Anda di halaman 1dari 9

Hakikat dibalik Materi

Kutipan dari http://www.harunyahya.com (rahasia dibalik materi)


Sejak kelahirannya manusia sudah dibiasakan melihat wujud dunia ini sebagai bentuk
materi yang absolut. Sehingga ia tumbuh dewasa dalam pengaruh pengkondisian ini, dan
menjalani seluruh hidupnya dalam cara pandang ini. Akan tetapi penemuan teknologi
modern menemukan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan anggapan umum. Semua
informasi yang kita punyai tentang dunia luar bersumber hanya dari panca indera yang
kita miliki.
Dunia yang kita pahami terdiri atas :
Apa yang dilihat oleh Mata,
Didengar oleh Telinga,
Dicium oleh Hidung,
Dirasakan oleh Lidah dan
Disentuh oleh Tangan kita.
Manusia bergantung hanya kepada lima indera itu semenjak lahir,
Itulah mengapa, ia hanya mengetahui dunia luar hanya sebatas yang diberikan melalui
panca indera ini.
TETAPI
Penelitian ilmiah tentang indera kita, telah mengungkapkan kenyataan yang sangat
berbeda tentang apa yang kita sebut dengan dunia luar, dan kenyataan ini telah
membongkar sebuah rahasia sangat penting akan hakikat materi yang menyusun dunia
luar tersebut. Pemikir abad ini Frederick Kester menjelaskan pencapaian ilmu
pengetahuan pada bidang ini.
Pernyataan sejumlah ilmuwan bahwa manusia adalah gambar, segala yang dirasakan
bersifat sementara dan tipuan, dan alam semesta hanyalah sebuah bayangan, tampak
dibuktikan oleh ilmu pengetahuan di jaman kita sekarang.
Agar lebih memahami rahasia dibalik materi ini, marilah kita pahami kembali indera
pengelihatan, yang memberi kita informasi paling banyak tentang dunia luar.
Bagaimana Kita dapat Melihat ?
Proses melihat terjadi secara bertahap, pada saat melihat, kumpulan cahaya yang disebut
FOTON bergerak dari benda menuju mata. Dan menembus lensa dimana FOTON ini

dibelokkan dan difokuskan menuju ke retina yang terletak dibelakang mata. Disini
cahaya dirubah menjadi sinyal-sinyal listrik dan kemudian diteruskan oleh sel-sel saraf ke
pusat pengelihatan dibagian belakang otak. Proses melihat sesungguhnya terjadi di pusat
tersebut yang berada di otak.
Segala pemandangan yang kita lihat dan rasakan, semua peristiwa yang kita alami
sebenarnya kita rasakan di tempat yang kecil dan gelap dibelakang otak ini yang hanya
berukuran beberapa cm3.
Jadi bila kita mengatakan kita melihat, maka sesungguhnya kita melihat efek yang
ditimbulkan pada otak kita oleh cahaya yang sampai pada mata dengan merubahnya
menjadi sinyal listrik. Proses sebenarnya adalah kita menyaksikan sinyal-sinyal listrik
dalam otak kita.
Perlu diperhatikan bahwa otak kita tidak pernah berhubungan dengan dunia luar, dan apa
yang ada didalam otak kita adalah ruang gelap gulita.
Sebagai contoh cobalah anda bayangkan melihat sebuah lilin yang menyala, maka anda
akan melihat cahaya lilin, pada saat anda melihat cahaya lilin anda mengatakan terang
padahal pusat pengelihatan di otak tetap gelap. Cahaya lilin tidak pernah menerangi pusat
pengelihatan dalam otak kita namun kita dapat melihat warna warni dunia yang gemerlap
dalam otak kita yang gelap.
Hal yang sama terjadi pula pada indera kita yang lain, suara, sentuhan, rasa dan bau,
semuanya dirasakan didalam otak, sebagai sinyal-sinyal listrik.
Jadi selama ini otak kita tidak berhubungan langsung dengan materi sesungguhnya yang
ada disekitar kita melainkan hanya tiruan sinyal-sinyal listrik dari materi tersebut yang
terbentuk didalam otak kita.
Disinilah kita tertipu ketika menganggap tiruan ini sebagai wujud materi yang
sesungguhnya.
Dunia Luar di dalam Otak Kita
Kenyataan ini membawa kita kepada kesimpulan yang tak perlu diperdebatkan lagi,
Semua yang kita lihat, sentuh, dengar, dan rasakan sebagai materi, dunia atau alam
semesta, hanyalah sinyal-sinyal listrik dalam otak kita.
Sebagai contoh bila kita melihat dan mendengar burung yang berkicau, maka
sesungguhnya kita hanya menerima sinyal-sinyal listrik di otak dari sel-sel neuron dari
mata ke pusat pengelihatan, andai syaraf yang menghubungkan mata ke pusat otak kita
putus maka kita tidak dapat melihat apa-apa, begitu juga dengan suara burung yang kita
dengar, apabila syaraf yang mengirim sinyal listrik suara dari telinga ke otak kita putus
maka kita tidak dapat mendengar suara burung lagi.

Singkatnya burung yang kita lihat dan suaranya yang kita dengar, tidak lah lebih dari
penafsiran sinyal-sinyal listrik di otak kita.
Ketika sedang membaca artikel ini, anda sebenarnya tidak berada didalam ruangan
seperti yang anda yakini, sebaliknya ruangan tersebut ada dalam diri anda, Penglihatan
anda terhadap tubuh anda, membuat anda berfikir anda berada didalam ruangan itu.
Namun anda harus ingat bahwa tubuh anda pun adalah gambar yang terbentuk dari
sinyal-sinyal listrik didalam otak anda.
Apakah keberadaan dunia luar sangat diperlukan ?
Sejauh ini kita telah berulang kali menybut dunia luar, dan dunia persepsi atau
penampakan yang terbentuk didalam otak kita.
Namun sesungguhnya persepsi dalam otak kitalah yang terjadi (dengan kata lain dunia
luar tidak ada) dan gambaran otak kitalah yang kita saksikan selama ini.
Tetapi ini belum bisa kita buktikan karena kita tidak bisa menjangkau dunia nyata diluar
dari apa yang kita lihat dan kita huni selama ini.
Kita meyakini dunia yang ada hanya dari apa yang kita lihat, namun penampakkan yang
ada hanyalah gambaran dari persepsi di otak kita.
Jadi semua yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan, dan kita cium hanyalah sebuah
gambaran semu yang hadir karena persepsi dari otak kita, karena itu sekali lagi kita
tertipu dengan menganggap segala sesuatu yang ada, adalah sebagai wujud nyata,
padahal itu ada dalam persepsi otak kita.
Untuk lebih memudahkan anda memahami konsep ini mari kita pelajari bagian berikut ini
:
Dunia dalam Mimpi
Pernahkah anda mimpi?, anggap teman anda atau anda bermimpi menjadi seorang pilot
pesawat terbang dengan berbagai panel desekeliling yang membingungkan, dan anda bisa
dapat dengan mudah mengoperasikan semua panel pesawat dengan baik dan mendaratkan
pesawat dengan sempurna.
Sadarkah anda selama anda dalam mimpi, anda menganggap bahwa itu adalah nyata,
karena anda bisa menyentuh, meraba, merasakan dan mendengar desingan mesin
pesawat, padahal anda tidak menggerakkan tangan, tidak menggerakkan kaki dan tidak
mengoperasikan panel pesawat, melainkan hanya tidur mendengkur.
Dan anda akan tersadar setelah bangun dari tidur, bahwa semua pengalaman itu hanya
sebuah mimpi, tapi apakah anda akan sadar bila anda tidak pernah bangun dari tidur itu?.

Itu pula yang sangat mungkin terjadi pada hidup kita, ketika kita terbangun dari mimpi,
maka tidak ada alasan logis untuk mengatakan bahwa kita telah mengalami mimpi yang
lebih panjang yang kita sebut sebagai dunia nyata.
Alasan kita menyebut mimpi sebagai hayalan dan menyebut dunia ini adalah dunia yang
nyata, adalah hanya karena prasangka kita. Bagaimana jika ternyata dunia nyata yang kita
jalani ini hanya sebuah mimpi yang lebih panjang?.
Siapakah yang Melihat ?
Setelah semua kenyataan materi ini terungkap, kini muncul pertanyaan terpenting, Jika
pengalaman dialam materi yang kita alami sekedar penampakkan, bagaimana dengan
otak kita ?, oleh karena otak kita termasuk sebagai materi, seperti lengan kita, kaki kita
dan benda lain, otak kita juga sekedar penampakkan sebagaimana semua benda yang ada.
Marilah kita memanjangkan semua syaraf-syaraf yang ada didalam otak kita dengan
mengeluarkannya dari kepala kita, sehingga kita dapat melihatnya dengan mata kita.
Pada kondisi ini kita dapat melihat otak kita dan menyentuhnya dengan jari-jari kita.
Dengan ini kita juga dapat menyadari bahwa otak kita adalah tidak lebih dari gambaran
yang diberikan oleh panca indera kita.
Lalu kehendak apakah yang melihat, mendengar dan merasakan semua indera yang lain,
jika bukan otak?, siapakah dia yang melihat, mendengar, meraba, merasakan rasa dan
bau?, siapakah wujud ini yang berfikir, beralasan, memiliki perasaan dan berkata bahwa
saya adalah saya?.
Salah satu pemikir terkemuka abad ini, Clarkly Brown juga memiliki pertanyaan yang
sama.
Ternyata wujud ghaib yang menggunakan otak yang melihat dan mendengar serta
merasakan adalah Ruh.
Alam materi adalah segala sesuatu yang tampak dan dirasakan oleh Ruh, dan inilah
wujud absolut yang nyata dan Materi adalah penampakkan yang dilihat oleh Ruh.
Begitulah, kendatipun kita mulai dengan anggapan bahwa materi adalah wujud yang
sesungguhnya, namun hukum-hukum fisika, kimia, dan biologi, semua menghantarkan
kita pada kenyataan bahwa materi terbentuk dari khayalan, pada kenyataan yang pasti
tentang adanya wujud yang ghaib dan INILAH RAHASIA DIBALIK MATERI
Kenyataan ini sangatlah pasti, sehingga mengkhawatirkan sejumlah ilmuwan materialis,
yang meyakini materi sebagai wujud absolut. Dan para ilmuwan telah menyadari akan
keterbatasan indera manusia.

Semua kenyataan ini menghadapkan kita kepada pertanyaan yang sangat penting, jika
segala sesuatu yang ada, adalah penampakkan yang diberikan kepada Ruh kita, lalu
apakah sumber penampakkan-penampakkan ini?, untuk menjawab pertanyaan ini, maka
kita harus mempertimbangkan bahwa alam materi tidak ada dengan sendirinya, akan
tetapi sekedar penampakkan. Oleh karena itu sudah sewajarnya bila penampakkan ini ada
karena adanya kekuatan lain yang sangat besar dan berarti bahwa ini pasti telah
diciptakan.
Lebih dari itu penciptaan ini harus terjadi terus menerus, jika tidak demikian maka apa
yang kita sebut dengan materi akan musnah dan hilang. Hal ini bisa disamakan dengan
televisi yang terus-menerus menampilkan penampakkan gambar, jika siaran dihentikan
maka penampakkan gambar pada televisipun akan hilang.
Wujud Absolut Sesungguhnya
Siapakah yang membuat Ruh kita melihat tanah, manusia dan semua alam materi ini,
sangat jelas bahwa ada pencipta Maha Agung yang telah menciptakan seluruh alam
materi, yakni keseluruhan penampakkan dan terus menerus menciptakannya tanpa henti.
Karena pencipta ini memperlihatkan penciptaan yang luar biasa, IA pasti memiliki
kekuatan dan kebesaran yang Abadi, semua penampakkan IA ciptakan sesuai
kehendaknya, dan IA berkuasa atas yang diciptakannya setiap saat, pencipta ini adalah
ALLAH penguasa Langit dan Bumi, wujud absolut sesungguhnya adalah ALLAH,
segala sesuatu selain darinya adalah bayangan yang diciptakan.

FANA Lalu Siapa yang Abadi ?


FANA - Segalanya adalah bayangan.
FANA
Adanya langkah pelampauan sampai pada satu titik dimana tauhid (penyatuan) bisa
dicapai, terungkap dalam pernyataan Nabi Ibrahim as. di dalam surat Al Anam yang
secara metaforis diungkapkan dalam bentuk bintang, bulan, dan matahari.
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi, dan supaya
ia termasuk orang-orang yang yakin.
Maka tatkala malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) ia berkata, Inilah
Tuhanku. Maka tatkala bintang itu hilang dia berkata, Aku tidak suka kepada yang hilang.

Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata, Inilah Tuhanku. Maka tatkala
bulan itu terbenam dia berkata, Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberikan petunjuk
kepadaku niscaya aku termasuk kaum yang sesat.
Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, Inilah Tuhanku, ini yang lebih
besar! Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata, Hai kaumku, sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. ( Surah Al-Anam [6] : 75-78 )
Bintang metafora pertama- melambangkan petunjuk atau cahaya indera seseorang yang
mencari ilmu atau pengetahuan tentang kebenaran melalui sarana indera. Dahulu para
pelaut menjadikan bintang-bintang di langit sebagai petunjuk arah ketika mereka
berlayar. Bintang tak ubahnya seperti cahaya panca indera dalam diri manusia. Namun
dengan cahaya indera ini seseorang takkan bisa mencapai kepada hakikat Ilahiah.
Metafora kedua bulan- adalah simbol cahaya akal. Dengan akal yang dibimbing oleh
petunjuk atau cahaya syariat seseorang dapat dekat pada kebenaran dan kebajikan.
Dengan cahaya akal ini seseorang dapat mengungkap rahasia-rahasia Ilmu Allah, yang
dapat ia buktikan dan saksikan lewat fenomena alam. Dan keadaan ini akan
membawanya kepada keyakinan yang lebih jauh terhadap kebenaran, meskipun dengan
cahaya ini seseorang belum juga sanggup mencapai makrifat hakiki akan Tuhan.
Matahari metafora ketiga- melambangkan cahaya Suci atau cahaya Al Haqq yang
menerangi hati manusia, sehingga seseorang yang mengalami keadaan ini memperoleh
limpahan atau pelekatan sifat-sifat Allah ke dalam dirinya. Lewat cahaya Suci ini
seseorang mengalami penyingkapan hati dan mata batinnya menyaksikan supremasi
Tuhan dalam kekuasaan dan ilmu-Nya. Akan tetapi pada gilirannya keadaan ini
menunjukkan keberagaman (katsrah). Dalam cara yang sama, keberagaman dapat dilihat
pada gagasan mengenai tempat bersandar dan yang bersandar, atau pada yang Ridha dan
yang diridhai. Dan ini menunjukkan adanya jarak antara keberagaman dan tauhid
(kesatuan).
Keadaan ini sebagaimana dinyatakan Nabi Ibrahim as. sendiri, Inikah Tuhanku?
Pernyataan dalam bentuk pertanyaan ini muncul pada tiga waktu yang berbeda, suatu
pertanyaan yang sebenarnya bertujuan untuk menyatakan pengingkaran. Maksudnya,
seolah-olah Nabi Ibrahim as. berkata, Ini adalah sesuatu yang diciptakan, suka terbenam
dan hilang, lalu pantaskah ia menjadi Tuhanku dan Tuhan sekalian alam? Tidak, demi
Allah, ini tidaklah mungkin. Ini bukanlah Tuhanku dan Tuhan sekalian alam, tetapi ini
semua perwujudan dari hakikat Tuhanku. Atau ia bisa juga mengatakan, Apakah dengan
cahaya panca indera, cahaya akal, dan cahaya Suci (cahaya Al Haqq). aku akan jadi tahu
Tuhanku? Tidak, demi Allah, ini tidaklah mungkin Bahkan kita takkan pernah bisa
mengenal-Nya kecuali dengan melintasi dan melampaui tiga cahaya itu. Sebab tak
mungkin mencapai makrifat hakiki akan dzat-Nya, kecuali dengan dzat-Nya.
Disebutkan Nabi saw. bersabda, Aku telah mengenal Tuhanku melalui Tuhanku.
Perumpamaan seseorang yang berusaha mencapai makrifat Tuhan dengan menggunakan
cahaya Suci adalah seperti orang menyaksikan matahari dengan cahaya matahari. Jelas

bahwa yang disaksikannya benar-benar matahari dan cahayanya yang tersebar ke seluruh
penjuru arah, sekalipun penyaksiannya masih membedakan antara penyaksi (cahaya
matahari) dengan yang disaksikan (matahari itu sendiri) bukan penyaksian ke-esa-an
murni akan Tuhan.
Makna mendalam yang ingin diungkapkan di sini adalah bahwa seperti halnya orang baru
bisa melihat matahari dan cahayanya setelah ia menghubungkan diri dengan matahari
berdasarkan kesucian dan cahaya- begitu pula, orang baru bisa menyaksikan Yang Maha
Nyata setelah berupaya menjalin hubungan antara dirinya dengan Dia, dengan cara
membebaskan diri dari selain-Nya dan membenarkan keagungan-Nya secara mutlak di
atas semua ciptaannya.
Ketika Allah mengungkapkan diri-Nya (tajalli) atau dzat-Nya ke dalam hati seorang
hamba, maka yang diungkapkan adalah esensi-Nya, yaitu berupa nama-nama-Nya dan
sifat-sifat-Nya bukan wujud-Nya yang mutlak. Sebab wujud-Nya yang mutlak
sesungguhnya tidak bersifat atau tidak terlukiskan sama sekali. Dzat-Nya adalah Wujud
Mutlak, yang ke-esa-an-Nya tak lain adalah dzat-Nya sendiri, sedangkan apapun selain
wujud-Nya adalah ketiadaan mutlak. Tajalli dalam bentuk nama-nama-Nya dan sifatsifat-Nya harus dipahami sebagai keadaan dimana wujud-Nya memberi identitas atau
memberi sifat kepada esensi-Nya. Sehingga lewat nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya itu
Dia dapat disaksikan. Jadi Esensi menjadi tumpuan atau pijakan Wujud. Dengan kata
lain, pengungkapan ke-esa-an Allah ke dalam hati seorang hamba, adalah pengungkapan
diri Yang Maha Nyata dari kehadiran ke-esa-an dzat-Nya yang mutlak tanpa ada sifat atau
lukisan apapun yang dapat melukiskannya- ke kehadiran ke-esa-an-Nya yang terlukiskan
oleh sifat-sifat dan nama-nama-Nya sebagaimana Dia informasikan di dalam Al Quran
dan Sunnah. Coba perhatikan dengan baik kalimat terakhir ini, karena dengan memahami
ini akan memudahkan pemahaman kita selanjutnya.
Pengungkapan diri-Nya ini juga menandai munculnya sifat-sifat mengetahui dan
menerima dari-Nya, sebab berbagai hakikat (di dalam ilmu-Nya) yang tersembunyi di
balik ke-esa-an dzat-Nya yang mutlak, merupakan obyek pengetahuan-Nya, dan yang
menerima pelimpahan wujud ke alam nyata (fenomenal) dimana hati seorang hamba
mengalami penyingkapan (kasyf).
Gambaran keadaan ini dapat kita lihat dalam surat Al Arf [7] ayat 172,
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menjadikan keturunan Bani Adam dari tulang sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian atas diri (nafs) mereka, Bukankah Aku ini Rabb
(Tuhan)-mu?. Mereka menjawab, Betul, kami menjadi saksi. Yang demikian supaya kamu
tidak mengatakan di hari kiamat, Sesungguhnya kami lalai tentang hal ini.
Inilah keadaan dimana jiwa (nafs) menyaksikan kehadiran-Nya (Rabb), yang adalah
bentuk-bentuk rasional dari nama-nama-Nya atau kehadiran ke-esa-an-Nya yang tersifati
oleh nama-nama-Nya. Sebagaimana kita tahu kata rabb mengacu pada pengertian;
pencipta, pengatur, pemelihara dan pendidik. Dengan demikian, hakikat-hakikat di dalam

ilmu-Nya yang tadinya tersembunyi di balik ke-esa-an dzat-Nya yang mutlak (di alam
non-eksistensi) kemudian aktual dan mewujud dalam alam fenomenal.
Namun demikian, sekali lagi, keadaan ini menunjukkan jiwa (nafs) yang menyaksikan
lewat mata hati yang mengalami penyingkapan (kasyf), dan bukan kemusnahan (fana) di
dalam-Nya. Begitu pula apa yang disaksikan adalah, kehadiran ke-esa-an-Nya dalam
perwujudan-perwujudan yang beragam (sifat-sifat dan nama-nama-Nya), dan bukan
kemanunggalan dan kemandirian dzat-Nya yang mutlak (hilangnya selubung-selubung
kemegahan Ilahi dan kekuasan-Nya, atau yang dalam istilah Mulla Shadra disebut,
Perbedaan Wujud kembali kepada persamaannya).
Semua yang ada di bumi ini akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhan-mu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (Surat 55 : 26-27)
Kemusnahan (fana) di dalam-Nya, diisyaratkan di dalam surat Al Arf [7] ayat 143, yang
secara metaforis diungkapkan dengan pecahnya bukit dan pingsannya Nabi Musa as.
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan, dan Tuhan berkata-kata dengannya, Musa berkata, Ya Tuhanku, perlihatkanlah
(diri-Mu). Tuhan berfirman, Kamu tidak sanggup melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu,
maka jika ia tetap ditempatnya, maka nanti kamu akan dapat melihat-Ku. Maka setelah
Tuhan memperlihatkan (kebesaran) diri-Nya di bukit itu, Allah menjadikannya pecah dan
Musa jatuh pingsan. Setelah Musa sadar kembali, dia berkata, Mahasuci Engkau, aku
bertaubat kepada-Mu dan aku orang yang pertama-tama beriman.
Ketika Allah memperlihatkan kebesaran-Nya di bukit itu, ini mengungkapkan kehadiran
ke-esa-an-Nya dalam sifat-sifat dan nama-nama-Nya (perwujudan yang beragam) yang
dapat disaksikan oleh hati yang mengalami penyingkapan. Dan saat bukit itu pecah
(Allah yang menjadikannya pecah), itu menunjukkan musnahnya selubung kebesaranNya, kembalinya keragaman kepada ketunggalan dan kemandirian dzat-Nya yang tak
bersifat atau tak terlukiskan. Dzat-Nya adalah Wujud Mutlak, dan ke-esa-an-Nya tak lain
adalah dzat-Nya itu sendiri, sedang selain wujud-Nya hanyalah ketiadaan. Bersamaan
dengan itu pingsanlah Nabi Musa as. Pingsannya Nabi Musa adalah simbol dari
kemusnahan jiwa, bukan kemusnahan aktual melainkan kemusnahan dalam makrifat.
Sirna di dalam dzat-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis Nabi saw. :
Matilah kamu sebelum datang kematian-mu. Dan inilah yang dimaksud dengan fana di
dalam diri-Nya.
Dan ketika Musa as. kembali terjaga, setelah mengalami keadaan di atas, sadarlah ia
bahwa apa yang selama ini ia pahami tentang hakikat Allah, apa yang sebelum ini ada
dalam pikirannya tentang wujud-Nya yang mutlak, bukanlah hakikat dzat-Nya yang
sesungguhnya. Mahasuci Dia dari segala apa yang disifatkan dan dilukiskan, karena dzatNya tidak dapat dilukiskan, Dia bukan ini, bukan itu, bukan apa pun yang bisa
dibayangkan.

Fana di dalam dzat-Nya yang Maha Mutlak, adalah maqam penyingkapan Esensi Hakiki,
penyingkapan seseorang dari selubung-selubung kemegahan dan kekuasaan-Nya, dan
hilangnya segala selubung selain Tuhan. Mereka yang berada pada maqam ini adalah
mereka yang melampaui penyaksikan kehadiran Allah dalam perwujudan-perwujudan
beragam. Tidak ada sesuatupun kecuali Dia. Semua adalah Dia, karena Dia, dari Dia, dan
kepada-Nya. Tanda kemusnahan di dalam diri-Nya, adalah kukuhnya seseorang di dalam
maqam istiqomah (keteguhan) dan maqam tamkn (keajegan), sebagaimana yang
dijelaskan Allah dalam firman-Nya,
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan
(juga) orang-orang yang telah taubat bersama kamu dan janganlah kamu melampaui
batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Surat Huud [11] :
112)
Ada perbedaan antara manusia yang terus mengada dengan dirinya sendiri dengan
manusia yang telah luluh di dalam diri Tuhannya.
Akhirnya, sampailah bagi saya untuk menghentikan pembahasan mengenai keadaan fana
ini, dan saya berharap semoga Allah membukakan hati dan pikiran kita semua untuk
dapat menerima limpahan ilmu-Nya yang bermanfaat. Allah Maha Mengetahui dan
Mahabijaksana. Dialah yang mengatakan kebenaran dan menuntun ke jalan yang benar.
(Laut itu tetaplah laut yang sebelumnya; kejadian hari ini hanyalah ombak dan
gelombang air)

Anda mungkin juga menyukai