Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

HISTEREKTOMI DENGAN SYOK


HIPOVOLEMIK DAN ANEMIA

Pembimbing:
dr. Indra K. Ibrahim, Sp.An
Disusun oleh:
Fenny Florencia A (2014-061-105)
Agatha Kristanti (2014-061-106)

KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA
RSUD R. SYAMSUDIN, SH
PERIODE 21 MARET 2016 -23 APRIL 2016
KASUS
I.

Identitas Pasien
- Nama
- Usia

: Ny. R
: 28 tahun

II.

- Agama
: Islam
- Pendidikan
: SMA
- Alamat
: KP. Cilengkor RT 18 / RW 05 Cisaat
- RM
: A373180
- Tanggal operasi : 7 April 2016
Anamnesis
Dilakukan secara alloanamnesa dengan perawat PACU
Keluhan utama : perdarahan post partum 6,5 jam setelah operasi SC
Keluhan tambahan
: Riwayat penyakit sekarang :
Pasien menjalani operasi SC pada pukul 11.15 WIB atas indikasi
ketuban pecah dini dan riwayat SC 6 tahun yang lalu. Keadaan umum
pasien baik selama proses operasi berlangsung, yaitu selama 1 jam.
Setelah itu pasien dibawa ke ruang PACU untuk pemulihan pasca
operasi. 1 jam setelah SC, terjadi perburukan tanda-tanda vital pasien
(peningkatan nadi dan penurunan tekanan darah) serta terjadi
penurunan Hb pasien. Pada saat di PACU, pasien sempat mendapat
transfusi 350cc whole blood. Keadaan umum pasien semakin menurun,
conjungtiva tampak anemis, tampak lemas dan pucat. Pasien juga

III.

tampak sesak nafas dan perut pasien tampak membesar.


Riwayat penyakit dahulu : Pemeriksaan Fisik
a. Tanda-tanda vital :
Keadaan umum
: tampak sakit sedang
Kesadaran
: apatis
GCS
: 13 (E4V4M5)
Tekanan darah
: 88/50 mmHg
Denyut nadi
: 151x/menit (teratur, lemah, penuh)
Laju nafas
: 18x/menit
Suhu aksila
: 35oC
Berat badan
: 59 kg
b. Pemeriksaan umum
- Kepala
: normocephali, deformitas (-)
- Mata
: konjungtiva anemis (+/+), sklrea ikterik (-/-)
- Hidung
: septum nasi di tengah, sekret (-/-)
- Mulut
: malampati 3, mukosa basah
- Leher
: TMD 7 cm, ROM baik
- Paru
:
o Inspeksi : simetris
o Palpasi
: simetris
o Perkusi : sonor
o Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
- Jantung
:

o Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat


o Palpasi
: ictus cordis tidak teraba
o Perkusi : kesan kardiomegali (-)
o Auskultasi : bunyi jantung I & II reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
:
o Inspeksi : cembung, lingkar perut 92 cm
o Palpasi
: supel (-)
o Perkusi : timpani
o Auskultasi : bising usus (+) 1-2x per menit
- Ekstremitas : akral dingin, CRT < 2 detik, edema (-/-/-/-)
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (7 April 2016 ; 15.20 WIB)
Hb
: 6,9 gr/dL
Leukosit
: 20.600 UL
Ht
: 21%
Eritrosit
: 2,5 juta/UL
MCV
: 83 fL
MCH
: 27 pg
MCHC
: 33 gr/dL
Trombosit
: 305.000 UL
Terapi yang diberikan selama di PACU
- Efedrin 10mg
- Norepinefrin 0,05 mcg/kgBB/menit 0,1 mcg/kgBB/menit
- Asam Tranexamat 500mg + 500mg
- Carbazochrome 50mg
Diagnosis Kerja
Ny.R, usia 28 tahun, P2A0 post SC dengan perdarahan post partum dan

IV.

V.

VI.

syok hipovolemik, akan dilakukan laparotomi eksplorasi, digolongkan ke


dalam status fisik ASA III E.
Keaadaan di Ruang Operasi Pra Bedah
-

Keadaan Umum
Kesadaran
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Suhu
Saturasi O2

Pemilihan teknik anestesi


1. Posisi
2. Premedikasi
3. Teknik anestesi

: tampak sakit berat


: somnolen
: 74/41 mmHg
: 145 x/menit
: 24 x/menit
: afebris
: 99%
: anestesi umum
: supine
:: GA dengan ETT no 7

4. Anestesi dengan

: O2, N2O, Isoflurane

Medikasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Midazolam 2 mg
Ketamin 100 mg
Atracurium 20 mg + 4 mg + 5 mg
Asam traneksamat 500 mg
Norepinefrin 0,1 ug/kgBB/menit
Ketorolac 30 mg

Pemberian cairan/ darah


a. Tangan kiri
1. RL 500 mL + Chrome 50 mg + Asam traneksamat 500 mg + vitamin K
+ vitamin C
2. NaCl 50 cc
3. WBC 350 cc (19.21)
4. NaCl 50 cc
5. WBC 350 cc (20.30)
b. Tangan kanan
1. Widahes 100 mL
2. RL 500 mL
3. RL 500 mL + chrome 50 mg
Monitoring
Jam

Infus
Tangan
Tangan kiri

Obat

Tekanan

Heart

Sat

darah

Rate

O2

kanan
18.45

Widahes

RL 500 ml

Midazolam 2 mg

500 ml

+chrome 50 mg

Ketamin 100 mg

+ as.

Atracurium 20

Traneksamat 500

mg

74/41

145

99%

90/55

130

99%

110/55

127

99%

90/40

105

99%

mg + vit K+ vit
C

19.00

RL 500
ml

19.15

NaCl 50 cc
WBC 350 cc
(19.21)

19.30

Asam traneksamat

500 mg,
atracurium 4 mg

19.45
20.00

110/55
90/60

100
90

99%
99%

Atracurium 5 mg

110/70
120/65

100
95

99%
99%

Ketorolac 30 mg

115/70
100/70

90
70

99%
99%

RL 500

Norepinefrin 0,1

ml +

ug/kgBB/menit

chrome
50 mg

20.15
20.30

NaCl 50 cc
WBC 350 cc
(20.30)

20.45
21.00
Lama operasi : 3 jam 5 menit
Lama anestesi: 3 jam 15 menit
Keadaan Pasca Bedah
-

Keadaan umum : DPO


Tekanan darah : 135/97 mmHg
Laju Nadi
: 102 x/menit
Laju Nafas
: 22 x/menit
Suhu
: 36,5oC
Saturasi O2
: 100%

Instruksi Pasca Bedah


-

Kontrol tekanan darah, nadi, dan respirasi setiap 15 menit dalam 1 jam

pertama
Ventilator : SIMV ; TV : 400, FiO2 : 50%, RR : 12x/menit, PEEP : 5, PS :

5, I:E = 1:2
Puasa sampai sadar penuh, bising usus (+), mual muntah (-)
Analgetik drip : RL 500cc + Ketorolac 60mg + Pethidin 100mg
Analgetik bolus : Ketorolac 30 mg / 8 jam
Transfusi sampai dengan Hb > 8 gr/dL
Cairan 2500cc / 24 jam (RL/WidaHES/WB)
Cek Lab Hb, Leukosit, Ht, Trombosit, GDS, Kalium, Natrium, Ureum,

Creatinin
Sedasi dengan Midazolam 3mg IV dilanjutkan dengan 3mg/jam

Post Operasi di ICU

Keadaan umum
: tampak sakit sedang
Kesadaran
: somnolen
GCS : 11 (E3V3M5)
Tekanan darah
: 100/68 mmHg
Denyut nadi
: 96x/menit (teratur, kuat, penuh)
Laju nafas
: 20x/menit
Suhu aksila
: 36,5oC
Kepala : normocephali, deformitas (-)
Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklrea ikterik (-/-)
Hidung : septum nasi di tengah, sekret (-/-)
Paru:
o Inspeksi
: simetris
o Palpasi
: simetris
o Perkusi
: sonor
o Auskultasi
: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung :
o Inspeksi
: ictus cordis tidak terlihat
o Palpasi
: ictus cordis tidak teraba
o Perkusi
: kesan kardiomegali (-)
o Auskultasi
: bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
o Inspeksi
o Palpasi
o Perkusi
o Auskultasi

:
: cembung
: supel (-)
: timpani
: bising usus (+) 1-2x per menit

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perdarahan Post Partum


Perdarahan postpartum adalah penyebab utama dari kematian maternal di
negara berkembang. Ini didiagnosa ketika kehilangan darah postpartum melebihi
500 mL. Sebanyak 4% parturian mengalami perdarahan post partum, yang
biasanya berhubungan dengan kala tiga yang memanjang, preeklamsia, gestasi
multipel, dan kelahiran dengan menggunakan forceps. Penyebab utama termasuk
atonia uteri, retensio plasenta, laserasi jalan lahir, inversi uteri, dan penggunaan
agen tokolitis sebelum kelahiran.
Atonia uteri adalah penyebab paling umum dari perdarahan post partum
dan dapat timbul langsung setelah melahirkan atau beberapa jam setelahnya.
Faktor resiko untuk atonia uteri postpartum adalah produk sisa, melahirkan yang
lama, paritas tinggi, makrosomia, polihidroamnion, augemntasi oksitosin berlebih,
dan chorioamnionitis Hal yang jarang, karena diakibatkan gangguan pembekuan.
Pertolongan yang dapat diberikan yaitu akses vena atau resusitasi cairan dan
darah, sambil memberikan anestesia untuk pemeriksaan yang hati-hati di vagina,
serviks, dan uterus. Laserasi perineal dapat diperbaiki dengan anestesi lokal atau
pudendal nerve block. Anestesi residual dari epidural atau spinal sebelumnya
dapat memfasilitasi pemeriksaan dengan tambahan opioid, nitrous oxide, atau
keduanya. Induksi spinal atau epidural pada keaadan hipovolemia harus dihindari.
Anestesi umum biasanya dibutuhkan untuk ekstraksi manual dari plasenta yang
tertinggal, reversi uterus, atau laserasi uterus. Atoni uteri dapat diberikan oksitosin
(20-30 unit/L cairan intravena), methylergonovine (0,2 mg intramuskular atau
dalam 100 ml normal saline diberikan selama 10 menit intravena), dan
prostaglandin F2a (o,25 mg IM). Laparatomi emergensi dan histerektomi dapat
dilakukan. Ligasi dini dari arteri iliaka internal (hipogastric) dapat mencegah
histerektomi dan kehilangan darah.

B. Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik disebabkan oleh kehilangan volume akut sebesar 20% - 25%
dari total volume darah. Penyebab dari syok hipovolemik termasuk hemoragik
dan penumpukan cairan dalam tubuh, misalnya pada obstruksi usus. Syok
hipovolemik dikenali dari penurunan tekanan darah (Blood Pressure/BP),
penurunan kardiak output (Cardiac Output/CO), penurunan tekanan vena sentral
(Central Venous Pressure/CVP) dan penurunan tekanan arteri pulmonal
(Pulmonary Artery Pressure/PAP).
Tanda dan gejala:
1. Sistem saraf pusat: perubahan status mental.
2. Jantung: nyeri dada, iskemia dalam elektrokardiogram (EKG), hemodinamik
yang tidak stabil.
3. Ginjal: penurunan jumlah urin, peningkatan konsentrasi urea, nitrogen dan
serum kreatinin dalam darah.
4. Gastrointestinal: nyeri abdominal dan kembung, penurunan bising usus dan
hematochezia.
5. Perifer: akral dingin, waktu pengisian kapiler yang buruk dan pulsasi yang
lemah.
Stadium shock:
1. Stadium kompensasi.
Pada stadium ini fungsi organ vital dipertahankan melalui mekanisme
kompensasi fisiologis tubuh, dengan cara meningkatkan refleks simpatis,
sehingga terjadi:
a. Resistensi sistemik meningkat:
distribusi selektif aliran darah dari organ sekunder ke organ primer (otak,
jantung)
resistensi arteriol meningkat diastolic pressure meningkat meningkat.
b. Heart rate meningkat cardiac output meningkat
c. Sekresi vasopressin, rennin-angiotensin-aldosteron meningkat ginjal
menahan air dan Na+ didalam sirkulasi
Manifestasi klinis: takikardia, gelisah, kulit pucat dan dingin, pengisian
kapiler lambat ( > 2 detik).

2. Stadium dekompensasi.
Pada stadium ini telah terjadi:
a. Perfusi jaringan buruk O2 sangat turun metabolisme anaerob
laktat

lactic acidosis, diperberat dengan penumpukan CO2, dimana

CO2 menjadi asam karbonat. Asidemia akan menghambat kontraktilitas


miokardium dan respons terhadap katekolamin.
b. Gangguan metabolisme energy dependent Na+/K+ pump ditingkat seluler

integritas membran sel terganggu, fungsi lisosom dan mitokhondria

memburuk kerusakan sel.


c. Aliran darah lambat dan kerusakan rantai kinin serta sistem koagulasi,
akan

diperburuk denganterbentuknya agregasi thrombocyt dan

pembentukan thrombus

disertai tendensi perdarahan.

d. Pelepasan mediator vaskuler: histamin, serotonin, cytokine (TNF dan


interleukin I) xanthin oxydase membentuk oksigen radikal serta pltelet
aggregating factor.

Pelepasan mediator oleh makrofag menyebabkan

vasodilatasi arteriol dan permeabilitas kapiler venous return


preload cardiac output . Manifestasi klinis: takikardia, tekanan darah
, perfusi perifer buruk, asidosis oliguria dan kesadaran .
3. Stadium Ireversibel.
Syok yang berlanjut akan menyebabkan kerusakan dan kematian sel
multiorgan

failure. Cadangan phosphate energi tinggi (ATP) akan habis,

terutama di jantung dan hepar tubuh kehabisan energi. Manifestasi klinis:


nadi tak teraba, tekanan darah tak terukur, anuria dan tanda kegagalan organ.
Pengelolaan Syok:
1. Akses intravena (IV) yang adekuat harus terjamin, termasuk saluran IV perifer
kaliber besar mendekati akses sentral, dengan tujuan untuk memastikan
pengaturan volume aliran. Evaluasi jalan napas harus dilakukan karena
intubasi endotrakheal dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan ketika terjadi
hipoksemia, hiperkarbia, edema jalan napas atau perubahan status mental.
2. Penggantian volume intravaskuler merupakan dasar dari tatalaksana hipotensi
dan syok, terutama syok hipovolemik. Resusitasi yang inadekuat dapat terlihat

dari hipoperfusi jaringan, tetapi penggantian volume yang berlebihan dapat


menyebabkan

edema

jaringan,

gagal

jantung

kongestif,

kekacauan

metabolisme dan koagulopati.


a. Kristaloid. Larutan kristaloid yang paling sering dipakai adalah Ringer
Lactate dan normal saline. Larutan-larutan ini hampir isotonik, cepat
keluar dari ruang intravaskuler dan volumenya setara kali defisit
intravaskuler yang dibutuhkan untuk mengembalikan volume sirkulasi.
Keuntungan larutan kristaloid termasuk biaya rendah, penyimpanan yang
mudah dan ketersediaan. Larutan yang mengandung Dextrose tidak boleh
digunakan dalam

resusitasi volume karena bahaya hiperglikemia dan

kesukaran mengawasi level glukosa darah dengan tepat selama resusitasi.


Sedikit volume Hypertonic saline (3% NaCl) dapat memenuhi volume
intravaskuler tanpa menaikkan volume intravaskuler secara signifikan dan
dapat berguna pada resusitasi pasien dengan/tanpa cidera kepala.
b. Koloid meningkatkan tekanan onkotik plasma dan menjaga volume
sirkulasi lebih lama disbanding kristaloid. Koloid termasuk larutan alami
dan sintetis.
1) Human albumin adalah turunan dari pooled human plasma dan
tersedia sebagai larutan normal saline 5% dan 25%. Terapi panas
mengurangi risiko penularan infeksi virus.
2) Dextran adalah larutan glukosa polimer sintetis salah satu dari 40
kd (D-40) atau 70 kd (D-70). Kekurangan utama dari dextran
adalah tingginya reaksi anafilaktik (1%-5%). Hampir seluruh
dextran telah digantikan oleh komponen dari bahan dasar zat
tepung.
3) Hydroxyethyl starch (HES) adalah komponen glukosa highpolymeric yang tersedia dalam sediaan dan konsentrasi yang
bervariasi. Frekuensi reaksi anafilaktik karena HES jauh lebih
sedikit dibadingkan larutan berbahan dextran. HES memiliki efek
yang bergantung dari dosis pada level faktor VIII, sehingga
merusak fungsi platelet. Dosis maksimum yang dianjurkan untuk
meminimalisasi efek samping negative adalah 1500 ml/24 jam.
C. Terapi Hipotensi dan Syok

Bila penggantian cairan yang tepat gagal untuk mengembalikan tekanan


darah dan perfusi organ yang adekuat, terapi vasopresor harus segera dilakukan.
Terapi vasopresor juga dibutuhkan untuk menjaga perfusi organ menghadapi
hipotensi yang mengancam nyawa bahkan ketika fluid challenge masih
berlangsung dan hipovolemia belum terkoreksi sepenuhnya. Obat yang tepat
dipilih berdasarkan etiologi dan patofisiologi tipe syok yang dicurigai pada
pasien.
Inotropik dan Vasopresor yang Umum digunakan
Nama Obat

Target Reseptor

Efek

1 , 1 ,

CO, BP, HR,

Katekolamin
Dopamin

perfusi ginjal
Epinefrin

1 , 1 , 2

CO, BP, HR,


bronkodilator

Norepinefrin
Katekolamin
Sintetis

1 , 1

CO, BP

1 , 2

Dobutamin

1 , 2 ,

Dopexamin

1 , 1 , 2

CO,

HR,

/BP

CO,

HR,

perfusi ginjal

Efedrin

Seperti epinefrin,
Fenilefrin

tapi tidak sekuat


Cyclic

Inhibitor

GMP

mediated

Fosfodiesterase-III

BP,
//CO

Milrinon
G protein mediated
Hormon

epinefrin
HR,

Vasopresin
/BP,

HR,

CO

BP

Zat inotropik : menaikkan kontraktilitas jantung.

Dopamin adalah pelopor norepinefrin dan epinefrin. Pada dosis rendah akan
mempengaruhi vascular 1-dopamine receptors (ginjal dan mesenterika)
mengarah ke vasodilatasi. Pada dosis yang lebih tinggi, dopamine akan
mempengaruhi 1-adrenergic receptors yang bergabung dengan inotropik
positif dan efek kronotropik. Pada dosis yang tinggi dopamine akan
mempengaruhi 1-adrenergik receptors yang akan bergabung dengan efek
vasokonstriksi. Dopamine sering dipilih sebagai zat utama untuk syok karena
potensi efeknya yang bermanfaat dalam sirkulasi ginjal dan CO. Namun efek
kronotropik dan prodisritmik yang diperkirakan akan berkurang pada pasien
dengan iskemia miokardial.

Dobutamin juga menstimulasi reseptor -adrenergik, tetapi tidak berefek pada

- dan -mediated. Oleh karena itu dobutamine menaikkan kontraktilitas


jantung dan menurunkan denyut vaskuler. Kombinasi dua efek ini membuat
dobutamine menjadi zat yang sempurna untuk perawatan syok kardiogenik.
Yang membatasi kerja dobutamine adalah efek vasodilator intrinsiknya,
dimana hal ini menyebabkan hipotensi sistemik dan efek kronotropik yang
cukup baik.

Dopexamin adalah turunan sintetis dari dopamine dengan dan 2 yang lebih
baik dibandingkan aktifitas 1 serta tidak ada aktifitas , sehingga mengurangi
tipikal efek kronotropik dan efek pro-disritmik dopamine. Dopexamine tidak
diizinkan untuk penggunaan klinis di USA, dan penggunaannya di Eropa
dihindari karena harganya yang mahal.

Epinefrin adalah katekolamin kuat yang menstimulasi reseptor -, 1- dan 2adrenergik. Epinefrin tetap pilihan utama untuk resusitasi kardiopulmonar.
Efeknya terhadap tekanan darah tergantung pada efek positif inotropik dan
kronotropik serta dasar vasokonstriksi vaskuler, terutama kulit, mukosa dan
ginjal. Efek 2 epinefrin yang kuat memicu bronkodilasi dan menghambat
degranulasi sel mast. Sehingga membuat epinefrin menjadi obat pilihan untuk
anafilaksis. Pada dewasa, pemberian epinefrin IV 0,1-0,5 mg (0,1-0,5 ml
dalam larutan 1:1000) merupakan dosis awal umum yang tepat untuk pasien
hipotensi berat, diikuti infus kontinyu 1-4 g/menit.

Norepinefrin atau katekolamin, memiliki aktifitas - dan -adrenergik. Efek


vasokonstriksi dan inotropiknya yang kuat menjadikan norepinefrin sebagai
obat pilihan di ICU untuk mengatasi ketidakstabilan hemodinamik pada
pasien yang membutuhkan bantuan untuk denyut vaskuler dan kontraktilitas
miokardial. Contoh tipikal adalah pasien-pasien syok septic yang memiliki
derajat preexistent atau disfungsi miokardial akut. DIbandingkan dengan
epinefrin, norepinefrin tidak memiliki aktifitas 2.

Vasopresor

Phenylephrine adalah agonis 1 selektif yang menyebabkan vasokonstriksi


arterial murni. Fenilefrin meningkatkan BP dengan cepat, berkaitan dengan
reflek bradikardi. Fenilefrin adalah obat yang berguna untuk mengatasi
vasodilatasi murni dan sedang, seperti mengikuti pemberian obat hipnotik kuat
atau anestesi lokal epidural atau dalam kejadian infeksi ringan atau sedang.
Karena onsetnya yang cepat dan pengurangan titrasi (obat ini tidak sekuat
norepinefrin), fenilefrin sering digunakan melalui akses IV perifer sebagai
tindakan pertama mengatasi hipotensi agar cepat menunjukkan kembali BP
yang adekuat. Walaupun ketepatan penggunaannya perlu direvisi setelah
kestabilan tercapai. Karena efek vasokonstriksinya yang murni, fenilefrin
dapat

merusak

pada

pasien

dengan

fungsi

ventrikuler

kiri

yang

membahayakan.

Vasopressin (VP) adalah hormon yang disintesis dalam hipotalamus dan


disimpan dalam pituitari posterior. VP juga dikenal sebagai antidiuretic

hormone (ADH) dan terutama terlibat dalam proses osmosis dan homeostasis
volume seperti regulasi hormon yang lain. VP juga merupakan vasokonstriktor
langsung tanpa efek inotropik atau kronotropik.

Efedrin adalah -indirek dan agonis - yang menyebabkan peningkatan denyut


jantung, tekanan darah, curah jantung dan kontraktilitas. Efedrin juga
merupakan bronkodlator.efedrin sering digunakan sebagai vasopresor dalam
anestesi. Efedrin juga tidak menurunkan aliran darah uterine sehingga sering
digunakan pada kasus obstetri. Efedrin diberikan secara bolus 2,5-10 mg, dan
pada anak 0,1 mg/kg.

D. Terapi cairan perioperatif dan terapi darah


Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian cairan normal (kebutuhan
maintenance), defisit cairan yang sudah ada, dan kehilangan saat operasi termasuk
kehilangan darah.

Kebutuhan cairan normal


Pada saat pasien puasa, cairan dan elektrolit dapat menurun karena urin
yang keluar terus menerus, sekresi gastrointestinal,keringat, dan insensible
water loss dari kulit dan paru.

Defisit yang sebelumnya sudah ada


Pasien dengan puasa semalaman sebelum operasi tanpa intake cairan akan
mempunyai defisit cairan setara dengan durasi puasa. Defisit dapat

dihitung dengan mengalikan kebutuhan normal dengan durasi puasa.


Kehilangan cairan saat operasi
Kehilangan darah selama operasi dapat diperkirakan dengan
menghitung jumlah darah di kontainer suction dan perkiraan visual dengan
darah di spons (4x4 = 10 mL) dan laparatomy pads 100-150 mL.

Kehilangan cairan lainnya karena evaporasi dan redistribusi


internal cairan tubuh (third space). Kehilangan evaporasi paling signifikan
dengan luka yang besar dan durasi selama prosedur operasi.
Kehilangan darah seharusnya diganti dengan kristaloid atau koloid
untuk mempertahankan volume intravaskular (normovolemia) sampai
bahaya anemia melebihi resiko transfusi. Kehilangan darah selanjutnya
diganti dengan transfusi sel darah merah untuk mempertahankan
konsentrasi hemoglobin. Tidak ada batasan kapan harus ditrasnfusi, tapi
dimana keuntungan transfusi lebih tinggi dari resikonya, transfusi dapat
dilakukan. Perdarahan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Variabel

Kelas I

Kelas II

Kelas III

Kelas IV

Sistolik (mmHg)

> 110

> 100

> 90

< 90

Nadi (x/men.)

< 100

> 100

> 120

> 140

Nafar (x/men.)

16

16-20

21-26

> 26

Mental

anxious

agitated

confuse

lethargic

Kehilangan darah

< 750 ml

750-1500 ml 1500-2000 ml

> 2000 ml

< 15%

15-30%

> 40%

30-40%

Konsentrasi hemoglobin dibawah 7g/dL, terjadi peningkatan curah


jantung untuk mempertahankan pengiriman oksigen normal. Pada keadaan
selain trauma berat, pemberian cairan RL atau plasmalyte 3-4x volume
darah yang hilang atau koloid dalam perbandingan 1:1, sampai titik
trasnfusi tercapai. Kemudian darah diganti unit demi unit dengan PRC.

Cara menghitung kehilangan darah:


1. Perkiraan volume darah (estimated blood volume)

2. Perkiraan volume sel darah merah (RBCV) pada hematokrit


preoperative (RBCVpreop)
RBCVpreop= EBV x% hematokrit
3. Perkiraan volume sel darah merah (RBCV) yang hilang
RBCVloss= RBCVpreop RBCV30%
4. Allowable blood loss = RBCVloss x 3
Transfusi harus dipertimbangkan ketika kehilangan darah melebihi
allowable blood loss. Tetapi semakin lama, transfusi hanya dilakukan bila
hematokrit menurun sampai atau dibawah 24% (hemoglobin <8.0 g/dL),
tetapi dapat dilihat dari kecepatan kehilangan darah dan kondisi komorbid
(contoh: penyakit jantung, dimana transfusi diindikasikan apabila jika
hanya 800ml darah yang hilang).
Jumlah darah yang ditransfusi dapat ditentukan dengan:
Whole blood: (Hbx Hbpasien) x BB x 6

Packed red cell: (Hbx Hbpasien) x BB x 3

Guideline klinis biasanya menggunakan:


1. Satu unit sel darah merah akan meningkatkan hemoglobin 1g/dL dan
hematokrit 2-3% di dewasa
2. 10ml/kg transfusi sel darah merah akan meningkatkan hemoglobin 3

g/dL dan hematokrit 10%.


Third space losses

Anda mungkin juga menyukai