Anda di halaman 1dari 4

Literasi Sains dan Teknologi

Oleh: Sri Hendrawati


Pada tahun 1993 UNESCO mengadakan International Forum on Scentific and Technological
Lietacy for All di Paris yang dihadiri oleh hampir 500 orang peserta sebagai perwakilan dari
48 negara termasuk Indonesia, melalui masukan dari peserta disepakati bahwa salah satu
alternatif untuk membangun masyarakat yang memiliki literasi sains dan teknologi adalah
menggunakan STS dalam pembelajaran di sekolah dan penyuluhan di masyarakat. Juga
disepakati agar guru/dosen mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melaksanakan
far transfer of learning yang berarti mampu mentrasfer pengalaman belajar ke dalam situasi
di luar sekolah yakni situasi di masyarakat (Poedjiadi, 2005)
Bloch E (dalam Poedjiadi, 2005) menyatakan bahwa literasi sains dan teknologi adalah suatu
kebutuhan dan tantangan, karena keduanya memainkan peranan penting dalam kehidupan,
terutama untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Dengan literasi sains dan teknologi dapat
memberikan informasi dasar untuk mengembangkan pengambilan keputusan. Literasi sains
dan teknologi ini berfokus pada implikasi dari problem dalam masyarakat yang bersifat lokal,
regional, maupun nasional.
Selanjutnya, Poedjiadi (2005) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki literasi sains dan
teknologi adalah yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah menggunakan
konsep-konsep sains yang diperoleh dalam pendidikan sesuai jenjangnya, mengenal produk
teknologi yang ada disekitarnya beserta dampaknya, mampu menggunakan produk teknologi
dan memeliharanya, kreatif membuat hasil teknologi yang disederhanakan dan mampu
mengambil keputusan berdasarkan nilai dan budaya masyarakat. Pada dasarnya pendekatan
pembelajaran sains teknologi masyarakat merupakan pembelajaran dalam konteks
masyarakat dan bermuatan nilai, dengan harapan agar peserta didik dapat meningkatkan
kualitas hidupnya sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial. Sedangkan literasi
teknologi yaitu: tahu menggunakan produk teknologi dan memeliharanya, sadar tentang
proses teknologi dengan prinsipnya, sadar tentang akibat teknologi terhadap manusia dan
masyarakat serta mampu membuat hasil teknologi alternatif yang sederhana.
Paul de Hart (dalam Poedjiadi, 2005) mengemukakan bahwa literasi sains berarti memahami
sains dan aplikasinya bagi kehidupan masyarakat. Kemudian sebagai karateristik dari orang
yang memiliki literasi sains yaitu: (1) mempunyai pengetahuan yang cukup tentang fakta,
konsep, teori sains dan kemampuan untuk mengaplikasikannya. (2) mempunyai pemahaman
tentang sains dan melek sains, mempunyai sikap positif terhadap sains dan teknologi. (3)
apresiasi terhadap nilai sains dan teknologi dalam masyarakat serta memahami hubungan
sains dan teknologi masyarakat. (4) menyelesaikan masalah-masalah dan mengambil
keputusan dengan menggunakan ketrampilan proses sains. (5) mampu membuat keputusan
berdasarkan nilai tentang masalah-masalah masyarakat.(6) mampu mengaplikasikan bekerja
dan berperan dalam masyarakat. (7) mempunyai pandangan yang lebih baik terhadap
lingkungan. Sedangkan literasi teknologi adalah memiliki kemampuan melaksanakan
teknologi dengan didasari kemampuan mengidentifikasi, menyadari efek hasil teknologi,
memiliki sikap dan kemampuan fisik menggunakan alat dengan aman, tepat, efisien dan
efektif.
Selanjutnya, Rubba (1993) menyatakan bahwa karakteristik individu yang memiliki literasi
sains adalah sebagai berikut: (a) bersikap positif terhadap sains, (b) mampu menggunakan
proses sains, (c) berpengetahuan luas tentang hasil-hasil riset, (d) memiliki pengetahuan

tentang konsep dan prinsip sains, serta mampu menerapkannya dalam teknologi dan
masyarakat, (e) memiliki pengertian hubungan antara sains, teknologi, masyarakat dan nilainilai manusia, (f) berkemampuan membuat keputusan dan terampil menganalisis nilai untuk
pemecahan masalah-masalah masyarakat yang berhubungan dengan sains tersebut.
Dalam pembelajaran IPA suatu pendekatan yang selalu mengacu kepada masalah lingkungan
dapat mengembangkan literasi sains dan teknologi adalah pendekatan STM. Dasar dari
pendekatan sains teknologi masyarakat adalah teori belajar konstruktivisme yang pada
pokoknya menggambarkan bahwa siswa membentuk atau membangun pengetahuannya
melalui interaksi dengan lingkungannya (Bell, 1993)
Teori konstruktivisme dikembangkan oleh Piaget (dalam Sanjaya, 2006) yang mengatakan
bahwa pengetahuan dikonsktruksi oleh siswa dengan memberi makna melalui pengalaman
nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang
berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, yaitu siswa harus mengonstruksi
pengetahuan dibenak mereka sendiri. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses
tersebut dengan: (1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa; (2) memberi
kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan (3) menyadarkan siswa
agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
Dengan pendekatan pembelajaran STM, siswa diberi kesempatan sebanyak-banyaknya untuk
memperoleh pengalaman nyata, mengembangkan gagasannya sehingga siswa akan terbiasa
sekaligus mampu membangun pengetahuannya sendiri secara aktif tentang fenomenafenomena alam yang ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk lebih
mengaktualisasikan penggunaan pendekatan sains teknologi masyarakat dalam pengajaran
IPA maka Poedjiadi (2005) menyarankan langkah-langkah sebagai berikut: (1) tahap
pendahuluan, pada tahap ini guru menggali pengetahuan siswa mengenai masalah-masalah
atau masalah yang ada di masyarakat dengan cara memberikan pertanyaan yang memicu
terjadinya diskusi antar siswa, tahap ini juga disebut sebagai tahap inisiasi, apersepsi, invitasi,
atau eksplorasi. (2) tahap pembentukan konsep, setelah guru mengetahui pemahaman konsep
siswa tentang masalah-masalah atau masalah yang ada di masyarakat guru melanjutkan
pembelajaran dengan pembentukan konsep melalui diskusi antar siswa dengan bimbingan
guru. Dalam tahap ini guru memberikan pemantapan konsep agar tidak terjadi miskonsepsi
pada diri siswa. (3) tahap kemampuan aplikasi sains, pada tahap ini diharapkan agar siswa
harus mampu mengaplikasikan konsep yang telah mereka pahami ke dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari. (4) tahap pemantapan konsep, dalam melaksanakan pemantapan
konsep guru menggunakan pendekatan diskusi yaitu membahas tentang materi yang telah
dipelajari dengan cara memberikan pertanyaan kepada siswa juga memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan. Dengan demikian pemantapan konsep ini dapat
dilaksanakan oleh guru di tengah-tengah proses pembelajaran, baik pada tahap pembentukan
konsep maupun pada tahap kemampuan aplikasi sains. (5) tahap penilaian, setelah guru
melakukan pemantapan konsep dan merasa yakin bahwa siswa telah paham, maka guru
melakukan penilaian untuk mengetahui keberhasilan pembelajaran. Penilaian hendaknya
mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.

Literacy Sains (potret permasalahan pembelajaran sains


di Indonesia)

Filed under: Opini Pendidikan, Pembelajaran Kelas 4 Komentar


13 Februari 2010
Oleh: Hafis Muaddab
Literasi sains atau scientific literacy didefinisikan PISA sebagai kapasitas untuk
menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan dan untuk
menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti agar dapat memahami dan membantu membuat
keputusan tentang dunia alami dan interaksi manusia dengan alam. Literasi sains dianggap
suatu hasil belajar kunci dalam pendidikan pada usia 15 tahun bagi semua siswa, apakah
meneruskan mengajarkan sains atau tidak setelah itu. Berpikir ilmiah merupakan tuntutan
warganegara, bukan hanya ilmuwan. Keinklusifan literasi sains sebagai suatu kompetensi
umum bagi kehidupan merefleksikan kecenderungan yang berkembang pada pertanyaanpertanyaan ilmiah dan teknologis. Definisi yang digunakan dalam PISA tidak termasuk
bahwa orang-orang dewasa masa yang akan datang akan memerlukan cadangan pengetahuan
ilmiah yang banyak. Yang penting adalah siswa dapat berpikir secara ilmiah tentang bukti
yang akan mereka hadapi.
Dimensi Literasi Sains
Dimensi Literasi Sains
(i) Content Literasi Sains
Dalam dimensi konsep ilmiah (scientific concepts) siswa perlu menangkap sejumlah konsep
kunci/esensial untuk dapat memahami fenomena alam tertentu dan perubahanperubahan yang
terjadi akibat kegiatan manusia. Hal ini merupakan gagasan besar pemersatu yang membantu
menjelaskan aspek-aspek lingkungan fisik. PISA mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
mempersatukan konsep-konsep fisika, kimia, biologi, serta ilmu pengetahuan bumi dan
antariksa (IPBA).
(ii) Process Literasi Sains
PISA (Programme for International Student Assessment) mengases kemampuan untuk
menggunakan pengetahuan dan pemahaman ilmiah, seperti kemampuan siswa untuk mencari,
menafsirkan dan memperlakukan bukti-bukti. PISA menguji lima proses semacam itu, yakni:
mengenali pertanyaan ilmiah (i), mengidentifikasi bukti (ii), menarik kesimpulan (iii),
mengkomu-nikasikan kesimpulan (iv), dan menunjukkan pemahaman konsep ilmiah (v).
(iii) Context Literasi sains
Konteks literasi sains dalam PISA (Programme for International Student Assessment) lebih
pada kehidupan sehari-hari daripada kelas atau laboratorium. Sebagaimana dengan bentukbentuk literasi lainnya, konteks melibatkan isu-isu yang penting dalam kehidupan secara
umum seperti juga terhadap kepedulian pribadi. Pertanyaan-pertanyaan dalam PISA 2000
dikelompokkan menjadi tiga area tempat sains diterapkan, yaitu: kehidupan dan kesehatan (i),
bumi dan lingkungan (ii), serta teknologi (iii).

Literacy Sains (potret permasalahan pembelajaran sains


di Indonesia)
Filed under: Opini Pendidikan, Pembelajaran Kelas 4 Komentar
13 Februari 2010

Oleh: Hafis Muaddab


Literasi sains atau scientific literacy didefinisikan PISA sebagai kapasitas untuk
menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan dan untuk
menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti agar dapat memahami dan membantu membuat
keputusan tentang dunia alami dan interaksi manusia dengan alam. Literasi sains dianggap
suatu hasil belajar kunci dalam pendidikan pada usia 15 tahun bagi semua siswa, apakah
meneruskan mengajarkan sains atau tidak setelah itu. Berpikir ilmiah merupakan tuntutan
warganegara, bukan hanya ilmuwan. Keinklusifan literasi sains sebagai suatu kompetensi
umum bagi kehidupan merefleksikan kecenderungan yang berkembang pada pertanyaanpertanyaan ilmiah dan teknologis. Definisi yang digunakan dalam PISA tidak termasuk
bahwa orang-orang dewasa masa yang akan datang akan memerlukan cadangan pengetahuan
ilmiah yang banyak. Yang penting adalah siswa dapat berpikir secara ilmiah tentang bukti
yang akan mereka hadapi.
Dimensi Literasi Sains
Dimensi Literasi Sains
(i) Content Literasi Sains
Dalam dimensi konsep ilmiah (scientific concepts) siswa perlu menangkap sejumlah konsep
kunci/esensial untuk dapat memahami fenomena alam tertentu dan perubahanperubahan yang
terjadi akibat kegiatan manusia. Hal ini merupakan gagasan besar pemersatu yang membantu
menjelaskan aspek-aspek lingkungan fisik. PISA mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
mempersatukan konsep-konsep fisika, kimia, biologi, serta ilmu pengetahuan bumi dan
antariksa (IPBA).
(ii) Process Literasi Sains
PISA (Programme for International Student Assessment) mengases kemampuan untuk
menggunakan pengetahuan dan pemahaman ilmiah, seperti kemampuan siswa untuk mencari,
menafsirkan dan memperlakukan bukti-bukti. PISA menguji lima proses semacam itu, yakni:
mengenali pertanyaan ilmiah (i), mengidentifikasi bukti (ii), menarik kesimpulan (iii),
mengkomu-nikasikan kesimpulan (iv), dan menunjukkan pemahaman konsep ilmiah (v).
(iii) Context Literasi sains
Konteks literasi sains dalam PISA (Programme for International Student Assessment) lebih
pada kehidupan sehari-hari daripada kelas atau laboratorium. Sebagaimana dengan bentukbentuk literasi lainnya, konteks melibatkan isu-isu yang penting dalam kehidupan secara
umum seperti juga terhadap kepedulian pribadi. Pertanyaan-pertanyaan dalam PISA 2000
dikelompokkan menjadi tiga area tempat sains diterapkan, yaitu: kehidupan dan kesehatan (i),
bumi dan lingkungan (ii), serta teknologi (iii).

Anda mungkin juga menyukai