Anda di halaman 1dari 26

I.

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) pada anak merupakan masalah khusus yang berbeda dengan
TB pada orang dewasa. Perkembangan penyakit TB pada anak saat ini sangat pesat.
Sekurang-kurangnya 500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun. Di Indonesia
proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB yang ternotifikasi dalam program
TB berada dalam batas normal yaitu 8-11 %, tetapi apabila dilihat pada tingkat
provinsi sampai fasilitas pelayanan kesehatan menunjukkan variasi proporsi yang
cukup lebar yaitu 1,8 15,9%. TB milier merupakan salah satu bentuk TB yang berat
dan merupakan 3-7% dari seluruh kasus TB dengan angka kematian yang tinggi
(dapat mencapai 25% pada bayi) yang bisa timbul karena tidak terdiagnosisnya TB
pada anak sehingga menjadi berat, atau karena pengobatan yang tidak adekuat
(Kemenkes RI, 2013).
Gejala TB pada anak tidak khas. Penurunan berat badan, lemah, letih. Lesu
merupakan gejala utama TB pada anak. Batuk pada anak jarang merupakan gejala
utama TB pada anak. Beberapa penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta didapatkan bahwa gejala pada pasien dengan TB milier adalah demam
(89.5%) berat badan tetap/turun (89,5%), anoreksia (84,2%) dan batuk (73,3%).
Sedangkan di RS. Dr. Soetomo Surabaya, didapatkan pasien TB milier datang dengan
keluhan batuk dan sesak nafas 56%, kejang 19% dan demam lama tanpa penyebab
yang jelas 16% (Kemenkes RI, 2013).
Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan
orang dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis,
pengobatan, pencegahan, serta TB pada infeksi HIV. Gejala TB pada anak seringkali
tidak khas, sehingga sulit untuk menegakkan diagnosanya. Oleh karena itu, pada
referat ini akan dibahas mengenai TB pada anak, terutama TB milier pada anak untuk
memperluas wawasan penyusun dan pembaca mengenai TB milier pada anak.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang sebagian besar biasa menyerang organ paru
disebut TB paru, adapun yang menyerang organ tubuh lain disebut dengan TB
ekstra paru (PPDPI, 2011).
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi bakterial yang disebabkan
oleh mikroorganisme Mycobacterium tuberkulosisyang dapat juga mengenai
organ maupun jaringan lain seperti kulit, mata, kelenjar limfe, tulang, selaput otak
dan organ lainnya. Tuberkulosis paling sering menginfeksi sistem respirasi, baik
berdiri sendiri ataupun bersamaan dengan TB pada organ lain (Wong, 2008). TB
anak merupakan penyakit infeksi yang disebabkan M.tuberkulosis pada anak
berusia < 15 tahun (Garna, 2012).
TB milier merupakan merupakan penyakit limfohematogen sistemik akibat
penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis (M.Tuberculosis) dan komplek
primer yang biasanya terjadi dalam waktu 2 6 bulan pertama setelah infeksi
awal (IDAI, 2009).
B. Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh infeksi kuman (basil) Mycobacterium
tuberculosis.

Organisme

ini

termasuk

ordo

Actinomycetalis,

familia

Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium. Genus Mycobacterium memiliki


beberapa spesies diantaranya Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan
infeksi pada manusia. Basil tuberkulosis berbentuk batang ramping lurus, tapi
kadang-kadang agak melengkung, dengan ukuran panjang 2 m-4 m dan lebar
0,2 m0,5 m. Organisme ini tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan tidak
berkapsul, bila diwarnai akan terlihat berbentuk manik-manik atau granuler
(Herchline,2013).
Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup
tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat,
lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor,
dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat
merupakan asam lemak berantaipanjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan

arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh


jembatanfosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada diniding sel bakteri tersebut
adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan (PDPI,2011).
Mycobacterium tuberculosis merupakan mikobakteria tahan asam dan
merupakan mikobakteria aerob obligat yang mendapat energi dari oksidasi
berbagai senyawa karbon sederhana. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk
menggandakan diri dan pertumbuhan pada media kultur biasanya dapat dilihat
dalam waktu 6-8 minggu. Suhu optimal untuk tumbuh pada 37C dan pH 6,4-7,0.
Jika dipanaskan pada suhu 60C akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini
sangat

rentan

terhadap

sinar

matahari

dan

radiasi

sinar

ultraviolet

(Herchline,2013).

Gambar 1. Mycobacterium tuberculosis

C. Patogenesis
Port dentre infeksi TB adalah paru, yaitu sebanyak 98% dari kasus TB.
Ukuran kuman TB yang sangat kecil menyebabkan M.TB dapat mencapai
alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme
imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan
biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada
sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan

kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi
pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer gohn (Depkes
RI ,2008).
M. tb dari fokus primer menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan
antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan
saluran limfe yang meradang (limfangitis) (Depkes RI ,2008).
Stadium inkubasi, biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan
rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh
hingga mencapai jumlah 103 -104 , yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang
respons imunitas seluler. Masa inkubasi merupakan waktu yang diperlukan sejak
masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap

tuberculin,

mengalami

perkembangan

sensitivitas.

Pada

saat

terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi.


Hal

tersebut

ditandai

oleh

terbentuknya

hipersensitivitas

terhadap

tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama


masa inkubasi, uji tuberculin masih negative (Depkes RI ,2008).
Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB
telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi
baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.
Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli
akan segera dimusnahkan. Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di
jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis

atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar


limfe regional akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya
biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru (Dirjen P3L, 2013).
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini. Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi
yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional.
Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau
pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkejuan yang berat, bagian tengah lesi akan
mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan
paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran
normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut.
Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolapskonsolidasi. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen (Depkes RI ,2008).
Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman
TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik. Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ
di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks
paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi

dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya. Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan
kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup
dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi
penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di
apkes paru disebut sebagai Fokus simon. Kemudian, bila daya tahan tubuh
pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit
TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain (Kemenkes RI ,
2013).
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata atau biasa dikenal sebagai TB milier. TB
diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya
penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta
frekuensi berulangnya penyebaran (Depkes RI ,2008).
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun
pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita. Tuberkulosis
milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah
kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan
mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran
lesi diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara
patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara
histologi merupakan granuloma.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB
paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB
paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB

milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi
primer.

Gambar 2. Patogenesis Tuberkulosis


Sumber ; Petunjuk klinis Manajemen TB Anak. 2013

D. Penegakkan Diagnosis

Gejala TB milier yang sering dijumpai adalah anoreksia, berat badan


menurun tanpa sebab yang pasti, gagal tumbuh, demam lama, batuk dan sesak
nafas.

Pada

50%

penderita

terdapat

limfadenopati

superfisial,

hepatosplenomegali. Tuberkel koroid didapatkan pada 13 87 %. Pada


pemeriksaan foto toraks terdapat gambaran khas berupa tuberkel halus atau millet
seed yang tersebar merata di seluruh lapang paru dengan ukuran yang hamper
seragam, yaitu 1- 3 mm. pemeriksaan pungsi lumbal sebaiknya dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis meningitis TB (Garna,2012).
1. Tanda dan Gejala
Gejala pada TB anak dibagi menjadi dua, yaitu gejala umum/ sistemik
dan gejala spesifik berdasarkan organ yang terkena. Berikut adalah gejala
sistemik pada TB anak ;
a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik
dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik.
b. Demam lama (2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan
gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.
c. Batuk lama 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda
atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah
dapat disingkirkan.

d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain. 6. Diare persisten/menetap
(>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

Pada sebagian besar kasus TB tidak dijumpai kelainan fisis yang khas.
Biasanya sesuai dengan keluhan masalah makan dan berat badan. Pada
pemeriksaan antropometri dijumpai gizi kurang dengan grafik berat badan dan

tinggi badan pada posisi di daerah bawah atau di bawah persentil 5. Selain itu,
suhu subfebris dapat ditemukan pada sebagian pasien. Gejala klinis biasanya
timbul akibat gangguan pada paru, yaitu gejala respiratorik seperti batuk dan
sesak nafas disertai rhonchi atau mengi. Pada kelainan paru yang telah lanjut,
timbul sindrom sumbatan alveolar, sehingga dapat dijumpai gejala distress
pernafasan, hipoksia, pneumothoraks dan pneumomediastinum (Rahmi,
2014).

2. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin tetap merupakan alat bantu diagnosis TB yang penting
pada anak. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT23 2 TU dari Staten Serum Institute Denmark produksi dari Biofarma. Uji
tuberkulin yang negatif belum tentu menunjukkan tidak ada infeksi atau
penyakit TB atau sebaliknya. Uji tuberkulin negatif pada lebih dari 40 %
TB milier. Uji tuberkulin Uji Tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux ;
yaitu penyuntikan 0,1 ml Tuberkulin PPD secara intra kutan di volar
lengan dengan arah suntikan memanjang lengan (longitudinal), reaksi
diukur 48-72 jam setelah penyuntikan. Indurasi transversal diukur dan
dilaporkan dalam mm berapapun ukurannya, termasuk pencantuman 0 mm
jika tidak ada indurasi sama sekali. Interpretasi ;
i.

ii.

Indurasi 0 4 mm
-

Uji mantoux negative

Tidak ada infeksi M.tb

Indurasi 5 9 mm
-

Uji mantoux meragukan


9

Close contac dgn individu yang diketahui/ suspek TB dalam


waktu 2 tahun.

iii.

iv.

Suspek TB aktif dengan bukti dari klinis dan radiologis.

Individu dengan perubahan radiologis berupa fibrotik, tanda TB.

Indurasi 10 mm
-

Uji mantoux positif

Datang dari daerah dengan prevalensi tinggi TB.

Individu dengan kondisi klinis yang merupakan resiko tinggi TB

Indurasi 15 mm
- Bukan resiko tinggi tertular TB
- Konversi uji tuberkulin menjadi > 15 mm setelah 2 tahun
Uji tuberkulin positif menunjukkan adanya infeksi TB dan

kemungkinan TB aktif (sakit TB) pada anak. Reaksi uji tuberkulin positif
biasanya bertahan lama hingga bertahun-tahun walau pasien sudah
sembuh sehingga uji tuberkulin tidak digunakan untuk memantau
pengobatan TB (IDAI, 2009).
Reaksi uji tuberkulin yang dilakukan secara intradermal akan
menghasilkan hipersensitiviti tipe IV atau delayed-type hypersensitivity
(DTH). Masuknya protein TB saat injeksi akan menyebabkan sel T
tersensitisasi dan menggerakkan limfosit ke tempat suntikan. Limfosit
akan merangsang terbentuknya indurasi dan vasodilatasi lokal, edema,
deposit fibrin dan penarikan sel inflamasi ke tempat suntikan. Reaksi

10

tuberkulin merupakan reaksi DTH. Protein tuberkulin yang disuntikkan di


kulit, kemudian diproses dan dipresentasikan ke sel dendritik/ Langerhans
ke sel T melalui molekul MHC-II. Sitokin yang diproduksi oleh sel T,
akan membentuk molekul adhesi endotel. Monosit keluar dari pembuluh
darah dan masuk ke tempat suntikan yang berkembang menjadi makrofag.
Produk sel T dan makrofag menimbulkan edema dan bengkak. Test kulit
positif maka akan tampak edema lokal atau infiltrat maksimal 48-72 jam
setelah suntikan (Surjanto, 2011).

Gambar 3. Hipersensitivitas tipe IV

b. Funduskopi
Pada pemeriksaan funduskopi ditemukan choroidal tubercle yang
merupakan ciri khas pada TB milier.

11

Gambar 3. Tuberkel koroid pada pemeriksaan funduskopi


c. Foto rontgen Thorax
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan

foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga
dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto
toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali
gambaran TB milier (Dirjen P3L, 2013).
Pada TB milier ditemukan Lesi milier dapat terlihat pada foto toraks
dalam waktu 23 minggu setelah penyebaran kuman secara hematogen.
Gambarannya sangat khas, yaitu berupa tuberkel halus (millii) yang
tersebar merata di seluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas dan
ukuran yang hampir seragam (13 mm) (Garna, 2012).
Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah
i.

sebagai berikut (Dirjen P3L, 2013):


Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrate
(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks

ii.
iii.

lateral)
Konsolidasi segmental/lobar
Efusi pleura

12

iv.
v.
vi.
vii.

Milier
Atelektasis
Kavitas , Kalsifikasi dengan infiltrat
Tuberkuloma

Gambar 4. Gambaran foto toraks TB milier

d. Sistem Skoring
Penegakkan diagnosis TB pada anak menggunakan sistem skoring
dapat dilakukan jika terdapat keterbatasan dalam sarana diagnostik. Sistem
skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian
oleh para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan
disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan
diagnosis TB anak terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem
skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam
mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana
sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun
overdiagnosis TB (Dirjen P3L, 2013).

13

Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai


i.

berikut:
Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular

ii.

mempunyai nilai tertinggi yaitu 3.


Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk
menegakkan diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem

iii.

skoring.
Pasien dengan jumlah skor 6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB
dan mendapat OAT.
Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan

OAT (Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil


pengobatan secara cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon
klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan
apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien segera
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut (Dirjen P3L, 2013).

14

Gambar 5. Skoring TB

Parameter sistem skoring TB pada anak adalah sebagai berikut ;


i.

Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti
tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa
diperoleh dari TB 01 atau dari hasil laboratorium.

ii.

Penentuan status gizi:


a. Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang.

15

b. Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status


gizi untuk anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes,
sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000
c. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi
selama 1 bulan.
iii.

Demam (2 minggu) dan batuk (3 minggu) yang tidak membaik setelah


diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas

iv.

Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa:


pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat,
atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan
infiltrat, tuberkuloma.
Anak di diagnosis TB jika ;

i.

Jumlah skor 6

ii.

Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA
positif dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka
dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur
anak tersebutFoto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada
TB anak

iii.

Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang
meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih
lanjut

iv.

Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala
klinis lain, pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat
didiagnosis, diterapi dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan
dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat perbaikan klinis,
maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.

v.

Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG
dicurigai telah terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring
TB anak

16

vi.

Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB

vii.

Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas


(uji tuberkulin dan atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan
sistem skoring tetap dilakukan, dan dapat didiagnosis TB dengan syarat
skor 6 dari total skor 13.

viii.

Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan
klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor
penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta,
gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari
pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS.
Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal
yang ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.

E. Penatalaksanaan
Perbaikan TB milier biasanya berjalan lambat. Respon keberhasilan terapi
antara lain adalah menghilangnya demam setelah 23 minggu pengobatan,
peningkatan nafsu makan, perbaikan kualitas hidup sehari-hari, dan peningkatan
berat badan. Gambaran milier pada foto toraks berangsur-angsur menghilang
dalam 510 minggu, tetapi mungkin juga belum ada perbaikan sampai beberapa
bulan (Dirjen P3L, 2013).
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam tatalaksana TB anak adalah
sebagai berikut ;
1. Obat TB diberikan dalam panduan obat, tidak boleh diberikan monoterapi
2. Pemberian gizi yang adekuat
3. Tatalaksana

medikamentosa

terdiri

dari

obat-obatan

dan

profilaksis/

pencegahan. Terapi profilaksis diberikan pada anak dengan kontak TB atau


anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB atau TB sekunder.
Pengobatan dasar terapi TB anak minimal 3 macam obat dan
diberikan dalam kurun waktu yang relative lama yaitu 6 12
bulan. Pengobatan TB dibagi menjadi 2 fase, yaitu ;

17

1. Fase intensif ; 2 bulan pertama


Diberikan rifampisisn, isoniazid dan pirazinamid
2. Fase lanjutan ; Berian rifampisin dan isoniazid
Pada pengobatan TB anak, berbeda dengan dewasa. Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) pada anak diberikan setiap hari. Pemberian obat setiap hari ditujukan
untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat. Pada TB milier, selain terapi 2
fase OAT, juga ditambahkan pemberian kortikosteroid seperti prednisone dengan
dosis 1- 2 mg / kg BB/ hari dibagi dalam 3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid
adalah 2 4 minggu dengan dosis penuh dan prinsip tapering off dalam
jangka waktu yang sama (Depkes RI, 2008).
Algoritma penatalaksanaan TB Anak

18

Table 1. Obat antituberkulosis, dosis dan efek samping


Nama obat
Isoniazid

Dosis harian
10 / 7 - 15

Dosis maksimal
300 mg

Rifampisisn

15/ 10-20

600 mg

Pirazinamid

35/ 30-40

Etambutol

20/ 15-25

Streptomisin
15-40
1000
Sumber ; Petunjuk Klinis tatalaksana TB Anak
1. Rifampisin
Rifampisin

merupakan

obat

semisintetik

Efek samping
Hepatitis,
neuritis
perifer, hipersensitivitas
Gangguan GIT, reaksi
kulit,
hepatitis,
peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna
kemerahan
Toksisitas
hepar,
atralgia, gangguan GIT
Ketajaman
mata
berkurang, buta warna
merah
hijau,
hipersensitivitas GIT
Ototoksik, nefrotoksik

derivat

dari

Stretomy

cesmediteranei. Rifampisin memegang peranan utama dalam pengobatan


tuberkulosis. Selain itu, rifampisin juga memiliki spektrum yang luas, sehingga
dapat mengatasi baik bakteri gram positif, maupun bakteri gram negatif,
sepertiLegione lla spp., M. kasasii, dan M. marinum. Rifampisin memiliki
aktivitas bakterisidal di intraseluler dan juga ektraseluler. Rifampisin
menghambat sintesa RNA dengan mengikat dan menghambat polymerase
DNA dependent RNA.
Rifampisin dapat menyebabkan urin berwarna merah kekuningan. Selain
itu, efek samping yang dapat ditimbulkan oleh rifampisin adalah gangguan
gastrointestinal, hepatitis,rash atau kemerahan pada kulit, anemia hemolitik,
trombositopenia dan juga imunosupresi.
Rifampisin dapat memicu tebentuknya enzim mikrosomal di hepar
sehingga dapat menurunkan efektivitas beberapa jenis obat, seperti digoksin,
warfarin, prednison, kontrasepsi oral, obat-obat Zidovudine (ARV) dan juga
kuinidin.
2. Isoniazid (INH)
19

Isoniazid merupakan obat antituberkulosis yang paling efektif. Isoniazid


harus diberikan pada setiap pengobatan tuberkulosis, kecuali jika terdapat
resistensi. Isoniazid memiliki efek bakteriostatik dan juga bakterisidal.
Isoniazid dianggap obat yang aman; efek samping utamanya antara lain
hepatitis dan neuropati perifer karena interferensi fungsi biologi vitamin B6
atau piridoksin. Efek samping lainnya sepertirash/kemerahan di kulit, anemia,
kejang, dan gangguan kejiwaan jarang dijumpai..Isonizid mempunyai
kemampuan bakterisidal TBC yang terkuat. Mekanisme kerjanya adalah
menghambat cell-wall biosynthecis pathway.
3. Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat asam nikotinik, yang digunakan pada
pengobatan

tuberkulosis

jangka

pendek.

Pirazinamid

memiliki

efek

bakterisidal. Efek samping yang paling sering dijumpai pada pemberian


pirazinamid adalah hepatotoksik dan juga hiperurisemia. Pirazinamid
merupakan obat bakterisidal untuk organisme intraselular dan agen anti
tuberculous ketiga yang juga cukup ampuh. Pirazinamid hanya diberikan untuk
2 bulan pertama pengobatan.
4. Etambutol
Etambutol memiliki efek bakteriostatik terhadapMTB. Efek samping
yang paling berat dari etambutol adalah neuritis optik retrobulbar, yang
biasanya muncul setelah beberapa bulan mengkonsumsi etambutol. Efek
samping ini muncul tergantung dari dosis dan juga durasi pemberian obat.
Kadang-kadang dapat pula dijumpai hiperurisemia, namun asimtomatik.
Etambutol satu-satunya obat lapis pertama yangmempunyai efek bakeriostatik
tetapi bila dikombinasikan dengan INH dan Rifampisin terbukti bisa mencegah
terjadinya resisten obat.
5. Streptomisin
Streptomisin merupakan salah satu obat anti tuberkulosis pertama yang
ditemukan.

Streptomisin

ini

merupakan

suatu

antibiotik

golongan

aminiglikosida yang harus diberikan secara parenteral dan bekerja mencegah


pertumbuhan organisme ekstraseluler. Streptomisin dapat diberikan secara

20

intramuskular.

Streptomisin

memiliki

efek

bakterisidal,.Efek

samping

streptomisin muncul pada 10-20% pasien yang mendapat streptomisin.


Kekurangan obat ini adalah efek samping toksik pada saraf kranial kedelapan
yang dapat menyebabkan disfungsi vestibular dan atau hilangnya pendengaran.
Selain itu yang berbahaya dari streptomosin adalah sifatnya yang toksik bagi
ginjal (gagal ginjal non-oliguri).

Table 2. Panduan OAT anak


Jenis

Fase
intensif

Fase lanjutan

Prednison

4 HR

2 mg dosis
penuh
kemudian tap
off

TB ringan
Efusi pleura
TB

2 HRZ

TB
BTA 2 HRZE
4 HR
positif
TB Milier
2 RHZ + E 7 10 hari
atau S

Waktu

6 bulan

mg

dosis 9 12 bulan

penuh kemudian
tap off

Sumber ; Petunjuk Klinis tatalaksana TB Anak


Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum
obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat
untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan.
Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH
(H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg
dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel
berikut ;
Berat badan

2 bulan

4 bulan

RHZ 75/50/150

RH 75/50
21

5- 7
8 - 11
12- 16
17 - 22
23- 30

1 tablet
2 tablet
3 tablet
4 tablet
5 tablet

1 tablet
2 tablet
3 tablet
4 tablet
5 tablet

Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
1. Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk
kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
2. Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,
menyesuaikan berat badan saat itu
3. Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai
umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
4. OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh
digerus)
5. Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable),
atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
6. Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan
7. Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak
boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer

Pencegahan/ profilaksis
Imunisasi BCG (bacille Calmette-Guerin) diberikan pada usia sebelum 2
tahun. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara
intrakutan di daerah insersi M.deltoideus kanan. WHO tetap menganjurkan
pemberian vaksin BCG di insersio M.Deltoideus kanan dan tidak di tempat lain
(bokong, paha), penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih mudah

22

dilakukan (tidak terdapat lemak subkutis yang tebal), ulkus yang terbentuk tidak
mengganggu struktur otot setempat dan sebagai tanda baku
Bila BCG diberikan pada usia > 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin
terlebih dahulu. Insiden TB pada anak yang mendapat BCG berhubungan dengan
kualitas vaksin yang digunakan, pemberian pemberian vaksin, jarak pemberian
vaksin, dan intesitas pemaparan infeksi.
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa penelitian, yaitu antara 080%. Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB,
dan spondilitis TB pada anak. Imunisasi ulangan dianjurkan di beberapa negara,
tetapi umumnya tidak dianjurkan di banyak negara lain termasuk Indonesia.
Imunisasi BCG relatif aman, jarang menimbulkan efek samping yang serius. Efek
samping yang sering diemukan adalah lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif)
dengan insiden 0,1-1%.
Kontraindikasi imunisasi BCG adalah reaksi uji tuberculin >5 mm, sedang
menderita infeksi HIV atau dengan resiko tinggi infeksi HIV, imunokompromais
akibat pengobatan kortikosteroid, obat imunosupresif, mendapat pengobatan
radiasi, penyakit keganasan yang mengenai sumsum tulang dan limfe, anak
menderita gizi buruk, sedang menderita demam tinggi, menderita infeksi kulit
yang luas, pernah sakit tuberculosis, dan kehamilan. Pada bayi prematur, BCG
ditunda hingga bayi mencapai BB optimal.

F. Komplikasi
Komplikasi pada TB milier akan muncul jika pengobatan tidak adekuat.
Meningits TB dan peritonitis TB dapat ditemukan pada 20 40% pasien yang
penyakitnya sudah berat. Sakit kepala kronik atau berulang biasanya merupakan
gejala telah terjadinya meningitis dan merupakan indikasi untuk melakukan
pungsi lumbal (IDAI, 2009).

23

Meningitis TB adalah radang umum pada arachnoid dan piameter yang


disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa. Pada meningitis TB ini dapat
ditemukan tanda-tanda rangsangan meningen seperti kaku kuduk, tanda laseque ,
kernig, brudzinski I dan brudzinski II. Tanda-tanda iritasi meningeal ini pada
neonatus semnetara waktu belum timbul(IDAI, 2009).
Peritonitis TB merupakan suatu peradangan peritoneum parietak atau viseral
ditandai yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosa dan terlihat
penyakit ini menyerang seluruh peritoneum, alat-alat system gastroinstentinal dan
mesentrium. Gejala klinis bervariasi, pada umumnya gejala timbul perlahan-lahan
sampai berbulan-bulan yang disertai nyeri peru, pembengkakan perut, tidak nafsu
makan, batuk dan demam. Pada pemeriksaan fisik yang sering dijumpai adalah
asites, demam, pembengkakan perut, nyeri perut, pucat dan kelelahan. Sedangkan
fenomena papan catur yang selalu dikatakan karakteristik pada penderita
peritonitis tuberkulosa ternyata tidak sering dijumpai (13%)(IDAI, 2009).

G. Prognosis
Prognosis TB milier pada anak dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur
anak, berapa lama telah mendapat infeksi, luasnya lesi, keadaan gizi, keadaan
sosial ekonomi keluarga, diagnosis dini, pengobatan adekuat dan adanya infeksi
lain seperti morbili, pertusis, diare yang berulang dan lain-lain. Bila cepat
terdeteksi penyakit ini dapat dicegah untuk menjadi TB yang berat. Pengobatan
TB terlambat , maka kematian karena TB milier akan meningkat hingga 100%.
Jika dilakukan deteksi dini dan pengobatan, kematian akan berkurang hingga
10%.
III.
1. TB

KESIMPULAN

milier merupakan merupakan penyakit limfohematogen sistemik akibat

penyebaran

kuman Mycobacterium

tuberculosis (M.Tuberculosis) dan

komplek

primer yang biasanya terjadi dalam waktu 2 6 bulan pertama setelah infeksi awal
2. Tuberkulosis disebabkan oleh infeksi kuman (basil) Mycobacterium tuberculosis.

24

3. Penegakkan diagnosis TB berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.

TB anak didiagnosis menggunakan sistem skoring TB


4. Ciri khas pada pemeriksaan TB milier adalah ditemukannya tuberkel koroid di

funduskopi dan gambaran snowstorm appearance pada rontgen thorax


5. Penatalaksanaan TB anak terdiri dari 2 fase, yaitu intensif dan lanjutan dengan
pemberian obat setiap hari
6. Pada TB milier ditambahkan pemberian prednisone 4 mg dosis penuh dengan prinsip

tapering off
7. Komplikasi TB milier terdiri dari meningitis TB dan peritonitis TB
8. Prognosis tergantung dari berbagai faktor seperti umur anak, berapa lama telah

mendapat infeksi, luasnya lesi, keadaan gizi, keadaan sosial ekonomi keluarga,
diagnosis dini, pengobatan adekuat

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana
Tuberkulosis Pada Anak. Jakarta Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2013.
Petunjuk Klinis Manajemen Tuberkulosis Anak. Jakarta ; Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia

25

Garna, H. 2012. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.
Bandung ; Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran.
Herchline,T.E.,2013.Tuberculosis.Availablefrom:http://emedicine.medscape.com/artic
le/230802-overview [Accesed 10 Juli 2016]
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Tuberkulosis.
Indian Pediatrics. 2002. Standardization of Mantoux test ; 39:404-6
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Rahmi, M. 2014. Tuberkulosis Milier pada Anak. Medan ; Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Surjanto, E. 2011. Uji Tuberkulin. Bagian pulmonology dan kedokteran respirasi FK
UNS ; vol 3;2
Wong, P.C., 2008. Current Management of Pulmonary Tuberculosis. Medical Buletin.
13 (12); 24-26.

26

Anda mungkin juga menyukai