Anda di halaman 1dari 21

Pendekatan Rinosinusitis Kronik

Kathleen M. Sarber, MD, Gregory Robert Dion, MD, MS, Erik K. Weitzel, MD,
and Kevin C. McMains, MD
Abstrak: rinosinusitis kronik adalah penyakit yang sering terjadi dengan beberapa
gejala yang memiliki karakteristik sepertiperadangan mukosa sinonasal. Sinusitis
kronik didefenisikan sebagai gejala gejala yang timbul lebih dari 12 minggu,
sekret hidung yang tidak berwarna,hidung tersumbat, nyeri tekan pada wajah, dan
penurunan daya penghidu. Sinusitis kronik lebih jauh lagi diklasifikasikan sebagai
sinusitis kronik dengan poliposis, sinusitis kronik tanpa poliposis, atau sinusitis
alergi dan jamur yang dapat diidentifikasikan dengan pemeriksaan fisik,
histologis, dan pemeriksaan radiologis. Metode pengobatan untuk sinusitis kronik
diberikan berdasarkan kategori penyakit ini sendiri, yakni kortikosteroid oral dan
inhalasi,irigasi hidung dengan larutan salin, dan pemberian antibiotik pada
beberapa pasien. Pemahaman akan bentuk bentuk rinosinusitis kronik ini dan
faktor faktor yang menjadi komorbidnya adalah kunci keberhasilan
penatalaksanaan penyakit ini.
Kata kunci : rinosinusitis kronik, sinusinitis kronik, hidung tersumbat, irigasi
hidung, rinosinusitis.
Rinosinusitis kronik (RSK) adalah penyakit yang sering terjadidan
menyerang hampir 15% dari populasi orang di Amerika setiap tahunnya. 1
Diagnosis RSK telah ditegakkan sebanyak 29 juta pertahunnya, dan menyebabkan
kerugian ekonomi di Amerika sebanyak 4,3 milyar USD. Meskipun penyakit ini
menyerang seluruh kelompok umur, prevalensi RSK terbanyak mengenai pasien
pada rentang usia 44 64 tahun.2 Penyakit ini menyerang seluruh kelompok ras
dan latar belakang sosioekonomi. Angka kualitas hidup dari rinosinusitis kronik
sebanding dengan pada penyakit serius seperti penyakit gaga jantung kongestif
dan angina pectoris.3

Aspek utama yang membedakan rinosinusitis kronik dari rinosinusitis akut


atau sub akut adalah jangka waktu. Diagnosis RSK ditegakkan bila sudah terdapat
gejalan minimal 12 minggu: sekret dari anterior maupun posterior yang berwarna
mukopurulen maupun jernih, hidung tersumbat, nyeri atau rasa tertekan maupun
nyeri pada wajah, dan adanya penurunan pada daya penghidu. Karena gejala
gejala ini bersifat tidak spesifik, diagnosis RSK membutuhkan pemeriksaan fisik
pencitraan yang dapat membuktikan adanya inflamasi seperti mukus purulen,
edema cavum nasi, dan perubahan mukosa menjadi polipoid. Walaupun rinoskopi
anterior dengan menggunakan spekulum hidung juga cukup pada pemeriksaan,
endoskopi nasofaringeal menawarkan visualisasi yang lebih baik untuk kelainan
yang menyebabkan gejala gejala ini. Deviasi septum, polip hidung, atau
pneumatisasi dari konka media (konka bulosa) menjadi faktor predisposisi pada
pasien dengan RSK.
Di samping gejala pasien dan pemeriksaan fisik, panduan dari American
Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery 2007 merekomendasikan
tambahan CT scan dalam diagnosis pada situasi situasi tertentu. 4 Alat bantu
pencitraan berguna untuk menyingkirkan etiologi lain dan mengidentifikasi
adanya abnormalitas anatomi yang masih dapat dikoreksi. CT memperlihatkan
detail anatomi yang lebih baik dibanding foto polos dan lebih sensitif serta
spesifik daripada anamnesis dan pemeriksaan fisik saja.5,6 Sebagai tambahan, CT
juga mengidentifikasi proses perjalanan penyakit yang cepat seperti penyebaran
extrasinus yang membutuhkan evaluasi segera oleh ahli otolaringologi.4,6 Waktu
yang tepat dilakukannya CT sebagai penatalaksanaan RSK masih kontrversi.
Sebuah konsensus dari AAO-HNS menyatakan bahwa penggunaan CT scan
adalah pilihan yang tepat pada pemeriksaan pasien dengan penyakit sinus
paranasal.6 CT sinus dapat digunakan sebagai konfirmasi diagnosis dan
mengidentifikasi kelainan anatomi yang masih dapat ditatalaksana dengan operasi.
Hasil CT dapat mencegah adanya pengobatan yang tidak sesuai dan mendorong
klinisi mencari diagnosisalternatif ketika ditemukan bahwa tidak ada kelainan
yang ditemukan pada sinonasal.

Poin Kunci

Sinusitis kronis ditegakkan bila terdapat gejala selama 12 minggu berturut


- turut ditambah pemeriksaan fisik yang menunjukkan adanya peradangan
pada atau infeksi.

Sinusitis kronis terdiri dari banyak fenotipe termasuk rinosinusitis kronis


dengan poliposis hidung, rinosinusitis kronis tanpa poliposis hidung, dan
sinusitis jamur alergi. Meskipun gejalanya mirip, patofisiologi masingmasing berbeda.

Biofilm dan penyakit medis lainnya dapat menyebabkan sinusitis kronis.

Pengobatan multifaset, sesuai jenis penyakitnya, dan biasanya termasuk


steroid intranasal dan irigasi hidung dengan menggunakan larutan saline.
Penyakit lain yang ikut berperan juga harus dikontrol.

Terdapat banyak pendekatan yang dilakukan untuk meminimalisasikan dosis


penggunaan sinar radiasi pada CT sinus.7-10 Hojreh dkk melaporkan bahwa
diagnosis dengan CT scan yang menggunakan dosis radiasi tinggi menunujukkan
hasil yang sama dengan dosis radiasi yang rendah. Mereka merekomendasikan
penggunaan tabung berarus 50 mA (dengantegangan 120 kV dan kolimasi 16 x
0.75 mm).8 Protokol ini mengurangi dosis radiasi dari 30 hingga 6.1 mGy, sebuah
dosis yang sesuai untuk mendapatkan gambar 4-dimensi dari sinus. 7-10 Pada
pemberian radiasi secara luas pada evaluasi penyakit yang sedang berkembang,
adalah pilihan bijak untuk mengurangi dosis radiasi pada penggunaan CT scan
sebagai alat diagnostik; oleh karena itu, komunikasi dnegan ahli radiologi adalah
hal yang penting untuk mencegah paparan radiasi yang berlebihan.

Patofisiologi
RSK adalah penyakit dengan inflamasi sebagai penyebab utamanya, dan
merupakanakibat dari beberapa pemicu, yang dapat menjelaskan mengapa
penyakit ini memiliki banyak fenotip yang berbeda beda. Dua fenotip yang
paling sering ditemukan adalah RSK dengan poliposis hidung (RSKdPH)dan RSK

tanpa poliposis hidung (RSKtPH). Gambar 1 adalah gambaran anterior yang


membandingkan anatomi hidung normal dengan hidung yang memiliki poliposis
hidung. Meskipun secara histologis dan imunologis keduanya sangat mirip,
namun fenotipkeduanya memiliki perbedaan yang sangat besar.11

Pernyataan

terdahulu mengatakan bahwa secara imunologikal, RSKtPH merupakan hasil dari


aktivitas respon imun dari T-helper 1 (Th 1) dan RSKdPH merupakan hasil dari
respon imun T-helper 2 (Th 2).12 Sebagaimana respon dasar sistem imun, limfosit
CD4+ terstimulasi untuk menghasilkan sitokin dalam mengeliminasi patogen
patogen. Sel antigen presenting memberi sinyal kepada sel T melalui sel mayor
histocompatibility complex tipe 2. Interaksi dari sel antigen presenting dan
molekul pengenal sinyal merangsang sel T naif masuk dalam jalur Th1 dan Th 2. 13
Jalur Th-1 menghasilkan kaskade sitokin yang merangsang sel imuniitas dan sel
fagosit pada proses inflamasi oleh sel NK dan sel T sitotoksik. Hal ini merangsang
respon pro inflamasi, dengan meningkatkan perubahan faktor pertumbuhan ,
interleukin (IL)-2, dan IL-10. Jalur Th 2 akan memicu produksi eosinofil, sel
polimononuklear, dan imunoglobulin E (Ig E).13 Meskipun pendapat ahli banyak
mengatakan bahwa RSSKdPH dan RSKtPH secara sederhana adalah spektrum
dari penyakit yang sama, analisis dari mediator inflamasi dimana kadar neutrofil
versus

eosinofilnya

sangatlah

berbeda.

RSKtPH

menunjukkan

adanya

peningkatan jumlah sl T yang teraktivasi, peningkatan fibrosis dan perubahan


tingkat tinggi dari faktor 11,12,14,15; RSKdPH menunjukkan adanya peningkatan IL5, eosinofil, dan IgE yang meningkat dengan edema yang lebih signifikan tetapi
sedikit dan hampir tidak ada terdapat fibrosis.11,12,14,15; bagaimanapun, telah
ditemukan pula bahwa respon imun Th1 dan Th2 dapat menyebabkan
pembentukan polip hidung, dimana pada populasi orang putih memiliki poliposis
eosinofilik oleh aktivitas Th2 dan beberapa populasi Asia memiliki poliposis
neutrofilik oleh aktivitas Th1. Hal ini mengindikasikan bahwa ada bagian yang
bertumbang tindih dan bahwa penyakit ini bukanlah hal yang ekslusif. Jelasnya,
kemampuan klinisi untuk membedakan dua wujud penyakit ini semakin penting.
Oleh karena itu, saat ini para peneliti berusaha keras untuk menemukan perbedaan

fenotipe dari kedua tipe ini untuk mempredeksi faktor komorbid, rekurensi setelah
operasi, dan respon pada pengobatan pengobatan terbaru.14, 16-20
Sinusitis jamur alergi (SJA) adalah subtipe ketuga dari RSK yang secara
radiografikdan hidtologis dapat dibedakan denngan jelas. Contoh khususny,
hipersensitivitas tipe I, polip hidung, gambaran khas pada CT,dan ditemukannya
jamur pada pemeriksaan mikrokopik atau kultur, dan musin alergen adalah lima
karakteristik yang dapat mendeskripsikan SJA ini. 21 Meskipun gejala klinis yang
muncul bisa sangat mirip dengan RSK tipe lain, SJA ini dapat dengan mudah
dibedakan pada pemeriksaan radiografik karena sering menyerang unilateral atau
asimetris.22,23 Perluasan pada tulang dan remodeling dapat terjadi dan terlihat juga
pada hampir 20% pasien. Tanda adanya massa jenis ganda menjelaskan
munculnya mucin, debris jamur, dan polipoid dalam sinus.
Bukti telah menyesuaikan bahwa biofilm memainkan peranan penting
dalam etiologi dan persistensi RSK. Patogen patogen dapat muncul pada daerah
ynag terlindungi yang disebut dengn biofilm. Sebuah biofilm adalah kumpulan
bakteri statis yang membentuk matrix mucoid pelindung. Biofilm secara
ireversibel melekat pada mukosa sinus dan bakteri dalam bentuk koloni akan
muncul pada tingkat aktivitas metabolik yang berbeda beda. Karakteristik
karakteristik ini membantu koloni ini lebih resisten pada agen antrimikoba dan
daya tahan tubuh penderita (Gambar 2).24

Gambar1. A. Gambaran anterior rongga hidung kiri, B. Gambaran


anterioi rongga hidung kanan yang disertai poli hidung, IT, konka inferior;
MT konka media; NP polip hidung, S; septum.

Berbagai studi mengidentifikasi biofilm pada mukosa pasien dengan


RSK.24 Di sebuah studi yang mengevaluasi outcome dari pembedahan sinus
menemukan bahwa adanya biofilm secara signifikan mengurangi angka
keberhasilan operasi.26 secara spesifik, adanya Staphylococcus aureus dalam
bentuk lapisan biofilm tunggal ataupun dalam bentuk koloni secara kuat
memperburuk gejala gejala paska operasi dan tanda inflamasi yang
berkelanjutan.27
Terdapat banyak faktor komorbid yang bergandengan dengan RSK.
Peneliti mengembangkan konsep penyatuan saluran nafas selama 15 tahunterakhir
ini,28 dengan tujuan bahwa karena mukosa saluran nafas dari telinga tengah dan
hidung ke bronkiolus adalah identik, keduanya saling membgi fungsi fisiologis
yang sama dan kerentanannya terhadap proses peradangan. Model penyatuan
saluran nafas menjelaskan bahwa ini adalah mekanisme yang tumpang tindih serta
komorbid yang berhubungan dengan berbagai penyakit inflamasi seperti rinitis
alergi, rinosinusitis kronik, dan asma.
Studi epidemiologi melaporkan bahwa prevalensi asma pada pasien
dengan rinitis alergi ada 20 -35 persen.

Pasien dengan rinosinusitis kronik memiliki prevalensi asma 20%dan 40- 85%
Gambar2. Mekanisme Biofilm
prevalensi rinitis alergi. Masih dengan teori penyatuan airway, beberapa studi
mendemonstrasikan bahwa pengobatan medis sinusitis dan rinitis alergi juga
membantu mengendalikan gejala pada pasien dengan asma. National Asthma
Prevention Expert Panel Report 2 2007 telah mengenali sinusitis dan alergi
sebagau kondisi komorbid yang memperberat asma dan memperlambat
pengobatannya. Jika tes kulit untuk mengetahui aeroalergen secara klinis sudah
diketahui, maka prtotokol ini merekomendasiken agar pada pasien asma diterapi
secara maksimal dengan alergen yang sudah diidentifikasi dengan obat obatan
dan imunoterapi.30 Seperti sebelunya AAO-HNS mereomendasikan tes alergen
dan pengobatan untuk kontrol sinusitis kronik. Ada bukti juga mengatakan bahwa
imunoterapi juga baik dalam penatalaksanaan SJA.31
Pada beberapa pasien dengan RSK dan asma, penyakit ini dapat
eksaserbasi oleh penggunaan aspirin atau NSAID. Sering sekali sensitivitas ini
terjadi bersamaan dalam bentuk trias, yaitu polip hidung, asma, dan sensitiv
aspirin, yang dikenal dengan penyakit pernafasan eksaserbai karena aspirin.
Aspirin dan beberapa NSAID memblok enzim cyclooxigenase-1, yang
mengakibatkan penurunan produksi antiinflamasi seperti prostaglandiin E2.32
Asam arakidonat akan memicu produksi leukotriene,yang merupakan mediator

inflamasi pada saluran nafas atas dan bawah. Pada pasien ini, metabolit ini dapat
menyebabkan simptom yang beragam mulai dari rinorrhea, dan hidung tersumbat,
sampai rasa tertekan pada dada dan spasme bronkus. Pengobatannya adalah
mencegah pemakaian NSAID, dan pada kasus tertentu adalah dengan desensitisasi
aspirin.32
Pasien dengan imunodefisiensi adalah 8%- 20% pasien yang menderita
sinusitis persisten dan rekuren.33 Pasien dengan sinusitis berulang, penumonia, dan
abses pada kulit, atau gejala saluran cerna sebaiknya dievaluasi quantitas
imunoglobulinnya (IgA, IgM, IgG) dan responnya terhadap vaksin dengn titer
antipneumococcal.34-36 Pemeriksaan HIV, jika positif, jumlah CD +4 harus
dipastikan. Biasanya pasien pasien seperti mengeluhkan adanya gejala gejala
yang terus berulang bahkan setelah mendapat terapi antibiotik. Pada pasien
dengan sinusitis kronik, Chee dkk menemukan adanya insidensi yang tinggi
secara tak terduga pada pasien dengan disfungsi imun. 38 Terapi antibiotic sesuai
dengan

hasil

kultur

adalah

pengobatan

pilihan

pada

pasien

dengan

imunodefisiensi dan defisiensi spesifik ini sebiknya diganti dengan pemberian


immunoglobulin secara intravenous dan subkutan.39-41
Pada pasien yang selalu gagal terapi pada sinusitis kronik, pemeriksaan
genetic disarankan. Anak anak dengan polyposis hidung harus ditatalaksana
untuk menyingkirkan adanya fibros kistik. Polip hidung muncul pada 20% - 50%
pasien dengan polip hidung.42-44 Meskipun pemeriksaan endoskopik sinus untuk
terapi fungsi paru pada fibros kistik masih diperdebatkan, banyak studi
menunjukkan adanya peningkatan angka kualitas hidup pada pasien yang
mendapat operasi sinus. 4,42,66
Banyak pasien dengan sindrom hipereosinofilia atau penyakit autoimun
muncul dengan sinusitis kronik.4,33,42,66 Pasien dengan usia pertengahan dengan
asma dan gejala akut dari sinusitis kronik, mungkin penyakit Churg-Strauss perlu
dipikirkan. 4 gejala mayor dari penyakit Churg-Straussadalah asma bronkial,
sinusitis kronik, vaskulitis eosinofilik, dan granuloma. Rinoskopi anterior ditandai
dengan krusta berat, asma, sinusitis kronik, luka terbuka, dan polyposis hidung.
Granulomatous Wegner adalah penyakit autoimun yang diderita oleh orang

dewasa yang secara pemeriksaan fisik memiliki kemiripan dengan penyakit


Churg-Strauss. Daftar di bawah ini adalah diagnosis banding ketika terdapat
faktor faktor komorbid pada rinosunusitis kronik.
Peradangan
Gastroesofageal refluks
Rinitis
Allergi
Penyakit Cgurge-Strauss
Trauma
Fraktur orbita
Fraktur nasofasial
Autoimun
Granulamatosa Wegener
Sarcoidosis
Metabolik
Kehamilan
Hipotiroidism
Infeksi
HIV
Abses gigi
Iatrogenic
Badan asing
Merokok
Neoplastic
Juvenile nasal angiofibroma
Kongenital
Adenoid hipertrofi

Kista throndwalt
Young Syndrome
Kartagener Syndrome
Fibrosa Kistik

Pengobatan
RSK adalah sebuah penyakit peradangan, oleh karena itu, pemicu
inflamasi harus dicari dan diatasi. Tabel di bawah ini adalah pengobatan yang
direkomendasikan untuk RSKdPH dan RSKtPH. European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polips (EPOS 2012) menururunkan rekomendasi
berharga mereka dari pemakaian antibiotik jangka panjang hingga digantikan oleh
pilihan untuk menggunakan steroid dan irigasi hidung dengan larutan salin. 47
Perubahan ini adalah hasil dari sebuah penelitian placebo-controlled randomized
study,48 juga sebuah studi kecil yang sama baiknya seperti yang lainnya. Para
penulis mencatat bahwa beberapa faktor lain dapat mempengaruhi respon
terhadap pengobatan, dimana perokok memiliki respon pengobatan yang lebih
rendah dan mereka yang memiliki IgE yang normal memiliki respon yang tinggi
dalam pengobatan ini.49 Database Cochrane telah mencoba sebuah penelitian
meta-analisis antibiotik sistemik untuk RSKdPH pada orang dewasa dan hanya
satu studi memenuhi kriteria inklusi. Dalam penelitian tersebut, 3 bulan
roxithromycin dosis rendah (obat tidak tersedia di Amerika Serikat) mengurangi
tingkat respon rata-rata pasien (sebesar 0,73 poin pada skala 1 sampai 6-point)
pada 3 bulan setelah dimulainya pengobatan.
Perbandingan skor sebelum dan setelah perawatan dari tes sinonasal,
sebuah instrument tervalidasi yang digunakan untuk melihat angka kualitas hidup
suatu penyakit,49 menunjukkan bahwa kelompok yang mendapat terapi
roxithromycin tidak lebih baik dengan kelompok yang mendapat placebo.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pemakaian yang rutin antibiotik
dalam jangka lama pada pasien dengan rhinosinunitis kronis tidak menjamin.50,

namun roxithromycinis, antibiotic golongan makrolida semisintetik, adalah


sebuah kelas antibiotik dengan efek antiperadangan yang sudah diketahui.
Beragam penelitian telah menunjukkan efek in vitro dan in vivo makrolida
untuk mrngurangi virulensi bakteri dan pembentukan biofilm, begitu juga dengan
down regulasi terhadap sitokin proinflamasi.16-18,51Prospective randomized
controlled trials tambahan dengan kriteria inklusi yang ketat dibutuhkan sebelum
membagi pasien dengan CRS yang berespon baik dengan antibiotik diidentifikasi.
Mungkin meresepkan penggunaan antibiotik jangka lama untuk setiap pasien
dengan CRS sebaiknya diputuskan berdasarkan kasus per kasus, melihat gejala
dari setiap individu, hasil temuan pemeriksaan fisik, faktor risiko, dan faktor
komorbid.
Terapi topikal antibiotik dapat memberikan konsentrasi lokal obat yang
tinggi di dalam sinus sementara meminimalkan absorbsi sistemik obat tersebut.
Metode pengobatan ini menarik secara signifikan terhadap penyakit yang
berhubungan dengan biofilm, yang dapat membutuhkan konsentrasi antibiotik
sampai 1000 kali konsentrasi inhibisi minimum untuk mengeradikasi.Terdapat
sedikit penelitian retrospektif dan satu penelitian prospektif yang mendukung
efikasi metode terapi ini.52-54 Walaupun penelitian lebih jauh dibutuhkan untuk
mendeterminasi farmakodinamik pasti dari antibiotik topikal, penggunaannya
menjanjikan dalam penanganan penyakit yang membandel setelah operasi sinus.
Tabel. Pengobatan yang direkomendasikan untk RSKdPH dan RSKtPH*
Pengobatan
RSKtPH
RSKdPH
Sedang atau
Sedang atau
Ringan
Ringan
Berat
Berat
Irigasi larutan
ya
ya
ya
ya
saline
Steroid topikal
Steroid oral
Antibiotik oral

ya
-

ya
Pilihan:

ya
-

ya
ya
Pilihan:

jangka

jangka

panjang bila

panjang bila

IgE tidak naik

IgE tidak

naik
RSKtPH , rinosinusitis kronik tanpa polyposis hidung, RSKDPH dengan
polyposis hidung; IgE, immunoglobulin E
*termasuk tingkat keparahannya berdasrkan bukti yang ada, termasuk European
position papen on rhinosinusitis and nasal polyps.47,66s
Steroid intranasal telah dibuktikan efektif dalam menangani polip hidung,
mengurangi kongesti hidung dan drainase, dan memperbaiki QOL. Terapi yang
efektif mungkin membutuhkan dosis yang lebih tinggi dibandingkan terapi yang
dipakai untuk rinitis alergi. Double-blind randomized controlled studies dari
CRSwNP menunjukkan keuntungan dengan flutikasone dengan dosis 400-800
mcg/hari untuk durasi selama 12-26 minggu55-58 Mometasone 200-400 mcg satu
atau dua kali sehari selama 16 minggu juga memperbaiki gejala CRSwNP 59-61
Dengan dosis steroid yang sebegitu tinggi, perhatian besar perlu difokuskan
terhadap efek samping sistemik terhadap penggunaan intranasal. Fluticasone dan
mometasone memiliki bioavailabilitas sistemik <1%. Tidak ada efek yang
signifikan yang telah terbukti pada aksis hipotalamus-hipofisis dengan
penggunaan terapa yang berkepanjangan.62-64
Kortikosteroid oral adalah modalitas lain yang biasa dalam penanganan
CRS karena kemampuannya untuk mengurangi inflamasi. Lal dan Hwang
menghubungkan ulasan sistematis dari 33 publikasi yang menunjukkan bahwa
steroid oral, jika dikombinasikan dengan modalitas terapi yang lain,
meningkatkan interval waktu terhadap rekurensi dan memperbaiki skor endoskopi
hidung dan CT.65Steroid oral nampaknya lebih menguntungkan bagi pasien AFS
dan CRSwNP.4,20,30,31,67,68 Dosis dan durasi terapi belum distandarisasi. Pada
penelitian double-blind placebo-controlled, Van Zele dkk menunjukkan bahwa
penurunan steroid yang dimulai 32 mg dengan metilprednisolon harian dan
penurunan dosis menjadi 8 mg selama periode 20 hari secara signifikan
menunjukkan pengurangan ukuran polip dan level sitokin inflamasi.20
Irigasi hidung dengan salin isotonis maupun hipertonis adalah efektif, terapi
yang murah untuk semua jenis CRS. Keuntungan irigasi hidung termasuk

memperbaiki fungsi mukosilier, mengurangi edema mukosa hidung, dan peran


mekanik untuk membuang debris infeksi dan alergen.68 Gejala yang membaik
dengan irigasi hidung telah didemonstrasikan di berbagai penelitian randomized
controlled. Data ulasan sistematis Cochrane menyimpulkan bahwa efek
menguntungkan

lebih

besar

dibandingkan

efek

samping.69-71 AAo-HNS

merekomendasikan irigasi sinus sebagai tindakan pencegahan primer, tindakan


pencegahan sekunder setelah operasi, dan bagian dari terapi kombinasi untuk
semua tipe sinusitis.4
Akhirnya, jika gejala CRS berlanjut meskipun telah mendapat diagnosis dan
terapi, dan CT menunjukkan penyakit sinus yang persisten, konsultasi ke bagian
otolaringologi diindikasikan. Bagi pasien dengan AFS, bedah sinus hampir selalu
terjamin.31Bedah sinus endoskopi fungsional dengan endoskopi tradisional atau di
bawah panduan pencitraan ( dipakai dalam bedah revisi atau bedah kompleks
untuk menghindari orientasi dalam sinus paranasal) untuk membuang hasil
inflamasi (polip hidung, purulensi, atau musin fungi alergi). Sebagai tambahan,
bedah sinus endoskopi fungsional membuka dan melebarkan jalur drainase alami
untuk mengijinkan sarung mukosilier memerangkap dan menyalurkan antigen
keluar dari kavum sinonasal dan menciptakan akses sinus untuk terapi topikal.
Balloon Sinoplasty telah dapat digunakan sebagai pilihan terapi invasif minimal
untuk membuka ostia sinus, namun belum divalidasi pada penelitian randomizedcontrolled.72,73 Ostia sinus paling tidak 4,7 mm untuk irigasi hidung untuk dapat
dicapai memasuki sinus dan larutan menyerap pada semua bagian sinus. 34 Irigasi
dengan irigator volume besar dan tekanan rendah (sebagai contoh NeilMed sinus
rinse plastic squeeze bottle [NeilMed Pharmaceuticals, Santa Rosa, CA] dengan
ujungnya menunduk 450 dan tepi botol pada aksis paralel terhadap dorsum nasi
dan menuju ke kantus medial ipsilateral adalah yang paling efektif.74,75
Dalam perawatan pasien CRS pasca-operasi, tujuan pengobatan adalah
untuk mengendalikan inflamasi mukosa hidung yang berespons terhadap
optimatisasi fungsi nasosilia. Ini dilakukan hampir sepanjang diberikannya obat
topikal yang dimasukkan dari botol sinus rinse atau nebulizer. Obat topikal
termasuk surfaktan, antibiotik, dan steroid. Surfaktan bekerja dengan mengurangi

viskositas mucus dan mempengaruhi permukaan mikroba. Mereka menyebabkan


kerusakan membran dan meningkatkan permeabilitas membran yang dapat
mengganggu interaksi kompleks dan mekanisme pertahanan dari biofilm. 19 Sampo
bayi adalah surfaktan yang sederhana dan murah yang mudah didapatkan di
pasaran dan aman untuk dipakai. Sebuah penelitian Universitas Pennsylvania
mengemukakan konsentrasi optimal sampo Johnsons Baby untuk irigasi hidung
adalah 1% (kira-kira sendok the dalam 8-oz botol irigasi). Chiu dkk
menemukan bahwa itu tidak hanya mengurangi gejala dari mukus yang kental dan
postnasal drip namun juga secara signifikan mencegah terbentuknya biofilm
Pseudomonas.76 Durasi terapi adalah dua kali sehari selama 4 minggu. Walaupun
ini hanyalah penelitian yang kecil dan tidak terkontrol, namun dilaporkan tidak
ada efek samping yang berarti dan dapat terbukti menguntungkan pada beberapa
pasien yang memiliki dana yang minimal.

Kesimpulan
Sinusitis kronis adalah sindrom klinis yang meliputi kelompok penyakit
yang heterogen yang dikarakteristikkan dengan inflamasi mukosa sinonasal.
Beragam pencetus berkontribusi terhadap patofisiologi inflamasi, dan terapi
bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengendalikan pencetus-pencetus tersebut.
CRSsNP dan CRSwNP menampilkan penyakit yang berbeda dengan simptom
yang serupa. Steroid topikal maupun oral dan irigasi hidung memainkan peran
utama dalam manajemen CRSsNP dan CRSwNP. Penggunaan antibiotik oral
masih kontroversi, sedangkan antibiotik topikal mungkin terbukti efektif dalam
mengeradikasi penyakit yang membandel. Faktor komorbid dan penyakit sistemik
yang mendasari harus diketahui dan ditangani. Gejala yang membandel terhadap
terapi medikamentosa atau mengkhawatirkan terhadap terjadinya komplikasi
sebaiknya dirujuk ke ahli otolaringologi. Mengikuti pendekatan sistematis untuk
mendiagnosis dan menangani CRS akan memberikan hasil yang optimal kepada
pasien.
Daftar Pustaka

1. Pleis JR, Ward BW, Lucas JW. Summary health statistics for U.S.
adults: National Health Interview Survey, 2009. Vital Health Stat 10 2010;249:
1Y207.
2. Anand VK. Epidemiology and economic impact of rhinosinusitis. Ann
Otol Rhinol Laryngol Suppl 2004;193:3Y5.
3. Gliklich RE, Metson R. The health impact of chronic sinusitis in
patients seeking otolaryngologic care. Otolaryngol Head Neck Surg 1995;113:
104Y109.
4. Rosenfeld RM, Andes D, Bhattacharyya N, et al. Clinical practice
guideline:adultsinusitis.OtolaryngolHeadNeckSurg2007;137:S1YS31.
5. Engels EA, Terrin N, Barza M, et al. Meta-analysis of diagnostic tests
for acute sinusitis. J Clin Epidemiol 2000;53:852Y862.
6. Setzen G, Ferguson BJ, Han JK, et al. Clinical consensus statement:
appropriate use of computed tomography for paranasal sinus disease. Otolaryngol
Head Neck Surg 2012;147:808Y816.
7. Hagtvedt T, Aalokken TM, Notthellen J, et al. A new low-dose CT
examination compared with standard-dose CT in the diagnosis of acute sinusitis.
Eur Radiol 2003;13:976Y980.
8. Hojreh A, Czerny C, Kainberger F. Dose classication scheme for
computed tomography of the paranasal sinuses. Eur J Radiol 2005;56: 31Y37.
9. Tack D, Widelec J, De Maertelaer V, et al. Comparison between lowdose and standard-dose multidetector CT in patients with suspected chronic
sinusitis. AJR Am J Roentgenol 2003;181:939Y944.
10. Brem MH, Zamani AA, Riva R, et al. Multidetector CTof the paranasal
sinus: potential for radiation dose reduction. Radiology 2007;243: 847Y852.
11. Van Crombruggen K, Zhang N, Gevaert P, et al. Pathogenesis of
chronic rhinosinusitis: inammation. J Allergy Clin Immunol 2011;128:728Y732.
12. Van Zele T, Claeys S, Gevaert P, et al. Differentiation of chronic sinus
diseases by measurement of inammatory mediators. Allergy 2006;61:
1280Y1289.

13. Peakman M, Vergani D. Basic and Clinical Immunology. Edinburgh:


Churchill Livingstone; 2010.
14. Bachert C, Van Bruaene N, Toskala E, et al. Important research
questions in allergy and related diseases: 3-chronic rhinosinusitis and nasal
polyposisVa GALEN study. Allergy 2009;64:520Y533. 15. Zhang N, Van Zele T,
Perez-Novo C, et al. Different types of T-effector cells orchestrate mucosal
inammation

in

chronic

sinus

disease.

Allergy

Clin

Immunol

2008;122:961Y968. 16. Cervin A. The anti-inammatoryeffect of erythromycin


and its derivatives, with special reference to nasal polyposis and chronic sinusitis.
Acta Otolaryngol 2001;121:83Y92.
17. Suzuki H, Shimomura A, Ikeda K, et al. Il-8 secretion by cultured
epithelial cells of human nasal mucosa and its suppression by macrolide
antibiotics. Jpn J Antibiot 1997;50:68Y70. 18. Suzuki H, Shimomura A, Ikeda K,
et al. Effects of long-term low-dose macrolide administration on neutrophil
recruitment and IL-8 in the nasal discharge of chronic sinusitis patients. Tohoku J
Exp Med 1997; 182:115Y124. 19. Van Hamme JD, Singh A, Ward OP.
Physiological aspects. Part 1 in a series of papers devoted to surfactants in
microbiology and biotechnology. Biotechnol Adv 2006;24:604Y620. 20. Van Zele
T, Gevaert P, Holtappels G, et al. Oral steroids and doxycycline: two different
approaches

to

treat

nasal

polyps.

Allergy

Clin

Immunol

2010;125:1069.e4Y1076.e4. 21. Bent JP 3rd, Kuhn FA. Diagnosis of allergic


fungal sinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg 1994;111:580Y588. 22. Mukherji
SK, Figueroa RE, Ginsberg LE, et al. Allergic fungal sinusitis: CT ndings.
Radiology 1998;207:417Y422. 23. Nussenbaum B, Marple BF, Schwade ND.
Characteristics of bonyerosion in allergic fungal rhinosinusitis. Otolaryngol Head
Neck Surg 2001; 124:150Y154. 24. Costerton JW, Stewart PS, Greenberg EP.
Bacterial biolms: a common cause of persistent infections. Science
1999;284:1318Y1322. 25. Foreman A, Jervis-Bardy J, Wormald PJ. Do biolms
contribute to the initiation and recalcitrance of chronic rhinosinusitis?
Laryngoscope 2011;121:1085Y1091. 26. Psaltis AJ, Weitzel EK, Ha KR, et al.
The effect of bacterial biolms on post-sinus surgical outcomes. Am J Rhinol

2008;22:1Y6. 27. Singhal D, Foreman A, Jervis-Bardy J, et al. Staphylococcus


aureus biolms: nemesis of endoscopic sinus surgery. Laryngoscope 2011;121:
1578Y1583. 28. Grossman J. One airway, one disease. Chest 1997;111:11SY16S.
29. Jani AL, Hamilos DL. Current thinking on the relationship between
rhinosinusitis

and

asthma.

Asthma

2005;42:1Y7.

30.

NationalAsthmaEducationandPreventionProgram.ExpertPanelReport 3 (EPR-3):
guidelines for the diagnosis and management of asthmasummary report 2007. J
Allergy Clin Immunol 2007;120:S94YS138. 31. Marple BF. Allergic fungal
rhinosinusitis: current theories and management strategies. Laryngoscope
2001;111:1006Y1019. 32. Pfaar O, Klimek L. Eicosanoids, aspirin-intolerance
and the upper airwaysVcurrent standards and recent improvements of the
desensitization therapy. J Physiol Pharmacol 2006;57:5Y13. 33. Ferguson
BJ,OttoBA,Pant H.Whensurgery,antibiotics,andsteroidsfail to resolve chronic
rhinosinusitis. Immunol Allergy Clin North Am 2009;29:719Y732. 34. Carr TF,
Koterba AP, Chandra R, et al. Characterization of specic antibody deciency in
adults with medically refractory chronic rhinosinusitis. Am J Rhinol Allergy
2011;25:241Y244. 35. Alqudah M, Graham SM, Ballas ZK. High prevalence of
humoral immunodeciency patients with refractory chronic rhinosinusitis. Am J
Rhinol Allergy 2010;24:409Y412. 36. Ocampo CJ, Peters AT. Antibody deciency
in chronic rhinosinusitis: epidemiology and burden of illness. Am J Rhinol
Allergy 2013;27:34Y38. 37. Miziara ID, Araujo Filho BC, La Cortina RC, et al.
Chronic rhinosinusitis in HIV-infected patients: radiological and clinical
evaluation. Braz J Otorhinolaryngol 2005;71:604Y608. 38. Chee L, Graham SM,
Carothers DG, et al. Immune dysfunction in refractory sinusitis in a tertiary care
setting. Laryngoscope 2001;111: 233Y235. 39. Hammarstrom L, Vorechovsky I,
Webster D. Selective IgA deciency (SIgAD) and common variable
immunodeciency (CVID). Clin Exp Immunol 2000;120:225Y231. 40.
OksenhendlerE,GerardL,Fieschi

C,

etal.

Infectionsin252patientswith

commonvariable immunodeciency. Clin Infect Dis 2008;46:1547Y1554.


Review Article

Southern Medical Journal & Volume 106, Number 11, November 2013
647
Copyright 2013 The Southern Medical Association. Unauthorized
reproduction of this article is prohibited.
41. Quinti I, Soresina A, Spadaro G, et al. Long-term follow-up and
outcome of a large cohort of patients with common variable immunodeciency. J
Clin Immunol 2007;27:308Y316. 42. Settipane GA. Epidemiology of nasal
polyps. Allergy Asthma Proc 1996;17:231Y236. 43. Mainz JG, Koitschev A.
Management of chronic rhinosinusitis in CF. J Cyst Fibros 2009;8:S10YS14. 44.
Feuillet-Fieux MN, Lenoir G, Sermet I, et al. Nasal polyposis and cystic brosis
(CF): review of the literature. Rhinology 2011;49:347Y355. 45. Jones JW,
Parsons DS, Cuyler JP. The results of functional endoscopic sinus (FES) surgery
on the symptoms of patients with cystic brosis. Int J Pediatr Otorhinolaryngol
1993;28:25Y32. 46. Nishioka GJ, Barbero GJ, Konig P, et al. Symptom outcome
after functional endoscopic sinus surgery in patients with cystic brosis: a
prospective study. Otolaryngol Head Neck Surg 1995;113:440Y445. 47. Gysin C,
Alothman GA, Papsin BC. Sinonasal disease in cystic brosis: clinical
characteristics, diagnosis, and management. Pediatr Pulmonol 2000;30:481Y489.
47a.Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, et al. EPOS 2012: European position paper
on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. A summary for otorhinolaryngologists.
Rhinology 2012;50:1Y12. 48. Videler WJ, Badia L, Harvey RJ, et al. Lackof
efcacyof long-term, lowdoseazithromycin in chronic rhinosinusitis: arandomized
controlled trial. Allergy 2011;66:1457Y1468. 49. Piccirillo JF, Merritt MG Jr,
Richards ML. Psychometric and clinimetric validity of the 20-Item Sino-Nasal
Outcome Test (SNOT-20). Otolaryngol Head Neck Surg 2002;126:41Y47. 50.
PiromchaiP,ThanaviratananichS,LaopaiboonM.Systemicantibioticsfor

chronic

rhinosinusitis without nasal polyps in adults. Cochrane Database Syst Rev


2011;CD008233. 51. Cervin A, Wallwork B. Macrolide therapy of chronic
rhinosinusitis. Rhinology 2007;45:259Y267. 52. Mosges R, Spaeth J, Berger K, et
al. Topical treatment of rhinosinusitis with fusafungine nasal spray. A doubleblind,

placebo-controlled,

parallel-group

study

in

20

patients.

Arzneimittelforschung 2002;52: 877Y883. 53. Scheinberg PA, Otsuji A.


Nebulized antibiotics for the treatment of acute exacerbations of chronic
rhinosinusitis. Ear Nose Throat J 2002;81: 648Y652. 54. Uren B, Psaltis A,
Wormald PJ. Nasal lavage with mupirocin for the treatment of surgically
recalcitrant chronic rhinosinusitis. Laryngoscope 2008;118:1677Y1680. 55.
Aukema AA, Mulder PG, Fokkens WJ. Treatment of nasal polyposis and chronic
rhinosinusitis with uticasone propionate nasal drops reduces need for sinus
surgery. J Allergy Clin Immunol 2005;115:1017Y1023. 56. Holmberg K,
Juliusson S, Balder B, et al. Fluticasone propionate aqueous nasal spray in the
treatment of nasal polyposis. Ann Allergy Asthma Immunol 1997;78:270Y276.
57.

LundVJ,FloodJ,SykesAP,etal.Effectofuticasoneinseverepolyposis.

Arch

Otolaryngol Head Neck Surg 1998;124:513Y518. 58. Penttila M, Poulsen P,


Hollingworth K, et al. Dose-related efcacy and tolerability of uticasone
propionate nasal drops 400 microg once daily and twice daily in the treatment of
bilateral nasal polyposis: a placebo
controlled randomized study in adult patients. Clin Exp Allergy 2000;
30:94Y102.

59.

SmallCB,HernandezJ,ReyesA,etal.Efcacyandsafetyofmometasone furoate nasal


spray in nasal polyposis. J Allergy Clin Immunol 2005;116: 1275Y1281. 60.
Stjarne P,Blomgren K,Caye-ThomasenP, etal. Theefcacyand safetyof once-daily
mometasone furoate nasal spray in nasal polyposis: a randomized, double-blind,
placebo-controlled study. Acta Otolaryngol 2006;126:606Y612. 61. Stjarne P,
Mosges R, Jorissen M, et al. A randomized controlled trial of mometasone furoate
nasal spray for the treatment of nasal polyposis. Arch Otolaryngol Head Neck
Surg 2006;132:179Y185. 62. Salib RJ, Howarth PH. Safety and tolerability
proles of intranasal antihistamines and intranasal corticosteroids in the treatment
of allergic rhinitis. Drug Saf 2003;26:863Y893. 63. Welch KC, Thaler ER,
Doghramji LL, et al. The effects of serum and urinary cortisol levels of topical
intranasal irrigations with budesonide added to saline in patients with recurrent
polyposis after endoscopic sinus surgery. Am J Rhinol Allergy 2010;24:26Y28.
64. Passalacqua G, Albano M, Canonica GW, et al. Inhaled and nasal

corticosteroids: safety aspects. Allergy 2000;55:16Y33. 65. Lal D, Hwang PH.


Oral corticosteroid therapy in chronic rhinosinusitis without polyposis: a
systematic review. Int Forum Allergy Rhinol 2011;1:136Y143. 66. Fokkens W,
Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps
2007. Rhinol Suppl 2007;20:1Y136. 67. Glass D, Amedee RG. Allergic fungal
rhinosinusitis:

review.

Ochsner

2011;11:271Y275.

68.

FriedmanM,VidyasagarR,JosephN.Arandomized,prospective,doubleblindstudyont
heefcacyofdeadseasaltnasalirrigations.Laryngoscope

2006;116:878Y882.

69.

Burton MJ, Eisenberg LD, Rosenfeld RM. Extracts from the Cochrane Library:
nasal saline irrigations for the symptoms of chronic rhinosinusitis. Otolaryngol
Head Neck Surg 2007;137:532Y534. 70. Papsin B, McTavish A. Saline nasal
irrigation: its role as an adjunct treatment. Can Fam Physician 2003;49:168Y173.
71. Tomooka LT, Murphy C, Davidson TM. Clinical study and literature review of
nasal irrigation. Laryngoscope 2000;110:1189Y1193. 72. Levine H, Rabago D.
Balloon sinuplasty: a minimally invasive option for patients with chronic
rhinosinusitis. Postgrad Med 2011;123:112Y118. 73. Brenner PS, Abadie WM,
Weitzel EK, et al. Unexpected consequences of transnasal balloon dilation of the
maxillary ostium. Int Forum Allergy Rhinol 2011;1:466Y470. 74. Abadie WM,
McMains

KC,

Weitzel

EK.

Irrigation

penetration

of

nasal

deliverysystems:acadaverstudy.IntForumAllergyRhinol2011;1:46Y49. 75. Singhal


D, Weitzel EK, Lin E, et al. Effect of head position and surgical dissection on
sinus irrigant penetration in cadavers. Laryngoscope 2010;120:2528Y2531. 76.
Chiu AG, Palmer JN, Woodworth BA, et al. Baby shampoo nasal irrigations for
the symptomatic post-functional endoscopic sinus surgery patient. Am J Rhinol
2008;22:34Y37.

Anda mungkin juga menyukai