Anda di halaman 1dari 16

Kinetika Reaksi pada Industri dan Alam

Tugas Teknik Reaksi Kimia

Oleh :
Ahmad Tribizi

1406568305

Felix Oktavianto

1406568652

Handrianto Wijaya

1406568154

Ricky

1406570934

Taqi Aufa

1406572435

Departemen Teknik Kimia


Fakultas Teknik Universitas Indonesia
Depok, September 2016

A. Buat review tentang aplikasi kinetika kimia di bidang industri kimia

Kinetika Reaksi Transesterifikasi Minyak Sawit Menjadi Biodiesel pada Sistem Reaktor
Tumpak (Batch)
Biodiesel merupakan alternatif bahan bakar yang dapat diperbaharui, biodiesel merupakan
senyawa metil ester turunan dari minyak yang bersumber dari tanaman. Nilai oktan, kandungan
energy, viskositas, dan sifat fasa yang sama dengan bahan bakar diesel dari minyak bumi.
Biodiesel diproduksi melalui proses transesterifikasi dari gugus trigliserida (TG) yang besar dan
bercabang menjadi molekul metil ester yang lebih kecil dan berantai lurus, proses transesterifikasi
ini menggunakan katalis berupa alkali atau asam.
Reaksi transesterifikasi berlangsung dalam 3 langkah berurutan dengan pembentukan
intermediet berupa digliserida (DG), dan monogliserida (MG) yang menghasilkan 3 mol metil
ester (ME) dan 1 mol gliserol (GL). Reaksi yang berlangsung adalah sebagai berikut:
Reaksi keseluruhan:
Trigliserida + 3ROH

katalis

3RCOOR + 3Gliserol

Reaksi berurutan:
k1

(1) Trigliserida + ROH


(2) Digliserida + ROH

k4
k2

Digliserida + RCOOR
Monogliserida + RCOOR

k5
k3

(3) Monogliserida + ROH

k6

Gliserol + RCOOR

Katalis yang umum digunakan dalam proses transesterifikasi adalah NaOH, KOH, atau
sodium methoxide. KOH merupakan yang paling menguntungkan untuk digunakan, pada akhir
reaksi campuran dapat dinetralkan dengan asam fosfat yang menghasilkan potassium fosfat yang
dapat digunakan sebagai pupuk.
Analisis kinetika reaksi dalam proses transesterifikasi merupakan hal yang penting untuk
mendapatkan parameter yang dapat digunakan untuk memprediksi kelanjutan reaksi untuk setiap
waktu pada kondisi tertentu.
Prosedur Eksperimen:
Eksperimen dilakukan dengan melakukan reaksi transesterifikasi dengan kondisi
menyerupai kondisi pada industri. Reaksi transesterifikasi dilakukan dalam reaktor dilengkapi
dengan reflux condenser, thermometer, port sampling. Reaktor ditempatkan pada water bath
dengan pengatur temperatur. Setiap selang waktu yang tetap, sampel diambil dari reaktor yang

kemudian dianalisis. Analisis dilakukan untuk mengecek kandungan trigliserida, digliserida,


monogliserida, metil ester total, dan gliserol pada setiap sampel yang diambil pada waktu yang
berbeda. Pengambilan sampel dilakukan untuk berbagai kondisi reaksi dengan mengubah variabelvariabel yang mempengaruhinya
Pengaruh Suhu terhadap Laju Reaksi:
Temperatur minimum untuk reaksi ini dapat berlangsung adalah sebesar 50oC. Pada suhu
di bawah 50oC viskositas dari minyak yang tinggi menimbulkan masalah untuk memompa minyak
dan pengadukan. Temperatur penyimpanan dari minyak sawit sekitar 55oC untuk menjaga
liquidity. Temperatur maksimum yang dipelajari adalah 70oC. Temperatur memiliki efek yang
kecil namun masih dapat diamati dalam reaksi transesterifikasi ini

Gambar 1. Perbedaan laju reaksi pada variasi temperatur dengan katalis sodium methoxide

Gambar 2. Perbedaan laju reaksi pada variasi temperatur dengan katalis sodium hidroksida
Pada penggunaan katalis sodium methoxide (NaOMe), pada waktu reaksi di bawah 5
menit konversi ester meningkat ketika temperatur ditingkatkan dari 50oC menjadi 60oC atau
70oC. Namun laju reaksi tidak terlalu banyak berubah ketika temperatur ditingkatkan dari 60oC
menjadi 70oC. Dapat disimpulkan bahwa peningkatan temperatur reaksi ke 70oC tidak efisien
karena sebanding dengan temperatur 60oC.
Pada penggunaan katalis NaOH, pengaruh temperatur lebih signifikan. Konversi ester
99% tercapai hanya dalam waktu 5 menit pada temperatur 70oC. Untuk reaksi yang berlangsung
pada temperatur 50oC dan 60oC konversi ester tertinggi yang dapat dicapai adalah sebesar 98%
(pada temperatur 50oC tercapai setelah 21 menit sedangkan 60oC tercapai setelah 7 menit).
Sehingga untuk transesterifikasi menggunakan katalis NaOH paling efisien menggunakan
temperatur 60oC.
Temperatur reaksi 60oC cocok untuk penggunaan kedua jenis katalis karena sangat dekat
dengan titik didih methanol (64,6oC) dan titik leleh dari CPO (55oC), sehingga pada temperatur
tersebut campuran reaksi terhomogenasi secara menyeluruh dan reaktan saling berkontak dengan
baik.
Pengaruh Konsentrasi terhadap Laju Reaksi
Transesterifikasi menggunakan senyawa alkohol dan katalis alkali atau asam kuat. Secara
umum reaksi tersebut sebagai berikut :

Secara stoikiometri, proses transesterifikasi ini membutuhkan 1 mol minyak nabati dengan
3 mol senyawa alkohol yang ditambah dengan sebuah katalis. Sisa atau kelebihan mol dari
senyawa alkohol dapat digunakan untuk meningkatkan konversi dari metil ester tersebut. Namun
realitanya, alkohol membutuhkan sedikitnya mol dengan perbandingan 1:6 dengan beberapa
minyak nabati seperti minyak bunga matahari, minyak kedelai, minyak kacang-kacangan, dan
minyak biji kapas. Dalam kasus ini, perbandingan rasio molar tersebut dipelajari dalam proses
esterifikasi dengan katalis NaOMe dan NaOH dengan perbedaan rasio konsentrasi minyak :
alkohol masing-masing 1:6, 1:8, dan 1:10. Selanjutnya akan dijelaskan hasil reaksi ketika
menggunakan dua katalis tersebut dibandingkan dengan perbandingan beberapa rasio molar
tersebut.
Dengan menggunakan parameter yang telah disebutkan diatas, hasil produk dari reaksi
yang menggunakan katalis NaOMe dengan berbagai perbedaan rasio molar tersebut tidak
memberikan perbedaan yang signifikan. Dalam semua eksperimen, hasil konversi produk
mencapai lebih dari 99% yang didapatkan setelah 5 menit reaksi berlangsung. Konversi terbesar
didapatkan pada perbedaan molar rasio 1:6 dengan 0.125 NaOMe. Secara umum, hasil reaksi dapat
dilihat pada gambar berikut :

Gambar 3. Transesterifikasi Kinetik Metil Ester menggunakan katalis Metil Metoksida


dengan berbagai rasio molar

Tetapi sebaliknya, penggunaan berbagai rasio molar senyawa minyak : alkohol pada reaksi
yang menggunakan katalis NaOH mempunya perbedaan yang terlihat jelas pada penentuan hasil
konversi. Konversi hasil metil ester meningkat signifikan dengan meningkatnya rasio molar yang
digunakan. Hasil tersebut dalam dilihat pada gambar dibawah. Setelah 5 menit reaksi berlangsung,
hasil konversi pada masing-masing rasio molar 1:6, 1:8, dan 1:10 adalah 93%, 95%, dan 99%.
Pada rasio molar 1:6 dan 1:8, konversi tidak akan mencapai 99% meskipun waktu reaksi ditambah
sampai 21 menit. Akhirnya dibutuhkan tambahan metanol untuk mendorong sisa reaksi untuk tetap
mengkonversi hasil sehingga didaptkan presentasi hasil yang lebih.

Gambar 4. Transesterifikasi Kinetika dari Metil Ester menggunakan katalis NaOH


dengan berbagai rasio molar

Pengaruh Katalis terhadap Laju Reaksi


Efek dari konsentrasi katalis dipelajari menggunakan perbandingan molar antara minyak
dengan metanol yaitu 1 : 10, sebuah reaksi pada suhu 60,5 dan diaduk dengan kecepatan 350
rpm. Reaksi melibatkan NaOMe atau NaOH pada 0,125 ; 0,1875 dan minyak 0,25 mol/kg.
Semua reaksi menggunakan NaOMe menghasilkan konversi ester diatas 99% setelah 5
menit. Efek dari katalis sangat jelas dalam waktu 5 menit pertama. Dosis dari 0,125 mol/kg minyak
menghasilkan konversi ester sebesar 99,5% setelah 5 menit, sedangkan menggunakan 0,1875
mol/kg minyak hanya membutuhkan waktu 3 menit. Hasil ini mengindikasikan bahwa konversi
ester lebih cepat dihasilkan dari dosis katalis yang lebih tinggi. Namun, tidak ada peningkatan
lebih lanjut apabila konsentrasi katalis ditingkatkan dari minyak 0,1875 mol/kg menjadi 0,25
mol/kg. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa 0,125 mol/kg minyak mencukupi untuk NaOMe
menghasilkan konversi ester lebih dari 99,5% dalam 5 menit. Waktu reaksi yang lebih panjang

tidak memiliki efek signifikan pada konversi ester. Efek dari konsentrasi NaOMe diilustrasikan
pada grafik di bawah:

Gambar 5. Perbedaan laju reaksi pada variasi konsentrasi katalis natrium methoxide
Kesimpulan yang sama dapat diambil dari reaksi katalis NaOH. Konsentrasi katalis penting
untuk reaksi singkat karena karena konversi meningkat sesuai dengan penambahan katalis.
Diperlukan 7 menit untuk mendapatkan konversi 99% dengan NaOH 0,125 mol/kg tapi hanya 5
menit untuk mencapai konversi yang sama dengan NaOH 0,1875 mol/kg. Hanya diperlukan 3
menit dengan meningkatkan konsentrasi katalis menjadi 0,25mol/kg. Oleh karena itu, untuk reaksi
diatas 10 menit, sudah cukup menggunakan NaOH 0,125 mol/kg. Hasil detail dapat dilihat pada
gambar 6.

Gambar 6. Perbedaan laju reaksi pada variasi konsentrasi katalis natrium hidroksida
(NaOH)
Penentuan Konstanta Laju Reaksi, k
Data kinetika diperoleh dari berbagai set reaksi transesterifikasi. Data yang diperoleh mendekati
ekspresi laju reakse orde 2:
Trigliserida [TG] + 3 metanol [ML]
=

[]

3 Metil ester [ME] + Gliserol

= [][]

r = laju reaksi

k = konstanta laju

[TG] = konsentrasi minyak

[ML] = konsentrasi methanol

Integrasi persamaan menghasilkan:


=
=

[]
[]0
1
ln
ln {
}
[]0 3[]0 []
[]0

([]0 /[]0 ) 3
1
ln
[]0
([]0 /[]0 )(1 )
[]0 (
3)
[]0
=

1
( )

[]0 []
[]0

Nilai konstanta laju (k) untuk setiap reaksi ditentukan berdasarkan kemiringan (slope) dari plot
f( ) vs waktu reaksi (t). Setiap reaksi transesterifikasi memiliki nilai k tersendiri yang
bervariasi bergantung berbagai parameter reaksi. Nilai k dari berbagai kondisi reaksi

transesterifikasi disajikan dalam table 1. Data kinetika ini sangat berguna untuk mendesign
sistem reaktor untuk transesterifikasi minyak sawit menjadi metil ester.

Gambar 7. Grafik hasil metode integrasi untuk reaksi transesterifikasi dengan katalis
NaOH pada konsentrasi bervariasi

Gambar 8. Grafik hasil metode integrasi untuk reaksi transesterifikasi dengan katalis
NaOH pada rasio molar minyak terhadap methanol yang bervariasi

Gambar 9. Grafik hasil metode integrasi untuk reaksi transesterifikasi dengan katalis
NaOH pada temperatur bervariasi

Tabel 1. Parameter Reaksi dan Konstanta Laju Reaksi untuk Reaksi Transesterifikasi
Minyak Sawit Menjadi Metil Ester dengan Katalis NaOH

B. Buat contoh analisis aplikasi kinetika pada salah satu fenomena alam

Kinetika Ozon dalam Atmosfer


I.

Pendahuluan
Ozon adalah komponen minor dari atmosfer bumi (0.01 0.1 ppm), namun
memiliki peran yang cukup signifikan untuk melindungi kelangsungan mahluk hidup di
bumi. Ozon menyerap radiasi ultraviolet dari matahari sehingga mengurangi level radiasi
UV yang mencapai permukaan bumi. Radiasi UV, memiliki panjang gelombang yang
pendek sehingga sangat energetik dan dapat menyebabkan kerusakan terhadap tumbuhan
dan hewan. Pengukuran konsentrasi ozon di atmosfer menunjukkan level konsentrasi ozon
sudah berkurang secara signifikan dari tahun 1970. Penurunan level konsentrasi ozon
beriringan dengan meningkatnya kasus kaknker kulit, katarak mata dan keruakan DNA
pada hewan dan tumbuhan. Karena efek lingkungannya yang cukup signifikan, ozon dan
penipisan ozon sudah mejadi topik riset dan diskusi yang cukup terkenal. Faktanya, Hadiah
Nobel tahun 1995 pada bidang kimia dianugerahi kepada 3 ilmuwan yang berhasil
membuktikan peran bahan kimia buatan masuia seperti CFC terhadap penipisan lapisan
ozon.

II.

Mekanisme Reaksi
Pada tahun 1930, Sidney Chapman (peneliti inggris) memperkenal mekanisme 4
langkah yang menggambarkan penyebaran ozon pada lapisan stratosfir. Reaksi elementer
yang menggambarkan mekanisme Chapman antara lain:

O2 + UV light O + O < 242

k1 (S-1)

O + O2 + M O3 + M

k2 (cm6 molekul-2 s-1) (2)

O3 + light O + O2

k3 (s-1)

O + O3 2 O2

k4 (cm3 molekul-1 S-1) (4)

(1)

(3)

Dengan M adalah spesies non reaktif yang dapat menyerap energy yang dihasilkan
dari reaksi (2) untuk menstabilkan O3. O3 merupakan molekul yang tidak stabil (tanpa
keberadaan M) karena O3 yang terbentuk akibat kolisi O dan O2 dapat terpecah kembalik
menghasilkan O dan O2. Dalam kondisi atmosfer bumi, M merupakan antara O2 atau N2.
Nilai dari k1 dan k3 sangat bergantung terhadap intensitas cahaya. Kemampuan Ozon untuk
menyerap sinar UV merupakan hasil dari reaksi elementer (1).

Jika kita perhatikan terhadap reaksi elementer yang terjadi, kita dapat menduga
reaksi (1) mengikuti reaksi orde 1, reaksi (2) memiliki reaksi orde 3, reaksi (3) memiliki
reaksi orde 1, dan reaksi (4) mengikuti reaksi orde 2. Perlu diperhatikan bahwa reaksi (2)
memerlukan 3 spesies reaski yang berbeda sehingga disebut reaksi termocular. Jika kita
melihat konsentrasi relative setiap spesies didalam atmosfer, konsenstrasi sepsis O2 dan M
(=O2 + N2) jauh lebih besar dibandingkan dengan spesies lainnya sehingga dapat kita
katakana konsenstrasinya constant menurut waktu.

Oleh karena itu kita dapat

berekspektasi reaksi 1 mengikuti reaksi orde 0 dan reaksi (2) mengikuti reaksi orde 1.

Konsesntrasi ozon, ditemukan lebih besar pada atmosfer yang tinggi (stratosfer)
jika dibandingkan dengan konsentrasi pada atmosfer lebih rendah (troposfer). Berdasarkan
reaksi (1) dan (4), laju pembentukan O dan O3 dapat diekspresikan sebagai:

Kita dapat menggunakan aproksimasi steady state untuk menyelesaikan konsentrasi O dan
O3. Aproksimasi steady state mengasumsukan bahwa setelah periode inisasi, konsentrasi
dari reaksi intermediet konstan terhadap waktu. Sehingga kita mendapatkan:

Kita dapat menyelesaikan untuk [O] dan [O3] sehingga mendapatkan:

Persamaan (9) dapat diubah sehingga mendapatkan:

Reaksi (1) dan (4) sudah diteliti dengan sangat baik sehingga konstanta reaksinya sudah
diketahui. Sebagai contoh k1= 10-12 s-1, k2=2 x 10-33- cm6 molekul-2 s-1, k3= 10-3 s-1 , k4=1015

cm3 molekukul-1 s-1. Selain itu konsentrasi dari O, O2, dan O3 sudah diketahui. Jika kita

mengasumsikan [O]= 107 molekul/cm3 dan [O3]=1013 molekul/cm3, menggunakan nilai


konstanta tersebut kita mendapat:

Sehingga persamaan (10) dapat disimplifikasi menjadi

Persamaan (11) menunjukkan bahwa konsentrasi O3 di atmosfer sangat bergantung secara


proporsional dengan laju reaksi (2) dan berbanding terbalik dengan k3, laju fotolisis ozon
oleh sinar UV dari matahari

III.

Reaksi Dekomposisi Ozon


Penelitian Sidney Chapman menunjukan bahwa ozon dapat terdekomposisi oleh reaksi
fotolisis (reaksi 3) dengan menyerap radiasi matahari dengan panjang gelombang kurang
dari 1134 nm dan reaksi dengan atom oksigen (reaksi 4). Namun, jika diperhatikan, reaksi
(3) menghasilkan 1 atom oksigen dan 1 molekul oksigen yang masih dapat bereaksi
kembali untuk membentuk ozon (reaksi 2). Hal tersebut dapat terjadi apabila setelah reaksi
(3) tidak terjadi reaksi (4).
Penelitian Chapman terbukti berhasil dalam memprediksi lokasi ozon di atmosfer dan
reaksi pembentukannya, namun demikian, jumlah molekul ozon yang ditemukan di
atmosfer jauh lebih kecil dibanding penghitungan dengan mekanisme Chapman. Hal ini
dikarenakan reaksi (1) dan reaksi (2) adalah satu-satunya reaksi pembentukan ozon,
sedangkan terdapat banyak reaksi dekomposisi ozon selain reaksi (4).
Ilmuan Belanda, Paul Crutzen mengemukakan teorinya tentang dekomposisi ozon oleh
Nitrogen Oksida (NOx) pada awal tahun 1970an. Berdasarkan Crutzen, Nitrogen Oksida di
udara akan bereaksi dengan ozon membentuk senyawa NO2 dan O2 dan senyawa NO2 yang
terbentuk akan bereaksi kembali dengan atom oksigen membentuk kembali NO dan 1
molekul oksigen.

Seperti terlihat pada kedua reaksi diatas, NO yang bereaksi dengan ozon akan terbentuk
kembali di akhir reaksi. Dalam hal ini, senyawa NO bertindak sebagai katalis untuk reaksi
dekomposisi ozon. Reaksi dekomposisi ozon oleh NO dapat terus berlangsung selama
terdapat senyawa NOx.

Senyawa NOx merupakan senyawa yang dapat terbentuk secara alami maupun buatan.
Secara alami, senyawa NOx terbentuk sebagai hasil reaksi antara N2O dengan O* (atom
oksigen dengan tingkat energy tinggi). Senyawa N2O merupakan senyawa yang dilepaskan
oleh bakteri pada tanah dan mikro-organisme laut, dan banyak terkandung pada pupuk ;
senyawa ini tidak bereaksi di troposfer, sehingga mampu mencapai stratosfer dan bereaksi
dengan O*. Harold Johnston (1970) juga mengemukakan teori nya, yang menjelaskan
bahwa NOx juga dapat berasal dari gas buangan pesawat.
Richard Stolarski dan Ralph Cicerone (1970) juga mengemukakan teori yang menyatakan
bahwa atom Klorin yang berasal dari bahan bakar roket padat mampu mengkatalisis reaksi
dekomposisi ozon.

Reaksi ini mampu mendekomposisi lebih banyak molekul ozon, dengan 1 atom Klorin
mampu mendekomposisi 100.000 molekul ozon. Pada akhirnya atom Klorin akan bereaksi
dengan CH4 dan kemudian membentuk HCl, yang kemudian menghentikan reaksi
dekomposisi ozon. Untungnya, jumlah Klorin yang dilepaskan ke stratosfer yang berasal
dari roket dan pesawat ruang angkasa sangatlah kecil, namun demikian sejak saat itu,
Klorin dikenal sebagai ancaman karena mampu mendekomposisi ozon secara masif.
Beberapa tahun setelah Stolarski dan Cicerone teori mereka, Mario Molina dan Sherwood
Rowland (1974) kemudian menemukan penyumbang terbesar senyawa Klorin Oksida
(ClOx) berasal dari CFC (ChloroFluoroCarbon). Senyawa ini pada dasarnya bersifat inert,
dan karenanya, senyawa ini banyak digunakan dalam aerosol, bahan bakar, refrijeran dan
produk-produk lainnya. Sifat CFC yang inert menyebabkan senyawa ini tidak bereaksi di
troposfer dan mampu mencapai stratosfer. Penelitian menunjukan bahwa 80% senyawa
Klorin di atmosfer berasal dari produk-produk buatan manusia, dan hanya sebagian kecil
yang berasal dari alam.
Selain Klorin dan Nitrogen Oksida, senyawa Bromin Oksida dan Hidrogen Oksida juga
mampu bertindak sebagai katalis dalam reaksi dekomposisi ozon ; peran dan signifikansi

kedua senyawa ini dalam men-dekomposisi ozon bergantung pada ketinggian dan garis
lintang.

Daftar Pustaka

Batakliev, T., Georgiev, V., Anachkov, M., Rakovsky, S., & Zaikov, G. E. (2014). Ozon
decomposition. Interdisciplinary Toxicology, 7(2), 4759. http://doi.org/10.2478/intox2014-0008
Ozon

Chemistry.

Retrieved

from

https://www.ucar.edu/communications/gcip/m1sod/m1pdfc2.pdf
Foon, Cheng Sit, Choo Yuen May, Ma Ah Ngan & Chuah Cheng Hock.(2004). Kinetics
Study On Transesterification Of Palm Oil. Journal of Oil Palm Research Vol. 16 No. 2,
December 2004, p. 19-29.

Anda mungkin juga menyukai