DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN.
1.1 LATAR BELAKANG..
1.2 TUJUAN
1.3 METODE PENULISAN..
BAB II OBYEK STUDI.
2.1 OBYEK ARSITEKTUR TRADISIONAL..
2.1.1 LOKASI DAN TEMPAT..
2.1.2 DEMOGRAFI
2.1.3 ASAL MUASAL SEJARAH TEMPAT.
2.1.4 SISTEM KEPERCAYAAN DAN RELIGI
2.1.5 BAHASA
2.1.6 SISTEM PEMERINTAHAN.
2.1.7
KESENIAN
.
2.1.8 PERALATAN DAN
TEKNOLOGI...
2.1.9 MATA PENCAHARIAN.
2.1.10 SISTEM
PENGETAHUAN..
2.1.11 SANDANG, PANGAN,
PAPAN..
2.1.12 ARSITEKTUR
BANGUNAN
2.1.13 ARSITEKTUR BENTANG
ALAM...
Songket
Kata songket berasal dari istilah sungkit dalam bahasa Melayu dan bahasa
Indonesia, yang berarti "mengait" atau "mencungkil". Hal ini berkaitan
dengan metode pembuatannya; mengaitkan dan mengambil sejumput
kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang emas. Selain itu, menurut
sementara orang, kata songket juga mungkin berasal dari kata songka,
songkok khas Palembang yang dipercaya pertama kalinya kebiasaan
menenun dengan benang emas dimulai.
Istilah menyongket berarti
menenun dengan benang emas dan perak. Songket adalah kain tenun
mewah yang biasanya dikenakan saat kenduri, perayaan atau pesta.
Songket dapat dikenakan melilit tubuh seperti sarung, disampirkan di
bahu, atau sebagai destar atau tanjak, hiasan ikat kepala. Tanjak adalah
semacam topi hiasan kepala yang terbuat dari kain songket yang lazim
dipakai oleh sultan dan pangeran serta bangsawan Kesultanan Melayu.
Menurut tradisi, kain songket hanya boleh ditenun oleh anak dara atau
gadis remaja; akan tetapi kini kaum lelaki pun turut menenun
songket. Beberapa kain songket tradisional Sumatra memiliki pola yang
mengandung makna tertentu.
Songket harus melalui delapan peringkat sebelum menjadi sepotong kain
dan masih ditenun secara tradisional. Karena penenun biasanya dari desa,
tidak mengherankan bahwa motif-motifnya pun dipolakan dengan hewan
dan tumbuhan setempat. Motif ini seringkali juga dinamai dengan nama
kue khas Melayu seperti serikaya, wajik, dan tepung talam, yang diduga
merupakan penganan kegemaran raja.
Sejarah
Penenunan songket secara sejarah dikaitkan dengan kawasan
permukiman dan budaya Melayu, dan menurut sementara orang teknik ini
diperkenalkan oleh pedagang India atau Arab. Menurut hikayat rakyat
Palembang, asal mula kain songket adalah dari perdagangan zaman
dahulu di antara Tiongkok dan India. Orang Tionghoa menyediakan
benang sutera sedangkan orang India menyumbang benang emas dan
perak; maka, jadilah songket. Kain songket ditenun pada alat tenun
bingkai Melayu. Pola-pola rumit diciptakan dengan memperkenalkan
benang-benang emas atau perak ekstra dengan penggunaan sehelai
jarum leper. Tidak diketahui secara pasti dari manakah songket berasal,
menurut tradisi Kelantan teknik tenun seperti ini berasal dari utara, yakni
kawasan Kamboja dan Siam yang kemudian berkembang ke selatan di
Pattani, dan akhirnya mencapai Kelantan dan Terengganu sekitar tahun
1500-an. Industri kecil rumahan tenun songket kini masih bertahan di
pinggiran Kota Bahru dan Terengganu. Akan tetapi menurut
penenun Terengganu,
justru
para
pedagang
Indialah
yang
memperkenalkan teknik menenun ini pertama kali di Palembang yang
mungkin telah berlaku sejak zaman Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11).
Menurut tradisi Indonesia sendiri, kain songket nan keemasan dikaitkan
dengan kegemilangan Sriwijaya, kemaharajaan niaga maritim nan
makmur lagi kaya yang bersemi pada abad ke-7 hingga ke-13 di
Sumatera. Hal ini karena kenyataan bahwa pusat kerajinan songket paling
mahsyur di Indonesia adalah kota Palembang. Songket adalah kain mewah
yang aslinya memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang
emas, kemudian ditenun tangan menjadi kain yang cantik. Secara sejarah
tambang emas di Sumatera terletak di Sumatera Selatan dan di
pedalaman dataran tinggi Minangkabau. Meskipun benang emas
ditemukan di reruntuhan situs Sriwijaya di Sumatera, bersama dengan
batu mirah delima yang belum diasah, serta potongan lempeng emas,
hingga kini belum ada bukti pasti bahwa penenun lokal telah
menggunakan benang emas seawal tahun 600-an hingga 700-an
masehi. Songket mungkin dikembangkan pada kurun waktu yang
kemudian di Sumatera. Songket Palembang merupakan songket terbaik di
Indonesia baik diukur dari segi kualitasnya, yang berjuluk "Ratu Segala
Kain". Songket eksklusif memerlukan di antara satu dan tiga bulan untuk
menyelesaikannya, sedangkan songket biasa hanya memerlukan waktu
sekitar 3 hari. Mulanya kaum laki-laki menggunakan songket
sebagai destar, tanjak atau ikat kepala. Kemudian barulah kaum
perempuan Melayu mulai memakai songket sarungdengan baju kurung.
Dokumentasi mengenai asal usul songket masih tidak jelas, kemungkinan
tenun songket mencapai semenanjung Malaya melalui perkawinan atau
persekutuan antar bangsawan Melayu, karena songket yang berharga
kerap kali dijadikan maskawin atau hantaran dalam suatu perkawinan.
Praktik seperti ini lazim dilakukan oleh negeri-negeri Melayu untuk
mengikat persekutuan strategis. Pusat kerajinan songket terletak di
kerajaan yang secara politik penting karena bahan pembuatannya yang
mahal; benang emas sejatinya memang terbuat dari lembaran emas
murni asli.
Songket sebagai busana diraja juga disebutkan dalam naskah Abdullah
bin Abdul Kadir pada tahun 1849.
Songket memiliki motif-motif tradisional yang sudah merupakan ciri khas
budaya wilayah penghasil kerajinan ini. Misalnya motif Saik Kalamai, Buah
Palo, Barantai Putiah, Barantai Merah, Tampuak Manggih, Salapah,
Kunang-kunang, Api-api, Cukie Baserak, Sirangkak, Silala Rabah, dan
Simasam adalah khas songket Pandai Sikek, Minangkabau. Beberapa
pemerintah daerah telah mempatenkan motif songket tradisional mereka.
Dari 71 motif songket yang dimiliki Sumatera Selatan, baru 22 motif yang
FILOSOFI SONGKET
Tak hanya batik yang setiap motifnya punya makna berbeda. Tenun dari
Sumatera Barat atau songket dengan kekayaan motifnya ternyata juga
memiliki arti dan nilai kebersamaan tersendiri. "Keterampilan menenun
bagi masyarakat Indonesia merupakan sebuah warisan yang perlu
dipertahankan dan disosialisasikan, karena ini merupakan kekuatan
budaya, kreativitas, dan seni dalam kehidupan bermasyarakat," ungkap
perancang Samuel Wattimena, saat pagelaran busana "Pagelaran Tenun
Unggan
Sumatera
Barat
Kabupaten
Sijunjung"
Dalam perkembangannya terjadi proses akulturasi budaya dalam
kehidupan masyarakat Minangkabau, terutama sejak masuknya pengaruh
Islam ke kota tersebut. Hal ini berpengaruh pada motif-motif tenun yang
mengadaptasi motif-motif alam dan ragam hias dari Timur Tengah seperti
Arab, Mesir, dan Siria. Sejak dahulu, unsur adat ini identik dengan alam
karena alam dianggap sebagai sumber pokok dan penting bagi umat
manusia yang telah memengaruhi perajin mengolah motif pada kain
tenun songket ini.
Kenyataan ini ternyata membentuk suatu filosofi dalam berbagai motif
kain tenun Sumatera Barat. Contohnya adalah sebagai berikut:
1. Pucuk rabuang.
Dalam pepatah dikatakan: lai samo dimakan, indak samo dicari. Makna
yang dikandungnya ialah dapat menikmati rezeki secara bersama-sama
tanpa merugikan orang lain dan tanpa merasa ada yang berlebih atau
yang kurang dan saling menjaga norma dan adat istiadat dalam
kebersamaan.
5. Tirai.
Gambar 1. Bagan
Minangkabau.
sistem
kekerabatan
masyarakat
berhubungan
dengan
tokoh
Datuek
Tari-tarian yang ada adalah tari silat kucing dan tari silat tupai malompek
yang masih dijumpai di daerah-daerah Payakumbuh. Lagu yang digunakan
dalam tari itu adalah Cak Din Din, Pado-Pado, Siamang Tagagau, Si Calik
Mamenjek, Capo, dan Anak Harimau dalam Gauang. Selain itu juga
terdapat tari piring, tari Lilin, tari payung, dan tari serampang dua belas.
Gambar
6. Talempong
(WIkimedia Commons)
yang
sedang
dimainkan
4) Seni Sastra
Seni sastra yang berkembang pada suku bangsa Minangkabau dan pada
umumnya adalah seni sastra pantun yang berupa nasihat.