499 Sofyan DR Iritasi Radicular Transient H
499 Sofyan DR Iritasi Radicular Transient H
Mepivacaine
Transient radicular irritation (TRI), didefinisikan sebagai pain (sakitnyeri) pada pantant, pinggang posterior, atau tungkai telah dilaporkan setelah
anestesi spinal dengan menggunakan hyperbaric 5% lidoaine (1-3) dan secara
jarang, dengan bupivacaine (4) dan tetracaine (5). Hyperbaric 4% mepivacaine
telah digunakan untuk anestesi spinal selama bertahun-tahun (6), terutama di
Eropa (7), dan sejauh ini tidak, diimplikasikan secara klinis dalam menyebabkan
TRI. Kami menyajikan dua kasus gejala TRI setelah anestesi spinal dengan 4%
hyperbaric mepivacaine.
Laporan Kasus
Kasus 1
Seorang wanita usia 28 tahun, berat 65 kg, dijadealkan untuk dilatasi
cervix dan curret berkenaan kematian fetal pada kehamilan usia delapan minggu.
Setelah skin preparation dengan providone iodine 10%, anestesi spinal atraumatic
dilakukan dengan jarum 27-gauge Whitacre (pendekatan midline, sitting, L3-4).
Setelah aliran bebas cairan cerebrospinal terobservasi, 70 mg 4% mepivacaine
dalam 9.5% glukosa (Astra Chemicals, Wedel; Jerman) diinjeksikan. Tidak ada
pain, tidak ada paresthesia atau pendarahan yang dikemukakan. Pasien
ditempatkan pada posisi lithotomy untuk prosedur ini, yang adalah uneventful (tak
banyak peristiwa) dan berlangsung 15 menit. Anestesi memadai dicapai dengan
level sensory atas pada T7. Tiga jam setelah anesthetic, pasien mengeluhkan
aching pain (sakit pusing?) yang menyebar dari pantat hingga pinggang posterior.
Pain dijelaskan sebagai parah secara moderat, berlangsung 12 jam, dan
memerlukan treatment dengan diclofenac. Tidak terdapat gejala neurologis lain
atau tanda yang dikemukakan.
Kasus 2
Seorang wanita usia 51-tahun dijadwalkan untuk dilatasi cervix dan currete
diagnostic untuk pendarahan postmenopause. Riwayat medisnya meliputi hiatal
hernia dan occational palpitation. Anestesi spinal dilakukan pada rentang jarak
L3-4 dengan 70 mg 4% mepivacaine dalam glukosa 9.5% menggunakan jarum
27-gauge Whitacre . Level upper sensory T9 dicapai, dan prosedur berlangsung
uneventfully (tanpa banyak kejadian) dalam posisi lithotomy. Empat jam secara
postoperative, pasien mengeluhkan aching pain hebat pada punggung bawah yang
memancar sepanjang aspek posterior dari tight (paha) maupun calve (betis).
Anestesiolog dihimpun karena pasien tidak dapat berbaring atau duduk dengan
nyaman. Tidak terdapat abnormalitas neurologis yang ditemukan saat pengujian.
Pain membaik setelah pengobatan dengan acetaminophen, dan pasien menjadi
bebas-pain setelah 24 jam.
Diskusi
Terdapat banyak laporan dalam literature mengenai kejadian TRI dengan
5% hyperbaric lidocaine (1-3,8), tetapi ini adalah laporan pertama TRI setelah
anestesi spinal dengan 4% hyperbaric mepivacaine. Pada ekperimen binatang,
hubungan telah dipostulasikan antara injury oleh sebab-anestesi local dan
kenaikan konsentrasi dan dosis lidocaine (9,10). Dalam setting klinis, reduksi
konsentrasi lidocaine dari 5% hingga 2% tidak mencegah TRI (8). Lebih lanjut,
konsentrasi tinggi anestesi local, ketika diinjeksikan dengan perlahan, adalah tidak
terdistribusi secara homogen dalam model spinal laboratorium (3). Kami
mengasumsikan bahwa komplikasi tersebut, dengan potensi mereka bagi
neurotoxicity, adalah juga berlaku untuk mepivacaine, karena profil anesteticnya
menyerupai profil pada lidocaine (11).
Rangkaian klinis initial (awal) dari pasien kami adalah serupa dengan
rangkaian klinis pada laporan lain setelah administrasi intrathecal (IT) 5%
lidocaine. Feature yang umum meliputi pain moderat hingga parah pada
punggung bawah, pantat, dan posterior thigh (Paha posterior), yang tampak 1-24
jam pasca injeksi setelah pemulihan penuh dari anestesi spinal, pengujian
neurologis normal, dan resolusi penuh gejala didalam satu minggu (5). Akan
tetapi, pasien kami menunjukkan resolusi lebih cepat akan gejala daripada yang
ditemukan dalam laporan dengan lidocaine dan tetracaine (1,2,4,5).
meliputi studi koagulasi, adalah normal. Dengan pasien dalam posisi duduk, skin
preparation dilakukan dengan larutan yang mengandung-iodine. Setelah
menghilangan kelembaban berlebih dari tempat yang di-disinfeksi, subarachnoid
puncture (tusukan subarachnoid) dilakukan pada usaha pertama tanpa kesulitan
pada interspace L3-4 menggunakan jarum 25-gauge Whitacre. Setelah aspirasi
cairan cerebrospinal jernih, 2% plain mepivacaine 3 ml diberikan selama 10 detik.
Tidak terdapat paraesthesia yang didatangkan selama penyisipan jarum atau
administrasi anestesi. Pasien dibalik diatas punggungnya, dan setelah 10 menit,
ditempatkan dalam posisi lithotomy. Blok sensory terhadap pinprick diperoleh
pada T8.
Prosedur pembedahan adalah uneventful dan berlangsung 40 menit. Nilai
hemodynamic tetap stabil selama periode intraoperative. Periode postoperative
immediate (segera) adalah uneventful, dengan pemulihan penuh dari anestesi
spinal. Enam jam setelah operasi, pasien menampakkan burning pain (luka
bakar?) bilateral pada pantat, menyebar ke sisi dorsolateral dari kedua paha dan
betis. Pengujian neurologis menyatakan tidak adanya abnormalitas reflex sensorymotor atau otot-tendon dan dia mampu berjalan. Uji Lasegue adalah negatif.
Sphincter tone adalah normal. Dia tidak mengalami headache (sakit kepala),
tinnitus atau diplopia. Terapi analgesic dengan ketorolac tromethamine mereduksi
gejala dan pasien dipulangkan pada petang hari pertama setelah operasi. Pada
wawancara melalui telepon 3 hari kemudian, pasien melaporkan resolusi penuh
dari pain sensation.
Pasien No. 2
Seorang pria usia 69 tahun, 177-cm, 65 kg, hadir untuk penghilangan
endoscopic, vesical papillomata. Riwayat medis pasien meliputi hipertensi dan
COPD. Tidak terdapat riwayat back pain kronis, neuropathy peripheral atau
diabetes. Pengujian fisik dan hasil preoperative studi koagulasi adalah normal.
Sembilan bulan sebelumnya, dia menjalani trans urethral resection of the prostate
( TURP) dibaweah anestesi spinal uneventful menggunakan 0.5% plain
bupivacaine 3 ml melalui jarum 25-gauge Quinke. Dengan pasien dalam posisi
duduk dan menggunakan prosedur yang sama sebagaimana dijelaskan pada pasien
No. 1, dural puncture dilakukan tanpa kesulitan pada L3-4 interspace
menggunakan jarum 25-gauge Quinke. Injeksi 2% plain mepivacaine 3 ml
dilakukan selama 10 detik. Tidak terdapat paraeshtesia, pain atau pendarahan
selama penempatan needle (jarum) atau injeksi anestesi local. Pasien dibalik
diatas punggungnya dan ditempatkan pada posisi litotomy. Level atas anestesi
pada T9 diperoleh setelah 15 menit. Prosedur pembedahan, berlangsung 45 menit,
adalah uneventful sebagaimana adalah pemulihan postoperative. Pasien tetap
stabil secara hemodynamic selama prosedur.
Sepuluh jam setelah operasi, dia menampakkan pain bilateral yang
menyebar dari bagian bawah punggung hingga ke betis. Pengujian neurologis oleh
neurologist konsultan menyatakan tidak adanya abnormalitas motor-sensory atau
tendon-otot. Uji Lasegue adalah negatif. Dia tidak menyandang headache, tinitus,
diplopia atau tanda disfungsi bowel (isi perut). Asam Mefenamic memberikan
pain relief (peredaan sakit). Kateter urinarynya disingkirkan dua hari setelah
operasi dan dia buang air dengan sukses. Pasien dipulangkan 3 hari setelah operasi
dengan resolusi penuh gejala.
Pasien No. 3
Wanita usia 42 tahun, 165 cm, 53 kg, menjalani hysterocopy diagnostic
dan curettage. Riwayat medisnya adalah uneventful. Pengujian fisik dan studi
laboratorium adalah unremarkable (tidak dapat ditandai). Dengan pasien dalam
posisi lateral decubitus kanan dan menggunakan teknik steril sebagaimana pada
pasien No 1, jarum 27-gauge Whitacre diintroduksikan kedalam ruang
subarachnoid pada usaha pertama pada interspace L3-4. Injeksi 2% isobaric
mepivacaine 3 ml diberikan selama 10-15 dt. Tidak ada discomfort
(ketidaknyamanan) yang disampaikan selama penyisipan jarum atau selama
injeksi anestesi local. Level sensory atas dari T8 diperoleh. Prosedur ginekologis,
berlangsung 35 menit, dan dilakukan dalam posisi litohomy, adalah uneventful.
Nilai hemodynamic tetap stabil sepanjang periode intraoperative.
dan mengajukan bahwa efek langsung larutan anestetic pada akar syaraf sacral
adalah lebih mugnkin. Sedikit studi yang telah mengevaluasi insiden TRI setelah
anestesi spinal mepivacaine. Hiller dan Rosemberg melaporkan insiden 30% pada
pasien yang menerima 4% spinal hyperbaric mepivacaine dibandingkan dengan
3% pada mereka yang menerima 0.5% hyperbaric bupivacaine.7 Penulis
berpendapat bahwa penurunan dosis mepivacaine dapat membatasi perkembangan
TRI. Kasus kami mengindikasikan bahwa penurunan konsentrasi dan dosis
mepivacaine tidak mencegah perkembangan TRI.
Akan tetapi, sebagai tambahan bagi efek toxic anestesi local, co-faktor
mungkin lainnya dalam perkembangan TRI harus dimasukkan dalam perhitungan.
Semua pasien kami menjalani pembedahan dalam posisi lithotomy. Literatur
terkini memfokuskan atas pentingnya posisi pembedahan dalam insiden TRI, 3-5,
7,9,11
5%
hyperbaric
lignocaine
untuk
anestesi
spinal
harus
10
11
Empat menderita oleh headache ringan dan satu pasien menyandang tanda tipikal
headache pasca-dural puncture yang mereda secara konservatif.
Lower extremity pain setelah hyperbaric 5% lignocaine tidak berkorelasi
dengan segala variabel yang tercatat (tabel 1). Tidak terdapat paraesthesia atau
kesulitan selama puncture (tusukan) yang dikemukakan. Mean jumlah usaha
adalah 1.5 pada spinal block (SD 0.71). Tidak terdapat darah yang dikemukakan
dalam CSF, kecuali dalam satu pasien, tetapi CSFnya adalah jelas sebelum injeksi
anestesi local. Level median analgesia adalah T9 dengan variasi interindividual
dari L2 hingga T3. Posisi pasien selama oeperasi dan tipe pembedahan adalah
variabel (tabel 1). Selama operasi, dua pasien mengalami penurunan dalam
tekanan arterial pada lebih dari 30% dari nilai pra anasthetic dan mereka diberi
etilefrine chloride. Bradycardia (<50 dentut per menit) dalam dua pasien lainnya
di treatment dengan atropine. Semua pasein mampu berjalan didalam 24 jam
pertama (mean 8.5 (SD 0.71) jam. Tak satupun dari 27 pasien tersebut
mengeluhkan kesulitan urinary setelah pembedahan.
Dua pasien yang dianesthesi dengan hyperbaric bupivacaine mengeluhkan
pain dalam lower extremity. Satu menderita fibromyalgia dan lainnya
menyandang gejala transient (sejenak) pada malam 7 setelah operasi.
Tak satupun dari pasien yang dianesthesi dengan plain bupivacaine
(bupivacaine biasa) mengeluhkan gejala serupa.
Komentar
Dalam studi ini. kami menemukan transient radicular irritation dalam
lower extremity dalam 10% pasien setelah intrathecal hyperbaric 5% lignocaine.
Durasi gejala adalah sekitar 2 hari dan selanjutnya tidak terdapat keluhan lebih
lanjut. Dalam semua pasien, gejala lenyap pada waktu interview pada 1 minggu.
Selaras dengan temuan Schneider dan koleganya [3], kami mengamati bahwa
gejala biasanya muncul pada fase postoperative awal setelah anestesi spinal.
Dua pasien mengalami pain dalam lower extremity dan tak satupun setelah
bupivacaine biasa. Akan tetapi, gejala mereka adalah atypical (tidak khas)
dibandingkan dengan gejala dalam pasien yang menerima lignocaine.
12
synergistic
neurotoxic
dari
lignocaine
dan
glukosa
telah
didemonstrasikan in vitro pada syaraf sciatic katak [5]. Akan tetapi, 0.5%
hyperbaric bupivacaine memiliki konsentrasi lebih tinggi glukosa (80 mg per ml)
dibandingkan dengan 5% hyperbaric lignocaine 962.5 mg/ml) dan tidak terdapat
gejala yug ditemukan setelah yang terdahulu.
Potensi anesthetic dari bupivacaine adalah empat kalinya potensi
lignocaine [6], dan kita akan mengasumsikan oleh karenanya bahwa 2%
lignocaine akan merupakan konsentrasi yang tepat. Plain 1.5% dan 2% lignocaine
ditemukan kurang neurotoxic daripada 5% larutan dalam paparan akut syaraf
peripheral desheathed, in vitro [5]. Ini tidak jelas oleh karenanya, mengapa 5%
konsentrasi lignocaine dipilih untuk anestesi spinal. Studi lebih lanjut dengan
larutan hyperbaric 2% lignocaine diperlukan.
13
14
Laporan Kasus
Pria usia 62-tahun hadir untuk cystocopy diketahui dalam urinary
retention (penahanan urine?). Dia menjalani cystocopy, pengirisan leher kandung
kemih dan transurethral resection (TURP) pada prostatnya 1 bulan sebelumnya,
memiliki riwayat hesitancy (keraru-raguan?) dan frekwensi 12 bulan. Ini
dilakukan dibawah anestesi spinal menggunakan 0.5% heavy bupivacaine 2 ml
melalui jarum 27-gauge Whitacre.
`
Riwayat masa lalunya meliputi cangkok bypass artery coroner pada tahun
1982, hypertensi dan gagal jantung congestive. Dia masih memiliki gejala angina
dengan exercise (gerak badan?) moderat. Dia tidak memiliki riwayat diabetes atau
back pain kronis. Pengobatannya meliputi nifedipine, enalapril, frusemide,
amiloride, dan aspirin. Uji preoperative rutin, meliputi profil clotting (bekuan
darah?), adalah didalam batas normal.
Pada kesempatan ini, atraumatic dural puncture dilakukan dalam posisi
sitting (duduk) pada usaha pe5rtama pada interspae L3-4, menggunakan jarum
27-gauge Whitacre. Bagian samping dari jarum spinal diarahkan sr caudal dan
injeksi 2% plain isobaric lignocaine 3 ml diberikan selama 4-5 detik. Tidak
terdapat discomfort (ke-tidak enakan) yang didatangkan selama penyisipan jarum
spinal atau selama injeksi anestesi local.
Cystosopy, dilakukan dalam posisi lithotomy, adalah uneventful dan pada
durasi singkat. Necrotic tag dalam resection cavity sebelumnya adalah
dikeluarkan (dihilangkan) dan adesi ke verumontanum dibagi. Pasien tetap stabil
sr hemodynamic selama prosedur.
Duabelas jam setelah operasi, dalam bangsal, dia mengembangkan
burning pain (luka bakar?) bilateral yang menyebar dari pantat hingga tengah
betis. Ini adalah cukup tak menyenangkan baginya untuk meminta analgesia oral
(paracetamol codeine) dari mana dia mendapatkan peredaan parsial. Secara
khusus, dia tidak memberikan riwayat gejala motor dan mampu berjalan dengan
bebas. Dia tidak mendapat headache, tinnitus atau diplopia.
Saat pemeriksaan (pengujian), dia afebrile, dan tidak memiliki bukti
kehilangan sensory atau kelemahan motor, walaupun dia memiliki hentakan sendi
15
16
injeksi dan arah jarum dapat memberikan kontribusi bagi maldistribusi anestetic
local dalam canal spinal. Menariknya, mereka mengajukan bahwa paparan
terhadap konsentrasi puncak pada lebih dari 2% lignocaine mungkin ambang
batas klinis bagi toxicity. Mereka mendeduksikan (menyimpulkan) ini dari
konsentrasi sacral dye puncak yang ditemukan setelah injeksi yang adalah
diarahkan secara sacral melalui jarum 25- dan 27-gauge Whitacre.
Dalam praktek klinis, Tarkila dan Huhtala dan Tuominen 11 meneliti 600
pasien yang menjalani anestesi spinal. Mereka menemukan bahwa 10% pasien
yang dianestesi dengan 5% lignocaine memiliki gejala neurologis transient serupa
dengan gejala yang diterangkan oleh pasien kami. Mereka menyimpulkan bahwa
penggunaan 5% hyperbaric lignocaine untuk anestesi spinal harus tidak
dipertimbangkan kembali. Hampl dan koleganya12 meneliti 276 pasien yang
menjalani pembedahan gynecologi dan obstetric elective dibawah anestesi spinal
dengan apakah 5% hyperbaric lignocaine atau hyperbaric bupivacaine. Mereka
menemukan insiden 37% pain dan dysaesthesia pada mereka yang menerima
hyperbaric lignocaine. Ini adalah bilateral secara tipikal, meliputi paha dan
punggung, dan berlangsung selama kurang dari 3 hari.
Kami mengajukan bahwa gejala pasien kami mungkin disebabkan oleh
konsentrasi neurotoxic lignocaine pada akar syaraf sacral. Tak seperti larutan
hyperbaric dimana laju aliran rendah memberikan kontribusi pada maldistribusi,
kecepatan injeksi yang tinggi dengan larutan isobaric dan arah sacral dari jarum
Whitacre mungkin membeirokan kontribusi bagi deposisi caudal anestetic local.
Ini adalah mustahil bahwa trauma memainkan peran causative (bersifat
sebab akibat) karena tidak terdapat discomfort (ketaknyamanan) yang didatangkan
atas penempbatan jarum spinal dan gejala adalah bilateral.
Seiring pasien tetap stabil secara hemodynamic, ischameia adalah juga
unlikely (tak sama). Patologi lumbar disc kronis adalah juga mungkin tak mirip
krhn tidak memiliki riwayat back pain kronis. Lebih lanjut, 2% lignoncaine telah
dilaprokan segbelumnya menyebabkan syndrome cauda equine,13 walaupun ini
melibatkan injeksi intrathecal accidental (bersifat kecelakaan?) 2% lignocaine 32
ml yang dimaksudkan untuk anestesi extracaudal.
17
18