping kebenaran yang terperinci, juga terproduksi tokoh yang khas
dalam keadaan khas (Marx dan Engels dalam fokkema, 1998:112).
2.2.2 Lenin
Lenin mengagumi karya seni yang agung dan merasa terganggu oleh permasalahan bagaimana
ccaranya mendamaikan karya seni yang agung dengan revolusi. Lenin menentang pemutusan semua
ikatan dengan karya sastra besar, yang mendorong untuk mengungakapkan kekagumannya akan karya
sen yang agung dengan istilah-istilah politik.
Penilaian Lenin terhadap sastra besar didasarkan pada norma histories dan norma politis langsung.
Lenin juga merupakan orang yang berjasa dan dapat dipandang sebagai peletak dasar bagi kritik sastra
Marxis. Ia menulis lebih banyak daripada Marx tentang masalah-masalah teoritis yang berkaitan dengan
sastra dan mengembangkan suatu visi yang jelas tentang sastra.
Prinsip-prinsip realisme sosialis dapat dilacak kembali pada teori Marxis mengenai proses perkembangan
sejarah, lagi pula pada pandangan Lenin bahwa partai harus memainkan peranan sebagai pemimpin
dalam proses tersebut. Pengarang-pengarangpun harus tunduk pada partai tersebut.
2.3 Perkembangan Sastra Marxis Di Indonesia Sosialisme Di Indonesia
Perkembangan Marxis di Indonesia tidak lepas dari masuknya moderenisme di hindia belanda pada awal
abad ke-20, yang sekaligus sebagai moment kebangkitan nasional. Sosialisme, terutama dibawa ke
indionesia oleh orang-orang belanda beraliran social-demokrat. Sneevliet, baar, brandsteder, dekker, dan
c. hartogh adalah nama-nama belanda yang pertama-tama membawa sosialisme- yang didasari ajaran
Marx dan Engels-ke bumi Indonesia.
2.3.1 Sneevliet dan Semaoen
Dari deretan nama tersebut, Sneevliet (1883-1942) bias dikatakan sebagai yang paling menonjol. Pada
tahun 1914, ia mendirikan ISDV (indische social democratische vereeninging) di semarang ISDV
merupakan organisasi pertama di hindia belanda yang berlandaskan Marxisme. ISDV memainkan

peranan penting dalam mempengaruhi organisasi-organisasi pribumi yang telah berdiri sebelumnya,
serta para aktivis pergeraklan untuk beralih menjadi lebih condong kepada sosialisme revolusioner.
Dikalangan pribumi sendiri, semaon dan darsono dan sserikat islam (SI) semarang, bias dikatakan
sebagai pelopor Marxisme di Indonesia.
SI semarang yang yang semula didukung oleh kaum menengah dan pegawai negeri, di tangan semaoen
menjadi organisasi kaum buruh dan rakyat kecil. Perubahan-perubahan ini yang kemudia dipertajam oleh
radikalisasi organisasi, tentu tidak terjadi begitu saja. Setidaknya ada kondisi-kondisi tertentu mengapa
terjadi perubahan, sekaligus menjawab bagaimana sosialisme pertama kali berkembang di Indonesia.
2.4 Marxisme Dalam Karya Sastra Indonesia
Sastra-sastra sosialis banyak menggambarkan kondisi serta gejolak masyarakat di masa tersebut. Sastra
sosialis banyak muncul di surat-surat kabar (antara lain yang dimuat secara bersambung) yang dikelola
para aktifis oleh para gerakan, serta sebagian lagi diterbitkan oleh penerbit-penerbit swasta atau badanbadan tertentu (misalnya oleh kantor PKI). Berikut merupakan perjalanan sastra Marxis di Indonesia
(teeuw dalam saraswati, 2003:51-58)
a. Tahun 20-an
Karya pertama yang dapat diperkenalkan dari sastra sejenis ini misalnya sebuah karya dari hadji moekti
berjudul hikajat siti Mariah. Karya ini diterbitkan secara bersambung sebanyak 284 kali di surat kabar
medan priaji bandung, dari 7 november 1910 sampai 6 januari 1912. cerita bersambung ini
menggambarkan secara kompleks pertarunga social, politik dan ekonomi dari berbagai lapisan social.
Kadar sosialis yang lebih tinggi kemudian muncul dalam roman yang terbit di masa-masa selanjutnya.
Satu contaoh yang menarik adalah hikajat kadirun (1920) karya samaoen. Hikajat kadirun menceritakan
pemuda cerdas yang bernama kadirun yang bekerja sebagai pegawai negeri dalam pemerintahan
colonial . seiring dengan kesadaran dirinya melihat kemiskinan dan penderiataan rakyat, ia mulai merasa
kecewa dan mulai berhubungan dengan pemimpin-pemimpin PKI dan akhirnya menjadi pendukung
penuh PKI.
Sastra sosialis kemudian ssemakin matang dan lebih jelas terbentuk dalam karya Marco Kartodikromo
(mas Marco dalam saraswati, 2003:52) pada tahun 1914 ia menerbitkan novel yang kontroversial berjudul
mata gelap yang penuh dengan pornografi. Novel lainnya adalah Student Hidjo (1918).
Metode dialektik dalam analisis permaslahan social masyarakat yang bias dipergunakan dalam karya
sastra realisme sosialis moderen, mulai muncul dalam novel rasa Mardika tersebut. Itula antara lain
beberap karya yang bias dikategorikan sebagai sastra sosialis atau sastra realisme sosialis dalam tahap
awal. Perkembangannya kemudian mulai agak tersendat dan bias dikatakan mati mengingat penyaringan
(sensor) pemerintah colonial yang semakin bertambah. Factor lain tentunya berhubungan dengan
kegagalan pemberontakan PKI pada bulan November 1926 yang secara langsung maupun tidak
langsung semakin membuat karya sastra perlawanan tenggelam. Kondisi kejatuhan sastra sosialis ini
berlanjut sampai zaman perang (perang dunia ke 2 atau datangnya tentara jepang 1942). Sastra sosialis
yang berwatak utopis telah menjadi catatan dalam sejarah, diganti oleh munculnya sastrawan-sastrawan
yang memiliki landasan ideology yang lebih kuat dimasa selanjutnya. Ini terutama semakin meningkat di
masa setelah perang, dan mencapai pembentukan barunya pada kelompok lembaga kebudayaan rakyat
(Lekra), sebagai tahap berikutnya sebagai komitment sosial dalam seni dan karya sastra.
b. Tahun 50-an
Buyung saleh telah memperlihatkan sikap seorang Marxis pada tahun 1953 waktu dia merumuskan
perbedaan antara pujangga baru dengan angkatan 45 dengan cara lain. Sastrawan pada saat itu chairil
anwar, protestanisme dan katolisisme dan dari sifat keislaman hingga pada kesusastraan jembel dengan
lunas-lunas realisme-sosialis. Pengarang lekra yang lain misalnya tokoh dari medan bakri siregar, HR.
bandaharo dan bahtiar siagan kemudian as. Darta.
Para seniman lekra itu tidak meragukan sama sekali bahwa para seniman mempunyai tugas dan
tanggung jawab yang merupakan khidmat terhadap masyarakat dan lebih tepat lagi kepada rakyat yang

dianggotainya itu. Jelaslah cita-cita lekra untuk Indonesia pada saat ini. Apa yang dikatakan kemanusiaan
universal dan angkatan 45 yang sebenarnya, sesungguhnya adalah sebuah universalisme yang
merupakan baju baru bagi lart pour lart yang lama itu karenanya merupakan suatu pemlihan yang
bertentangan dengan hari esok-sebagaimana yang telah dinyatakan oleh klara akustia (karena nyokong
atau menentang)
Di dalam lekra ideology sudah ditempatkan di atas seni. Apa yang penting bagi seniman adalah
pemahaman bahwa dirinya tak berbeda dari kaum politik, ilmuan atau karyawan terlihat sebagai
peserta dalam perjuangan untuk membebaskan rakyat dari penindasan kelas yang berkuasa. Dalam
basis seni secara teoritis, lekra selalu menekankan tanggung jawab politik dan moral seniman terhadap
rakyat yang menderita, tetapi hamper tidak pernah memasuki masalahnya yang penting, yaitu bagaimana
ideology itu harus dituangkan di dalam seni. Suatu karya seni ditimbang atas dasar dampaknya atau
dampak yang diperkirakan.
2.5 Tokoh-Tokoh Sastra Lekra
Jumlah pengarang yang mengisi lembaran-lembaran kebudayaan kian hari kian bertambah. Ada nama
baru yang untuk pertama kali menulis. Ada pula nama-nama yang sudah terkenal sebagai pengarang
yang kemudian masuk lekra. Diantara golongan kedua itu bisa disebut Rijono Pratiknto, Utuy T. Sontani,
Dodong Djiwa Praja, Pramudya Ananta Toer, dan lain-lain. Diantara yang namanya sejak mulai muncul
selalu dalam lingkungan lekra adalah A.S. Dharta, Bachtiar Siagian, Bakri Siregar, Hr. Bandaharo, F.L.
Risokotta, Zubir Agam Wispi, Kusni Sulang, B.A. Simanjuntak, Sugiarti Siswadi, Hadi S., dan lain-lain.
Penyair lekra diantara yang muda adalah Amarzan Ismail Hamid yang kadang-kadang menulis cerpen
dan esai. Tetapi ia tak pernah menerbitkan buku sendiri, kecuali dalam bentuk penerbitan bersama yang
banyak dilakukan oleh penerbit lekra berkenaan dengan sesuatu pokok soal yang sedang aktuil.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Penelitian Kualitatif
Penelitian pada novel yang berjudul bumi manusia karya pramudya ananta toer menggunakan
pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra bertujuan untuk mendiskripsikan bentuk
unsure-unsur sosialis yang ada pada Novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer.
Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif karena unsure-unsur sosialis yang ada pada Novel
Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer tersebut dalam proses menganalisis berkaitan dengan
unsure sosial masyarakat yang diukur melalui diskripsi.
Penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriptif yang berupa katakata tertulis atau lisan tentang perilaku orang-orang yang dapt diamati (moloeng, 1989:5)
4.2 Rancangan Penelitian
4.2.1 Sumber Data
Bumi Manusia adalah magnum opus, karya besar Pram yang ditulis saat ia berada di Pulau Buru
bersama ribuan orang lainnya yang dituduh menjadi anggota partai terlarang (PKI) pasca dijatuhkannya
Soekarno oleh Jend Soeharto dalam sebuah silent coup (kudeta diam-diam).
Roman tetralogi buru mengambil latar belakang dan cikal bakal nation Indonesia di awal abad ke 20.
dengan membacanya waktu kita dibalikkan sedemikian rupa dan hidup di era membibitnya pererakan
nasional.
Roman bagian pertama; bumi manusia, sebagai periode penyamaian dan kegelisahan di mana minke
sebagai actor sekaligus creator adalah manusia berdarah priayai yang semampu mungkin keluar dari
kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka, di sudut lain membelah jiwa keeropaan yang menjadi symbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban.
4.2.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara:


1. Studi Pustaka. Membaca, mencatat dan memberikan tanda tentang kejadian atau tingkah laku yang
sesuai dengan metode sosiologi sastra yang terdapat pada novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta
Toer
2. Memilih data yang terkait dengan konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin realitas sosial, dan
fungsi sosial sastra yang diwujudkan dalam bentuk data yang berupa kutipan
3. Mengumpulkan beberapa informasi dari internet atau literature-literatur yang mendukung variable
penelitian yaitu unsure realisme-sosial
4.2.3 Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian sastra sifatnya data kualitatif pernyataan-pernyataan proses
analisis data kualitatif melewati empat tahap yaitu:
a. Tahap Deskripsi
Pada tahap ini data-data yang telah terkumpul diklarifikasikan, dikategorikan, dan dikodekan kemudian
didiskripsikan atau diapaparkan apa adanya.
b. Tahap Analisis
Tahap ini merupakan inti dari metode kualitatif. Pada tahap ini data-data kualitatif dianalisis secara Ilmiah
berdasarkan acuan ilmiah pula. Ketetapan memilih acuan yang sesuai serta kemampuan dan
keterampilan mengaplkasikan teori ke dalam pokok permasalahnnya yang sesuai serta kemampuan dan
keterampilan mengaplikasikan teori dengan hal ini, para peneliti harus luas pengetahuannya (banyak
membaca buku) punya kepekaan tinggi dan berlatih meneliti .
c. Tahap Penafsiran
Pada tahap ini peneliti sastra baru menafsirkan adanya kemungkinan-kemungkinan penelitian
berdasarkan analisis. Penafsiran yang baik adalah penafsiran yang tidak sekedar berdasakan intuisi
penafsiran tetapi penafsiranyang mempunyai pengalaman yang cukup.
d. Tahap Evaluasi
Tahap ini adalah tahap terakhir setiap program studi, yaitu mengevaluasi atau menilai dari seluruh hasil
penelitian secara objektif (satoto, 1988:127)
BAB IV
ANALISIS DATA
Menurut Ian Watt sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya
mungkin saja tidak bisa diperdaya atau tidak bisa diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga
sebaliknya karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara
teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk pengetahui keadaan masyarakat.
Pandangan sosial sastrawan harus dipertimbangkan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin
masyarakat. (Damono, 1978:3)
Dalam penyajian analisis data ini peneliti mendiskripsikan realisme sosialis dari segi:
4.1 Realisme sosialis dilihat dari segi pertentangan kelas pada novel bumi manusia karya Pramudya
Ananta Toer.
4.2 Realisme Sosialis Dilihat Dari Kedekatan Atau Pembelaan Kaum Borjuis Terhadap Kaum Proletar
4.3 Realisme Sosialis Dilihat Dari Perlawanan Kaum Proletar Kepada Borjuis
4.1 Realisme Sosialis Dilihat Dari Segi Pertentangan Kelas Pada Novel Bumi Manusia Karya Pramudya
Ananta Toer.
Dalam novel bumi manusia karya pramudya ananta toer terdapat realisme sosialis dilihat dari
pertentangan kelas antara kelas atas (borjuis) dan kelas bawah (proletar). Hal ini dapat dilihat dalam
kutipan-kutipan di bawah ini:

tentu dada ini menjadi gembung. Aku belum pernah ke eropa. Benar tidaknya ucapan tuan direktur aku
tak tahu. Hanya karena menyenangkan aku cendrung mempercayainya. Lagi pula semua guruku
kelahiran sana, dididik di sana pula. Rasanya tak layak tak mempercai guru. Orang tuaku telah
mempercayakan diriku pada mereka. Oleh masyarakat terpelajar eropa dan indo dianggap terbaik dan
tertinggi nilainya di seluruh hindia belanda. Maka aku harus memepercayainya(11)
Dalam kutipan di atas terdapat pertentang kelas yang menyatakan bahwa orang-orang eropa lebih pintar
dari pada orang-orang pribumi pada waktu itu. Orang eropa juga di anggap mempunyai pendidikan yang
lebih tinggi di banding orang-orang pribumi. Sehingga pada waktu itu orang-orang eropa menjadi guru
sekolah. Dan semua guru pada waktu itu adalah orang-orang eropa. Kutipan lainnya yang menyatakan
pertentangan kelas adalah sebagai berikut:
aku tersinggung aku tahu otak H.B.S. dalam kepala Robert surof ini hanya pandai menghina,
mengecilkan, melecehkan dan menjahati orang. Dia anggap tahu kelemahanku: tak ada darah eropa
dalam tubuhku. Sungguh-sungguh dia sedang bikin rencana jahat terhadap diriku(18)
Dalam kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas antara orang eropa dan orang pribumi.
Orang-orang pada saat itu bangga ketika dia mempunyai keturunan darah eropa. Karena derajat di mata
masyarakat pada waktu itu aka tinggi di banding dengan orang pribumi. Hal serupa juga dapat dilihat
dalam kutipan dibawah ini:
rupa-rupanya kau masih anggap aku sebagai jawa yang belum beradap()
Kutipan di atas menunjukkan jelas kalau masyarakat jawa yang tergolong masyarakat pribumi pada
waktu itu di anggap tidak mempunyai adap, tatakrama atau sopan santun. Ukuran kesopanan pada waktu
itu adalah orang-orang eropa yang dianggap lebih sopan daripada orang-orang pribumi. Hal tentang
pertentangan kelas juga dapat dillihat dari kutipan sebagai berikut:
ia masih menjabat tanganku, menunggu aku menyebutkan nama keluargaku. Aku tak punya, maka
menybutkan. Ia mengernyit. Aku mengerti: barangkali aku di anggapnya anak yang tidak atau belum
diakui ayahnya melalui pengadilan: tanpa nama keluarga adalah indo hina., sama dengan pribumi. Dan
aku memang pribumi. Tapi tidak ia tak meuntut nama keluargaku.(26)
Dari kutipan di atas kita dapat mengetahui betapa terbentangnya pertentangan kelas waktu itu, terutama
antara orang eropa dan orang pribumi. Orang eropa menganggap bahwa orang pribumi sama dengan
indo hina, orang eropa keturunan pribumi yang tidak di akui oleh orang tuanya yang berdarah eropa.
Orang pribumi juga tidak mempunyai nama gelar keluarga sehingga di anggap rendah oleh orang eropa.
Kutipan yang lainnya yang menunjukkan pertentangan kelas antara orang eropa dan orang pribumi dapat
dilihat dari kutipan di bawah ini:

buka putera bupati manapun mama,. dan dengan memulai sebutan nama baur itu, kekikukanku,
perbedaan antara diriku dengannya, bahkan juga keasingannya, mendadak lenyap (35)
Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa pada saat itu anak seorang bupati atau anak seorang petinggi
lainnya sangat dihormati. Dan hanya anak-anak bupati atau anak-anak petinggi yang bisa sekolah pada
saat itu. Pertentangan kelas pada saat itu nampak jelas sekali antara kaum buruh atau golongan kelas
bawah (proletar) dan golongan kelas atas (borjuis). Kutipan di bawah ini juga akan membuktikan bahwa
terjadi pertentangan kelas pada saat itu yakni:
.. orang bekerja tanpa mengeluarkan suara, seperti bisu. Antara sebentar mereka menyeka badan

dengan sepotong kain. Masing-masing mengenakan pengikat rambut berwarna putih. Semua berbaju
putih dengan lengan tergulung sepuluh centimeter di atas sikut. Tidak semua lelaki. Sebagian
perempuan, nampak kain batik di bawah baju putihnya. .(43)
Pada kutipan di atas menunjukkan bahwa dalam novel tersebut diceritakan bahwa orang-orang yang
bekerja atau orang-orang yang bekerja menjadi buruh waktu itu adalah orang-orang pribumi, hal itu
tampak pada kalimat nampak kain batik di bawah baju putihnya sedangkan kain batik adalah cirri khas
orang jawa yang menandakan bahwa orang jawa pada saat itu memang menjadi pekerja atau buruh
dalam perusahaan itu. Hal-hal yang berhubungan dengan pertentangan kelas dalam novel itu dapat di
lihat dalam kutipan di bawah ini:
Annelias bertepuk-teouk dan memperlihatkan dua jari pada siapa aku tahu. Sebentar kemudian datang
seorang bocah pekerja membawakan dua buah topi bamboo, sebuah ia kenakan kepalaku, sebuah
dikenakannya sendiri.(44)
Pada kutipan di atas menjelaskan bahwa seorang bocah sudah menjadi pekerja atau buruh hal itu
terdapat dalam kalimat sebentara kemudian seorang bocah datang membawakan topi kalimat itu
menerangkan bahwa seorang bocah memang sudah bekerja. Hal yang berhubungan dengan
pertentangan kelas juga dapat anda lihat dalam kutipan di bawah ini.
nama minke juga bagus, kata annelias. mari pergi kekampung-kampung. Di atas tanah kami ada empat
buah kampung. Semua kepala keluarga, penduduk bekerja pada kami.(53)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa semua penduduk kampung itu tinggal di atas tanahnya dan bekerja
kepada Nyi Ontosoroh atau annelias. Perbedaan kelas pada kutipan itu memang sangat mencolok sekali
antara tuan tanah sebagai kaum borjuis dan pekerja sebagai kaum proletar. Kutipan di bawah ini juga
membuktikan bahwa dalam novel tersebut memang terdapat perbedaan pertentangan kelas. Hal ini dapat
dibuktikan dalam kutipan di bawah ini.
kowe kira, kalo sudah pakaian eropa, bersama orang eropa, bisa sedikit bahasa belanda lantas jadi
eropa? Tetap monyet!(65)
Kutipan di atas menunjukkan betapa terbentangnya perbedaan kelas dalam novel itu. Minke meski dia
memakai pakaian eropa dan berbahasa belanda masih dikatakan monyet hanya karena dia orang
pribumi. Di bawah ini juga menunjukkan perbedaan kelas dalam novel tersebut, yakni:
Robert barang tentu akan membenci aku sebagai pribumi tanpa harga. Tuan Herman Mallemma tentu
akan menyembur aku pada setiap kesempatan yang didapatnya. Dan apa yang bisa diperoleh di dunia ini
tanpa bea? semua harus dibayar atau ditebus, juga sependek-pendek kebahagiaan(100)
Dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa betapa orang eropa sebagai orang yang terpelajar sangat
membenci orang pribumi, dia menganggap kalau orang pribumi itu tidak mempunyai harga atau derajat
yang sama dengan orang eropa. Hal tersebut juga dibuktikan dalam kutipan dibawah ini yakni terjadinya
pertentangan kelas antara orang eropa dan orang pribumi.
mamamu hanya seorang pribumi, akan tidak mempunyai suatu hak atas semua, juga tidak bisa berbuat
sesuatu untuk anakkku sendiri, kau ann. Percuma saja akan jadinya kita bedua membanting tulang tanpa
hari libur(112)

Dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa orang pribumi memang tidak diakui secara hukum apabila
kawin dengan orang eropa, kaum pribumi tidak akan dapat apa-apa. Betapa terbentangnya perbedaan
kelas antara orang eropa dan orang pribumi. Di bawah ini juga menunjukkan pertentangan kelas antara
orang eropa dan orang pribumi.
sama, kalau begitu kita bias sama-sama pergi berlayar menjelajah dunia. Minke, kau dan aku. Kita bias
bikin rencana, buka? Sayang kau hanya pribumi.(157)
Dalam kutipan di atas sudah jelas minke sebagai orang pribumi tidak dikehendaki bergaul dengan orangorang eropa. Dia tidak diharapkan bahkan tidak diakui kalau dia bergaul atau berghubungan dengan
orang-orang eropa. Semua itu karena perbedaan atau pertentangan kelas antara orang eropa sebagai
kaum borjuis dengan orang pribumi sebagai kaum proletar. Di bawah ini juga menunjukkan adanya
pertentangan kelas, yakni sebagai berikut:
jangan hukum sahaya lebih berat dari kesalahan sahaya. Sahaya hanya mengetahui yang orang
jawa tidak mengetahui, karena pengetahuan itu milik bangsa eropa, dan arena memang sahaya belajar
kepada mereka(194).
Kutipan di atas menunjukkan adanya perbedaan kelas yakni kelas borjuis yang dianggap tidak memiliki
ilmu pengetahuan dengan kelas proletar yakni orang eropa yang dikatakan sebagai orang yagn berilmu
dan mempunyai sopan santun. Hal yang berhubungan dengan perlawanan atau perbedaan kelas juga
terdapat dalam kutipan di bawah ini.
salaman ucapan itu tak lama. Lurah-lurah tak layak menyalami bupati. Maka ayahanda menghemat
tangannya dari barang seribu duaratus jabatan para punggawa desa. Mereka tinnggal duduk di atas
tikarnya di pelataran sana(201)
Kutipan di atas menunjukkan terjadi perbedaan kelas antara lurah dan bupati. Para lurah disebutkan tidak
layak menjabat tangan bupati. Dalam kuitpan di bawah ini juga terdapat perbedaan atau pertentangan
kelas, yakni:
minke, kalau kau bersikap begitu terus, artinya mengambil sikap eropa, tidak kebudak-budakan seperti
orang jawa seumumnya, mungkin kelak kau bias jadi oraqng penting.kau bias jadi pemuka perintis,
contoh bangsamu. Mestinya kau sebagai orang yang terpelajar sudah tahu bangsamu sudah rendah dan
hina(219)
Kutipan di atas menunjukkan terjadinya perbedaan kelas yang menganggap bangsa jawa sebagai orang
pribumi dianggap rendah dan hina dibanding dengan orang eropa sebagai kaum proletar. Kutipan di
bawah ini juga menunjukkan pertentangan atau perbedaan kelas antara kaum proletar dan kaum borjuis,
yakni:
baik. Jadi kau membenci minke hanya karena dia pribumi dank au berdarah eropa. Baik. Memang aku
mampu mengajar dan mendidik kau. Hanya orang eropa yang bias lakukan itu untukmu.(236)
Kutipan di atas menunjukkan tentang perbedaan kelas kalau Robert membenci minke hanya karena
minke orang pribumi dan Robert orang eropa. Perbedaan dan pertentangan seperti itu juga terdapat
dalam kutipan dibawah ini, yakni:
. Tuan telah mempelajari adab eropa selama ini, tentu tuan tau perbedaan antara sikap pria eropa

dan pria pribumi terhadap wanita. Kalau tuan sama dengan pria jawa pada umumnya, anak ini tak akan
berumur panjang.(302)
Kutipan di atas menunjukkan perbedaan kelas antara orang pribumi dan orang eropa. Orang eropa
dianggap lebih halus sifatnya disbanding dengan orang pribumi. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan
tentang perbedaan antara orang pribumi dan orang eropa, yakni sebagai berikut:
bagaimana pendapatmu sendiri? Mungkin kiranya pribumi bias jadi sarjana dalam keilmuan eropa?
Terus terang, Papa sebenarnya meragukan. Kata papa-dan kau jangan gusar seperti dulu-kejiwaan
pribum belum berkembang setinggi eropa; terlalu mudah pertimbangannya ayng baik terdesak oleh
rangsang berahi..(330)
Dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa bangsa pribumi jauh disbanding bangsa eropa tentang ilmu
pengetahuannya. Sehingga bangsa eropa lebih menjadi terhormat disbanding dengan bangsa pribumi
sendiri. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan bahwa terjadi perbedaan atau pertentangan kelas antara
bangsa eropa sebagai borjuis dan bangsa pribumi sebagai bangsa proletar.
seorang eropa, eropa totok, telah membeli diriku dari orang tuaku. Suarnya pahit mengandung dendam
yang tak bakal tertebus dengan lima istana. aku dibeli untuk dijadikan induk untuk anak-anaknya(341)
Dalam kutipan di atas menunjukkan kalau dalam novel tersebut memang terdapat perbedaan kelas
antara orang-orang eropa dengan orang pribumi. Orang eropa sebagai borjuis dan orang pribumi sebagai
proletar sehingga orang pribumi yang kebanyakan gila harta mudah dipengaruhi dan mudah dibeli oleh
orang eropa seperti harga dirinya atau bahkan anaknya untuk dijadikan gundik atau nyai. Kutipan di
bawah ini juga menunjukkan tentang perbedaan atau pertentangan kelas, yakni sebagai berikut:
tak bisa mereka melihat pribumi tidak penyek terinjak-injak kakinya. Bagi mereka pribumi mesti salah,
orang eropa harus bersih, jadi pribumipun sudah salah. Dilahirkan sebagai pribumi sudah lebih salah lagi.
Kita menghadapi keaadaan yang lebih sulit minke anakku.(413)
Dalam kutipan di atas menunjukkan adanya perbedaan kelas antara orang pribumi dengan orang eropa,
orang eropa dikatakan bersih, sedangkan orang pribumi selalu salah dan akan diinjak sampai penyek.
Orang eropa pada waktu itu mnenganggap dirinya paling benar dan paling terhormat. Dalam kutipan di
bwah ini juga terdapat perbedaan atau pertentangan kelas yakni:
mama ada di pihakmu, kata wanita itu, tapi di depan hukum kau tak bakal menang. Kau menghadapi
orang eropa, Nyo. Sampai-sampai jaksa dan hakim akan mengeroyok kau, dan kau tak punya
pengalaman pengadilan. Tidak semua pokrol dan advokat bisa dipercaya, apa lagi soallnya pribumi
menggugat eropa. Tulisan itu jawab saja dengan tulisan. Tantang dia dengan tulisan juga(414)
Kutipan di atas menunjukka adanya pertentangan kelas antara orang eropa dengan orang pribumi,
dikatakan dalam novel tersebut kalau orang eropa akan menang, karena hakim dan jaksa tidak akan
berpihak pada orang pribumi. Dia lebih berpihak pada orang eropa. Pertentangan kelas seperti di atas
juga terdapat dalam kutipan di bawah ini:
dan tuan di bawah kerajaan-kerajaan pribumi, rakyat tuan tidak pernah mendapatkan keamanan dan
ketausaan, tidak mendapat perlindungan hokum, karena memang tidak ada hokum,. Kurang baik apa
pemerintah hindia belanda? Orang-orang liberal itu memang mempunyai impian aneh tentang
India(439)

Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas antara orang eropa dan orang pribumi. Di mana
orang pribumi yang tidak di akui mempunyai hokum, berbeda dengan orang eropa yang dijunjung tinggi
oleh hokum dinegeri ini. Kutipan di atas menunjukkan adanya perbedaan kelas, yakni sebagai berikut:
para orang tua dan wali murid telah duduk berbanjar. Semua; totok, indo, beberapa orang tionghoa, dan
tak pribumi barang seorangpun(444)
Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas terutama dalam sekolah itu. Yang boleh sekolah
disitu hanya orang-orang eropa dan skutunya. Sedangkan kaum pribumi tidak bisa sekolah di sana.
Kutipan di bawah ini juga menunjukkan pertentangan kelas dalam novel tersebut, yakni:
apa yang kau sahayakan? Nenek moyangmu dulu, raja-raja jawa itu, semua menulis jawa. Malu kau
kiranya kau jadi orang jawa? Malu kau tidak jadi belanda?(461)
Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas. Betapa rendahnya pribumi di mata orang
eropa. Mereka menganggap orang pribumi tidak punya sopan santun seperti orang eropa. Dalam kutipan
di bawah ini juga menunjukkan adanya pertentangan atau perbedaan kelas yakni:
.dia bilang annelias mallemma berada di bwah hukum eropa, nyai tidak. Nyai hanya pribumi.
Sekiranya dulu jurrof annelias mallemma tidak diakui tuan mallemma, dia pribumi dan pengdilan putih
tidak punya sesuatu urusan(488)
Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas. Kalau orang pribumi tidak diakui dan tidak
mempunyai hokum yang jelas sehingga orang eropa dapat bertindak sewenang-wenang terhadap orang
pribumi. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan adanya perbedaan pertentangan kelas, yakni:
akhir-akhirnya, katanya kemudian dengan suara rendahpersoalannya tetap eropa terhadap pribumi,
minke, terhadap diriku. Ingat-ingat ini: eropa yang menelan pribumi sambil menyakiti secara sadis. E-ropa . Hanya kulitnya yang putih Ia mengumpat, hatinya bulu semata (489)
Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas antara orang eropa dan orang pribumi. Dimana
orang eropa selalu bertindak sewenang-wenang terhadap orang pribumi, dan sering menyakiti orang
pribumi.
4.2 Realisme Sosialis Dilihat Dari Kedekatan Atau Pembelaan Kaum Borjuis Terhadap Kaum Proletar
Kaum proletar yang berkuasa atau selalu menjadi tuan atau majikan tidak selamanya membedakan diri
atau memisahkan diri dari kaum borjuis yang selalu menjadi buruh pekerja. Hal itu terjadi dalam keluarga
nyi ontosoroh dan annelias yang selalu dekat dan kerap membela hak pekerja. Hal tersebut dapat kita
lihat dalam kutipan sebagai beikut:
annelias mendekati mereka seorang demi seorang dan mereka memberikan tabik, tanpa bicara,hanya
dengan isyarat. (44)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa annelias dekat dengan para pekerja, dia tidak segan-segan
menyapa para pekerjanya walau dia sendiri menjadi Tuan atau anak dari pemilik perusahaan itu. Hal
tentang kedekatan antara kaum proletar dan kaum borjuis juga di buktikan dalam kutipan di bawah ini.
Mereka boleh berlibur kalau suka. Mama dan aku tak pernah berlibur. Mereka pekerja harian(45)

Dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa seorang majikan seperti annelias dan mamanya memberi
kebebasan pada pekerjanya untuk berlibur. Mereka tidak mengekang pekerjanya untuk bekerja terus.
Kedekatan antara kaum borjuis dengan proletar juga ditunjukkan dalam kutipan di bawah ini:
juga di sini terdapat pekerja-pekerja wanita. Hanya tidak berbaju kera. Orang-orang memberikan tabik
dengan membungkuk dengan mengangkat tangan pada kami berdua. .(46)
Kutipan di atas menunjukkan kedekatan antara pekerja dengan annelias esbagai tuannya, mereka tidak
segan-segan menyapa tuannya yang lewat dekat mereka. Dalam kutipan di bawah ini juga membuktikan
kedekatan antara kaum proletar dan kaum borjuis.
beberapa orang perempuan menahan annelias dan mengajaknya bicara, minta perhatian dan bantuan.
Dan gadis luar biasa ini seperti seorang ibu melayani mereka dengan ramah(54)
Kutipan di atas menunjukkan betapa baiknya annelias kepada semua masyarakat yang ada di sekitarnya.
Meski dia sebagai tuan tanah dia masih tetap berhubungan dengan masyarakat sekitarnya. Kutipan di
bawah ini juga menunjukkan bahwa dalam novel tersebut terdapat kedekatan antara kaum borjuis dan
kaum proletar.
.. kami berdua tak punya teman, tak punya sahabat. Hidup hanya sebagai majikan terhadap buruh
dan sebagai taoke terhadap langganan, dikelilingi orang yang hanya semata karena urusan perusahaan,
membikin aku tak bisa membanding-banding(113)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa betapa dekat dia dengan pekerjanya, dengan pelangganpelanggannya. Bahkan dia tidak tahu keadaan di luar karena dia terlalau sibuk berurusan dengan
pelanggan atau dia terlalu sibuk atau lebih dekat dengan kaum buruh sebagai pekerjanya dengan dunia
luar terutama masyarakatnya. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan terjadinya kedekatan antara kaum
borjuis dengan kaum proletar.
.pernah aku bertanya padanya, apa wanita eropa diajar sebagaimana aku diajar sekarang ini? Tahu kau
jawabannya? kau lebih mampu daripada rata-rata mereka, apalagi yang peranakan(134)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tuan mallema sebagai orang eropa dia tetap mengakui kalau nyi
ontosoroh sebagai seorang pribumi memang lebih pintar dalam hal apapun di banding dengan wanita
eropa lainnya apalagi dengan peranakan eropa. Hal ini juga terdapat dalam kutipan dibawah ini yakni
kedekatan atau pembelaan kaum borjuis dengan kaum proletar, yakni:
tak mungkin kau seperti wanita belanda. Juga tidak perlu. Kau cukup seperti yang sekaran. Biar begitu
kau lebih cerdas dan lebih baik daripada mereka semua. Semua ia tertawa mengakak(136)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tuan mallema telah membela kaum pribumi yakni nyi ontosoroh. Dia
mengatakan bahwa Nyi Ontosoroh sebagai orang pribumi lebih pintar atau lebih cerdas daripada wanita
eropa. Kedekatan atau pembelaan kaum borjuis terhadap kaum proletar juga terdapat dalam kutipan di
bawah ini.
nyai, kecuali baca tulis, semua sudah darsam kerjakan ia bicara dalam bahasa madura. Aku tak
menjawab. Aku tak pikirkan urusan perusahaan. Aku tetap bergolek diranjang memeluk bantal. jangan
nyai kuatir. Semua beres. Darsam ini, nyai percayalah padanya ternyata dia memang bias

dipercaya.(149)
Dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa darsam sebagai pengawal nyi ontosoroh sangat setia kepada
nyai. Hal itu diseb abkan karena kedekatannya selama ini yang dilakukan oleh nyai kepada semua
karyawan-karyawannya terutama darsam sebagai pengawal pribadinya sehingga darsam setia dan diberi
kepercayaan oleh nyi onotosoroh. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan kedekatan atau pembelaan
proletar terhadap borjuis.
tidak. Sudah begitu banyak kesulitan Nyai karena anak dan tuannya. Darsam harus urus sendiri
pekerjaan ini. Tuan muda sabar saja(230).
Kutipan di atas menunjukkan kedekatan antara Nyi ontosoroh dan darsam sebagai pengawal pribadinya.
Darsam melakukan itu semua agar nyi ontosoroh yang sebagai tuannya tidak terlalu banyak memikirkan
masalah yang ditimbulkan oleh anak dan suaminya. Kutipan di bawah ini juga membuktikan kedekatan
antara majikan dengan anak buahnya atau pembantunya.
lagi pula ternyata Nyai bukan wanita sembarangan. Dia tyerpelajar, Jean. Aku kira wanita pribumi yang
terpelajar yang pertama kali kutemui dalam hidupku. Mengagumkan jean. Lain kali akan kubawa kau ke
sana, berkenalan. Kita akan bawa may. Dia akan senang di sana(273)
Kutipan di atas menunjukkan pembelaan minke kalau tidak semua nyai berwatak hina dan rendah seperti
yang diperkirakan orang lain. Dalam kutipan dibawah ini juga menunjukkan adanya kedekatan antara
kaum borjuis dengan kaum proletar.
dia perintahkan membunuhtuan muda? Dan aku bilang padanya: majikanku nayi dan noni;
orang yang mereka sukai aku sukai; kalau sinyo menghendaki terbunuhnya tuan muda, sebaiknya sinyo
sendiri yang kutebang; kau bukan majikanku; awas, aku cabut parang, dan dia lari(394)
Kutipan di atas menunjukkan kedekatan antara nyai dan noni terhadap pengawal pribadinya yakni
darsam sehingga darsam setia dan patuh pada nyai dan noni. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan
adanya kedekatan antara majikan dan pembantu, yakni:
mulai kapan nyai tidak percaya sama darsam? Ia seka kumisnya dengan punggung lengan(397)
Kutipan di atas menunjukkan pembelaan darsam sebagai pengawal pribadi dari majikannya yakni Nyi
Ontosoroh yang curiga terhadap tingkah laku darsam. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan pembelaan
pegawai atau pembantu terhadap majikannya.
sepanjang perjalanan magda peters berkicau tentang kebanggaannya punya seorang murid seperti aku.
Dan aku sendiri merasa terbelai setelah pengalaman menggebu selama ini(433)
Kutipan di atas adalah pembelaan bangsa eropa terhadap bangsa pribumi yang bangga kepada minke
sebagai muridnya dari bangsa pribumi. Dia memuji minke sehingga dia merasa terbelai setelah cukup
lama dia menghadapi pengalaman yang menggebu. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan adanya
kedekatanatau pembelaan terhadap orang-orang pribumi.
sebagai upacara perpisahan tuan direktur menyerahkan padaku surat-surat dari Miriam dan sarah de la
croix tanpa prangko(436)

Kutipan di atas adalah pembelaan kum eropa yakni Miriam dan sarah de la croix yang membela minke.
Dia memperotes pemecatan minke dan dia mengatakan kalau minke sebenarnya bukan harus di pecat
tapi dibantu. Sehingga sekolah memanggil minke lagi untuk dimasukkan lagi dalam sekolah. Kutipan di
bawah ini juga menunjukkan adanya kedekatan atau pembelaan antara kaum borjuis yakni orang-orang
eropa terhadap orang pribumi.
kami dinikahkan secara islam, darsam bertindak sebagai saksi dan sekaligus wali menurut hukum islam
bagi annelias. Itu terjadi pada jam sembilan pagi tepat.
Dalam kutipan di atas darsam yang selama ini menjadi pengawal pribadi dari nyai, dia di percaya menjadi
saksi atau bahkan wali dari annelias, sungguh kepercayaan yang mungkin tidak akan dilupakan oleh
darsam. Itu dilakukan nyai karena kedekatannya dengan pengawal pribadinya yakni darsam. Kutipan di
bawah ini juga menunjukkan kedekatan antara majikan dengan pesuruh, yakni:
lukisan itu, ia menerangkan tak lain darigambar seorang pribumi yang memang luar biasa untuk
jamannya, nyai ontosoroh, seorang wanita cerdas, ibu pengantin wanita dan mertua tuan minke.ia
seorang pribadi yang cemerlang, seorang nahkoda yang tak bakal membiarkan kapalnya rusak di tengah
pelayaran, apalagi tengelam(469)
Kutipan di ats menunjukkn adanya pembelaan dari bangsa eropa terhadap nyi ontosoroh sebagai orang
pribumi yang dianggap luar biasa oleh orang eropa.
4.3 Realisme Sosialis Dilihat Dari Perlawanan Kaum Proletar Kepada Borjuis
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna, dia dibekali pikiran, perasaan, marah bahkan nafsu.
Dengan modal itulah siapapun akan melawan terhadap ketertindasan yang dilakukan oleh sesama
manusia, terutama kaum borjuis yang semena-mena menghina dan menginjak-injak kaum proletar yang
umumnya adalah masyarakat pribumi. Hal tersebut dapat dilihat dalam novel bumi manusia, yakni
perlawanan kaum proletar terhadap kaum borjuis. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini:
sekarang sedang ada pesta besar, kataku. Mengapa mereka tidak di beri libur(45)
Dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa kata mereka adalah kaum buruh, dalam kutipan di atas
menunjukkan pembelaan terhadap kaum buruh agar di beri kebebasan untuk libur. Minke yang
mengatakan itu ingin membela kaum proletar agar juga di beri hari libur.Pembelaan atau perlawanan
kelas kaum proletar dan kaum borjuis juga terdapat dalam kutipan di bawah in:
dalam satu tahun telah dapat kukumpulkan lebih dari seratus golden. Kalau pada suatu kali tuan
mallemma pergi pulang atau mengusir aku, aku sudah punya modal pergi ke Surabaya dan berdagang
apa saja(129)
Dalam kutipan di atas menunjukkan kepintaran dari sang nyai ontosoroh sebagai seorang pribumi, dia
berbuat demikian sebagai perlawanan kepada tuan mallema apabila suatu saat dia diusir dia sudah siap
karena dia sudah mempunyai modal yang cukup. Perlawanan kaum proletar terhadap kaum borjuis juga
ditunjukkan dalam kutipan dibawah ini.

ucapan yang hanya patut di dengar di rumah mallemma hammers dan anaknya tangkisku dalam
belanda(145)

Kutipan di atas adalah kata-kata yang keluar dari Nyi Ontosoroh karena dia telah dihina oleh anak shah
dari suaminya yakni tuan mallema. Di melakukan atau mengatakan itu karena dia sudah tidak kuat
menahan hinaan yang diterimanya. Dia sebagai orang pribumi dihina oeh orang eropa. Oleh karena itu
dia melawan kepada maurits mallema yang tak lain adalah anak sah dari tuan mallema. Di bawah ini juga
terdapat bukti tentang perlawanan kaum proletar terhadap kaum bojuis atau orang eropa.
pergi raungku. Dia tetap tidak menggubris aku.bikin kacau rumah tangga orang. Mengaku insinyur,
sedikit kesopanan pun tak punya (146)
Dalam kutipan di atas adalah perlawanan dari Nyi Ontosoroh yang mengusir orang eropa karena dia
telah menginjak-nginjak harga dirinya hanya karena dia sebagai seorang nyai. Dia berani melawan
maurits mallemma untuk keluar dari rumahnya karena kekurangajarannya terhadap keluraga Nyi
Ontosoroh. Perlawanan orang pribumi yang digambarkan sebagai kaum proletar terhadap orang eropa
yang juga digambarkan sebagai kaum borjuis juga terdapat dalam kutipan di bawah ini.
jadi begitu macamnya anak dan istrimu yang syah raungku pada tuan. begitu macamnya peradaban
eropa yang kau ajarkan padaku berbelas tahun? Kau agungkan setinggi langit? Siang dan malam?
Menyelidiki pedalaman rumah tangga orang, menghina, untuk pada suatu kali dating memeras?
Memeras? Apalagi kalau bukan memeras? Untuk apa menyelidiki urusan orang lain?(147)
Kutipan di atas menunjukkan perlawanan Nyi Ontiosoroh sebagai orang pribumi dia melawan kepada
orang eropa yakni suaminya sendiri,karena anaknya yang dating sudah menghancurkan rumah
tangganya. Dia mengatakan kalau kesopanan orang eropa yang selama in diagung-agunkan ternyata
hanya untuk memeras. Kutipan dibawah ini juga menunjukkan adanya perlawanan orang pribumi
terhadap orang eropa.
kau memang sudah bukan jawa lagi. Dididik belanda jadi belanda, belada coklat semacam ini.
Barangkali kaupun sudaqh masuk Kristen(193)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa ibunda dari minke mengigatkan minke agar jangan sampai
terpengaruh kepada budaya belanda atau jangan sampai pindah agama menjadi agama Kristen seperti
yang di anut orang belanda. Hal itu dilakukan untuk membela anaknya agar tidak tejerumus pada
kebudayaan belanda. Anaknya sebagai orang jawa diingatkan agar tidak lupa terhadap budaya jawa.
Kutipan dibawah ini juga menunjukkan adanya pembelaan antara orang pribumi terhadap orang eropa.
lagu kebangsaan belanda, willbelmus, dinyanyikan. Orang berdiri. Sangat sedikit yang ikut menyanyi.
Sebagian terbesar memang tidak bias. Pribumi hanya seorang dua. Yang lain-lain hanya bias terlongoklongok mungkin sedang menyumpahi melodi yang asing dan mengganggu persaan itu(199)
Kutipan di atas menunjkkan bahwa orang pribumi tidak suka terhadap lagu kebangsaan belanda yang
dinyanyikan. Oleh karena itu banyak orang yang menyumpahi lagu itu yang mengganggu telinga. Kutipan
di bawah ini juga menunjukkan tentang perlawanan kaum borjuis, seperti:
tapi daerah loteng ini tempat larangan kecuali untuk mama dan kau. Kan ketentuan itu harus juga
dihormati? dan masih barnag dua puluh kalimat lagi kuucapkan(333)
Kutipan di atas menunjukkan adanya perlawanan antara minke sebagai seorang pribumi kepada annelias
sebagai seorang bangsa eropa. Minke menolak untuk tinggal diloteng, di mana tempat itu adalah

larangan untuk semua orang agar ti9dak boleh masuk ke sana kecuali Nyai dan annelias. Kutipan
dibawah ini juga menunjukkan perlawanan atau pembelaan bangsa pribumi terhadap bangsa eropa.
seperti dongeng seribusatu malam. Coba, ia merasa lebih tepat di panggil Nyai. Aku kira hanya untuk
membenarkan dendamnya. Memang Nyai sebutan pribumi lebih tepat untuk gundik seorang bukan
pribumi. Dia tidak suka diberlakukan , manis-manis. Dia tetaap mengukuhi tentang keadaan dirinyadengan kebesaran ditaburi dendam(346)
Dalam kutipan di atas menunjukkan adanya perlawanan Nyai yang bersikukuh kalau dia lebih tepat
dipanggil seorang Nyai. Dia tidak suka diberlakukan manis-manis seperti umunya seorang wanita eropa.
Dia tetap mengukuhi keadaan dirinya sebagai seorang nyai hanya untuk membenarkan dendamnya.
Kutipan dibawah ini juga menunjukkan adanya perlawanan antara kaum borjuis dan proletar.
tapi mama bukan pembenci eropa. Dia banyak urusan dengan orang eropa, malah dengan orang-orang
ahli, seperti tuan sendiri. Dia malah membacai pustaka eropa(371)
Dalam kutipan di atas menunjukkan terjadinya pembelaan minke terahadap mamanya yaitu nyai
ontosoroh yang orang pribumi atau sebagai kaum proletar yang dikatakan memebnci eropa. Padahal
pada kenyataannya Nyai ontosoroh tidak membenci orang eropa, bahkan dia berurusan dengan orang
eropa atau dia sering baca pustaka eropa. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan adanya perlawanan
antara orang pribumi dengan orang eropa.
ya, waktu mulai jadi sinting juga, sambung nyai, juga seperti pertama kali tuan jadi begitu. Jangan
mendekat ann, jangan(403)
Dalam kutipan di atas menunjukkan perlawanan Nyi ontosoroh yang maasih menaruh rasa benci kepada
tuan mallemma sehingga untuk dekat dan menyentuhpun di tidak mau meski tuan mallemma sudah mati.
Kutipan di bawah ini juga menunjukkan adanya perlawanan antara orang pribumi dengan orang eropa,
yakni sebagai berikut:
cuti seminggu dari sekolah kupergunakan untuk menulis, membantah berita-berita tak benar dan
bersirat(409)
Kutipan di atas adalah pembelaan dari minke kalau dia tidak bersalah dalam pebunuhan itu. Dalam
kutipan di bawah ini juga menunjkkan adanya pembelaan yakni sebagai berikut:
siapa yang menjadikan aku gundik? Siapa yang membikin mereka menjadi nyai-nyai? Tuan-tuan bangsa
eropa, yang dipertuankan. Mengapa di forum resmi kami ditertawakan? Dihinankan? Apa tuan-tuan
menghendaki anakku juga jadi gundik?(427)
Dalam kutipan di atas menunjukkan adanya pembelaan antara nyai sebagai orang pribumi terhadap
forum resmi yakni persidangan yang lebih memihak kepada orang-orang eropa, lebih membela orang
eropa. Sehingga Nyai melawan dengan mengeluarkan kata-kata seperti kutipan di atas. Kutipan yang
melambangkan perlawanan kaum pribumi juga terdapat dalam kutipan di bawah ini:
biarpun tnapa ahli hokum. Kita akan jadi pribumi pertama yang akan melawan pengadilan putih, nak,
Nyo. Bukankah itu suatu kehormatan juga(494)
Dalam kutipan di atas adalah upaya pribumi yang akan melawan pengadilan putih yang merupakan

tempat pengadilan orang eropa dan tentu saja pengadilan putih itu akan lebih berpihak pada eropa.
Kutipan di bawah ini juga menunjukkan perlawanan antara kaum pribumi dengan orang eropa.
keputusan pengadilan Surabaya menerbitkan amarah banyak orang dan golongan. Serombongan orang
madura, bersenjata parang dan sabit besar, clurit, telah mengepung rumah kami, menyerang orang eropa
dan hamba negerinya yang berusaha memasuki pelataran kami(511)
Kutipan di atas jelas merupakan perlawanan orang pribumi terhadap orang eropa. Mereka marah setelah
selama ini harga diri mereka di injak-injak. Mereka bertarung tanpa mempunyai perasaan taku lagi.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer merupakan novel sebagai periode penyamaian dan
kegelisahan di mana minke sebagai actor sekaligus creator adalah manusia berdarah priyayi yang
semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas merdeka, di sudut
lain membelah jiwa ke-eropa-an yang menjadi symbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan
peradaban.
Berdasarkan analisis data di atas maka kami sebagai penulis dapat menyimpulkan bahwa realisme
sosialis dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer yakni bisa dilihat menjadi:
1. Realisme sosialis dilihat dari segi pertentangan kelas pada novel bumi manusia karya Pramudya
Ananta Toer yakni sebanyak 46,55 %
2. Realisme Sosialis Dilihat Dari Kedekatan Atau Pembelaan Kaum Borjuis Terhadap Kaum Proletar yakni
sebanyak 27,59 %
3. Realisme Sosialis Dilihat Dari Perlawanan Kaum Proletar Kepada Borjuis yakni sebanyak 25,86 %
Demikian kesimpulan kami, semoga bisa menjadi acuan yang berguna baik bagi manusia yang kini
tinggal dalam bumi manusia. Apabila ada kesalahan baik dalam penulisan atau yang lainnya kami selaku
penulis mohon maaf tiada batasnya. Sekian dan terima kasih.

Realisme Sosialis dalam Kumpulan Puisi Aku


Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul (Kajian
Strukturalisme Genetik)
Wahyu Widodo

Abstrak
Karya sastra memuat dan mengandung kenyataan sosial yang terjadi di
dalam masyarakat. Secara langsung karya sastra bergesekan dengan dinamika
masyarakat yang di dalamnya memuat ideologi suatu komunitas tertentu.
Keterlibatan sastra dalam ideologi suatu komunitas mengakibatkan sastra
mempunyai keberpihakan atau terlibat secara langsung dalam dinamika
masyarakat. Dengan demikian, sastra menjadi corong kepentingan ideologi,
menggambarkan kondisi sosial masyarakat, dan sebagai media propaganda
perjuangan mewujudkan gagasan atau ide. Sastra yang seperti ini lazim disebut
dengan aliran realisme sosialis yakni aliran karya sastra yang mengangkat pokok
persoalan dalam masyarakat yang menggambarkan :(1) fakta atau kenyataan
sosial yang terjadi dalam masyarakat, (2) penderitaan masyarakat bawah atau
wong cilik yang disebabkan oleh hegemoni struktur yang berkuasa,(3)
pertentangan kelas dalam masyarakat, (4) mempunyai keberpihakan terhadap
masyarakat bawah atau wong cilik,dan (5) memuat propaganda perlawanan
terhadap struktur yang berkuasa. Pokok persoalan tersebut diangkat disesuaikan
dengan garis ideologi partai yang mencerminkan kecenderungan penyair atau

pengarang terhadap ideologi sosialis komunis yang di anutnya.


Strukturalisme genetik adalah kajian kesusastraan yang mengkaji struktur
karya sastra yang dikaitkan dengan asal usul karya sastra yang mencerminkan
latar belakang penyair atau pengarangnya dan sosial budaya
masyarakatnya.Penyair dalam pandangan Goldmann mewakili pandangan dunia
(vision du monde) masyarakatnya dan sebagai wakil golongan masyarakatnya.
Oleh karena itu, pendekatan strukturalisme genetik tidak hanya meneliti struktur
karya sastra namun juga mengkaji kehidupan sosial budaya penyair karena
merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang ikut mengkondisikan
keberadaan karya sastra. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan unsur
struktur puisi dalam kumpulan AIJP karya Wiji Thukul, mendeskripsikan latar
belakang sosiobudaya penyair yang terefleksikan ke dalam puisi AIJP,
mendeskripsikan ciri-ciri realisme sosialis dalam kumpulan puisi AIJP.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian kualitatif,
penjabarannya dilakukan menggunakan deskripsi secara kualitatif dan bukan
menggunakan data statistik.Teknik analisis dengan cara (1) menganalisis pokok
persoalan dalam kumpulan puisi AIJP karya Wiji Thukul, (2) menganalisis unsur
struktur puisi yang mempunyai indikasi realisme sosialis, (3) menganalisis
penciptaan konteks puisi untuk mendeskripsikan sosiobudaya penyair yang
iterefleksikan dalam AIJP,(4) menganalisis ciri- ciri realisme sosialis yang terdapat
dalam struktur puisi dan sosiobudaya penyair.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kumpulan puisi AIJP yakni
sebagaiberikut: unsur struktur puisi dalam kumpulan puisi AIJP yakni

mengangkat pokok persoalan penderitaan yang dialami kaum miskin atau


masyarakat bawah dan perlawanan terhadap pemerintah pada masa pemerintahan
orde baru yang berbuat sewenang- wenang dengan menggunakan bunyi- bunyi
yang bernuansa berat, kacau, dan tercekik. Pilihan kata yang digunakan adalah
kata yang mengandung pertentangan antara struktur yang berkuasa dengan
struktur yang dikuasai dan mengacu pada makna denotatif, bahasa kiasan yang
digunakan adalah bahasa kiasan kontras, yang mengkiaskan pertentangan yang
terjadi dimasyarakat, sedangkan gaya bahasa yang digunakan adalah dengan
menggunakan sarana retorika yang menjelaskan senyata- nyatanya penderitaan
yang dialami masyarakat bawah dan memberikan penekanan perlawanan terhadap
struktur yang berkuasa. Deskrispsi sosial budaya masyarakat dan pandangan
penyair (world view) terhadap kondisi sosial budaya yang mengkondisikan AIJP,
yakni sebagai berikut (1) deskripsi kondisi sosial masyarakat bawah yang
menderita akibat kebijakan pemerintah orde baru di bawah pimpinan Soeharto
pada kurun waktu tahun 1980 sampai 1997 yang terdapat dalam AIJP.(2)
deskripsi kondisi masyarakat yang berbudaya Jawa yang banyak mewarnai
AIJP.Akan tetapi bukan masyrakat yang berbudaya Jawa dari kelas atas, tetapi
masyarakat yang berbudaya Jawa dari kelas bawah. Hal ini tercermin dalam
penggunaan kosakata Jawa yang berkonotasi kasar, terang-terangan, dan kurang
sopan yang sering digunakan dalam puisi yang berjudul Nyanyian Abang Becak,
Lingkungan Kita si Mulut Besar, dan Darman. Pandangan penyair terhadap
kondisi sosial budaya masyarakat adalah sebagai berikut:(1) masyarakat bawah
yang menderita akibat kesewenang-wenangan pemerintah melalui kebijakannya

harus berani untuk menyatakan keberadaan dirinya hal ini tercermin dari pokok
persoalan yang diangkat, (2) masyarakat bawah mempunyai kekuatan dan
keberanian untuk melawan kesewenang-wenangan pemerintah dengan banyaknya
ditemukan penggunaan tanda seru sebagai sebuah seruan dan ajakan serta
penegasan keyakinan yang ditempuhnya yakni jalan melawan pemerintah.Ciri-ciri
realisme sosialis dalam kumpulan puisi AIJP karya Wiji Tjukul yakni memadukan
antara isi dan bentuk, dalam artian isi mengangkat pokok persoalan(subject
matter) dalam masyarakat bawah dengan menggunakan piranti estetika
kesusastraan seperti bahasa kiasan, gaya bahasa dan pilihan kata yang sesuai serta
terkondisikan dalam sosial budaya masyrakat bawah yang menderita pada kurun
waktu 1980 sampai 1997 di masa pemerintahan orde baru.
Berdasarkan hasil penelitiaan ini, dapat disarankan agar penelitian
selanjutnya lebih memfokuskan pada satu unsur struktur yang dominan. Dengan
demikian, ciri-ciri realisme sosialis dalam kumpulan puisi AIJP akan lebih fokus.

REALISME SOSIALIS PRAMOEDYA


ANANTA TOER (Telaah dalam Novel
Tetralogi)
REALISME SOSIALIS PRAMOEDYA ANANTA TOER
(Telaah dalam Novel Tetralogi)
Oleh Team www.seowaps.com
Realisme sosialis adalah salah satu aliran dalam sosialisme yang bergerak dalam kancah sastra
atau kesenian. Semangat realisme sosialis ialah untuk memenangkan sosialisme di tengah masyarakat.
Maka di dalam sastra aliran realisme sosialis, realitas masyarakat adalah inspirasi untuk membuat karya.
Yang di maksud dengan realitas masyarakat ialah kaum proletar, dan di atas pundak kaum sastrawan
realisme sosialis tertanam tanggung jawab yang tidak ringan yaitu memberi penyadaran kepada
masyarakat yang tertindas sehingga masyarakat tersebut berjuang untuk melawan sistem yang menindas
tersebut. Demikian pula di dalam novel tetralogi, yang terdiri dari empat jilid. Yaitu Bumi Manusia, Anak
Semua Bangsa, Jejak langkah dan yang terakhir adalah Rumah Kaca. Ke empat novel tersebut berisikan
perjuangan orang Indonesia yang terjajah untuk merebut kembali haknya yang terampas. Yang menjadi
tokoh sentral dalam novel tetralogi adalah Minke, yang sebenarnya bernama Tirto Adhi Suryo. Tirto Adhi
Suryo adalah seorang jurnalis pertama di Indonesia, maka tidaklah mengherankan jika penglihatannya
adalah lewat kaca mata seorang jurnalis.
Hal tersebut untuk menjaga ke objektifan sebuah tulisan yang di dalamnya berisikan lahirnya
organisasi-organisasi yang ada di Indonesia. Novel tetralogi juga menggambarkan tentang penindasan
yang dilakukan oleh kaum feodal yaitu penjajah Belanda, yang membuat kemiskinan di masyarakat
Indonesia. Belanda juga melakukan berbagai macam cara untuk melanggengkan sistem feodal, salah satu
caranya adalah dengan membuat tahayul seperti Nyai roro kidul dan lain sebagainya. Agar daya kritisisme
masyarakat tidak ada. Sehingga Belanda dengan, sudah dapat melakukan penghisapan atas kekayaan
yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia dengan aman. Oleh sebab iu Minke sadar bahwa untuk membuat
masyarakat berani melawan kepada penjajah belanda salah satu caranya adalah dengan didirikan
organisasi-organisasi, dan untuk memudahkan penyebar luasan ideologi organisasi tersebut dibutuhkan
media jurnalistik. Sebab dengan media tersebut maka akan memudahkan tersebarnya sebuah berita
yanga ada.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDULi
HALAMAN NOTA DINASii
HALAMAN PENGESAHAN.iii

HALAMAN PERSEMBAHAN.IV
HALAMAN MOTTO..V
KATA PENGANTAR VI
ABSTRAKSI.VIII
DAFTAR ISIIX
BAB I: PENDAHULUAN
1.

Latar Belakang Masalah1

2.

Rumusan Masalah.10

3.

Tujuan dan kegunaan Penelitian...10

4.

Telaah Pustaka..11

5.

Kerangka Teori.13

6.

Metode Penelitian.15

7.

Sistematika Pembahasan..18
BAB II : BIOGRAFI PRAM DAN KARYA-KARYANYA

1.

Selayang Pandang Perjalanan Hidup Pramoedya20

2.

Setapak Sejarah Menuju Realisme Sosialis.22

3.

Sepenggal Cerita Lahirnya Novel Tetralogi.42

BAB III : REALISME SOSIALIS SEBAGAI PANDANGAN PRAM DALAM NOVEL TRETALOGI
1.

Realisme
Sosialis
Pramoedya
dan
51

Paradigma

Realisme

2.

Pandangan
Pramoedya
tentang
Tetralogi....59

3.

Faham Realisme Sosialis dalam Realitas Empirik76

Realisme

Sosialis

BAB IV : PANDANGAN SUBTANSIAL REALISME SOSIALIS DALAM NOVEL TETRALOGI


1.

Realisme Sosialis Sebagai Upaya Membentuk Paradigma dan


Orientasi Kehidupan..86

2.

Pandangan Pramoedya Ananta Toer tentang Organisasi sebagai

Sosialis

dalam

dalam

Sastra

Novel

Sikap Melawan Imprealisme.92


3.

Pandangan Pramoedya Ananta Toer tentang Jurnalistik sebagai


Jalan Efektif Membangun Kesadaran..101
BAB V : PENUTUP

1.

Simpulan..107

2.

Saran-saran...108
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia pada saat ini, masih dalam masa perkembangannya. Terutama dalam hal ekonomi,
setelah kemarin sempat dihantam oleh krisis moneter, yang melahirkan krisis multidemensi. Meski bangsa
Indonesia telah berjuang untuk bangkit dan ketika bangsa lain yang mengalami krisis yang sama sudah mulai
dapat bangkit, namun sungguh sayang sampai detik ini bangsa Indonesia masih harus berjuang untuk
mencapai hal tersebut.
Tetapi krisis tersebut tidak menimpa setiap warga Indonesia. Karena banyak juga orang yang secara
ekonomi masih sangat mapan, dalam artian dia masih bisa menikmati ekonomi yang berkecukupan. Mereka
masih hidup bergelimang harta, tetapi di lain pihak lebih banyak rakyat yang merasa sangat kesulitan secara
ekonomi.
Kesenjangan ekonomi jelas terlihat di negeri ini, yang kaya bisa hidup laksana di surga, namun yang
miskin hidup dengan penuh kesengsaraan. Karena perbedaan hidup antara orang kaya dengan orang miskin
dapat melahirkan ketidak adilan dari segi ekonomi antara orang kaya dan orang miskin. Orang kaya bisa
mengupah buruh dengan rendah, sehingga buruh tersebut tidak mampu membeli barang yang dibuatnya
dan bila buruh meminta kenaikan gaji meski hanya 500 rupiah ancamannya adalah PHK. Dari kesenjangan
tersebut banyak masyarakat yang melakukan segala macam cara untuk mencari kekayaan. Moral sudah
tidak lagi dipakai untuk mendapatkan harta, selagi masih ada kesempatan maka dengan segera meraihnya.
Entah itu melanggar hak asasi manusia ataupun tidak.
Kesenjangan ekonomi tersebut tercipta karena sistem yang lebih memihak pada pemilik modal,
sedang kaum lemah atau miskin kurang mendapat akses untuk merubah ekonominya. Dalam hal ini kajian

realisme sosialis banyak memotret tentang perbedaan tersebut. Novel Tetralogi sebagai sebuah aliran
realisme sosialis sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam.
Terutama ketika aliran tersebut telah menjadi sebuah novel, pertentangan antara masyarakat miskin
dengan pemilik modal sangat terlihat. Sehingga pembaca tidak pernah bosan untuk terus mengikuti alur
yang ada dalam cerita, sebab permasalahan yang diangkat dalam novel aliran realisme sosialis tidak jauh
berbeda dengan kenyataan yang dihadapi sehari-hari. Tidak sebagaimana sinetron-sinetron di layar kaca,
yang lebih sering menampilkan kekayaan padahal masih banyak masyarakat kita yang hidup di bawah garis
kemiskinan, aliran realisme sosialis dalam novelnya sama sekali tidak menceritakan hal-hal yang menjual
mimpi. Aliran realisme sosialis dalam novelnya lebih sering menampilkan keadaan yang sebenarnya.
Keadaan masyarakat yang tertindas oleh pemilik modal, atau para petani yang terampas tanahnya
sehingga petani tersebut harus menjadi buruh. Tugas aliran tersebut tidak saja berhenti sampai di sana,
aliran realisme sosialis juga punya tugas yang tidak ringan, yaitu membangun kesadaran terhadap
penindasan yang menimpa masyarakat. Realisme sosialis juga berupaya untuk mengajak masyarakat yang
tertindas untuk melawan terhadap sistem borjuis tersebut.
Sebagai mana pendapat salah satu tokoh yaitu Maxim Gorki, sebagai mana yang di catat oleh Lukacs,
karya sastra yang sejati adalah karya sastra yang populer, karena sastra yang sejati akan mampu membuka
jalan bagi manusia untuk berkembang menjadi manusia yang benar. Dengan demikian misi utama karya
sastra adalah mengugah kesadaran manusia.[1]
Hal tersebut juga dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer, sebagai pengarang yang menganut faham
aliran realisme sosialis, Pramoedya Ananta Toer juga menuliskan pertentangan antara orang miskin dengan
orang kaya. Daya tarik novel Pramoedya Ananta Toer karena pertentangan tersebut juga dirangkai dengan
pergolakan masa pergantian zaman, yaitu masa revolusi kemerdekaan. Sehingga semangat perlawanan
terhadap segala hal yang menjajah dapat dibaca secara jelas.
Dari segi penokohan, nampaknya Pramoedya Ananta Toer juga cukup selektif. Pramoedya Ananta
Toer tidak terlalu banyak meramaikan karyanya dengan nama-nama yang tidak perlu. Pramoedya Ananta
Toer hanya membatasi nama Minke, keluarga dan orang di sekelilingnya. Yang lebih menarik novel karya
Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya akan di tulis Pram) ini juga menulis sejarah lahirnya organisasiorganisasi di Indonesia .

Karakteristik Pram dalam mendiskripsikan situasi psikologis dan sosiologis tokoh-tokohnya


sedemikian memikat. Dengan sudut pandang orang pertama (aku), misalnya saja, Pram memperkenalkan
sang tokoh utama, seperti ini:
Orang memanggil aku: Minkejelas nama yang sangat aneh, tidak lazim. Kalau ini nama ningrat Jawa,
lalu artinya apa? Sebab, nama-nama ningrat Jawa sendiri selalu mempunyai arti[2].
Ternyata, nama Minke diberikan ketika dia sekolah di ELS. Saat itu, ada seorang gadis bernama Vera
yang mencubit pahanya sebagai tanda perkenalan. Karena tidak mampu menahan sakit, Minke pun menjerit
kesakitan, gurunya Meneer Ben Rooseboom membentak melotot: Diam kau, monk!. Saat itu, Minke
merupakan satu-satunya murid pribumi, sedangkan guru dan teman-temanya jelas adalah bangsa Eropa
(Belanda Totok). Karena itu, Minke sebenarnya merupakan sebutan yang merendahkan terhadap golongan
pribumi, untuk menunjukkan sebagai monyet (monkey)[3].
Pelajaran sejarah yang ada sudah sering menuliskan nama-nama pahlawan nasional yang sudah
terkenal, seperti Pangeran Diponegoro, Cut Nya Dien, dan masih banyak lagi. Tetapi di dalam novel tetralogi
tersebut sama sekali tidak di sebutkan nama para pahlawan nasional, justru dalam novel yang terdiri dari
empat jilid yaitu, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan yang terakhir Rumah kaca,
menggambarkan tentang perjuangan orang-orang kelas bawah dan tokoh yang diberi nama Minke
sebenarnya adalah tokoh jurnalis pertama di Indonesia yaitu Tirto Adhi Suryo.
Makna yang lebih penting dari novel tetralogi ini adalah, bentuk roman sejarah mengarahkan
pembaca tidak hanya untuk interprestasi karya sastra, monel teralogi juga mengantarkan kepada makna
sejarah yang terjadi pada saat itu. Pengarang berusaha melakukan apa yang diharapkan dari sejarawan yang
baik, yang juga harus berusaha memperlihatkan kaitan dan hubungan antara segala macam kejadian dan
data yang dikumpulkannya serta memunculkan gambaran total. Pembaca dibuat tergoda untuk menganalisis
setiap kejadian, agar tidak hanya memihak partai secara literer, melainkan juga politik Indonesia lewat tokoh
Raden Mas Tirtho Adhi Suryo.
Para tokoh yang dihadirkan Pram dalam novel empat jilid tersebut yang di beri nama tetralogi, sama
sekali tokoh yang ada tidak ada dalam pelajaran yang ada di sekolah. Sebab Pram merasa bahwa pengajaran
sekolah tidak mencukupi untuk membudayakan kecintaan bangsa pada sejarah pergerakan nasional untuk
mencapai kemerdekaan nasional, dan tanpa adanya kecintaan ini Pram beranggapan bahwa semua ucapan
tentang patriotisme, kecintaan pada tanah air dan bangsa, baik melalui pembicaraan, pidato, nyanyian atau
pun deklamasi ini tinggal slogan tanpa isi, tidak edukatif dan tidak jujur[4].

Faham realisme sosialis telah mengilhami Pram yang sering kali melahirkan pemikiran yang kritis
terhadap apa yang sedang terjadi saat itu. Semangat terhadap perlawanan sistem kolonialisme dapat
dirasakan dalam karya-karya Pram. Karena dalam novel Pram, bukan hanya sekedar tulisan fiksi semata.
Namun karya-karya Pram juga lahir berdasarkan realitas yang ada. Sebab menurut Pram penulis hidup di
tengah-tengah masyarakatnya, yang di maksud dengan masyarakatnya adalah orang yang secara ekonomi
terindas dan mereka memerlukan dorongan semangat untuk melakukan perubahan ekonomi. Masyarakat
memberi materi-materi kepada penulis. Penulis yang berhasil, diharap memberikan pengaruhnya pada
kondisi dan kehidupan sosial. Itu hubungan timbal-balik. Jadi kalau ada pengarang yang hanya berdasarkan
fantasi, itu namanya setengah gila.[5]
Hal yang menarik novel tetralogi tersebut dibuat saat Pram berada di balik terali besi, Pram di penjara
di Pulau Buru. Pulau Buru terletak sekitar 1.500 kilo meter ke arah timur dari Nusa Kambangan [6]. Karya
novel tetralogi justru karya yang paling monumental atau menjadi karya puncak dari sebuah penulisan yang
dilakukan oleh Pram.
Tetralogi juga menjadi karangan Pram, yang menjadi polemik dan bahan pembicaraan, karena secara
politis, novel ini menjadi begitu istimewa dan fenomenal. Novel Tetralogi menurut Pram ditulis secara lisan
pada tahun 1973, karena ditulis dalam penjara di Pulau Buru dan kemudian ditulis secara sistematis sebagai
cerita utuh pada 1975. Keempat buku tersebut; Bumi Manusia, kemudian Anak Semua Bangsa, Jejak
Langkah, serta Rumah Kaca dilarang penerbitannya oleh oleh rezim Orde Baru semenjak 1981 yang
ironisnya, larangan yang dikeluarkan pihak Kejaksaan Agung itu sampai sekarang belum pernah dicabut
seperti saat ini[7].
Novel tetralogi banyak sekali mendapatkan piagam penghargaan terutama dari luar negeri, sebab di
dalam negeri Pram sendiri masih di cap sebagai agen pemberontak atas keterlibatannya dalam Lekra.
Lembaga Kesenian Rakyat sebagai wadah kesenian PKI Maka secara otomatis ketika PKI dinyatakan sebagai
partai terlarang dan semua anggotanya di penjara ataupun dibunuh, maka Lekrapun secara otomatis juga
dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi kesenian yang terlarang, dan semua anggotanya juga
dipenjara atau dibunuh.
Pram sendiri menggambarkan, bahwa masuknya Pram sebagai anggota Lekra tidaklah sebagaimana
yang digambarkan orang, Pram masuk Lekra secara sukarela. Menurut Pram ia tidak pernah bergabung
dengan Lekra mulai dari bawah, melainkan diundang dan kemudian menjadi anggota. Inilah yang dianggap
Pram sebagai kesulitannya, ia menganggap dirinya diambil begitu saja oleh Lekra. Padahal banyak orang
lama Lekra yang tidak suka akan diri Pram[8].

Jika dihubungkan dengan realitas yang ada, novel Pram sangat menampilkan kenyataan yang dialami
oleh masyarakat terutama kelas bawah, penderitaan-penderitaan mereka tanpa malu-malu ditampilkan
secara jelas. Hal tersebut tidak lepas dari aliran yang dianutnya yaitu realisme sosialis sebab paham realisme
sosialis berasal dari sosialisme Marx konsep tentang manusia. Oleh karenanya, jelaslah bahwa, menurut
konsep tentang manusia ini, sosialisme bukan sebuah masyarakat yang tersusun atas individu-individu yang
diatur dan secara otomatis mengabaikan apakah mereka memiliki pendapatan yang cukup atau tidak.
Sosialisme bukanlah masyarakat dimana individu tersubordinasikan oleh negara[9]. Pemerataan ekonomi
masyarakat di bawah tanggung jawab negara, sehingga tidak terjadi ketimpangan ekonomi.
Marx menjelaskan seluruh elemen pokok sosialisme. Manusia berproduksi dengan cara bekerja sama,
bukan berkompetisi, yang berarti bahwa dia berproduksi secara rasional tanpa teralienasi, dan dia
berproduksi di bawah kendalinya sendiri[10].
Teori di atas saat ini sedang di terapkan di Cina, sebagai negara penganut faham komunis teori
tersebut ternyata sungguh mampu mengatasi persaingan global yang sekarang sedang terjadi. Seperti di
Cina teknologi elektronik, itu menjadi home industri, semisal dalam hal industri kendaraan, satu desa
membuat rangka kendaraan saja, desa lainnya membuat ban dan desa yang lainnya membuat bahan yang
diperlukan untuk membuat alat transportasi. Setelah itu masyarakat menyetorkan hasil buatannya kepada
pabrik yang di kelola oleh pemerintah, bagian pemasaranpun dilakukan oleh pemerintah. Sebagai mana yang
terjadi sekarang, Indonesia kebanjiran produk motor dari Cina yang harganya jauh lebih murah.
Pada awal tahun 1840, istilah sosialis dan komunis tidak punya arti yang jelas. Kini sosialisme
berarti, bertentangan dengan kapitalisme. Konsep tentang kapitalisme sebagai suatu bentuk masyarakat
yang mapan, tidak ada, sampai Marx menemukannya. Dalam bukunya Das kapital, Marx mengurai tematema buku tersebut yaitu hubungan antara kapitalis dengan upah kerja atau kerja upahan, hubungan antara
kapitalis dengan pekerja[11].
Dalam realitas masih banyak buruh yang tidak mendapat gaji yang memadai, para buruh tersebut
hidup di bawah garis kemiskinan. Meski pemerintah sudah mengaturnya dalam peraturan daerah, tetapi
kenyataannya masih banyak gaji buruh yang tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup. Apalagi untuk
menjaga kesehatan yang sangat mahal, tentu saja kaum buruh kesulitan. Banyak juga kasus para buruh yang
tidak dibayar gajinya dengan alasan perusahaannya gulung tikar.
Adapun hubungan skripsi yang akan diangkat oleh penulis dengan jurusan Aqidah Filsafat adalah,
skripsi tersebut akan membahas masalah novel tetralogi dengan memakai pisau analisis realisme sosialis.

Realisme sosialis tersebut adalah salah satu aliran dalam filsafat, sesuai dengan jurusan yang ditempuh oleh
penulis. Sebab induk dari realisme sosialis adalah sosialisme, yang di cetuskan oleh seorang filosof bernama
Karl Marx.
B. Rumusan Masalah.
Dengan uraian panjang lebar pada latar belakang diatas, penulis sesungguhnya ingin merumuskan
permasalahan sebagai berikut,
Bagaimana pandangan realisme sosialis Pramoedya Ananta Toer dalam novel tetralogi?
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
Dari awal melakukan penelitian ini penulis merasa tertarik meneliti realisme sosialis yang terkandung
dalam novel Tetralogi, diharapkan nantinya mampu mengetahui apa yang dimaksud realisme sosialis dan
mengetahui bagaimana pandangan Pram tentang realisme sosialis dalam novel tetralogi.
Diharapkan dengan penelitian ini dapat memiliki kegunaan baik yang bersifat teoritis maupun praksis.
Secara teoritis, penelitian ini akan merupakan sumbangan yang cukup berharga bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, terutama studi ilmu-ilmu sosial, khususnya filsafat sosial. Secara praksis, sebagai sebuah
landasan teoritis, penelitian ini tentunya diharapkan mampu memberi sumbangan yang berharga, yang
kaitannya dalam upaya mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis, terciptanya civil society, yang
dapat menghargai perbedaan serta terbuka terhadap kritik. Di samping itu juga untuk menambah wacana
kepustakaan, khususnya tentang pemikiran Pram dan umumnya terhadap studi ilmu-ilmu sosial.
Terakhir, yang tidak kalah pentingnya, bahwa penelitian ini juga memiliki kegunaan formal, yakni
untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk meraih gelar kesarjanaan Strata satu (S-I) di bidang Filsafat
Islam pada Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
D. Telaah Pustaka
Sepengetahuan penulis ada dua skripsi yang mengangkat tokoh Pramoedya Ananta Toer. Pertama
yaitu skripsi yang ditulis Ahmad Hambali yang berjudul Pandangan Pramoedya Ananta Toer tentang
Humanisme[12].Yang kedua Arif Sarwani Teori pembebasandalam novel gadis pantai[13].Skripsi pertama
mencoba menggambarakan tentang sisi humanisme dalam sudut pandang Pramoedya Ananta Toer, sedang
skripsi yang kedua menggambarkan teori pembebasan dalam novelGadis pantaikarya Pramoedya Ananta
Toer.

Sedangkan A.Teeuw, kritikus sastra dan pengamat sastra Indonesia modern berkembangsaan Belanda,
dalam bukunya yang berjudul Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toertelah mengulas
secara umum karya Pram, kajian atau penelitian yang dilakukan oleh A. Teeuw lewat buku Citra Manusia
Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer sebagai pengantar untuk karya-karya Pram atau lebih khusus
lagi sebagai kritik sastra yang bertujuan memberikan tanggung jawab pembacaan terhadap karya sastra
Pramoedya[14].
Lewat buku tersebut, Teeuw melakukan pengkajian terhadap karya-karya sastra Pram dalam
usahanya untuk mencitrakan masing-masing tema yang terkandung dalam karya sastra Pramoedya. Dalam
kajian itu, Teeuw lebih menyoroti tema utama yang menjadi alur cerita dalam karya sastra Pram. Telaah yang
dilakukan Teeuw lebih berdasarkan pada kajian sastra dari pada telaah yang bersifat filosofi.
Karya lain yang bisa dikatakan sebagai kajian dari sudut sastra yang berupaya menelusuri kreativitas
Pram dan karya seninya adalah karya dari Bahrum Rangkuti, yang berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Karya
Seninya. Karya ini secara umum mencoba mengkaji beberapa karya Pramoedya yang dilihat dari segi gaya
bahasa, struktur kalimat dan teknik yang digunakan Pram dalam mengarang[15].
Karya lain lagi yang secara khusus mengupas dan menganalisis karya sastra Pramoedya adalahAnalisa
Ringan Kemelut Roman Pulau Buru Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer. Buku ini secara khusus
membicarakan seputar kemelut pelarangan terbitnya roman Bumi Manusia di tahun 1980-an dan analisa
ringan dari sejumlah satrawan akan isi novel tersebut. Sebuah roman yang cukup bagus dan berbobot,
bahkan dinominasikan untuk mendapatkan hadiah nobel di bidang sastra[16].
Adapun karya ilmiah yang lain, adalah Eka Kurniawan yang diterbitkan dalam sebuah buku dengan
judul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, ini mencoba meneliti ideologi estetis (sastra) yang
dianut oleh Pramoedya[17]. Eka Kurniawan lebih menitik beratkan pada sejarah realisme sosialis yang
mempengaruhi pemikiran Pramoedya Ananta Toer, sedangkan dalam skripsi ini realisme sosialis dijadikan
pisau analisis untuk membedah novel tetralogi.
E. Kerangka Teori
Dalam kajian realisme sosialis menggambarkan pertentangan antara klas proletardan juga
klasborjuasi menjadi sebuah masalah yang senantiasa diakui, dan masalah realisme sosialis itu lahir dari
sebuah realitas yang ada pada masyarakat. Meski dalam novel Tetralogi berlatar belakang awal abad 20 dan
akhir abad 19, pertentangan antara kelas borjuasi dengan proletar itu sampai sekarang masih terjadi.

Istilah ini digunakan pertama kali pada tahun 1905 di Uni Soviet. Realisme sosialis muncul dalam
sebuah artikel anonim, yang berjudul Notes on Philistinisme. Dalam tulisan tersebut yamg disebarluaskan
untuk menentang pemerintah berhubungan dengan peristiwa Minggu Berdarah pada tanggal 22 Januari
1905, Gorki kemudian ditangkap tetapi tidak lama kemudian dilepas karena membanjirnya protes-protes
internasinoal atas penangkapannya.[18]
Realisme sosialis, seperti nampak pada namanya, adalah istilah yang terdiri atas dua kata yang di
majemukkan. Realisme sebagai istilah kesenian dan sastra pada umumnya bukanlah realisme sebagaimana
dikenal oleh dunia Barat selama ini, tetapi realisme sesuai dengan istilahnya menurut tafsiran sosialis.
Realisme sosialis sesuai dengan istilahnya dengan sendirinya bukan realisme Barat. Pembedaan ini perlu
karena antara kedua realisme ini bukan hanya terdapat perbedaan tafsiran, tetapi yang lebih penting untuk
diketahui adalah adanya perbedaan dalam perkembangannya[19].
Istilah ini baru diumumkan pada tahun 1934 di hadapan Kongres I satrawan Soviet di Moskwa, melalui
ucapan Andrei Zidanov:
Dalam pada itu kenyatan dan watak historik yang konkret dari lukisan artistik mesti dihubungkan
dengan tugas pembentukan ideologis dan pendidikan pekerja-pekerja dalam semangat sosialisme. Metode
kerja sastra dan kritik sastra ini kita namakan metode realisme sosialis[20]
Sesui dengan teori materialisme dialektika Karl Marx, tindakan adalah yang pertama dan fikiran
adalah yang kedua. Aliran ini berpendapat bahwa tidak terdapat pengetahuan yang hanya merupakan
pemikiran tentang alam, pengetahuan selalu dikaitkan dengan tindakan. Pada zaman dahulu, menurut Karl
Marx, para filosof telah menjelaskan alam dengan cara yang berbeda-beda. Kewajiban manusia sekarang
adalah untuk mengubah dunia, dan ini adalah tugas misi yang bersejarah dari kaum komunis[21].
Secara historis sosialisme mempunyai gagasan yang menuntut adanya pemerintahan yang lebih baik
dan berusaha membuktikan kepada kelompok kaya dan pemilik modal bahwa eksploitasi itu tidak bermoral.
Sosialisme pada awalnya adalah sebuah reaksi minoritas terhadap pelaksanaan etika kapitalis dan
pengembangan masyarakat industri[22].
Sosialisme merupakan produk dari perubahan-perubahan sosial yang mengubah masyarakatmasyarakat Eropa di akhir abad kedelapan belas dan kesembilan belas. Inti dari sosialisme bukanlah sematamata bahwa produksi itu harus dipusatkan di tangan negara itu harus seluruhnya merupakan peran
ekonomi, di dalam masyarakat sosialis, pengelolaan atau tata pelaksanaan ekonomi harus menjadi tugas
dasar negara[23].

F. Metode Penelitian
Setiap penelitian pasti menggunakan metode[24], agar memudahkan sebuah penelitian yang akan
dilakukan oleh penulis, untuk memfokuskan kajian dalam penelitian tersebut.
1.

Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) oleh karena itu, pengumpulan datanya
dilakukan dengan menggunakan teknik dokumentasi.
Ada dua sumber data yang digunakan dalam tulisan ini Primer dan Sekunder. Yang di jadikan data
Primer dari penelitian ini adalah novel Tretalogi yang ditulis oleh Pram, sedangkan data Sekundernya adalah
berbagai sumber yang berhubungan dengan persoalan yang akan diteliti.dan juga tulisan-tulisan yang
relevan dengan pokok permasalahan [25].

2.

Sifat penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriptif: yaitu Peneliti menguraikan secara teratur seluruh konsep
buku[26]. Di sini peneliti menulis dengan berurutan tentang realisme sosialis yang terkandung di dalam
buku tersebut.

3.

Pengumpulan Data-data.
Teknik yang digunakan untuk penelitian ini adalah dokumentatif, yaitu dengan mengumpulkan data
primer yang diambil dari buku-buku yang secara langsung berbicara tentang permasalahan yang akan diteliti
dan juga dari data sekunder yang secara tidak langsung membicarakan masalah yang akan diteliti, namun
masih relevan untuk dikutip sebagai pembanding.
Adapun prosesnya adalah melalui penelaahan kepustakaan yang telah diseleksi agar sesuai dengan
kategorisasinya dan berdasarkan content analisys (analisis isi). Kemudian data tersebut di sajikan secara
deskripsiptif.

4.

Analisis Data.
Metode yang dipakai dalam menganalisa data agar diperoleh data yang memadai adalah dengan
menggunakan analisa data kwalitatif, dalam operasionalnya data yang diperoleh digeneralisir,
diklasifikasikan kemudian dianalisis dengan menggunakan penalaran induktif dan deduktif[27]. Deduktif
merupakan penalaran yang berangkat dari data yang umum ke data yang khusus. Aplikasi dari metode

tersebut dalam penelitian ini adalah bertitik tolak dari gagasan tentang realisme sosialis dalam novel
tretalogi Pram. Sementara induktif adalah penalaran dari data yang khusus dan memiliki kesamaan sehingga
dapat di generalisirkan menjadi kesimpulan umum.
Untuk memperoleh suatu hasil penelitian yang valid secara ilmiah dalam sebuah penulisan karya
ilmiah, tentu saja di perlukan metode sebagai sarana untuk memperoleh akurasi data yang dapat di
pertanggung jawabkan secara akademis serta menghasilkan karya ilmiah yang sistematis. Demikian pula
dengan penelitian ini. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain ;
1.

Deskriptif
Yaitu metode dengan memaparkan isi naskah. Pemaparan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi

detail-detail dari suatu peristiwa atau pemikiran tokoh (deduktif)[28]. Juga dipakai corak induktif yakni
dengan menganalisis keterkaitan semua bagian dan semua konsep pokok satu persatu. Disini akan diuraikan
secara teratur aspek realisme sosialis dalam karya Pram.
2.

Interpretasi.
Metode interprestasi yaitu metode untuk menyelami data yang terkumpul untuk kemudian

menangkap arti dan nuansa yang dimaksud tokoh secara khusus. Di sini akan diselami arti, makna dan
konsep realisme sosialis yang terkandung dalam karya Pram.
3.

Kesinambungan Historis.
Metode ini dipakai untuk melihat beberapa faktor yang mengkonstruksi pemikiran sang tokoh

(Pramoedya). Faktor tersebut bisa bersifat internal yang menyangkut latar belakang tokoh dan eksternal
yang menyangkut pengalaman dan konteks zaman sang tokoh ketika membuat karya novel tetralogi.
Termasuk di sini adalah konteks jaman dan tokoh dalam novel tersebut.
G. Sistematika Pembahasan.
Bagian ini menguraikan garis besar (out line) dari skripsi ini dalam bentuk bab-bab yang secara
sistematis saling berhubungan. Sehingga ditemukan jawaban atas persoalan yang diajukan dalam penelitian
ini. Penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab yang terdiri dalam beberapa sub bab keempat bab ini
disusun dengan sistematika sebagai berikut.

Bab pertama, adalah Pendahuluan yang akan memberi gambaran skripsi ini secara keseluruhan. Dalam
bab ini berisikan uraian singkat mengenai Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Telaah Pustaka, Metode Penelitian, Kerangka Teori dan Sistematika Pembahasan.
Bab kedua, adalah sebuah upaya mengenal kehidupan dan kreatifitas Pram. Hal ini dilakukan sebagai
satu upaya penelusuran atas latar belakang keluarga, pendidikan dan hubungannya dengan proses
kreatifitas Pram dalam penulisan karyanya. Disamping itu juga di selidiki peran-perannya dalam masyarakat
yang dianggap sangat mempengaruhi karya-karyanya.
Bab ketiga yang berisikan pembahasan menjelaskan tentang realisme Sosialis dalam pandangan Pram,
dan sekelumit cerita yang mengandumg unsur Realisme sosialis dalam novel Tetralogi. Tidak kalah penting,
kesinambungan novel tersebut dengan keadaan masyarakat yang terjadi pada saat ini.
Bab keempat merupakan inti dari skripsi yaitu analisis realisme sosialis yang terkandung dalam novel
Tetralogi.
Bab lima ini akan di berikan sebuah kesimpulan akhir sebagai jawaban dari rumusan masalah yang
diajukan dalam skripsi ini dan disertakan pula saran-saran sebagai masukan lebih lanjut setelah dilakukan
penelitian.
BAB II
BIOGRAFI PRAMOEDYA ANANTA TOER.
A. Selayang Pandang Perjalanan Hidup Pramoedya.
Pramoedya Ananta toer, anak sulung bapak Mastoer dan Ibu Oemi Saidah. Ayahnya yang lahir pada 5
Januari 1896[29]berasal dari kalangan yang dekat dengan agama Islam, seperti misalnya jelas dari nama
orang tuanya, Imam Badjoeri dan Sabariyah. Ayah Mastoer menjadi naib di sebuah desa di Kediri: mula-mula
di Plosoklaten, Pare, kemudian di Ngadiluwih.[30]
Sedangkan ibunya adalah anak penghulu Rembang yang lahir pada tahun 1907 [31]dari selirnya,
setelah melahirkan anak, selirnya itu diceraikan dan diusir dari kediaman penghulu. Anak selir itu bernama,
Oemi Saidah, diasuh dalam keluarga Haji Ibrahim dan Hazizah. Saidah lulus HIS pada 1922, namun tidak
mendapat izin melanjutkan studi ke Van Deventersscholl (sekolah kerajinan untuk gadis) di Semarang
seperti yang diharapkannya, sebab sudah bertunangan dengan guru Toer yang tidak bersedia menunda
perkawinan pak Toer yang umurnya baru 15 tahun.[32]

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, jawa tengah 6 Februari 1925[33]. Pram begitu mencintai
ibunya, menurut Pram ibunya dianggap sebagai wanita satu-satunya di dunia ini yang kucintai dengan tulus,
dikemudian hari menjadi ukuran Pram dalam menilai setiap wanita dan yang tidak kalah penting Pram juga
mencintai neneknya, ibu kandung ibunya. Maka tidak heran jika banyak sekali dalam novel-novel Pram
menampilkan tokoh perempuan.
Walaupun ayahnya menolak untuk menyekolahkan Pram, tetapi Pram masih sempat belajar kejuruan
radio di Surabaya, berkat usaha ibunya yang mulai berdagang padi dan lain-lain. Namun pada hari ujian akhir
terdengar kabar yang mengejutkan, pesawat terbang jepang menyerang pelabuhan Pearl Harbour, dengan
demikian Perang Dunia II juga mulai berkobar di daerah Asia Timur dan Lautan Pasifik[34].
Pada 2 Maret 1942 tentara Jepang yang mendarat di pantai utara Jawa telah mencapai Blora. Tentara
Belanda melarikan diri tanpa perlawanan. Pada awalnya tentara Jepang disambut dengan meriah oleh
penduduk setempat. Karena pemerintahan Belanda tiba-tiba menghilang, terjadi semacam anarki, took-toko
Cina dirampas dan serdadu Jepang ikut mencuri barang-barang penduduk, dan melampiaskan hawa
nafsunya. Namun dalam waktu beberapa hari tentara Jepang mengembalikan ketertiban umum dengan
keras[35].
Pada awal penjajahan Jepang, Pak Toer dan keluarganya ditimpa musibah Ibu Oemi Saidah yang lama
mengidap penyakit TBC sejak beberapa bulan semakin parah dan meninggal pada 3 Juni 1942.Satu hari
kemudian disusul oleh anak bungsunya, Soesanti, yang baru berumur tujuh bulan. Pada saat peristiwa
tersebut Pram tidak berada di Blora. Kematian ibunya bagi Pram merupakan kehilangan yang paling
menyedihkan[36].
Pengalaman dengan orang disekitarnya pada waktu ibunya meninggal dan hal-hal yang terjadi
sesudahnya menjadikan Pram kehilangan kepercayaan pada sesama manusia, dan Pram merasa tidak betah
lagi di Blora. Pada saat ziarah ke kuburan ibunya, Pram pamit kepada almarhumah ibunya dan Pram berjanji
pada dirinya sendiri untuk menjadi manusia yang lebih baik.
B. Setapak Sejarah Menuju Realisme Sosialis
Atas nasehat ayahnya, bersama adiknya, Pram berangkat ke Jakarta. Pram tinggal bersama pamannya.
Pamannya juga yang mendaftarkan Pram ke sekolah taman Siswa, khusus Taman Dewasa (SLP) yang diakui
oleh pemerintah Jepang. Pram cepat menyesuaikan bahasa Indonesianya, yang pada awalnya kejawajawaan, dengan logat Melayu[37].

Berkat ijazah mengetiknya, Pram diterima di kantor berita Jepang Domei sebagai juru ketik. Di tempat
kerja pandangan Pram semakin luas. Pram sempat membaca berbagai macam informasi yang masuk redaksi.
Keuntungan terbesar Pram adalah kesempatan memanfaat buku rujukan yang ada di ruang redaksi.
Ensiklopedia belanda yang terkenal dengan nama Winkler Prins membuka matanya terhadap dunia ilmu
pengetahuan[38].
Namun, hasil yang Pram Ananta Toer peroleh tidak memuaskannya. Karena tidak mempunyai ijazah
sekolah menengah, Pram tidak dapat kenaikan pangkat. Pekerjaan di kantor semakin membosankan dan
Pram mulai sadar bahwa pekerjaan baru sebagai stenograf sebab Pram merasa menempuh karier sebagai
hamba, bukan sebagai manusia bebas. Apalagi saat Pram diminta untuk mengerjakan sebagai stenograf buku
baru Mohammad Yamin, mengenai Gajah Mada, Pram semakin memberontak karena merasa diperlakukan
sebagai kuli. Sehingga Pram beberapa kali minta berhenti, namun tidak pernah dikabulkan. Pram lalu
meninggalkan tugas tanpa seizin Jepang, dan hal tersebut dianggap sebagai dosa yang hanya bisa ditebus
dengan jiwa, Pram kemudian melarikan diri lewat Blora , kemudian di Kediri tepatnya di desa Ngadiluwih.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Tetapi hal tesebut tidak serta merta diketahui oleh seluruh rakyat Indonesia. Pram kemudian
pergi ke Ngadiluwih, di sana Pram mendengar kabar tentang kemerdekaan Indonesia. Lewat Kediri dan
Surabaya Pram pulang ke Blora; di sana Pram menyaksikan pertunjukan drama tentang penjajahan Jepang
yang berakhir dengan proklamasi 17 Agustus. Namun, Pram tidak lama tinggal di Blora, tergesa-tergesa
Pram berangkat ke Jakarta, di mana Pram menyaksikan Jakarta dalam keadaan kacau; tentara Jepang
praktis masih berkuasa; tentara Sekutu mulai tiba di Indonesia untuk mempertahankan ketertiban umum
dan melucuti senjata tentara Jepang. Tetapi pemuda Indonesia yang curiga dan tidak sabar lagi mulai
bersiap untuk mempertahankan tata tertib dalam kampung masing-masing[39].
Pram juga ikut menggambungkan diri dengan pertahanan kampung. Ikut menyerbu tangsi marine
Jepang, sampai akhirnya terkepung oleh tentara Australia. Pada Oktober 1945, Pram menggambungkan diri
dengan BKR (Badan keamanan Rakjat) dan ditempatkan di Cikampek pada kesatuan Banteng Taruna yang
kemudian menjadi inti divisi Siliwangi, sebagai prajurit II. Dalam waktu cepat meningkat jadi sersan
mayor[40].
Pada 1 januari 1947 Pram berhenti dengan resmi dari tentara. Pram pada masih tinggal di Cikampek,
menuggu gaji yang sudah 7 bulan tidak dibayar. Tetapi gaji tersebut tidak pernah dibayarkan. Dengan tanpa
uang Pram menuju ke Jakarta dalam keadaan kelaparan, dan naik kereta api tanpa membeli karcis. Pada
bulan yang sama[41].

Pada waktu upacara di Lapangan Merdeka, Pram hadiri bersama tunangannya seorang gadis yang
Pram lihat pada tahun 1946 di Cikampek. Pram melamar gadis tersebut ketika masih berada di dalam
penjara, meskipun dengan bersyarat, namun lamaran itu diterima. Setelah pembebasannya, Pram
mengunjungi rumah gadis tersebut kemudian tinggal di sana. Pernikahan dilangsungkan karena Pram
merasa sanggup membina masa depan, sebab namanya mulai terkenal, cerita pendeknya makin laris, lagi
pula Pram juga memenangkan hadiah pertama pada novel Perburuan, yang besarnya seribu rupiah, dalam
sayembara Balai Pustaka. Perkawinannya dilangsungkan pada 13 Januari 1950. Namun akhirnya mereka
bercerai, setelah sekian lama membina rumah tangga[42].
Pada pekan buku Gunung Agung, September 1954, Pram berkenalan dengan Maimunah, anak H.A.
Thamrin, saudara kandung nasionalis terkenal Mohammad Husni Thamrin. Dengan cepat Pram
berhubungan akrab. Kemudian Pram menikah dengan Maimunah, wanita yang membawa kebahagiaan dan
harapan baru dalam hidup Pram. Maimunah ternyata berani menempuh hidup yang sangat bergejolak
dengan Pram, Maimunah tabah membela dan memperjuangkan suami dan keluarganya, juga dalam
kemalangan dan kesusahan yang paling berat yang menimpa Pram, dan sampai sekarang ibu Maimunah setia
mendampingi Pram[43].
Pengalaman pertama dari segi perkembangan kepengarannya dihayati oleh Pram sebagai sesuatu
yang penting dan juga positif. Pada masa suram tersebut ada undangan dari Senat Mahasiswa Fakultas
Sastra Universitas Indonesia, untuk memberi ceramah pada Simposium untu HUT ke-5, yang diadakan pada
5 Desember 1954. Undangan itu disampaikan kepada Pram oleh ketua senat Bagi Pram sebagai orang tidak
mengenyam pendidikan, tugas itu merupakan ujian berat, namun Pram mendapat bantuan moril karena ibu
Maimunah pada kesempatan itu mendampinginya. Tampilnya cukup berhasil dan memperkuat rasa percaya
diri Pram[44].
Kehidupan Pram dengan pernikahan yang kedua ini membaik. Setelah bulan mereka mendapat rumah
yang lumayan, anak pertama hasil pernikahan keduapun lahir, disusul dengan anak yang kedua, dan yang
penting juga kontak social, terutama dengan dunia kepengarangan makin berkembang. Orang yang paling
sering mengunjunginya ialah A.S. Dharta, penulis marxis, yang aktif dalam Lekra sejak didirikan (1950). Pram
mulai membuka mata bagi pentingnya politik, juga dalam dunia seni.
Peristiwa yang amat menentukan bagi Pram berlangsung pada Juli 1956. Pram mendapat kunjungan
wakil kedutaan Cina yang membawa undangan menghadiri peringatan hari wafat kedua puluh Lu Hsun,
pengarang revolusi Cina yang terkenal. Dengan persetujuan dr. Prijono, menteri Pendidikan dan

Kebudayaan pada masa itu, Pram menerima baik undangan itu. Perjalanan di Cina pada Oktober 1956
menimbulkan kesadaran baru bagi jiwanya[45].
Karena perjalanan tersebut orang mulai menuduhnya memihak komunis, bahkan telah menjadi
komunis. Semangat baru yang diperoleh berkat pengalaman di Cina mendorongnya menjadi aktif di
Indonesia, ketika berita mengenai konsepsi Presiden Soekarno tentang demokrasi terpimpin mulai tersiar,
Pram menulis karangan yang mendukung politik presiden, dalam Bintang Merah 24 Febuari 1957, yaitu
organ resmi PKI. Kemudian bersama Henk Ngantung dan Kotot Sukardi, Pram mengorganisasikan kelompok
seniman, lalu pada Maret 1957, mereka bertiga memimpin delegasi besar menghadap presiden, menyatakan
dukungan bagi konsepsi tersebut[46].
Sejak itu, Pram mulai terkenal aktif di bidang politik. Pram diangkat sebagai anggota Badan
Musyawarah Golongan Fungsional Kementrian Petera (Pengarahan Tenaga Rakyat). Dalam kapasitas itu
Pram melakukan peninjauan kerja bakti di Banten; kerja bakti itu bertujuan memperbaiki jalan yang
melintang dari utara sampai selatan Karesidenan Banten, sepanjang 65 km.
Sebelumnya, Pram sudah aktif di bidang lain; Pram ikut mendirikan Panitia Nasional untuk konfrensi
pengarang asia afrika, dengan sokongan sebagai instansi pemerintah. Pada 7 September 1958, delegasi yang
dipimpin oleh Pram berangkat ke Tasjkent, tempat konfrensi diadakan; nampaknya Pram memainkan peran
yang cukup penting dalam penyusunan resolusi dan rencana kerjanya. Seusai konfrensi itu, Pram
mengunjungi berbagai tempat di Uni Sovyet dan Cina, kemudian pulang lewat ibu kota Myanmar, Rangoon,
di mana Pram bentrok dengan staf Kedutaan R.I. yang menurut Pram tidak bersedia membantu dan
melayaninya dengan baik.
Sekembalinya di Indonesia Pram untuk pertama kalinya dilibatkan secara resmi dalam Lekra: dalam
kongres nasional Lekra yang di adakan di Solo antara 22 dan 28 Januari 1959, Pram terpilih sebagai anggota
pimpinan pleno. Sejak itu namanya tidak lepas lagi dari organisasi kebudayaan yang berada di bawah
naungan PKI. Hal itu terutama tampak dalam pembentukan Fron Nasional di mana PKI dengan resmi
diikutsertakan dan dalam tekanan makin kuat pada konsep Nasakom. Kongres Solo membawa juga
pergeseran fundamental dalam garis policy Lekra. Pada kongres itu pimpinan PKI, Nyoto, dalam cermahnya
dengan judul Revolusi adalah Kembang Api mengemukakan bahwa politik harus menjadi pedoman di segala
bidang kehidupan, termasuk kebudayaan. Pada tahun berikutnya, Lekra mengambil alih semboyan Politik
adalah Panglima. Nyoto sebagai dasar keyakinan budayanya, dan Pram menjadi penyambung lidah ideologi
kebudayaan, antara lain lewat kegiatannya sebagai redaktur Lentera, lampiran kebudayaan harian Bintang
Timur[47].

Tetapi sebelum sempat memainkan peran terkemuka di bidang kebudayaan, khususnya lesusastraan
revolusioner, Pram masih harus mengalami penderitaan yang pernah Pram sebut sebagai siksaan terberat
dalam hidupnya, yaitu penahanan dalam penjara selama sembilan bulan disebabkan oleh terbitnya
bukunya Hoa Kiau di Indonesia. Buku yang keluar pada Maret 1960 itu merupakan suntingan kembali
sembilan surat terbuka yang di terbitkan Pram dalam Berita Minggu pada masa November 1959-an Februari
1960. surat-surat itu ditulis sejak terjadinya gegeran Hoakiau di Indonesia[48].
Sejak 1956, makin banyak terdengar suara anti Cina di Indonesia; latar belakang sikap itu bermacammacam: ada anasir rasialis yang secara laten selalu hadir, ada aspek ekonomi, sebab orang Cina makin
mengasai kehidupan ekonomi. Khususnya setelah orang Belanda diusir dari Indonesia, berkaitan dengan itu
ada juga perasaan agama, khususnya di kalangan pedagang muslim yang merasa terancam oleh persaingan
Cina. Menteri Perdagangan Indonesia pada 14 Mei 1959 mengumumkan keputusan bahwa izin berdagang
bagi pedagang kecil asing yang bekerja di luar kota-kota besar mulai 31 Desember 1959 tidak akan
diperpanjang lagi. Keputusan tersebut menimbulkan situasi yang cukup tegang; di Indonesia sendiri terjadi
bentrokan antara kaum kiri, khususnya PKI yang membela Cina dengan partai Islam dan golongan lain yang
disokong tentara. Pimpinan angkatan darat dalam situasi ini ini melihat kemungkinan memecahkan
kekuasaan ekonomi orang Cina, PKI dapat dihantam. Presiden Soekarno menghadapi situasi bagai buah
simalakama: memusuhi RRC dan mengecewakan komunis dalam negeri yang begitu loyal mendukung politik
Manipol-nya, atau menghapuskan keputusan Menteri perdagangan yang berarti konflik dengan tentara dan
masyarakat Islam. Soekarno tidak dapat tidak memilih alternative pertama, pada tanggal 16 November
dikeluarkan peraturan presiden no. 10 yang mewajibkan semua pedagang dan usahawan kecil Cina di daerah
pedesaan menutup usahanya per 1 Januari 1960. Lagi pula di Pulau Jawa Barat tentara cukup keras
memaksa implementasi peraturan itu: orang Cina tidak hanya dipaksa menutup tokonya, melainkan juga
dilarang tinggal di daerah itu dan bahkan dengan terpaksa mulai di boyong ke kota-kota[49].
Pram dalam Hoa Kiau di Indonesia memihak orang Cina tanpa syarat. Namun, bukunya bukan pertamatama polemik politik. Pram menganggap cukup mengambil pendirian demi tujuan atau ideology politik; Pram
mendalami sejarah masalah orang Cina di Indonesia dengan memanfaatkan banyak sumber ilmiah dan lainlain. Dengan panjang lebar Pram menguraikan aspek-aspek positif kehadiran mereka di Indonesia sejak
berabad-abad dan sumbangan sangat berarti diberikannya pada ekonomi dan kehidupan social dan budaya.
Pram tidak lupa menekankan peran banyak orang Cina sebagai kawan rakyat Indonesia dalam perlawanan
menentang penjajah asing. Pram mengakui bahwa ada juga aspek negatif; di antara orang Cina dulu dan
sekarang di Indonesia. Memang ada orang Cina dengan mentalitas kolonial dan imprealis, tetapi kejahatan
ada pada setiap bangsa, menurut pertimbangan kesejarahan Pram, aspek positif kehadiran Cina di Indonesia

jauh melebihi aspek negatifnya. Yang paling penting: peraturan dan tindakan pemerintah membahayakan
persahabatan rakyat Indonesia dengan rakyat Cina.
Dalam uraiannya Pram menyatakan aspek kepartaian atau politik praktis tidak menonjol. Alasan
terpenting Pram dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama, demi perikemanusiaan, kedua, demi keadilan
orang Cina yang sudah lama berada di Indonesia berhak tetap tinggal dan bekerja di daerah pedesaan.
Ketiga, sumbangan ekonomi sangat positif yang diberikan orang Cina sebagai perantara dengan
menyediakan modal dan kemahiran yang esensial di tingkat pedesaan. Terutama, kesolideran yang mutlak
perlu antara rakyat Indonesia dan Cina dalam perjuangan melawan imprealisme dan kolonialisme.[50]
Yang pasti ikut menentukan pendirian pro-Cina Pram dan mendorongnya membela orang Cina ialah
simpati dan kekaguman Pram terhadap rakyat cina yang dirasakan Pram sejak kunjungannya di Peking pada
1956 dan yang diperkuat lagi pada kunjungan kedua, pada Oktober 1958. Pram kemudian bersama
kawannya dari Cina, menerjemahkan buku Salah Asuhan, dan penerbitan buku tersebut mengakibatkan
karya Pram dilarang, pada April 1960. Pram sendiri ketika itu masih sempat ke luar negeri, namun
sekembalinya Pram dari luar negeri, Pram segera dipanggil oleh Peperti (Penguasa perang tertinggi),
diinterogasi oleh Kolonel Sudharmono (yang kemudian menjadi wakil presiden). Pram kemudian disekap
selama dua bulan di rumah tahanan militer di Jakarta, pemeriksaan berikutnya Pram dituduh menjual
Negara pada RRT. Setelah pemeriksaan oleh Sudharmono, Pram dipindahkan ke penjara Cipinang. Pram
ditempatkan dalam sel yang tidak manusiawi, di tengah-tengah orang yang melakukan tindakan kejahatan
dan orang gila, sehingga Pram praktis hidup terisolasi dari sesama manusia. Sewaktu di Cipinang baru datang
surat panahanan dari jenderal Nasution; keluarga Pram tidak pernah diberitahu. Namun, isterinya yang
mengandung tua akhirnya berhasil menemukannya, dan setelah isterinya melahirkan,

isterinya

memberitahu penahanan Pram pada masyarakat. Tetapi selama di penjara Pram tidak menerima tanda
simpati dari siapapun juga[51].
Setelah dibebaskan dari penjara Cipinang Pram cepat mengambil alih kedudukan terkemuka di
panggung sastra Indonesia. Mulai 16 Maret 1962 pramoedya bersama S. Rukiah menjadi redaktur rubrik
kebudayaan Bintang timur[52]yang berjudul Lentera. Rubrik yang pada awalnya hanya setengah halaman itu
kemudian diperluas menjadi satu halaman, bagian terbesar pada edisi hari Minggu terbit disunting oleh
Pram. Lentera menjadi media utama tulisan Pram yang pada periode 1962-1965 menjadi media Pram untuk
mengemukakan ide-idenya tentang pengajaran sastra Indonesia yang menurut pendapat Pram harus
dirubah total.[53]

Minatnya untuk pengajaran sastra juga dibangkitkan sejak 1962 Pram memberi kuliah sastra
Indonesia pada fakultas sastra Universitas Res Publica. Tentang masalah bahasa Indonesia, Pram menulis
esai panjang yang berjudul Bahasa Indonesia sebagai bahasa revolusi Indonesia yang terdiri atas atas II
bagian dalam Lentera antara Sepetember 1963 dan April 1964. Rangkaian karangan panjang lain
berjudul Bagaimana kisah dikibarkannya humanisme universal, yang terutama meneliti asal usul sastra
angkatan 45[54].
Pram juga menulis tentang sejarah awal gerakan nasional Indonesia. Salah satu tokoh sejarah gerakan
nasional yang diambil oleh Pram adalah Raden Mas Tirto Adhisoerjo sebagai pelopor jurnalistik Indonesia.
Tulisan Pram selama kurang dari empat tahun sangat menakjubkan atas daya kerja dan cipta, demikian pula
motivasinya dan energi autodidaknya. Terutama bahwa kebanyakan tulisannya berdasarkan pada penelitian
data yang sukar didapat. Hal ini disebabkan karena Pram pernah menjadi dosen Universitas res Publica, dan
aktivitasnya pada Akademi Bahasa & Sastra Multatuli yang ikut didirikan Pram pada 1963[55].
Selama periode itu, tulisan Pram makin polemis dan provokatif dari segi gaya dan isinya. Perjalanan
pertama ke Peking membawa perubahan mendalam dalam gaya dan pikiran Pram. Manifestasi pertama
Pram di tulisannya yang berjudul Ke arah sastra revolusioner yang terbit sesudah Pram kembali dari Peking.
Di dalam tulisannya dikatakan bahwa perlu ada perintisan jalan baru ke arah sastra revolusioner.
Konsekuensinya revolusi adalah pembasmian tanpa batas. Sekarang harus ada front antara tenaga-tenaga
revolusioner dan yang anti pada tenaga revolusioner, sehingga perjuangan makin sengit[56].
Ide bahwa waktunya telah datang untuk konfrontasi total menjadi makin jelas dalam karya kritis Pram
yang kemudian; ide itu pasti diperkuat lagi oleh pengalaman Pram selama dalam penjara pada 1960.
Kompromi sudah tidak mugkin lagi, sekarang sudak waktunya memukul dan menyerang terus menerus. Ideide dan tulisan Pram semakin dipengaruhi dengan ideology Lekra dan garis besar PKI. Walaupun disangsikan
sejauh mana Pram dilihami oleh ajaran komunisme yang resmi. Karya Marx tidak pernah dibaca Pram,
dengan pimpinan PKI Pram jarang bertemu, kalaupun bertemu Pram bentrok dengan mereka tentang
masalah politik. Soekarno pun tidak begitu simpati dengan Pram.[57]
Sebenarnya hanya ada satu risalah panjang yang membicarkan masalah ideology dalam satra secara
eksplisit dan teori, yaitu prasaran yang disajikan di depan Seminar Sastra, Universitas Indonesia, 26 Januari
1963. Tetapi dalam karya yang sangat panjang ini pun ideology dan teori terbatas pada ringkasan beberapa
ide Maxim Gorki, yang sejak lama menjadi idola dan pelopor besar bagi Pram. Tulisan utama Pram adalah:
realisme sosialis berdasarkan humanisme sosialis atau humanisme proletaar, yang bertentangan dengan
yang di Indonesia disebut humanisme universal, yang sebenarnya humanisme borjuis. Yang terakhir

dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mentralkan aspirasi patriotic dan melancungkan cita-cita revolusi.
Realisme borjuasi itu akhirnya memanfaatkan realitas untuk memenekan idealisme, yang menjauhkan
seniman muda dari realitas social, dan membawa mereka ke pesimisme dan negativisme. Sebaliknya
realisme sosialis adalah optimis dan menentang dengan militan kapitalisme dan imprealisme serta
memperjuangkan rakyat. Dan memberantas penderitaan dan penindasaan.
Berdasarkan teori tersebut kemudian Pramoedya memberi survai sejarah sastra Indonesia, yang
sangat bertentangan dengan sejarah yang mapan pada masa ini. Kriteria utama sejarah sastra baginya ialah
sejauh mana karya-karya sastra membayangkan penderitaan rakyat dan perjuangan menentang penindasan.
Manikebu diumumkan pada September 1963 dalam majalah Sastra sebagai manifesto sekelompok
budayawan, yang bertentangan dengan pemahaman Lekra. Konfrontasi itu di perhebat lagi sekitar
Konfrensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI), yang diselenggarakan di Jakarta pada awal maret 1964
dan yang didukung oleh berbagai badan dan organisasi non-komunis dengan bantuan angkatan darat. Setiap
minggu Lentera melancarkan serangan seru tidak hanya pada ideology kontrarevolusioner para manikebuis,
melainkan sering juga pada aspek kehidupan pribadi mereka. Karena PKI dan Lekra juga makin berkuasa
dalam politik, usaha penentang Manikebu ternyata efektif. Presiden Soekarno secara resmi melarang
Manikebu pada 8 Mei 1964, izin terbit majalah Sastrasebagai corong Manikebu dicabut.[58]
Dalam pertentangan ideologi yang semakin tajam itu Pram memainkan peran dominan. Dengan
penanya sebagai senjata yang ampuh dengan suaranya yang lantang, Pram terus menerus giat membabat
dan menghantam musuh yang tidak kunjung menyerah.[59]
Pada 9 Mei 1965, Pram menulis karangan dalam Lentera dengan judul Tahun 1965 Tahun Pembabatan
Total. Sejarah memang ada ironinya. Judul tersebut ternyata dalam arti yang terbalik dengan yang
dimaksudkan oleh Pram. Pada 30 September 1965, Gestapu sesungguhnya membawa pembabatan total
terhadap PKI, Lekra dan penganut-penganutnya, bukan hanya pembabatan vocal, melainkan juga
pembabatan fisik. Peristiwa itu juga dengan sendirinya membawa kehancuran bagi Pram.
Pram mulai bekerja pada The Voice Of Free Indonesiasebagai redaktur bagi penerbitan Indonesia;
beberapa bulan kemudian Pram mendapat tugas memimpin bagian tersebut, sebab pemimpin umum redaksi
koran The Voice Of Free Indonesia tersebut ditangkap oleh NICA karena terlibat dalam gerakan bawah tanah.
Pada saat itu Pram juga berkenalan dengan H.B. Jasin, redaktur majalah Pantja Raja, yang menerbitkan
dua cerpen Pram, masing-masing berjudul Kemana?dan Si Pandir. Tetapi kebebasan tidak berlangsung lama.
Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda mulai melakukan agresi militer pertama. Pram mendapat order dari

atasannya untuk mencetak dan menyebarkan pamphlet-pamflet dan majalah perlawanan. Tetapi dua hari
kemudian Pram tertangkap oleh marinir Belanda.[60]
Ini pertama kali Pram berkenalan dengan kehidupan penjara, pengalamannya bermacam-macam.
Karena Pram menolak kerja paksa, Pram dijatuhi siksaan yang sangat kejam, dan adakalanya rejim penjara
amat bengis. Tetapi ada juga segi positifnya, antara lain Pram bisa berkenalan dengan Profesor Mr. G.J.
Resink, guru besar hukum tata negara pada fakultas hukum yang menjadi bagian Universitas Indonesia. Di
samping ahli hukum, Resink juga sejarawan yang terkemuka serta penyair dan esais dalam bahasa Belanda.
Perkenalan yang membuahkan persahabatan seumur hidup: jilid pertama Tetralogi, Bumi Manusia,
dipersembahkan kepada Han, yaitu Resink.
Selama dalam penjara, Pram tidak hanya sempat menulis dan belajar bahasa Inggris, Pram belajar juga
ekonomi, sosiologi, sejarah filsafat, dan kursus kepustakaan dan perhitungan dagang. Namun, meski
kreativitas Pram berkembang terus selama dalam penjara, sudah tentu dua setengah tahun sebagai tahanan
itu bukan merupakan masa berbahagia dalam riwayat hidupnya.[61]
Akhirnya Desember 1949, Pram dibebaskan bersama kelompok tahanan yang terakhir. Namun,
pengalaman awal yang sangat menggembirakan. Peristiwa yang amat emosional dan membanggakan, yang
dihadirinya sendiri, adalah penurunan triwarna Belanda dan penaikan dwiwarna Indonesia di depan Istana
merdeka.
Nampaknya dengan demikian secara tragis berakhir masa jaya Pram sebagai tokoh terkemuka di
dunia kesastraan Indonesia. Pada awalnya Pram diringkus di penjara Salemba, lalu disekap dalam penjara di
Tangerang, selama empat bulan Pram dikembalikan lagi ke Salemba, sampai Juli 1969. Pada bulan itu Pram
dipindahkan ke penjara Karangtengah di Nusa Kambangan, tempat penjahat berat dipenjarakan sejak zaman
colonial. Di Nusa Kambangan Pram hanya sebentar, atau bisa dikatakan hanya transit. Pada tanggal 16
Agustus Pram bersama ribuan sesama tapol (tahanan politik) diboyong ke Pulau Buru.[62]
Di Buru Pram terpaksa tinggal lebih dari sepuluh tahun. Kehidupan yang pahit dan pengalaman
sebagai tapol, terpisah dari keluarga dan terasing dari dunia sastra Indonesia, Pram ceritakan
dalamNyanyian Sunyi Seorang Bisu. Saat terpenting selama sepuluh tahun ketika Pram pada akhirnya bisa
menerima mesin tulis dan mendapat izin untuk menulis (1973)[63], tulisannya saat itu tidak mempunyai arti
besar bagi pengarang sendiri, melainkan juga sastra Indonesia dan dunia, sebab selama tahun-tahun
berikutnya Pram sempat menyelesaikan naskah empat jilid Karya Buru, Arus Balik, dan beberapa karya lain.

Hal itu dimungkinkan oleh solidaritas rekan-rekan Pram yang membebaskan Pram dari tugas kerja lain,
sehingga Pram dapat membaktikan diri sepenuhnya pada tulisannya.
Baru pada akhir 1979[64]Pram dilepaskan, Pram berangkat dengan rombongan terakhir. Sejarah
terulang lagi, sebab tiga puluh tahun sebelumnya Pram juga termasuk kelompok tahanan terakhir yang
dibebaskan dari penjara Belanda. Akhirnya Pram dibebaskan di Semarang dan Pram diizinkan pulang
keluarganya di Jakarta yang sejak 14 tahun.
Sejak itu Pram bebas dari penjara, tetapi kebebasan yang Pram dapatkan, hanya kebebasan semu.
Ruang geraknya sebagai warga Indonesia sangat terbatas. Seperti kebebasan berbicara, menulis juga terus
menerus di brendel. Jadi selama 16 tahun terakhir ini Pram praktis tahanan kota. Hidup sosialnya sebagai
anggota masyarakat Indonesia tidak dapat dilangsungkan lagi, apalagi dikembangkan, Pram tidak dapat aktif
ikut di dunia sastra.
Namun, tidak berarti riwayat hidup Pram telah berakhir. Secara paradoksal dapat dikatakan bahwa
kehadiran Pram di Indonesia masih tetap terasa, bahkan ada kalanya menonjol. Dalam tahun berikutnya
dunia sastra kaget denga terbitnya dua buku, Bumi Manusia dan Anak semua Bangsa, buah tangan dari pulau
Buru. Roman sejarah tersebut langsung meraih sukses besar, dalam waktu singkat sejumlah cetakan ulang
diperlukan, kritik menanggapi buku itu cukup antusias, walaupun ada juga yang keras menolaknya. Di luar
negeri Pram yang sebagai tapol menjadi lambang demi hak asasi manusia sekarang menjadi terkenal juga
sebagai satrawan berkaliber internasional. Bukunya juga terbit dalam bahasa Malaysia, demikian pula dalam
bahasa asing, pertama-pertama Nederland, kemudian bahasa Inggris, dan entah berapa bahasa dunia lain.
Namun, di Indonesia pada Mei 1981 kedua buku itu di larang peredarannya oleh Jaksa Agung, dan nasib
yang sama menimpa dua jilid berikut dari tetralogiKarya Buru, masing-masing berjudul Jejak langkah (1985)
dan Rumah Kaca (1988).[65]
Peran publik dalam kehidupan sastra ternyata tidak mungkin bagi Pram, ketika pada 1981 Pram
memberikan ceramah di fakultas sastra UI atas undangan Senat Mahasiswa, tentang Sikap dan peranan
kaum intelektual di Dunia Ketiga, khususnya di Indonesia. Pram diusir dengan tertulis oleh Dekan.
Diinterogasi oleh Satgas Intel selama seminggu, anggota Senat yang dianggap bertanggung jawab dipecat
dan dipenjarakan. Namun, Pram makin mendapat pengakuan dan penghargaan internasional. Karya
Buru diterjemahkan ke dalam bahasa asing, Barat maupun Timur. Pram diangkat sebagai anggota
kehormatan Pusat PEN di berbagai negeri, Australia, Swedia, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan pada
1988 Pram menerima Freedom to Write Awarddari organisasi PEN di Amerika Serikat. Pram juga di calonkan
untuk Hadiah Nobel Sastra.[66]

Masih ada beberapa buah tangan Pram lain yang terbit, kebanyakan riset histories yang dilakukan
sebelum 1965: antologi sastra pra-Indonesia, dengan judul Tempo Doeloe (1982): biografi Tirtho Adhi
Soerjo Sang Pemula dengan antologi tulisan pelopor jurnalistik Indonesia (1985), yang juga sejarawan
internasional diakui sebagai sumbangan penting pada penulisan sejarah masa awal gerakan Indonesia.[67]
Dalam dasawarsa ini pun masih terbit dua buku yang meriwayatkan pengalaman dan observasi Pram
selama di Buru pertama-tama diterbitkan dalam terjemahan Belanda, jilid pertama kemudian terbit dalam
bahasa Indonesia Nyanyian Sunyi Seorang Bisu pada kesempatan hari ulang tahun Pramoedya yang ke-70
pada 6 Februari 1995, tetapi segera dilarang. Buku ini merupakan semacam kolase, sebagian bersifat factual
mengenai nasib Pram sendiri dan sesama tahanan di Buru, sebagian lagi perenungan dan observasi yang
bermacam-macam. Bagian kedua, yang versi aslinya belum diterbitkan, mengenai sejumlah surat Pram
ditujukan buat anak-anaknya, tetapi tidak pernah dikirimkan.
Sekali lagi Pram menjadi pusat hebohnya sastra besar di Indonesia yang terjadi pada tahun 1995,
ketika Pram dianugerahi Roman Magsaysay Award for Jurnalism, Literature, and Creative Communication
Arts di Manila. Pengurus yang bersangkutan memberikan kehormatan yang disertai hadiah UU$ 50.000,
kepada Pram berdasarkan jasanya sebagai pengarang.
Penganugerahan hadiah Magsaysay menimbulkan prahara protes di Indonesia di antara sejumlah
sastrawan dan budayawan, di antaranya Rendra, H.B. Jasin dan lain-lain. Menunjukkan pernyataan bersama
kepada yayasan Hadiah Ramon Magsaysay sebagai protes terhadap keputusan yayasan dan mendesak
membatalkan putusan itu.[68]
Di anggap sangat ironis bahwa hadiah yang memakai nama, Magsaysay, yang seumur hidup
memperjuangkan demokrasi dan hak asai manusia, sekarang diberikan kepada penulis yang selama periode
ikut memimpin Lekra terbukti anti demokratis dan ikut menindas hak. Ketika ternyata pengurus yayasan
tidak menerima protes tersebut.
Di Indonesia terjadi dua front, satu pro dan satu kontra Pram. Tiga budayawan terkemuka yang tidak
mau menandatangi pernyataan itu, misalnya Ajip Rosidi, Goenawan Mohamad, dan Arief Budiman, kedua
yang terakhir dulu juga penandatangan Manikebu, yang menjadi terror dan penindasan oleh Lekra.[69]
Bagi Goenawan alasan penting untuk tidak menandatangi pernyataan protes adalah Pram masih
belum bebas, belum dipulihkan hak-hak sipilnya, masih ada pelarangan terhadap bukunya, pelarangan
bepergian ke luar negeri dan lain-lain.[70]

Heboh sastra terbaru ini membuktikan, kontroversi lama tetap ada, Pram tetap keras kepala menolak
bertobat dan minta maaf atas kelakuannya sebagai pemuka Lekra. Pram tetap penuh amarah terhadap
kelakuan yang telah Pram derita selama 20 tahun lebih. Lawannya tidak kurang mendalam rasa dendamnya
atas teror pihak Lekra yang mereka derita, dengan Pram sebagai pemukanya yang paling vocal. Dan di
tengah-tengah ada pihak ketiga, dengan Goenawan Mohammad sebagai wakil terkemuka, yang berseru
kepada kedua kubu agar mereka menepikan rasa curiga.
Demikianlah Pram tetap berada dalam situasi paradoksal. Pada satu pihak Pram terpaksa hidup
sebagai paria yang sudah tiga puluh tahun lebih kehilangan hak asasinya sebagai manusia dan warga Negara
Indonesia, tanpa pernah diadili dalam proses hukum yang pantas, dan dipaksa bungkam, tanpa diberi
kesempatan membela diri di muka umum. Pada pihak lain Pram tetap hadir, di Indonesia maupun dunia
Internasional, sebagai tokoh raksasa, yang tingkah lakunya di masa lampau kontroversial, tetapi yang
keunggulannya sebagai sastrawan diakui oleh seluruh dunia.
C. Sepenggal Cerita Lahirnya Novel Tetralogi
Pada akhir tahun 1980[71], Pram melahirkan karya awal dari rangkaian novel Tetralogi. Yaitu novel
Bumi Manusia, yang pada saat itu Pram baru satu tahun keluar dari penjara di pulau buru. Sebenarnya ide
menulis novel Tetralogi, sudah ada pada awal tahun 1960[72], tetapi baru diedarkan di masyarakat pada
tahun 1980.
Kenapa novel tersebut perlu dibuat, karena Pram melihat pengajaran sekolah semata tidak cukup
untuk membudayakan kecintaan bangsa pada sejarah pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan.
Dan Pram juga beranggapan semua ucapan tentang patriotisme, kecintaan pada tanah air dan bangsa, baik
itu melalui pembicaraan, pidato, nyanyian atau pun deklamasi ini tinggal slogan tanpa isi, tidak edukatif, dan
juga tidak jujur.[73]
Untuk menyelamatkan novel Tetralogi, karena Pram menulis novel tersebut ketika masih di dalam
penjara. Pram dibantu oleh sahabatnya yang bernama Prof. Mr. G.J. Resink, biasa di panggil Pram dengan
Han.[74]Karena

Resink,

yang

juga

menyelamatkan

naskah Perburuan dan Keluarga

gerilja.Resink,

menyelundupkan naskah novel itu keluar penjara, demikian pula yang terjadi pada novel Tetralogi.[75]
Dalam pembukaan buku Bumi Manusia, Pram melegendakan nama sahabatnya tersebut. Han,
memang bukan sesuatu yang baru. Jalan setapak ini memang sudah sering ditempuh, hanya yang sekarang
perjalanan pematokan. Terasa sekali bahwa Pram merasa sangat berhutang budi, pada sahabatnya tersebut.

Novel Tetralogi tersebut terdiri dari empat jilid, jilid yang pertama berjudul Bumi Manusia, Anak semua
bangsa, Jejak langkah, kemudian Rumah Kaca. Setiap jilid tersebut saling berkait satu sama lain. Empat novel
tersebut, kira-kira berkisar sejumlah 1600 halaman. Makanya diperlukan pemisahan-pemisahan, sehingga
pembaca tidak akan jenuh.
Tokoh protagonis dalam novel tersebut bernama Minke, namun sebenarnya tokoh Minke tersebut
adalah perwujudan dari Tirto Adhi Suryo, nasionalis angkatan pertama, yang sampai waktu itu kurang
mendapat perhatian dalam penulisan sejarah nasional[76], Tirtoadhisoerjo telah jadi wartawan pada usia 21
tahun, dan dia adalah wartawan pertama kali di Indonesia.
Minke, adalah anak priyayi tinggi. Pada masa riwayat ini berlangsung menjadi aggota keluarga
semacam itu memberi hak istimewa kepada orang di tanah jajahan, asal ia bersedia menyesuaikan diri
dengan tuntutan rangkap system: pertama, bersikap sesuai dengan hukum-hukum kebudyaan priyayi dan
kedua, tunduk pada kemauan penguasa kolonial yang memanfaatkan golongan priyayi Jawa untuk
mempertahankan kekuasaan dan kewibawaannya dengan kekuatan fisik yang minimal. Atas dasar tersebut
anak priyayi di perbolehkan masuk sekolak terbaik yang dimiliki kolonial.
Proses belajar Minke berlangsung cukup lama, berliku dan berbelit-belit. Minke sekolah ditengahtengah orang Belanda, yang selalu bersikap rasialis. Namun dari sekolah tersebut Minke mempelajari ilmu
pengetahuan Eropa, dan Minke terkagum-kagum. Tapi pada akhirnya Minke kecewa terhadap ilmu
pengetahuan tersebut, terutama pada sistem hukum kolonial yang secara tragis merenggut istrinya. Pada
waktu tersebut, Minke juga bertemu dengan guru bahasa Belanda yang termasuk aliran etis [77]. Dari sana
minke sadar bahwa ada jurang tersebut bersifat rasial.
Semenjak awal Minke sendiri sudah mempertanyakan nasibnya sebagai golongan pribumi yang selalu
dilecehkan. Sebagai contoh, antara kelahiran Minke dengan Sri ratu Wilhelmina mempunyai tanggal, bulan,
serta tahun kelahiran yang sama, 31 Agustus 1880. perbedaannya hanyalah pada jam dan kelamin saja.
Kalau berdasarkan perhitungan astrologi (perbintangan), jelas keduanya mempunyai nasib yang sama.[78]
Tetapi apa yang terjadi yang satu menjadi ratu sementara yang lain menjadi kawulanya. Dengan
realitas social semacam ini, Minke pun sependapat dengan apa yang di katakan gurunya, Juffrouw Magda
Peters yang merujuk pendapat Thomas Aquinas, bahwa astrologi tidak lebih sebagai lelucon belaka.
Kesadaran sistem yang timpang bukan saja menimpa pada dirinya, tapi juga pada semua rakyat
Indonesia. Apalagi bagi mereka yang secara status sosial tidak memiliki kedudukan, seperti petani. Hal
tersebut sangat jelas diceritakan pada novel Anak Semua Bangsa, ketika suatu saat Minke bertemu dengan

seorang petani bernama Trunodongso. Yang dipaksa menanam tebu pada tanah milkinya sendiri, dan ketika
petani tersebut menolak maka keluarganya diusir dari tanahnya sendiri.
Sementara itu dalam jilid kedua novel terakhir, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Novel tersebut,
bercerita tentang lahirnya SDI (Sarikat Dagang Islam), SDI adalah cikal bakal lahirnya SI (Sarekat Islam) di
Indonesia. Kelahiran SDI disebabkan pedagang batik yang ada di Sala dan Yogya, untuk menangani
perkelahian jalanan yang sering meledak antara kaum Tionghoa dan Jawa.
SI adalah alat untuk melihat kabangkitan Bumiputera awal abad XX. Gerakan SI bertujuan untuk
melawan sisten perdagangan kolonial Belanda. serpihan-serpihan keterasingan budaya perlawanan yang
bebas masuk ke Hindia Belanda. SI inilah yang pertama kali melancarkan pemboikotan melalui metode
kekerasan. Kiat gerakan ini telah membuatnya popular dan mendapat dukungan meluas bahkan hingga di
luar kota Surakarta. Kekuatan pengaruh SI ini makin mengagumkan ketika terbit surat kabar yang
bernama Oetoesan Hindia, sebagaimana Indische Party punya De Express. ISDV itu, berawal dari klub debat
sosialis belanda yang didirikan oleh Henk Sneevlit tahun 1915, berorientasi pada peningkatan kualitas
bumiputera dan pengoorganisiran kekuatan rakyat untuk melawan pres yang ada di Hindia Belanda.
Meski pada akhir cerita tokoh Minke tersebut akhirnya kalah, dan harus dipenjara oleh pemerintah
yang berkuasa.
Gambaran pada novel Bumi Manusia, novel pertama dari tetralogi. Di dalam novel tersebut Pram
mencoba memotret kekaguman orang-orang jawa yang sangat terpesona pada kemajuan ilmu pengetahuan
yang baru dilihatnya. Meski tidak semua orang Jawa kagum akan kemajuan ilmu pengetahuan tersebut,
karena kemajuan tersebut tidak bisa dinikmati oleh semua orang Jawa. Karena yang bisa menikmati fasilitas
tersebut adalah para priyayi, sebab untuk menikmati hal tersebut harus mengeluarkan kocek yang tidak
sedikit. Dalam novel ini Minke juga bertemu dengan seorang Nyai yang bernama Ontosoroh, Nyai tersebut
sangat kaya dan cerdas. Sehingga Nyai tersebut mampu mengasai tuannya, Nyai itu juga yang memberikan
pengajran tentang revolusi Perancis yang membuka mata Minke melihat system feodal.
Namun dalam novel tersebut bukan hanya sebentuk kekaguman saja, tapi juga perjuangan untuk
menentang ketidakadilan yang diciptakan sistem kolonialisme. Tetapi, ia pun tidak muncul sama sekali
sebagai pemenang yang berhasil menumbangkan ketidak adilan dalam system ini, melainkan justru harus
menghadapi kenyataan pahit: kalah dengan ditandai direbutnya Annelis dari sisinya. Novel ini ditutup
dengan nada yang sangat pahit: Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Justru

dari akhir cerita yang seperti ini, pembaca dibuat menyadari adanya ketidak adilan dalam system
kolonialisme[79].
Dalam novel jilid kedua dengan judul Anak Semua Bangsa, Minke bertemu dengan seorang Cina.
Mereka sepasang kekasih, yang ternyata mereka berdua adalah pelarian dari negaranya karena berusaha
melawan kaisar. Kedua orang Cina tersebut beraliran sosialis, untuk pertama kali Minke belajar tentang
sosialisme. Hal tersebut juga didukung oleh Nyai Ontosoroh, justru Nyai Ontosoroh juga menyuruh Minke
untuk menulis kepada media Belanda. Hingga pada akhir cerita jilid kedua ini, Minke diminta untuk
mendirikan media sendiri yang berbahasa melayu. Sebab bahasa tersebut dapat di baca oleh setiap orang
pribumi, sehingga lebih merakyat. Maka lahirlah media yang bernama Medan.[80]
Dalam jilid ketiga yang berjudul Jejak Langkah, Minke mulai aktif menulis. Novel ini juga
menggambarkan lahirnya organisasi-organisasi besar, yang mempengaruhi perjalanan perjuangan Indonesia
dalam meraih kemerdekaan. Seperti Boedi Oetomo, Serikat Dagang Indonesia, Serikat Islam dan masih
banyak lagi. Hingga perjuangan-perjuangan organisasi-organisasi tersebut dan latar belakang lahirnya
organisasi.
Hingga pada jilid keempat yang berjudul Rumah Kaca, di sini Minke mulai sadar bahwa alat perjuangan
yang paling ampuh adalah jurnalistik, tetapi pada saat bersamaan gerak Minke mulai diawasi oleh Belanda
begitu juga dengan organisasi-organisasi yang ada. Jadi Pram menggambarkan orang Indonesia pada saat itu
seperti dalam kotak kaca, yang tiap gerak-geriknya diawasi oleh Belanda.
D. Penghargaan Yang Diterima Pramoedya
1988: Freedom to Write Award dari PEN American Center, Amerika Serikat.
1989: Anugerah dari The Fund for Freee Expression, New York, Amerika Serikat.
1995: Wertheim Award, for his meritorious services to the struggle for emancipation of the Indonesian people,
dari The Wertheim Foundation, Leiden, Belanda.
1995: Ramon Magsaysay Award, for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognition of his illuminating
with brilliant stories the hystorical awakening, and modern experience of the Indonesian people, dari
Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina.
1996: Partai Rakyat Demokratik Award, hormat bagi Pejuang dan Demokrat Sejati dari Partai Rakyat
Demokratik.

1996: UNESCO Madanjeet Singh Prize, in recognition of his outstanding contribution to the promotion of
tolerance and non-violence, dari UNESCE, Paris, Prancis.
1999: Doctor of Humane Letters, in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary
contribution, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual
freedom, dari University of Michigan, Madison, Amerika Serikat.
1999: Chancellers Distinguished Honor Award, for his out standing literary archievements and for his
contributions to etnic tolerance and global understanding, dari University of California, Berkeley, Amerika
Serikat.
1999: Chevalier de IOrdre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique
Francaise, Paris, Prancis.
2000: New York Foundation for the Art Award, New York, Amerika Serikat.
2000: Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang.

BAB III
REALISME SOSIALIS SEBAGAI
PANDANGAN PRAMOEDYA ANANTA TOER DALAM NOVEL TRETALOGI
Bab ini akan menjelaskan tentang realisme sosialis siapa yang dipotret oleh Pram, dan dipengaruhi
oleh siapa realisme sosialis yang dianut dalam aliran sastra Pram, hal tersebut sangat diperlukan untuk
membelah gagasan-gagasan realisme sosialis menurut Pram yang terkandung dalam novel Tetralogi.
Sebenarnya hal tersebut tidak semudah disangka oleh penulis, karena dalam novel tersebut tidak
secara terang-terangan menunjukkan makna sisi realisme sosialis, seperti yang dilakukan oleh Marxim Gorki
seorang tokoh realisme sosialis yang menjadi panutan Pram. Novel tersebut berlatar belakang sebuah
penjajahan, di mana penindasan yang dilakukan oleh feodalis sangat terasa di dalamnya.

Penulis mencoba menguak makna dari realisme sosialis dalam novel Tetralogi tersebut, dengan
mengacu pada pemikiran Pram tentang realisme sosialis. Sehingga diharapkan tidak akan mengaburkan
makna realisme sosialis, dan dapat pula memotret pemikiran realisme sosialisnya Pram dalam novel
Tetralogi.
Dalam bab ini akan dibahas tiga persoalan yang terdiri dari tiga sub, yaitu sub A, tentang Pramoedya
Ananta toer dan Paradigma Realisme Sosialis dalam Sastra. Sub B, tentang Pandangan Pramoedya tentang
Realisme Sosialis dalam Novel Tetralogi dan sub bab C, tentang Faham Realisme Sosialis dalam Realitas
Empirik.
A. Pramoedya Ananta Toer dan Paradigma Realisme Sosialis dalam Sastra.
Pemikiran Pram tentang realisme sosialis, sebenarnya punya tujuan satu, yaitu untuk membangun
masyarakat yang ideal. Masyarakat tanpa penindasan, masyarakat yang merdeka. Dalam arti terpenuhinya
hak-hak sebagai manusia, seperti yang diharapkan oleh sosialisme. Yaitu manusia yang sama rasa sama rata
dan karsa (keinginan).
Namun untuk memperjelas pola pikir Pram tentang realisme sosialis, perlu dipertegas lebih dahulu
tentang sejarah lahirnya realisme sosialis, dan makna yang terkandung di dalamnya.
Istilah tersebut lahir pertama kali di Uni Soviet[81], sebagai penerapan sosialisme di bidang kreasisastra. Sastra yang mempergunakan metode ini karena realisme sosialis adalah metode di bidang kreasi
(seni) untuk memenangkan sosialisme dan lebih penting lagi adalah dengan sikap politik yang tegas, militan,
kentara, tidak perlu malu-malu kucing atau sembunyi-sembunyi, sesuai dengan nama yang dipergunakannya.
Realisme sosialis merupakan bagian intergral dari kesatuan mesin perjuangan umat manusia dalam
menghancurkan penindasan dan penghisapan atas rakyat pekerja, yakni buruh dan tani, dalam menghalau
imperialisme (penjajahan) kolonialisme (golongan), dan penghisapan atas rakyat pekerja, yakni buruh dan
tani, imprealisme kolonialisme, untuk meningkatkan kondisi dan situasi rakyat pekerja diseluruh dunia.[82]
Lain halnya dengan realisme Barat, atau lebih tepatnya dinamai realisme borjuis, merupakan
pembatasan terhadap pandangan seseorang pada realitas-realitas saja[83].
Sedangkan sastra sosialis Indonesia timbul dari orang-orang Indonesia yang berjiwa sosialisme yang
dilahirkan oleh perkembangan masyarakat itu sediri yang menderita keadilan sosial, mula-mula naluri
bertahan terhadap kematian yang disebabkan karena kezaliman social, dan kemudian pada ia atau mereka
yang mempunyai kegiatan atau rutin kreasi menyalurkannya ke dalam cerita-cerita, yang pada pokoknya
memperingatkan orang, bahwa kezaliman sosial yang tengah berlaku tidak bisa dipertahankan lebih lama
lagi, kalau masyarakat tidak hendak jadi binasa karenanya[84].

Realisme sosialis adalah sebuah istilah dengan maknanya yang telah pasti di negara manapun dia ada,
hanya perkembangannya ditentukan oleh kondisi setempat, yakni realisme ilmiah (MDH = Matrealisme,
Dealiktika, Historisme). Realisme dengan hukum perkembangannya dan sosialisme yang lahir sebagai
kemestian disebabkan adanya perjuangan antara dua macam klas yang bertentangan dan berkembang
secara tetap, yakni klas proletaar dan klas borjuis[85].
Realisme sosialis sangat bertentangan dengan realisme barat, atau lebih tepatnya dinamai
realisme borjuis, karena merupakan pembatasan terhadap pandangan seseorang pada realitas-realitas saja
tanpa membutuhkan kritik. Sebaliknya, realisme sosialis sebagai metode sosialis menempatkan realitas
sebagai bahan-bahan global semata untuk menyempurnakan pemikiran dialektik. Bagi realisme sosialis,
setiap realitas, setiap fakta, cuma sebagian dari kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri. Realitas tidak lain
hanya satu fakta dalam perkembangan dialektik.
Realisme borjuis mempunyai kecenderungan yang melawan realitas itu sendiri untuk memenangkan
idealisme. Atau bila dipergunakan kata-kata Nikolai Iribudzjakov:
Satu ciri stadium baru kapitalisme dunia adalah keretakan sama sekali dari filsafat borjuis dengan
materialisme dan dengan segala steling-steling-nya yang mengkibatkan orang menarik kesimpulan yang
materialistik.
Tapi ini bukan berarti, bahwa materialisme hilang sama sekali dari pandangan sarjana-sarjana borjuis.
Materialisme itu dapat saja dibuang dari filsafat borjuis, namun ia masih menyatakan diri jelas-jelas di dalam
fisika. Dan ini bukanlah suatu kebetulan. Karena sebagai mana ditunjukkan oleh Lenin dengan jelasnya, maka
pada parasarjana borjuis dalam ilmu-ilmu alam, para ahli biologi, dan matematika, yang melakukan studi
dilapangan alam materi maka muncul dan berkuasalah tendensi-tendensi materialistik yang tak dapat
dihindarkan lagi. Dalam paham-paham falsafinya para sarjana ini mencoba melepaskan diri dari
materialisme, menentangnya, yang mana sebagian di antaranya menyatakan pengikut dari idealisme
subjektif. Tapi penyelidikan-penyelidikan di lapangan ilmu pengetahuan alam kembali membawa mereka
pada kesimpulan, yang bertentangan dengan wawasan falsafi mereka sendiri serta membenarkan berbagai
stelling materialisme. Ucapan-ucapan materialisme yang spontan di antara para sarjana ilmu alam borjuis
tentu saja tidaklah menjelaskan dan memang tak dapat menjelaskan watak dari borjuis modern yang pada
umunya adalah filsafat idealis[86]
Demikianlah realisme borjuis menurut pandangan orang sosialis. Sedangkan realisme sosialis adalah
istilah sastra yang melingkupi adanya frontperjuangan, harus mempunyai watak yang jelas. Yang pertama,
militansi sebagai ciri tidak kenal kompromi dengan lawan. Serta yang kedua, karena segaris dengan
perjuangan politik sosialis, maka dia terus menerus melakukan affensi atas musuh-musuhnya dan
pembangunan yang cepat di kalangan barisan sendiri. Dalam dua artikelnya ini Gorki membela
humanisme proletaar, humanisme rakyat dengan menudingkan telunjuk pada urgensinya pengusahaan

penghapusan pembagian manusia atas klas-klas (dalam agama Hindu adalah kasta-kasta, dalam sistemsistem sosial tertentu dalam pemisahan antara budak dan orang merdeka serta pelapisan-pelapisannya),
melenyapkan setiap kemungkinan munculnya minoritas yang mengeksploitasi tenaga mayoritas yang
produktif dan kreatif. Serta yang paling penting adalah menciptakan dunia baru, dunia yang dibangunkan di
atas landasan keadilan yang merata[87].
Jadi watak sastra realisme sosialis bukan saja nampak dari militansinya terhadap kapitalisme yang
dihadapinya sehari-sehari, tetapi lebih jauh lagi juga militansinya dalam mempertahankan dan
mengembangkan semangat anti kapitalime internasional.
Sastra realisme sosialis tidak pernah memberikan konsesi atau kompromi dengan musuh-musuhnya,
karena yang demikian sudah menyalahi sosialisme itu sendiri, sedangkan sastra memang bukanlah politik
yang berusaha mendapatkan kemenangan semutlak mungkin atas lawan[88].
Pada

segi

lain

watak

ini

nampak

pada

semangat

yang

diberikannya

pada

rakyat,

pengungkapanpaedagogik dan sugestif, ajakan dan dorongan untuk lebih tegap dan perwira memenangkan
keadilan merata, guna maju untuk melawan dan menentang penindasan dan penghisapan serta penjajahan
nasional maupun internasional, bukan saja berdasarkan emosi atau sentimen, tetapi juga berdasarkan ilmu
dan pengetahuan. Terutama memberanikan rakyat untuk melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri.
Karena di dalam penghisapan dan penindasan kapitalisme, rakyat kurang cukup mendapatkan makanan baik
bagi perut maupun bagi otaknya, apalagi melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri[89].
Dalam militansi seorang pengarang menurut pandangan Pram yaitu faham realisme sosialis yang telah
menguasai realitas, yang tidak memenuhi harapan dan keadilan, telah menentang realitas , dan dengan jalan
kreatif mengubahnya menurut tuntutan keadilan. Watak pengubahan selamanyarevolusioner, karena
realisme sosialis tidak mengajarkan orang menerima realitas dan menyerah kepadanya, tetapi secara berani
dan revolusionermeninggalkan tingkat manusia alam, dan dengan paksa atau tidak menyusun dunia
pikirannya sesuai dengan tantangan yang dihadapinya. Kondisi yang dituntut ini membikin orang terusmenerus jadi revolusioneryang bersumberkan revolusi yang terus-menerus di dalam jiwa, pengoreksian
terus-menerus atas realitas, dan dengan sendirinya tidak boleh terlena akan segala perubahan spontan
maupun perubahan semu daripada realitas itu sendiri bagaimanapun kecilnya dan dia kentara[90].
Pandangan sastra Pram tentang realisme sosialis telah menjadi ketentuan bahwa pengarang harus
belajar dari rakyat. Banyak cara yang harus dan bisa ditempuh, terutama membaurkan diri ke dalam gerakan

massa, mengenal perasaan mereka, mengenal spontanitas dalam menyatakan perasaan mereka, dan
bersama mereka ikut mewujudkan apa yang harus diharapkan oleh mereka[91].
Para pengarang realisme sosialis harus menyediakan diri untuk digembleng dan diperbanyak oleh
realitas yang kasar, pahit, dan bengis. Hasil langsung dari didikan spontan ini ialah meningkatkan daya
kreatif terhadap segala gerak-gerik musuh rakyat. Gemblengan itu menghasilkan ketajaman daya urai dan
daya pembeda antara gerakan pokok musuh rakyat, gerakkan semu, penyokong musuh, dan gerakan tidak
sadar menyokong musuh. Seterusnya gemblengan itu juga meningkatkan naluri mempertahankan dan
memperkuat gerakan rakyat, mengkonsolidasi dan mempertahankan kemenangan-kemenangan yang telah
dicapai, memahami kekalahan-kekalahan dan menstabilkan sukses-sukses dan dengan cepat mengenal
provokasi musuh, anti propaganda[92].
Pola tersebut juga berlaku dalam Lekra, sebagai salah satu tombak perjuangan PKI dalam bidang seni.
Lekra juga menganut aliran realisme sosialis. Dalam karya sastra para pengarang Lekra yang dapat
digolongkan pada, pertama sastra manifest, dengan tema melawan, menolak, menentang kapitalisme,
feodalisme, dan menempatkan diri sebagai penentang, penolak, dan pelawan. Kedua, perkembangan Ke
Arah yang Normal berjalan bersama dengan perkembangan seluruh kekuatan progresif di dalam
masyarakat, kemenangan-kemenangan Lekra baik di bidang organisasi, karya, dan kekuatan politik, telah
menciptakan kondisi-kondisi social baru. Ketiga, kritik sastra realisme sosialis mempunyai garapan yang
berbeda daripada kritik sastra borjuis. Kondisi-kondisi politik si pengarang menjadi syarat terutama karena
kondisi politik yang tidak baik sudah pasti akan melahirkan karya satra yang tidak baik pula. Keempat,sesuai
dengan logika, dan sesuai pula dengan kenyataan hidup, estetika mengambil tempat terakhir dalam
kehidupan sosial[93].
Lekra berdiri pada tanggal 17 agustus 1950. pengambil inisiatif adalah D.N. Aidit, M.S. Ashar, A.S.
Dharta, dan Njoto. Sebagaimana pernyataan Lekra sendiri, tentang pendirian organisasi ini kita dapatkan
kalimat-kalimat yang berbunyi demikian:
Apa yang berlangsung ketika revolusi bersenjata dari revolusi Agustus, yaitu periode antara 1945 dan
1950, bergejolak? Periode itu, dibidang kebudayaan, ditandai oleh banyak seniman, sarjana dan pekerjapekerja kebudayaan lainnya yang memihak pada, ambil bagian dalam dan memberikan sumbangannya
kepada revolusi. Pekerja-pekerja kebudayaan satu dengan revolusi, dan revolusi 1945 adalah suatu revolusi
kerakyatan maka hal ini berarti, bahwa pekerja-pekerja kebudayaan satu dengan rakyat. Tetapi, partisipasi
atau kesertaan mereka itu di dalam revolusi masih bersifat spontan. Kespontanan itu tentu tidak hanya di
lahirkan oleh intuisi, tetapi juga oleh kesadaran tertentu. Dalam hal ini kespontanan itu baik. Tetapi juga ia
membawa dalam dirinya seginya yang lain, yaitu: belum teratur, belum terorganisir, singkatnya, belum
terpimpin, dan sebagai akibatnya belum bersasaran yang tepat, sehingga efek dan hasilnya belum cukup
besar jadinya.

Demikianlah lekra didirikan tepat 5 tahun sesudah revolusi Agustus pecah, disaat revolusi tertahan oleh
rintangan hebat yang berujud persetujuan KMB, jadi disaat garis revolusi sedang menurun. Ketika itu orangorang kebudayaan yang tadinya seolah-seolah satu kepalan tangan yang tegak dipihak revolusi, menjadi
tergolong-golong. Mereka yang tidak setia, menyeberang. Yang lemah dan ragu-ragu seakan-akan putus asa
karena tidak tahu jalan. Yang taat dan teguh meneruskan pekerjaannya dengan keyakinan bahwa kekalahan
revolusi hanyalah kekalahan sementara. Lekra didirikan untuk turut mencegah kemerosotan lebih lanjut dari
garis revolusi, karena kita sadar, bahwa tugas ini bukan hanya tugas kaum politis tetapi juga tugas pekerjapekerja kebudayaan. Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung
revolusi[94].
Jadi estetika dalam realisme sosialis bukanlah suatu yang mewah, tetapi sesuatu social opgaveyang
harus dijawab dan dipecahkan dan dirumuskan kemudian dibuat berdasarkan rumus tersebut. Setidaktidaknya estetika bukanlah satu pemutlakan selama yang dapat menikmati hanya klas yang mendapatkan
keberuntungan pendidikan dan pengajaran[95].
Sebagai mana telah diketahui bahwa Lekra menganut aliran realisme sosialis, maka orang yang ikut
terlibat didalamnya yaitu Pram juga menganut aliran tersebut. Tokoh yang sangat mempengaruhi pemikiran
Pram adalah Maxim Gorki. Pram, mengambil semua metode realisme sosialis Maxim Gorki. Tanpa ragu Pram
mengatakan bahwa istilah realisme sosialis timbul pertama kali di bumi yang untuk pertama kali
memenangkan sosialisme, di bumi yang telah menegakkan sosialisme, yakni Uni Soviet. Tokoh utama yang
biasanya mendapat kehormatan sebagai pelopornya adalah pujangga besar Soviet Maxim Gorki terutama
dengan karya utamnya Ibunda[96].
Dalam pandangan Pram, Maxim Gorki bukan suatu kebetulan yang oleh sejarah di tunjuk sebagai
pelopornya. Baik triloginya Childhood, My Apprenticeship dan My Universities maupun cerpen-cerpennya,
terutama sekali Di Musim Gugur, secara otobiografik melukiskan pukulan-pukulan dan tindasan-tindasan
yang diterimanya dari klas kapitalis borjuis. Tidak mengherankan pula bahwa Maxim Gorki berpihak pada
neneknya, seorang wanita pengemis dan di samping neneknya menentang kakeknya, seorang pengusaha di
bidang pencelupan[97].
B. Pandangan Pramoedya tentang Realisme Sosialis dalam Novel Tetralogi
Ada banyak pandangan yang mengandung unsur realisme sosialis yang merepresentasikan gagasan
Pram dalam novel tetralogi. Sebagai mana telah di uraikan pada bab pertama dan kedua, Pram dikenal
sebagai sosok yang berani dalam menyuarakan suatu yang di anggap Pram sebagai sebuah keadilan. Pram
sangat memahami bagaimana menyampaikan realisme sosialis dalam setiap tulisannya. Ini tidak lepas dari
pengalaman hidupnya, dan organisasi yang telah di pilihnya.

Realisme sosialis sebagai bagian dari kepentingan umum kaum proletariat yang menjadi roda kesatuan
besar mekanisme sosial demokratik, yang di gerakkan oleh kesadaran politik seperti yang dikatakan oleh
Lenin, menjadi alat yang ampuh di tangan prajurit-prajurit kebudayaan, karena sastra realisme sosialis
selalu revolusioner. Watak pejuang dan perjuangan ini akan selalu mewarnai kerja sastranya[98].
Dalam novel di bawah ini, menggambarkan Minke sang tokoh protagonis sedang diberi nasihat oleh
sahabatnya seorang Perancis. Bagaimana kondisi bangsanya yang sangat membutuhkan tenaga dan juga
pikirannya untuk melawan penjajah yang hidup bergelimang harta, sedangkan rakyat yang lain menderita.
Ya, memang belum banyak yang bisa ku dapatakan dalam diriku. Jean marais bercita-cita mengisi hidup
dengan lukisan-lukisan, bukan hanya menyambung hidup. Untuk apa aku menulis, sampai mendapatkan
kemasyhuran sebanyak itu? Kau tidak adil Minke, kalau memburu kepuasan saja bisa mendapatakan kemashuran.
Tidak adil! Orang-orang lain bekerja sampai berkeringat darah, mati-matian, jangankan mendapatkan
kemasyhuran ,hanya untuk dapat makan dua kali sehari belum tentu bisa[99].
Kejadian ini ketika Minke seorang yang jauh lebih terpelajar harus tetap berjongkok dulu ketika
menghadap seorang Bupati, padahal Bupati tersebut jauh lebih bodoh dibanding dirinya. Terasa sekali
semangat feodalisme pada cerita di bawah ini.
Jadi aku akan dihadapkan pada Bupati B. god! Urusan apa pula? Dan aku ini, siswa H.B.S., haruskah
merangkak dihadapannya dan mengangkat sembah pada setiap titik kalimatku sendiri untukku sendiri untuk
orang yang sama sekali tidak kukenal! Dalam berjalan ke pendopo yang sudah diterangi dengan empat buah
lampu itu aku merasa seperti hendak menangis. Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul
dengan orang-orang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah
seorang raja kecil yang barangkali butahuruf pula? God, God! Menghadap seorang bupati sama dengan
bersiap menampung penghinaan tanpa boleh membela diri. Tak pernah aku memaksa orang lain berbuat
semacam itu terhadapku. Mengapa harus aku lakukan untuk orang lain? Sambar geledek![100]
Tulisan di bawah ini, Pram menggambarkan bagai mana seorang petani yang berjuang
mempertahankan tanahnya dari rampasan Belanda. Petani tersebut harus berjuang sendiri, karena orangorang di sekitarnya takut pada Belanda. Yang lebih ironis lagi banyak juga yang justru membela Belanda,
karena mereka mendapat uang ketika membela kepentingan Belanda.
Berteriak apa orang-orang itu?
yang tinggal di situ, Ndoro.
Di rumah genteng itu?
Betul, Ndoro.
Mengapa diteriaki?

Dia tak juga mau pindah dari tempatnya.


Mengapa harus pindah?
Mereka katanya bengis dan benci, anjing-anjing pabrik. Ini tanahku sendiri. Peduli apa hendak kuapakan, ia
seka keringat dari pundak[101].
Cerita di bawah ini ketika Minke berbincang-bincang dengan seorang petani, petani tersebut
menggunakan bahasa jawa kasar pada Minke. Sebagai seorang anak Bupati Minke merasa tersinggung, di
sini Pram memperlihatkan antara kelas proletar dan kelas borjuis. Meski pada akhirnya Minke ditegur oleh
seorang Nyai yang bernama Ontosoroh, ibu mertuanya sendiri. Nyai Ontosoroh tersebut sangat membenci
dengan sIstem feodal, serta menjunjung tinggi cita-cita revolusi Perancis.
Perasaan tidak enak masih juga menongkrong dalam hatiku, karena petani yang seorang ini kembali
bicara ngoko. Benar-benar dia petani yang sudah keluar dari golongannya. Dan apa pula gunanya aku hadapi
baik-baik? Tapi kau sudah bertekad hendak mengenal bangsamu! Kau harus dapat mengenal kesulitannya.
Dia salah seorang bangsamu yang tidak kau kenal, bangsamu yang hendak kau tulis kalau kau sudah mulai
belajar mengenalnya!.[102]
Dan kau tidak beda dengan orang-orang lain. Kau tidak lebih tinggi, tidak lebih mulia dari Trunodongso . itu
kalau kau benar-benar mengerti Revolusi Prancis. Bagaimana kau sekarang Minke?[103]
Semangat Minke sebagai seorang jurnalis dikritik oleh sahabatnya sendiri, Jean Maramis, dia adalah
seorang perancis yang menetap di Indonesia dan menjadi pelukis. Karena Minke tidak pernah menulis
dengan menggunakan bahasa Melayu tapi lebih sering menggunakan bahasa Belanda.
Juga kau hendak membelanya terhadap penindasan dengan bahasa oleh kau sendiri? Ha, kau tak mau
menjawab. Kalau begitu memang tepat kau harus menulis Melayu, Minke, bahasa itu tidak mengandung watak
penindasan, tepat dengan kehendak revolusi Prancis.[104]
Minke ketika berdialog dengan orang Belanda yang bernama Tollenaar yang sangat menyanjung Eropa
dan juga Amerika Serikat. Hal tersebut dibantah oleh Minke.
Aku lebih percaya pada Revolusi Perancis, Tuan Tollenaar. Kebebasan, persaudaraan dan persamaan, bukan
hanya untuk diri sendiri seperti sekarang terjadi diseluruh daratan Eropa dan Amerika Serikat, tapi untuk setiap
orang, setiap dan semua bangsa manusia di atas bumi ini. Sikap begini dinamai sikap liberal sejati, Tuan.[105]
Di sini Minke diberi penjelasan tentang semboyan revolusi Perancis yang sering kali disalah artikan
oleh orang-orang, sehingga mereka bersikap semaunya sendiri. ketika itu Minke berdialektika dengan
seorang pelarian dari Cina yang bernama Yi Me. Yi Me adalah pemberontak pada akhir abad XIX melawan
monarki Tiongkok yang dikuasai oleh Kaisar Ye Si.

jangan salah artikan kebebasan dalam semboyan Revolusi Prancis orang Prancis sendiri juga banyak
menyalah artikan, jadi bebas merampok dan bebas tak berkewajiban pada siapa pun, walhasil jadi sewenangmewang tanpa batas. Kebesaran hanya untuk diri sendiri di negeri sendiri! Semua terpelajar pribumi Asia dalam
kebebasannya mempunyai kewajiban-kewajiban tak terbatas buat kebangkitan bangsanya masing-masing. Kalau
tidak, Eropa akan merajalela.[106]
Minke ketika berbincang-bincang dengan Trunodongso seorang petani yang dirampas tanahnya oleh
feodal yaitu Belanda dan juga para suruhannya. Termasuk di sini adalah aparat pemerintah, tanah tersebut
adalah warisan dari orang tuanya. Trunodongso berusaha mempertahankan miliknya dari Belanda yang
mewajibkan tanahnya di tanami tebu.
Tentu saja ini tanahmu sendiri, kataku memberanikan dia dan diriku sendiri.
Lima bahu, warisan orang tua.
Kau benar, kataku, ada kubaca di kantor tanah.
Nah, ada tertulis dikantor tanah, ia bicara pada dirinya sendiri. Ketegangannya mulai surut. Lambat-laun aku lihat
ia mulai kembali jadi petani jawa yang rendah hati.
Ya, Ndoro, sebenarnya sahaya sudah cukup bersabar. Warisan sayaha lima bahu (7096,5 m2), tiga sawah dan dua
ladang dan pekarangan rumah ini. Tiga bahu, sudah dipakai pabrik. Tidak sahaya sewakan secara baik-baik, tapi
dipaksa secara kasar; priyayi pabrik, lurah, sinder, entah siapa lagi. Dikontrak delapan belas bulan. Delapan belas
bulan! Nyatanya dua tahun. Mesti menunggu sampai bonggol-bonggol tebu habis didongkeli. Kecuali kalau mau
cap jempol mengontrakkan lagi untuk musim tebu mendatang, Apa arti uang kontrak? Hitung punya hitung
sewanya selalu tak pernah penuh. Anjing-anjing itu, Ndoro.sekarang ladang mau dikontrak. Pepohonan akan
dirobohkan untuk tebu!
Berapa sewa untuk satu bahu? tanyaku sambil mengeluarkan alat tulis-menulis dari dalam tas, mengetahui,
semua petani Jawa menaruh hormat pada barangsiapa melakukan pekerjaan tulis menulis. Akupun siap-siap
mencatat.
Sebelas picis, Ndoro jawabnya lancar. Mengherankan.
Sebelas picis, buat setiap bahu selama delapan belas bulan? aku terpekik.
Betul, Ndoro.
Tiga talen
Kemana yang tiga puluh lima sen?
Mana sahaya tahu, Ndoro. Cap jempol saja, kata mereka tidak lebih dari tiga talen sebahu. Delapan belas bulan,
katanya. Nyatanya dua tahun sampai tunggul-tunggul tebu habis di dongkeli.[107]
Dialog di bawah ini dilakukan Minke ketika berbincang-bincang dengan salah seorang mandor pabrik
tebu. Tentang fenomena masyarakat yang lebih senang menjadi buruh, dari pada menjadi petani.

Tahu Tuan upah kuli tebu yang baik dalam sehari? Tiga talen sehari. Kalau orang kerja jadi kuli, dua hari saja, yang
diperolehnya sudah melebihi sewa tanahnya sendiri sebanyak satu bahu. Siapa bilang orang lebih suka menggarap
sawah sendiri daripada jadi kuli tebu? Berapa harga kerja cangkul dalam sehari? Tiga benggol, tidak lebih.[108]
Ekspansi Belanda pada Indonesia yang mengakibatkan jutaan rakyat Indonesia menjadi meninggal
karena melawan Belanda, miskin dan perampasan terjadi dimana-mana. Pram memotretnya sebagai awal
penindasan yang melahirkan kelas proletar dan borjuis.
Pribumi bertombak dan berpanah akan mati bergelimangan lagi atas perintahnya, entah dimana akan
terjadi. Demi keutuhan wilayah, kata-kata lain dari: demi keamanan modal besar Hindia. Darah, jiwa,
perbudakan, penganiayaan perampasan, penghinaan akan terjadi lagi di bawah tudingan tangannya.[109]
Kekejaman Belanda tidak pernah berhenti mesti rakyat sudah sangat menderita, manusia sudah tidak
ada lagi harganya. Perampasan bukan hanya pada ekonomi semata tetapi juga istri dan anak gadisnya.
Perlakuan sewenang-wenang dalam perusahaan-perusahaan kereta api, perkebunan, kantor-kantor
Gubermen, perampasan anak gadis dan istri oleh pembesar-pembesar setempat dengan menggunakan
kekuasaan yang ada pada mereka, mengisi permohonan-permohonan pertolongan.[110]
Cerita yang di bawah ini adalah awal berdirinya organisasi pribumi pertama yaitu Boedi Oetomo, yang
akan menjadi cikal bakal organisasi lain di Indonesia.
Utusan Raden Tomo telah datang kebandung untuk menagih janji. Ia dan teman-temannya sesekolah telah berhasil
membentuk sebuah organisasi sebagaimana pernah di anjurkan oleh dokter Jawa pensiunan dulu. Juga olehku
sendiri. Nama organisasi: Boedi Oetomo[111].
Boedi Oetomo sebuah organisasi pribumi pertama, yang bergerak pada bidang pendidikan untuk
semua masyarakat. Karena pada penjajahan Belanda pendidikan hanya boleh dinikmati oleh orang Belanda,
Indo, dan juga dari kaum priyayi. Rakyat jelata tidak bisa sekolah, B. O melihat hal tersebut sebagai
penindasan yang harus dihapuskan. Pendidikan penting untuk menciptakan masyarakat yang kritis hingga
mampu merubah nasibnya.
Dan bahwa ada gerak dari minus ke plus pada umat manusia, dan itu dinamai gerak juang? Lupa kau, Koen? Atau
B.O yang lupa? Kan B.O. tidak bermaksud mempertahankan yang ada, agar yang miskin tetap miskin, yang bodoh
tetap bebal, dan yang sakit tinggallah menggeletak menungggu sakratulmaut?[112]
Tidak ada tingkatan dalam bahasa Melayu, dan bahasa tersebut sesuai untuk digunakan dalam sebuah
organisasi, karena dalam sebuah organisasi tidak ada yang lebih senior atau yunior semua punya kedudukan
yang sama. Minke tengah berdialog dengan adiknya yang juga seorang organisatoris.
Dalam rapat-rapat cabang yang tahu bahasa Jawa tentu tak diharuskan berbahasa melayu. Tetapi kalau
tingkatnya sudah Kongres atau tingkat Pusat, atau berhubungan denga pusat, tak bisa tidak harus
dipergunakan Melayu. Mengapa Jawa harus dikalahkan oleh Melayu? Diambil praktisnya, Mas. Sekarang,

yang tidak praktis akan tersingkir. Bahasa Jawa tidak praktis. Tingkat-tingkat di dalamnya adalah bahasa
presentasi untuk menyatakan kedudukan diri, melayu lebih sederhana. Organisasi tidak membutuhkan
pernyataan kedudukan diri. Semua anggota sama, tak ada yang lebih tinggi atau lebih renadah. [113]
S.D.I adalah Serikat Dagang Indonesia. organisasi tersebut bergerak pada bidang ekonomi, yang
didirikan oleh para pembatik dari Solo dan Yogya. S.D. I tersebut kelak yang akan melahirkan organisaiorganisasi lainnya seperti PKI, Serikat Islam (SI).
Di kota-kota sepanjang pesisir utara Jawa Barat telah berdiri cabang-cabang dengan anggota rat-rata empat puluh
sampai seratus orang. Di kota-kota pegunungan memang lebih sendat. Di Tasikmalaya, Garut dan Sukabumi
nampak adanya kegiatan mengagumkan. Garut mencactat sejarah: disini pernah di adakan rapat umu propaganda
S.D.I. rapat umum pertama.[114]
S.D.I membuat komitmen dengan para anggotanya tentang garis kebijakan organisasi. Sebagai
organisasi pribumi pertama yang berkonsentrasi masalah ekonomi, dan harus melawan kebijakan ekonomi
Belanda maupun Cina dan juga Arab yang sudah lebih dulu menguasai ekonomi masyarakat Indonesia.
Sehingga dibutuhkan kebijakan yang sangat tegas dalam S.D .I. agar tidak keluar dari garis organisasi.
Organisasi ini lahir di tanah Hindia sebagai organisasi Pribumi, bukan organisasi segala bangsa yang bermaksud
untuk mrerugikan Pribumi. Tidak ada hak pada siapa pun, bangsa apa pun anggota atau bukan anggota S.D.I. untuk
merugikan Pribumi, baik pedagangnya atau petaninya, ataupun tukang-tukangnya. Kalau ada cabang yang punya
cara dan jalan sendiri yang sengaja dan diketahui melakukan tindakan merugikan terhadap pribumi, itu bukan
cabang S.D.I. seluruh Hindia dapat melakukan tindakan serentak terhadap cabang durjana demikian. Aku yakin,
saudara-saudara, dewan pimpinan pusat tidak akan ragu-ragu mengeluarkan titahnya.[115]
Minke menyadari pentingnya sebuah pendidikan untuk rakyat Indonesia, karena dengan menguasai
ilmu pengetahuan, rakyat Indonesia bisa maju. Ilmu pengetahuan yang tidak terlalu menyanjung Eropa,
karena ternyata bukan Eropa saja yang menjadi pusat ilmu pengetahuan, Negara Arab yang selama ini tidak
ada dalam benak Minke ternyata juga mengusai banyak ilmu pengetahuan. Minke sebelumnya sangat
mengagumi ilmu pengetahuan Eropa.
Orang Arab, yang sama sekali tidak pernah mendapat pendidikan Eropa ini, ternyata mempunyai
pengetahuan praktis yang sangat patut untuk kuindahkan dan kupelajari. Putra-putranya ia kirim ke
Universitas Turki, menguasai banyak bahasa modern.[116]
Minke ketika memikirkan ucapan guru agamanya yang bernama Syeh Ahmad Badjened, dan Minke
membenarkannya. Bahwa dalam berdagang membuat orang jadi lebih demokratis dan berpengetahuan luas,
karena pedagang lebih banyak bertemu orang dan singgah di berbagai tempat yang berlainan adat
istiadatnya.
Pedagang orang paling giat di antara umat manusia ini, Tuan. Dia orang paling pintar. Orang menamainya juga
saudagar, orang dengan seribu akal. Hanya orang bodoh bercita-cita jadi pegawai, kerjanya hanya disuruh-suruh

seperti budak. Bukan kebetulan Nabi s.a.w pada mulanya juga pedagang. Pedagang mempunyai pengetahuan luas
tentang ikhwal dan kebutuhan hidup, usaha dan hubungannya. Perdagangan membikin orang terbebas dari
pangkat-pangkat, tak membeda-bedakan sesama manusia, apakah dia pembesar atau bawahan, bahkan budak
pun. Pedagang berpikir cepat. Mereka menghidupkan yang beku dan menggiatkan yang lumpuh.[117]
Minke menolak ketika S.D.I akan diganti Indisch bukannya Islam, sebab menurut Minke Islam lebih
mudah diterima oleh masyarakat luas dari pada Indisch. Karena istilah Indisch sendiri adalah untuk indo
eropa.
Islam dan dagang mempunyai landasan lebih luas dan lebih mengikat dari pada indisch. Pikiran-pikiran Tuan
bukan tidak kupertimbangkan. Landasannya tidak ada, kurang jelas. Setidaknya-tidaknya belum aku lihat, hanya
berupa cita-cita, bukan kenyataan. Memang cita-cita bisa menjadi kenyataan di kemudian hari, tetapi landasannya
tetap kenyataan sosial masakini.[118]
Minke memandang bahwa hanya Islam yang mampu membangkitkan rasa perlawanan terhadap
sistem penjajahan yang terjadi pada masyarakat Indonesia, Islam bukan hanya semata mempermasalahkan
hubungan manusia dan Tuhan semata. Tapi di dalamnya juga terdapat konsep ekonomi, politik dan banyak
hal.
Islam, kataku selanjutnya, yang secara tradisional melawan penjajah sejak semula Eropa datang ke Hindia, dan
akan terus melawan selama penjajah berkuasa. Bentuknya yang paling lunak: menolak kerjasama, jadi pedagang.
Tradisi itu patut di hidupkan dipimpin, tidak boleh mengamuk tanpa tujuan. Tradisi sehebat dan seperkasa itu
adalah modal yang bisa menciptakan segala kebajikan untuk segala bangsa Hindia[119].
Rapat S.D.I pertama pada saat itu Minke, sang tokoh protagonis menjadi ketua. Minke berpendapat
bahwa Islam harus membela yang lemah. Seperti petani, karena dalam banyak kasus petanilah yang paling
menderita dalam kebijakan ekonomi Belanda, dan kebanyakan di antara mereka bodoh serta buta huruf.
Tetapi para petani itu adalah saudara-saudara kita sendiri, sebangsa kita sendiri, yang hendak diperas tanah dan
duitnya secara gegabah oleh perusahaan-perushaan raksas Eropa, Arab dan Cina. Kalau Tuan-tuan membiarkan ini
terjadi, Tuan-tuan membenarkan pemerasan itu, Tuan-tuan membenarkan kejahatan, apa itu di benarkan dalam
Islam? Kan kita akan malu sebagai Muslim membiarkan yang demikian terjadi?
akhirnya Islam harus menentang keputusan sindikat dan berpihak pada petani.[120]
Douwager adalah salah satu gubermen Belanda, dia merasa sudah benar dengan kedatangan Belanda
dan sistem ekonomi yang ada. Minke membatah hal tersebut, karena kebijakan Belanda sangat merugikan
masyarakat, meski ketika Belanda datang mengatas namakan berdagang.
Eropa datang berdagang kemari, Tuan, tapi menjauhkan dirinya dari Pribumi. Malah memperdagangkannya.
Eropa datang bukan untuk berdagang dengan kita. Mereka datang dengan meriam dan bedil.
Apa pun alat yang dibawanya, mereka berdagang.

Kalau sekarang ini aku todong Tuan dengan senapan, aku rampas semua pakaian Tuan, sehingga tinggal selembar
setangan untuk menutup kemaluan, kemudian aku tinggalkan pada Tuan satu setengah sen, pastilah itu bukan
berdagang. Dan itulah wajah Eropa colonial, sesungguhnya.
Tuan lupa, meriam dan Bedil juga alat berdagang pada jamannya, bantah Douwager. Masih berlaku di banyak
tempat sampai sekarang, kalau bangsa sudah ditaklukkan seperti di Hindia ini, bangsa taklukan dibikin jadi
penghasil barang dagangan. Malah diperdagangkan.
Sama saja, Tuan. Perdagangan terjadi hanya karena suka antara kedua belah pihak yang berkepentingan. Selama
tak ada syarat itu, dan pertukaran terjadi, itu bukan perdagangan, itu kejahatan[121].
S.D.I mulai berganti nama menjadi S.I ( Sarikat Islam), kalau S.D.I hanya membahas masalah ekonomi
semata, S.I tidak demikian, SI juga membahas politik, budaya, dan juga ekonomi.
Dokumen keempat adalah sebuah laporan panjang dari Sala, memakan tidak kurang dari empat puluh
halaman, di tulis oleh tangan yang mahir, kecil-kecil dan rampak, tapi dalam bahasa Melayu yang sangat
buruk. Laporan itu mencatat tentang terjadinya kegiatan S.D.I. di Sala, yang menarik perhatian pemerintah
putih dan Pribumi: haji Samadi dengan pimpinan S.D.I. cabang Sala telah mengeluarkan pernyataan, bahwa
telah didirikan perkumpulan bernama Syarikat Islam dengan dia sendiri sebagai pimpinannya. Tetapi, semua
pimpin di dalamnya adalah juga pimpinan S.D.I.[122]
S.D.I diseluruh daerah juag mengganti nama menjadi S.I, sesuai dengan keputusan organisasi.
Cabang-cabang S.D.I. segera menyesuaikan diri dengan menamakan diri Syarikat Islam dalam suatu
koperensi darurat di Sala. Arus anggota baru tak dapat kubendung. Aku mengerti, bahwa saat untuk
berorganisasi telah tiba dalam daftar kebutuhan pribumi di Jawa. Tugasku menghadang ini. Tidak hanya aku
saja. Aku kira semua ahli dan penguasa colonial terheran-heran mengikuti perkembangan Syarikat setelah
terjadinya penyerahan pimpinan dari Minke ke tangan Hadji Samadi.[123]
Belanda untuk mempertahankan kekuasaanya salah satu strateginya adalah memberi kesadaran
mistis kepada rakyat Indonesia. Kesadaran kritis sama sekali tidak diperbolehkan oleh Belanda, karena hal
tersebut bisa membahayakan keberadaanya di Indonesia.
Sudah tepatkah pandangan Eropa colonial ini? Bukan saja tidak tepat, juga tidak benar. Tetapi Eropa colonial
tidak berhenti sampai di situ. Setelah Pribumi jatuh dalam kehinaan dan tak mampu lagi membela dirinya
sendiri, dilemparkannya hinaan yang sebodoh-bodohnya. Mereka mengetawakan penguasa-penguasa
Pribumi di Jawa yang menggunakan tahyul untuk menguasai rakyatnya sendiri, dan dengan demikian tak
mengeluarkan biaya untuk menyewa tenaga-tenaga kepolisian untuk mempertahankan kepentingannya.
Nyai Roro Kidul adalah kreasi Jawa yang gemilang untuk mempertahankan kepentingan raja-raja Pribumi
Jawa. Tapi juga Eropa mempertahankan tahyul: tahyul tentang hebatnya ilmu pengetahuan agar orangorang jajahan tak melihat wajah Eropa, wujud Eropa, yang menggunakannya. Baik penguasa Eropa colonial
maupun Pribumi sama korupnya[124].

S.I mulai terpecah karena terlalu banyaknya anggota, sehingga kontrol terhadap para anggotanya
sangat sulit. Indische Partij, adalah aliran sosialisme yang dibawa masuk oleh orang Belanda yang di usir dari
negaranya, kemudian mereka tinggal di Indonesia.
Syarikat aku anggap sebagai gelembung akibat samudra kehidupan yang telah teraduk unsur-unsur modern,
dan pada suatu kali gelembungan ini akan meletus berpecahan tanpa meninggalkan bekas. Indische Partij
lain lagi. Ia justru mempersatukan unsur-unsur manusia modern di Hindia, peranakan Eropa dan terpelajar
Pribumi sekaligus. Dalam jumlah anggota ia tidak berarti dibandingkan dengan Syarikat. Dalam kesadaran
berpolitik dia lebih unggul.dalam kesadaran berpolitik dia lebih unggul. Dalam kesadaran berpolitik Mas
Tjokro masih harus banyak belajar dari mereka. Tapi bagaimana pun dua organisasi itu menyala di angkasa
hitam seperti dua bintang, terpisah jutaan mil satu dari yang lain, tak pernah ada usaha pendekatan,
jangankan persinggungan. Yang satu gemuk dengan kebanyakan anggota dan tak bisa berbuat apa-apa. Yang
lain dengan hanya anggota ratusan orang dan bakal kurus-kering dirongrong oleh keinginan-keinginan tanpa
batas[125].
Tulisan ini tidak untuk mengucilkan kaum Nasrani, penggambaran Nasrani di sini bukan agamanya.
Hanya simbol Nasrani lahir di Eropa, maka Eropa yang dimaksud oleh Pram. Eropa di sini adalah Belanda,
dan juga sekutunya.
Aku tahu, bahwa aku harus mengelakkan percakapan yang menyudutkan ini. Benar sekali, bahwa pada
jamannya agama juga politik. Bangsa-bangsa Hindia yang Nasarani memang tidak mencari pertengkaran
dengang gubermen yang Nasrani pula, tetapi tulisan-tulisan Raden Mas Minke menunjukkan contoh-contoh,
bahwa juga orang-orang tertentu bisa mencari pertengkaran dengan bangsanya sendiri, seperti Khouw Ah
Soe dan Ang San Mei. Benar mereka Protestan dan Katholik, tapi mereka bukan karena agama ikut berusaha
menggulingkan dinasti Ching. Mereka digerakkan oleh sesuatu yang lain, yang bernama Nasionalisme.
Mas Marco Kartodikromo, dia adalah pencipta Sama Rata Sama Rasa. Dengan slogan tersebut banyak
masyarakat yang berani melawan Belanda, di dukung juga oleh tulisan-tulisannya yang selalu membakar
semangat nasionalisme.
Marco, Ia mencoba mengerti dan mengikuti arus jaman yang semakin santar mendatangi. Ia selau bercelana
pantolan putih dan berbaju putih. Sisirannya selalu rapi sibak tengah, matanya dibukanya lebar-lebar selalu,
seakan-akan tak hendak kehilangan sesuatu atas segala yang terjadi di sekelilingnya dan di dunia besar di
luar negerinya[126].
Tulisan di bawah ini memotret saat terjadinya perpecahan di dalam S.I, perpecahan tersebut
melahirkan banyak organisasi di antaranya PKI.
Mempertentangan dua golongan dari pandangan dan sikap yang berlain-lainan memang terlalu gampang.
Tetapi akibatnya akan berlarut. Syarikat akan menghadapi mereka sebagai orang Eropa pada umunya, dan
kebencian pukul rata pada Belanda akan menjadi hasilnya. Sedang sayap Marco, yang selama ini tidak
mendapat medan untuk berpiawai akan menggunakan kesempatan ini. Bila ia memisahkan diri dari pimpinan
Mas Tjokro, dengan sayapnya ia akan menjadi sangat berbahaya. Perkembangan secepat itu belum lagi
diharapakan.[127]

Pram tidak lupa juga menulis tentang pemberontakan para karyawan pegadaian, mereka adalah para
anggota PKI. mereka menuntut kenaikan upah dengan cara memboikot tidak masuk kerja, dan cara-cara
tersebut juga diikuti oleh anggota PKI yang lain.
Di Jawa Timur dan Tengah orang memekik-mekik menuntut kenaikan upah sambil membelot-kerja alias
staking. Pegawai-pegawai pegadaian di beberapa tempat menolak memasuki tempat kerjanya dan kumpulkumpul di pelataran, berbaur dengan orang-orang yang hendak menggadaikan. Buruh beberapa perkebunan
kemudian mengikuti.
Bahasa melayu juga menjadi alat untuk melawan system feodal Belanda, sebab bahasa tersebut lebih
demokratis dari pada bahasa Belanda maupun Jawa.
Perhitungan tidak meleset. Hanya dengan bahasa Melayu bukan Gubermen, dan di antara orang-orang bebas,
tidak dengan orang-orang dengan jabatan negeri, organisasi umum di hindia akan bisa menjadi besar dan subur.
Beberapa kali aku harus bekerja keras meyakinkan Samadi, yang lebih menghendaki bahasa Jawa. Bahasa melayu,
semakin jauh dari pengajaran Gubermen, semakin jauh dari orang-orang feodal, semakin demokratis dan menjadi
alat perhubungan yang nyaman, memang bahasa bebas untuk orang bebas. Dan hanya golongan bebas yang akan
menentukan nasib bangsa-bangsa Hindia, karena salah satu syarat untuk persatuan bagi bangsa-bangsa ganda ini
adalah dekat mendekati atas dasar demokrasi[128].
Perkembangan kesadaran mulai terlihat di sini, bahwa media jurnalistik adalah alat yang paling ampuh
untuk melawan system yang menindas. Karena jurnalistik mampu membangun opini masyarakat, tanpa
harus pergi ke daerah-daerah tersebut.
Dari semua kegiatan Pribumi itu, ternyata yang dianggap mahkota kegiatan adalah jurnalistik. Dan barang
tentu bukan jurnalistik sebagaimana dikenal oleh Eropa, tapi menulis di Koran atau majalah dengan nama
terpampang, baik nama benar, nama pena atau inisial. Gejala baru ini langsung berasal dari Raden Mas
Minke, ia pernah mengatakan pada salah seorang temannya: orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama
ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Ucapan lain dari si Gadis Jepara:
menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dan jurnalistik gaya Hindia merupakan perpaduan alamiah dari
gerakan Pribumi untuk kepemimpinan dan keabadian.[129]
Berikut adalah tulisam Mas Marco Kartodikromo, dengan slogan Sama Rata Sama Rasa yang begitu
kuat tuntutan keadilan :
Dari tulisannya (Mas Marco Kartodikromo) dapat diketahuai apa sesungguhnya yang selama ini hidup dalam
sanubarinya.
Pada suatu hari dia tak mampu bekerja. Bininyapun tidak, karena telah jatuh sakit terlebih dahulu. Tinggal anaknya
yang berumur sembilan tahun yang masih sehat. Tak urung punggawa desa memaksa anak umur sembilan tahun
itu berangkat juga mewakili bapak dan emaknya.
Anak ini menangis sepanjang jalan setapak yang empat kilo meter jauhnya itu. Bukan hanya karena lapar, kakinya
disarangi bubul, dan patek meruyak sepenuh badan. Dalam iring-iringan yang berjalan lambat-lambat itu terdapat

perempuan kurus yang sedang bunting tua, kakek-kakek yang bertongkat dan terbatuk-batuk, seorang lelaki yang
menggendong anak susuan karena emaknya baru saja mati kelaparan.
Iring-iringang calon mayat pada beberapa bulan mendatang semua menuju keselatan. Kekebun nila Gubermen.
Kerja paksa. Tanam paksa! Tanpa upah. Cultuurstelsel
Nama desa itu adalah Cepu. Bukan Cepu yang sekarang. Desa itu miskin. Tetapi bekas desa ini sekarang telah jadi
distrik yang terkaya di Hindia. Disini aku dilahirkan. Disini pula aku dengarkan cerita orang-orang tua yang dahulu
setiap hari dalam sekian bulan berangkat kekebun nila Gubermen, tanpa upah, tanpa jaminan, tidak sempat
menggarap sawah dan ladang sendiri. Dan setiap hari ada saja diantara mereka berjatuhan mati karena sakit dan
lapar.
Desaku seperti desa-desa lain. Semestinya orang hidup bertani, mencari kayu dihutan, berternak kambing, sapi,
ayam dan dirinya sendiri, dan hidup dalam keluarga besar. Tetapi cultuurstelsel telah mencerai beraikan keluarga
besar itu dan merampas nasi dan jiwa mereka.
Pendeknya jangan bayangkan Cepu desaku sebagai Cepu distrik yang sekarang ini. Cepu desaku dilindungi oleh
begitu banyak pohon buah, Cepu distrik dilindungi oleh tiang-tiang listrik dan telfon.
Sianak berumur sembilan tahu itu sudah bekerja selama sepuluh hari ketika Ia ditemui dirumahnya yang kosong
dimalam hari. Daun-daunan yang ia kumpulkan dari perjalanan pulang Ia letakkan diatas lantai tanah . tungku
dingin. Tak ada makanan, tak ada orang. Ia berseru-berseru memanggil-manggil bapak dan emaknya yang sakit
tanpa jawaban. Ia pergi kerumah tetangga-tetangga. Melulu orang-orang sakit saja yang ada. Yang seperempat dan
setengah sakitpun pada pergi.
Menjelang subuh bapaknya pulang bergandengan tangan dengan orang-orang lain yang sama kehabisan tenaga,
tunjang menunjang agar tak roboh dan tak tersasar dalam kegelapan. Mereka baru pulang dari menguburkan
emaknya.
Sebulan kemudian lebih banyak lagi orang dikuburkan semacam itu, termasuk bapaknya sendiri.
Sibocah itu terus juga melakukan kerja paksa makannya rumput muda, karena itulah yang termudah didaptnya
sewaktu kerja. Lagi pula daun dan buah muda petai cina itu, biarpun agak berasa, membikin semua rambutnya
rontok, dan dalam keadaan kurus kering tanpa rambut, orang akan kelihatan seperti setan.
Pada suatu kali orang mendengar kabar, Gubermen telah menghapuskan kebun nila, menghapuskan kerja tanam
paksa. Tetapi desa itu terus juga melakukan tanam paksa sampai dua tahun lagi. Dikemudian hari dapat aku
ketahui, tanam paksa setelah Gubermen menghapuskannya adalah untuk kepentingan pembesar-pembesar
setempat, Eropa dan pribumi.
Aku tak tahu bagaimana jalannya maka tanam paksa akal-akalan setempat itu akhirnya dihentikan. Mungkin juga
karena pembagian hasil yang tidak seimbang. Pendeknya aku tahu. Itu urusan dewa-dewa yang berkuasa. Maka
orang kembali mengerjakan sawah dan ladang yang telah kembali jadi hutan dan semak-semak. Penduduk telah
berkurang lima puluh persen. Maka pembukaan hutan kembali dan semak itu tidak begitu sempurna. Dan
pemerintah desa tidak menjadi lebih baik dengan penghapusan pertanian Negara alias Cultuurstelsel tu.
Kemudian menyusul berita-berita, kebun-kebun Gubermen akan dijadikan kebun swasta. Dan kebun-kebun itu
akan jadi milik orang-orang Eropa. Orang-orang desa boleh bekerja di sana kalau mau, dengan mendapat upah
cukup-cukup untuk makan sekeluarga.

Sementara itu si bocah itu telah berumur sebelas tahun, sudah lebih kuat dari tiga tahun sebelumnya. Berita-berita
itu tak pernah menjadi kenyataan. Yang benar: tanha-tanah perorangan dan desa malah dirampas oleh Gubermen,
termasuk lima-perenam dari milik desa. Juga katanya untuk perkebunan sawsta. Melihat perampasan itu, petanipetani yang baru saja bangun dari kematian dan kelaparan, bangkit marah. Di pimpin oleh pak Samin, seorang desa
lain, sebuah pemberontakan tani terjadi.
Si bocah berumur tiga belas tahun itu menggambungkan diri dengan para pemberontak. Tapi petani-petani itu
dikalahkan dan dikalahkan dengan mudah, oleh polisi lapangan, yang didatangkan dari kota. Mereka tak pernah
berhadapan dengan kompeni, karena kabarnya semua mereka ditarik ke Aceh.
Penduduk lelaki yang terlepas dari penangkapan kembali kedesa semula. Jumlahnya lebih sedikit lagi, mati dalam
banyak pertempuran.
Si bocah berumur lima belas.
Rasa-rasa ketenangan dan kedamaian akan berlangsung terus dan tanah-tanah akan dikembalikan. Ternyata tidak.
Tanah-tanah yang dirampas mulai dihutankan dengan jati. Katanya, tak ada perusahaan Eropa mau mengerjakan
tanah rampasan, yang dianggap terlalu banyak mengandung kapur dan tidak subur itu.
Ternyata bintang kecelakaan tetap bersinar. Kemudian penduduk diusir dari desa, karena perusahaan minyak akan
mendirikan kantor-kantor dan kilang-kilang di situ. Penduduk pindah dengan ternaknya, kembali membabat hutan
untuk ladang, sawah dan perumahan. Orang bilang, tanah yang dirampas itu akan diganti dengan uang, tapi tak
seorang pun pernah melihat uang yang dijanjikan tanpa jumlah disebutkan itu. Bahkan setiap pohon di atas tanah
rampasan, katanya, telah dibayar penuh. Hanya berita belaka.
Desaku yang sejuk di bawah rerimbunan pohon-pohon buah seperti disulap berubah jadi tanah lapang. Podokpondok hilang. Jalan-jalan yang indah dibangun, demikian juga gedung-gedung. Semua serba indah, hanya bukan
milik penduduk desa.
Si bocah tinggal di desanya yang baru. Disana ia kawin dengan sisa dari perawan-perawan yang tidak direnggut
oleh maut. Dan di antara anak-anak adalah aku.
Dikemudian hari, jauh di kemudian hari, dapat kuketahui, bahwa dalam hanya lima tahun, perusahaan minyak
yang bermodal lima ribu gulden itu telah menjadi perusahaan raksasa dengan kekayaan setengah juta gulden.
Penduduk yang terusir dari desanya tak pernah mendengar, apalagi melihat, keuntungan-keuntungan besar itu.
Juga di kemudian hari kuketahui, bahwa jati yang dihasilkan oleh bumi nenek moyangku adalah jati terbaik di
seluruh dunia, terkenal dengan nama dagang Java-teak. Bahkan kwalitas satu tak boleh dipergunakan di Hindia,
hanya khusus untuk ekspor. Dan kami, tak pernah mendapat bagian dari keuntungan itu. Hanya seluruh kerugian
dan kehilangan ditimpakan pada kami.
Betapa anehnya pembagian rezeki dan pembagian nasib bikinan manusia ini. Aku tahu dan berani membuktikan,
bahwa tuan-tuan minyak ini pada mulanya adalah insiyur Geologi Gubermen di Bandung. Dengan tugas Gubermen
mereka melakukan eksplorasi-eksplorasi di daerah hidup aku, orang tuaku, tetangga dan sanak-keluarga, di atas
tanah nenek-moyangku dilahirkan, dan dikuburkan. Penduduk desa selalu menyambut pendatang-pendatang itu
dengan baik dan ramah, tak perduli warna kulit dan apa agamanya. Kayu-bakar, kelapa tua dan muda, buahbuahan kami antarkan ketempat mereka. Setelah sumber ditemukan, mereka balik kembali ke Bandung, dan : minta
keluar dari jabatan Gubermen. Mereka kembali lagi ke Cepu sebagai nyamuk-nyamuk raksasa yang menyedot
darah, daging, tanah kami, dan minyak kami dalam kandungan bumi nenek-moyangku. Dalam sepuluh tahun
perusahaan minyak ini telah jadi perusahaan berjuta, sedang bekas tuan rumahnya telah kehilangan tanah dan

tetap hidup dalam keadaan yang semakin miskin. Bukan itu saja, dari petani bebas berbahagia mereka mulai
berubah jadi kuli-kuli bekas tamunya.
Ketika pengeboran-pengeboran baru sedang giat-giatnya dilakukan di sekitar daerah hidup kami, aku dilahirkan.
Bapakku, si bocah berpatek dan berbubul dulu, kini bukan lagi kuli minyak. Ia jadi lurah. Dan perusahaan minyak
menjadi rakus akan tanah. Mereka takut saingan perusahaan-perusahaan minyak lainnya yang tumbuh seperti
cendawan di sekitar daerah hidup kami. Tanah-tanah yang dirampas mulai dibayar. Pesaing-pesaing itu takut saling
membongkar kejahatannya terhadap penduduk.
Desa kami rasa-rasanya telah kehabisan tanah untuk melepas ternak besar kami. Bila ada salah seekor ternak kami
lepas dan memasuki daerah perusahaan minyak, polisi minyak akan menangkapnya, menyitanya, dan pemiliknya
dicari untuk didenda, seratus kali penghasilan umum dalam sehari, alias ringgit.
Aku hanya hendak menceritakan, dalam pemerintahan Gubermen masih ada pemerintahan minyak, dua-duanya
harus dipatahkan oleh penduduk desa kami.
Sekarang ribuan orang dari daerah-daerah lain, segala bangsa, datang mencari penghidupan di Cepu. Dalam waktu
pendek Cepu, yang tadinya terdiri hanya atas tiga desa berbiak menjadi dua puluh tiga desa, menjadi kota yang
sibuk. Kejahatan dan kemesuman merajalela. Sipilis mulai merambat desa kami, dan meninggalkan orang-orang
cacat dan invalid sebagai beban desa.
Hampir-hampir terjadi pemberontakan lagi di kalangan petani. Mendadak beberapa orang di antara penduduk
desa di tangkapi dan tak kembali lagi untuk selama-lamanya. Mereka ditangkapi oleh polisi-polisi minyak.
Setelah itu rasa-rasanya keadaan takkan gelisah lagi. Seakan-akan kembalilah keamanan yang lama dalam segala
kekerdilannya. Baik Gubermen maupun perusahaan minyak tetap tak berbagi keuntungan dengan penduduk. Dan
pada kami tak ada ternak besar lagi. Peternakan desa pun telah tumpas semasa tanam-paksa.
Kalau aku seorang Ameri Srikat, Tuan-tuan pembaca yang terhormat, tahulah Tuan-tuan apa yang akan aku
perbuat: tarik pistol dan membela apa yang masih dapat dibela. Tapi aku hanya seorang bocah pribumi tanpa
sarana, tanpa pengetahuan tentang dunia. Bahkan di mana sesungguhnya desa tempat kelahiranku di tengahtengah dunia ini, aku tak tahu. Di mana tempat orang-orang yang memiskinkan kami aku tak tahu. Aku hanya
lulusan sekolah desa tiga tahun, dididik untuk jadi kuli minyak, bekerja untuk mereka yang telah merampas tanah
leluhurku. Dididik untuk tetap tidak berpengetahuan, dan mematuhi segala apa saja yang diperintahkan pada kami
oleh tuan-tuan kulit putih.
Ketika bapakku hendak meninggal, ia berpesan dengan sangat:
Mereka telah merampas semua dari kita. Jangan, Nak, jangan kau lebih lama jadi kulinya. Pergi kau ke Bandung.
Mengabdilah pada seorang yang mulia hati. Orang itu bernama Raden Mas Minke. Carilah orang itu. Lakukan
segala yang diperintahkan kepadamu, dan contohlah perbuatannya yang baik[130].
C. Faham Realisme Sosialis dalam Realitas Empirik
Realisme sosialis, meskipun berkecimpung dalam bidang sastra, ataupun kesenian semisal lukis, teater,
ketoprak, dan masih banyak lagi. Tapi realisme sosialis selalu berangkat dari esensi masalah yang dihadapi

masyarakat sekitarnya. Seniman yang mampu merefleksikan ensensi realitas, sehingga seni tidak akan
pernah tercerabut dari permasalahan yang ada pada masyarakatnya.
Seni yang indah menurut Georg Lukacs, seorang tokoh realisme sosialis berasal dari Uni Soviet,
mengungkapkan kebenaran realitas. Kebenaran dalam konsepsi Lukacs adalah jika realitas dipahami dalam
totalitasnya. Pemahaman akan realitas total hanya terjadi jika seniman mampu memahami gerak dialektik
dari realitas. Memahami adalah mengerti dengan melibatkan seluruh kesadaran diri.[131]
Hal ini yang dilakukan oleh Lekra, mereka mengirim para anggotnya ke tempat-tempat penting di
desa-desa kaum tani dan ke kampung-kampung kaum buruh. Salah seorang tokoh PKI Njoto SOBSI atau
lengkapnya atas nama kaum buruh dengan semua serikat buruh anggotanya, setelah melukiskan perjuangan
kaum buruh juga dalam melawan kesulitan hidup agar tiada punah
Alangkah baiknya, jika keteguhan tekad kaum buruh ini dibacakan melalui karya-karya seni sastra, sehingga
kaum buruh dapat lebih satu hati dan satu pikiran dalam perjuangan menghapuskan kepincangan
sosial[132].
Selanjutnya:
Kami menyatakan terimakasih atas ungkapan-ungkapan yang telah dilakukan oleh sastrawan dalam bentuk
sajak-sajak, cerita-cerita pendek, karikatur-karikatur dan sebagainya terhadap semua keunggulan
perjuangan rakyat Indonesia yang heroik dan demokratis. Semua ini menambah keyakinan massa rakyat
kearah kemenangan rakyat, pekerja. Alangkah baiknya, jika melalui karya-karya seni dan sastra dapat
dibeberkan kenyataan-kenyataan sejarah yang objektif tentang kaum buruh yang lahirnya tampak kasar dan
kotor, tapi isi batinnya, gelora hatinya, dan irama hidupnya adalah suci dan mulia, karena dalam otak kaum
buruh tidak pernah terselip cita-cita untuk menggendutkan perutnya sendiri dengan memeras keringat
orang lain. Yang dicita-citakan oleh kaum buruh adalah masyarakat baru yang menjamin semaksimalmaksimalnya kebutuhan-kebutuhan materiil dan kulturil, bagi semua orang yang bekerja[133].
Dari kutipan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa antara seni dan realitas itu sangat berhubungan
erat. Sehingga jika seorang seniman ataupun sastrawan ingin memotret tentang keadaan para buruh dan
juga petani maka mereka diharapkan turun langsung ke lapangan. Agar mereka para seniman tersebut dapat
merasakan apa yang dialami oleh para petani dan juga para buruh. Sehingga para seniman dapat
menggambarkan dengan pasti, dan juga detail setiap peristiwa yang dialami oleh buruh dan petani tersebut.
Sebagai mana pidato Njoto:
Kami mengundang para seniman dan sastrawan yang cinta rakyat, baik yang tergabung ataupun yang tidak
tergabung dalam Lekra untuk menyempatkan diri turun kebawah, bicara dan berunding langsung dengan
kaum buruh dan para aktivisnya[134].

Seniman dalam realis sosialis harus juga turut merasakan, pahit dan getirnya, kalah dan menangnya.
Karena dalam kehendak masyarakat itulah terletak yang adil dan benar, karena masyarakat buruh dan juga
petani adalah masyarakat yang paling merasakan dampak kesenjangan ekonomi. Dalam artian penindasan
yang dilakukan oleh para borjuis, entah itu berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, ataupun
minimnya gaji yang diterima. Sedangkan bagi petani, harga gabah yang terus turun ataupun pengambilan
atas tanah garapan mereka.
Tugas realisme sosialis juga memberikan dorongan pada rakyat yang masih pasif, sugestif untuk lebih
berani memenangkan keadilan merata, untuk maju, untuk melawan dan menentang penindasan dan
penghisapan serta penjajahan nasional maupun internasional, bukan saja berdasarkan ilmu dan
pengetahuan, terutama memberanikan rakyat untuk melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri.
Karena dalam penghisapan kapitalisme, rakyat kurang cukup medapatkan dukungan apalagi
melakukan orientasi bagi sejarahnya sendiri. Pemberanian-pemberanian semacam ini sama halnya dengan
penggalangan moral atau spiritual, karena tanpa kekuatan spiritual tidak ada perjuangan itu bisa kuat.
Salah satu contoh dari militansi realisme sosialis dapat diketengahkan disini sepenggal tulisan Mas
Marco Kartodikromo seorang jurnalis dan yang menciptakan slogan Sama Rata Sama Rasa dalam membela
klas buruh:
Penghisapan yang begini macam kasta buruh haruslah dibantah dengan sekeras-kerasnya
Tidak usah kita ambil contoh busuk, tetapi sekarang saja cukup. Siapakah yang menjalankan mesinmesin? Siapakah yang pergi kesana-kemari untuk mengatur perdagangan dan lain-lain? Siapakah yang
menggalang rumah besar-besar dan gedung-gedung yang indah-indah itu?
Sudah tentu buruh! Si modal tinggal menghisap cerutu saja.
Siapakah yang menjadi soldadu?
Sudah tentu buruh!
Padahal militerisme bukan kecil artinya dalam dunia kemodalan. Jadi dalam ini perkara artinya
buruhlah yang menjalankan praktikuntuk mengatur negeri. Majikan tinggal perintah-perintah saja sambil
menunggu datangnya laba.
Umumlah memang bahwa buruh tak dapat mencapai pengetahuan yang tinggi-tinggi, sebab dalam
jamannya kemodalan, pengetahuan itu dijual dengan harga yang setinggi-tingginya. Karena buruh itu miskin,
tidak heran kalau mereka pada masa ini tinggal bodoh.
Padahal pengetahuan-pengetahuan yang bisa membikin kemajuan manusia itu tidak harus dijual
sebagai barang dagangan, tetapi harus diberikan bagi kesejahteraan negeri. Lagi pula semua pelajaran itu
sekarang terisi dengan racun kemodalan yang bisa menyempitkan angan-angan buruh.

Dan jikalau buruh yang mulai dulu sampai sekarang itu yang menjalankan sekalian yang perlu buat
pergaulan hidup, apakah buruh tak bisa mengatur ketentraman dengan peraturan yang dirembug dengan
teman sejawatnya sendiri?[135]
Sebagai salah satu aliran seni yang berlandaskan pada sosialis, maka tidak heran jika yang menjadi
landasan utama atau tinjauan utama adalah masalah ekonomi. Di dalam Kata Pengantar buku Zur Kritik
der Politischen Okonomie (1859), Karl Marx jelas-jelas mengungkapkan bagaimana Karl Marx melihat
hubungan antara basis ekonomi dan superstruktur atau struktur atas (termasuk sastra):
Cara memproduksi kehidupan yang bersifat materi menentukan proses kehidupan sosial, politik, dan
intelektual. Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, melainkan sebaliknya, keadaan
sosiallah yang menentukan kesadarannya. Pada tahap perkembangan tertentu, kekuatan produksi material
dalam masyarakat berbenturan dengan hubungan produksi yang ada, atau secara resmi, hubungan milik
tempat mereka bekerja. Karena situasi perkembangan kekuatan produksi material dalam masyarakat
berbenturan dengan hubungan produksi yang ada, atau secara resmi, hubungan milik tempat mereka
bekerja. Karena situasi perkembangan kekuatan produksi. Hubungan kepemilikan ini menjadi belenggu bagi
mereka. Kemudian, mulailah periode revolusi social. Dengan perubahan yang terjadi pada basis ekonomi,
semua struktur atas tersebut cepat atau lambat dirombak.[136]
Memang akan sulit untuk menemukan teori estetika Karl Marx (misalnya dalam bidang sastra),
mengingat Karl Marx tidak pernah mengeluarkan rumusan-rumusan baku mengenai hal tersebut. Estetika
Karl Marx sebagian besar merupakan tafsiran-tafsiran atas terori matrealisme histories yang menempatkan
prinsip-prinsip dealiktika materialis menjadi studi kehidupan dan studi perkembangan social.
Karena hal tersebut, maka aliran realisme sosialis lebih banyak berkecimpung dalam seni yang
melawan sistem kapitalis. Dalam artian di sini bagai mana seorang realisme sosialis mampu membawa
penyadaran terhadap penindasan yang terjadi, dan membakar semangat kaum tertindas, seperti buruh dan
petani untuk melawan.
Realisme sosialis memandang, bahwa tugas seorang seniman bukan hanya memberikan penghiburan
semata. Karena itu realisme sosialis sangat tidak setuju dengan istilah seni untuk seni. Sebab menurut
mereka, istilah tersebut adalah ulah para reaksioner yang lari dari tanggung jawab[137]. Seni justru hadir
untuk perjuangan masyarakat yang tertindas di dalam masyarakat kapitalis, bukan malah melarikan diri.
Dalam pandangan seperti itulah realisme sosialis lahir.
Realisme sosialis sebagai mana sosialis juga memandang para borjuis dan kapitalis sebagai musuh
utama. Kapitalisme tidak saja membuat pertentangan kelas yang makin melebar antara pemilik modal dan
buruh, namun juga memalsukan kesadaran manusia, hingga menilai kehidupan melulu dalam ukuran materi.
Tak bisa disangkal bahwa dalam masyarakat kapitalis, seni pun telah direduksi sedemikian rupa, hingga

hanya menjadi komoditas. Seni diperjual belikan, dan keindahan diukur dengan uang. Kritik-kritik seni
dibangun sebatas kepentingan modal[138].
Menurut Lukacs, kapitalisme telah mengubah kesadaran manusia menjadi kesadaran palsu yang
menjauhkan manusia dari eksistensinya yang bebas, dan sebaliknya mendekatkan manusia pada karakter
materi yang hanya mempunyai nilai fungsional. Realisme sosialis datang sebagai upaya manusia untuk bebas
dari keterasingan yang lahir dari kesadaran palsu, dan kemudian menghantarnya menuju suatu pemenuhan
diri sebagai manusia utuh.[139]
Sebagaimana yang telah tercantum di atas, bahwa misi dari realisme sosialis adalah untuk
membangun kesadaran bagi masyarakat yang tertindas, tapi mereka memakai media kesenian. Hal tersebut
diperlukan untuk memudahkan media penyampaian ajaran Marxis, bagi masyarakat petani, buruh dan kelas
proletar lainnya. Inilah tugas berat yang harus selalu diemban oleh para realisme sosialis.
Seperti yang telah dilakukan oleh Mas Marco Kartodikromo, seorang wartawan yang kelak juga
pelopor komitmen sosial dalam sastra sebagai mana di catat oleh Pram. Mas marco Kartodikromo jugalah
yang antara lain mempopulerkan semboyan Sama Rata Sama Rasa dalam sebuah artikel yang dirasakan
Belanda sangat tajam, yang membuatnya dijebloskan kedalam penjara. Yang akhirnya dapat membuat
radikalisasi gerakan semakin memuncak, berhubungan dengan tindakan pemerintah Hindia Belanda yang
semakin represif. Dengan melakukan pengusiran terhadap sejumlah tokoh yang dianggapnya radikal seperti
Mas Marco Kartodikromo, Semoen dan lain sebagainya.
Tujuan realisme sosialis dalam realitas yang ada adalah 1) Untuk apa dan mengapa ia menulis? (2)
Benar tidakkah materi penulisan, dan bagai mana perkembangan dengan materi-materi tersebut sesuai
dengan arah yang dikehendaki untuk menguntungkan sosialisme, untuk memenangkan keadilan sosial bagi
semua dan setiap orang? Karena semua dan setiap orang membutuhkanya.[140]
Realiatas harus mampu dihadirkan oleh karya seni realisme sosialis. Realitas sekarang dialami rakyat,
dan realitas masalah yang pernah terjadi, tidak hanya dibiarkan berlalu begitu saja. Masyarakat harus sadar
bahwa masa sekarang merupakan pusat gerak sejarah di masa depan. Strategi perjuangan pembebasan
rakyat tidak akan berhasil tanpa memahami realitas-realitas tersebut. Di sini ada kesatuan antara kesadaran
seniman realisme sosialis yang membeberkan realitas dalam karya-karyanya, dengan kesadaran masyarakat
yang tengah menggerakkan perjuangan pembebasan.
Dalam hal ini, posisi sastra realisme sosialis selamanya sebagai sastra perlawanan. Jika suatu realitas
sudah tidak lagi memenuhi tuntutan zaman, maka bukan saja harus dirombak dan diubah, tetapi juga harus

diberi realitas-realitas baru sebagai jawaban atas tantangan zaman tersebut. Memang dalam parkteknya,
mengubah dan merombak realitas yang telah ada, kemudian menciptakan realitas baru, tidak selamanya
sesuai dengan direncanakan. Bahkan adakalanya keliru. Akan tetapi, satu hal harus tetap dipegang, yakni
prinsip untuk memenangkan proletar[141].
Realisme sosialis adalah salah satu alat perjuangan sosialis, mereka harus melihat segala permasalah
yang ada dengan sifat kritis dan juga revolusioner. Maka ketika melihat petani yang tertindas ataupun buruh,
ada tanggung jawab yang di pikul para sastrawan atauapun seniman realisme sosialis untuk mengajak
mereka mereka merubah hal tersebut. Karena dalam pandangan realisme sosialis, tidak ada penindasan
yang lahir begitu saja. Semua hal pasti ada sebabnya, untuk itu bagaimana membangun kesadaran bersama
melawan penindasan tersebut. Sehingga terciptalah keadilan yang merata diatas bumi.
Karena dalam pandangan para realisme sosialis termasuk Pram, realitas adalah sebuah objek kajian
yang harus diperjuangkan, seperti ketika ada seorang petani yang terampas tanahnya. Dalam pandangan
Pram, hal tersebut bukanlah suatu kebetulan atau takdir semata, ada yang membuat hal tersebut terjadi.
Sebagai mana pemahaman orang sosialis, bahwa petani yang terampas haknya tersebut karena pemilik
modal yang ingin mengambil tanah petani tersebut. Maka petani tersebut harus memperjuangkan tanah
yang digarapnya, sebab seorang petani jika tidak memiliki tanah maka dia bukanlah lagi seorang petani.
Pemahaman tersebut juga berlaku, untuk buruh atau manusia yang tertindas lainnya. Buruh adalah
orang yang berada paling bawah dalam struktur ekonomi, yang paling atas adalah pemilik modal. Dan
pemilik modal akan berusaha mengambil untung yang sebanyak-banyaknya salah satunya dengan memberi
upah yang rendah pada buruh, maka agar buruh tidak lagi mendapat upah yang rendah dan terjadi
kesenjangan yang begitu jauh. Buruh haruslah berjuang untuk menuntut haknya, sebagai mana yang terjadi
saat ini. Banyak sekali buruh yang demo untuk kenaikan upah.
Sebagaimana yang di lakukan Soekarno dalam Manifestopolitiknya, bahwa ekonomi harus diatur
sebagai usaha bersama atas dasar kekeluargaan. Dalam penjelasan lebih jauh tentang hal tersebut, Soekarno
mengingatkan bahwa kapitalismekapitalisme serakah baik itu orang Indonesia maupun orang asing yang
mendominasi cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan hajat hidup orang banyak harus diatur
oleh negara dan tidak dijalankan oleh pengusaha-pengusaha swasta. Agar menguntungkan investor-investor
asing yang potensial, Soekarno menekankan bahwa modal asing maupun selain Belanda, yang memainkan
peran negative akan mengalami nasib yang sama seperti halnya perusahaan-perusahaan Belanda yang
diambil alih oleh pemerintah[142].

BAB IV
Pandangan Subtansial Pramoedya tentang Realisme Sosialis dalam Novel Tetralogi
Bab keempat ini akan menganalisis lebih jauh mengenai tentang unsur realisme sosialis yang
terkandung dalam novel Tetralogi, setelah dalam bab-bab sebelumnya diterangkan tentang realisme sosialis
dalam pandangan Pram, yang tercantum dalam tulisannya Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia.
Di dalamnya Pram mengatakan secara singkat bahwa yang dimaksud dengan realisme sosialis adalah
pempraktikan sosialisme di bidang karya sastra.
Ada banyak pandangan yang mengandung unsur-unsur realisme sosialis yang mempresentasikan
gagasan Pram dalam berbagai novel dan tulisannya. Pram sangat memahami bagaimana menyampaikan
gagasan realisme sosialis.
Realisme sosialis dalam tafsiran kesenian Uni Soviet berarti seni yang menggambarkan kemenangan,
para pahlawan dan optimisme membangun ekonomi dan masyarakat sosialis. Seni dituntut untuk
mengutamakan kolektivitas, mangacu pada gambaran masyarakat sedang bekerja atau berjuang, kecuali
saat menggambarkan para pahlawan seperti Lenin dan Stalin. Fungsi seni ditetapkan sebagai alat mendidik
buruh dengan nilai-nilai sosialis yang sejalan dengan garis politik partai komunis. Karya-karya dari periode
ini yang kemudian dikenal dan dikecam dalam wacana kritik Barat sebagai kultus individu Lenin dan
Stalin[143].
A. Realisme Sosialis sebagai Upaya Membentuk Paradigma dan Orientasi Kehidupan
Ya, memang belum banyak yang bisa ku dapatkan dalam diriku. Jean marais bercita-cita mengisi hidup dengan
lukisan-lukisan, bukan hanya menyambung hidup. Untuk apa aku menulis, sampai mendapatkan kemashuran
sebanyak itu? Kau tidak adil Minke, kalau memburu kepuasan saja bisa mendapatkan kemashuran. Tidak adil!
Orang-orang lain bekerja sampai berkeringat darah, mati-matian, jangankan mendapatkan kemasyhuran ,hanya
untuk dapat makan dua kali sehari belum tentu bisa[144].
Kutipan di atas memberi gambaran tentang realisme sosialis, mengenai mental priyayi, yang
melahirkan kelas-kelas dalam masyarakat. Percakapan ini terjadi ketika Minke harus menghadap seorang
Bupati, yang Bupati tersebut jauh lebih bodoh dibanding dia. Namun karena kelas-kelas yang telah
terbangun maka ketika Minke menghadap tetap harus berjalan sambil berjongkok dan menyembah dahulu.
Namun di sini Minke terlihat sombong atas pengetahuannya atas ilmu pengetahuan yang dimilikinya,
sehingga tidak terlihat pribadinya sebagai seorang sosialis yang mencita-citakan persamaan hak. Mengenai
hal tersebut digambarkan sangat jelas oleh Pram dalam tulisan ini:

Jadi aku akan dihadapkan pada Bupati B. god! Urusan apa pula? Dan aku ini, siswa H.B.S., haruskah
merangkak dihadapannya dan mengangkat sembah pada setiap titik kalimatku sendiri untukku sendiri untuk
orang yang sama sekali tidak kukenal! Dalam berjalan ke pendopo yang sudah diterangi dengan empat buah
lampu itu aku merasa seperti hendak menangis. Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul
dengan orang-orang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah
seorang raja kecil yang barangkali butahuruf pula? God, God! Menghadap seorang bupati sama dengan
bersiap menampung penghinaan tanpa boleh membela diri. Tak pernah aku memaksa orang lain berbuat
semacam itu terhadapku. Mengapa harus aku lakukan untuk orang lain? Sambar geledek![145]
Perbedaan kelas dalam masyarakat feodal dilakukan oleh pemerintahan kolonial belanda.
Sebagaimana kita tahu bahwa bangsa kolonial dan Eropa menduduki kelas pertama, kedua kaum cina dan
priyayi, ketiga adalah rakyat jelata.
Perbedaan ini berdampak pada kehidupan sehari-hari masyarakat misalnya dalam hal kepemilikan
tanah. Dimana dalam tetralogi, Pram juga tidak hanya mempersoalkan kelas atau kasta masyarakat, tetapi
menggambarkan mengenai kepemilikan tanah sebagai basis produksi rakyat saat itu yang cenderung
dikuasai secara semena-mena oleh penguasa.
Dalam tetralogi banyak cerita-cerita Pram tentang nasib seorang petani yang mempertahankan
tanahnya dari pengambilan paksa pemilik modal, karena pemilik modal tersebut dilindungi oleh hukum yang
berlaku, sementara petani tersebut harus berjuang sendiri tanpa ada yang membelanya.
Dalam beberapa karyanya Pram juga terinspirasi dari Revolusi Perancis, tentang perlawanan baru dari
buruh yang hampir saja menggusur kekuatan De Gaulle. Kejadian tersebut bermula dari kaum tani yang
dirampas tanah garapannya dan diusir begitu saja. Mereka tidak hanya harus lepas dari tanah garapannya,
tetapi juga terpaksa meninggalkan desanya untuk mencari penghidupan di kota. Di kota, mereka juga sangat
sukar menemukan apa yang diharapkan dan menyebabkan banyak orang menjadi gelandangan. Tidak semua
petani di rampas tanahnya ada juga petani yang justru menjual tanahnya untuk kesenangan semata dalam
artian untuk memenuhi budaya konsumtif mereka. Peristiwa tersebut sangat mempengaruhi perjalanan
pemikiran sang tokoh, yaitu Minke.
Berteriak apa orang-orang itu?
yang tinggal di situ, Ndoro.
Di rumah genteng itu?
Betul, Ndoro.
Mengapa diteriaki?
Dia tak juga mau pindah dari tempatnya.

Mengapa harus pindah?


Mereka katanya bengis dan benci, anjing-anjing prabik. Ini tanahku sendiri. Peduli apa hendak kuapakan, ia
seka keringat dari pundak[146].
Perasaan tidak enak masih juga menongkrong dalam hatiku, karena petani yang seorang ini kembali bicara
ngoko. Benar-benar dia petani yang sudah keluar dari golongannya. Dan apa pula gunanya aku hadapi baikbaik? Tapi kau sudah bertekad hendak mengenal bangsamu! Kau harus dapat mengenal kesulitannya. Dia
salah seorang bangsamu yang tidak kau kenal, bangsamu yang hendak kau tulis kalau kau sudah mulai
belajar mengenalnya!.[147]
Dan kau tidak beda dengan orang-orang lain. Kau tidak lebih tinggi, tidak lebih mulia dari Trunodongso . itu kalau
kau benar-benar mengerti Revolusi Prancis. Bagaimana kau sekarang Minke?[148]
Kesadaran lain juga lahir dari sang tokoh Minke, misalnya, tentang bahasa yang merupakan sekat
komunikatif antar golongan dan kelas waktu itu. Yang kemudian muncul anjuran emansipatif dari obrolan
Minke dengan seorang perempuan bernama Nyai Ontosoroh. Minke menganggap menulis dalam bahasa
melayu sangat penting untuk mewujudkan persamaan kelas dan pencerahan kaum pribumi karena bahasa
malayu itu tidak mencerminkan watak feodalisme. Tetapi saat ini bahasa daerah justru mesti dilestarikan
terlepas dari perwatakan feodalis ataupun tidak, seba bahasa daerah adalah warisan dari nenek moyang,
siapa lagi yang akan melestarikan kalau bukan generasi mendatang.
Juga kau hendak membelanya terhadap penindasan dengan bahasa oleh kau sendiri? Ha, kau tak mau menjawab.
Kalau begitu memang tepat kau harus menulis Melayu, Minke, bahasa itu tidak mengandung watak penindasan,
tepat dengan kehendak revolusi Prancis.[149]
Aku lebih percaya pada Revolusi Perancis, Tuan Tollenaar. Kebebasan, persaudaraan dan persamaan, bukan hanya
untuk diri sendiri seperti sekarang terjadi diseluruh daratan Eropa dan Ameriak Serikat, tapi untuk setiap orang,
setiap dan semua bangsa manusia di atas bumi ini. Sikap begini dinamai sikap liberal sejati, Tuan.[150]
jangan salah artikan kebebasan dalam semboyan Revolusi Prancis orang Prancis sendiri juga banyak menyalahartikan jadi bebas merampok dan bebas tak berkewajiban pada siapa pun, walhasil jadi sewenang-wenang tanpa
batas. Kebesaran hanya untuk diri sendiri di negeri-sendiri! Semua terpelajar pribumi Asia dalam kebebasannya
mempunyai kewajiban-kewajiban tak terbatas buat kebangkitan bangsanya masing-masing. Kalau tidak, eropa
akana merajalela.[151]
Gelombang emansipasi dari ciri realisme sosialis dari kutipan di atas, ternyata, tidak hanya mengalir
dan menjalari diri-diri pribadi kaum bumiputra nusantara saja tetapi melampaui batas teritori geografis itu
sampai mencakup Asia malah bukan ke arah Jawa dimana tempat munculnya pribadi Minke. Ada unsur
geopilitik disitu dalam membaca segala gugus kebudayaan timur vis a vis barat yang tengah menghegemonik
dalam kenyataan sosial yang dimiskinkan dan disengsarakan. Dalam pandangan geopolitik itu gugus itu
merupakan satuan-satuan ekonomis dan politis yang membentuk organisma masyarakat baru yang sedang
diangankan oleh Minke. Wawasan yang memandang keseluruhan satuan gugus itu untuk ukuran sezaman

itu cukuplah menyita dan menyedot perhatian para kolonialis. Itulah sebabnya Minke adalah pribadi pribumi
terdidik yang menyulitkan jalannya penjajahan, dan berbahaya bagi pribadi-pribadi kolonialis. Namun lain
bagi kaum bumiputra, dia lentera bercahaya yang akan menerangi kesadaran dan mambangkitkan
bangsanya.
Salah satunya yang lain ialah ; jika dalam hukum ekonomi feodal, dalam system maro atau bagi hasil,
biaya penggarapan tanah sampai pembelian bibit dan pemeliharaan tanaman dibebankan atau dipikul oleh
petani yang menggarap tanah. Sedang tuan pemilik tanah tidak kehilangan sesenpun untuk biaya produksi.
Mereka tinggal menerima saja hasil pembagian dari hasil produksi tanah miliknya yang di bagi hasilkan atau
yang digarap oleh petani penggarap. Sistem bagi hasil sebenarnya tidak sepenuhnya merugikan petani,
karena untuk saat ini sistem bagi hasil bagi hasil justru lebih aman karena jika terjadi sesuatu hal atas tanah
garapan maka bisa di tanggung bersama.
Tentu saja ini tanahmu sendiri, kataku memberanikan dia dan diriku sendiri.
Lima bahu, warisan orang tua.
Kau benar, kataku, ada kubaca di kantor tanah.
Nah, ada tertulis dikantor tanah, ia bicara pada dirinya sendiri. Ketegangannya mulai surut. Lambat-laun aku lihat
ia mulai kembali jadi petani jawa yang rendah hati.
Ya, Ndoro, sebenarnya sahaya sudah cukup bersabar. Warisan sahaya lima bahu (7096,5 m2), tiga sawah dan dua
lading dan pekarangan rumah ini. Tiga bahu, sudah dipakai pabrik. Tidak sahaya sewakan secara baik-baik, tapi
dipaksa secara kasar; priyayi pabrik, lurah, sinder, entah siapa lagi. Dikontrak delapan belas bulan. Delapan belas
bulan! Nyatanya dua tahun. Mesti menunggu sampai bonggol-bonggol tebu habis didongkeli. Kecuali kalau mau
cap jempol mengontrakkan lagi untuk musim tebu mendatang, Apa arti uang kontrak? Hitung punya hitung
sewanya selalu tak pernah penuh. Anjing-anjing itu, Ndoro.sekarang ladang mau dikontrak. Pepohonan akan
dirobohkan untuk tebu!
Berapa sewa untuk satu bahu? tanyaku sambil mengeluarkan alat tulis-menulis dari dalam tas, mengetahui,
semua petani Jawa menaruh hormat pada barangsiapa melakukan pekerjaan tulis menulis. Akupun siap-siap
mencatat.
Sebelas picis, Ndoro jawabnya lancar. Mengherankan.
Sebelas picis, buat setiap bahu selama delapan belas bulan? aku terpekik.
Betul, Ndoro.
Tiga talen
Kemana yang tiga puluh lima sen?

Mana sahaya tahu, Ndoro. Cap jempol saja, kata mereka tidak lebih dari tiga talen sebahu. Delapan belas bulan,
katanya. Nyatanya dua tahun sampai tunggul-tunggul tebu habis di dongkeli.[152]
Ini menandaskan ciri realis-sosialis pada karya atau malah pada diri pribadi Pram itu. Seperti Pram
sendiri katakan ; Bagi saya, keindahan itu terletak pada kemanusiaan, yaitu perjuangan untuk kemanusiaan,
pembebasan terhadap penindasan. Jadi keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam
mengutak-atik bahasa. [153]
Tahu Tuan upah kuli tebu yang baik dalam sehari? Tiga talen sehari. Kalau orang kerja jadi kuli, dua hari saja, yang
diperolehnya sudah melebihi sewa tanahnya sendiri sebanyak satu bahu. Siapa bilang orang lebih suka menggarap
sawah sendiri daripada jadi kuli tebu? Berapa harga kerja cangkul dalam sehari? Tiga benggol, tidak lebih.[154]
Penindasan bagi Pram bukan keindahan itu sendiri. Ini juga bukan berarti jika ada derita sengsara
disana itulah keindahan bersemayam. Keindahan, dalam karya-karya pram ini adalah bukan tempat orang
mencari jati diri tidak seperti dalam novel-novel atau karya-karya sastra yang cendrung romantis-melankolis
atau yang bombastis. Penemuan jati diri malah mewujud ketika terlibat dalam gairah semangat perjuangan
kaum yang terlemahkan dan pembebasan dari penindasan sama pemahamannya dalam semboyan Marxian
yang berbunyi; Di dalam kerja engkau merdeka. Inilah keindahan itu terletak dalam perjuangan dan gairah
semangat sasatrawi realis-sosialis Pram, mengangkat jati diri pribumi!
Bacalah petikan berikut ini; bukan indah yang menggoda genit, tapi kenyataan (narasi) pedih dan
derita kemanusiaan yang mengiris dari sekian tragedi sosial akibat kolonialisme. Indah ! bukan
untukdielem yang lantas menimbulkan gairah-gairah yang sentimentil. Akan tetapi kepedihan yang
menuntut untuk dihinggapi kepedulian dan emansipasi. Novel tetralogi banyak sekali menampilkan
kepedihan seolah-seolah itu adalah pengalaman pram yang masuk dalam novel tersebut., sehingga sering
kali hal tersebut melahirkan kebingungan cerita tersebut pengalaman Tirto Adhi Suryo atau Pram.
Pribumi bertombak dan berpanah akan mati bergelimangan lagi atas perintahnya, entah dimana akan
terjadi. Demi keutuhan wilayah, kata-kata lain dari: demi keamanan modal besar Hindia. Darah, jiwa,
perbudakan, penganiayaan perampasan, penghinaan akan terjadi lagi di bawah tudingan tangannya.[155]
Perlakuan sewenang-wenang dalam perusahaan-perusahaan kereta api, perkebunan, kantor-kantor
Gubermen, perampasan anak gadis dan istri oleh pembesar-pembesar setempat dengan menggunakan
kekuasaan yang ada pada mereka, mengisi permohonan-permohonan pertolongan.[156]
B. Pandangan Pramoedya Ananta Toer tentang Organisasi sebagai Sikap Melawan Imprealisme
Buah dari pembacaan atas pemahaman atas pikiran Pram dan proses analisisnya menghasilkan apa
yang menjadi sub-judul B ini. Melalui organisasi proses perjalanan sebuah kesadaran kelas, status hukum
dan politik, begitu kentara dialami oleh bangsa ini dalam karya Pram, terutama pada sosok Minke. Dari

embrio-embrio tersebut lahirlah organisasi awal di Indonesia yang bernama Budi Oetomo. Yang digawangi
oleh para terpelajar Hindia. Organisasi tersebut, bertujuan untuk memberi pengajaran pada semua orang
tanpa ada kasta, karena yang boleh sekolah di sekolah yang didirikan Belanda adalah orang Belanda sendiri,
Indo, dan juga para priyayi. B. O meski sebagai pelopor organisasi pertama tidak cukup mampu untuk
mengakomodir semua permasalahan yang terjadi di masyarakat saat itu.
Utusan Raden Tomo telah datang ke Bandung untuk menagih janji. Ia dan teman-temannya sesekolah telah
berhasil membentuk sebuah organisasi sebagaimana pernah dianjurkan oleh dokter jawa pensiunan dulu. Juga
olehku sendiri. Nama organisasi: Boedi Oetomo[157].
Dan bahwa ada gerak dari minus ke plus pada umat manusia, dan itu dinamai gerak juang? Lupa kau, Koen? Atau
B.O yang lupa? Kan B.O. tidak bermaksud mempertahankan yang ada, agar yang miskin tetap miskin, yang bodoh
tetap bebal, dan yang sakit tinggallah menggeletak menungggu sakratulmaut?[158]
Bentuk perlawanan emansipatoris terhadap segala hal di dalam karyanya yang ada unsur
pertentangan kelas, salah satunya, bukan hanya terjadi pada bentuk sosial-ekonomi saja, tetapi juga dalam
bentuk bahasa. Inilah awal kesadaran tentang persamaan dan etos organisasi (kolektifisme) dalam
mewujudkan persatuan melawan hegemoni penjajah. Bahasa-lah wadah organisme kesadaran-kesadaran itu.
Dalam rapat-rapat cabang yang tahu bahasa Jawa tentu tak diharuskan berbahasa melayu. Tetapi kalu
tingkatnya sudah Kongres atau tingkat Pusat, atau berhubungan dengan pusat, tak bisa tidak harus
dipergunakan Melayu. Mengapa Jawa harus dikalahkan oleh Melayu? Diambil praktisnya, Mas. Sekarang,
yang tidak praktis akan tersingkir. Bahasa Jawa tidak praktis. Tingkat-tingkat di dalamnya adalah bahasa
presentasi untuk menyatakan kedudukan diri, melayu lebih sederhana. Organisasi tidak membutuhkan
pernyataan kedudukan diri. Semua anggota sama, tak ada yang lebih tinggi atau lebih renadah. [159]
Pemakaian bahasa melayu benar-benar diperjuangkan dalam berorganisasi wadah pendidikan dan
penyadaran kaum pribumi. Pram dalam narasi ini menggambarkan kekuatan baru pada kaum bumiputra,
terkhusus pada diri Minke, dalam mencapai persamaan derajat dalam tingkat yang paling sublime dan dini;
yakni pada aras bahasa. Bahasa daerah pun sebenarnya anti penindasan, tapi yang menjadi masalah adalah
bahasa daerah itu berbeda-beda. Bahasa melayu adalah bahasa persatuan di mana semua orang mengerti,
bukan bahasa yang anti penindasan. Pram di sini terlalu melebih-lebihkan.
Di kota-kota sepanjang pesisir utara Jawa Barat telah berdiri cabang-cabang dengan anggota rat-rata empat puluh
sampai seratus orang. Di kota-kota pegunungan memang lebih sendat. Di Tasikmalaya, Garut dan Sukabumi
nampak adanya kegiatan mengagumkan. Garut mencactat sejarah: disini pernah di adakan rapat umum
propaganda S.D.I. rapat umum pertama.[160]
Organisasi ini lahir di tanah Hindia sebagai organisasi Pribumi, bukan organisasi segala bangsa yang bermaksud
untuk mrerugikan Pribumi. Tidak ada hak pada siapa pun, bangsa apa pun anggota atau bukan anggota S.D.I. untuk
merugikan Pribumi, baik pedagangnya atau petaninya, ataupun tukang-tukangnya. Kalau ada cabang yang punya
cara dan jalan sendiri yang sengaja dan diketahui melakukan tindakan merugikan terhadap pribumi, itu bukan

cabang S.D.I. seluruh Hindia dapat melakukan tindakan serentak terhadap cabang durjana demikian. Aku yakin,
saudara-saudara, dewan pimpinan pusat tidak akan ragu-ragu mengeluarkan titahnya.[161]
Minke melihat bahwa bangsa Arab yang selama ini di pandang sebagai bangsa yang terbelakang oleh
orang Eropa ternyata sebenarnya lebih luas pengetahuan keilmuannya. Di samping itu ekonomi yang di
bangun di Negara Indonesia tidak menindas, mereka berdagang dengan damai. Sebab dalam transaksi
berdagang tidak ada majikan dan buruh semua mempunyai kedudukan yang sama. Hal tersebut sesuai
dengan faham sosialisme yang menolak adanya klas dalam sistem masyarakat.
Orang Arab, yang sama sekali tidak pernah mendapat pendidikan Eropa ini, ternyata mempunyai
pengetahuan praktis yang sangat patut untuk kuindahkan dan kupelajari. Putra-putranya ia kirim ke
Universitas Turki, menguasai banyak bahasa modern.[162]
Pedagang orang paling giat di antara umat manusia ini, Tuan. Dia orang paling pintar. Orang menamainya juga
saudagar, orang dengan seribu akal. Hanya orang bodoh bercita-cita jadi pegawai, kerjanya hanya disuruh-suruh
seperti budak. Bukan kebetulan Nabi s.a.w pada mulanya juga pedagang. Pedagang mempunyai pengetahuan luas
tentang ikhwal dan kebutuhan hidup, usaha dan hubungannya. Perdagangan membikin orang terbebas dari
pangkat-pangkat, tak membeda-bedakan sesama manusia, apakah dia pembesar atau bawahan, bahkan budak
pun. Pedagang berpikir cepat. Mereka menghidupkan yang beku dan menggiatkan yang lumpuh.[163]
Perjuangan dalam merebut kesamaan klas, tidak hanya di dukung oleh organisasi semata, tapi juga
oleh landasan organisasi yang kuat. Sehingga progam organisasi untuk memperjuangan kesamaan hak itu
tercapai, dan landasan yang paling kuat adalah agama islam. Minke memandang bahwa agama Islam agama
yang anti penjajahan, ini bisa terbukti dengan kedatangan para pedagang dari Arab yang berdagang dengan
baik-baik. Tidak seperti Belanda, mereka mengaku ingin berdagang di Indonesia tapi setelah melihat
kekayaan Indonesia mereka justru berbalik arah menjadi menjajah. Sebagai mana yang sering di lakukan
oleh orang-orang kapitalis, Belanda datang ke Indonesia ingin meraih keuntungan sebesar-besarnya dan
mengeluarkan modal sekecil-kecilnya.
Islam dan dagang mempunyai landasan lebih luas dan lebih mengikat dari pada indisch. Pikiran-pikiran Tuan
bukan tidak kupertimbangkan. Landasannya tidak ada, kurang jelas. Setidaknya-tidaknya belum aku lihat, hanya
berupa cita-cita, bukan kenyataan. Memang cita-cita bisa menjadi kenyataan di kemudian hari, tetapi landasannya
tetap kenyataan sosial masakini.[164]
Islam, kataku selanjutnya, yang secara tradisional melawan penjajah sejak semula Eropa datang ke Hindia, dan
akan terus melawan selama penjajah berkuasa. Bentuknya yang paling lunak: menolak kerjasama, jadi pedagang.
Tradisi itu patut di hidupkan dipimpin, tidak boleh mengamuk tanpa tujuan. Tradisi sehebat dan seperkasa itu
adalh modal yang bisa menciptakan segala kebajikan untuk segala bangsa Hindia[165].
Teapi para petani itu adalah saudara-saudara kita sendiri, sebangsa kita sendiri, yang hendak diperas tanah dan
duitnya secara gegabah oleh perusahaan-perushaan raksas Eropa, Arab dan Cina. Kalau Tuan-tuan membiarkan ini
terjadi, Tuan-tuan membenarkan pemerasan itu, Tuan-tuan membenarkan kejahatan, apa itu di benarkan dalam
Islam? Kan kita akan malu sebagai Muslim membiarkan yang demikian terjadi?

akhirnya Islam harus menentang keputusan sindikat dan berpihak pada petan.[166]i
Minke, sebagai tokoh protagonis. Membeberkan maksud kedatangan Belanda ke Indonesia, meski
mereka menggunakan dalih untuk berdagang. Tapi tujuan utamanya adalah untuk menjajah, seperti yang
telah diuraikan di atas. Ini sangat berlainan dengan orang Arab yang hendak berdagang di Indonesia, mereka
memang benar-benar berniat untuk berdagang. Bukan untuk menjajah, sebagaimana dialog dibawah ini:
Eropa datang berdagang kemari, Tuan, tapi menjauhkan dirinya dari Pribumi. Malah memperdagangkannya.
Eropa datang bukan untuk berdagang dengan kita. Mereka datang dengan meriam dan bedil.
Apa pun alat yang dibawanya, mereka berdagang.
Kalau sekarang ini aku todong Tuan dengan senapan, aku rampas semua pakaian Tuan, sehingga tinggal selembar
setangan untuk menutup kemaluan, kemudian aku tinggalkan pada Tuan satu setengah sen, pastilah itu bukan
berdagang. Dan itulah wajah Eropa colonial, sesungguhnya.
Tuan lupa, meriam dan Bedil juga alat berdagang pada jamannya, bantah Douwager. Masih berlaku di banyak
tempat sampai sekarang, kalau bangsa sudah ditaklukkan seperti di Hindia ini, bangsa taklukan dibikin jadi
penghasil barang dagangan. Malah diperdagangkan.
Sama saja, Tuan. Perdagangan terjadi hanya karena suka antara kedua belah pihak yang berkepentingan. Selama
tak ada syarat itu, dan pertukaran terjadi, itu bukan perdagangan, itu kejahatan[167].
Ini adalah awal lahirnya S.I. Menjelang akhir tahun 1919, pimpinan pusat S.I berhasil menyatukan 22
Serikat Dagang Indonesia dengan jumlah anggota 77.000 di bawah satu komando[168]. Serikat Dagang
Indonesia bertujuan untuk menahan laju gerak ekonomi orang Cina dan juga Eropa yang sudah sangat
menghegemoni masyarakat pribumi, Serikat Dagang Indonesia bermula dari para pedagang batik di Sala dan
Yogya. Sebab kain yang mereka butuhkan untuk membatik dijual dengan harga tinggi oleh orang Cina yang
sudah bersekutu dengan Eropa (Belanda). Sehingga dibutuhkan organisasi untuk melawan sistem
penindasan yang mereka lakukan.
Sedangkan Sarikat Islam adalah kepanjangan dari organisasi SDI, yang membedakan SDI dengan SI
adalah perjuangan yang dilakukannya. Jika SDI lebih berkecimpung hanya dalam wilayah basis ekonomi
semata, SI lebih luas cakupan perjuangannya semisal politik. Perjuangan SI untuk persamaan dalam hal
politik bagi masyarakat pribumi, Minke sadar perjuangan persamaan hak tidak hanya di lakukan dengan
mengangkat sejata. Tapi juga harus lewat organisasi yang kuat, sehingga penekanan terhadap sistem feodal
juga di lakukan lewat negosiasi, yang diharapkan terwujudnya persamaan hak. Hal tersebut dapat dibaca di
dalam cerita di bawah ini:
Dokumen keempat adalah sebuah laporan panjang dari Sala, memakan tidak kurang dari empat puluh
halaman, di tulis oleh tangan yang mahir, kecil-kecil dan rampak, tapi dalam bahasa Melayu yang sangat

buruk. Laporan itu mencatat tentang terjadinya kegiatan S.D.I. di Sala, yang menarik perhatian pemerintah
putih dan Pribumi: haji Samadi dengan pimpinan S.D.I. cabang Sala telah mengeluarkan pernyataan, bahwa
telah didirikan perkumpulan bernama Syarikat Islam dengan dia sendiri sebagai pimpinannya. Tetapi, semua
pimpin di dalamnya adalah juga pimpinan S.D.I.[169]
Cabang-cabang S.D.I. segera menyesuaikan diri dengan menamakan diri Syarikat Islam dalam suatu
koperensi darurat di Sala. Arus anggota baru taka dapat kubendung. Aku mengerti, bahwa saat untuk
berorganisasi telah tiba dalam daftar kebuthan pribumi di Jawa. Tugasku menghadang ini. Tidak hanya aku
saja. Aku kira semua ahli dan penguasa colonial terheran-heran mengikuti perkembangan Syarikat setelah
terjadinya penyerahan pimpinan dari Minke ke tangan Hadji Samadi.[170]
Para kapitalis juga membangun kesadaran mistik pada masyarakat untuk melanggengkan kekuasaan.
Sehingga mereka tidak bisa berbifikir secara kritis dan diharapkan agar dengan hal tersebut masyarakat
yang tertindas tidak berontak. Ini cara yang paling ampuh untuk mengamankan modal yang telah di tanam
oleh para kapitalis, ketika masyarakat tidak bisa lagi berfikir kritis maka akan tetap tercipta klas
antara kapital dan juga proletar. Tulisan Minke di bawah ini, untuk mengugah kesadaran masyarakat yang ada
tentang pentingnya ilmu pengetahuan. Sehingga mereka tidak takut lagi melakukan perlawanan terhadap
sistem kapitalis yang ada. Mistik sampai sekarang masih di percaya oleh sebagian masayarakat, dan hal
tersebut sebenarnya bukan di lahirkan oleh belanda tetapi sudah keyakinan dari nenek moyang yang
sebelum datangnya agama-agama beraliran mistisisme.
Sudah tepatkah pandangan Eropa colonial ini? Bukan saja tidak tepat, juga tidak benar. Tetapi Eropa colonial
tidak berhenti sampai di situ. Setelah Pribumi jatuh dalam kehinaan dan tak mampu lagi membela dirinya
sendiri, dilemparkannya hinaan yang sebodoh-bodohnya. Mereka mengetawakan penguasa-penguasa
Pribumi di Jawa yang menggunakan tahyul untuk menguasai rakyatnya sendiri, dan dengan demikian tak
mengeluarkan biaya untuk menyewa tenaga-tenaga kepolisian untuk mempertahankan kepentingannya.
Nyai Roro Kidul adalah kreasi Jawa yang gemilang untuk mempertahankan kepentingan raja-raja Pribumi
Jawa. Tapi juga Eropa mempertahankan tahyul: tahyul tentang hebatnya ilmu pengetahuan agar orangorang jajahan tak melihat wajah Eropa, wujud Eropa, yang menggunakannya. Baik penguasa Eropa colonial
mau pun Pribumi sama korupnya[171].
Indische Partij adalah organisasi orang belanda yang di pimpin oleh H. J. F.M. Sneevliet. Mereka adalah
orang-sosialis. Kelompok ini yang kemudian berkembang menjadi Partai Komunis Indonesia.[172]PKI,
sebagai penganut faham sosialis melakukan berbagai upaya penyadaran terdapat sistem klas yang tercipta
di masyarakat, salah satunya adalah Lekra. Dengan semangat sosialis tersebut Indische Partij melakukan
penyadaran terhadap sistem kapitalis yang menindas terhadap masayarakat Indonesia, yang membuat
masyarakat Indonesia jatuh ke dalam jurang kemiskinan tiada ujungnya. Sedangkan kapitalis (Belanda) hidup
dengan penuh kemewahan, bahkan penghisapan kekayaan yang dilakukan oleh Belanda bisa menutupi
semua hutang kerajaan Belanda. Orang Belanda yang berfaham sosialisme tetap eksklusif, mereka tidak mau

bergabung dengan organisasi yang ada. Mereka mendirikan organisasi baru, karena mereka merasa
superior.
Syarikat aku anggap sebagai gelembung akibat samudra kehidupan yang telah teraduk unsure-unsur
modern, dan pada suatu kali gelembungan ini akan meletus berpecahan tanpa meninggalkan bekas. Indische
Partij lain lagi. Ia justru mempersatukan unsure-unsur manusia modern di Hindia, peranakan Eropa dan
terpelajar Pribumi sekaligus. Dalam jumlah anggota ia tidak berarti dibandingkan dengan Syarikat. Dalam
kesadaran berpolitik dia lebih unggul.dalam kesadaran berpolitik dia lebih unggul. Dalam kesadaran
berpolitik Mas Tjokro masih harus banyak belajar dari mereka. Tapi bagaimana pun dua organisasi itu
menyala di angkasa hitam seperti dua bintang, terpisah jutaan mil satu dari yang lain, tak pernah ada usaha
pendekatan, jangankan persinggungan. Yang satu gemuk dengan kebanyakan anggota dan tak bisa berbuat
apa-apa. Yang lain dengan hanya anggota ratusan orang dan bakal kurus-kering dirongrong oleh keinginankeinginan tanpa batas[173].
Di sini Pram bukan membenci agama Nasrani, tetapi dari mana agama tersebut lahir. Yang dimaksud
disini adalah Belanda, yang menjadi penghisap atas sekian ekonomi bagi bangsanya. Salah satu tujuan
Belanda datang ke Indonesia juga untuk menyebarkan agama Nasrani, di samping menjajah.
Aku tahu, bahwa aku harus mengelakkan percakapan yang menyudutkan ini. Benar sekali, bahwa pada
jamannya agama juga politik. Bangsa-bangsa Hindia yang Nasarani memang tidak mencari pertengkaran
dengang gubermen yang Nasrani pula, tetapi tulisan-tulisan Raden Mas Minke menunjukkan contoh-contoh,
bahwa juga orang-orang tertentu bisa mencari pertengkaran dengan bangsanya sendiri, seperti Khouw Ah
Soe dan Ang San Mei. Benar mereka Protestan dan Katholik, tapi mereka bukan karena agama ikut berusaha
menggulingkan dinasti Ching. Mereka digerakkan oleh sesuatu yang lain, yang bernama Nasionalisme.
Mas Marco Kartodokromo adalah pencipta semboyan Sama Rata Sama Rasa. Semboyan ini di
kalangan rakyat jelata mempunyai kekuatan yang menghidupi, dan semboyan inilah yang memberikan
sumbangan yang tidak sedikit artinya bagi perjuangan untuk memenangkan kemerdekaan nasional yang
ditingkatkan dengan revolusi nasional sekaligus mengandung di dalamnya keadilan sosial[174]. Hal tersebut
adalah perjuangan orang-orang sosialis.
Marco, Ia mencoba mengerti dan mengikuti arus jaman yang semakin santar mendatangi. Ia selau bercelana
pantolan putih dan berbaju putih. Sisirannya selalu rapi sibak tengah, matanya dibukanya lebar-lebar selalu,
seakan-akan tak hendak kehilangan sesuatu atas segala yang terjadi di sekelilingnya dan di dunia besar di
luar negerinya[175].
Organisasi SI mulai pecah, menjadi dua bagian yaitu SI dan PKI. pada tahun 1926, akhirnya Semaun
keluar dari SI meski dihalang-halangi oleh orang-orang SI yang masih memegang posisi-posisi puncak.
Semaun tetap keluar untuk membuat federasi serikat dagang tandingan dengan anggota 14 serikat
termasuk VSTP atau serikat pekerja kereta api[176]. Ini awal mula organisasi sosialis pertama di Indonesia
yang didirikan oleh orang Indonesia yang berfajam sosialisme.

Mempertentangan dua golongan dari pandangan dan sikap yang berlain-lainan memang terlalu gampang.
Tetapi akibatnya akan berlarut. Syarikat akan menghadapi mereka sebagai orang Eropa pada umunya, dan
kebencian pukul rata pada Belanda akan menjadi hasilnya. Sedang sayap Marco, yang selam ini tidak
mendapat medan untuk berpiawai akan menggunakan kesempatan ini. Bila ia memisahkan diri dari pimpinan
Mas Tjokro, dengan sayapnya ia akan menjadi sangat berbahaya. Perkembangan secepat itu belum lagi
diharapakan.[177]
Ini adalah penggambaran pemogokan para pekerja, yang didukung oleh PKI, PKI yang melakukan
advokasi kepada para buruh untuk menuntut persamaan hak kepda para pemilik modal. Hal tersebut sesuai
dengan slogan Karl Marx yaitu Bersatulah Buruh Sedunia .
Di Jawa Timur dan Tengah orang memekik-mekik menuntut kenaikan upah sambil membelot-kerja alias
staking. Pegawai-pegawai pegadaian di beberapa tempat menolak memasuki tempat kerjanya dan kumpulkumpul di pelataran, berbaur dengan orang-orang yang hendak menggadaikan. Buruh beberapa perkebunan
kemudian mengikuti[178].
C. Pandangan Pramoedya Ananta Toer tentang Jurnalistik sebagai Jalan Efektif Membangun Kesadaran
Di sinilah sastra realisme sosialis mengabdikan dirinya, di bidang tulisan. Hal tersebut sebagai mana
yang diungkapkan oleh Pram sendiri bahwa satsra sosialis lahir dari orang-orang Indonesia yang berjiwa
sosialisme yang di lahirkan oleh perkembangan masyarakat itu sendiri yang menderita keadilan.[179]Sering
kali penderitaan yang ditampilkan sastra realisme sosialis sangat berlebihan, yang akhirnya dapat
melahirkan kebencian kepada orang kaya. Padahal tidak semua orang kaya tersebut adalah pemeras.
Perhitungan tidak meleset. Hanya dengan bahasa Melayu bukan Gubermen, dan di antara orang-orang bebas,
tidak dengan orang-orang dengan jabatan negeri, organisasi umum di hindia akan bisa menjadi besar dan subur.
Beberapa kali aku harus bekerja keras meyakinkan Samadi, yang lebih menghendaki bahasa Jawa. Bahasa melayu,
semakin jauh dari pengajaran Gubermen, semakin jauh dari orang-orang feodal, semakin demokratis dan menjadi
alat perhubungan yang nyaman, memang bahasa bebas untuk orang bebas. Dan hanya golongan bebas yang akan
menentukan nasib bangsa-bangsa Hindia, karena salah satu syarat untuk persatuan bagi bangsa-bangsa ganda ini
adalah dekat mendekati atas dasar demokrasi[180].
Tulisan di bawah ini sangat mencerminkan tentang realisme sosialis, metode dasar kesusastraan, dan
kritik sastra Soviet, yang menuntut pengarang untuk memberikan penggambaran kenyataan yang penuh
kebenaran dan konkret secara historis dalam perkembangan revolusinya. Sementara itu, kebenaran dan
konkret historis suatu pelukisan kenyataan aritistik harus dikombinasikan dengan tugas pendidikan dan
pemulihan ideologi pekerja dengan semangat sosialisme.[181]Karena mengemban tugas berat untuk
memenangkan sosialisme, sering kali sastra realisme sosialis sangat kering dengan bahasa yang mendayudayu terkesan keras, sehingga membuat tidak nyaman bagi yang membacanya.
Dari semua kegiatan Pribumi itu, ternyata yang dianggap mahkota kegiatan adalah jurnalistik. Dan barang
tentu bukan jurnalistik sebagaimana dikenal oleh Eropa, tapi menulis di Koran atau majalah dengan nama

terpampang, baik nama benar, nama pena atau inisial. Gejala baru ini langsung berasal dari Raden Mas
Minke, ia pernah mengatakan pada salah seorang temannya: orang boleh pandai etinggi langit, tapi selama ia
tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Ucapan lain dari si Gadis Jepara: menulis
adalah bekerja untuk keabadian. Dan jurnalistik gaya Hindia merupakan perpaduan alamiah dari gerakan
Pribumi untuk kepemimpinan dan keabadian.[182]
Ini adalah tulisan Mas Marco Kartodikromo, seorang yang pernah keluar masuk penjara. Mas Marco
Kartodikromo adalah seorang penganut faham realisme sosialis, dia juga termasuk anggota PKI. Maka tidak
mengherankan jika tulisannya sarat dengan muatan terhadap penderitaan yang terjadi di masyarakat, serta
kritik terhadap sistem kapitalis yang sering membuat orang menjadi sengsara. Advokasi yang paling ampuh
adalah dengan media jurnalistik, karena lewat jurnalistik faham sosialisme mudah menyebar kemana-mana.
Sebab salah satu tujuan jurnalistik adalah Membangun Opini Publik . Sehingga keberadaannya sangat di
signifikan untuk menyebarkan faham sosilaisme, dan membangun kritisisme masyarakat.
Dari tulisannya (Mas Marco Kartodikromo) dapat diketahui apa sesungguhnya yang selama ini hidup dalam
sanubarinya.
Pada suatu hari dia tak mampu bekerja. Bininyapun tidak, karena telah jatuh sakit terlebih dahulu. Tinggal anaknya
yang berumur sembilan tahun yang masih sehat. Tak urung punggawa desa memaksa anak umur sembilan tahun
itu berangkat juga mewakili bapak dan emaknya.
Anak ini menangis sepanjang jalan setapak yang empat kilo meter jauhnya itu. Bukan hanya karena lapar, kakinya
disarangi bubul, dan patek meruyak sepenuh badan. Dalam iring-iringan yang berjalan lambat-lambat itu terdapat
perempuan kurus yang sedang bunting tua, kakek-kakek yang bertongkat dan terbatuk-batuk, seorang lelaki yang
menggendong anak susuan karena emaknya baru saja mati kelaparan.
Iring-iringan calon mayat pada beberapa bulan mendatang semua menuju keselatan. Kekebun nila Gubermen.
Kerja paksa. Tanam paksa! Tanpa upah. Cultuurstelsel
Nama desa itu adalah Cepu. Bukan Cepu yang sekarang. Desa itu miskin. Tetapi bekas desa ini sekarang telah jadi
distrik yang terkaya di Hindia. Disini aku dilahirkan. Disini pula aku dengarkan cerita orang-orang tua yang dahulu
setiap hari dalam sekian bulan berangkat kekebun nila Gubermen, tanpa upah, tanpa jaminan, tak sempat
menggarap sawah dan ladang sendiri. Dan setiap hari ada saja diantara mereka berjatuhan mati karena sakit dan
lapar.
Desaku seperti desa-desa lain. Semestinya orang hidup bertani, mencari kayu dihutan, berternak kambing, sapi,
ayam dan dirinya sendiri, dan hidup dalam keluarga besar. Tetapi cultuurstelsel telah mencerai beraikan keluarga
besar itu dan merampas nasi dan jiwa mereka.
Pendeknya jangan bayangkan Cepu desaku sebagai Cepu distrik yang sekarang ini. Cepu desaku dilindungi oleh
begitu banyak pohon buah, Cepu distrik dilindungi oleh tiang-tiang listrik dan telfon.
Sianak berumur sembilan tahu itu sudah bekerja selama sepuluh hari ketika Ia ditemui dirumahnya yang kosong
dimalam hari. Daun-daunan yang ia kumpulkan dari perjalanan pulang Ia letakkan diatas lantai tanah . tungku
dingin. Tak ada makanan, tak ada orang. Ia berseru-berseru memanggil-manggil bapak dan emaknya yang sakit

tanpa jawaban. Ia pergi kerumah tetangga-tetangga. Melulu orang-orang sakit saja yang ada. Yang seperempat dan
setengah sakitpun pada pergi.
Menjelang subuh bapaknya pulang bergandengan tangan dengan orang-orang lain yang sama kehabisan tenaga,
tunjang menunjang agar tak roboh dan tak tersasar dalam kegelapan. Mereka baru pulang dari menguburkan
emaknya.
Sebulan kemudian lebih banyak lagi orang dikuburkan semacam itu, termasuk bapaknya sendiri.
Sibocah itu terus juga melakukan kerja paksa makannya rumput muda, karena itulah yang termudah didapatnya
sewaktu kerja. Lagi pula daun dan buah muda petai cina itu, biarpun agak berasa, membikin semua rambutnya
rontok, dan dalam keadaan kurus kering tanpa rambut, orang akan kelihatan seperti setan.
Pada suatu kali orang mendengar kabar, Gubermen telah menghapuskan kebun nila, menghapuskan kerja tanam
paksa. Tetapi desa itu terus juga melakukan tanam paksa sampai dua tahun lagi. Dikemudian hari dapat aku
ketahui, tanam paksa setelah Gubermen menghapuskannya adalah untuk kepentingan pembesar-pembesar
setempat, Eropa dan pribumi.
Aku tak tahu bagaimana jalannya maka tanam paksa akal-akalan setempat itu akhirnya dihentikan. Mungkin juga
karena pembagian hasil yang tidak seimbang. Pendeknya aku tahu. Itu urusan dewa-dewa yang berkuasa. Maka
orang kembali mengerjakan sawah dan ladang yang telah kembali jadi hutan dan semak-semak. Penduduk telah
berkurang lima puluh persen. Maka pembukaan hutan kembali dan semak itu tidak begitu sempurna. Dan
pemerintah desa tidak menjadi lebih baik dengan penghapusan pertanian Negara alias Cultuurstelsel tu.
Kemudian menyusul berita-berita, kebun-kebun Gubermen akan dijadikan kebun swasta. Dan kebun-kebun itu
akan jadi milik orang-orang Eropa. Orang-orang desa boleh bekerja di sana kalau mau, dengan mendapat upah
cukup-cukup untuk makan sekeluarga.
Sementara itu si bocah itu telah berumur sebelas tahun, sudah lebih kuat dari tiga tahun sebelumnya. Berita-berita
itu tak pernah menjadi kenyataan. Yang benar: tanha-tanah perorangan dan desa malah dirampas oleh Gubermen,
termasuk lima-perenam dari milik desa. Juga katanya untuk perkebunan swasta. Melihat perampasan itu, petanipetani yang baru saja bangun dari kematian dan kelaparan, bangkit marah. Di pimpin oleh pak Samin, seorang desa
lain, sebuah pemberontakan tani terjadi.
Si bocah berumur tiga belas tahun itu menggambungkan diri dengan para pemberontak. Tapi petani-petani itu
dikalahkan dan dikalahkan dengan mudah, oleh polisi lapangan, yang didatangkan dari kota. Mereka tak pernah
berhadapan dengan kompeni, karena kabarnya semua mereka ditarik ke Aceh.
Penduduk lelaki yang terlepas dari penangkapan kembali kedesa semula. Jumlahnya lebih sedikit lagi, mati dalam
banyak pertempuran.
Si bocah berumur lima belas.
Rasa-rasa ketenangan dan kedamaian akan berlangsung terus dan tanah-tanah akan dikembalikan. Ternyata tidak.
Tanah-tanah yang dirampas mulai dihutankan dengan jati. Katanya, tak ada perusahaan Eropa mau mengerjakan
tanah rampasan, yang dianggap terlalu banyak mengandung kapur dan tidak subur itu.
Ternyata bintang kecelakaan tetap bersinar. Kemudian penduduk diusir dari desa, karena perusahaan minyak akan
mendirikan kantor-kantor dan kilang-kilang di situ. Penduduk pindah dengan ternaknya, kembali membabat hutan

untuk ladang, sawah dan perumahan. Orang bilang, tanah yang dirampas itu akan diganti dengan uang, tapi tak
seorang pun pernah melihat uang yang dijanjikan tanpa jumlah disebutkan itu. Bahkan setiap pohon di atas tanah
rampasan, katanya, telah dibayar penuh. Hanya berita belaka.
Desaku yang sejuk di bawah rerimbunan pohon-pohon buah seperti disulap berubah jadi tanah lapang. Podokpondok hilang. Jalan-jalan yang indah dibangun, demikian juga gedung-gedung. Semua serba indah, hanya bukan
milik penduduk desa.
Si bocah tinggal di desanya yang baru. Disana ia kawin dengan sisa dari perawan-perawan yang tidak direnggut
oleh maut. Dan di antara anak-anak adalah aku.
Dikemudian hari, jauh di kemudian hari, dapat kuketahui, bahwa dalam hanya lima tahun, perusahaan minyak
yang bermodal lima ribu gulden itu telah menjadi perusahaan raksasa dengan kekayaan setengah juta gulden.
Penduduk yang terusir dari desanya tak pernah mendengar, apalagi melihat, keuntungan-keuntungan besar itu.
Juga di kemudian hari kuketahui, bahwa jati yang dihasilkan oleh bumi nenek moyangku adalah jati terbaik di
seluruh dunia, terkenal dengan nama dagang Java-teak. Bahkan kwalitas satu tak boleh dipergunakan di Hindia,
hanya khusus untuk ekspor. Dan kami, tak pernah mendapat bagian dari keuntungan itu. Hanya seluruh kerugian
dan kehilangan ditimpakan pada kami.
Betapa anehnya pembagian rezeki dan pembagian nasib bikinan manusia ini. Aku tahu dan berani membuktikan,
bahwa tuan-tuan minyak ini pada mulanya adalah insiyur Geologi Gubermen di Bandung. Dengan tugas Gubermen
mereka melakukan eksplorasi-eksplorasi di daerah hidup aku, orang tuaku, tetangga dan sanak-keluarga, di atas
tanah nenek-moyangku dilahirkan, dan dikuburkan. Penduduk desa selalu menyambut pendatang-pendatang itu
dengan baik dan ramah, tak perduli warna kulit dan apa agamanya. Kayu-bakar, kelapa tua dan muda, buahbuahan kami antarkan ketempat mereka. Setelah sumber ditemukan, mereka balik kembali ke Bandung, dan : minta
keluar dari jabatan Gubermen. Mereka kembali lagi ke Cepu sebagai nyamuk-nyamuk raksasa yang menyedot
darah, daging, tanah kami, dan minyak kami dalam kandungan bumi nenek-moyangku. Dalam sepuluh tahun
perusahaan minyak ini telah jadi perusahaan berjuta, sedang bekas tuan rumahnya telah kehilangan tanah dan
tetap hidup dalam keadaan yang semakin miskin. Bukan itu saja, dari petani bebas berbahagia mereka mulai
berubah jadi kuli-kuli bekas tamunya.
Ketika pengeboran-pengeboran baru sedang giat-giatnya dilakukan di sekitar daerah hidup kami, aku dilahirkan.
Bapakku, si bocah berpatek dan berbubul dulu, kini bukan lagi kuli minyak. Ia jadi lurah. Dan perusahaan minyak
menjadi rakus akan tanah. Mereka takut saingan perusahaan-perusahaan minyak lainnya yang tumbuh seperti
cendawan di sekitar daerah hidup kami. Tanah-tanah yang dirampas mulai dibayar. Pesaing-pesaing itu takut saling
membongkar kejahatannya terhadap penduduk.
Desa kami rasa-rasanya telah kehabisan tanah untuk melepas ternak besar kami. Bila ada salah seekor ternak kami
lepas dan memasuki daerah perusahaan minyak, polisi minyak akan menangkapnya, menyitanya, dan pemiliknya
dicari untuk didenda, seratus kali penghasilan umum dalam sehari, alias ringgit.
Aku hanya hendak menceritakan, dalam pemerintahan Gubermen masih ada pemerintahan minyak, dua-duanya
harus dipatahkan oleh penduduk desa kami.
Sekarang ribuan orang dari daerah-daerah lain, segala bangsa, datang mencari penghidupan di Cepu. Dalam waktu
pendek Cepu, yang tadinya terdiri hanya atas tiga desa berbiak menjadi dua puluh tiga desa, menjadi kota yang
sibuk. Kejahatan dan kemesuman merajalela. Sipilis mulai merambat desa kami, dan meninggalkan orang-orang
cacat dan invalid sebagai beban desa.

Hampir-hampir terjadi pemberontakan lagi di kalangan petani. Mendadak beberapa orang di antara penduduk
desa di tangkapi dan tak kembali lagi untuk selama-lamanya. Mereka ditangkapi oleh polisi-polisi minyak.
Setelah itu rasa-rasanya keadaan takkan gelisah lagi. Seakan-akan kembalilah keamanan yang lama dalam segala
kekerdilannya. Baik Gubermen maupun perusahaan minyak tetap tak berbagi keuntungan dengan penduduk. Dan
pada kami tak ada ternak besar lagi. Peternakan desa pun telah tumpas semasa tanam-paksa.
Kalau aku seorang Ameri Srikat, Tuan-tuan pembaca yang terhormat, tahulah Tuan-tuan apa yang akan aku
perbuat: tarik pistol dan membela apa yang masih dapat dibela. Tapi aku hanya seorang bocah pribumi tanpa
sarana, tanpa pengetahuan tentang dunia. Bahkan di mana sesungguhnya desa tempat kelahiranku di tengahtengah dunia ini, aku tak tahu. Di mana tempat orang-orang yang memiskinkan kami aku tak tahu. Aku hanya
lulusan sekolah desa tiga tahun, dididik untuk jadi kuli minyak, bekerja untuk mereka yang telah merampas tanah
leluhurku. Dididik untuk tetap tidak berpengetahuan, dan mematuhi segala apa saja yang diperintahkan pada kami
oleh tuan-tuan kulit putih.
Ketika bapakku hendak meninggal, ia berpesan dengan sangat:
Mereka telah merampas semua dari kita. Jangan, Nak, jangan kau lebih lama jadi kulinya. Pergi kau ke Bandung.
Mengabdilah pada seorang yang mulia hati. Orang itu bernama Raden Mas Minke. Carilah orang itu. Lakukan
segala yang diperintahkan kepadamu, dan contohlah perbuatannya yang baik[183].
BAB V
PENUTUP
Setelah penulis mengemukakan argumentasi, motodologi, dan teori-teori seputar realisme sosialis
Pramoedya Ananta Toer yang tertuang dalam novel Tetralogi, maka Bab V ini penulis akan mengemukakan
beberapa kesimpulan yang menjadi intisari dari skripsi ini. Di samping itu penulis juga akan memberi kritik
dan saran.
A. Simpulan
Sebagai mana telah di uangkapkan dalam Bab I bahwa penulis merumuskan dua persoalan yang
menjadi titik sentral pembahasan, maka berikut ini adalah jawaban yang penulis gambarkan dalam
paragraph-paragraf berikut ini:
a) Aliran realisme sosialis adalah salah satu bentuk perjuangan untuk memenangkan sosialisme, sebab aliran
realisme sosialis berkecimpung di bidang seni. Seni lebih mudah diterima oleh masyarakat pada umumnya,
sehingga faham sosialisme lebih mudah diterima oleh masyarakat. Karena hal tersebut seni aliran realisme
sosialis tidak bisa lepas dari permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, dan membuat masyarakat
berpikir kritis dan juga melakukan gerakan untuk menentang kapitalis.

b) Realisme sosialis dalam pandangan Pram pada novel tetralogi, penggambaran terhadap karakter masyarakat
yang tertindas karena system kapitalis yang menjajah mereka (Belanda), serta bangkitnya kesadaran
masyarakat Indonesia untuk melawan system kapitalis tersebut dengan jalan mendirikan organisasiorganisasi. Penyadaran terhadap sistem kapitalis yang menindas bukan hanya dilakukan oleh organisasi
terhadap anggotanya tetapi juga dilakukan lewat media jurnalistik yang ternyata hal tersebut lebih dapat
menjangkau oleh semua elemen masayarakat yang ada.

B. Saran-saran
a) Dalam novel teralogi dapat di lihat dari dua sisi, yang pertama dari segi positifnya. Segi positif dari novel
teralogi 1) Novel tersebut berisikan tentang sejarah Indonesia. 2) Tokoh-tokoh yang ada dalam novel
tetralogi masyarakat biasa yang juga ikut memperjuangkan kemerdekaanya. 3) Yang menjadi tokoh sentral
novel tetralogi adalah seorang jurnalis pertama di Indonesia sehingga tulisan yang ada di dalam novel
tersebut di lihat dari kaca mata seorang jurnalis.
Segi negatif 1) Novel tetralogi masih rancau antara tokoh Tirtho Adhi Suryo dengan Pram, pengalaman
pribadi Pram sering kali masuk kedalam cerita novel tersebut. 2) novel tersebut lebih banyak menceritakan
kesedihan dan kekalahan, seakan novel tersebut pencerminan diri Pram.
b) Masih banyak hal yang terdapat dalam novel tetralogi belum diangkat penulis dalam skripsi ini. Oleh sebab
itu sehingga masih banyak kekurangan yang terjadi di sana-sini.
c) Bahwa penelitian ini masih belum sempurna, di perlukan kritik dan saran dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Ananta Toer, Pramoedya, Bumi Manausia, Cet 9 Yogyakarta: Hasta Mitra, 2002.
Ananta Toer, Pramoedya, Anak Semua Bangsa, Cet 6 Yogyakarta: Hasta Mitra, 2002.
Ananta Toer, Pramoedya, Jejak Langkah, Cet 4 Yogyakarta: Hasta Mitra, 2002.
Ananta Toer, Pramoedya, Rumah Kaca, Cet 4 Yogyakarta: Hasta Mitar, 2002.
Arikuntoa, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Cet 11, Jakarta Rineka: Cipta, 1998.
Asmara, Adhy, Analisa Ringan Kemelut Bumi Manusia, Cet I Yogyakarta: Nur Cahaya, 1981.
Akademisi Ilmu Sosial, Bacalah Bumi Manusia, Triyono Lukmantoro, Suara merdeka.18 Juli 2004.

Malaka, Tan, Madilog, Cet 1 Jakarta: Pusat Data Indikator, 1999.


Mills, C Wright, Kuam Marxis Ide-ide Dasar Dan Sejarah Perkembangan, terj, Imam Muttaqien, Cet 01, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003.
Mintz, Jeanne S, Muhammad, Marx, Marhaen akar sosialisme Indonesia, terj, Zulhilmiyasri, Cet 01, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002.
Rangkuti, Bahrum. Pramoedya dan Karya Seninya, Jakarta: Gunung Agung, 1963.
Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, terj. Sigit Jatmiko dkk, Cet. 01, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Supriyadi, Eko, Sosialisme Islam Pemikiran Ali Syariati, Cet 01, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Teeuw, A, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, Cet, 01, Jakarta: Pustaka jaya, 1997.

[1] Georg Lukacs, Realisme Sosialis Terj. Ibe Karyanto ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997),
hlm. 52.
[2] Suara Merdeka, 18 Juli 2004, hlm. 18.
[3] Ibid..
[4] Adhi Asmara, Analisa Ringan Kemelut Bumi Manusia ( Yogyakarta: CV Nur Cahya, 1981), hlm. 15.
[5] Pramoedya Ananta
Biasa,01November 2003, hlm. 27.

Toer,

Bincang-bincang

dengan

Pram, ON/OFF

Media

Orang

[6] Rudolf Mrazek Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Buru Cet ke 02, terj. Endi Haryono
( Yogyakarta: Cermin, 2000). hlm. 1
[7] Suara Merdeka, 18 Juli 2004, hlm. 18.
[8] Eka Kurniawan, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis Cet. Ke-2 (Yogyakarta:
Jendela, 2001), hlm 10.
[9] Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), hlm 77
[10] Ibid., hlm. 79.
[11] Anthony Brewer, Das Kapital Karl Marx, terj. Joebaar Ajoeb (Jakarta: Teplok Press, 1999), hlm,
07
[12] Ahmad Hambali Pandangan Pramoedya Pramoedya Ananta Toer tentang HumanismeJurusan
Aqidah Filsafat IAIN Sunan Kalijaga 1998

[13] Arif Sarwani Teori Pembebasan dalam Novel Gadis Pantai Jurusan Aqidah Filsafat IAIN Sunan
Kalijaga 2002
[14] A. Teeuw Op. Cit
[15] Bahrum Rangkuti, Pramoedya dan Karya Seninya ( Jakarta : Gunung Agung, 1963)
[16] Adhy Asmara, Analisa Ringan Kemelut Bumi Manusia, Cet I (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1981)
[17] Eka Kurniawan, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, Cet 02 (Yogyakarta: Jendela,
2001)
[18] Pramoedya Ananta Toer, Relisme Sosialis dan Sastra Indonesia Cet ke-01 ( Jakarta: Lentera, 2003)
hlm 16
[19] Ibidhlm. 18.
[20] Ibid.hlm. 28.
[21] Harold H. Titus dkk, Persoalan-persoalan Filsafat terj. M. Rasjidi
( Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hlm. 304
[22] Eko Supriyadi, Sosialisme Islam Pemikiran Ali Syariati Cet 01 ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),
hlm. 07.
[23] Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, terj. Soeheba Kramadibrata Cet 01
( Jakarta: UI-RESS, 1986), hlm. 119.
[24] Metode berasal dari bahasa Yunani methodos sambungan dari kata depan meta (ialah: menuju,
melalui, mengikuti, sesudah), dan kata benda hodos (ialah: jalan, perjalanan, cara, arah). Jadi
metode berarti: cara berfikir menurut sistem aturan tertentu. Anton Bekker, Metode-metode Filsafat,Cet. Ke2 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986),hlm 10.
[25] Tentang sumber data, Suharsimi Arikunto, mengklasifikasikan menjadi tiga dengan huruf
depan P singkatan dari: (1) Person, sumber data berupa orang (2) Place, sumber data berupa tempat (3)
Paper, sumber data berupa simbol. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,(Edisi
Revisi), Cet. Ke-II, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 114.
[26] Anton Bakker dan achmad charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Cet ke-5 (Yogyakarta:
Kanisius, 1996).,hlm. 71.
[27] Anton Bakker dan Achmad Charis Zubair, MetodologiOp.cit.,hlm. 69.
[28] Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, Op.cit.,hlm. 136.
[29] A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia Dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, Cet-1 (Jakarta:
Dunia Pustaka Jaya)., hlm. 4.
[30] Ibid..

[31] Ibid. hlm. 5.


[32] Ibid
[33] Wawasan,19 September 2004, hlm.16.
[34] Rudolf Mrazek, Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Buru ( Yogyakarta: Cermin, 2000), hlm. 4.
[35] A. Teeuw, Op. Cit. hlm. 15 .
[36] Suara Merdeka, 18 Juli 2004. hlm 23.
[37] A. Teeuw, Op. Cit. hlm 17.
[38] Ibid, hlm 18.
[39] Rudolf Mrazek, Op. Cit, hlm. 25.
[40] Adhy Asmara, Analisa Ringan Kemelut Bumi Manusia (Yogyakarta: Nur Cahya, 1981). hlm. 57.
[41] A Teeuw, Op. Cit. hlm. 22.
[42] Wawasan, 19 Maret 2004. hlm. 16.
[43] Ibid..
[44] Adhy Asmara, Op. Cit. hlm. 73.
[45] Ibid, hlm 81.
[46] A Teeuw, Op. Cit. hlm. 40.
[47] Rudolf Mrazek, Op. Cit. hlm. 25.
[48] Ibidhlm. 27.
[49] Linda Christanty, Arus Balik dalam Hidup Pramoedya Ananta Toer, ON/OOF, XI, September
2003, hlm. 23.
[50] A Teeuw, Op. Cit. hlm. 39.
[51] Astrid Reza Widjaja, Mengapung dalam Kebisuan, Op. Cit, hlm. 12.
[52] Bintang timur adalah koran yang terbit pada tahun 1960, rubriknya bernama Lentera yang
dipimpin oleh Pram.
[53] Rudolf Mrazak, Op. Cit, hlm. 69.
[54] Adhy Asmara, Op. Cit, hlm 93.
[55] Ibid., hlm. 97.
[56] A.Teeuw, Op Cit,hlm. 79.

[57] Adhy Asmara, Op Cit, hlm. 55.


[58] Ibid. hlm.133.
[59]Rudolf Mrazek, Op Cit, hlm. 63.
[60]Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini, Renungan Untuk Bangsanya, (Jakarta: Jambatan 1979), hlm.
130.
[61]Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, (Yogyakarta: Hastra Mitra 2002), hlm. 5.
[62] Rudolf Mrazek, Op Cit, hlm. 83.
[63]Ibid, hlm. 95
[64] Ibid,. hlm. 119.
[65] Adhy Asmara, Op Cit, hlm. 91.
[66] A Teeuw, Op Cit, hlm. 51.
[67] Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, (Yogyakarta: Hastra Mitra 2002), hlm.1.
[68] A Teeuw, Op Cit, hlm. 86.
[69]Adhy Asmara, Op Cit, hlm. 54.
[70]Ibid, hlm. 55.
[71] Adhy Asmara, Op Cit, hlm. 13.
[72] Ibid, hlm. 15.
[73] Ibid
[74] Eka Kurniawan, op. cit. hlm. 37.
[75] Adhy Asmara, Op Cit, hlm. 146.
[76] A. Teeuw, Op. Cit. hlm. 230.
[77] Ibid,. hlm. 232.
[78] Suara Merdeka, Op. Cit. hlm. 18.
[79] Pramoedya Ananta Toer, Op Cit, hlm. 405.
[80] Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, (Yogyakarta: Hasta Mitra 2002), hlm. 290.
[81]Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan sastra Indonesia (Jakarta: Lentera Dipantara,
2003), hlm., 15.
[82] Ibid, hlm 17.

[83] Ibid., hlm. 18.

[84] Ibid..hlm 57-58.


[85] Ibid..hlm 59.
[86] Ibidhlm. 18-19.
[87] Ibid..hlm. 29.

[88] Ibid.hlm 31.


[89] Ibidhlm. 31.
[90] Ibid..hlm 73 .
[91] Ibid.hlm 108-109.
[92] Ibidhlm. 111.
[93] Ibid..hlm. 152- 156
[94] Ibidhlm. 93.
[95] Ibid..hlm 157.
[96] Ibid.hlm. 15.
[97] Ibid.hlm. 27.
[98] Pramoedya Ananta Toer, Realisme sosialis dan sastra Indonesia (Jakarta: Lentera Dipantara,
2003)., hlm. 39.
[99] Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa ( Yogyakarta : Hasta Mitra, 2002), hlm. 209.
[100] Ibidhlm.130-131.
[101] Pramoedya Ananta Toer, op. cit.,hlm. 174.
[102] Ibid., hlm. 177.
[103] Pramoedya Ananta Toer,. Op. cit., hlm 209.
[104] Ibid, hlm. 208.
[105] Ibid., hlm. 302-303.
[106] Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah (Yogyakarta: hasta Mitra, 2002), Cet ke-4., hlm.79.

[107] Ibid., hlm. 178-179.


[108] Ibid., hlm. 215.
[109] Ibid., hlm. 38 .
[110] Ibid., hlm. 231.
[111] Ibid., hlm. 294.
[112] Ibid., hlm. 315.
[113] Ibid., hlm. 448.
[114] Ibd., hlm. 416.i
[115] Ibid., hlm. 423.
[116] Ibid., hlm. 400.
[117] Ibid., hlm. 400-401.
[118] Ibid., hlm. 404.
[119] Ibid., hlm. 407.
[120] Ibid., hlm. 483.
[121] Ibid., hlm. 405.
[122] Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca (Yogayakarta: Hasta Mitra, 2002),. hlm. 134.
[123] Ibid., hlm 146.
[124] Pramoedya Ananta Toer, op. cit. hlm. 77.
[125] Ibid., hlm. 175.
[126] Ibid., hlm. 245.
[127] Ibid., hlm. 291.
[128] Ibid., hlm. 226.
[129] Ibid,. hlm. 352-353.
[130] Ibid.hlm. 246-250.
[131] Georg Lukacs, Op. Cit. hlm. 12.
[132] Pramoedya Ananta Toer, Op. Cit. hlm. 103-104.
[133] Ibidhlm. 104.

[134] Ibidhlm. 105.


[135] Ibidhlm. 31-31.
[136] D.W. Fokkema dan Elrud Kunne-ibsch Teori sastra abad kedua puluh (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1998) hlm. 106.
[137] Eka kurniawan, Op. Cit. hlm. 55.
[138] Ibid.
[139] Ibe karyanto, Op. Cit. hlm. 59.
[140] Pramoedya Ananta toer, Op. Cit. hlm. 69.
[141] Ibid, hlm 40.
[142] Jeanne S. Mintz, Muhammad Marx, Marhaen Akar Sosialisme Indonesia, terj. Zulhilmiyasri
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hlm. 251-252.
[143] Georg Lukacs, Realisme sosialis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997)., hlm. XX.
[144] Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa ( Yogyakarta : Hasta Mitra, 2002), hlm. 209.
[145] Ibidhlm.130-131.
[146] Pramoedya Ananta Toer, op. cit.,hlm. 174.
[147] Ibid., hlm. 177.
[148] Pramoedya Ananta Toer,. Op. cit., hlm 209.
[149] Ibid, hlm. 208.
[150] Ibid., hlm. 302-303.
[151] Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah (Yogyakarta: hasta Mitra, 2002), Cet ke-4., hlm.79.
[152] Ibid., hlm. 178-179.
[153] Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, ( Jakarta : Lentara
Dipantara;2003),
[154] Ibid., hlm. 215.
[155] Ibid., hlm. 38 .
[156] Ibid., hlm. 231.
[157] Ibid., hlm. 294.
[158] Ibid., hlm. 315.

[159] Ibid., hlm. 448.


[160] Ibd., hlm. 416.i
[161] Ibid., hlm. 423.
[162] Ibid., hlm. 400.
[163] Ibid., hlm. 400-401.
[164] Ibid., hlm. 404.
[165] Ibid., hlm. 407.
[166] Ibid., hlm. 483.
[167] Ibid., hlm. 405.
[168] Jeanne S. Mintz, Op, Cit. hlm. 56.
[169] Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca (Yogayakarta: Hasta Mitra, 2002),. hlm. 134.
[170] Ibid., hlm 146.
[171] Pramoedya Ananta Toer, op. cit. hlm. 77.
[172] Jeanne S. Mintz, Op. Cit. hlm. 30.
[173] Ibid., hlm. 175.
[174] Pramoedya Ananta Toer, Op. Cit. hlm. 96.
[175] Ibid., hlm. 245.
[176] Jeanne S. Mintz, Op. Cit,. hlm. 56.
[177] Ibid., hlm. 291.
[178] Ibid,hlm. 184.
[179] Pramoedya Ananta Toer, Op, Cit. hlm 57.
[180] Ibid., hlm. 226.
[181] D.W. Fokkema dan Elrud Kunne-Ibsch, Op. Cit. hlm. 123.
[182] Ibid,. hlm. 352-353.
[183] Ibid.hlm. 246-250.
www.seowaps.com

Judul Skripsi Realisme Sosialis Pramoedya Ananta Toe (Telaah Dalam Novel Tetralogi)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia pada saat ini, masih dalam masa perkembangannya. Terutama dalam hal ekonomi, setelah
kemarin sempat dihantam oleh krisis moneter, yang melahirkan krisis multidemensi. Meski bangsa Indonesia telah
berjuang untuk bangkit dan ketika bangsa lain yang mengalami krisis yang sama sudah mulai dapat bangkit, namun
sungguh sayang sampai detik ini bangsa Indonesia masih harus berjuang untuk mencapai hal tersebut.
Tetapi krisis tersebut tidak menimpa setiap warga Indonesia. Karena banyak juga orang yang secara ekonomi
masih sangat mapan, dalam artian dia masih bisa menikmati ekonomi yang berkecukupan. Mereka masih hidup
bergelimang harta, tetapi di lain pihak lebih banyak rakyat yang merasa sangat kesulitan secara ekonomi.
Kesenjangan ekonomi jelas terlihat di negeri ini, yang kaya bisa hidup laksana di surga, namun yang miskin
hidup dengan penuh kesengsaraan. Karena perbedaan hidup antara orang kaya dengan orang miskin dapat
melahirkan ketidak adilan dari segi ekonomi antara orang kaya dan orang miskin. Orang kaya bisa mengupah buruh
dengan rendah, sehingga buruh tersebut tidak mampu membeli barang yang dibuatnya dan bila buruh meminta
kenaikan gaji meski hanya 500 rupiah ancamannya adalah PHK. Dari kesenjangan tersebut banyak masyarakat yang
melakukan segala macam cara untuk mencari kekayaan. Moral sudah tidak lagi dipakai untuk mendapatkan harta,
selagi masih ada kesempatan maka dengan segera meraihnya. Entah itu melanggar hak asasi manusia ataupun tidak.
Kesenjangan ekonomi tersebut tercipta karena sistem yang lebih memihak pada pemilik modal, sedang kaum
lemah atau miskin kurang mendapat akses untuk merubah ekonominya. Dalam hal ini kajian realisme sosialis
banyak memotret tentang perbedaan tersebut. Novel Tetralogi sebagai sebuah aliran realisme sosialis sangat menarik
untuk dikaji lebih mendalam.
Terutama ketika aliran tersebut telah menjadi sebuah novel, pertentangan antara masyarakat miskin dengan
pemilik modal sangat terlihat. Sehingga pembaca tidak pernah bosan untuk terus mengikuti alur yang ada dalam
cerita, sebab permasalahan yang diangkat dalam novel aliran realisme sosialis tidak jauh berbeda dengan kenyataan
yang dihadapi sehari-hari. Tidak sebagaimana sinetron-sinetron di layar kaca, yang lebih sering menampilkan
kekayaan padahal masih banyak masyarakat kita yang hidup di bawah garis kemiskinan, aliran realisme sosialis
dalam novelnya sama sekali tidak menceritakan hal-hal yang menjual mimpi. Aliran realisme sosialis dalam
novelnya lebih sering menampilkan keadaan yang sebenarnya.

Keadaan masyarakat yang tertindas oleh pemilik modal, atau para petani yang terampas tanahnya sehingga
petani tersebut harus menjadi buruh. Tugas aliran tersebut tidak saja berhenti sampai di sana, aliran realisme sosialis
juga punya tugas yang tidak ringan, yaitu membangun kesadaran terhadap penindasan yang menimpa masyarakat.
Realisme sosialis juga berupaya untuk mengajak masyarakat yang tertindas untuk melawan terhadap sistem
borjuis tersebut.
Sebagai mana pendapat salah satu tokoh yaitu Maxim Gorki, sebagai mana yang di catat oleh Lukacs, karya
sastra yang sejati adalah karya sastra yang populer, karena sastra yang sejati akan mampu membuka jalan bagi
manusia untuk berkembang menjadi manusia yang benar. Dengan demikian misi utama karya sastra adalah
mengugah kesadaran manusia.[1]
Hal tersebut juga dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer, sebagai pengarang yang menganut faham aliran
realisme sosialis, Pramoedya Ananta Toer juga menuliskan pertentangan antara orang miskin dengan orang kaya.
Daya tarik novel Pramoedya Ananta Toer karena pertentangan tersebut juga dirangkai dengan pergolakan masa
pergantian zaman, yaitu masa revolusi kemerdekaan. Sehingga semangat perlawanan terhadap segala hal yang
menjajah dapat dibaca secara jelas.
Dari segi penokohan, nampaknya Pramoedya Ananta Toer juga cukup selektif. Pramoedya Ananta Toer tidak
terlalu banyak meramaikan karyanya dengan nama-nama yang tidak perlu. Pramoedya Ananta Toer hanya
membatasi nama Minke, keluarga dan orang di sekelilingnya. Yang lebih menarik novel karya Pramoedya Ananta
Toer (selanjutnya akan di tulis Pram) ini juga menulis sejarah lahirnya organisasi-organisasi diIndonesia .
Karakteristik Pram dalam mendiskripsikan situasi psikologis dan sosiologis tokoh-tokohnya sedemikian
memikat. Dengan sudut pandang orang pertama (aku), misalnya saja, Pram memperkenalkan sang tokoh utama,
seperti ini:
Orang memanggil aku: Minkejelas nama yang sangat aneh, tidak lazim. Kalau ini nama ningrat Jawa, lalu
artinya apa? Sebab, nama-nama ningrat Jawa sendiri selalu mempunyai arti[2].
Ternyata, nama Minke diberikan ketika dia sekolah di ELS. Saat itu, ada seorang gadis bernama Vera yang
mencubit pahanya sebagai tanda perkenalan. Karena tidak mampu menahan sakit, Minke pun menjerit kesakitan,
gurunya Meneer Ben Rooseboom membentak melotot: Diam kau, monk!. Saat itu, Minke merupakan satusatunya murid pribumi, sedangkan guru dan teman-temanya jelas adalah bangsa Eropa (Belanda Totok). Karena itu,
Minke sebenarnya merupakan sebutan yang merendahkan terhadap golongan pribumi, untuk menunjukkan sebagai
monyet (monkey)[3].
Pelajaran sejarah yang ada sudah sering menuliskan nama-nama pahlawan nasional yang sudah terkenal,
seperti Pangeran Diponegoro, Cut Nya Dien, dan masih banyak lagi. Tetapi di dalam novel tetralogi tersebut sama
sekali tidak di sebutkan nama para pahlawan nasional, justru dalam novel yang terdiri dari empat jilid yaitu, Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan yang terakhir Rumah kaca, menggambarkan tentang perjuangan
orang-orang kelas bawah dan tokoh yang diberi nama Minke sebenarnya adalah tokoh jurnalis pertama di Indonesia
yaitu Tirto Adhi Suryo.
Makna yang lebih penting dari novel tetralogi ini adalah, bentuk roman sejarah mengarahkan pembaca tidak
hanya untuk interprestasi karya sastra, monel teralogi juga mengantarkan kepada makna sejarah yang terjadi pada
saat itu. Pengarang berusaha melakukan apa yang diharapkan dari sejarawan yang baik, yang juga harus berusaha
memperlihatkan kaitan dan hubungan antara segala macam kejadian dan data yang dikumpulkannya serta
memunculkan gambaran total. Pembaca dibuat tergoda untuk menganalisis setiap kejadian, agar tidak hanya
memihak partai secara literer, melainkan juga politik Indonesia lewat tokoh Raden Mas Tirtho Adhi Suryo.
Para tokoh yang dihadirkan Pram dalam novel empat jilid tersebut yang di beri nama tetralogi, sama sekali
tokoh yang ada tidak ada dalam pelajaran yang ada di sekolah. Sebab Pram merasa bahwa pengajaran sekolah tidak
mencukupi untuk membudayakan kecintaan bangsa pada sejarah pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan

nasional, dan tanpa adanya kecintaan ini Pram beranggapan bahwa semua ucapan tentang patriotisme, kecintaan
pada tanah air dan bangsa, baik melalui pembicaraan, pidato, nyanyian atau pun deklamasi ini tinggal slogan tanpa
isi, tidak edukatif dan tidak jujur[4].
Faham realisme sosialis telah mengilhami Pram yang sering kali melahirkan pemikiran yang kritis terhadap
apa yang sedang terjadi saat itu. Semangat terhadap perlawanan sistem kolonialisme dapat dirasakan dalam karyakarya Pram. Karena dalam novel Pram, bukan hanya sekedar tulisan fiksi semata. Namun karya-karya Pram juga
lahir berdasarkan realitas yang ada. Sebab menurut Pram penulis hidup di tengah-tengah masyarakatnya, yang di
maksud dengan masyarakatnya adalah orang yang secara ekonomi terindas dan mereka memerlukan dorongan
semangat untuk melakukan perubahan ekonomi. Masyarakat memberi materi-materi kepada penulis. Penulis yang
berhasil, diharap memberikan pengaruhnya pada kondisi dan kehidupan sosial. Itu hubungan timbal-balik. Jadi kalau
ada pengarang yang hanya berdasarkan fantasi, itu namanya setengah gila.[5]
Hal yang menarik novel tetralogi tersebut dibuat saat Pram berada di balik terali besi, Pram di penjara di
Pulau Buru. Pulau Buru terletak sekitar 1.500 kilo meter ke arah timur dari Nusa Kambangan [6]. Karya novel
tetralogi justru karya yang paling monumental atau menjadi karya puncak dari sebuah penulisan yang dilakukan
oleh Pram.
Tetralogi juga menjadi karangan Pram, yang menjadi polemik dan bahan pembicaraan, karena secara politis,
novel ini menjadi begitu istimewa dan fenomenal. Novel Tetralogi menurut Pram ditulis secara lisan pada tahun
1973, karena ditulis dalam penjara di Pulau Buru dan kemudian ditulis secara sistematis sebagai cerita utuh pada
1975. Keempat buku tersebut; Bumi Manusia, kemudian Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, serta Rumah Kaca
dilarang penerbitannya oleh oleh rezim Orde Baru semenjak 1981 yang ironisnya, larangan yang dikeluarkan pihak
Kejaksaan Agung itu sampai sekarang belum pernah dicabut seperti saat ini[7].
Novel tetralogi banyak sekali mendapatkan piagam penghargaan terutama dari luar negeri, sebab di dalam
negeri Pram sendiri masih di cap sebagai agen pemberontak atas keterlibatannya dalam Lekra. Lembaga Kesenian
Rakyat sebagai wadah kesenian PKI Maka secara otomatis ketika PKI dinyatakan sebagai partai terlarang dan semua
anggotanya di penjara ataupun dibunuh, maka Lekrapun secara otomatis juga dibubarkan dan dinyatakan sebagai
organisasi kesenian yang terlarang, dan semua anggotanya juga dipenjara atau dibunuh.
Pram sendiri menggambarkan, bahwa masuknya Pram sebagai anggota Lekra tidaklah sebagaimana yang
digambarkan orang, Pram masuk Lekra secara sukarela. Menurut Pram ia tidak pernah bergabung dengan Lekra
mulai dari bawah, melainkan diundang dan kemudian menjadi anggota. Inilah yang dianggap Pram sebagai
kesulitannya, ia menganggap dirinya diambil begitu saja oleh Lekra. Padahal banyak orang lama Lekra yang tidak
suka akan diri Pram[8].
Jika dihubungkan dengan realitas yang ada, novel Pram sangat menampilkan kenyataan yang dialami oleh
masyarakat terutama kelas bawah, penderitaan-penderitaan mereka tanpa malu-malu ditampilkan secara jelas. Hal
tersebut tidak lepas dari aliran yang dianutnya yaitu realisme sosialis sebab paham realisme sosialis berasal dari
sosialisme Marx konsep tentang manusia. Oleh karenanya, jelaslah bahwa, menurut konsep tentang manusia ini,
sosialisme bukan sebuah masyarakat yang tersusun atas individu-individu yang diatur dan secara otomatis
mengabaikan apakah mereka memiliki pendapatan yang cukup atau tidak. Sosialisme bukanlah masyarakat dimana
individu tersubordinasikan oleh negara[9]. Pemerataan ekonomi masyarakat di bawah tanggung jawab negara,
sehingga tidak terjadi ketimpangan ekonomi.
Marx menjelaskan seluruh elemen pokok sosialisme. Manusia berproduksi dengan cara bekerja sama, bukan
berkompetisi, yang berarti bahwa dia berproduksi secara rasional tanpa teralienasi, dan dia berproduksi di bawah
kendalinya sendiri[10].
Teori di atas saat ini sedang di terapkan di Cina, sebagai negara penganut faham komunis teori tersebut
ternyata sungguh mampu mengatasi persaingan global yang sekarang sedang terjadi. Seperti di Cina teknologi

elektronik, itu menjadi home industri, semisal dalam hal industri kendaraan, satu desa membuat rangka kendaraan
saja, desa lainnya membuat ban dan desa yang lainnya membuat bahan yang diperlukan untuk membuat alat
transportasi. Setelah itu masyarakat menyetorkan hasil buatannya kepada pabrik yang di kelola oleh pemerintah,
bagian pemasaranpun dilakukan oleh pemerintah. Sebagai mana yang terjadi sekarang, Indonesia kebanjiran produk
motor dari Cina yang harganya jauh lebih murah.
Pada awal tahun 1840, istilah sosialis dan komunis tidak punya arti yang jelas. Kini sosialisme berarti,
bertentangan dengan kapitalisme. Konsep tentang kapitalisme sebagai suatu bentuk masyarakat yang mapan,
tidak ada, sampai Marx menemukannya. Dalam bukunya Das kapital, Marx mengurai tema-tema buku tersebut yaitu
hubungan antara kapitalis dengan upah kerja atau kerja upahan, hubungan antara kapitalis dengan pekerja[11].
Dalam realitas masih banyak buruh yang tidak mendapat gaji yang memadai, para buruh tersebut hidup di
bawah garis kemiskinan. Meski pemerintah sudah mengaturnya dalam peraturan daerah, tetapi kenyataannya masih
banyak gaji buruh yang tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup. Apalagi untuk menjaga kesehatan yang sangat
mahal, tentu saja kaum buruh kesulitan. Banyak juga kasus para buruh yang tidak dibayar gajinya dengan alasan
perusahaannya gulung tikar.
Adapun hubungan skripsi yang akan diangkat oleh penulis dengan jurusan Aqidah Filsafat adalah, skripsi
tersebut akan membahas masalah novel tetralogi dengan memakai pisau analisis realisme sosialis. Realisme sosialis
tersebut adalah salah satu aliran dalam filsafat, sesuai dengan jurusan yang ditempuh oleh penulis. Sebab induk dari
realisme sosialis adalah sosialisme, yang di cetuskan oleh seorang filosof bernama Karl Marx.
B. Rumusan Masalah.
Dengan uraian panjang lebar pada latar belakang diatas, penulis sesungguhnya ingin merumuskan
permasalahan sebagai berikut, Bagaimana pandangan realisme sosialis Pramoedya Ananta Toer dalam novel
tetralogi?
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
Dari awal melakukan penelitian ini penulis merasa tertarik meneliti realisme sosialis yang terkandung dalam
novel Tetralogi, diharapkan nantinya mampu mengetahui apa yang dimaksud realisme sosialis dan mengetahui
bagaimana pandangan Pram tentang realisme sosialis dalam novel tetralogi.
Diharapkan dengan penelitian ini dapat memiliki kegunaan baik yang bersifat teoritis maupun praksis. Secara
teoritis, penelitian ini akan merupakan sumbangan yang cukup berharga bagi pengembangan ilmu pengetahuan,
terutama studi ilmu-ilmu sosial, khususnya filsafat sosial. Secara praksis, sebagai sebuah landasan teoritis, penelitian
ini tentunya diharapkan mampu memberi sumbangan yang berharga, yang kaitannya dalam upaya mewujudkan
tatanan masyarakat yang demokratis, terciptanya civil society, yang dapat menghargai perbedaan serta terbuka
terhadap kritik. Di samping itu juga untuk menambah wacana kepustakaan, khususnya tentang pemikiran Pram dan
umumnya terhadap studi ilmu-ilmu sosial.
Terakhir, yang tidak kalah pentingnya, bahwa penelitian ini juga memiliki kegunaan formal, yakni untuk
memenuhi sebagian persyaratan untuk meraih gelar kesarjanaan Strata satu (S-I) di bidang Filsafat Islam pada
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
D. Telaah Pustaka
Sepengetahuan penulis ada dua skripsi yang mengangkat tokoh Pramoedya Ananta Toer. Pertama yaitu skripsi
yang ditulis Ahmad Hambali yang berjudul Pandangan Pramoedya Ananta Toer tentang Humanisme[12]. Yang
kedua Arif Sarwani Teori pembebasan dalam novel gadis pantai[13]. Skripsi pertama mencoba menggambarakan
tentang sisi humanisme dalam sudut pandang Pramoedya Ananta Toer, sedang skripsi yang kedua menggambarkan
teori pembebasan dalam novel Gadis pantai karya Pramoedya Ananta Toer.

Sedangkan A.Teeuw, kritikus sastra dan pengamat sastra Indonesia modern berkembangsaan Belanda, dalam
bukunya yang berjudul Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer telah mengulas secara umum
karya Pram, kajian atau penelitian yang dilakukan oleh A. Teeuw lewat buku Citra Manusia Indonesia dalam Karya
Pramoedya Ananta Toer sebagai pengantar untuk karya-karya Pram atau lebih khusus lagi sebagai kritik sastra yang
bertujuan memberikan tanggung jawab pembacaan terhadap karya sastra Pramoedya[14].
Lewat buku tersebut, Teeuw melakukan pengkajian terhadap karya-karya sastra Pram dalam usahanya untuk
mencitrakan masing-masing tema yang terkandung dalam karya sastra Pramoedya. Dalam kajian itu, Teeuw lebih
menyoroti tema utama yang menjadi alur cerita dalam karya sastra Pram. Telaah yang dilakukan Teeuw lebih
berdasarkan pada kajian sastra dari pada telaah yang bersifat filosofi.
Karya lain yang bisa dikatakan sebagai kajian dari sudut sastra yang berupaya menelusuri kreativitas Pram
dan karya seninya adalah karya dari Bahrum Rangkuti, yang berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Karya Seninya.
Karya ini secara umum mencoba mengkaji beberapa karya Pramoedya yang dilihat dari segi gaya bahasa, struktur
kalimat dan teknik yang digunakan Pram dalam mengarang[15].
Karya lain lagi yang secara khusus mengupas dan menganalisis karya sastra Pramoedya adalah Analisa
Ringan Kemelut Roman Pulau Buru Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer. Buku ini secara khusus membicarakan
seputar kemelut pelarangan terbitnya roman Bumi Manusia di tahun 1980-an dan analisa ringan dari sejumlah
satrawan akan isi novel tersebut. Sebuah roman yang cukup bagus dan berbobot, bahkan dinominasikan untuk
mendapatkan hadiah nobel di bidang sastra[16].
Adapun karya ilmiah yang lain, adalah Eka Kurniawan yang diterbitkan dalam sebuah buku dengan
judul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, ini mencoba meneliti ideologi estetis (sastra) yang
dianut oleh Pramoedya[17]. Eka Kurniawan lebih menitik beratkan pada sejarah realisme sosialis yang
mempengaruhi pemikiran Pramoedya Ananta Toer, sedangkan dalam skripsi ini realisme sosialis dijadikan pisau
analisis untuk membedah novel tetralogi.
E. Kerangka Teori
Dalam kajian realisme sosialis menggambarkan pertentangan antara klas proletar dan juga klas
borjuasi menjadi sebuah masalah yang senantiasa diakui, dan masalah realisme sosialis itu lahir dari sebuah realitas
yang ada pada masyarakat. Meski dalam novel Tetralogi berlatar belakang awal abad 20 dan akhir abad 19,
pertentangan antara kelas borjuasi dengan proletar itu sampai sekarang masih terjadi.
Istilah ini digunakan pertama kali pada tahun 1905 di Uni Soviet. Realisme sosialis muncul dalam sebuah
artikel anonim, yang berjudul Notes on Philistinisme. Dalam tulisan tersebut yamg disebarluaskan untuk menentang
pemerintah berhubungan dengan peristiwa Minggu Berdarah pada tanggal 22 Januari 1905, Gorki kemudian
ditangkap tetapi tidak lama kemudian dilepas karena membanjirnya protes-protes internasinoal atas
penangkapannya.[18]
Realisme sosialis, seperti nampak pada namanya, adalah istilah yang terdiri atas dua kata yang di
majemukkan. Realisme sebagai istilah kesenian dan sastra pada umumnya bukanlah realisme sebagaimana dikenal
oleh dunia Barat selama ini, tetapi realisme sesuai dengan istilahnya menurut tafsiran sosialis. Realisme sosialis
sesuai dengan istilahnya dengan sendirinya bukan realisme Barat. Pembedaan ini perlu karena antara kedua realisme
ini bukan hanya terdapat perbedaan tafsiran, tetapi yang lebih penting untuk diketahui adalah adanya perbedaan
dalam perkembangannya[19].
Istilah ini baru diumumkan pada tahun 1934 di hadapan Kongres I satrawan Soviet di Moskwa, melalui
ucapan Andrei Zidanov:

Dalam pada itu kenyatan dan watak historik yang konkret dari lukisan artistik mesti dihubungkan dengan
tugas pembentukan ideologis dan pendidikan pekerja-pekerja dalam semangat sosialisme. Metode kerja sastra dan
kritik sastra ini kita namakan metode realisme sosialis[20]
Sesui dengan teori materialisme dialektika Karl Marx, tindakan adalah yang pertama dan fikiran adalah yang
kedua. Aliran ini berpendapat bahwa tidak terdapat pengetahuan yang hanya merupakan pemikiran tentang alam,
pengetahuan selalu dikaitkan dengan tindakan. Pada zaman dahulu, menurut Karl Marx, para filosof telah
menjelaskan alam dengan cara yang berbeda-beda. Kewajiban manusia sekarang adalah untuk mengubah dunia, dan
ini adalah tugas misi yang bersejarah dari kaum komunis[21].
Secara historis sosialisme mempunyai gagasan yang menuntut adanya pemerintahan yang lebih baik dan
berusaha membuktikan kepada kelompok kaya dan pemilik modal bahwa eksploitasi itu tidak bermoral. Sosialisme
pada awalnya adalah sebuah reaksi minoritas terhadap pelaksanaan etika kapitalis dan pengembangan masyarakat
industri[22].
Sosialisme merupakan produk dari perubahan-perubahan sosial yang mengubah masyarakat-masyarakat
Eropa di akhir abad kedelapan belas dan kesembilan belas. Inti dari sosialisme bukanlah semata-mata bahwa
produksi itu harus dipusatkan di tangan negara itu harus seluruhnya merupakan peran ekonomi, di dalam masyarakat
sosialis, pengelolaan atau tata pelaksanaan ekonomi harus menjadi tugas dasar negara[23].

1.

F. Metode Penelitian
Setiap penelitian pasti menggunakan metode[24], agar memudahkan sebuah penelitian yang akan dilakukan
oleh penulis, untuk memfokuskan kajian dalam penelitian tersebut.
Jenis Penelitian

3.

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) oleh karena itu, pengumpulan datanya
dilakukan dengan menggunakan teknik dokumentasi.
Ada dua sumber data yang digunakan dalam tulisan ini Primer dan Sekunder. Yang di jadikan data Primer
dari penelitian ini adalah novel Tretalogi yang ditulis oleh Pram, sedangkan data Sekundernya adalah berbagai
sumber yang berhubungan dengan persoalan yang akan diteliti.dan juga tulisan-tulisan yang relevan dengan pokok
permasalahan [25].
Sifat penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriptif: yaitu Peneliti menguraikan secara teratur seluruh konsep buku[26]. Di sini
peneliti menulis dengan berurutan tentang realisme sosialis yang terkandung di dalam buku tersebut.
Pengumpulan Data-data.

4.

Teknik yang digunakan untuk penelitian ini adalah dokumentatif, yaitu dengan mengumpulkan data primer
yang diambil dari buku-buku yang secara langsung berbicara tentang permasalahan yang akan diteliti dan juga dari
data sekunder yang secara tidak langsung membicarakan masalah yang akan diteliti, namun masih relevan untuk
dikutip sebagai pembanding.
Adapun prosesnya adalah melalui penelaahan kepustakaan yang telah diseleksi agar sesuai dengan
kategorisasinya dan berdasarkan content analisys (analisis isi). Kemudian data tersebut di sajikan secara
deskripsiptif.
Analisis Data.

2.

Metode yang dipakai dalam menganalisa data agar diperoleh data yang memadai adalah dengan
menggunakan analisa data kwalitatif, dalam operasionalnya data yang diperoleh digeneralisir, diklasifikasikan
kemudian dianalisis dengan menggunakan penalaran induktif dan deduktif[27]. Deduktif merupakan penalaran yang
berangkat dari data yang umum ke data yang khusus. Aplikasi dari metode tersebut dalam penelitian ini adalah

bertitik tolak dari gagasan tentang realisme sosialis dalam novel tretalogi Pram. Sementara induktif adalah penalaran
dari data yang khusus dan memiliki kesamaan sehingga dapat di generalisirkan menjadi kesimpulan umum.
Untuk memperoleh suatu hasil penelitian yang valid secara ilmiah dalam sebuah penulisan karya ilmiah,
tentu saja di perlukan metode sebagai sarana untuk memperoleh akurasi data yang dapat di pertanggung jawabkan
secara akademis serta menghasilkan karya ilmiah yang sistematis. Demikian pula dengan penelitian ini. Adapun
metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain ;
1.
Deskriptif
Yaitu metode dengan memaparkan isi naskah. Pemaparan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi detaildetail dari suatu peristiwa atau pemikiran tokoh (deduktif)[28]. Juga dipakai corak induktif yakni dengan
menganalisis keterkaitan semua bagian dan semua konsep pokok satu persatu. Disini akan diuraikan secara teratur
aspek realisme sosialis dalam karya Pram.
2.
Interpretasi.
Metode interprestasi yaitu metode untuk menyelami data yang terkumpul untuk kemudian menangkap arti
dan nuansa yang dimaksud tokoh secara khusus. Di sini akan diselami arti, makna dan konsep realisme sosialis yang
terkandung dalam karya Pram.
3.
Kesinambungan Historis.
Metode ini dipakai untuk melihat beberapa faktor yang mengkonstruksi pemikiran sang tokoh (Pramoedya).
Faktor tersebut bisa bersifat internal yang menyangkut latar belakang tokoh dan eksternal yang menyangkut
pengalaman dan konteks zaman sang tokoh ketika membuat karya novel tetralogi. Termasuk di sini adalah konteks
jaman dan tokoh dalam novel tersebut.
G. Sistematika Pembahasan.
Bagian ini menguraikan garis besar (out line) dari skripsi ini dalam bentuk bab-bab yang secara sistematis
saling berhubungan. Sehingga ditemukan jawaban atas persoalan yang diajukan dalam penelitian ini. Penulisan
skripsi ini disusun dalam lima bab yang terdiri dalam beberapa sub bab keempat bab ini disusun dengan sistematika
sebagai berikut.
Bab pertama, adalah Pendahuluan yang akan memberi gambaran skripsi ini secara keseluruhan. Dalam bab
ini berisikan uraian singkat mengenai Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Telaah
Pustaka, Metode Penelitian, Kerangka Teori dan Sistematika Pembahasan.
Bab kedua, adalah sebuah upaya mengenal kehidupan dan kreatifitas Pram. Hal ini dilakukan sebagai satu
upaya penelusuran atas latar belakang keluarga, pendidikan dan hubungannya dengan proses kreatifitas Pram dalam
penulisan karyanya. Disamping itu juga di selidiki peran-perannya dalam masyarakat yang dianggap sangat
mempengaruhi karya-karyanya.
Bab ketiga yang berisikan pembahasan menjelaskan tentang realisme Sosialis dalam pandangan Pram, dan
sekelumit cerita yang mengandumg unsur Realisme sosialis dalam novel Tetralogi. Tidak kalah penting,
kesinambungan novel tersebut dengan keadaan masyarakat yang terjadi pada saat ini.
Bab keempat merupakan inti dari skripsi yaitu analisis realisme sosialis yang terkandung dalam novel
Tetralogi.
Bab lima ini akan di berikan sebuah kesimpulan akhir sebagai jawaban dari rumusan masalah yang diajukan
dalam skripsi ini dan disertakan pula saran-saran sebagai masukan lebih lanjut setelah dilakukan penelitian.

[1] Georg Lukacs, Realisme Sosialis Terj. Ibe Karyanto ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm.
52.
[2] Suara Merdeka, 18 Juli 2004, hlm. 18.
[3] Ibid..
[4] Adhi Asmara, Analisa Ringan Kemelut Bumi Manusia ( Yogyakarta: CV Nur Cahya, 1981), hlm. 15.
[5] Pramoedya Ananta Toer, Bincang-bincang dengan Pram, ON/OFF Media Orang Biasa,
01November 2003, hlm. 27.
[6] Rudolf Mrazek Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Buru Cet ke 02, terj. Endi Haryono
( Yogyakarta: Cermin, 2000). hlm. 1
[7] Suara Merdeka, 18 Juli 2004, hlm. 18.
[8] Eka Kurniawan, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis Cet. Ke-2 (Yogyakarta:
Jendela, 2001), hlm 10.
[9] Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), hlm 77
[10] Ibid., hlm. 79.
[11] Anthony Brewer, Das Kapital Karl Marx, terj. Joebaar Ajoeb (Jakarta: Teplok Press, 1999), hlm, 07
[12] Ahmad Hambali Pandangan Pramoedya Pramoedya Ananta Toer tentang Humanisme Jurusan
Aqidah Filsafat IAIN Sunan Kalijaga 1998
[13] Arif Sarwani Teori Pembebasan dalam Novel Gadis Pantai Jurusan Aqidah Filsafat IAIN Sunan
Kalijaga 2002
[14] A. Teeuw Op. Cit
[15] Bahrum Rangkuti, Pramoedya dan Karya Seninya ( Jakarta : Gunung Agung, 1963)
[16] Adhy Asmara, Analisa Ringan Kemelut Bumi Manusia, Cet I (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1981)
[17] Eka Kurniawan, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, Cet 02 (Yogyakarta: Jendela,
2001)
[18] Pramoedya Ananta Toer, Relisme Sosialis dan Sastra Indonesia Cet ke-01 (Jakarta: Lentera, 2003)
hlm 16
[19] Ibidhlm. 18.
[20] Ibid.hlm. 28.
[21] Harold H. Titus dkk, Persoalan-persoalan Filsafat terj. M. Rasjidi
( Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hlm. 304
[22] Eko Supriyadi, Sosialisme Islam Pemikiran Ali Syariati Cet 01 ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),
hlm. 07.
[23] Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, terj. Soeheba Kramadibrata Cet 01
( Jakarta: UI-RESS, 1986), hlm. 119.
[24] Metode berasal dari bahasa Yunani methodos sambungan dari kata depan meta (ialah: menuju,
melalui, mengikuti, sesudah), dan kata benda hodos (ialah: jalan, perjalanan, cara, arah). Jadi
metode berarti: cara berfikir menurut sistem aturan tertentu. Anton Bekker, Metode-metode Filsafat, Cet. Ke-2
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986),hlm 10.
[25] Tentang sumber data, Suharsimi Arikunto, mengklasifikasikan menjadi tiga dengan huruf depan P
singkatan dari: (1) Person, sumber data berupa orang (2) Place, sumber data berupa tempat (3) Paper, sumber
data berupa simbol. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Edisi Revisi), Cet. Ke-II,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 114.

[26] Anton Bakker dan achmad charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Cet ke-5 (Yogyakarta:
Kanisius, 1996).,hlm. 71.
[27] Anton Bakker dan Achmad Charis Zubair, MetodologiOp.cit.,hlm. 69.
[28] Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, Op.cit.,hlm. 136.

Anda mungkin juga menyukai