Keuangan (PMK) Nomor 33/PMK.06/2012 yang mengatur tentang Tata Cara Pelaksanaan
Sewa Barang Milik Negara (BMN).
Dijelaskan siaran pers Kemenkeu, Selasa (17/4), PMK ini terbit untuk menggantikan PMK
lama yang mengatur hal yang sama, PMK No 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang
Milik Negara.
PMK No 96/2007 dinilai tidak lagi sesuai dengan kondisi dan praktik yang hidup di
masyarakat dalam hal sewa barang milik negara. Meskipun menggantikan PMK lama,
PMK No 33/2012 tidak membatalkan usulan sewa BMN yang diajukan oleh pengguna
barang kepada pengelola barang yang belum memperoleh persetujuan. Hanya saja,
proses selanjutnya tetap merujuk ke PMK No 33/2012.
Sementara, pelaksanaan sewa BMN yang sedang berlangsung yang didasarkan pada
PMK No 96/PMK.06/2007, tetap dinyatakan berlaku.
Kemenkeu berharap kebijakan ini dapat mewujudkan akuntabilitas pengelolaan barang
milik negara, pemanfaatan barang milik negara khususnya dalam bentuk sewa, agar
terselenggara secara tepat, efisien, efektif, dan optimal.
4. data transaksi Sewa yang sebanding dan sejenis yang ada di sekitar BMN yang
diusulkan untuk disewakan (pasal 54); dan
5. surat pernyataan dari Pengguna Barang dan Calon Penyewa (pasal 55).
3. Dalam hal BMN yang diusulkan untuk disewakan berupa sebagian tanah dan/atau bangunan
dan nilai buku BMN yang akan disewakan sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah), Pengguna Barang menyertakan usulan besaran sewa sesuai hasil perhitungan
berdasarkan formula tarif Sewa (pasal 51 ayat 2)
Prinsip Umum Tata Cara Pelaksanaan Sewa BMN
Dalam rangka mewujudkan akuntabilitas pengelolaan barang milik negara, pemanfaatan barang
milik negara dalam bentuk sewa perlu diselenggarakan secara tepat, efisien, efektif, dan optimal
dengan tetap menjunjung tinggi tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Dalam perkembangan kondisi dan praktik umum yang berlaku di masyarakat, pengaturan mengenai
sewa barang milik negara dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang
Milik Negara perlu ditinjau kembali.
Berikut ini istilah-istilah yang digunakan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
33/PMK.06/2012 Tentang Tata Cara Pelaksanaa Sewa Barang Milik Negara:
1. Barang Milik Negara, yang selanjutnya disingkat BMN, adalah semua barang yang dibeli atau
diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
2. Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan
kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN.
4. Kuasa Pengguna Barang adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh Pengguna
Barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
6. Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMN yang tidak digunakan sesuai dengan tugas dan
fungsi Kementerian/Lembaga dengan tidak mengubah status kepemilikan.
7. Sewa adalah pemanfaatan BMN oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima
imbalan uang tunai.
8. Penilaian adalah proses kegiatan yang dilakukan oleh penilai untuk memberikan suatu opini
nilai atas suatu objek Penilaian pada saat tertentu dalam rangka pengelolaan BMN.
9. Penilai adalah pihak yang melakukan Penilaian secara independen berdasarkan kompetensi yang
dimilikinya.
10. Swasta adalah Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing yang mempunyai izin tinggal
dan/atau membuat usaha atau badan hukum Indonesia dan/atau badan hukum asing, yang
menjalankan kegiatan usaha untuk memperoleh keuntungan.
11. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disingkat BUMN, adalah badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
12. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum Koperasi
dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi
rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
13. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
14. Pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
15. Lembaga sosial adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat.
16. Lembaga sosial keagamaan adalah lembaga sosial yang bertujuan mengembangkan dan
membina kehidupan beragama.
17. Lembaga sosial kemanusiaan adalah lembaga sosial yang bergerak di bidang kemanusiaan.
19. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN.
Tata Cara Penyewaan BMN Selain Tanah dan/atau Bangunan oleh Pengguna Barang
Penyewaan Barang Milik Negara selain tanah dan/atau bangunan oleh Pengguna Barang
ditetapkan sebagai berikut:
a. Pengguna Barang mengajukan usulan kepada Pengelola Barang disertai dengan hasil
penelitian mengenai kelayakan kemungkinan penyewaan Barang Milik Negara selain
tanah dan/atau bangunan dimaksud, termasuk pertimbangan mengenai calon penyewa,
nilai sewa dan jangka waktu penyewaan.
b. Pengelola Barang melakukan penelitian atas usulan untuk menyewakan Barang Milik
Negara tersebut.
c. Dalam hal Pengelola Barang tidak menyetujui usulan tersebut, Pengelola Barang
memberitahukan kepada Pengguna Barang, disertai alasannya.
d. Dalam hal Pengelola Barang menyetujui usulan tersebut, Pengelola Barang
menerbitkan surat persetujuan, yang sekurang-kurangnya memuat Barang Milik Negara
yang disewakan, calon penyewa, nilai sewa, dan jangka waktu sewa.
e. Pengguna Barang menetapkan surat keputusan penyewaan yang sekurangkurangnya memuat jenis, nilai, besaran sewa Barang Milik Negara, penyewa, dan jangka
waktu penyewaan.
f. Penyewa menyetorkan keseluruhan uang sewa ke rekening kas umum negara, paling
lambat pada saat surat perjanjian ditandatangani.
g. Penyewaan Barang Milik Negara selain tanah dan/atau bangunan dituangkan dalam
perjanjian sewa menyewa yang memuat sekurang-kurangnya hak dan kewajiban para
pihak, serta ditandatangani oleh Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang dan pihak
penyewa.
Tata Cara Pelaksanaan Sewa Barang Milik Negara Oleh Pengelola Barang ditetapkan
sebagai berikut:
a. Pengelola Barang melakukan penelitian mengenai:
1) kemungkinan penyewaan Barang Milik Negara yang ada dalam pengelolaannya,
yang didasarkan pada kebutuhan Pengelola Barang untuk melakukan penyewaan tanah
dan/atau bangunan dimaksud;
2) kemungkinan kelayakan penyewaan tanah dan/atau bangunan berdasarkan
permintaan pihak lain yang akan menyewa tanah dan/atau bangunan dimaksud.
b. Pengelola Barang menetapkan tanah dan/atau bangunan yang akan disewakan
berdasarkan hasil penelitian kelayakan tersebut.
c. Pengelola Barang membentuk tim yang beranggotakan unsur Pengelola Barang,
yang akan melakukan penelitian dalam rangka penyewaan dimaksud terhadap tanah
dan/atau bangunan yang akan disewakan serta menyiapkan hal-hal yang bersifat
teknis.
d. Pengelola Barang menugaskan penilai untuk melakukan penghitungan Barang Milik
Negara dalam rangka penentuan besaran tarif sewa minimum dan melaporkan hasil
penilaiannya kepada Pengelola Barang melalui Tim.
e. Tim menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya disertai laporan penilaian Barang
Milik Negara kepada Pengelola Barang.
f. Pengelola Barang memutuskan untuk menyetujui atau tidaknya permintaan sewa
Barang Milik Negara dengan mempertimbangkan laporan Tim.
g. Dalam hal Pengelola Barang tidak menyetujui permintaan tersebut, Pengelola Barang
memberitahukan kepada pihak yang mengajukan permintaan sewa, disertai alasannya.
Aturan hukum:
1. Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2006, tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara / Daerah. Sebagaimana telah diubah dengan, Peraturan Pemerintah RI
No. 38 Tahun 2008, tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun
2006, tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
2. Kepmenkeu RI No. 248/KMK.04/1995, tentang Perlakuan Pajak Penghasilan
Terhadap Pihak-Pihak yang Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian
Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer).
3. SE Dirjen Pajak No. SE-38/PJ.4/1995, tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna Serah (Seri PPh Umum
Nomor 17).
Definisi
Bangun guna serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh
pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya,
kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang
telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan
dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu. Pasal 1 (12)
Bangun Guna Serah ("Built Operate and Transfer") adalah bentuk perjanjian kerjasama
yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan
bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan
bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan
mengalihkan
kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa guna
serah berakhir. (Pasal 1, Kepmenkeu RI No. 248/KMK.04/1995 tentang Perlakuan Pajak
Penghasilan Terhadap Pihak Pihak yang Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian
Bangun Guna Serah (Built Operate and Trasfer).
Sidney
M.
Levy
memberikan
gambaran
terkait
ini
dengan
mengatakan:[3]
The BOT Approach sometimes referred to as BOOT (Build, Own, Operate, Trasfer)
involves the assembling of private sponsors, usually a consortium of private companies, to
finance, design, build, operate, and maintain some form of revenue producing
infrastructure project for a specific period. At the end of this concessionary period, when it
has been estimated that all investment costs have been recouped from user fees and
a profit turned, title to the project passes from the private consortium to
the host government.
Nael
G.
utama
(Build Operate Trasfer) dan BOOT (Build Own Operate Trasfer), yakni:[4]
First, a feasible and viable project; secondly, a willing government to grant a
concession agreement which empowers a concessionaire that right to operate and
benefit from the constructed project by that concession; and thirdly, funders who are
willing to take the financial risk of undertaking the project.
Dalam praktik bisnis di berbagai negara di dunia, konserp BOT ini telah mengalami
perkembangan dengan beragam fariasi jenis dengan konsep dasar sama namun dengan
substansi yang berbeda. Beberapa fariasi dari BOT ini yakni:[5]
1. BOO
(Build,
kepemilikan).
Own,
untuk
mengalihkan
yang
penetapan Objek BOT terkait dengan barang milik negara dilaksanakan oleh pengelola
barang.[7],[8] Untuk Objek BOT terkait dengan milik daerah dilaksanakan oleh
pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota.[9]
Jika terkait dengan tanah yang status penggunaannya ada pada pengguna barang dan
telah direncanakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang
yang bersangkutan, dapat dilakukan bangun guna serah dan bangun serah guna
setelah terlebih dahulu diserahkan kepada: pengelola barang untuk barang milik
negara; atau gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.[10] Namun Bangun
Guna Serah (BOT) yang status penggunaannya ada pada pengguna barang, maka
prosesnya dilaksanakan oleh pengelola barang dengan mengikutsertakan pengguna
barang dan/atau kuasa pengguna barang sesuai tugas pokok dan fungsinya.[11]
pokok
dan
fungsi
kementerian
negara
/lembaga
terkait;
atau
Jangka Waktu
Jangka waktu bangun guna serah dan bangun serah guna paling lama tiga puluh
tahun sejak perjanjian ditandatangani.[13]
Penetapan mitra bangun guna serah dan mitra bangun serah guna dilaksanakan melalui
tender dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya lima peserta /peminat.[14]
Perjanjian BOT harus dilakukan dengan surat perjanjian antara para pihak.
Bangun guna serah dan bangun serah guna dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian
yang sekurang-kurangnya memuat:
1. Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian;
2. Objek bangun guna serah dan bangun serah guna;
3. Jangka waktu bangun guna serah dan bangun serah guna;
4. Hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian;
5. Persyaratan lain yang dianggap perlu.
Persiapan Pelaksanaan
Izin mendirikan bangunan hasil bangun guna serah dan bangun serah guna harus
diatasnamakan Pemerintah Republik Indonesia/ Pemerintah Daerah.[16]
Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan bangun guna serah dan
bangun serah guna tidak dapat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Daerah.[17]
Mitra bangun guna serah dan mitra bangun serah guna yang telah ditetapkan, selama
jangka waktu pengoperasian harus memenuhi kewajiban sebagai berikut:[18]
Dalam jangka waktu pengoperasian, sebagian barang milik negara/daerah hasil bangun
guna serah dan bangun serah guna harus dapat digunakan langsung untuk
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah.[19]
Mitra bangun guna serah barang milik negara harus menyerahkan objek bangun guna
serah kepada pengelola barang pada akhir jangka waktu pengoperasian, setelah
dilakukan audit oleh aparat pengawasan fungsional pemerintah.[20]
Mitra bangun guna serah barang milik daerah harus menyerahkan obyek bangun guna
serah
Dalam pengelolaan objek BOT terkait dengan penguasaan daerah masing-masing, maka
setiap daerah biasanya memiliki aturan tersendiri yang pada intinya memperjelas
peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat. Salah satu contoh misalnya,
Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Barat mengatur terkait dengan BOT dalam Perda
No. 05 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, khususnya terdapat dalam
Bagian Kelima Pasal 31 sampai dengan Pasal 34. Begitu juga dengan darah-daerah
lainnya, yang menerbitkan aturan terkait dengan prosedur pelaksanaan BOT di daerah.