Anda di halaman 1dari 21

PRESENTASI KASUS

TINEA CRURIS

Pembimbing:
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

Disusun Oleh:
Yohan Parulian Sinaga
G4A013023

SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2015

LEMBAR PENGESAHAN
Telah disetujui presentasi kasus yang berjudul :
TINEA CRURIS
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun oleh :
Yohan Parulian Sinaga
G4A013023

Disetujui dan disahkan:


Tanggal, Februari 2015

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK


BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. RT
JenisKelamin
: Laki laki
Usia
: 32 tahun
Pekerjaan
: Pedagang
Agama
: Islam
SukuBangsa
: Jawa
Alamat
: Bobotsari 02/03

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Gatal pada perut bagian bawah hingga selangkangan.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mulai merasakan gatal sejak 5 bulan yang lalu di
daerah perut bagian bawah. Awalnya muncul bercak merah dengan
pinggir yang lebih merah dan terasa sangat gatal disekitar
selangkangan sehingga pasien sering menggaruk. Pasien pernah
berobat ke dokter umum di Puskesmas dan diberi salep. Saat keluhan
gatal berkurang, pasien kemudian menghentikan pengobatannya.
Namun lambat laun pasien merasa bercak merah tersebut makin
meluas hingga ke selangkangan dan bokong, warna yang sebelumnya
merah menjadi kehitaman. Pasien mengaku jika gatal tidak dapat
ditahan dia mengoleskan salep yang dulu sempat diberikan dokter
umum kepadanya namun keluhan hanya hilang untuk sementara.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku belum pernah menderita penyakit ini sebelumnya.
Pasien juga tidak memiliki riwayat alergi.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit seperti pasien.
Riwayat alergi pada keluarga juga tidak ada.
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama isteri dan seorang anak. Pasien bekerja di pasar
sebagai penjual ikan. Saat menjalankan aktivitasnya pada siang hari
pasien sering berkeringat. Selain itu pasien juga sering menggunakan
pakaian dalam yang agak lembab sehingga memicu timbulnya jamur.
Pasien mengaku mandi dua kali sehari pada pagi dan sore hari.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
: Sedang
Kesadaram
: Compos mentis
Tanda Vital

Tekanan Darah
Nadi
Respiration rate
Suhu

Tinggi badan
Berat badan
Kesan gizi

: 120/80 mmHg
: 80x/menit
: 20x/menit
: 36,5 C

: 160 cm
: 63 kg
: cukup
3

Status Generalis
Kepala : Simetris, mesochepal, venektasi temporal (-/-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung: Discharge (-), deviasi septum (-)
Mulut : Lidah sianosis (-), atrofi papil lidah (-)
Telinga: Kelainan bentuk (-), discharge (-)
Leher : Deviasi trakhea (-)
Status Lokalis
Thorax : tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : tidak dilakukan pemeriksaan
Status Lokalis Dermatologi
Lokasi : Regio cruris dekstra e sinistra, abdomen pars inferior
Efloresensi : makula eritematosa batas tegas tepi aktif, papul dengan
skuama di atasnya, central healing.
D. RESUME
Pasien datang ke poli kulit kelamin RSMS dengan keluhan gatal
pada selangkangan, bokong dan perut bagian bawah yang memberat bila
berkeringat. Awalnya muncul bercak merah dengan pinggir yang lebih
merah terasa gatal di sekitar perut bagian atas yang semakin luas hingga ke
bokong dan selangkangan yang lama kelamaan menjadi kehitaman. Pasien
sempat mengoleskan salep dari dokter umum di puskesmas namun tidak
membaik. Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa, riwayat alergi
disangkal. Pasien mengaku kurang menjaga kebersihan diri dan
lingkungannya.
E. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Lampu wood
2. Kerokan kulit dengan KOH
3. Kultur in vitro
F. DIAGNOSIS
1. Diagnosis Klinis
Tinea Cruris
2. Diagnosis Banding
a. Eritrasma
b. Kandidiasis
c. Psoriasis

G. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
a. Antimikotik sitemik: Ketokonazol 200 mg tab 1x1 selama 1 bulan
b. Antimikotik topikal: Ketokonazol cream 2x oles setiap hari selama
1 bulan
c. Antihistamin: Loratadin 10 mg tab 1x1
2. Non medikamentosa
a. Jaga daerah lesi tetap kering
b. Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan
infeksi.
c. Jaga kebersihan kulit dan kaki. Bila berkeringat keringkan dengan
handuk dan mengganti pakaian yang lembab
d. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap
keringat seperti katun, tidak ketat dan diganti setiap hari
e. Pakaian dan handuk yang digunakan penderita harus segera dicuci
f. Jangan menggunakan pakaian atau handuk secara bersama-sama
dengan orang lain
g. Bersihkan kamar kos minimal seminggu sekali
h. Langsung mandi bila selesai berolahraga atau beraktivitas yang
mengeluarkan banyak keringan

H. PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad sanasionam
Quo ad fungsionan
Quo ad cosmeticam

: ad bonam
: dubia ad bonam
: ad bonam
: ad bonam

Gambar 1. Penampakan Ujud Kelainan Kulit Tn. R

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan
sekitar anus. Kelainan ini Dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat
merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas

pada daerah genito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar anus,
daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. Tinea
cruris mempunyai nama lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm of the
groin dan dhobie itch.
B. ETIOLOGI
Penyebab utama dari tinea cruris adalah Trichopyhton rubrum (90%)
dan Epidermophython fluccosum, Trichophyton mentagrophytes (4%),
Trichopyhton tonsurans (6%).
C. EPIDEMIOLOGI
Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah
tropis. Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki
dibandingkan perempuan. Jamur ini sering terjadi pada orang yang kurang
memperhatikan kebersihan diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan
lembab.
D. PATOFISIOLOGI
Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung.
Penularan langsung dapat secara fomitis dan epitel rambut yang mengandung
jamur baik dari manusia, binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat
melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian dan debu. Agen
penyebab juga dapat ditularkan melalui kontaminasi dengan pakaian, handuk
atau sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan
tinea manum. Jamur ini menghasilkan keratinase yang mencerna keratin,
sehingga dapat memudahkan invasi ke stratum korneum. Infeksi dimulai
dengan kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya di dalam jaringan keratin yang
mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang berdifusi ke jaringan
epidermis dan menimbulkan reaksi peradangan. Pertumbuhannya dengan pola
radial di stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas
yang jelas dan meninggi (ringworm). Reaksi kulit semula berbentuk papula
yang berkembang menjadi suatu reaksi peradangan. Beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit adalah:
1. Faktor virulensi dari dermatofita

Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur antropofilik,


zoofilik, geofilik. Selain afinitas ini massing-masing jamur berbeda pula
satu dengan yang lain dalam hal afinitas terhadap manusia maupun bagianbagian dari tubuh misalnya: Trichopyhton rubrum jarang menyerang
rambut, Epidermophython fluccosum paling sering menyerang lipat paha
bagian dalam.
2. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur.
3. Faktor suhu dan kelembapan
Kedua faktor ini sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada
lokalisasi dimana banyak keringat seperti pada lipat paha, sela-sela jari
paling sering terserang penyakit jamur.
4. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana terlihat
insiden penyakit pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah
sering ditemukan daripada golongan ekonomi yang baik.
5. Faktor umur dan jenis kelamin
Kebanyakan terjadi pada usia dewasa dan laki-laki lebih sering terkena
daripada wanita.

E. MANIFESTASI KLINIS
1. Anamnesis
Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio
inguinalis dan dapat meluas ke sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus.
Dapat pula meluas ke supra pubis dan abdomen bagian bawah. Rasa gatal
akan semakin meningkat jika banyak berkeringat. Riwayat pasien
sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada
pada tempat yang beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar
pakaian dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita diabetes mellitus.
Penyakit ini dapat menyerang pada tahanan penjara, tentara, atlet olahraga
dan individu yang berisiko terkena dermatofitosis.
8

2. Pemeriksaan Fisik
Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan
sekunder. Makula eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri
dari papula atau pustula. Jika kronis atau menahun maka efloresensi yang
tampak hanya makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan
disertai likenifikasi. Garukan kronis dapat menimbulkan gambaran
likenifikasi. Manifestasi tinea cruris dapat berupa :
a. Makula eritematosa dengan central healing di lipatan inguinal, distal
lipat paha, dan proksimal dari abdomen bawah dan pubis.
b. Daerah bersisik.
c. Pada infeksi akut bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif.
d. Pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya
dan disertai likenifikasi.
e. Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula
eritematus yang tersebar dan sedikit skuama.
f. Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena.
g. Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan impetiginasi
mungkin muncul karena garukan.
h. Infeksi kronis dapat terjadi oleh karena pemakaian kortikosteroid
topikal sehingga tampak kulit eritemaosa, sedikit berskuama, dan
mungkin terdapat pustula folikuler.
i. Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea
pedis.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri
atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan
mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis berupa kerokan
kulit yang sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 70%.
1. Pemeriksaan dengan sediaan basah
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70%, kerok skuama dari bagian tepi lesi
dengan memakai scalpel atau pinggir gelas, taruh di obyek glass tetesi
KOH 20% sebanyak 1-2 tetes tunggu 10-15 menit untuk melarutkan
jaringan, lihat di mikroskop dengan pembesaran 10-45 kali, akan
didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan
bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang
lama atau sudah diobati, dan miselium.
9

2. Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud


Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada
medium

saboraud

dengan

ditambahkan

chloramphenicol

dan

cyclohexamide (mycobyotic-mycosel) untuk menghindarkan kontaminasi


bacterial maupun jamur kontaminan. Identifikasi jamur biasanya antara 36 minggu.
3. Lampu wood
Penggunaan lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya
eritrasma dimana akan tampak floresensi merah bata.
4. Punch biopsy
Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun
sensitifitas dan spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc Acid
Schiff, jamur akan tampak merah muda atau menggunakan pengecatan
methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau hitam.

10

G. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
dengan melihat gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi serta pemeriksaan
penunjang dengan menggunakan mikroskop pada sediaan yang ditetesi KOH
10-20%, sediaan biakan pada medium Saboraud, punch biopsi, atau
penggunaan lampu wood.
H. DIAGNOSIS BANDING
1. Kandidosis
Kandidosis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh spesies
Candida biasanya oleh Candida albicans yang bersifat akut atau subakut
dan mengenai mulut, vagina, kulit, kuku, bronkus. Penyakit ini terdapat di
seluruh dunia, dapat menyerang semua umur, baik laki-laki maupun
perempuan. Patogenesisnya dapat terjadi apabila ada predisposisi baik
endogen maupun eksogen. Faktor endogen misalnya kehamilan karena
perubahan pH dalam vagina, kegemukan karena banyak keringat, debilitas,
iatrogenik, endokrinopati, penyakit kronis orang tua dan bayi dan
imunologik (penyakit genetik). Faktor eksogen berupa iklim panas dan
kelembapan, kebersihan kulit kurang, kebiasaan berendam kaki dalam air
yang lama menimbulkan maserasi dan memudahkan masuknya jamur, dan
kontak dengan penderita. Dapat mengenai daerah lipatan kulit, terutama
ketiak, bagian bawah payudara, bagian pusat, lipat bokong, selangkangan,
dan sela antar jari. Dapat juga mengenai daerah belakang telinga, lipatan
kulit perut, dan glans penis (balanopostitis). Pada sela jari tangan biasanya
antara jari ke tiga dan ke empat, pada sela jari kaki antara jari ke empat
dan ke lima, keluhan gatal yang hebat, kadang-kadang disertai rasa panas
seperti terbakar. Lesi pada penyakit yang akut mula-mula kecil berupa
bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah, dan kemerahan. Kemudian
meluas, berupa vesikel yang dapat berisi nanah berdinding tipis, ukuran 24 mm, bercak kemerahan, batas tegas. Pada bagian tepi kadang-kadang
tampak papul dan skuama. Lesi tersebut dikelilingi oleh vesikel atau papul
di sekitarnya berisi nanah yang bila pecah meninggalkan daerah yang luka,
dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi utama. Kulit sela

11

jari tampak merah atau terkelupas, dan terjadi lecet. Pada bentuk yang
kronik, kulit sela jari menebal dan berwarna putih.
2. Eritrasma
Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum
yang disebabkan oleh Corynebacterium minitussismum, ditandai berupa
lesi eritema dan skuama halus terutama di daerah ketiak dan lipat paha.
Gejala klinis lesi berukuran sebesar milier sampai plakat. Lesi
eritroskuamosa, berskuama halus kadang terlihat merah kecoklatan.
Variasi ini rupanya bergantung pada area lesi dan warna kulit penderita.
Tempat predileksi kadang di daerah intertriginosa lain terutama pada
penderita gemuk. Perluasan lesi terlihat pada pinggir yang eritematosa dan
serpiginosa. Lesi tidak menimbul dan tidak terlihat vesikulasi. Efloresensi
yang sama berupa eritema dan skuama pada seluruh lesi merupakan tanda
khas dari eritrasma. Skuama kering yang halus menutupi lesi dan pada
perabaan terasa berlemak. Pada pemeriksaan dengan lampu wood lesi
terlihat berfluoresensi merah membara (coral red).
3. Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat
kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas
tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan, disertai
fenomena tetesanlilin, Auspitz, dan Kobner. Tempat predileksi pada skalp,
perbatasan daerah tersebut dengan muka, ekstremitas ekstensor terutama
siku serta lutut dan daerah lumbosakral. Kelainan kulit terdiri atas bercak
eritema yang meninggi (plak) dengan skuama diatasnya. Eritema
sirkumskrip dan merata, tetapi pada stadium penyembuhan sering bagian
di tengah menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama berlapislapis, kasar dan berwarna putih seperti mika, serta transparan. Besar
kelainan bervariasi dapat lentikular, numular atau plakat, dapat
berkonfluensi.

12

I. PENATALAKSANAAN
Pada infeksi tinea cruris tanpa komplikasi biasanya dapat dipakai anti
jamur topikal saja dari golongan imidazole dan allilamin yang tersedia dalam
beberapa formulasi. Semuanya memberikan keberhasilan terapi yang tinggi
yaitu 70-100% dan jarang ditemukan efek samping. Obat ini digunakan pagi
dan sore hari selama 2-4 minggu. Terapi dioleskan sampai 3 cm diluar batas
lesi, dan diteruskan sekurang-kurangnya 2 minggu setelah lesi menyembuh.
Terapi sistemik dapat diberikan jika terdapat lesi yang luas, kegagalan
dengan terapi topikal dan intoleransi dengan terapi topikal. Sebelum memilih
obat sistemik hendaknya cek terlebih dahulu interaksi obat-obatan tersebut.
Diperlukan juga monitoring terhadap fungsi hepar apabila terapi sistemik
diberikan lebih dari 4 minggu. Pengobatan anti jamur untuk tinea cruris dapat
digolongkan dalam emapat golongan yaitu: golongan azole, golongan
allilamin, benzilamin dan golongan lainnya seperti siklopiros, tolnaftan,
haloprogin. Golongan azole akan menghambat enzim lanosterol 14 alpha
demetylase (sebuah enzim yang berfungsi mengubah lanosterol ke ergosterol),
dimana struktur tersebut merupakan komponen penting dalam dinding sel
jamur. Golongan allilamin menghambat kerja dari squalen epokside yang
merupakan enzim yang mengubah squalene ke ergosterol yang berakibat
akumulasi toksik squalene didalam sel dan menyebabkan kematian sel.
Dengan penghambatan enzim-enzim tersebut mengakibatkan kerusakan
membran sel sehingga ergosterol tidak terbentuk. Golongan benzilamin
mekanisme kerjanya diperkirakan sama dengan golongan allilamin sedangkan
golongan lainnya sama dengan golongan azole. Obat secara topikal yang
digunakan dalam tinea cruris antara lain:
1. Golongan Azole
a. Clotrimazole
Merupakan obat pilihan pertama yang digunakan dalam pengobatan
tinea cruris karena bersifat anti jamur broad spektrum yang
mekanismenya menghambat pertumbuhan ragi dengan mengubah
permeabilitas membran sel sehingga sel-sel jamur mati. Pengobatan
dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi setelah 4 minggu jika tanpa ada
perbaikan klinis. Penggunaan pada anak-anak sama seperti dewasa.

13

Obat ini tersedia dalam bentuk cream 1%, solution, lotion. Diberikan 2
kali sehari selama 4 minggu. Tidak ada kontraindikasi obat ini, namun
tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukan hipersensitivitas,
peradangan infeksi yang luas dan hindari kontak mata.
b. Mikonazole
Mekanisme kerjanya merusak selaput dinding sel jamur dengan
menghambat biosintesis dari ergosterol sehingga permeabilitas
membran sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati. Tersedia
dalam bentuk cream 2%, solution, lotion dan bedak. Diberikan 2 kali
sehari selama 4 minggu. Penggunaan pada anak sama dengan dewasa.
Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas dan
hindari kontak dengan mata.
c. Econazole
Mekanisme kerjanya efektif terhadap infeksi yang berhubungan
dengan kulit yaitu menghambat RNA dan sintesis, metabolisme protein
sehingga

mengganggu

permeabilitas

dinding

sel

jamur

dan

menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan econazole dapat


dilakukan dalam 2-4 minggu dengan cara dioleskan sebanyak 2 kali
atau 4 kali dalam sediaan cream 1%. Tidak dianjurkan pada pasien
yang menunjukkan hipersensitivitas dan hindari kontak dengan mata.
d. Ketokonazole
Mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole yang
bersifat broadspektrum akan menghambat sintesis ergosterol sehingga
komponen sel jamur meningkat dan menyebabkan sel jamur mati.
Pengobatan dengan ketokonazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu.
Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas,
hindari kontak dengan mata.
e. Oxiconazole
Mekanisme kerja oxiconazole yang bersifat broad spektrum akan
menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur
meningkat dan menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan
oxiconazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. Tersedia dalam
bentuk cream 1% atau bedak kocok. Tidak dianjurkan pada pasien

14

yang menunjukkan hipersensitivitas dan hanya digunakan untuk


pemakaian luar.
f. Sulkonazole
Sulkonazole merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik
tangkapnya

yaitu

menghambat

sintesis

ergosterol

yang

akan

menyebabkan kebocoran komponen sel, sehingga menyebabkan


kematian sel jamur. Tersedia dalam bentuk cream 1% dan solution.
Penggunaannya dengan dioleskan pada daerah yang terkena selama 24 minggu sebanyak 4 kali sehari.
2. Golongan allilamin
a. Naftifine
Bersifat anti jamur broad spektrum dan merupakan derivat sintetik dari
allilamin yang mekanisme kerjanya mengurangi sintesis dari ergosterol
sehingga menyebabkan pertumbuhan sel jamur terhambat. Pengobatan
dengan naftitine dievaluasi setelah 4 minggu jika tidak ada perbaikan
klinis. Tersedia dalam bentuk 1% cream dan lotion. Penggunaan pada
anak sama dengan dewasa (dioleskan 4 kali sehari selama 2-4 minggu).
b. Terbinafin
Merupakan derifat sintetik dari allilamin yang bekerja menghambat
skuale nepoxide yang merupakan enzim kunci dari biositesis sterol
jamur yang menghasilkan kekurangan ergosterol dan menyebabkan
kematian sel jamur. Secara luas pada penelitian melaporkan
keefektifan penggunaan terbinafin. Terbenafine dapat ditoleransi
penggunaanya pada anak-anak. Digunakan selama 1-4 minggu.
3. Golongan Benzilamin
a. Butenafine
Anti jamur poten yang berhubungan dengan allilamin. Kerusakan
membrane

sel

jamur

menyebabkan

sel

jamur

terhambat

pertumbuhannya. Digunakan dalam bentuk cream 1%, diberikan


selama 2-4 minggu. Pada anak tidak dianjurkan. Untuk dewasa
dioleskan sebanyak 4 kali sehari.
4. Golongan lainnya
a. Siklopiroks
Memiliki sifat broad spektrum anti fungal. Kerjanya berhubungan
dengan sintesis DNA
b. Haloprogin
15

Tersedia dalam bentuk solution atau sprai dan cream 1%. Digunakan
selama 2-4 minggu dan dioleskan sebanyak 3 kali sehari.
c. Tolnaftate
Tersedia dalam cream 1%, bedak dan solution. Dioleskan 2 kali sehari
selama 2-4 minggu.
Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk lesi yang luas atau gagal
dengan pengobatan topikal. Berikut adalah obat sistemik yang dapat
digunakan dalam pengobatan tinea cruris:
1. Ketokonazole
Sebagai turunan imidazole, ketokonazole merupakan obat jamur oral yang
berspektrum luas. Kerja obat ini fungistatik. Pemberiannya 200 mg/hari
selama2-4 minggu.
2. Itrakonazole
Sebagai turunan triazole, itrakonazole merupakan obat anti jamur oral
yang berspektrum luas yang menghambat pertumbuhan sel jamur dengan
menghambat sitokrom P-450 dependent sintetis dari ergosterol yang
merupakan komponen penting pada selaput sel jamur. Pada penelitian
disebutkan bahwa itrakonazole lebih baik daripada griseofulvin dengan
hasil terbaik 2-3 minggu setelah perawatan. Dosis dewasa 200 mg PO
selama 1 minggu dan dosis dapat dinaikkan 100 mg jika tidak ada
perbaikan tetapi tidak boleh melebihi 400mg/hari. Untuk anak-anak
dosinya 5mg/hari PO selama 1 minggu. Obat ini dikontraindikasikan pada
penderita yang hipersensitivitas, dan jangan diberikan bersama dengan
cisapride karena berhubunngan dengan aritmia jantung.

16

3. Griseofulfin
Termasuk obat fungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis sel jamur
dengan mengikat mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih sedikit tingkat
keefektifannya dibanding itrakonazole. Pemberian dosis pada dewasa yaitu
500 mg microsize (330-375 mg ultramicrosize) PO selama 2-4minggu,
untuk anak 10-25mg/kg/hari PO atau 20 mg microsize /kg/hari.
4. Terbinafine
Dosis pemberian secara oral pada dewasa adalah 250 mg/hari selama 2
minggu. Pada anak pemberian secara oral disesuaikan dengan berat badan
yaitu 12-20kg (62,5mg/hari selama 2 minggu), 20-40kg (25mg/ hari
selama 2 minggu) dan >40kg (250mg/ hari selama 2 minggu).
Selain dengan menggunakan obat-obatan, pemberian edukasi kepada pasien
juga diperlukan dalam proses pengobatan tinea cruris. Beberapa edukasi yang
dapat diberikan kepada pasien antara lain:
1. Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering
2. Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan infeksi
3. Jaga kebersihan kulit dan kaki. Bila berkeringat keringkan dengan handuk
dan mengganti pakaian yang lembab
4. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat
seperti katun, tidak ketat dan diganti setiap hari
5. Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang
digunakan penderita harus segera dicuci dan direndam air panas
6. Tidak menggunakan pakaian atau handuk secara bersama-sama dengan
orang lain
J. KOMPLIKASI
Tinea cruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang
lain. Pada infeksi jamur yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan
hiperpigmentasi kulit.

17

K. PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini baik jika diberikan terapi yang tepat dan selalu
menjaga kelembapan dan kebersihan kulit.

18

BAB III
PEMBAHASAN
Tinea cruris adalah salah satu penyakit dermatofitosis yang sering terjadi
di Indonesia. Salah satu faktor yang perperan dalam terjadinya tinea cruris adalah
kurangnya higienitas. Pada pasien ini didapatkan tinea cruris yang bersifat kronis
yang ditandai dengan adanya lesi makula hiperpigmentasi geografis dengan
skuama. Terjadinya tinea cruris yang kronis dan luas pada pasien dapat
diakibatkan oleh pengobatan yang tidak adekuat yang pernah dilakukan oleh
pasien. Pengobatan tinea cruris membutuhkan waktu antara 2-4 minggu tanpa
putus obat bahkan dapat lebih dari itu bila lesi sangat luas dan proses
penyembuhan lambat. Apabila terdapat kegagalan terapi maka jamur pada kulit
masih dapat berkembang dan menimbulkan lesi yang lebih luas. Selain itu faktor
eksogen seperti higienitas diri dan lingkungan juga diperlukan. Perlu kondisi yang
kondusif pada lesi di kulit untuk dapat membantu proses penyembuhan. Hal
tersebut dapat diperoleh dengan menjaga lesi tetap kering dan memakai pakaian
yang meyerap keringat dan longgar. Selain faktor eksogen dari diri pasien,
diperlukan juga faktor eksogen dari lingkungan yaitu dengan menciptakan gaya
hidup yang bersih dan sehat. Bila jamur sudah menghilang namun pasien tidak
mengubah pola hidupnya maka tidak menutup kemungkinan bahwa pasien akan
terkena tinea cruris kembali atau tinea yang lainnya.

19

BAB IV
KESIMPULAN
Tinea cruris adalah penyakit jamur yang mengenai lipat paha, daerah
perineum dan anus. Kelainan ini dapat bersifat akut ataupun menahun.
Kelainannya dapat berupa lesi yang berbatas tegas pada daerah genito krural atau
meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian
tubuh yang lain. Peradangannya pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya.
Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder. Bila
penyakit ini menjadi menahun dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik.
Pengobatannya dapat secara sistemik, topikal maupun keduanya tergantung dari
luas lesi. Pengobatan harus dilakukan selama 2-4 minggu tanpa putus obat.
Penyembuhan penyakit ini sangat tergantung oleh higienitas penderita.

20

DAFTAR PUSTAKA
Budimulja, Unandar. 2007. Mikosis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta : FK UI. Hal 89-105.
Gupta K, Chaudhry M dan Elewski B. 2003. Tinea corporis, tinea cruris, tinea
nigra, and piedra. Dermatol Clin. 21:395-400.
Nadalo D dan Montoya C. 2006. What is the best way to treat tinea cruris. The
Journal of Family Practice. 55(3): 256-258.
Risdianto A, Kadir D, Amin S. 2013. Tinea Corporis and Tinea Cruris Caused by
Trichophyton Mentagrophytes Type Granular in Asthma Bronchiale Patient.
Indian Journal of Dermatology. 2: 31-38.
Siregar, RS. 2002. Atlas Berwarna Saripati Kulit dan Kelamin. Jakarta: EGC.
Straten MRV, Hossain MA dan Ghannoum MA. 2003. Cutaneous infections
Dermatophytosis, onychomycosis and tinea versicolor. Infect Dis Clin N Am.
17: 87-112.
Tavares HS, Alchorne MMA dan Fischman O. 2001. Tinea cruris epidemiology
(Sao Paulo, Brazil). Mycopathologia. 149(3): 147-149.
Vena GA, Chieco P, Posa F, Garofalo A, Bosco A dan Cassano N. 2012.
Epidemiology of dermatophytoses: retrospective analysis from 2005 to 2010
and comparison with previous data from 1975. New Microbiologica. 35:
207-213.

21

Anda mungkin juga menyukai