Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Arab Saudi yang dibuka sejak tahun
1947 telah banyak peningkatan yang dicapai diantara kedua negara. Indonesia,
yang mana mayoritas penduduknya muslim -bahkan terbesar di dunia- merupakan
mitra yang strategis bagi Arab Saudi. Dalam perjalanannya, kedua negara telah
menjalin hubungan yang sangat baik dan banyak hal mewarnai hubungan bilateral
tersebut. Salah satu isu yang mewarnai hubungan bilateral RI-Arab Saudi saat ini
adalah permasalahan Warga Negara Indonesia Overstayer (WNIO) yang berada di
Arab Saudi.
Warga Negara Indonesia Overstayer merupakan WNI yang melakukan kunjungan
atau tinggal di Arab Saudi dengan berbagai keperluan namun telah habis masa ijin
tinggalnya. Para Warga Negara Indonesia Overstayer memiliki berbagai alasan
melakukan hal ini antara lain para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang kabur dari
majikannya karena disiksa, gaji tidak dibayar atau ingin bekerja pada majikan lain
dengan gaji besar. Namun, ada pula Warga Negara Indonesia Overstayer yang
sebenarnya adalah WNI yang menggunakan visa untuk melakukan ibadah umroh
tetapi setelah masa visa tersebut habis masih ingin tetap tinggal di Arab Saudi dan
bekerja disana secara ilegal. Seluruh Warga Negara Indonesia Overstayer
bermasalah ini biasanya tidak mengikuti prosedur yang diterapkan Pemerintah
Arab Saudi terkait keimigrasian. Alasan para Warga Negara Indonesia Overstayer
tidak mau mengurus perijinan karena keterbatasan dana untuk berurusan dengan
birokrasi. Untuk menghindari masalah lebih lanjut, para Warga Negara Indonesia
Overstayer ini memilih untuk tinggal di kolong jembatan.
Salah satu kolong jembatan yang banyak dijadikan sebagai tempat berlindunganya
para Warga Negara Indonesia Overstayer ini adalah jembatan Kandara. Berbagai
Warga Negara Indonesia Overstayer dengan berbagai macam permasalahan
berkumpul disini dan menunggu untuk di deportasi ke Indonesia. Tidak jarang
juga banyak Warga Negara Indonesia Overstayer yang harus mendekam di penjara
beberapa bulan karena berbagai masalah yang ia hadapi. Masalah keterbatasan
dana membuat mereka hanya dapat mengandalkan proses deportasi yang
dilakukan pemerintah baik yang dilakukan Pemerintah Indonesia ataupun
Pemerintah Arab Saudi. Namun, proses deportasi tidak semudah yang
dibayangkan. Jumlah Warga Negara Indonesia Overstayer telah mencapai ribuan
orang sehingga hal ini menjadi kebingungan pemerintah Indonesia maupun
pemerintah Arab Saudi karena biaya yang diperlukan untuk melakukan deportasi
juga sangat besar.
C.RUMUSAN MASALAH
Dari penjelasan diatas, penulis menemukan tiga pertanyaan yang dikemukakan,
pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut :
1.
2.
Bagaimana perkembangan kekerasan terhadap TKI asal Indonesia di Arab
Saudi ?
3.
4.
5.
D.TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu:
1.
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Perburuhan dan
Ketenagakerjaan
2.
Untuk menambah wawasan mengenai perlindungan negara terhadap TKI di
Luar Negeri khususnya di Arab Saudi
E.MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat Penulisan skripsi yang akan penulis lakukan adalah:
1.
Secara Teoritis
Secara Praktis
BAB 2
PEMBAHASAN
1.
Ada berbagai faktor penyebab yang mendorong seseorang untuk menjadi orang
yang bekerja di luar negeri meninggalkan tanah airnya. Menjadi Tenaga Kerja
Indonesia atau yang disingkat dengan sebutan TKI bukanlah hal yang mudah.
Dibutuhkan tahapan-tahapan untuk bisa berangkat dan bekerja di negara asing
dengan berbagai perbedaan budaya yang ada di dalamnya. Minimnya permintaan
tenaga kerja di Indonesia salah satu penyebab banyak orang yang memutuskan
untuk menjadi TKI baik secara legal maupun ilegal. Untuk lebih jelasnyamari
kita lihat penjelasan di bawah ini.
2.
3.
4.
Luar biasa hebatnya pemberitaan media massa atas kasus penyiksaan TKI diluar
negeri akhir-akhir ini. Media telah menempatkan penyiksaan TKI luar negeri
sebagai berita istimewa melebihi kasus mafia hukum dan Korupsi. Berbagai
elemen masyarakatpun angkat bicara dengan porsinya masing-masing untuk
mendudukan permasalahan TKI ada dimana.
Melihat opini yang berkembang, Sejumlah pandangan terkesan tidak berimbang
dan cenderung memberi vonis bahwa TKI adalah korban kekerasan yang tidak
pernah berhenti karena rule of law pemerintah terlalu lemah. Tidak salah
memang, jika aspek hukum menjadi persoalan yang dijadikan acuan utama. Tapi
bila kita melihat penempatan TKI secara lebih luas, maka akan ada sejumlah
persoalan lain terkait lemahnya rule of law tadi.
Sesungguhnya, pemberitaan gencar media massa baik cetak maupun elektronik
yang kita lihat adalah pandangan atas kelalaian Negara dalam tata kelola
perlindungan hukum bagi TKI. Pandangan yang muncul banyak mempersoalkan
perlindungan TKI oleh Negara dari siksaan semata tanpa melihat aspek
kesuksesan bagi sebagian besar TKI dan aspek keuntungan Negara yang lebih
luas dari sector ekonomi dan psikososialnya. Termasuk kondisi ril Negara
ditengah kebutuhan dan kemiskinan sebagian rakyat yang belum bisa diatasi
Negara. Secara hukum, persoalan TKI akan berada didalam wilayah Dua Negara
, Dimana setiap negara ditetapkan bertanggung jawab atas terjadinya tindakan
kesalahan. Pertanyaan, apakah penyiksaan TKI sudah mendapat perlindungan
dari Negara ?. Sepanjang kejadian siksaan terhadap TKI, bisa dibilang Negara
telah lalai dalam tanggung-jawabnya. Hampir dipastikan baik Negara asal
maupun sejumlah Negara penempatan tidak berfungsi efektif memberi
pelayanan dan perlindungan TKI. Dalam situasi Negara mengalami situasi
politik yang panas, dan tata kelola hukum pemerintah yg lemah, maka
penyiksaan TKI harus diakui menjadi issu strategis dilibatkan yang kemudian
dipolitisir untuk melengkapi buruknya pengelolaan hukum Negara oleh
pemerintahan yang ada. Politisasi kasus TKI-pun semakin lancar dan membias
karena dukungan media massa lebih menyukai pemberitaan bermasalah dari pada
kesuksesan TKI yang jauh lebih besar. Berangkat dari sejarah penempatan TKI
keluar negeri yang awalnya dirintis pihak swasta kemudian Negara terlibat
melalui UU dan sejumlah peraturan untuk memberi adanya jaminan perlindungan
serta peningkatan kualitas, maka penempatan TKI luar negeri dengan sendirinya
telah menjadi program nasional yang sama dengan program transmigrasi maupun
pengentasan kemiskinan. Namun dalam implementasinya, TKI hanya menjadi
subyek untuk mewajibkan mengikuti aturan-aturan Negara tanpa mendapat
pelayanan dan perlindungan maksimal. Munculnya pilihan menjadi TKI bekerja
sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang semakin hari terus meningkat
tidak juga bisa kita salahkan. Fakta- fakta yang memberi gambaran obyektif
dan langsung dari kemiskinan nyata banyak yang sukses menjadi TKI didepan
mata, Lantas dengan keterbatasan berpikir, hanya menjadi TKI lah bagi sebagian
rakyat bisa melepaskan diri dari kungkungan ekonomi dinegeri sendiri. Sebuah
fakta memang yang harus dilakukan oleh sebagian besar rakyat miskin yang tidak
memiliki kemampuan untuk berkompetitif dengan ketidak-tersediaan lapangan
kerja dalam negeri. Keterlibatan Negara terhadap penempatan dan perlindungan
TKI memang memberi keuntungan, disatu hal terbukti membawa dampak social
yg baik dan memberi keuntungan dalam sector ekonomi melalui devisa. Namun
melihat kemiskinan nyata yang signifikan serta kasus yang dialami TKI di luar
negeri yang kehilangan perlindungan, maka Negara terpojokan dalam posisi
dilematis. Disatu sisi Negara berhadapan kemiskinan dan disisi lain belum mampu
memberi perlindungan optimal bagi TKI. Pemerintah serta PPTKIS sebagai
wakil Negara dalam pelaksana penempatan TKI senantiasa dihujat sebagai
biang kerok lemahnya perlindungan dan peningkatan kualitas TKI, karena
dituding pemalsuan document dan sebagainya. Tetapi semua pihak tidak mau
melihat bahwa pemalsuan document juga banyak dilakukan oleh TKI dan
keluarganya . Tindakan ini terpaksa dilakukan karena hukum Negara seperti
pembatasan usia minimal 21 tahun oleh UU 39 Tahun 2004, dianggap telah
membatasi hak mereka untuk bekerja dan mendapat kehidupan layak. Bicara
perlindungan dan peningkatan kualitas TKI dalam Negeri , harus dilihat dari
sejumlah ketentuan yang dibuat pemerintah. Ketentuan TKI diwajibkan
menjalani tahapan proses peningkatan kualitas dan perlindungan dalam negeri
seperti pemeriksaan Kesehatan, BLK-LN, Paspor.
Asuransi Pra pemberangkatan dan Asuransi pemberangkatan telah di ikuti dan
sepenuhnya dibiayai dari dana Negara penempatan, bukan dana APBN. Artinya
Negara penempatan cukup koperatif terkait upaya peningkatan kualitas dan
perlindungan TKI. Aspek lainya adalah multiple-efek, dimana TKI memberi
masukan signifikan bagi penerbangan kita, pedagang kaki lima disemua pos
pelayaan TKI, dan miliaran rupiah masuk di tiap daerah dari kiriman TKI tiap hari
. Termasuk dana pembinaan dan perlindungan sebesar 15 Dollar per TKI kepada
pemerintah sejak 25 tahun lalu yang hingga kini tidak jelas kemana arah
pengelolaannya. Cukup jelas begitu besar dampak positif dari program
penempatan dan perlindungan TKI. Namun, persoalan penting disini adalah
keterlibatan Negara yang belum optimal dalam peningkatan kualitas kerja dan
kualitas mentalitas TKI. Dua aspek ini cenderung menjadi sumber masalah
munculnya sejumlah kasus, apalagi pihak penggunan jasa ( majikan ) merasa telah
mengeluarkan banyak anggaran.
Persoalan menjadi lain ketika muncul kasus siksaan terhadap TKI diluar negeri
oleh sedikit orang seperti Arab Saudi misalnya, masyarakat begitu cepat bereaksi
dan menghujat suatu Negara tanpa melihat berbagai aspek lain. Persoalan terjadi
penyiksaan sebenarnya bisa dikatakan konsekwensi resiko yang relative muncul
dimana saja. Tetapi atas desekan kebutuhan dan pendapatan yang lebih baik,
animo menjadi TKI mengalahkan resiko. TKI telah mengambil jalan sendiri dan
tidak melihat ada kepedulian dari dalam Negeri yang menjamin perubahan nasib
mereka.
Adakah kita menyadari bagaimana sulitnya rakyat miskin mempertahankan hidup
dengan kemampuan sebatas menjadi pembantu rumah tangga, Apakah ada
jaminan pemerintah untuk melahirkan peraturan mewajibkan setiap pengguna
jasa pembantu rumah tanggaa dalam negeri ditetapkan dengan gaji mencukupi.
Adakah inisiatif DPR RI untuk membuat UU yang lebih memberi pelayanan dan
perlindungan dengan baik, atau adakah diantara kita mau memikirkan kemiskinan
mereka, kalau bukan setelah mereka menjadi TKI dan disiksa, dan sederet
pertanyaan lain yg menyangkut adanya jaminan kehidupan yang layak bagi
rakyat miskin.
Jika kita melihat dengan rasional yang obyektif, maka pantas kita bertanya,
bukankah Negara-Negara penempatan seperti Negara - Negara Arab dan
Negara Asia pasifik lainnya telah banyak membantu perbaikan nasib sebagian
rakyat kita. Bukankah Negara Negara tersebut mau menerima masyarakat kita
karena melihat factor keagamaan dan kemiskinan. Mungkinkah TKI kita yang
hanya memiliki kemampuan sebatas pembantu rumah tangga diterima di Negara
Eropa, kalau jika bukan Negara-Negara Arab. Sangat disayangkan oleh kita
semua, jika benar persoalan TKI sekarang telah dipolitisir oleh kepentingan
politik atau telah dimanfaatkan kepentingan kelompok tertentu yang memiliki
motifasi untuk mengalihkan dominasi penempatan TKI pada wilayah Negara
tertentu.
Kita tidak pantas bersikap munafik dengan alasan harga diri, tetapi tidak mampu
memahami masalah untuk asal bicara sehingga merendahkan nilai intelektual
kita. Fakta Prosentase keuntungan Negara dalam sector ekonomi melalui devisa
dan pengiriman gaji serta multi efek lain jauh lebih tinggi dibanding kegagalan
karena kasus. Begitupun dengan prosentase fakta dalam sector psikososial ,
dimana menjadi TKI telah mampu mengangkat harkat martabat atas
kemiskinan , pola pikir dan pola hidup mereka lebih baik, bukan oleh kita dan
Negara. Justeru kita dan Negara telah mengambil banyak manfaat dari semangat
TKI. Untuk Negara saat ini, persoalan perlindungan dan kualitas TKI menjadi
PR penting untuk diselesaikan. Solusi perlindungan harus ditempuh dengan
langkah diplomatic yang optimal dengan Negara penempatan yang lebih
mengacu pada nilai-nikai kemanusiaan dengan merujuk hukum migrant
internasional. Dan pihak-pihak lain supaya lebih arif mendudukan persoalan
sehingga tidak sekedar bisa memberi hujatan jika TKI menghadapi masalah
karena persoalan TKI adalah persoalan Negara yang juga menjadi persoalan
kita semua.[1][22]. Setiap kali melihat berita di media cetak dan elektronik
tentang perlakuan tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, kasar,
a)
Menjamin terpenuhinya menjamin terpenuhinya hak-hak calon
TKW/TKI, baik yang
bersangkutan berangkat melalui pelaksana penempatan TKI, maupun yang
berangkat secara mandiri.
b)
Lebih lanjut dalam Pasal 77 hingga Pasal 84 UU No 39/2004 bahkan telah diatur
lebih lanjut mengenai kewajiban-kewajiban pemerintah untuk memberikan
perlindungan terhadap TKW/TKI selama penempatannya di luar negeri, melalui
perwakilannya di luar negeri dan perwakilan dari perusahaan swasta yang
melaksanakan penempatan TKW/TKI di luar negeri. Selain itu, perlu juga
diselidiki terlebih dahulu, apakah negara tujuan masih mempraktikkan
perbudakan?
Siapa-siapa saja yang bersalah selama ini dan sejauh mana proses peradilan dan
hukuman yang ditetapkan? Barangkali kita dapat belajar dari sesama negara
ASEAN seperti Filipina dan Thailand yang juga mengirim tenaga kerja keluar
negeri tetapi tidak mengalami nasib yang sama dengan TKI asal Indonesia. Semua
ini perlu dilakukan terpadu, terprogram, holistik, bukan sewaktu-waktu dan reaktif
saja, karena ini menyangkut kemanusiaan, harkat, dan martabat bangsa.
Pemerintah harus melindungi hak asasi manusia para TKW/TKI, khususnya hak
hidup, hak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta hak atas
perlakuan sama di hadapan hukum dan dianggap sebagai subyek hukum dan
bukan objek hukum. Tanpa jaminan tersebut, sebaiknya pengiriman TKW/TKI ke
negara-negara tertentu yang tidak dapat menjamin ada perlindungan hukum atas
hak asasi manusia serta perlakuan yang wajar dan manusiawi bagi TKW/TKI
dihentikan untuk sementara waktu, sampai keadaan kondusif dan pemerintah
negara tujuan menjamin perlindungan hukum atas hak asasi manusia serta
perlakuan yang wajar dan manusiawi terhadap para TKW/TKI kita.IKADIN
pernah mengirimkan Tim Kemanusiaan yang terdiri atas Sudjono, Frans Hendra
Winarta, John Pieter Nazar, dan Arno Gautama Harjono, ke Malaysia pada 1991
untuk membela Salidin Bin Mohammad, TKI di Malaysia yang dituduh
membunuh seorang warga negara Malaysia dalam suatu perkelahian
antarkelompok di Ipoh, Kuala Lumpur, 1989. Pembelaan terhadap Salidin Bin
Mohammad dilakukan dengan bekerja sama dengan peguam bela Malaysia atas
biaya Tim Kemanusiaan IKADIN dan majikan Salidin. Akhirnya, Mahkamah
Tinggi Malaysia pada sidang tanggal 1 September 1992 memutus bebas Salidin
Bin Mohammad karena mempunyai alibi. Pengiriman TKW/TKI ke luar negeri
memang suatu dilema. Di satu pihak, mereka dapat memperoleh penghidupan dan
pekerjaan yang layak dengan bekerja di luar negeri, bahkan dapat membantu
menafkahi keluarga mereka di Indonesia. Tetapi di lain pihak, mereka terancam
dengan penyiksaan, pembunuhan, perlakuan tidak manusiawi, pemerkosaan,
pelanggaran hukum, dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Tetapi, ini bukan
tidak ada solusinya selama pemerintah mempunyai political will untuk
menanggulangi nasib para TKW/TKI di mancanegara. Karena itu, pemerintah
diharapkan dapat segera bertindak untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
yang sering dialami TKW/TKI di mancanegara selama ini, kasus-kasus
penganiayaan TKW/TKI tidak terulang kembali di masa mendatang.[4][25]
Meskipun berbagai kasus penyiksaan TKI yang dialami oleh para tenaga kerja
wanita di luar negeri kerap berujung pada paket mayat yang diterima oleh pihak
keluarga si pekerja, kenyataannya setiap tahun jumlah tenaga kerja yang dikirim
keluar negeri rata-rata mencapai 50.000 hingga 60.000 per tahun. Bahkan menurut
pengakuan menteri Tenaga Kerja Sendiri bahwa pengiriman TKI ke arab Saudi
mencapai 300 orang perhari.[5][26] Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat
pertama dalam pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, disusul provinsi
Nusa Tenggara Barat.
Semua persoalan TKI di luar negeri berawal dari masalah domestik. Sampai saat
ini, pemerintah gagal menyusun sistem perekrutan, dokumentasi, dan pelatihan
calon TKI yang mumpuni. Pemerintah menyerahkan hampir semua proses kepada
pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) dan baru muncul
aktif menjelang tahap akhir penempatan. Persoalan kemiskinan membuat ribuan
angkatan kerja tanpa keahlian, bahkan sebagian besar tidak berpendidikan formal
sama sekali, mendaftar menjadi TKI. Keterbatasan informasi dan peran aktif
pemerintah, terutama di daerah, membuat sponsor menjadi dewa penolong
mereka. Sponsor, yang seolah-olah kepanjangan tangan PPTKIS, berkeliaran
mencari siapa saja yang berminat bekerja ke luar negeri dengan janji gaji yang
menggiurkan.
Sponsor mengantar calon TKI ke penampungan-penampungan PPTKIS dan
meninggalkan mereka di sana begitu menerima uang jasa dari pengusaha. Sampai
di sini, PPTKIS wajib membekali calon TKI dengan pelatihan kompetensi
minimal 200 jam dan bagi mereka yang sudah pernah bekerja di luar negeri
selama 100 jam. Kursus selama sekitar 21 hari tersebut bertujuan meningkatkan
kompetensi calon TKI terhadap bahasa, kondisi sosial, dan hukum di negara
tujuan. Tetapi, dalam kasus Sumiati, kita mengetahui proses ini tidak berjalan.
Sumiati tidak bisa berbahasa Arab dan Inggris. Faktor komunikasi yang
membuatnya tidak mampu memahami permintaan atau instruksi majikan. Oleh
karena itu, Sumiati telah menjadi korban keserakahan pengusaha penempatan dan
birokrat yang tidak mampu menjalankan tugas.
5.
Terjadinya banyak kasus penganiayaan dan penyiksaan TKI yang berada di luar
negeri disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut tak jarang bermula
dari ketidakprofesionalan pihak-pihak yang menangani kebijakan penyaluran
tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Berikut ini beberapa faktor yang
menyebabkan berbagai penganiayaan dialami oleh para tenaga kerja terutama
kaum wanita;
1.
Salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Barat
bidang Kesra dan Tenaga Kerja bernama TGH Hazmi Hamzar menyebutkan
bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penganiayaan dan
penyiksaan TKI di negara Saudi Arabia adalah persoalan bahasa. Para tenaga
kerja banyak yang diberangkatkan dalam kondisi kepahaman bahasa yang minim.
Hal ini jelas akan menjadi faktor penghambat komunikasi antara seorang pekerja
dengan majikan. Oleh sebab itu hal penting yang harus dipenuhi seorang tenaga
kerja yang akan diberangkatkan adalah persoalan bahasa, bahasa harus dikuasai
sebab merupakan kunci utama dalam komunikasi.
2.
3.
Kemampuan intelektualitas
Daya intelektual dan wawasan yang dimiliki oleh seseorang akan menjadi faktor
bagaimana orang lain akan bersikap terhadap kita. Tenaga kerja Indonesia di luar
negeri yang kerap mendapat penyiksaan dan penganiayaan fisik, mayoritas berasal
dari tenaga kerja non terdidik. Biasanya, berasal dari kalangan pekerja rumah
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Setiap orang berhak untuk bebas dari
penyiksaan dan perlakuan myang merendahkan derajat martabat manusia dan
berhak memperoleh suaka politik dari negara lain".
o Peraturan Menteri Tenaga Kerja ; Per-02/Men/1994, tentang Penempatan
Tenaga Kerja Di dalam dan ke Luar Negeri dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor : Kep-44/Men/1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penempatan Tenaga
Kerja di Dalam dan di Luar Negeri, yang merupakan pengganti Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor : Per-06/Men/1987 tentang Bursa Kerja Swasta dan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1991 tentang Antar Kerja
Antar Negara (AKAN), yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
keadaan masyarakat Indonesia.
o Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Per-02/Men/1994 tentang Penempatan Tenaga
Kerja di Dalam dan di Luar Negeri, pelaksanaan penempatan tenaga kerja di luar
negeri ditetapkan dalam Bab II pasal 5 tentang persyaratan kerja:
pemilikan modal, dan tenaga kerja adalah dasar ekonomi dan kehidupan social
kerajaan yang semuanya menerapkan hak-hak peribadi yang melayani fungsi
social yang sesuai dengan syariah islam.[6][27]
Pasal 18, menetapkan bahwa negara akan menjamin kebebasan dan tak dapat
diganggu gugatnya kepemilihan pribadi. Kepemilikan pribadi tidak akan disita,
kecuali untuk kepentingan umum, dan penyitaan akan dikompensasi secara wajar.
[7][28]
Pasal 26, bahwa negara akan menyediakan kesempatan kerja kepada semua rakyat
yang sanggup dan akan menetapkan perundang-undangan untuk melindungi
pekerja dan majikan.[8][29]
Pasal 36, menyebutkan bahwa, negara akan menjamin keamanan semua warga
negara dan orang asing yang hidup dalam tempat tinggalnya. Tidak ada orang
yang akan ditahan, dipenjara, atau tindakan-tindakannya dibatasi kecuali oleh
ketentuan-ketentuan hokum.[9][30]
Pasal 47, menyatakan bahwa warga negara dan penduduk asing keduanya
mempunyai hak yang sama terhadap proses peradilan.[10][31]
Sementara dalam Royal Decree Nomor /M/21 tanggal 15 November 1969,
mengenai Undang-Undang Perburuhan Kerajaan Arab Saudi, pasal 3 menetapkan
bahwa, sebagai pengecualian pasal-pasal UU ini tidak termasuk kepada :[11][32]
a) Pekerja dalam perusahaan keluarga yang termasuk hanya anggota-anggota
dari keluarga majikan;
b)
Berikut ini beberapa cara untuk mencegah kekerasan TKI di luar negeri :
Bagi para calon TKI, sebaiknya gunakan jalur penyaluran tenaga kerja yang
legal dan terpercaya.Penyalur tenaga kerja yang baik adalah lembaga/perusahaan
yang bisa menentukan di mana sebaiknya TKI tersebut bekerja sesuai
kemampuannya.
banyak sekali masyarakat yang tetap ingin menjadi TKI walau sudah banyak
kasus kekerasan yang disebarkan oleh media.
tentu karena faktor ekonomi yang rendah, yang kemudian
mendorong masyarakat untuk mencari rezeki di luar negeri yang gajinya mungkin
bisa lebih banyak daripada di Indonesia.nUntuk itu pemerintah sebaiknya serius
untuk mengentaskan kemiskinan di negara ini, agar masyarakat bisa hidup tentram
dan tidak terpaksa ke luar negeri hanya untuk mencari uang.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Alasan utama kebanyakan TKI bekerja ke luar negeri terutama Arab Saudi adalah
faktor ekonomi. Kebanyakan mereka adalah orang miskin. Jasa tenaga kerja
mereka tidak dapat disalurkan di dalam negeri karena negara tidak menyediakan
lapangan kerja yang cukup. Dengan bahasa lain, negara sebenarnya telah gagal
merealisasikan kesejahteraan bagi warga negaranya.
Saran
Kita harus bisa melihat potensi dan keterampilan dari setiap TKI sehingga
penyaluran Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dapat terwujud lebih terarah demi
menghindari adanya tindak kekerasan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
yang tengah bekerja di luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA
WWW.ORGANISASI.ORG>ARTIKEL>DUNIA KERJA>ID
PUSAKABIBA.BLOGSOT.COM
WWW.KASKUS.CO.ID
REGIONAL.KOMPAS.COM
JALALUDINEGA.BLOGSPOT.COM
HTTP://EYRANUCWAEMTEA.BLOGDETIK.COM
PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang
Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi serta kemiskinan yang banyak terjadi
di negara-negara berkembang merupakan salah satu pemicu terjadinya migrasi.
Perpindahan tenaga kerja dari negara-negara berkembang ke luar negeri pada
dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan ekonomi antar negara. Rendahnya
tingkat upah serta sulitnya memperoleh pekerjaan di negara berkembang
cenderung mendorong migrasi Internasional. Hal ini disebabkan karena tidak
seimbangnya laju perekonomian dengan ketersediaan lapangan pekerjaan.
Pekerjaan sebagai seorang buruh migran, khususnya menjadi seorang TKI di luar
negeri memangcukup menjanjikan. Seorang TKI lebih mementingkan upah yang
didapatnya dari pada resiko yang diterima ketika statusnya tidak sesuai dengan
prosedur yang ada. Hal tersebut membuat munculnya berbagai kasus penyiksaan
yang menimpa para TKI yang bekerja di luar negeri. Beberapa diantara kasus
tersebut, seperti kasus pelecehanseksual, penganiayaan,sertamajikan bermasalah
dan meninggal yang berujung pada hukuman mati yang diterima para TKI dengan
alasan yang berbeda-beda.
Segala permasalahan di atas disebabkan karena kurangnya pemahaman TKI
tentang hak dan perlindungan yang didapatkannya, serta kurangnya pengawasan
dari pemerintah dalam proses penempatan dan perlindungan TKI itu sendiri.
Penempatan dan perlindungan TKI saat ini terus menjadi sorotan. TKI sering
dijadikan obyek perdagangan manusia, perbudakan dan kerjapaksa, korban
kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia,
serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.
Dalam permasalahan TKI, kasus yang sedang hangat diperbincangkan saat ini
adalah kasus Satinah. Satinah terancam hukuman pancung atas tuduhan
pembunuhan majikan dan pencurian. Dalam kasus Satinah ini mengisyaratkan
bahwa masih lemahnya sistem hukum di negeri ini atas perlindungan TKI yang
bekerja di luar negeri, khsusunya hukum yang mengikat dengan pemerintahan
Arab Saudi.
Segala permasalahan yang terjadi pada TKI dapat diselesaikan dengan
perencanaan yang matang. Solusi yang dapat dilakukan adalah dengan
memberikan pelatihan dan pendidikan kepada calon TKI untuk menunjang
keamanan atas dirinya serta dengan memperbaiki mekanisme pengawasan dalam
penempatan TKI di luarnegeri. Dengan demikian, kualitas perlindungan negara
terhadap TKI di luar negeria kan meningkat juga hasil dari perbaikan sistem yang
dilakukan akan meminimalisi rkasus-kasus pelanggaran HAM terhadap TKI di
luarnegeri.
B.
RumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
Bagaimana solusi yang dapa tdilakukan untuk menangani kasus hukuman
pancung yang dialami TKI?
C. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memaparkan hal sebagai berikut.
1.
2.
Untuk memberikan informasi kepada pembaca tentang keadaan TKI di luar
negeri saat ini.
3.
Untuk memberikan informasi kepada pembaca mengenai pentingnya
pemahaman prosedur TKI agar tidak terjadi kasus penyiksaan.
4.
Untuk mengetahui bagaimana solusi yang dapat dilakukan untuk menangani
kasus hukuman pancung yang dialami TKI.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KAJIAN TEORI
TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syara tuntuk bekerja di
luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima
upah (Pasal 1 bagian (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri).
Sebelum calon TKI bekerja di luar negeri, ada beberapa proses yang dilewati.
Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI dilakukan terhadap calon
TKI yang telah memenuhi persyaratan:
a.
berusia sekurang-kurangnya 18 (delapanbelas) tahun,kecuali bagi calon TKI
yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia
21 (duapuluh satu) tahun;
b.
c.
tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan; dan
d.
berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) atau yang sederajat.
Setelah melewati tahap di atas, seorang TKI akan dihadapkan pada suatu
perjanjian kerja. Perjanjian kerja menurut UU No. 39 Tahun 2004 adalah
Perjanjian tertulis antara Tenaga Kerja Indonesia dengan pengguna yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban ,masing-masing pihak. Dengan demikian
suatu perjanjian kerja sudah memuat antara hak dan kewajiban masing-masing
pihak, dan apabila dalam praktiknya terdapat penyimpangan-penyimpangan, maka
pihak yang menyimpang tersebut dikenakan sanksi hukum.
Seorang TKI dilindungi oleh sebuah lembaga yakni BNP2TKI. BNP2TKI adalah
sebuah lembaga pemerintah Non Departemen di Indonesia yang mempunyai
fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan Tenga
Kerja Indonesia di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi .Lembaga ini
dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2006.Tugas pokok
BNP2TKI adalah:
M
elakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah
dengan Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di
negara tujuan penempatan;
M
B.
PEMBAHASAN
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dalam kaitannya dengan Hak Asasi
Manusia (HAM),seorang tenaga kerja yang berasal dari Indonesia sangat
membutuhkan jaminan hukum atas dirinya ketika bekerja di luar negeri.Dalam hal
ini, upaya perlindungan HAM terhadap TKI merupakan sesuatu yang dianggap
penting mengingat banyaknya terjadi kasus-kasus pelanggaran yang menimpa
TKI di luar negeri seperti kasus yang menimpa Satinah, Sumiyati, Darsem, dan
kasus lainnya.
Pelanggaran yang terjadi kepada para TKI umumnya dilatar belakangi oleh
minimnya pengetahuan majikannya tentang hak dan kewajiban TKI yang bekerja
di luar negeri disamping pengetahuan terhadap hak yang dimiliki oleh TKI itu
sendiri. Mengacu pada hal di atas, ada beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya kasus-kasus penyiksaan yang diterima TKI di luar negeri. Adapun
faktor-faktornya adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
Kemampuan intelektualitas;
Dalam permasalahan ini yang akan dibahas adalah kasus Satinah. Satinah salah
seorang TKI asal Dusun Mrunten, Desa Kalisidi, Kabupaten Semarang, Jawa
Tengah, yang mengadu nasib di Arab Saudi yang tengah memperjuangkan
nasibnya dalam hukuman pancung yang menerpanya. Iadi dakwa atas tuduhan
membunuh majikannya serta mencuri uang sebesar 37.970 riyad atau sekitar Rp
100 juta. Satinah adalah TKI legal lewat PT. Djasmin Harapan Abadi. Dia
ditempatkan di Provinsi Al Qassim untuk bekerja di keluarga Nura Al Gharib.
Kasus bermula pada pada tahun 2007, ketika Satinah tengah memasak di dapur
tiba-tiba saja majikannya membenturkan kepala Satinah ke tembok tanpa sebab
karena dari pengakuan Satinah bahwa dirinya kerap kali disiksa oleh majikannya
tersebut. Mencoba membela diri,Satinah pun memukul tungkuk majikannya
dengan alat adonan roti. Akhirnya majikannya pun pingsan dan sempat
mengalami koma di rumah sakit sebelum akhirnya meninggal.Satinah sempat
menyerahkan dirinya ke polisi dan mengakui perbuatannya, di sana ia diberikan
kesempatan untuk menghubungi keluarganya atas kasusnya tersebut namun tidak
ada kejelasan perlindungan atas dirinya, sejak itulah dia di penjara.
Dalam persidangan syariah tingkat pertama pada 2009 sampai kasasi 2010,
satinah divonis hukuman mati atas tuduhan melakukan pembunuhan berencana
pada majikan perempuannya, Nura Al Gharib. Awalnya Satinah direncanakan
dihukum mati Agustus 2011, namun ditunda. Menurut data dari Kementrian Luar
Negeri, waktu eksekusi Satinah telah ditunda selama lima kali, yakni pada Juli
2011, 23 Oktober 2011, Desember 2012, Juni 2013, dan Februari 2014. Terakhir
tenggat waktu eksekusi ditentukan tgl 3 April 2014.
Selama dua tahun menjalani proses persidangan Satinah tidak didampingi oleh
pengacara, penerjemah maupun konselor serta pemerintah baru mengetahui kasus
ini pada tahun 2009. Hal tersebut mengakibatkan berkas perkara Satinah dianggap
tidak memenuhi prinsip-prinsip fairness (berkeadilan) sesuai hukum Internasional.
Pemerintah Indonesia telah berupaya melakukan negoisasi dengan keluarga
majikan Satinah agar Satinah bisa terbebas dari hukuman mati.
Seiring proses negoisasi, akhirnya keluarga korban memberikan maaf, dan
meminta diyat sebesar 500 ribu riyal atau sekitar Rp. 1,25miliar. Diyat adalah
denda yang harus dibayar oleh seorang pelaku atas tindakannya terhadap korban.
Namun, entah karena faktor apa sehingga diyat tersebut naik menjadi 7 juta riyal
atau sekitar Rp. 21 miliar. Para pengamat politik memaparkan bahwa telah
terjadinya indikasi mafia diyat atas kasus hukuman mati yang menimpa TKI
khususnya Satinah. Pemerintah seharusnya tidak wajib membayarkan diyat untuk
Satinah karena hal tersebut telah ada dalam kontrak perjanjian antara pelaku dan
korbannya. Dalam hal ini, posisi pemerintah harusnya sebagai pendamping dan
menjadi alat pengawasan terhadap berlangsungnya proses hukum yang berlaku.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
B.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Mulyadi. (2003). Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Pusat Kajian Wanita dan Gender. (2007). Hak Azasi Perempuan Instrumen
Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Azmy, A.S. (2011). Negara dan Buruh Perempuan. Tesis, Program Pasca Sarjana
Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
Azis, I. (2014). Kronologi Kasus Satinah, Perjuangan TKI Semarang dari Jerat
Pancung. [Online].Tersedia:http://www.aktualpost.com/2014/03/26/13206
kronologi-kasus-satinah-perjuangan-tki-semarang-dari-jerat-pancung/ [22
desember 2014].