Anda di halaman 1dari 35

LATAR BELAKANG

Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Arab Saudi yang dibuka sejak tahun
1947 telah banyak peningkatan yang dicapai diantara kedua negara. Indonesia,
yang mana mayoritas penduduknya muslim -bahkan terbesar di dunia- merupakan
mitra yang strategis bagi Arab Saudi. Dalam perjalanannya, kedua negara telah
menjalin hubungan yang sangat baik dan banyak hal mewarnai hubungan bilateral
tersebut. Salah satu isu yang mewarnai hubungan bilateral RI-Arab Saudi saat ini
adalah permasalahan Warga Negara Indonesia Overstayer (WNIO) yang berada di
Arab Saudi.
Warga Negara Indonesia Overstayer merupakan WNI yang melakukan kunjungan
atau tinggal di Arab Saudi dengan berbagai keperluan namun telah habis masa ijin
tinggalnya. Para Warga Negara Indonesia Overstayer memiliki berbagai alasan
melakukan hal ini antara lain para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang kabur dari
majikannya karena disiksa, gaji tidak dibayar atau ingin bekerja pada majikan lain
dengan gaji besar. Namun, ada pula Warga Negara Indonesia Overstayer yang
sebenarnya adalah WNI yang menggunakan visa untuk melakukan ibadah umroh
tetapi setelah masa visa tersebut habis masih ingin tetap tinggal di Arab Saudi dan
bekerja disana secara ilegal. Seluruh Warga Negara Indonesia Overstayer
bermasalah ini biasanya tidak mengikuti prosedur yang diterapkan Pemerintah
Arab Saudi terkait keimigrasian. Alasan para Warga Negara Indonesia Overstayer
tidak mau mengurus perijinan karena keterbatasan dana untuk berurusan dengan
birokrasi. Untuk menghindari masalah lebih lanjut, para Warga Negara Indonesia
Overstayer ini memilih untuk tinggal di kolong jembatan.
Salah satu kolong jembatan yang banyak dijadikan sebagai tempat berlindunganya
para Warga Negara Indonesia Overstayer ini adalah jembatan Kandara. Berbagai
Warga Negara Indonesia Overstayer dengan berbagai macam permasalahan
berkumpul disini dan menunggu untuk di deportasi ke Indonesia. Tidak jarang
juga banyak Warga Negara Indonesia Overstayer yang harus mendekam di penjara
beberapa bulan karena berbagai masalah yang ia hadapi. Masalah keterbatasan
dana membuat mereka hanya dapat mengandalkan proses deportasi yang
dilakukan pemerintah baik yang dilakukan Pemerintah Indonesia ataupun
Pemerintah Arab Saudi. Namun, proses deportasi tidak semudah yang
dibayangkan. Jumlah Warga Negara Indonesia Overstayer telah mencapai ribuan
orang sehingga hal ini menjadi kebingungan pemerintah Indonesia maupun
pemerintah Arab Saudi karena biaya yang diperlukan untuk melakukan deportasi
juga sangat besar.

Di sisi lain, permasalahan Warga Negara Indonesia Overstayer tersebut tentunya


menimbulkan pekerjaan berat untuk Pemerintah Arab Saudi sebagai pemilik
wilayah yuridiksi. Penambahan warga negara ilegal tersebut telah mengakibatkan
peningkatan kemiskinan dan kriminalitas di Arab Saudi sehingga banyak Warga
Negara Indonesia Overstayer yang harus berurusan hukum disana. Permasalahan
ini semakin berlarut ketika pihak pemerintah Arab Saudi meminta pemerintah
Indonesia untuk memulangkan para Warga Negara Indonesia Overstayer tersebut
dengan biaya yang seluruhnya ditanggung oleh Pemerintah Indonesia.

C.RUMUSAN MASALAH
Dari penjelasan diatas, penulis menemukan tiga pertanyaan yang dikemukakan,
pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut :
1.

Apakah yang menjadi penyebab orang mau menjadi TKI ?

2.
Bagaimana perkembangan kekerasan terhadap TKI asal Indonesia di Arab
Saudi ?
3.

Contoh kasus TKI di Arab Saudi

4.

Faktor penyebab kekerasan pada TKI

5.

Solusi dan Peran Pemerintah dalam melindungi TKI di Arab Saudi

D.TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu:
1.
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Perburuhan dan
Ketenagakerjaan
2.
Untuk menambah wawasan mengenai perlindungan negara terhadap TKI di
Luar Negeri khususnya di Arab Saudi

E.MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat Penulisan skripsi yang akan penulis lakukan adalah:

1.

Secara Teoritis

Guna mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan hukum tenaga kerja


Indonesia, khususnya mengenai peran Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam
Menangani Masalah hukum yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi.
2.

Secara Praktis

Memberikan sumbangan pemikiran yuridis tentang peranan Kementerian Luar


Negeri Indonesia dalam Menangani Masalah hukum yang menimpa Tenaga Kerja
Indonesia di Arab Saudi kepada Almamater Fakuktas hukum Universitas Tanjung
Pura Pontianak sebagai bahan belajar bagi mahasiswa.

BAB 2
PEMBAHASAN
1.

Penyebab orang menjadi TKI

Ada berbagai faktor penyebab yang mendorong seseorang untuk menjadi orang
yang bekerja di luar negeri meninggalkan tanah airnya. Menjadi Tenaga Kerja
Indonesia atau yang disingkat dengan sebutan TKI bukanlah hal yang mudah.
Dibutuhkan tahapan-tahapan untuk bisa berangkat dan bekerja di negara asing
dengan berbagai perbedaan budaya yang ada di dalamnya. Minimnya permintaan
tenaga kerja di Indonesia salah satu penyebab banyak orang yang memutuskan
untuk menjadi TKI baik secara legal maupun ilegal. Untuk lebih jelasnyamari
kita lihat penjelasan di bawah ini.

Faktor Alasan Penyebab yang Menyebabkan Seseorang Menjadi Seorang TKI


(Tenaga Kerja Indonesia) :
1. Mencari Penghasilan yang Besar
Pada umumnya penghasilan sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) legal alias
resmi di luar negeri cukup besar jumlahnya. Apabila dibandingkan dengan
penghasilan UMP (Upah minimum Provinsi) atau UMR (Upah Minimum

Regional) di Indonesia, maka penghasilan seorang TKI mungkin bisa mencapai


berkali-kali lipatnya. Namun demikian apabila para TKI tidak dapat
menyesuaikan gaya hidupnya dengan biaya hidup di tempatnya bekerja yang pada
umumnya lebih besar dibandingkan dengan di kampung halamannya, maka
penghasilan besar pun akan habis juga tanpa tersisa.

2. Mencari Pengalaman Kerja


Adalah sesuatu hal yang biasa, suatu lowongan pekerjaan yang memberikan
penghasilan di atas UMP mensyaratkan pengalaman kerja satu tahun atau lebih di
bidang yang sama. Hal ini tentu akan sulit sekali dipenuhi oleh orang-orang yang
baru lulus sekolah atau kuliah dan juga orang-orang yang belum pernah bekerja di
perusahaan resmi. Biasanya untuk menjadi seorang TKI, tidak dibutuhkan syarat
pengalaman kerja karena sebelum diberangkatkan ke negara tujuan kerja, para
TKI (Tenaga Kerja Indonesia) akan diberikan pelatihan yang akan memberi bekal
keterampilan untuk bekerja sesuai dengan bidang keahlian profesi yang
dipilihnya.

3. Mencari Pasangan Hidup


Bagi orang-orang yang belum menikah atau sudah menikah namun masing ingin
menambah isteri, menjadi seorang TKI dapat memperbesar peluang seseorang
untuk bisa mempunyai pasangan hidup seorang warga negara asing. Bentuk fisik
orang-orang timur tengah, eropa, maupun amerika mungkin saja menjadi
penyebab seseoang ingin mencari pasangan hidup di luar negeri. Bukan hal yang
tidak mungkin seseorang nekat menjadi seorang TKI hanya karena ingin mencari
pasangan hidup di luar negeri.

4. Menjadi Warga Negara Asing


Orang-orang yang benci dengan Indonesia bisa saja ingin menjadi warga negara
lain dengan cara menjadi TKI terlebih dahulu. Baru setelah dirasa mampu
memenuhi persyaratan pindah kewarganegaraan maka orang tersebut akan
berpindah kewarganegaraan menjadi warga negara di tempatnya bekerja dan
melepaskan kewarga negaraan Indonesia yang dimilikinya.

5. Menjadi Seorang Juru Dakwah


Menyebarkan agama di negara-negara yang mayoritas penduduknya tidak
memeluk agama yang sama dengan dirinya adalah salah satu tujuan seseorang
menjadi seorang TKI yang bekerja di luar negeri. Baik da'i, misionaris, dan lain
sebagainya mungkin saja menjadi seorang TKI terlebih dahulu, kemudian setelah
mampu beradaptasi dengan baik orang tersebut akan berdakwah kepada orangorang yang ada di sekitarnya.
Sekian informasi mengenai Tenaga Kerja Indonesia yang singkat ini. Apabila ada
kesalahan maupun kekurangan harap menuliskannya di kolom komentar di bawah
ini. Terima kasih atas kedatangan anda di website yang sederhana ini.

2.

Perkembangan kekerasan terhadap TKI asal Indonesia di Arab Saudi

Menurut catatan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja


Indonesia (BNP2TKI) pada 2009, Arab Saudi merupakan negara yang paling
banyak didapati TKI bermasalah (22.035 kasus). Selain kasus penyiksaan, TKI di
Arab Saudi mengalami pelecehan seksual, pemerkosaan, gaji tidak dibayar, serta
lari dari majikan hingga meninggal dunia akibat kekerasan dan eksploitasi.
Pertanyaannya mengapa Arab Saudi diminati TKW/TKI? Penjelasan rasionalnya
adalah karena iming-iming gaji besar serta bagi TKW/TKI yang latar belakang
dari pesatren, maka harapan agar bisa menunaikan ibadah haji secara gratis adalah
daya tarik tersendiri.
Tingginya kasus penyiksaan TKW/TKI di Arab Saudi diperkirakan beberapa
faktor antara lain pandangan sosial yang melihat bangsa Indonesia sebagai bangsa
kelas dua, pembantu dianggap hamba, sebagian TKI masuk menggunakan visa
umrah atau haji sehingga bekerja sebagai TKI ilegal, masalah bahasa serta
kehidupan sosial agak tertutup. Salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Nusa Tenggara Barat bidang Kesra dan Tenaga Kerja bernama TGH
Hazmi Hamzar menyebutkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya penganiayaan dan penyiksaan TKI di negara Saudi Arabia adalah
persoalan bahasa. Para tenaga kerja banyak yang diberangkatkan dalam kondisi
kepahaman bahasa yang minim. Hal ini jelas akan menjadi faktor penghambat
komunikasi antara seorang pekerja dengan majikan. Oleh sebab itu hal penting
yang harus dipenuhi seorang tenaga kerja yang akan diberangkatkan adalah
persoalan bahasa, bahasa harus dikuasai sebab merupakan kunci utama dalam
komunikasi

3.

Kasus TKI di Arab Saudi

SUKABUMI, KOMPAS.com Seorang tenaga kerja wanita asal Kabupaten


Sukabumi, Jawa Barat, Kokom, warga Desa Cijatu, Kecamatan Jampangkulon,
menjadi korban penyiksaan hingga lumpuh oleh majikannya di Arab Saudi.
"Selama bekerja di dua majikannya tersebut, Kokom tidak pernah mendapatkan
gaji, bahkan hampir setiap waktu mendapatkan penyiksaan dari majikannya yang
menyebabkan beberapa bagian tubuhnya lumpuh seperti kaki, mata, dan telinga,"
kata Jejen Nurjanah, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jabar, Selasa
(8/10/2013). Informasi yang dihimpun Antara dari Serikat Buruh Migran
Indonesia cabang Jawa Barat, Kokom yang saat ini berusia sekitar 35 tahun sudah
14 bulan bekerja di Arab Saudi di dua majikan yang berbeda. Majikan pertama
diketahui bernama Kholifah Al Mudib dan majikan yang kedua yakni Munah
Ilham Muhamad Al Rizky. Keterangan yang didapat Jejen dari korban, di
majikannya yang pertama Kokom sering mendapatkan pukulan oleh benda tumpul
dan gajinya pun tidak dibayarkan. Karena tidak kuat dengan penyiksaan yang
dilakukan majikannya akhirnya Kokom kabur.
Kokom pun mendapatkan majikan baru yakni Munah. Alih-alih mendapatkan
majikan yang lebih baik, Munah ternyata lebih kejam dari majikannya yang
pertama. Kokom kembali menerima berbagai bentuk penyiksaan meskipun tidak
melakukan kesalahan. "Saat ini Kokom berada di Konsulat Jenderal RI di Jeddah,
Arab Saudi, dan di tubuh korban masih terlihat luka bekas siksaan majikannya,
bahkan kaki, mata, dan telinga serta tangan korban tidak bisa berfungsi,"
tambahnya. Menurut Jejen, saat ini keluarga korban sudah datang ke Kementerian
Luar Negeri RI dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI dengan
didampingi oleh SBMI. Selain itu, pihaknya juga akan melaporkan kasus
penyiksaan ini kepada Komnas Perempuan dan polisi, serta meminta pemerintah
mengusut kasus ini dan berkoordinasi dengan Kerajaan Arab Saudi untuk
menangkap kedua majikan Kokom tersebut. "Kami berharap pemerintah proaktif
dalam memberikan bantuan hukum kepada para TKI yang menjadi korban
penyiksaan karena hampir setiap tahun ada kasus yang serupa," katanya. Namun,
lanjut Jejen, hukuman paling berat untuk pelaku penyiksaan hanya beberapa tahun
saja, atau berupa denda. Setelah itu hak-hak TKI, seperti gaji, tidak diberikan,
sehingga tidak sedikit TKI yang pulang hanya mambawa baju atau luka bekas
penyiksaan.

4.

Faktor penyebab kekerasan pada TKI

Luar biasa hebatnya pemberitaan media massa atas kasus penyiksaan TKI diluar
negeri akhir-akhir ini. Media telah menempatkan penyiksaan TKI luar negeri
sebagai berita istimewa melebihi kasus mafia hukum dan Korupsi. Berbagai
elemen masyarakatpun angkat bicara dengan porsinya masing-masing untuk
mendudukan permasalahan TKI ada dimana.
Melihat opini yang berkembang, Sejumlah pandangan terkesan tidak berimbang
dan cenderung memberi vonis bahwa TKI adalah korban kekerasan yang tidak
pernah berhenti karena rule of law pemerintah terlalu lemah. Tidak salah
memang, jika aspek hukum menjadi persoalan yang dijadikan acuan utama. Tapi
bila kita melihat penempatan TKI secara lebih luas, maka akan ada sejumlah
persoalan lain terkait lemahnya rule of law tadi.
Sesungguhnya, pemberitaan gencar media massa baik cetak maupun elektronik
yang kita lihat adalah pandangan atas kelalaian Negara dalam tata kelola
perlindungan hukum bagi TKI. Pandangan yang muncul banyak mempersoalkan
perlindungan TKI oleh Negara dari siksaan semata tanpa melihat aspek
kesuksesan bagi sebagian besar TKI dan aspek keuntungan Negara yang lebih
luas dari sector ekonomi dan psikososialnya. Termasuk kondisi ril Negara
ditengah kebutuhan dan kemiskinan sebagian rakyat yang belum bisa diatasi
Negara. Secara hukum, persoalan TKI akan berada didalam wilayah Dua Negara
, Dimana setiap negara ditetapkan bertanggung jawab atas terjadinya tindakan
kesalahan. Pertanyaan, apakah penyiksaan TKI sudah mendapat perlindungan
dari Negara ?. Sepanjang kejadian siksaan terhadap TKI, bisa dibilang Negara
telah lalai dalam tanggung-jawabnya. Hampir dipastikan baik Negara asal
maupun sejumlah Negara penempatan tidak berfungsi efektif memberi
pelayanan dan perlindungan TKI. Dalam situasi Negara mengalami situasi
politik yang panas, dan tata kelola hukum pemerintah yg lemah, maka
penyiksaan TKI harus diakui menjadi issu strategis dilibatkan yang kemudian
dipolitisir untuk melengkapi buruknya pengelolaan hukum Negara oleh
pemerintahan yang ada. Politisasi kasus TKI-pun semakin lancar dan membias
karena dukungan media massa lebih menyukai pemberitaan bermasalah dari pada
kesuksesan TKI yang jauh lebih besar. Berangkat dari sejarah penempatan TKI
keluar negeri yang awalnya dirintis pihak swasta kemudian Negara terlibat
melalui UU dan sejumlah peraturan untuk memberi adanya jaminan perlindungan
serta peningkatan kualitas, maka penempatan TKI luar negeri dengan sendirinya
telah menjadi program nasional yang sama dengan program transmigrasi maupun
pengentasan kemiskinan. Namun dalam implementasinya, TKI hanya menjadi
subyek untuk mewajibkan mengikuti aturan-aturan Negara tanpa mendapat
pelayanan dan perlindungan maksimal. Munculnya pilihan menjadi TKI bekerja
sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang semakin hari terus meningkat
tidak juga bisa kita salahkan. Fakta- fakta yang memberi gambaran obyektif
dan langsung dari kemiskinan nyata banyak yang sukses menjadi TKI didepan

mata, Lantas dengan keterbatasan berpikir, hanya menjadi TKI lah bagi sebagian
rakyat bisa melepaskan diri dari kungkungan ekonomi dinegeri sendiri. Sebuah
fakta memang yang harus dilakukan oleh sebagian besar rakyat miskin yang tidak
memiliki kemampuan untuk berkompetitif dengan ketidak-tersediaan lapangan
kerja dalam negeri. Keterlibatan Negara terhadap penempatan dan perlindungan
TKI memang memberi keuntungan, disatu hal terbukti membawa dampak social
yg baik dan memberi keuntungan dalam sector ekonomi melalui devisa. Namun
melihat kemiskinan nyata yang signifikan serta kasus yang dialami TKI di luar
negeri yang kehilangan perlindungan, maka Negara terpojokan dalam posisi
dilematis. Disatu sisi Negara berhadapan kemiskinan dan disisi lain belum mampu
memberi perlindungan optimal bagi TKI. Pemerintah serta PPTKIS sebagai
wakil Negara dalam pelaksana penempatan TKI senantiasa dihujat sebagai
biang kerok lemahnya perlindungan dan peningkatan kualitas TKI, karena
dituding pemalsuan document dan sebagainya. Tetapi semua pihak tidak mau
melihat bahwa pemalsuan document juga banyak dilakukan oleh TKI dan
keluarganya . Tindakan ini terpaksa dilakukan karena hukum Negara seperti
pembatasan usia minimal 21 tahun oleh UU 39 Tahun 2004, dianggap telah
membatasi hak mereka untuk bekerja dan mendapat kehidupan layak. Bicara
perlindungan dan peningkatan kualitas TKI dalam Negeri , harus dilihat dari
sejumlah ketentuan yang dibuat pemerintah. Ketentuan TKI diwajibkan
menjalani tahapan proses peningkatan kualitas dan perlindungan dalam negeri
seperti pemeriksaan Kesehatan, BLK-LN, Paspor.
Asuransi Pra pemberangkatan dan Asuransi pemberangkatan telah di ikuti dan
sepenuhnya dibiayai dari dana Negara penempatan, bukan dana APBN. Artinya
Negara penempatan cukup koperatif terkait upaya peningkatan kualitas dan
perlindungan TKI. Aspek lainya adalah multiple-efek, dimana TKI memberi
masukan signifikan bagi penerbangan kita, pedagang kaki lima disemua pos
pelayaan TKI, dan miliaran rupiah masuk di tiap daerah dari kiriman TKI tiap hari
. Termasuk dana pembinaan dan perlindungan sebesar 15 Dollar per TKI kepada
pemerintah sejak 25 tahun lalu yang hingga kini tidak jelas kemana arah
pengelolaannya. Cukup jelas begitu besar dampak positif dari program
penempatan dan perlindungan TKI. Namun, persoalan penting disini adalah
keterlibatan Negara yang belum optimal dalam peningkatan kualitas kerja dan
kualitas mentalitas TKI. Dua aspek ini cenderung menjadi sumber masalah
munculnya sejumlah kasus, apalagi pihak penggunan jasa ( majikan ) merasa telah
mengeluarkan banyak anggaran.
Persoalan menjadi lain ketika muncul kasus siksaan terhadap TKI diluar negeri
oleh sedikit orang seperti Arab Saudi misalnya, masyarakat begitu cepat bereaksi
dan menghujat suatu Negara tanpa melihat berbagai aspek lain. Persoalan terjadi
penyiksaan sebenarnya bisa dikatakan konsekwensi resiko yang relative muncul
dimana saja. Tetapi atas desekan kebutuhan dan pendapatan yang lebih baik,

animo menjadi TKI mengalahkan resiko. TKI telah mengambil jalan sendiri dan
tidak melihat ada kepedulian dari dalam Negeri yang menjamin perubahan nasib
mereka.
Adakah kita menyadari bagaimana sulitnya rakyat miskin mempertahankan hidup
dengan kemampuan sebatas menjadi pembantu rumah tangga, Apakah ada
jaminan pemerintah untuk melahirkan peraturan mewajibkan setiap pengguna
jasa pembantu rumah tanggaa dalam negeri ditetapkan dengan gaji mencukupi.
Adakah inisiatif DPR RI untuk membuat UU yang lebih memberi pelayanan dan
perlindungan dengan baik, atau adakah diantara kita mau memikirkan kemiskinan
mereka, kalau bukan setelah mereka menjadi TKI dan disiksa, dan sederet
pertanyaan lain yg menyangkut adanya jaminan kehidupan yang layak bagi
rakyat miskin.
Jika kita melihat dengan rasional yang obyektif, maka pantas kita bertanya,
bukankah Negara-Negara penempatan seperti Negara - Negara Arab dan
Negara Asia pasifik lainnya telah banyak membantu perbaikan nasib sebagian
rakyat kita. Bukankah Negara Negara tersebut mau menerima masyarakat kita
karena melihat factor keagamaan dan kemiskinan. Mungkinkah TKI kita yang
hanya memiliki kemampuan sebatas pembantu rumah tangga diterima di Negara
Eropa, kalau jika bukan Negara-Negara Arab. Sangat disayangkan oleh kita
semua, jika benar persoalan TKI sekarang telah dipolitisir oleh kepentingan
politik atau telah dimanfaatkan kepentingan kelompok tertentu yang memiliki
motifasi untuk mengalihkan dominasi penempatan TKI pada wilayah Negara
tertentu.
Kita tidak pantas bersikap munafik dengan alasan harga diri, tetapi tidak mampu
memahami masalah untuk asal bicara sehingga merendahkan nilai intelektual
kita. Fakta Prosentase keuntungan Negara dalam sector ekonomi melalui devisa
dan pengiriman gaji serta multi efek lain jauh lebih tinggi dibanding kegagalan
karena kasus. Begitupun dengan prosentase fakta dalam sector psikososial ,
dimana menjadi TKI telah mampu mengangkat harkat martabat atas
kemiskinan , pola pikir dan pola hidup mereka lebih baik, bukan oleh kita dan
Negara. Justeru kita dan Negara telah mengambil banyak manfaat dari semangat
TKI. Untuk Negara saat ini, persoalan perlindungan dan kualitas TKI menjadi
PR penting untuk diselesaikan. Solusi perlindungan harus ditempuh dengan
langkah diplomatic yang optimal dengan Negara penempatan yang lebih
mengacu pada nilai-nikai kemanusiaan dengan merujuk hukum migrant
internasional. Dan pihak-pihak lain supaya lebih arif mendudukan persoalan
sehingga tidak sekedar bisa memberi hujatan jika TKI menghadapi masalah
karena persoalan TKI adalah persoalan Negara yang juga menjadi persoalan
kita semua.[1][22]. Setiap kali melihat berita di media cetak dan elektronik
tentang perlakuan tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, kasar,

penyiksaan, sampai pembunuhan terhadap tenaga kerja Indonesia/tenaga kerja


wanita (TKI/TKW) di luar negeri, pemerintah dan masyarakat baru bereaksi,
seolah-olah kejadian seperti ini tidak dapat diprediksi sebelumnya.
Padahal TKI yang dikirim ke luar negeri, khususnya TKW, sangatlah rawan
terhadap penyiksaan, perlakuan kasar, dan tidak manusiawi sampai kepada
pemerkosaan, pembunuhan, atau penghilangan (disappearance). Sikap reaktif dan
impromptu itu sungguh tidak bijaksana mengingat harkat dan martabat bangsa
Indonesia dipertaruhkan di negara yang menampung mereka di perantauan karena
alasan mencari dan memperoleh pekerjaan guna menyambung hidup mereka,
yang di dalam negeri tidak dapat mereka peroleh dengan berbagai alasan
ekonomi, sosiologis, dan antropologis.
Selayaknya TKW/TKI yang sudah sejak lama dianggap sebagai pahlawan devisa
diperhatikan nasibnya oleh pemerintah dan elite negeri ini. Ketidakmampuan
menyediakan lapangan kerja bagi sebagian penduduk Indonesia adalah tanggung
jawab pemerintah dan elite karena berbagai hal itu disebabkan kekeliruan
manajemen, ketimpangan distribusi kekayaan, dan kesenjangan sosial.
Pihak TKW/TKI yang dikirim ke mancanegara banyak yang tidak dibekali
pengetahuan mengenai budaya, kebiasaan, persepsi majikan terhadap TKW/ TKI,
hubungan kerja, penguasaan bahasa, perlakuan, dan pengharapan (ekspektasi)
majikan di sana dan lain-lain. Karena itu, program pelatihan dan penyuluhan
TKW/TKI perlu diadakan agar para TKW/TKI yang mau berangkat ke negara
tujuan dibekali pengetahuan tentang budaya, kebiasaan, hubungan kerja, bahasa
dan keterampilan yang dapat meminimalisasi risiko penganiayaan, penyiksaan,
perlakuan tidak manusiawi, dan perendahan harkat dan martabat sebagai manusia,
dan pembunuhan.
Tanpa pembekalan akan keterampilan (skill), bahasa setempat, dan penyuluhan
tentang hal-hal yang disebutkan tadi, akan rawan terjadi ketidakpuasan sang
majikan yang menggaji mereka, yang bukan tidak mungkin akan berujung pada
tindakan-tindakan pelecehan seksual dan kekerasan kepada TKW/TKI.
Perlakuan yang tidak manusiawi ini merupakan pelanggaran atas Pasal 5
Universal Declaration of Human Rights yang berbunyi: No one shall be
subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment.
[2][23]
Perlakuan tidak manusiawi terhadap TKI/TKW juga melanggar Pasal 7
International Covenant on Civil and Political Rights, yang berbunyi: No one
shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or
punishment. In particular, no one shall be subjected without his free consent to

medical or scientific experimentation.[3][24] Di sinilah pemerintah kita harus


berperan sebagai penyuluh dan pembimbing proaktif para TKW/ TKI.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, peran pemerintah sangat vital untuk
memberikan penyuluhan dan bekal sebelum para TKW/TKI dikirim ke negaranegara tujuan seperti di Timur Tengah (Saudi Arabia, Jordania, Uni Emirat Arab,
dan lain-lain), Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan. Pemerintah harus
proaktif memberi perlindungan hukum seperti mengadakan perjanjian bilateral
dengan negara penampung TKW/ TKI.
Kemudian menyusun draf kontrak kerja yang dapat melindungi para TKW/TKI,
penyuluhan tentang bahasa, kebudayaan, kebiasaan, ekspektasi, hubungan kerja,
hak cuti, prosedur pengaduan kalau ada perlakuan melanggar hukum dan
kemanusiaan, serta hal-hal lain. Adapun peran dan tanggung jawab pemerintah
terhadap TKW/ TKI telah diatur dalam UU No 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Pasal 6 UU No 39/2004 menyebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab
untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri. Kemudian dalam
Pasal 7, dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut pemerintah
berkewajiban sebagai berikut:

a)
Menjamin terpenuhinya menjamin terpenuhinya hak-hak calon
TKW/TKI, baik yang
bersangkutan berangkat melalui pelaksana penempatan TKI, maupun yang
berangkat secara mandiri.
b)

Mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI;

c) Membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di


luar
negeri;
d) Melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan
perlindungan TKI
secara optimal di negara tujuan; dan

e) Memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum


pemberangkatan, masa
penempatan, dan masa purna penempatan.

Lebih lanjut dalam Pasal 77 hingga Pasal 84 UU No 39/2004 bahkan telah diatur
lebih lanjut mengenai kewajiban-kewajiban pemerintah untuk memberikan
perlindungan terhadap TKW/TKI selama penempatannya di luar negeri, melalui
perwakilannya di luar negeri dan perwakilan dari perusahaan swasta yang
melaksanakan penempatan TKW/TKI di luar negeri. Selain itu, perlu juga
diselidiki terlebih dahulu, apakah negara tujuan masih mempraktikkan
perbudakan?
Siapa-siapa saja yang bersalah selama ini dan sejauh mana proses peradilan dan
hukuman yang ditetapkan? Barangkali kita dapat belajar dari sesama negara
ASEAN seperti Filipina dan Thailand yang juga mengirim tenaga kerja keluar
negeri tetapi tidak mengalami nasib yang sama dengan TKI asal Indonesia. Semua
ini perlu dilakukan terpadu, terprogram, holistik, bukan sewaktu-waktu dan reaktif
saja, karena ini menyangkut kemanusiaan, harkat, dan martabat bangsa.
Pemerintah harus melindungi hak asasi manusia para TKW/TKI, khususnya hak
hidup, hak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta hak atas
perlakuan sama di hadapan hukum dan dianggap sebagai subyek hukum dan
bukan objek hukum. Tanpa jaminan tersebut, sebaiknya pengiriman TKW/TKI ke
negara-negara tertentu yang tidak dapat menjamin ada perlindungan hukum atas
hak asasi manusia serta perlakuan yang wajar dan manusiawi bagi TKW/TKI
dihentikan untuk sementara waktu, sampai keadaan kondusif dan pemerintah
negara tujuan menjamin perlindungan hukum atas hak asasi manusia serta
perlakuan yang wajar dan manusiawi terhadap para TKW/TKI kita.IKADIN
pernah mengirimkan Tim Kemanusiaan yang terdiri atas Sudjono, Frans Hendra
Winarta, John Pieter Nazar, dan Arno Gautama Harjono, ke Malaysia pada 1991
untuk membela Salidin Bin Mohammad, TKI di Malaysia yang dituduh
membunuh seorang warga negara Malaysia dalam suatu perkelahian
antarkelompok di Ipoh, Kuala Lumpur, 1989. Pembelaan terhadap Salidin Bin
Mohammad dilakukan dengan bekerja sama dengan peguam bela Malaysia atas
biaya Tim Kemanusiaan IKADIN dan majikan Salidin. Akhirnya, Mahkamah
Tinggi Malaysia pada sidang tanggal 1 September 1992 memutus bebas Salidin
Bin Mohammad karena mempunyai alibi. Pengiriman TKW/TKI ke luar negeri
memang suatu dilema. Di satu pihak, mereka dapat memperoleh penghidupan dan

pekerjaan yang layak dengan bekerja di luar negeri, bahkan dapat membantu
menafkahi keluarga mereka di Indonesia. Tetapi di lain pihak, mereka terancam
dengan penyiksaan, pembunuhan, perlakuan tidak manusiawi, pemerkosaan,
pelanggaran hukum, dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Tetapi, ini bukan
tidak ada solusinya selama pemerintah mempunyai political will untuk
menanggulangi nasib para TKW/TKI di mancanegara. Karena itu, pemerintah
diharapkan dapat segera bertindak untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
yang sering dialami TKW/TKI di mancanegara selama ini, kasus-kasus
penganiayaan TKW/TKI tidak terulang kembali di masa mendatang.[4][25]
Meskipun berbagai kasus penyiksaan TKI yang dialami oleh para tenaga kerja
wanita di luar negeri kerap berujung pada paket mayat yang diterima oleh pihak
keluarga si pekerja, kenyataannya setiap tahun jumlah tenaga kerja yang dikirim
keluar negeri rata-rata mencapai 50.000 hingga 60.000 per tahun. Bahkan menurut
pengakuan menteri Tenaga Kerja Sendiri bahwa pengiriman TKI ke arab Saudi
mencapai 300 orang perhari.[5][26] Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat
pertama dalam pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, disusul provinsi
Nusa Tenggara Barat.
Semua persoalan TKI di luar negeri berawal dari masalah domestik. Sampai saat
ini, pemerintah gagal menyusun sistem perekrutan, dokumentasi, dan pelatihan
calon TKI yang mumpuni. Pemerintah menyerahkan hampir semua proses kepada
pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) dan baru muncul
aktif menjelang tahap akhir penempatan. Persoalan kemiskinan membuat ribuan
angkatan kerja tanpa keahlian, bahkan sebagian besar tidak berpendidikan formal
sama sekali, mendaftar menjadi TKI. Keterbatasan informasi dan peran aktif
pemerintah, terutama di daerah, membuat sponsor menjadi dewa penolong
mereka. Sponsor, yang seolah-olah kepanjangan tangan PPTKIS, berkeliaran
mencari siapa saja yang berminat bekerja ke luar negeri dengan janji gaji yang
menggiurkan.
Sponsor mengantar calon TKI ke penampungan-penampungan PPTKIS dan
meninggalkan mereka di sana begitu menerima uang jasa dari pengusaha. Sampai
di sini, PPTKIS wajib membekali calon TKI dengan pelatihan kompetensi
minimal 200 jam dan bagi mereka yang sudah pernah bekerja di luar negeri
selama 100 jam. Kursus selama sekitar 21 hari tersebut bertujuan meningkatkan
kompetensi calon TKI terhadap bahasa, kondisi sosial, dan hukum di negara
tujuan. Tetapi, dalam kasus Sumiati, kita mengetahui proses ini tidak berjalan.
Sumiati tidak bisa berbahasa Arab dan Inggris. Faktor komunikasi yang
membuatnya tidak mampu memahami permintaan atau instruksi majikan. Oleh
karena itu, Sumiati telah menjadi korban keserakahan pengusaha penempatan dan
birokrat yang tidak mampu menjalankan tugas.

Bagaimana mungkin Sumiati bisa tetap berangkat ke Madinah dengan prosedur


resmi sementara dia tidak memenuhi syarat pokok dalam kompetensi kerja?
Dalam hal ini, tentu kita tidak bisa menyalahkan Sumiati. Dia hanya ingin bekerja
agar bisa keluar dari kemiskinan. Sumiati bisa saja merasa tertarik atas
keberhasilan teman dan kerabatnya yang sukses mendulang rezeki di luar negeri
menjadi TKI. Belum sebulan Muhaimin Iskandar menjabat Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, dia meluncurkan program sertifikasi kompetensi 15.000 calon
TKI tujuan Timur Tengah bekerja sama dengan asosiasi pengusaha penempatan
TKI. Muhaimin juga merazia sejumlah tempat penampungan calon TKI yang
tidak layak dan menegaskan akan mencabut izin PPTKIS konsumen sertifikat
kompetensi kerja TKI asli tetapi palsu. Disebut asli tetapi palsu (aspal) karena
PPTKIS mendapatkan sertifikat resmi itu tanpa menyertakan calon TKI dalam
program pelatihan kerja. Sertifikat aspal ini diperdagangkan dengan harga Rp
70.000 per lembar. Ketua Umum Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan Tenaga
Kerja Indonesia Yunus M Yamani dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan
Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Rusjdi Basalamah pernah
mempersoalkan hal ini. Namun, pemerintah tidak kunjung menangani sehingga
praktik ilegal itu semakin meluas. Pengusaha yang serius menjalankan aturan
pemerintah menyertakan calon TKI dalam program pelatihan kerja berbiaya Rp
1,1 juta per orang pun tergoda. Mereka telah kehilangan daya saing saat
pemerintah tak kunjung menindak perdagangan sertifikat aspal senilai Rp 70.000
per lembar tanpa proses pelatihan. Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Anis
Hidayah, PPTKIS dan balai latihan kerja penerbit sertifikat kompetensi kerja
aspal bisa dipidana karena menggunakan dokumen resmi secara tidak sah.
Namun, Kemennakertrans dan BNP2TKI juga patut diseret ke pengadilan karena
turut meloloskan pemegang sertifikat aspal ke luar negeri. Kelemahan pemerintah
membenahi persoalan domestik turut melemahkan rasa percaya diri diplomasi
bilateral.
Saat ini, Indonesia menghentikan sementara (moratorium) penempatan TKI sektor
informal ke Malaysia sejak 26 Juni 2009, Kuwait (1 September 2009), dan
Jordania (30 Juli 2010). Moratorium ini berawal dari keengganan pemerintah
ketiga negara memenuhi permintaan Indonesia. Kemampuan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dan pembantunya dalam hal negosiasi, lobi, dan diplomasi
sangat menentukan keberhasilan moratorium. Kalau tidak, ya seperti sekarang.
Kebijakan buruh migran Indonesia akan terus berfluktuasi mengikuti kemauan
negara tujuan dan penyiksaan TKI oleh majikan tak lebih angka statistik semata.
Semua demi aliran devisa.

5.

Solusi dan Peran Pemerintah dalam melindungi TKI di Arab Saudi

Terjadinya banyak kasus penganiayaan dan penyiksaan TKI yang berada di luar
negeri disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut tak jarang bermula
dari ketidakprofesionalan pihak-pihak yang menangani kebijakan penyaluran
tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Berikut ini beberapa faktor yang
menyebabkan berbagai penganiayaan dialami oleh para tenaga kerja terutama
kaum wanita;

1.

Kemampuan berbahasa yang tak memadai

Salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Barat
bidang Kesra dan Tenaga Kerja bernama TGH Hazmi Hamzar menyebutkan
bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penganiayaan dan
penyiksaan TKI di negara Saudi Arabia adalah persoalan bahasa. Para tenaga
kerja banyak yang diberangkatkan dalam kondisi kepahaman bahasa yang minim.
Hal ini jelas akan menjadi faktor penghambat komunikasi antara seorang pekerja
dengan majikan. Oleh sebab itu hal penting yang harus dipenuhi seorang tenaga
kerja yang akan diberangkatkan adalah persoalan bahasa, bahasa harus dikuasai
sebab merupakan kunci utama dalam komunikasi.

2.

Kemampuan mengenal budaya negara yang akan dituju

Kemampuan membaca dan memahami budaya suatu daerah merupakan modal


penting untuk seseorang dapat hidup di daerah bersangkutan. Kesalahan dalam
memahami sebuah budaya bukan hanya akan menghambat komunikasi, namun
lebih parah lagi dapat mengancam keselamatan dirinya. Penyiksaan TKI di luar
negeri salah satunya disebabkan oleh ketidaktahuan para tenaga kerja terhadap
budaya dan adat istiadat suatu daerah. Pemahaman penting yang perlu ditanamkan
pada para pekerja yang akan diberangkatkan selain bahasa adalah pemahaman
budaya. Dua hal ini akan menjadi hal berimbang yang akan membantu keberadaan
seseorang di sebuah negara asing.

3.

Kemampuan intelektualitas

Daya intelektual dan wawasan yang dimiliki oleh seseorang akan menjadi faktor
bagaimana orang lain akan bersikap terhadap kita. Tenaga kerja Indonesia di luar
negeri yang kerap mendapat penyiksaan dan penganiayaan fisik, mayoritas berasal
dari tenaga kerja non terdidik. Biasanya, berasal dari kalangan pekerja rumah

tangga yang kebanyakan kaum wanita. Perspektif negara-negara maju


memandang Indonesia adalah sebuah negara besar yang masih miskin dan dilanda
persoalan dalam negeri yang tak kunjung putus.
5. Solusi dan Peran pemerintah dalam melindungi TKI di Arab Saudi. Munculnya
pilihan menjadi TKI bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang
semakin hari terus meningkat tidak juga bisa kita salahkan. Fakta- fakta yang
memberi gambaran obyektif dan langsung dari kemiskinan nyata banyak yang
sukses menjadi TKI didepan mata, Lantas dengan keterbatasan berpikir, hanya
menjadi TKI lah bagi sebagian rakyat bisa melepaskan diri dari kungkungan
ekonomi dinegeri sendiri. Sebuah fakta memang yang harus dilakukan oleh
sebagian besar rakyat miskin yang tidak memiliki kemampuan untuk
berkompetitif dengan ketidak-tersediaan lapangan kerja dalam negeri.
Keterlibatan Negara terhadap penempatan dan perlindungan TKI memang
memberi keuntungan, disatu hal terbukti membawa dampak social yg baik dan
memberi keuntungan dalam sector ekonomi melalui devisa. Namun melihat
kemiskinan nyata yg signifikan serta kasus yang dialami TKI di luar negeri yang
kehilangan perlindungan , maka Negara terpojokan dalam posisi dilematis. Disatu
sisi Negara berhadapan kemiskinan dan disisi lain belum mampu memberi
perlindungan optimal bagi TKI.
Secara hukum, persoalan TKI akan berada didalam wilayah Dua Negara.
Dimana setiap negara ditetapkan bertanggung jawab atas terjadinya tindakan
kesalahan. Sepanjang kejadian siksaan terhadap TKI, bisa dibilang Negara telah
lalai dalam tanggung-jawabnya. Hampir dipastikan baik Negara asal maupun
sejumlah Negara penempatan tidak berfungsi efektif memberi pelayanan dan
perlindungan TKI, dasar hokum hak dan perlindungan TKI sudah diatur dan
diamanatkan oleh konstitusi negara kita bahkan negara pengguna jasa tenaga kerja
Indonesia.
Beberapa aturan domestik itu diantaranya :
o Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan";
o Pasal 28D Ayat 1 & 2, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja".
o Pasal 28G Ayat 1 & 2, "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak

atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Setiap orang berhak untuk bebas dari
penyiksaan dan perlakuan myang merendahkan derajat martabat manusia dan
berhak memperoleh suaka politik dari negara lain".
o Peraturan Menteri Tenaga Kerja ; Per-02/Men/1994, tentang Penempatan
Tenaga Kerja Di dalam dan ke Luar Negeri dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor : Kep-44/Men/1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penempatan Tenaga
Kerja di Dalam dan di Luar Negeri, yang merupakan pengganti Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor : Per-06/Men/1987 tentang Bursa Kerja Swasta dan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1991 tentang Antar Kerja
Antar Negara (AKAN), yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
keadaan masyarakat Indonesia.
o Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Per-02/Men/1994 tentang Penempatan Tenaga
Kerja di Dalam dan di Luar Negeri, pelaksanaan penempatan tenaga kerja di luar
negeri ditetapkan dalam Bab II pasal 5 tentang persyaratan kerja:

Regulasi Jaminan Perlindungan Hukum TKI Di Luar Negeri (Arab Saudi)


Dalam peraturan Kerajaan Arab Saudi, yaitu dalam The Basic Law of
Government pasal 17, (Basic Law 1 Maret 1992), ditetapkan bahwa :

pemilikan modal, dan tenaga kerja adalah dasar ekonomi dan kehidupan social
kerajaan yang semuanya menerapkan hak-hak peribadi yang melayani fungsi
social yang sesuai dengan syariah islam.[6][27]

Pasal 18, menetapkan bahwa negara akan menjamin kebebasan dan tak dapat
diganggu gugatnya kepemilihan pribadi. Kepemilikan pribadi tidak akan disita,
kecuali untuk kepentingan umum, dan penyitaan akan dikompensasi secara wajar.
[7][28]
Pasal 26, bahwa negara akan menyediakan kesempatan kerja kepada semua rakyat
yang sanggup dan akan menetapkan perundang-undangan untuk melindungi
pekerja dan majikan.[8][29]

Pasal 36, menyebutkan bahwa, negara akan menjamin keamanan semua warga
negara dan orang asing yang hidup dalam tempat tinggalnya. Tidak ada orang
yang akan ditahan, dipenjara, atau tindakan-tindakannya dibatasi kecuali oleh
ketentuan-ketentuan hokum.[9][30]
Pasal 47, menyatakan bahwa warga negara dan penduduk asing keduanya
mempunyai hak yang sama terhadap proses peradilan.[10][31]
Sementara dalam Royal Decree Nomor /M/21 tanggal 15 November 1969,
mengenai Undang-Undang Perburuhan Kerajaan Arab Saudi, pasal 3 menetapkan
bahwa, sebagai pengecualian pasal-pasal UU ini tidak termasuk kepada :[11][32]
a) Pekerja dalam perusahaan keluarga yang termasuk hanya anggota-anggota
dari keluarga majikan;
b)

Orang yang bekerja di peternakan atau pertanian dengan pengecualian ;

1) orang-orang yang bekerja di perusahaan pertanian yang memproses


produksinya sendiri.
2) Orang-orang yang bekerja secara permanen dalam operasi atau perbaikan
alat mekanis yang diperlukan untuk pertanian.
c)

Pembantu domestik dan orang-orang yang dianggap seperti itu.

Jaminan perlindungan hukum bagi tenaga kerja di Kerajaan Arab Saudi


sebenarnya telah ada dan tercantum dalam perundangan, baik dalam konstitusi,
Basic Law, Maupun Labour Law.
Jika perlindungan itu tidak ada, akan diusahakan perdamaian antara tenaga kerja
dengan pengguna jasa, Kedutaan RI/Konsulat Jenderal RI di Arab Saudi cukup
membantu dengan menyediakan tecaga pengacara secara tetap.[12][33

4. Alternatif / Saran Penulis


Setelah melihat dan mengkaji permasalahan di atas, serta berbagai referensi dari
berbagai sumber, ada bebarapa hal yang menurut penulis bisa menjadi jalan keluar
dari permasalahan klasik di atas, diantaranya

a. Penciptaan Lapangan Kerja Baru


Pengiriman TKI besar-besaran adalah dampak dari kurang tersedianya lapangan
kerja di negara kita, sehingga angka pengangguran dan kemiskinan semakin
meningkat.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak
negatifpengangguran. Salah satu diantaranya adalah membuka usaha sendiri.
Selain memberdayakan diri, membuka usaha berarti juga menciptakan lapangan
pekerjaan bagi orang lain.
Pemerintah menggalakkan program kewirausahaan bagi para pemuda, mahasiswa
dan remaja. Maksud program ini jelas bahwa seorang mahasiswa yang telah lulus
tidak semata-mata mencari pekerjaan untuk dirinya sendiri. Tapi yang terpenting
adalah menciptakan lapangan kerja baru.
Program tersebut mencakup bantuan modal usaha maupun pelatihan
entrepreneurship di kalangan mahasiswa dan pemuda. Namun kini, banyak juga
anak muda yang memang sejak awal bercita-cita tidak menjadi pegawai. Bagi
mereka, sekolah atau kuliah tetap penting tapi bukan yang utama.
Karena itu banyak kita jumpai, para mahasiswa yang sudah mulai berbisnis kecilkecilan. Ada yang turun langsung mengurus bisnisnya sendiri. Namun adapula
yang mempekerjakan orang lain sebagai pegawai, sementara mereka bertindak
sebagai manajer. Misalnya mahasiswa yang membuka bisnis makanan yang
dijajakan dengan gerobak dorong.
Walau nampak sederhana, usaha ini sungguh mulia. Mereka sudah belajar untuk
berbisnis, membuka lapangan kerja dan mengurangi dampak negatif
pengangguran. Setelah lulus, mereka dapat mengembangkan bisnisnya menjadi
lebih besar ataupun berbisnis baru yang lebih besar namun dengan ilmu jalanan
yang telah mereka dapatkan sebelumnya.

b. Mencegah (bukan mengobati) Kekerasan pada TKI


Penyebab kekerasan pada TKI bisa karena beberapa hal, misalnya tidak adanya
undang-undang yang benar-benar memberi jaminan perlindungan terhadap TKI,
kurangnya keterampilan TKI sehingga mendapat marah sang majikan, dan masih
banyak penyebab lain.

Berikut ini beberapa cara untuk mencegah kekerasan TKI di luar negeri :

Bagi para calon TKI, sebaiknya gunakan jalur penyaluran tenaga kerja yang
legal dan terpercaya.Penyalur tenaga kerja yang baik adalah lembaga/perusahaan
yang bisa menentukan di mana sebaiknya TKI tersebut bekerja sesuai
kemampuannya.

Para penyalur TKI ke luar negeri hendaknya memberi pembinaan dan


pelatihan khusus pada calon TKI. Tak hanya tentang cara bekerja, tapi juga
bagaimana kebiasaan orang luar negeri dan tata cara bersikap. Hal ini tentu sangat
berguna agar TKI tidak menjadi sasaran kemarahan majikan karena salah
mengerjakan tugas.
Baik penyalur maupun pemerintah hendaknya selalu memantau para TKI agar
kekerasan pada TKI bisa diminimalisir, seperti memberlakukan aturan kepada
setiap TKI di luar negeri agar melakukan pelaporan setiap 3 bulan sekali agar TKI
tersebut terpantau dan bisa diketahui keadaannya.
Pemerintah harus menindak tegas para penyalur TKI ilegal yang bisa
menyebabkan para calon TKI mendapat hal-hal yang tidak menyenangkan saat
bekerja di luar negeri.
Pemerintah harus bisa memberi jaminan perlindungan terhadap para TKI di luar
negeri. Selama ini, undang-undang tentang TKI tidak bisa melindungi para
pekerja tersebut dengan baik. Sampai saat ini, pemerintah masih dinilai sangat
lemah dalam menangani kasus kekerasan pada TKI.
Pemerintah harus benar-benar bekerja sama secara baik dengan pemerintah tempat
TKI bekerja, menjalin suatu perjanjian untuk melindungi para TKI dari tindak
kekerasan.
Itulah beberapa cara untuk mencegah kekerasan pada TKI. Dalam hal ini
Pemerintah adalah faktor penting dalam keselamatan para TKI yang sedang
bekerja di luar negeri.
Memang harus diakui, pencegahan kekerasan pada TKI ini memang sangat sulit
karena menyangkut watak orang lain (majikan), apalagi pemerintah Indonesia
tidak bisa menuntut pelaku kekerasan begitu saja karena tidak terjadi dalam
wilayah Indonesia.
Namun, ada satu cara lagi untuk mencegah kekerasan pada TKI, yaitu
menghentikan pengiriman TKI ke luar negeri. Pemerintah harus sadar, kenapa

banyak sekali masyarakat yang tetap ingin menjadi TKI walau sudah banyak
kasus kekerasan yang disebarkan oleh media.
tentu karena faktor ekonomi yang rendah, yang kemudian
mendorong masyarakat untuk mencari rezeki di luar negeri yang gajinya mungkin
bisa lebih banyak daripada di Indonesia.nUntuk itu pemerintah sebaiknya serius
untuk mengentaskan kemiskinan di negara ini, agar masyarakat bisa hidup tentram
dan tidak terpaksa ke luar negeri hanya untuk mencari uang.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Alasan utama kebanyakan TKI bekerja ke luar negeri terutama Arab Saudi adalah
faktor ekonomi. Kebanyakan mereka adalah orang miskin. Jasa tenaga kerja

mereka tidak dapat disalurkan di dalam negeri karena negara tidak menyediakan
lapangan kerja yang cukup. Dengan bahasa lain, negara sebenarnya telah gagal
merealisasikan kesejahteraan bagi warga negaranya.

Saran
Kita harus bisa melihat potensi dan keterampilan dari setiap TKI sehingga
penyaluran Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dapat terwujud lebih terarah demi
menghindari adanya tindak kekerasan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
yang tengah bekerja di luar negeri.

DAFTAR PUSTAKA

WWW.ORGANISASI.ORG>ARTIKEL>DUNIA KERJA>ID
PUSAKABIBA.BLOGSOT.COM
WWW.KASKUS.CO.ID
REGIONAL.KOMPAS.COM
JALALUDINEGA.BLOGSPOT.COM
HTTP://EYRANUCWAEMTEA.BLOGDETIK.COM

PENDAHULUAN

A.

LatarBelakang

Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi serta kemiskinan yang banyak terjadi
di negara-negara berkembang merupakan salah satu pemicu terjadinya migrasi.
Perpindahan tenaga kerja dari negara-negara berkembang ke luar negeri pada
dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan ekonomi antar negara. Rendahnya
tingkat upah serta sulitnya memperoleh pekerjaan di negara berkembang
cenderung mendorong migrasi Internasional. Hal ini disebabkan karena tidak
seimbangnya laju perekonomian dengan ketersediaan lapangan pekerjaan.
Pekerjaan sebagai seorang buruh migran, khususnya menjadi seorang TKI di luar
negeri memangcukup menjanjikan. Seorang TKI lebih mementingkan upah yang
didapatnya dari pada resiko yang diterima ketika statusnya tidak sesuai dengan
prosedur yang ada. Hal tersebut membuat munculnya berbagai kasus penyiksaan
yang menimpa para TKI yang bekerja di luar negeri. Beberapa diantara kasus
tersebut, seperti kasus pelecehanseksual, penganiayaan,sertamajikan bermasalah
dan meninggal yang berujung pada hukuman mati yang diterima para TKI dengan
alasan yang berbeda-beda.
Segala permasalahan di atas disebabkan karena kurangnya pemahaman TKI
tentang hak dan perlindungan yang didapatkannya, serta kurangnya pengawasan
dari pemerintah dalam proses penempatan dan perlindungan TKI itu sendiri.
Penempatan dan perlindungan TKI saat ini terus menjadi sorotan. TKI sering
dijadikan obyek perdagangan manusia, perbudakan dan kerjapaksa, korban
kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia,
serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.
Dalam permasalahan TKI, kasus yang sedang hangat diperbincangkan saat ini
adalah kasus Satinah. Satinah terancam hukuman pancung atas tuduhan
pembunuhan majikan dan pencurian. Dalam kasus Satinah ini mengisyaratkan
bahwa masih lemahnya sistem hukum di negeri ini atas perlindungan TKI yang
bekerja di luar negeri, khsusunya hukum yang mengikat dengan pemerintahan
Arab Saudi.
Segala permasalahan yang terjadi pada TKI dapat diselesaikan dengan
perencanaan yang matang. Solusi yang dapat dilakukan adalah dengan
memberikan pelatihan dan pendidikan kepada calon TKI untuk menunjang
keamanan atas dirinya serta dengan memperbaiki mekanisme pengawasan dalam
penempatan TKI di luarnegeri. Dengan demikian, kualitas perlindungan negara

terhadap TKI di luar negeria kan meningkat juga hasil dari perbaikan sistem yang
dilakukan akan meminimalisi rkasus-kasus pelanggaran HAM terhadap TKI di
luarnegeri.

B.

RumusanMasalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.

Apa yang dimaksud denganTenaga Kerja Indonesia (TKI)?

2.

Bagaimana kondisi TKI di luar negeri?

3.

Faktor apa saja yang menyebabkan tindak kekerasan terhadap TKI?

4.
Bagaimana solusi yang dapa tdilakukan untuk menangani kasus hukuman
pancung yang dialami TKI?

C. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memaparkan hal sebagai berikut.
1.

Untuk memberikan pengetahuan tentang apa itu TKI.

2.
Untuk memberikan informasi kepada pembaca tentang keadaan TKI di luar
negeri saat ini.
3.
Untuk memberikan informasi kepada pembaca mengenai pentingnya
pemahaman prosedur TKI agar tidak terjadi kasus penyiksaan.
4.
Untuk mengetahui bagaimana solusi yang dapat dilakukan untuk menangani
kasus hukuman pancung yang dialami TKI.
BAB II
PEMBAHASAN

A.

KAJIAN TEORI

TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syara tuntuk bekerja di
luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima
upah (Pasal 1 bagian (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri).
Sebelum calon TKI bekerja di luar negeri, ada beberapa proses yang dilewati.
Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI dilakukan terhadap calon
TKI yang telah memenuhi persyaratan:
a.
berusia sekurang-kurangnya 18 (delapanbelas) tahun,kecuali bagi calon TKI
yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia
21 (duapuluh satu) tahun;
b.

sehat jasmani dan rohani;

c.

tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan; dan

d.
berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) atau yang sederajat.
Setelah melewati tahap di atas, seorang TKI akan dihadapkan pada suatu
perjanjian kerja. Perjanjian kerja menurut UU No. 39 Tahun 2004 adalah
Perjanjian tertulis antara Tenaga Kerja Indonesia dengan pengguna yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban ,masing-masing pihak. Dengan demikian
suatu perjanjian kerja sudah memuat antara hak dan kewajiban masing-masing
pihak, dan apabila dalam praktiknya terdapat penyimpangan-penyimpangan, maka
pihak yang menyimpang tersebut dikenakan sanksi hukum.
Seorang TKI dilindungi oleh sebuah lembaga yakni BNP2TKI. BNP2TKI adalah
sebuah lembaga pemerintah Non Departemen di Indonesia yang mempunyai
fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan Tenga
Kerja Indonesia di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi .Lembaga ini
dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2006.Tugas pokok
BNP2TKI adalah:
M
elakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah
dengan Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di
negara tujuan penempatan;
M

emberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan mengenai:


dokumen; pembekalan akhir pemberangkatan (PAP)
.
Untuk meminimalisasi dampak negatif dari pelayanan penempatan dan
perlindungan TKI, campur tangan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah
secara integral sangat dibutuhkan, guna mencegah TKI menerima pekerjaanpekerjaan yang non-remuneratif, eksploitatif, penyalahgunaan, penyelewengan
serta menimalisir biaya sosial yang ditimbulkanya.
Sehingga dapat menimbulkan perasaan aman dalam diri TKI yang bekerja di
luarnegeri.

B.

PEMBAHASAN

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dalam kaitannya dengan Hak Asasi
Manusia (HAM),seorang tenaga kerja yang berasal dari Indonesia sangat
membutuhkan jaminan hukum atas dirinya ketika bekerja di luar negeri.Dalam hal
ini, upaya perlindungan HAM terhadap TKI merupakan sesuatu yang dianggap
penting mengingat banyaknya terjadi kasus-kasus pelanggaran yang menimpa
TKI di luar negeri seperti kasus yang menimpa Satinah, Sumiyati, Darsem, dan
kasus lainnya.
Pelanggaran yang terjadi kepada para TKI umumnya dilatar belakangi oleh
minimnya pengetahuan majikannya tentang hak dan kewajiban TKI yang bekerja
di luar negeri disamping pengetahuan terhadap hak yang dimiliki oleh TKI itu
sendiri. Mengacu pada hal di atas, ada beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya kasus-kasus penyiksaan yang diterima TKI di luar negeri. Adapun
faktor-faktornya adalah sebagai berikut:
1.

Kemampuan berbahasa yang tak memadai;

2.

Kemampuan membaca dan memahami budaya;

3.

Kemampuan intelektualitas;

4. Lemahnya hukum yang diberikan pemerintah kepada warga negaranya yang


bekerja sebagai TKI di luar negeri.

Dalam permasalahan ini yang akan dibahas adalah kasus Satinah. Satinah salah
seorang TKI asal Dusun Mrunten, Desa Kalisidi, Kabupaten Semarang, Jawa
Tengah, yang mengadu nasib di Arab Saudi yang tengah memperjuangkan
nasibnya dalam hukuman pancung yang menerpanya. Iadi dakwa atas tuduhan
membunuh majikannya serta mencuri uang sebesar 37.970 riyad atau sekitar Rp
100 juta. Satinah adalah TKI legal lewat PT. Djasmin Harapan Abadi. Dia
ditempatkan di Provinsi Al Qassim untuk bekerja di keluarga Nura Al Gharib.
Kasus bermula pada pada tahun 2007, ketika Satinah tengah memasak di dapur
tiba-tiba saja majikannya membenturkan kepala Satinah ke tembok tanpa sebab
karena dari pengakuan Satinah bahwa dirinya kerap kali disiksa oleh majikannya
tersebut. Mencoba membela diri,Satinah pun memukul tungkuk majikannya
dengan alat adonan roti. Akhirnya majikannya pun pingsan dan sempat
mengalami koma di rumah sakit sebelum akhirnya meninggal.Satinah sempat
menyerahkan dirinya ke polisi dan mengakui perbuatannya, di sana ia diberikan
kesempatan untuk menghubungi keluarganya atas kasusnya tersebut namun tidak
ada kejelasan perlindungan atas dirinya, sejak itulah dia di penjara.
Dalam persidangan syariah tingkat pertama pada 2009 sampai kasasi 2010,
satinah divonis hukuman mati atas tuduhan melakukan pembunuhan berencana
pada majikan perempuannya, Nura Al Gharib. Awalnya Satinah direncanakan
dihukum mati Agustus 2011, namun ditunda. Menurut data dari Kementrian Luar
Negeri, waktu eksekusi Satinah telah ditunda selama lima kali, yakni pada Juli
2011, 23 Oktober 2011, Desember 2012, Juni 2013, dan Februari 2014. Terakhir
tenggat waktu eksekusi ditentukan tgl 3 April 2014.
Selama dua tahun menjalani proses persidangan Satinah tidak didampingi oleh
pengacara, penerjemah maupun konselor serta pemerintah baru mengetahui kasus
ini pada tahun 2009. Hal tersebut mengakibatkan berkas perkara Satinah dianggap
tidak memenuhi prinsip-prinsip fairness (berkeadilan) sesuai hukum Internasional.
Pemerintah Indonesia telah berupaya melakukan negoisasi dengan keluarga
majikan Satinah agar Satinah bisa terbebas dari hukuman mati.
Seiring proses negoisasi, akhirnya keluarga korban memberikan maaf, dan
meminta diyat sebesar 500 ribu riyal atau sekitar Rp. 1,25miliar. Diyat adalah
denda yang harus dibayar oleh seorang pelaku atas tindakannya terhadap korban.
Namun, entah karena faktor apa sehingga diyat tersebut naik menjadi 7 juta riyal
atau sekitar Rp. 21 miliar. Para pengamat politik memaparkan bahwa telah
terjadinya indikasi mafia diyat atas kasus hukuman mati yang menimpa TKI
khususnya Satinah. Pemerintah seharusnya tidak wajib membayarkan diyat untuk
Satinah karena hal tersebut telah ada dalam kontrak perjanjian antara pelaku dan
korbannya. Dalam hal ini, posisi pemerintah harusnya sebagai pendamping dan
menjadi alat pengawasan terhadap berlangsungnya proses hukum yang berlaku.

Meskipun demikian, fakta menyatakan sebaliknya. Artinya, kasus yang menimpa


Satinah ini bukan kasus yang terjadi pertama kali, seperti hal serupa yang dialami
Siti Zaenab di tahun 1999, sampai pada kasus pembayaran diyat kontroversi
Darsem oleh pemerintah. Sejak 2004, pemerintah telah memberlakukan UndangUndangNomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan PerlindunganTenagaKerja
Indonesia di LuarNegeri. Pasal 7 (e).UU tersebut menegaskan, pemerintah
berkewajiban memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum
pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna-penempatan.
Dalam menempatkan TKI di luar negeri, Pasal 27 Ayat (1) dan (2) juga
menegaskan bahwa penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke
negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan
Pemerintah RI atau ke negara tujuan yang mempunyai peraturan perundangundangan yang melindungi tenaga kerja asing. Meskiundang-undang dengan tegas
melarang penempatan TKI kenegara yang tidak memiliki perjanjian tertulis
dengan Pemerintah RI atau yang aturannya tidak melindungi pekerja asing,
Pemerintah Indonesia membiarkan dan bahkan memfasilitasi jutaan warga dikirim
ke Arab Saudi yang jelas-jelas tidak memiliki perjanjian tertulis dengan
Pemerintah RI.
Selainitu, peraturanperundang-undangan yang berlaku di Arab Saudi jelas-jelas
melegalkan perbudakan.Pihak yang pertama kali wajib dituntut pertanggung
jawaban atas hukuman mati yang menimpa Satinah dan TKI lainnya di Arab
Saudi adalah Pemerintah Indonesia karena pemerintah telah melanggar ketentuan
undang-undang perlindungan TKI. Manifestasi dari pelanggaran ini adalah para
perempuan seperti Satinah dikirimke Arab Saudi.
Dalam sistem perbudakan yang dijalankan Arab Saudi, mayoritas TKI yang
bekerja di sektor domestik sangat rentan mengalami eksploitasi dan kekerasan
oleh majikan dan pihak lain di negara tujuan tanpa memiliki akses atas keadilan.
TKI yang menjadi korban pembunuhan atau membunuh karena membela diri akan
bernasib sama. Pemerintahan yang mengirimkan rakyatnya kenegara seperti ini
adalah pemerintahan yang kurang bertanggung jawab atas keselamatan rakyatnya
sendiri. Setelah rakyatnya dijatuhi hukuman mati sebagai konsekuensi dari
pelanggaran pemerintah terhadap hukum perlindungan TKI, pemerintah masih
juga mempertanyakan apakah negara harus membayar diyat.
Ratusan kasus hukuman mati dan beragam kekerasan yang menimpa TKI tidak
akan terjadi seandainya pemerintah menjalankan ketentuan undang-undang, yaitu
melarang dan menindak tegas penempatan TKI ke Arab Saudi dan negara-negara
lain yang jelas-jelas tidak memiliki perjanjian tertulis dengan Pemerintah RI dan
yang melegalkan perbudakan.

Kewajiban pemerintah untuk membayar diyat bagi pembebasan Satinah semakin


jelas jika mengikuti fakta penanganan kasus Satinah yang diangkat Migrant Care
dan keadilan bagi TKI.Ada indikasi pemerintah kurang serius dalam menangani
kasus Satinah. Sebenarnya apabila merujuk pada permenaker No: PER23/MEN/V/2006 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia, di sana terdapat hakhak TKI jika memiliki permasalahan ketika pra penempatan, masa penempatan,
dan purna penempatan. Asuransi TKI adalah suatu bentuk perlindungan bagi TKI
dalam bentuk santunan berupa uang sebagai akibat resiko yang dialami TKI
sebelum, selama dan sesudah bekerja di luar negeri.
Meskipun pada akhirnya pemerintah ikut menyumbang dalam pembayaran diat
Satinah, namun hal tersebut dianggap kurang menunjukkan langkah tepat dan
cepat. Presidenmengabaikankeadilanbagi TKI.Jutaan TKI mempertaruhkan nyawa
untuk mendapatkan pekerjaan di luar negeri.Pertaruhan nyawa ini menghasilkan
devisa bagi Negara. Menurut Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI
(BNP2TKI) jumlahny amencapai Rp 88,6 triliun (tahun 2013). Jumlah ini
meningkat dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesarRp 67,87triliun.
Apabila dikalkulasikan dengan uang tunai yang dibawa TKI sendiri atau dititipkan
kepada sesama teman atau yang dikirimkan lewat jasa lain di luar perbankan,
devisa yang dihasilkan TKI mencapai Rp 120 triliun per tahun. Selain devisa, TKI
juga berkontribusi dalam pengurangan pengangguran, kemiskinan, dan
bergeraknya perekonomian daerah. Apalah artinya Rp 21 miliar untuk diyat bagi
Satinah dibandingkan dengan triliunan devisa yang dihasilkanpara TKI dan
berbagai manfaat yang diambil negara dari TKI.
Bukan hanya dalam kasus Satinah, ketidak seriusan pemerintah dan DPR dalam
mewujudkan perlindungan bagi TKI terlihat dari beberapa indikasi.Salah satunya
adalah pengurangan anggaran perlindungan TKI. Ketikad evisa yang dihasilkan
TKI meningkat, anggaran yang dialokasikan untuk perlindungan bagi TKI justru
merosot. Padahal, masih ada ratusan TKI yang terancam hukuman mati yang
membutuhkan anggaran untuk pembelaan.
Hukuman mati yang dihadapi Satinah bukanlah tindak pidana personal belaka.
Ada pengabaian tanggung jawab negara di dalamnya.Bukan hanya tanggung
jawab dalam menjalankan amanat undang-undang, melainkan juga tanggung
jawab untuk merevisi undang-undang dan mewujudkan perubahan.Selain itu,
kurangnya ketersidaan lapangan pekerjaan di Indonesia menjadi faktor utama
penyebab warga negara Indonesia memilih bekerja di luar negeri untuk menjual
tenaganya atau sering dikategorikan buruh migran khususnya Tenaga Kerja
Indonesia.

Dalam hal perspektif pembangunan, menurut teori Fei-Ranis (1961) menyebutkan


bahwa negara berkembang seperti Indonesia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
kelebihan buruh, sumber daya alamnya belum dapat diolah, sebagian besar
penduduknya bergerak di sektor pertanian, banyak pengangguran, dan tingkat
pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Dari pemaparan di atas, jelas bahwa Indonesia membutuhkan peningkatan kualitas
khususnya sumber daya manusia yang dimilikinya. Berkaitan dengan
permasalahan TKI, langkah yang diperlukan adalah dengan melakukan
pembenahan sistem dan mekanisme penempatan dan perlindungan TKI khususnya
pola penyalurannya ke negara tujuan, yang sudah seharusnya ditujukan ke negara
yang telah memiliki perjanjian tertulis agar meminimalisir kasus-kasus yang
terjadi ke depannya.
Selain itu, tingkatkan pengawasan kepada setiap calon TKI agar tidak terjadi TKI
ilegal serta meningkatkan pelatihan dan pendidikan secara bertahap untuk seorang
buruh migran yang bekerja di luar negeri agar tidak hanya formalitas belaka.
Dengan demikian, akan terciptanya suatu sinergi antara pemerintah dan rakyatnya
khususnya bagi seorang TKI yang menjadi penghasil devisa terbesar kedua di
Indonesia, yang memang sudah seharusnya hak-haknya dilindungi oleh negara
khususnya perlindungannya menjadi seorang buruh migran.

BAB III
PENUTUP

A.

KESIMPULAN

Permasalahan yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri


khususnya di Arab Saudi merupakan tanggung jawab bersama, baik dari
pemerintah dengan pembenahan sistem dan mekanismenya maupun warga negara
Indonesia terutama yang memilih jalur untuk menjadi seorang buruh migran ke
luar negeri.
Satinah hanyalah sepotong contoh kasus permasalahan yang menimpa TKI di luar
negeri terlebih pada kasus penyiksaan yang melibatkan dua negara yang belum
memiliki perjanjian tertulis secara tegas serta negara yang menjadi objek kerja
TKI melegalkan perihal perbudakan. Sebenarnya moratorium telah dilakukan
antara kedua negara namun penjajakan moratorium tersebut belum dilaksanakan
secara optimal. Selanjutnya, guna mencegah meningkatnya kasus-kasus serupa

maka diperlukan suatu pembenahan secara konkret dari pemerintah selaku


lembaga penyelenggara negara dengan melakukan perbaikan mekanisme
penempatan dan perlindungan TKI khususnya yang bekerja di Arab Saudi agar
kasus-kasus tersebut tidak terulang kembali.

B.

SARAN

Dalam penulisan makalah ini tidak dijelaskan secara eksplisit prosedur


penempatan dan perlindungan TKI mulai dari pra pemberangkatan,
pemberangkatan, dan pasca pemberangkatan. Meskipun demikian, diharapkan
dengan hasil analisis terhadap kasus Satinah ini dapat dijadikan acuan setidaknya
pengambilan sikap yang tepat dari para aspek yang terlibat agar meminimalisisr
kasus-kasus penyiksaan TKI yang sudah menyalahi prinsip-prinsip Hak Asasi
Manusia sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar
1945.

DAFTAR PUSTAKA

Mulyadi. (2003). Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Pusat Kajian Wanita dan Gender. (2007). Hak Azasi Perempuan Instrumen
Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Azmy, A.S. (2011). Negara dan Buruh Perempuan. Tesis, Program Pasca Sarjana
Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

Baharudin, E. (2007). Perlindungan Hukum Terhadap TKI di Luar Negeri Pra


Pemberangkatan, Penempatan, dan Purna Penempatan. Jurnal Ilmiah. 4, (3), 168176.

Palupi, S. (2014). Kewajiban Negara Bayar Diyat. [Online].


Tersedia:http://mosleminfo.com/2014/04/03/kewajiban-negara-bayar-diyat.html.
[22 desember 2014].

Azis, I. (2014). Kronologi Kasus Satinah, Perjuangan TKI Semarang dari Jerat
Pancung. [Online].Tersedia:http://www.aktualpost.com/2014/03/26/13206
kronologi-kasus-satinah-perjuangan-tki-semarang-dari-jerat-pancung/ [22
desember 2014].

Anda mungkin juga menyukai