Anda di halaman 1dari 9

Menurut Sayuti (2002: 24-25), puisi adalah karya estetis yang memanfaatkan sarana

bahasa yang khas. Puisi sebagai sosok pribadi penyair atau ekspresi personal berarti puisi
merupakan luapan perasaan atau sebagai produk imajinasi penyair yang beroperasi pada
persepsi-persepsinya. Bahasa dalam puisi sebagai sosok pribadi penyair lebih difungsikan
untuk menggambarkan, membentuk dan mengekspresikan gagasan, perasaan, pandangan dan
sikap penyairnya.Dapat disimpulkan secara singkat bahwa puisi adalah karya seni yang
memiliki fungsi estetik yang dominan.
Dalam penyampaian ide, sastrawan tidak bisa dipisahkan dari latar belakang dan
lingkungannya. Abrams (1976:6) mengemukakan dalam komunikasi antara sastrawan dan
pembaca tidak akan terlepas dari empat situasi sastra, yaitu : karya satra, sastrawan, semesta,
dan pembaca.
Puisi tentunya berhubungan dengan kehidupan kebatinan dan kejiwaan manusia.
Jatman (1985:165) berpendapat bahwa karya sastra dan psikologi memang memiliki
pertautan yang erat, secara tak langsung dan fungsional. Pertautan tak langsung karena, baik
sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama yaitu kehidupan manusia. Psikologi dan
sastra memiliki hubungan fungsional karena, sama-sama untuk mempelajari keadaan
kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi gejala tersebut riil, sedangkan dalam sastra
bersifat imajinatif.
Rene Wallek dan Austin Warren (2008:61) menunjukkan empat model pendekatan
psikologis, yang dikaitkan dengan pengarang, proses kreatif, karya sastra, dan pembaca.
Meskipun demikian, pendekatan psikologis pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala
utama, yakni: pengarang, karya sastra, dan pembaca.
Bukti nyata bahwa adanya hubungan karya sastra dengan psikologi yaitu beberapa
puisi dalam antalogi Akar Tubuh, yaitu :
Kata replika jiwa
Tak berasa saat diisi dusta
Perih saat merangkai luka
Merekah saat ceria
Membakar saat bergelora

Kata cerminan jiwa


Ia lahir dari rasa
Tumbuh dalam dekapan cerita
Mati tanpa hadirnya makna

Kata pembunuh jiwa


Menghujam dengan tajam
Menikam saat gagal paham

Kata penyejuk jiwa


Saat dironce dengan cinta
(Kata dan Jiwa, Ayu Fransiska)
Melalui puisi diatas, penyair ingin menunjukkan bahwa kata dan jiwa itu memiliki hubungan
yang erat. Penyair mengungkapkan bahwa kata merupakan bagian dari jiwanya, seperti pada
baris pertama Kata replika jiwa. Replika sendiri memiliki arti tiruan atau jiplakan. Ayu
Fransiska menjelaskan bahwa kata merupakan ungkapan dari jiwanya. Pada Tak berasa saat
diisi dusta dapat diartikan kata bisa menjadi sebuah kedustaan atau kebohongan. Pada bait
pertama dapat kita tarik analogi psikologinya yaitu dengan kata lah kita dapat
mengungkapkan kepedihan dan kebahagiaan. Setiap kata yang tercipta dapat memberi arti
yang berbeda-beda.
Lain pula pada bait ketiga baris pertama pada kata pembunuh menggambarkan kondisi yang
menyakitkan, ditambah lagi pada baris kedua pada kata tajam, dan baris ketiga pada kata
menikam. Dengan kata-kata tersebut dapat kita tarik analogi psikologinya yaitu apabila kita
tidak dapat menggunakan kata yang baik dan benar maka kata dapat disalahartikan dan
berujung menyakiti perasaan orang lain. Kenapa kata dapat disalahartikan? Karena kata
merupakan sastra yang setiap orang dapat berbeda dalam menilai atau menafsirkannya.

Setangkai waktu alirkan telaga rindu


Meriak gelombang dalam sukma

Menepis rasa dalam bubuk air mata


Gugurkan telaga dalam pelipis duka
(Setangkai Waktu, A. Desriyanto)
Dalam distikon Setangkai Waktu karya A.Desriyanto tampak konflik psikologis yang ia alami
ketika sedang merasakan rindu yang menggebu-gebu dan sepertinya rindu itu tak terbalaskan
hingga membuatnya terisak. Hal ini terlihat dari citraan gerak yang tampak pada baris kedua
Meriak gelombang dalam sukma, Meriak yang memiliki arti gerakan berombak dan Sukma
yang berarti jiwa membuat makna puisi ini begitu hidup atau terlihat. Penyair mencoba
memadupadankan kata sebab penyair sendiri memiliki kebebasan untuk menyimpang dari
kaidah yang dikenal dengan licensa poetica. Setangkai waktu menurut saya paduan kata yang
cukup unik, karena kata setangkai biasanya digunakan untuk benda hidup seperti bunga.

Hening membeku di kesunyian


Terpercik binar kristal air kesucian

Basah membasuh di luas sajadah


Menyapu hati yang membeku dalam dosa
(Percik Kristal Dwi Safitri)
Dalam distikon puisi karya Dwi Safitri terkandung nilai psikologis yang diungkapkan oleh
penyair. Melalui puisi Percikan Kristal nya, Dwi Safitri menyampaikan kondisi mentalnya
yang teringat akan dosa-dosa yang telah ia perbuat dengan larik membeku dalam dosa.
Penyair mengungkapkan perasaannya tersebut dengan menggunakan kata-kata tertentu untuk
menggambarkan dan mewakili perasaannya itu sehingga muncul lah citraan rasaan pada larik
Hening membeku di kesunyian terdapat kata hening yang menggambarkan kesepian. Dilanjuti

dengan Terpercik binar kristal air kesucian yang menjelaskan bahwa ia menangis ketika
merasa sepi karena teringat akan dosanya yang diperjelas oleh hati yang membeku dalam
dosa.

Aku terdiam
ketika begitu banyak mata
menatap ke arahku berjam-jam

Perlahan keseret kakiku


menjauh bersama satu koper berisi apel
yang penuh dengan peluh

Kurasakan lidahku jatuh ke tanah


mendatangkan jutaan mata yang bterbangan

Dengan sisa apel yang berserakan


aku terbaring tanpa lidah
(Tanpa Lidah, Windy Kaunang Yogi Saputra)
Melalui puisi Tanpa Lidah, Windy Kaunang Yogi Saputra mampu mengungkapkan ekspresi
kejiwaannya tentang sesuatu yang merasuk dalam imajinasi dan pemikirannya bahwasanya
Manusia yang memiliki keyakinan hanya mampu terdiam (Aku terdiam) ketika diawasi oleh
Tuhan yang Maha Melihat dan malaikat yang selalu mendampingi (begitu banyak mata).
Penyair berimajinasi tentang keadaan ia yang meninggal dengan membawa dosa-dosanya
tanpa sempat ia memperbaiki dirinya sehingga hanya mampu membuat ia terbaring tanpa
lidah yang berarti tidak dapat berkata apa-apa lagi.

Pada bait pertama ketika begitu banyak mata - menatap ke arahku berjam-jam penyair
mencoba untuk menimbulkan citraan penglihatan karena terdapat daya saran penglihatan
pada larik kedua dan ketiga tersebut. Sedangkan pada bait ketiga baris pertama yaitu
Kurasakan lidahku jatuh ke tanah penyair mencoba menghidupkan gambaran dengan
menjelaskan sesuatu seakan-akan bergerak.

Kursi tua rindu sekeping romansa


Sukma tenggelam masa lembar sejarah

Hikayat cinta tersulam jarum kenangan


Lapuk termakan derita peristiwa
(Kursi Tua, A. Desriyanto)
Dalam puisi ini penyair menceritakan pengalaman pribadi penulis. Pada bait pertama dapat
ditarik arti bahwa memori yang indah pada akhirnya akan lenyap. Hal ini diperjelas pada bait
kedua larik pertama hikayat cinta tersulam jarum kenangan, yang artinya semua peristiwa
yang indah sekarang akhirnya akan menjadi kenangan juga karena seiring berjalannya hidup
yang tentunya melewati penderitaan dan kita tidak tahu akhirnya. Merupakan citraan rasaan
karena penyair dapat membuat pembaca terbawa akan suasana yang ia gambarkan dan ia
mencoba untuk mengungkapkan sedikit rasa kesalnya.

Aku rumput yang mati


Tak lagi tagap dan tegip
Meninggalkan derita yang meski ditinggalkan
Aku menghilang serentak senja kemerahan

Aku rumput yang mati


Mengapar dan tak lagi bernyanyi di fajar nanti
Mati bersama sepi, bersama sunyi

Setiaku, hidup dan mati memeluk illahi


(Rumput Yang Mati, Nopri Yanto)
Bait pertama dibuka dengan deskripsi kondisi rumput yang mati. Rumput diibaratkan sebagai
manusia. Rumput dapat menjadi kering atau layu. Jika diibaratkan manusia itu lemah dan
fana, dengan mudah semua yang dimiliki atau dibanggakannya pudar dan berlalu. Bila kita
menyadari atau memahaminya dengan sungguh-sungguh, maka kita tidak akan berani
membanggakan keadaan kita sekarang, meski pun mungkin saat ini kita adalah orang yang
mulia, indah dan megah. Sebaliknya kita pun tidak perlu merasa rendah bila keadaan kita
sekarang tidak baik (hina, miskin, bodoh dan lemah) karena Allah akan selalu bersama kita.
Dari penjelasan tersebut terlihat penyair menonjolkan citraan rasaan.

Televisi selalu saja memecahkan isi kepalaku


dengan segala hiruk pikuk di dalamnya.
Seperti bom yang kapan saja bisa meledak
setiap kali melihatnya..

Televisi oh televisi
Hati bisa keram, hanya karena melotot berjam-jam
Lalu isi kepala muncrat tak beraturan
Diselingi bunyi-bunyi seram dan suasana mencekam
Kemudian kurajut kembali isi kepalaku satu persatu

Karena esok, aku ingin televisi


Lagi dan lagi
(Aku dan Televisi, Windy Kaunang Yogi Saputra)
Dilihat dari setiap baitnya dengan digunakannya kalimat memecahkan isi kepalaku, seperti
bom, hati keram, isi kepala muncrat dapat digunakan sebagai pendukung bahwa penyair
menceritakan tentang kegelisahannya akan dampak-dampak negatif dari televisi, namun disisi
lain ia masih tetap membutuhkan televisi karena televisi dapat memberikan banyak informasi.
Penyair berhasil mengimajinasikan kegelisahannya dengan kata-kata diatas tadi sehingga
tampak citraan rasaannya. Tokoh aku dalam puisi ini mengalami perubahan pola pikir karena
televisi tadi.
...
Memaksaku mengais satu persatu rindu
pada wajah ibu
yang sengaja ku titipkan
pada aroma,
semangkuk mi instan
yang kubiarkan dingin di atas meja makan

Pucat pasi, tanpa alasan


(Elegi Pagi, Windy Kaunang Yogi Saputra)
Imajinasi penulis akan semangkuk mie instan dengan sosok ibu sangat tinggi. Dimana mie
instan diibaratkan sebagai sarapan pagi yang identik dengan ibu yang menyiapi sarapan, dan
ketika sarapan tersebut tidak disiapkan oleh ibu maka konsentrat dari sarapan itu tidak
sempurna, hal ini diperjelas oleh larik yang kubiarkan dingin diatas meja makan. Dari
judulnya saja yaitu Elegi Pagi, Elegi yang berarti ungkapan dukacita dan Pagi menerangkan
waktu, terlihat bahwa penyair sedang merasakan kerinduan akan sosok ibu di pagi hari.

Seperti kaki, hati kami juga butuh sepatu untuk berjalan


Melangkah pada detak detikjam dinding
Kemudian berhenti jika sudah kelaparan

Seperti perut, hati kami juga butuh sepiring roti


Yang berisi bait-bait puisi
Mengalir dari langit dan kerinduan
Heti kami juga seperti lidah
Melumat pahit dan manis
Yang semakin terkikis
(Tentang Hati, Windy Kaunang Yogi Saputra)

Pengalaman manis pahitnya hidup digambarkan oleh penyair atas makna puisi yang berjudul
Tentang Hati. Hal ini terlihat pada bait kedua hati kami juga seperti lidah melumat pahit
dan manis. Dalam puisi ini penyair seolah-olah mengetahui bahwa hati berbicara. Citraan
gerak terlihat di bait pertama dan kedua pada kalimat melangkah pada detak detik, mengalir
dari langit yang membuat imajinasi pembaca hidup karena seolah-olah merasakan
pergerakannya.

Biarkan tangis menggema


Mengisi sunyinya ruang waktu
Di tepi dedaunan yang jatuh
Tercipta mimpi yang gugur
Langit mengawang dalam bayang

Trotoar jalan, sudut-sudut lampu kota


Dan sepanjang tubuh membeku
Oleh hati yang terkoyak waktu
(Ruang Waktu, Tri Yulianti)
Waktu merupakan kesempatan. Betapa menyesalnya karena telah menyia-nyiakan waktu
terlihat dari maksud puisi ini. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari waktu dan tempat.
Mereka mengenal masa lalu, kini, dan masa depan. Pengenalan manusia tentang waktu
berkaitan dengan pengalaman empiris dan lingkungan. Penyair menggunakan larik tercipta
mimpi yang gugur seakan-akan ia menceritakan bahwa mimpi yang ia miliki itu gugur.
Tampak ke pupusan harapan penyair dalam puisi ini jika dilihat dari larik oleh hati yang
terkoyak waktu yang merupakan citraan rasaan.

Anda mungkin juga menyukai