JAKARTA
2011M/1432 H
PEDOMAN TRANSLITERASI
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
ARAB
LATIN
ARAB
LATIN
` (apostrof)
t}
Z}
(petik satu)
th
gh
h}
kh
dh
sh
s}
h (waqaf)
d}
Al-(tari>f)
Shaddah (Tashdd)
Shaddah atu tashdd yang dalam system bahasa Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (---) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda shaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda shaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf shamsi>yah. Misalnya, kata
tidak
ditulis ad}d}aru>rah melainkan al-d}aru>rah, demikian seterusnya.
ii
ABSTRAK
Muhammad Yani: Pelaksanaan Hukum Jina>ya>t di Aceh dalam Perspektif Fiqh
dan HAM: Studi Qanun Nomor 12, 13, dan 14 Tahun 2003.
Penelitian ini membuktikan bahwa pelaksanaan Qanun Nomor 12, 13, dan 14
Tahun 2003 tentang khamar, maisir, dan khalwt di Aceh telah berlangsung
secara realistis sebagaimana yang diqanunkan. Frekwensi pelaksanaannya dapat
dilihat pada data statistik perkara Jinayat dan dokumen-dokumen eksekusi
(uqu>ba>t) terhadap pelaku pelanggaran. Kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa materi Qanun dan hukuman (h}add dan tazi>r ) yang terkandung di
dalamnya kerab mempertimbangkan aspek Hak-hak Asasi Manusia (HAM).
Meskipun implementasi Qanun Jinayat dilatarbelakangi Qanun-qanun
sebelumnya seperti: Qanun Prov. NAD No. 1 Tahun 2002 tentang Peradilan
Syariat Islam; Qanun Prov. NAD No.11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat
Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, keseluruhan hukum Jinayat belum
terimplementasikan sebagaimana tuntutan Fiqh Jinayah secara ideal, karena
sejumlah pakar menilai bahwa bila hukum Islam ditegakkan scara total, akan
bertentangan dengan HAM (global).
Dalam perkara Fiqh, studi ini membantah pandangan Nurcholish Madjid
sebagaimana dikutip Rusjdi Ali Muhammad di dalam Revitalisasi Syariat Islam di
Aceh; Problem, Solusi, dan Implementasi, 2003 yang mengatakan Wilayah
Hisbah (polisi syariat) berhak menjatuhkan hukuman tazir bagi pelaku jinayat.
Persepsi ini bertentangan dengan kaidah fiqhiyah yang popular, yakni penerapan
hukuman mesti dilakukan oleh qad}i/umara.
Dalam perkara HAM, studi ini membantah Iben (dari Komnas HAM RI).
Menurutnya Qanun Jinayat Aceh tersebut bertentangan dengan HAM pasca
peratifikasian ICCPR ke dalam UU No. 12 tahun 2005. Iben hanya melakukan
tinjauan pada aspek HAM universal, tidak meninjau konsep-konsep HAM
menurut dunia Islam yang menyatakan hukum jinayat tidak melanggar HAM.
Pendapatnya ini juga berlawanan dengan Mahkamah Agung RI yang telah
menyatakan kebolehan kepada Qanun-qanun tersebut untuk diaplikasikan di
Aceh.
Melihat aspek historis peradilan Syariat Islam di Aceh, studi ini sesuai
dengan pandangan Ratno Lukito,
Islamic Law and Adat Encounter:the
Experience of Indonesia (Canada: MacGill: 1997); Ratno dalam karyanya itu
telah menyinggung tentang implementasi Hukum Jinayat di Aceh pra-Penjajahan
(pre-colonialism), yang demikian juga halnya yang disinggung di dalam studi ini.
Studi ini juga mendukung karya Moch. Nur Ikhwan, the Politics of
Shariatization: Central Governmental and Regional Discourses of Sharia
Implementation in Aceh dalam R. Michael Feener and E. Cammck, Islamic Law in
Contemporary Indonesia Ideas and Institutions (Massechussets: Harvard University
Press, 2007). Nur Ikhwan menulis bahwa Mahkamah Syariyah Aceh bertugas
menangani aspek pidana Islam di Aceh untuk dapat mengaplikasikan Qanunqanun Aceh yang menyangkut dengan jinayat. Ia juga mengatakan bahwa
pelaksanaan Qanun Jinayat merupakan kelanjutan dari program penerapan
iii
syariat Islam di Aceh sejak 1 Muharram 1423 Hijriah, bertepatan dengan 14 Maret
2002.
Studi ini juga mendukung karya Alyasa Abu Bakar, Penerapan Syariat
Islam di NAD: Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa (Banda Aceh:
Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2008). Alyasa mengatakan bahwa Qanun
jinayat Aceh yang membahas tindak pidana khamar, judi, dan khalwah tersebut
telah melakukan tinjauan ke fiqh Islam, dan telah melakukan penyesuaian dengan
Hukum Perundang-undangan Nasional RItanpa mengabaikan HAM.
Sumber-sumber dari Penelitian adalah dokomen-dokumen (terutama
Qanun Aceh baik dalam bentuk konsep maupun data aplikatif), dengan
menempuh studi kepustakaan dan dokumentatif. Data-data tersebut, diuraikan
dalam pembahasan secara deskriptif dan analisis dengan melakukan pendekatan
legal-historis.
iv
ABSTRACTS
Muhammad Yani: Pelaksanaan Hukum Jinayat Aceh dalam Perspektif Fiqh dan
HAM: Studi Qanun Nomor 12, 13, dan 14 Tahun 2003 (Jina>ya>t Law application
in Aceh in the Fiqh Perspective of and the Human Rights: Study of Qanuns
Number 12, 13, and 14 of the year 2003).
This Research proves that most of application of Jinayat (Islamic Penal
Law) in Aceh have been in accordance with the Qanuns guidance applied
pursuant to the chance given by Special Autonomy Law for Aceh.
It appeared at some data related to the Jina>ya>t cases appeared as tazi>r
punishments (uqu>ba>t) for criminals. The facts showed that tazi>r (discretionary
punishments) really considered the human rights aspects. Flogging punishments
carried out by Qanun Number 12, 13 , and 14 of the year 2003, each of those
exposed about khamar (drinking wine), gambling (maysir), and khalwat
(improper relation between the sexes). The reality has shown that the uqu>ba>t
(punishments) of jinayat law apart from these three, havent been implemented
yet in accordance with Fiqh conceptual. The main bars of these were universality
and complexityabout which were scholars understandingof Fiqh and Human
Rights concepts.
This research refused the view of Nurcholis Majids from whom Rusjdi
Ali Muhammad wrote in Revitalisasi Syariat Islam di Aceh: Problem, Solusi, dan
Implementasi (Banda Aceh: AR-Raniry Press, 2003 (Revitalization of Islamic
Sharia in Aceh: Problem, Solution, and Implementation (Banda Aceh: Ar-Raniry
Press, 2003). He said that Islamic Police (Wilayatul Hisbah) had authorities to
judge tazi>r punishments towards offenders (in implementation Jinayat Law of
Qanuns). It was contradictive to popular rules of Fiqh Pattern Concepts (Qa>idah
fiqhi>yah), that the judgement of condomination (tazi>r) must be carried out by
Qa>d>i represented the leader/government. Further, this study refuses the views of
Iben who said that Islamic Penal Law of Aceh was contradictive to Human Rights
after ratification of some Interrnational Human Rights Covenants into Indonesian
Laws related to Human Rights.
On the contrary to what have been mentioned, this study supported the
views of Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: the Experience of
Indonesia (Canada: McGill University, 1997. Ratno said that Islamic Law in
Indonesia has begun since the periode of pre-colonialization.
This study also supported the views of Moch. Nur Ikhwan, the Politics of
Shariatization: Central Governmental and Regional Discourses of Sharia
Implementation in Aceh in R. Michael Feener and E. Cammack, Islamic Law in
Contemporary Indonesia Ideas and
Institutions (Massechussets: Harvard
University Press, 2007). Nur Ikhwan said that Islamic Courts had been established
to handle Islamic penal law aspects of Acehs Qanuns. He also said that
manifestation of Qanuns related to Jinayat was the continuing of Islamic sharia
application program since the 1st of Muharram 1423 H in accordance with 14
Maret 2002.
Besides of what have been mentioned, this study also supported Alyasa
Abu Bakar, Penerapan Syariah Islam di Aceh: Upaya Penyusunan Fiqh dalam
Negara Bangsa (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2008 (Application of Islamic
Sharia in Aceh: as the afford of Islamic Jurisprudence Arranging in the Nation
State, (Banda Aceh: Islamic Office, 2008). Alyasa Abu Bakar in his exposition
said that he had participated in arranging the Qanun Jina>ya>t conceptuals in
Aceh, and they were not contraditive to Fiqh (Islamic Yurisprudence) and most
of those contents paid attention to Human Rights Aspects and National Law.
The resources of this study are the data and documents related to jinayah
application in Aceh, by library and documentarial research. The data that have
been maintioned were applied in describing and analising exposition by
conducting legal-historical approach.
vi
:
: : .
)( .
/ .
.
/ .
.
.
:
/ .
/ . )
(
) (.
.
.
.
vii
.
.
viii
KATA PENGANTAR
Dengan berkat kerja keras dan kontinyu yang dibarengi dengan
permohonan taufi>q danina>yah Allah SWT, penulis telah dapat menyusun sebuah
karya yang sederhana ini dengan judul Pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh
dalam Perspektif Fiqh dan HAM: Studi Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun
2003.
Studi ini merupakan sebuah karya yang penulis pertahankan pada
Sidang Promosi Magister di SPs (Sekolah Pascasarjana) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 21 April 2011. Penulisan karya ini merupakan salah satu
syarat di antara syarat-syarat untuk dapat menyempurnakan studi di lembaga
tersebut, sekaligus agar memperoleh gelar Magister Agama di bidang
hukum/syariah (MA.Hk). Pasca sidang tersebut penulis dicatat sebagai Magister
yang ke-1886 di instutusi tersebut.
Dalam perampungan studi ini, ucapan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat,
MA, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.
Azyumardi Azra, MA, sebagai direktur SPs UIN Jakarta yang merangkap dosen;
dan Prof. Dr. H. Mohamad Atho Mudzhar, MSPD sebagai pembimbing penulis
dalam penyusunan karya ini. Selain sebagai pembimbing, beliau juga merangkap
sebagai dosen. Ucapan terima kasih juga kepada: Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad
Jabaly, MA, dan Dr. Yusuf Rahman, MA, sebagai tim pelaksana Work in
Progress bagi penyempurnaan studi ini, yang merangkap sebagai dosen juga.
Selanjutnya, ucapan terima kasih disampaikan kepada para dosen yang
menyajikan Mata Kuliah/Pelajaran di ruang perkuliahan, terutama para dosen
yang menyajikan Mata Kuliah bidang Hukum, Politik dan Perubahan Sosial: Prof.
Dr. Abdul Halim, MA, Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis, MA; para dosen
yang menyajikan Mata Kuliah Perbandingan Hukum Keluarga di Berbagai Negara
Islam: Prof. Dr. Huzaimah Tahio Tanggo, MA, Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA,
dan Dr. Euis Nurlaelawati, MA; dan para dosen yang menyajikan Mata Kuliah
Pendekatan Metodologi Studi Islam (PMSI): Prof. Dr. Abuddin Nata, MA, Prof.
Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA, Prof. Dr. A. Rodoni, MA, Prof. Dr. Ahmad
Lutfi, MA, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, MA, dan Dr. Muhaimin AG. Ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada para dosen yang menyajikan Mata Kuliah
Islam dan HAMStudi Perbandingan: Prof. Dr. Bachtiar Effendy, MA, dan Dr.
Hendro Prasetiyo, MA.
Selanjutnya kepada kepala perpustakaan yang ada di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan pelayanan pada pencarian
sumber-sumber literatur ilmiyah dan peminjaman buku-buku bacaan guna
kelancaran penyusunan studi ini, dan kepada kawan-kawan /mahasiswa
seperjuangan yang telah membantu dalam pemberitahuan kiat-kiat studi dan
perkuliahan di Lembaga tersebut.
Kepada bapak-bapak/ibu-ibu/dosen dan kawan-kawan yang telah penulis
sebutkan, penulis ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya; jazhum
Allahu bi ah}sani m amilu>>, mn!
ix
Muhammad Yani
DAFTAR ISI
TRANSLITERASI
KATA PENGANTAR
iii
ABSTRAK
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
BAB 1
: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Permasalahan
1. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
2. Perumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
D. Kajian Pustaka dan Penelitian Terdahulu
E. Signifikansi Penelitian
F. Metodologi
1. Jenis Penelitian
2. Instrumen Pengumpulan Data
3. Pengolahan dan Analisa Data
4. Bahan Penelitian
G. Sistimatika Penulisan
BAB 2
: PEMBERLAKUAN HUKUM JINAYAT DI ACEH
A. Kondisi Masyarakat Aceh
1. Aspek Sosio-Geografis-Historis
2. Aspek Sosio-Yuridis
B. Sejarah Otonomi Khusus Aceh
1. Kebijakan Berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999
2. Kebijakan Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001
3. Kebijakan Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006
C. Pengaturan Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 61
1. Hukum Jinayat Menurut Qanun
2. Rumusan Qanun
a. Qanun No. 12 Tahun 2003
b. Qanun No. 13 Tahun 2003
c. Qanun No. 14 Tahun 2003
BAB 3
: PELAKSANAAAN HUKUM JINAYAT ACEH DALAM
PERSPEKTIF FIQH
A. Pelaksanaan Qanun No. 12 Tahun 2003
1. Ketentuan Uqubat (Punishment) Menurut Qanun
a. Waktu Pelaksanaan `Uqubat
b. Tempat Pelaksanaan
c. Izin Imam untuk Pelaksanaan
d. Teknik Pelaksanaan
2. Ketentuan Uqubat Menurut Fiqh
xi
ix
v
vi
1
1
13
13
15
15
16
19
22
22
23
24
24
24
27
27
27
32
41
43
46
49
61
65
66
70
75
79
79
79
82
83
84
85
88
BAB 4
94
95
95
96
100
102
104
105
106
110
113
113
114
116
118
119
121
127
A. Pelaksanaan Qanun No. 12 Tahun 2003
127
1. Qanun dan Perundang-undangan RI lainnya
127
2. Tujuan Uqubat Khamar Menurut Qanun
129
3. Pandangan HAM Universal dan Substansi Qanun 131
a. Hukuman dalam Qanun Khamar dan ICCPR1966 140
b. Pandangan CEDAW dan CAT terhadap Uqubat 150
4. Pandangan HAM Islam
153
a. Pandangan CDHRI 1990
154
b. Pandangan DIUHR 1981
157
B. Pelaksanaan Qanun No. 13 Tahun 2003
164
1. Qanun dan Perundang-undangan RI lainnya
164
2. Uqubat Judi Menurut HAM Universal
165
3. Qanun Judi dalam Perspektif Konsep HAM Islam 167
a. Pandangan DIUHR 1981
167
b. Pandangan CDHRI 1990
169
C. Pelaksanaan Qanun No. 14 Tahun 2003
174
1. Qanun dan Perundang-undangan RI lainnya
174
2. Khalwat Menurut HAM Universal
176
3. Pandangan CEDAW
180
4. Pandangan HAM Islam
185
BAB 5
: PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran-saran
199
199
203
xii
205
211
217
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INDEKS
APPENDIX
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. .80
Tabel 3.2. .91
Tabel 3.3 .101
Tabel 3. 4. 106
Tabel 3.5. .102
Tabel 3.6. .122
Table 3. 7 .123
Tabel 3.8
..123
xiv
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Peleburanyang mengakibatkan timbulnya gerakan Dr alIslm (DI) Aceh tahun 1953-1954 yang digerakkan Daud Beureueh itu
membawa dampak pada pengesahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan
Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara.2 Dengan perkataan lain,
akhirnya, pergolakan yang yang bercampur dengan gerakan NII (Negara
Islam Indonesia) pimpinan Kartosuwiryo dapat dipadamkan pemerintah
Pusat dengan pembentukan provinsi Aceh dan pengesahan hak otonomi. 3
Pada masa Orde Baru pimpinan Suharto (1966-1998), Hak
Otonomi untuk Aceh dari UndangUndang Nomor 24 Tahun 1956 itu
tidak direalisasikan, bahkan pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 5
Tahun 1974 tentang pemerintahan di daerah yang mengakibatkan
penghapusan sejumlah hak dan wewenang pimpinan adat di Aceh.
Kebijakan pemerintah Pusat seperti ini memunculkan gejolak lagi yang
berupa gerakan pemisahan diri dari Indonesia yang dipimpin Hasan Tiro
tahun 1976 yang memakan waktu 30 tahun. Pemerintahan Suharto
dengan mengeluarkan Undang-undang tersebut telah mengakibatkan
penghapusan wilayah mukim (kekuasaan adat) yang telah tegak dalam
wilayah Aceh sebelumnya di samping mengubah sebutan gampong
That declaration came as a serious disappointment to Acehnese; it was considered a
betrayal to preindependence pledges by Sukarno to PUSA leaders. That was the
begining of Acehnese nationalism. (Para pemimpin nasionalis Indonesia memberikan
pengakuan sementara pada pengontrolan de facto PUSA dan bahkan mengakui
pendirian Mahkamah Shariyah baru. Sukarno sebagai pemimpin nasionalis, telah
menjumpai Daud Beureueh pada Juni 1948 di Aceh dan telah menjanjikan bahwa Aceh
akan menjadi sebuah provinsi Islam jika mau mendukung Indonesia. Pernyataan
(janji) itu menjelma dalam (bentuk) pengingkaran serius terhadap rakyat Aceh;
Pengingkaran itu menjadi sebuah pengkhianatan terhadap sumpah-sumpah yang
diucapkan Sukarno di hadapan tokoh-tokoh PUSA sebelum kemerdekaan. Pengingkaran
itu juga menjadi permulaan bagi nasionalisme rakyat Aceh). Lihat Syed Serajul
Islam, The Politics of Islamic Identity in South East Asia (Mexico: Thomson, 2005), 58
dan 60. Lihat juga Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syar`iyyah dalam Sistem Peradilan
Nasional (Jakarta: Fakultas Hukum Universiatas Indonesia, 2009), 66.
2
Repulik Indonesia, UU No. 24 Tahun 1956 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 1103).
3
Abu Ramli, seorang mantan Perwira Personalia Resimen VII mengatakan
bahwa hubungan antar gerakan NII di Aceh dan NII di Jawa Barat ada, namun ideologi
dan kebijakan politik antara keduanya tidak ada hubungan apa-apa. Lihat NII Jabar
Tak Ada Hubungan dengan DI/TII di Aceh, Waspada, 17 Mei 2011, B5.
4.
Republik Indonesia, UU No. 11 Tahun 2006 Bab 1, Pasal 1, Ayat 2 dan Ayat
10
berwenang menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam melakukan
penyelidikan ini Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat.
16
Menanggapi hukuman h}add/Jina>yat kontemporer di Aceh dapat melanggar
HAM, Hasanuddin Yusuf Adan mengatakan bahwa Hak Azasi Manusia (HAM) yang
dalam yang dalam bahasa Inggeris disebut Human Rights akhir-akhir ini sudah
dijadikan raja oleh sebahagian manusia di dunia raya ini. Padahal ia tidak lebih dari
sebuah aturan yang disusun oleh manusia yang diciptakan Allah dan memiliki banyak
kelemahan. Sementara Hukuman cambuk merupakan komponen resmi dan penting dari
Hukum Jinayah (Pidana Islam) yang elemen-elemennya langsung datang dari Allah
selaku pencipta lebih ditinggalkan dari pada para penyusun HAM.
Menurutnya, memang selama ini di Aceh banyak orang yang menantang
pelaksanaan hukuman cambuk sebagai salah satu dimensi dari Hukum Islam. Alasan
mereka selalu dikaitkan dengan pelanggaran HAM. Mencambuk orang yang melanggar
syariat Islam adalah melanggar HAM, paling tidak demikianlah ucapan gamblang
mereka. Tetapi mereka tidak pernah menguraikan bagaimana tata cara pelaksanaan
Hukum Islam yang penuh kemuslihatan itu. Mereka tidak pernah mengkajinya dengan
kajian ilmiah dan objektif, yang ada adalah pemahaman terhadap ketentuan-ketentuan
HAM itu sendiri baik yang tertera dalam Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia (The
Universal Declaration of Human Rights), yang salah satu instrumennya adalah
Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah disahkan ke dalam UndangUndang No. 12 Tahun 2005.
Dengan gambaran seperti di atas, maka tidak dapat dengan serta merta
seseorang itu menyimpulkan bahwa Hukuman Cambuk melanggar HAM. Apa lagi
kalau kebanyakan yang mengatakan demikian sudah menjadi agen pihak tertentu yang
menutup mata terhadap kemuslihatan Hukum Islam dan keadilan hukuman cambuk.
Dari segi usia antara HAM atau DUHAM dengan hukuman cambuk jauh sekali lebih
tua hukuman cambuk, HAM itu muncul lebih kurang 600 tahun setelah lahirnya
Hukuman Cambuk. Dari segi pencipta juga tidak dapat disetarakan sama sekali karena
hukuman cambuk milik dan ciptaan Allah sementara HAM buatan manusia yang
manusia itu sendiri diciptakan, dihidupkan, dinafkahi, disejahterakan dan diberikan
rezeki oleh Allah SWT. Toh karena mengikuti perkembangan HAM di Eropa, yang
berasal dari dokumen Magna Charta 1512.
Hukuman cambuk itu dilaksanakan dalam pidana Islam sebagai balasan bagi
pelanggar Hukum Allah dengan tujuan untuk menjerakan pelanggar syariah dan
memberi pelajaran kepada orang lain yang belum melanggarnya agar mereka tunduk
dan patuh kepada Allah sang Khaliq dan Maha Raja dari segala raja-raja yang ada.
Artinya, itu merupakan salah satu hukum atau undang-undang atau peraturan baku yang
positif, objektif dan logis bagi seluruh ummat manusia yang berpikir waras dan baik.
Lihat
http://ummahonline
wordpress.com/2010/02/19/aceh-antar-hukumcambuk-dan-ham/ (diakses 9 Desember 2010). Lihat juga Nazila Ghanea, Alan
Stephens and Raphael Walden, Does God Believe in Human Rights?: Studies on
Religion, Secular Beliefs and Human Rights (Boston: Martinus Nijhoff
Publishers, 2007), 14.
Hak demokrasi rakyat juga dibuka lebar bagi dunia. Bahkan isu
(penyuaraan) tentang HAM lebih bergema ketika qanun yang
menyangkut jinayat (terutama hukuman pencambukan) diterapkan di
Aceh sejak tahun 2003 sampai saat sekarang ini.
Memang sejak zamam Yunani kuno Hak Asasi Manusia telah
muncul dan diterjemahkan sebagai hak yang melekat pada diri setiap
manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak
dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik yang
menuntut setiap individu menjunjung tinggi nilai hak tersebut tanpa
membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain
sebagainya. Seorang Folosof Yunani, Aristoteles telah menulis tentang
hak-hak dari warga Negara secara luas untuk memiliki dan berpartisipasi
dalam urusan public (ancient philosophers such as Aristoteles wrote
extensively on the rights of citizens to property and participation in
public affairs).17
Menyangkut HAM, selain menggalang kerjasama bangsa-bangsa
global (United Nations), secara regional, Indonesia bersama dengan
Negara-negara tetangganya juga telah menyepakati beberapa kesepakatan
internasional, sebagaimana dikatakan dalam sebuah dokumen tentang
HAM:
Indonesia has, both by ASEAN and Islamic world
standards, been diligent in accepting major human rights
conventions over the past forty years. It has ratified 12 of the 16
main UN conventions, including the Universal Declaration on
Human Rights (UDHR), the International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR), the International Covenant on
Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) and the
International Covenant on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women (CEDAW). It has also played a
role in the UN General Assembly debates on the ICCPR and
17
However, neither the Greeks nor the Romans had any concept of universal
human rights; slavery, for instance, was justified both in ancient and modern times as a
natural condition. Medieval charters of liberty such as the English Magna Carta were
not charters of human rights, let alone general charters of rights: they instead constituted
a
form
of
limited
political
and
legal
agreement.
Lihat
http://www.UDHR/Human_rights. htm, diakses tanggal 7 Desember 2010, diakses
tanggal 17 Desember 2010.
18
2010.
19
Ann Elizabeth Mayer Islam, and Human Right, Tradition and Politics
(Colorado: Westview Press, 1999), 23.
20
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Jakarta: Mizan,
1994), 211-283.
10
dan bernegara di manapun mereka berada, tak terkecuali bagi umat Islam
di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 21
Penerapan Hukum Islam di Aceh-Indonesia didukung oleh
konstitusi negara (Undang-undang Dasar 1945). Di dalam Pasal 29
dikatakan bahwa kebebasan beragama di Indonesia berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa. Kandungan Konstitusi juga telah ikut melatar
belakangi sejumlah Undang-undang RI yang menyangkut Aceh seperti:
UU No. 44 Tahun 1999, dan UU No. 18 Tahun 200. Pasca Mou Helsinki
disahkan pula UU No.11 Tahun 2006. Fenomena ini menunjukkan
bahwa konstituisi Negara RI ikut melatar belakangi pengesahan dan
pelaksanaan Qanun Aceh tentang jinayah.
Di dalam Qanun Jinayat masyarakat diberikan peranan untuk
mencegah terjadinya jarimah (kejahatan) minuman khamar, judi, dan
khalwat. Peran serta umat Islam tersebut bukan dalam bentuk main
hakim sendiri, namun berdasarkan proses peradilan di Mhkamah. Jika
tidak menoleh ke aspek HAM, uqubat cambuk yang diatur Qanun akan
lebih efektif karena memberi rasa malu dan tidak menimbulkan resiko
serius bagi keluarga, jenis hukuman ini juga memadai biaya lebih murah
yang ditanggung pemerintah dibandingkan jenis uqubat lainnya, seperti
penahanan, yang lebih banyak menghabiskan dana dalam proses
penghukuman pelaku kejahatan. Urensi qanun jinayat juga merupakan
salah satu upaya pemerintah Aceh untuk menghindari kevakuman
hukum dalam kancah upaya merealisasikan hukum perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia yang terkait dengan pidana. Lembaga
Mahkamah Syariyah dan Wilayatul Hisbah diberikan tugas dalam upaya
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi (cambuk) dan
pengawasan pelaku tindak pidana yang telah diqanunkan. 22
Ketua Dewan Dawah Islam Indonesia wilayah Aceh,
Hasanuddin menegaskan bahwa hukuman cambuk sama sekali tidak
melanggar HAM dan tidak akan melanggar HAM kalau eksekutor
menjalankannya mengikuti ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Sebaliknya, malah HAM itu sendiri yang selama ini menjajah hukum
Islam khususnya hukuman cambuk. Pegiat HAM di seluruh penjuru
dunia harus belajar Hukum Islam dan belajar rasionalisasi Hukum Islam
21
11
12
Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariat Islam dan HAM, Dampak
pada Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan non-Muslim,
91.
28
Hukum dan Kriminalitas, Gatra.Com, tanggal 9 Desember 2010, 1 dalam
http://www.gatra.com/artikel.php?id=143697 (diakses tanggal 15-02-2011).
29
Kondisi kemajemukan kehidupan umat beragama telah di atur sejak Nabi
Saw. Nabi Saw membentuk Piagam Madinah (Madinah Charter) yang mengayomi
semua ummat, tanpa membentuk Negara Islam. Prinsip toleransi dan sikap lakum
13
B. Permasalahan
1. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Studi ini mengkaji konsep dan ruang lingkup hak otonomi dan
keistemewaan bagi Aceh yang menyangkut dengan penerapan syariat
Islam yang telah disahkan oleh sejumlah Undang-undang, seperti UU
No. 44 Tahun 2009, UU No. 18 Tahun 2001, UU No. 11 Tahun 2006,
dan bahkan UUD 1945 (sebagai konstitisi Negara). Hak otonomi dan
keistimewaan yang dimaksudkan dalam studi ini adalah hak dalam
penerapan hukum jinayat sebagaimana yang terdapat dalam Qanun No.
12, 13, dan 14 Tahun 2003.
di>nukum waliadin di antara agamaagama yang beerbeda-beda tumbuh pada masa Nabi
Saw. Dikatakan Norrahman dalam artikelnya Copatibility between Pancasila and
Sharia-based Islamic Teaching yang dimuat oleh The Jakarta Post, tanggal 10 Januari
2010, 6, It is correct that when he migrated to Medina, Muhammad was trusted to
become the leader of plural society consisting of many tribes and religions.In a state
where Muslims have been given the freedom to conduct. Di dalam List of Muslim
Majority Countries juga dinyatakan bahwa Indonesia adalah Non Religion State
(bukan Negara Agama). Lihat http//www. List_of_Muslim_majority_countries.htm
(diakses tanggal 7 Desember 2010).
30
Pertentangan-pertentangan hukum Jinayat dengan hukum adat di Indonesia
merupakan realita keniscayaan di dalam dunia hukum. Bahkan di antara hukum Islam
itu sendiri juga kerap terjadi pertentangan karena perbedaan penafsiran dari sumbernya
(nas}). Terdapat banyak perbedaan metode analogi dan pemahaman masing-masing
pakar Fiqh. Pengalaman historis-keindonesian menunjukkan adanya persoalan
penerapan Hukum Pidana Islam (Jinyt) yang melahirkan konflik antara golongan
madzhabi> dan non-madzhabi>. Golongan madhhab kerab merujuk kitab fiqh imam
madhhab (yang berisi al-ah}ka>m al-urufi>yah) dalam memutuskan perkara, sedangkan
golojan non-madhhab tidak bermazhab) menarjih zahir nas} secara langsung dalam
pemutusan perkara jinayat dan persoalan hukum lainnya. Belanda ketika menjajah
Indonesia tempo dulu memanfaatkan kondisi untuk melakukan pendekatan konflik,
dengan mengadu domba antara golongan adat (young people) dan golongan
paderi/golongan ulama (old people) pada awal abad ke-18 M. Lihat Ratno Lukito,
Islamic Law and Adat Encounter, 16. Lihat Juga Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa
Majlis Ulama al Induni>si>: Dira>sah fi al-Fikri al-Tashri> i> al-Isla>mi> bi Indu>ni>sia>
1975-1988 (Jakarta: INIS, 1992), 38.
14
15
16
33
"
"
Dalam rangka merealisasikan tujuan itu, di dalam perkara jinayah, Islam
menetapkan qis}a>s}, h}add, diyat dan tazr, terhadap pelaku kejahatan tertentu. Orang
merasa takut dipotong tangannya bila ia mencuri, merasa takut didera/dirajam bila ia
berzina, dan merasa takut disalib bila ia memberontak (bugwah) terhadap imam
(pemimpin) yang sah. Sehubungan dengan tujuan tersebut; Qanun Aceh juga
menetapkan beberapa tujuan, yakni: a. menegakkan Syariat Islam dan adat istiadat
yang berlaku dalam masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; b. melindungi
masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak
kehormatan; c. mencegah anggota masyarakat sedini mungkin dari melakukan
perbuatan yang mengarah kepada zina; d. meningkatkan peran serta masyarakat dalam
mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum; e. menutup peluang
terjadinya kerusakan moral. (Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003).
17
18
19
37
20
21
22
23
24
c.
25
memfokuskan
pada
pembahasan
syariat
Islam
tentang
jinyt/criminal/penal law yang sedang diberlakukan di Aceh, agar jelas
pemusatan (focus): group, time and area. Bab satu juga membahas
tujuan, signifikansi, dan metodologi penelitian. Khusus untuk
metodologi, penulis menguraikan tentang jenis pengumpulan data, alat
pengumpulan data, pengolahan dan analisa data, dan bahan penelitian.
Kemudian ditutup dengan sistimatika penulisan (ini).
Bab dua membahas tentang kondisi masayarakat Aceh yang
menyangkut: (1) Aspek georafis; (2) Aspek Sosio-LegalHistoris; (3)
Sejarah Otonomi Khusus bagi Aceh; dan (4) Pengaturan Qanun yang
terdiri dari: a. Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar dan
sejenisnya; b. Qanun No. 13 tentang Maisir; dan c. Qanun No. 14
tentang Khalwat (Mesum).
Bab tiga menguraikan tentang Pelaksanaann Hukum Jinayat
dalam perspektif Fiqh. Setelah meninjau data-data kepustakaan,
penelitian ini menguraikan bagaimana pelaksanaan Qanun No. 12 tentang
Khamar dan sejenisnya; Qanun No.13 tentang Maisir; dan Qanun 14
tentang Mesum di Aceh. Pembahasan tentang pelaksanaan ketiga Qanun
ini diperlukan untuk melihat bagaimana kaca mata Fiqh melihat hukum
Islam (jinayat) yang ditetapkan Qanun Aceh. Pembahasan demikian
mengingat bahwa ketiga Qanun tersebut juga memiliki konsideran
Hukum perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Bab empat menguraikan tentang pelaksanaan ketiga Qanun
tersebut menurut perspektif HAM dengan menganalisa konsep qanun
dan konsep HAM dan realita pengamalan Qanun hukum jinayat di AcehIndonesia. Dengan perkataan lain, penelitian akan membahas bagaimana
realisasi ketiga Qanun Aceh tentang jinayat itu menurut perspektif
Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM/UDHR
1948) yang dianggap mutabar (formal) di dunia. Bab ini juga
menyinggung tentang konsep HAM Islam, yaitu: The Univeversal
Islamic Declaration of Human Rights (UIDHR 1981) dan Cairo
Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI 1990) yang mendukung
penerapan Qanun. Kedua konsep HAM Islami ini perlu dibahas agar
dapat melihat bagaimana solusi yang ditempuh dunia Islam dan Negaranegara Islam tentang persoalan yang terdapat pada aspek jinyt yang
(dianggap) berseberangan dengan DUHAM (UDHR 1948).
26
27
BAB PEMBERLAKUAN
2 HUKUM JINAYAT DI
ACEH
A. Kondisi Masyarakat Aceh
1. Aspek Sosio-Geografis-Kultural
Sejumlah pakar berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia
pada abad pertama Hijriah yang dibawa langsung oleh saudagar-saudagar
Arab. Perlak (Aceh Utara) merupakan tempat pertama yang disinggahi
para mubalig Arab dalam penyebaran Islam pada masa sebelum
penjajahan bangsa Eropa (pre-colonialization) di nusantara.44Para pakar
sejarah mengatakan bahwa para saudagar itu selain bertujuan berdagang
juga menyebarkan Islam dan syariat Islam di Aceh. Mereka telah
mengislamkan raja Pasai (Meurah Silu1297-1307M), yang sebelumnya
beragama Hindu. Peristiwa factual ini diakui para ilmuan kontemporer
seperti Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal, Azyumardi Azra dan
Ratno Lukito.
Para sejarahwan juga mengutarakan bahwa perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, mulai dari kejayaannya sampai
keruntuhan kerajaan Aceh Darussalam. Aspek keruntuhan dapat dilihat
pada adanya kolonialisasi dan penetrasi budaya Eropa ke dalam budaya
Aceh melalui penjajahan. Meskipun para penjajah melakukan pengaruh
akulturasi mereka di Aceh, sisa-sisa budaya peninggalan Kerajaan Islam
Aceh tersebut dapat terjaga. Budaya Islam secara terus menerus inheren
ke dalam pelaksanaan hukum Islam dalam budaya keseharian masyarakat
sampai saat sekarang ini.
Di masa kolonialisasi Eropa, Belanda dalam memperpanjang
masa kolonialisasi mereka, pernah mengalami kesulitan dalam
menaklukkan perlawanan umat Islam di Aceh, sehingga mereka
44
28
29
30
Snouck Hurgronje, De Atjehers Terj. Sutan Maimun, Aceh, Rakyat dan Adat
Istiadatnya, 163. Lihat juga Ayumardi Azra, Sharia and Politics in Modern Indonesia
(Sinagpore: ISEAS, 2003), 14.
51
Anthony Reid, Verendah of Violence: the Background to the Aceh Problem
(Seatle: University of Washington Press, 2006), 54.
52
Azhari, Negara Hukum Indonesia: Analisis Normatif tentang Unsurunsurnya (Jakarta: UI Press, 1995), 97.
53
R. Michael Feener and Mark E Cammack, Islamic law in Contemporary
Indonesia Ideas and Institution , 193.
31
oleh sultan, hukum diatur oleh ulama, qanun dipegang oleh Putroe
Pahang, dan literature (reusam) dipegang oleh Laksamana. Dengan
pengasimilasian antara keduanya (hukum Islam dan adat) dalam berbagai
aspek kehidupan menyebabkan syariat Islam menjadi Dasar Negara bagi
kehidupan masyarakat.54
Diakatakan Azyumardi Azra bahwa sejarah yang menyangkut
dengan Islam di Nusantara, kesultanan Aceh merupakan salah satu
kerajaan Islam terbesar di Indonesia. Sebelum muncul kesultanan Aceh,
yang paling penting adalah Kerajaan Perlak dan Kesultanan Pase yang
keduanya terletak di Ujung Timur Laut Sumatara. Marcopolo
mengunjungi Perlak pada tahun 1292 memberikan bukti pertama tentang
sebuah kesultanan Aceh di Nusantara. Kesultanan Aceh yang mulanya
bukan sebuah kerajaan penting di bagian paling barat laut Sumatra, di
bawah kekuasaan Ali Munghayat Syah (w. 1530) berhasil mepersatukan
bagian kerajaan kecil yang terbelah secara tajam di kawasan utara
Sumatra menjelang awal abad ke-16. Kemudian Kesultananan Aceh itu
mencapai kejayaan internal dan eksternal pada masa sultan Iskandar
Muda (1607-1637). Di tangan sultan Ibrahim kesultanan Aceh kembali
menjadi kekuatan aktual yang berupaya menegakkan otoritasnya atas
seluruh kawasan Utara Sumatra. Menurut sumber-sumber Belanda, dia
mengirim Sidi Muhammad menjadi Duta Aceh di pelabuhan Istambul
(Sublime Port pada 1850-1851) untuk meminta penguasa Dinasti Turki
Usmaniyah kembali mengakui Aceh sebagai relasi kerjasama (vasal)
dari Dinasti Turki Usmaniyah.55
Kesultanan Aceh Darussslam juga memiliki system peradilan
yang kuat. Buktibukti menunjukkan bahwa Mahkamah Aceh di era
kesultanan, bagi seorang hakim/qa>d}i (yang dikenal qad}i Malikul A>dil,
yang menjadi wakil Sultan dalam bidang pengadilan) disyaratkan
terlerbih dahulu menguasai 51 madhhab dalam hukum Islam. Berbeda
dengan Mahkamah Aceh pada saat sekarang ini ditangani oleh
hakim/qa>d}i yang hanya memilki kemampuan memahami beberapa
55
32
56
33
34
Sunni>) sepakat bahwa tindak pidana dalam Islam terdiri dari 7 aspek.
Keseluruhan aspek tersebut adalah: (1) Tindak pidana riddah (apostasy);
(2) tindak pidana khamar (drinking wine); (3) Tindak pidana zin
(mesum/adultery); (4) tindak pidana penuduhan (qazaf/false
accusation)); (5) tindak pidana pemberontakan (bughwah/h}ira>bah); (6)
tindak pidana pencurian; (7) tindak pidana penyamunan (qat}u alt}arq/robbery); 62 dan (8) tindak pidana pembunuhan.63
60
,
.
Kecelakaan telah menimpa orang-orang yang menulis al-Kitab dengan
tangan-tangan mereka sendiri, kemudian mengatakan (kitab) ini dari sisi Allah, agar
memperoleh keuntungan sedikit (dalam kehidupan dunia). Maka kecelakaan bagi
mereka karena apa yang mereka tulis, dan kecelakaan bagi mereka karena apa yang
mereka lakukan.
61
Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia, cet. 1 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 25.
62
Muhammad Atha Alsid Sidahmad, the Hudud the Seven Spesific Criminal
Law and Their Mandatory Punishment (Petaling Jaya, Eagle Sdn., Bhd., 1995), 36.
35
63
(1) Riddah secara bahasa (lugawi>) berarti menarik diri dari sesuatu dan
berpindah darinya. Menurut Istilah syariat, riddah adalah sikap seseorang muslim yang
menyebabkan kekafirannya, baik berupa perkataan, perbuatan, meninggalkan (sesuatu
kewajiban), keyakinan maupun keraguan , bila bila syarat-syaratnya terpenuhi; (2) Zina>
mempunyai dua pengertian luqgawi>: fujur (kekejian), dan d}ai>yiq (penyempitan). Zina
juga dimaknai untuk sebutan bagi perbuatan persetubuhan dengan wanita yang bukan
isteri; (3) Qazaf adalah al-ramy (melempar). Firman Allah SWT: aniqzi fihi fi altabuti faqzi fiihi fi al-yammi berarti: letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian
lemparkanlah (hanyutkan) ia ke sungai (Nil). (Qs. T{a>ha: 39); (4) H{irbah
(perampokan) secara bahasa , berasal dari kata al-h}arb (perang), lawan kata dari as-silm
dengan menfatah huruf rayang artinya al-salbu (permpasan). H}araba fulanan
malahu, artinya merampas harta si fulan. Obyeknya disebut mahrub atau hrib (orang
yang dirampas); (5) Mencuri adalah mengambil sesuatu yang bukan miliknya secara
sembunyi-sembunyi. Menurut istilah adalah mengambil harta yang terjaga milik orang
lain dan mengeluarkannya dari tempat penyimpanannya tanpa ada kerancuan (shubhat)
di dalamnya dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi; dan (6) Al-qatl
36
Abu Ishaq al-Sha>t}ibi dalam kitabnya al-Muwfaqt fi Us}u>l alSharah menyebutkan lima perkara yang disuruh lindungi dalam Islam.
Lima perkara tersebut dinamakan al-d}aru>ri>yat al-khamsah (lima perkara
yang asasi), yaitu (1) h}ifz} al-dn, (perlindungan agama), (2) h}ifz} al-nafs
(perlindungan jiwa),67 (3) h}ifz} al-aqli (perlindungan akal), (4) h}ifz} alnasl (perlindungan keturunan), dan (5) h}ifz} al-ml (perlindungan harta
benda). Abd. Shomad menggabungkan antara h}ifz} al-dn dan h}ifz} al-ird}
menjadi satu bagian dari lima perkara tersebut.68
Adapun perkara hukum dalam sejarah Aceh, pasca terbentuknya
Indonesia tahun 1945, pemerintah Pusat mengeluarkan UU Provinsi UU
No. 24 Tahun 1956 yang mengembalikan Aceh menjadi provinsi
Acehsebagaimana telah disinggung di atas. UU tersebut turut
menyatakan bahwa sosio-kultural Aceh yang terdiri dari suku Aceh,
suku Gayo, suku Alas, suku Aneuk Jameie, suku Kluet, suku Tamiang,
suku-suku di berbagai kepulauan, dan suku lain, yang dalam
perkembangan selanjutnya dihuni juga oleh para pendatang. Refleksi
dari sejumlah UU yang menyangkut denan pemekaran wilayah (provinsi
dan kabupaten/kota) di Indonesia pasca tahun 1998, provinsi Aceh pada
saat ini mekar menjadi 13 (tiga belas) kabupaten yaitu Kabupaten Aceh
Timur, Aceh Utara, Bireuen, Pidie, Aceh Besar, Aceh Barat, Simeuleu,
Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, dan Aceh Tengah, serta 4
(empat) kota yaitu Kota Banda Aceh, Sabang, Lhokseumawe, dan
Langsa. Sedangkan sekarang/pasca MoU Helsinki 15 Agustus 2005
jumlah kabupaten di Aceh sudah sudah mencapai 23 kabupaten/kota.
Konsep UU tersebut menyatakan bahwa secara geogafis Aceh
terletak di ujung utara Pulau Sumatera mempunyai batas-batas: a. sebelah
utara dengan Selat Malaka; b. sebelah selatan dengan Provinsi Sumatera
67
37
Utara; c. sebelah timur dengan Selat Malaka; dan d. sebelah barat dengan
Samudra Indonesia.69 Sejak pasca kemerdekaan maupun sekarang hukum
positif yang diterapkan di Indonesia adalah banyak menggunakan
peninggalan Belanda yang menurut sejumlah pakar hukum Indonesia
masih relevan dengan jiwa masyarakat Indonesia yang majemuk.
Memang sejak zaman Belanda telah ada lembaga qa>d}i untuk menangani
perkara perdata masyarakat Islam, yang kemudian diperbaharui sedikit
demi sedikit oleh putraputra Indonesia (di dalam kurun waktu tiga orde
pemerintahan) hingga telah mengarah kepada penciptaan supremasi
hukum pada saat sekarang ini.70
Kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan pada masa orde
lama menitikberatkan pada sistem yang terpusat (centralistic) dipandang
sebagai sumber bagi munculnya ketidakadilan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.71 Kondisi yang demikian mengakibatkan
munculnya pergolakan masyarakat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh
yang dapat memanifestasikan berbagai bentuk reaksi di berbagai belahan
wilayah Indonesia. Namun permasalahan gejolak ini dapat dipecahkan
oleh pemerintah Pusat dengan berbagai kebijakan agar tidak mengancam
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di awal orde reformasi (tahun 1998) terdapat perubahan
kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh. Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1999
yang diketuai oleh Amien Rais telah mengamanatkan dalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1999, antara lain
memberikan Otonomi Khusus kepada Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Tahun 2000 juga telah dilakukan perubahan kedua terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, antara lain
dikatakan dalam Pasal 18B Ayat (1) bahwa negara mengakui dan
menghormati satuan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
69
38
39
Juli 2010, 4. Lihat juga Hukum dan Kriminalitas, Gatra.Com, tanggal 9 Desember
2010, 1 dalam http://www.gatra.com/artikel.php?id=143697 (diakses tanggal 15-022011).
74
Lihat http://www. List of Muslim Moyarity Countries.
40
41
mengatakan bahwa motif utama hukum ialah sensitif terhadap sangsi dan
untuk menciptakan kepatuhan di kalangan masyarakat.77
Berdasarkan uraian di atas, implementasi hukum Islam di AcehIndonesia tidak mesti melibatkan banyak kemponen muslim untuk
membentuk suatu Negara Islam dalam pengamalan Hukum Islam pada
saat sekarang ini. Karena di zaman modern ini upaya ini akan mendapat
kecaman dari berbagai Negara bangsa, tidak terkecuali dari kalangan
umat Islam (Indonesia) sendiri. Muhammad Arkoundalam Islam: to
Reform or to Subvert?mengatakan bahwa suatu kekeliruan sejarah
yang disesalkan (the apologetic historical confusion) bila
mengembalikan tradisi Islam kepada regime Islam seperti rejim Islam
Iran yang dibentuk oleh Khomeini sejak 1978. Pembentukan regime
berlawanan dengan haluan para ilmuwan politik baru, para sejarahwan,
dan para philosof di zaman demokratisasi global.78
B. Sejarah Otonomi Khusus Aceh
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa otonomi bagi Aceh telah
ada sejak pengesahan UU No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan
Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi
Sumatera Utara.
Pasca 4 (empat) periode kepresidenan RI, keinginan masyarakat
Aceh untuk menerapkan syariat Islam dapat diwujudkan secara kffah
(menyeluruh) pasca MoU Helsinki 15 Agustus 2005. Dalam periode ini,
Aceh, yang mayoritas penduduknya adalah muslim, memiliki peluang
dalam pembentukan otonomi yang luas dengan pengamalan syariat
Islam, meskipun tujuan dari MoU Helsinki 2005 tersebut adalah bukan
untuk Syariat Islam, bahkan bukan untuk hak otonomi khusus.79MoU
77
42
43
44
82
Arsekal Salim dalam Challenging the Secular State: the Islamization of Law
in Moderen Indonesia (Honolulu: University of Hawai`I Press, 2008),143-144. Lihat
juga UU No. 44 Tahun 1999.
83
Moch. Nur Ikhwan, the Politics of Shariaatization: Central Governmental
and Regional Discourses of Shari`a Implementation in Aceh dalam R. Michael Feener
and Mark E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and Institution,
194.
45
Tim Lindsey and M.B. Hooker, Sharia Revival in Aceh dalam R. Michael
Feener and Mark E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and
Institution, 219.
85
UU No. 11 Tahun 2006 memperlihatkan bahwa wewenang yang diberikan
kepada Aceh meliputi banyak sektor, kecuali keuangan, pertahanan, urusan luar
negeri, kehakiman, dan agama. Ketentuan ini sebenarnya senada juga dengan UU No.
34 Tahun 2003 tentang Otonomi Daerahsebagai penyempurnaan dari UU No. 22
Tahun 1999 (yang berlaku bagi semua daerah di Indonesia). Lihat Mohd. Mahfud MD,
Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: Rajawali Press, 2010),
218.
46
47
86
48
Tim Lindsey dan M.B. Hooker bahwa kedudukan Wali Nonggroe lebih
terkait dengan symbol dibandingkan politik.89
UU ini sebagaimana perundang-undangan lainnya, dianggap
merupakan hasil kesepakatan umum masyarakat Indonesia yang tidak
mengabaikan kepentingan masyarakat (Aceh) secara representatif. UU
ini mengimplikasikan suatu anggapan bagi masyarakat Aceh-Indonesia
bahwa NKRI telah final dan tidak lagi harus ada perjuangan rakyat untuk
memisahkan diri. Kebijakan pengesahan Undangundang ini juga
meredam antusias masyarakat Aceh untuk berpisah, di samping mencari
solusi persoalan masyarakat Aceh pada fase-fase lanjutan.
Dengan perkataan lain, dengan kekhususan UU tersebut dapat
dijadikan peluang oleh eksekutif dan legislative Aceh untuk membuat
qanun jinayat yang berhasil disusun tahun 2003 yang menyangkut
hukuman bagi tindak pidana khamar, judi, dan khalwat sebagaimana
tersebut di atas. Ketiga Qanun ini dapat diterapkan secara lebih realistis
sejak diundangkan dan pasca keluarnya UU No. 11 Tahun 2006 tentang
pemerintahan Aceh.
3.
Tim Lindsey and M.B. Hooker, Shari`a Revival in Aceh dalam R. Michael
Feener and Mark E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and
Institution, 220.
49
90
50
51
52
53
99
54
55
Fikar W Eda, Menkeu Anulir RPP Sabang: Pemerintah Aceh Kecewa dan
Merasa Ditipu Lagi, Serambi Indonesia, 13 Agustus 2010, 1.
104
http://www. IslamicLawoftheWorld/Indonesia.htm (diakses tanggal 17
November 2010).
105
Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi,
21.
56
106
57
107
Lembaran Negara Tahun 1956 No. 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor
1103. UU ini disahkan oleh presiden pertama RI, Sukarno.
108
Jaenal Aripin mengatakan, beberapa produk peraturan perundang-undangan
yang diubah adalah tentang kekuasaan kehakiman dan badan-badan pelaksananya:
yakni Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Peadilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Dengan
demikian demikian dapat dikatakan bahwa kekuasaan kehakiman mencapai puncak
supremasinya. Lihat Jaenal Aripin, Reformsi Hukum di Indonesia dan Implikasinya
terhadap Peradilan Agama: Analisis terhadap Eksistensi Peradilan Agama di Era
Reformasi (1998-2008), 4. Lihat juga UU No. 4 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU
No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, LN-RI Tahun 2004 No. 8, TLN-RI No. 4358.
58
Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah
Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain, yang dipimpin oleh Imum Mukim. Selanjutnya
gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi
pemerintahan terendah langsung di bawah mukim atau nama lain yang menempati
wilayah tertentu, yang dipimpin oleh keuchik yang berhak menyelenggarakan urusan
pemerintahan di desa. Hal yang terkait dengan ini juga diutarakan dalam Bab II UU
No. 18 Tahun 2001.
59
60
61
"
"
Segala larangan laraangan syara yang diancam dengan
hukuman h}add, atau ta`zr. Sedangkan al-mah}d}u>ratsesuatu yang
dilarang ituadalah melaksanakan perbuatan yang dilarang, atau
meninggalkan sesuatu perbuatan yang diperintah.115
Bentuk dari seperangkat kejahatan (jarimah) yang dilarang Islam,
dapat dijumpai dalam firman Allah dalam ayat-ayat berikut:116
Pertama, Qs al-Baqarah [2]: 219 yang bunyinya:
( :[] ). ...
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah
pada (perkara) keduanya ada dosa besar, dan ada manfaat bagi
manusia. Sedangkan dosa keduanya lebih besar dari faedah. (Qs. alBaqarah [2]: 219).
Kedua, ayat yang bunyinya:
...
( :[] )
Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu (sekalian)
mendekati shalat ketika kamu sedang mabuk, hinnga kamu sadar apa
yang kamu ucapkan. ( Qs. al-Nisa[4]: 43).
Ketiga, Qs al-Maidah [6] ayat 90-91:
115
Ahmad Mukri Ali, Rasionalitas Ijtihad Ibnu Rushd (Bogor: Pena Ilahi,
2010), 65.
116
Ayat-ayat al-Quran yang melarang khamar diturunkan secara berangsurangsur (tadriji>yan) sesuai daya serap masyarakat dalam memahami faedah dan bahaya
yang terkandung dalam khamar. Pada tahap permulaan al-Quran tidak menyatakan
pelarangan secara tajam.
62
.
:[] ).
(-
Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamar berjudi berhala
mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji dari perbuatan syaithan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu lantaran khamar dan berjudi itu, dan menghalangi
kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka kalian berhenti?
63
: . :
64
122
Pencurian.
123
65
124
66
67
Kata ini bisa dijadikan muannats dengan partikel ha, sehingga bisa
dikatakan humur yang berarti merah. Dinamakan demikian karena
khamar (dalam proses pembuatannya) ditutup hingga matang/memerah
ketika mendidih. Di antara pakar juga mengatakan bahwa kata khamar
adalah isim mushtaq (kata berimbuhan) dari kha>mara-ykha>miru-khamran
yang berarti menutupi dan mengacaukan. Dikatakan khamar karena
menutupi dan mengacaukan aqal (tukhamiru al-aqla). 129
Bagi tata peraturan perundang-undangan RI, Qanun khamar ini
dapat membantu realisasi UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana Indonesia. Juga membantu terlaksananya
Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 1997 tentang Larangan,
Pengawasan, Penertiban, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol
di Daerah. Qanun ini juga merupakan kelanjutan dari Qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan
Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.
Naskah qanun No. 12 Tahun 2003 terdiri dari 10 bab dengan 39
pasal dangan dilengkapi sejumlah ayat dan penjelasan-penjelasan.
Qanun ini disahkan di Banda Aceh pada tanggal 15 Juli 2003 bertepatan
dengan 7 Jumadil Awal 1424, dengan bubuhan tanda tangan gubernur
Abdullah Puteh. Qanun ini juga diundangkan di Banda Aceh pada
tanggal 16 Juli 2003 bertepatan dengan 16 Jumadil Awal 1424 .
Naskahnya ini kemudian
disimpan Lembaran Daerah provinsi
Nangggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 25 Seri D Nomor 12.
Qanun Aceh yang merupakan hasil Ijma>` (consensus) eksekutif
dan legislatif (DPRD) Aceh yang didukung oleh pertimbangan Majlis
Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. Qanun ini telah memuat konsep
yang komplek yang menyangkut dengan pelarangan khamar. Qanun ini
terdiri dari ketentuan definisi, kriteria, sampai penjatuhan hukuman bagi
tindak pidana khamar tersebut. Rumusan naskah Bab 1 (Ketentuan
Umum) Qanun No. 12 Tahun 2003 tertera dalam Pasal 1 Qanun ini. Bab
ini memuat definisi, kriteria khamar, dan kriminalisasinya.130 Tujuan dan
129
68
69
menyangkut dengan peran serta masyarakat, diutarakan dalam Pasal 1015. Demikian sekilas empat bab (Qanun) yang perlu diutarakan dalam
bab rumusan tentang Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang khamar dan
sejenisnya.
b.
Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Judi)
Sebelum menjelaskan konseps Qanun, perlu adanya penjelasan
tentang bentuk-bentuk judi dan jenisnya. Judi (al-maysir) sinonim
dengan al-qima>r (judi). Kata ini berasal dari al-yusr yang artinya assuhalah (kemudahan) karena praktek ini merupakan usaha tanpa
kesulitan dan tidak perlu bersusah payah; bisa juga bersasal dari kata alyasar yang artinya al-gina (kaya), karena praktik ini dimaksudkan untuk
cepat kaya; bisa juga berasal dari kaya al-yasar yang bermakna altajzi>yah dan al-iqtisa>m (terbagi); dan bahkan ada juga orang yang
mengatakan, setiap yang mengandung kerugian adalah maisir.132
Seorang juru dakwah dari Arab Saudi, Erwandi Tarmizi
membagikan bentuk perjudian ke dalam 5 bentuk, yaitu: Pertama,
perjudian bangsa Arab Jahiliyah. Masyarakat (Arab Jahiliyah) berjudi
dengan cara memotong seekor unta dan membaginya menjadi 28 bagian,
lalu mengambil 10 anak panah dan menuliskan namanama tertentu pada
anak panah itu, 3 nama anak panah itu kosong dan 7 berisi bagian unta,
kemudian seluruh anak ditaruh disatu bejana dan masingmasing mereka
mengambil satu anak panah, siapa yang mendapat anak panah kosong
merakalah yang membayar harga unta. Orang yang menang sering
memberikan daging unta itu untuk fakir miskin. Ruh judi kerap mengakar
pada jiwa masyrakat Jahiliyah. Jika salah satu pihak kalah, sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Ibbas rad}iyalla>hu anhu, maka objek perjudian
mereka sering meluas sampai kepada pertaruhan anak dan istri.133
Kedua, kupon undian (lottery ticket). Bentuk judi ini diciptakan
dan diperkenalkan oleh orang-orang Barat yaitu membeli kupon undian
dengan harga bentuk judi, yaitu membeli kupon undian dengan harga
yang murah dengan imingan mendapatkan hadiah yang sangat besar.
Pemenangnya ditentukan dengan cara yang tak jauh berbeda dengan
perjudian jahiliyah. Kadang-kadang keuntungannya digunakan untuk
132 Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, dkk., S>ahi>h Fiqh al-Sunnah
H}udu>d , Jina>ya>t dan Diyat, Jualbeli, 429. Lihat juga Erwandi Tarmizi, Al-Maiysir
Qadi>man wa H}adi>than (Riya>d}: Maktab Dakwah wa Irsha>d Jali>yah Rabuwwah, 2007),
2-5.
133
Franz Rosenthal, Gambling in Islam (Leiden: E. J. Brill, 1975), 68.
70
134
Pada tahun 1990-an, masa pemerintahan Orde Baru, SDSB pernah legal
untuk sementara waktu di Indonesia, namun menimbulkan protes masyarakat muslim
karena mengandung unsur judi (undian) di dalamnya. Gejolak (protes) masyarakat ini
mengakibatkan Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pengharaman dan
pelarangannya di Indonesia. Kemudian pemerintah menghentikannnya secara resmi
pada tahun 1993. Lihat C. Van Dijk, Religious Authority, Politics and Fatwa in
Contemporary Southeast Asia, dalam R. Michael Feener and Mark E. Cammack,
Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and Istitutions, 49. Lihat juga Euis
Nurlelawati, The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice in Indonesian Religious
Courts: Modernization, Tradition and Identity (Amsterdam: Amsterdam University
Press, 1990), 75.
135
Abd al-Qadir U<dah, al-Tashr al-Jin al-Isla>mi> Muqrinan bi al- Qnn
al-Wad}i>, 423.
136
Erwandi Tarmizi, al-Maiysir Qadi>man wa H}adi>than, 8.
71
72
73
74
75
76
77
149
78
BAB PELAKSANAAN
HUKUM JINAYAT DI
ACEH
DALAM PERSPEKTIF
FIQH
A.
1.
150
Al-Zarqa>ni> mengatakan bahwa uqu>ba>t yang terdapat dalan nas}s} (alQuran/al-H}adith) ada dua, yaitu qis}a>s} dan h}udu>d. Tazi>r merupakan uqu>ba>at mafu>d}ah
(yang diserahkan kepada hakim/uli al-amr)--yang tidak ada dalam nas}s}. Lihat Mus}t}afa
Ah}mad al-Zarqani>, al-Madkhal al-Fiqhi> al-A>am: al-Fiqh al-Isla>mi> fi al-Thaub al-Jadi>d
(Damaskus, Da>r al-Fikr, 1968), 605, 626.
79
Pelaku
Cambuk
Kurungan
Denda
Menkonsumsi
Orang
40 x
cambuk
Memproduksi,
menyediakan,
menjual,
memasukkan,
mengedarkan,
mengangkut,
menyimpan,
menimbun,
Orang, badan
hukum, badan
usaha, pejabat
yang
berwenang,
dan
pemodal asing
No
3 bulan 1
tahun
25-75
juta
151
Mus}t}afa Ah}mad al-Zarqani>, al-Madkhal al-Fiqhi> al-A>am: al-Fiqh alIsla>mi> fi al-Thaub al-Jadi>d, 605.
Lihat jua Qs. al-Najm [53]: 3-4 bunyinya: .
Yang diucapkan (Nabi Saw) hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.
152
Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1.
153
H}add menurut pakar Fiqh adalah hukuman yang telah ditentukan dan
dwajibkan untuk memenuhi hak Allah SWT.Lihat Abdu al-Rahman al-Jazi>ri>, alFiqh ala> al-Madhahib al-Arbaah, Juz 5 (Bairu>t: Da>r al-Kutub al-Ilmi>yah, 2003), 11.
80
memperdagangkan,
menghadiahkan,
mempromosikan, dan
pejabat yang mengizinkan penyediaan
minumnan khamar
154
81
( ). Lihat Ahmad
82
83
kebijakan
Mahkamah
tanpa
b. Tempat Pelaksanaan
Sebagaimana lazimnya pengeksekusian pelaku pelanggran syariat
Islam, pelaku khamar dieksekusi di muka umum. Penempatan panggung
pencambukan adakalanya di halaman mesjid, atau di halaman kantor
Mahkamah yang dapat dilihat orang banyak. Penghukuman seperti ini
merupakan tendensi dari syariat Islam yakni sebagai suatu upaya menuju
pada pencegahan seseorang atau umat dari melakukan tindak pidana ini.
Pengeksekusiannya kerap didirikan di hadapan khalayak ramai, seperti di
halaman mesjid setelah pelaksanaan salat Jumat, seperti Lapangan Olah
Raga (yang pernah dilakukan Mahkamah Syariyah Aceh Tengah).
Pengeksekusian dapat juga dilaksanakan di tempat terbuka lainnya.
163
Dikatakan dalam Qanun Pasal 32, bahwa uqubat cambuk dilakukan di
tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa
Penuntut Umum dan dokter yang ditunjuk. Selin itu pencambukan
dilakukan dengan rotan yang yang telah ditepakan ukurannya dalam
qanun, yakni panjangnya 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung
ganda/belah, dengan lebar maksimal 1 centi meter. Pencambukan
dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher.164
Alat (cambuk) untuk eksekusi tersebut disesuaikan dengan alat
yang diatur fiqh madhhab sunni> dari bebagai madhhab. Dengan menelaah
kitab Fiqh menemukan bahwa alat-alat yang digunakan untuk
memukul/mencambuk memang bermacam-macam, termasuk cambuk
(cemeti). Para ulama, sebagaimana diakui al-Jazi>ri>, berbeda pendapat
mengenai alat yang digunakan untuk memukul. Di antara pakar Fiqh
mengatakan bahwa pada masa Nabi Saw ummat Islam menggunakan
bermacam-macam alat. Ada orang menggunakan sandal (al-nia>l), lidi
(al-jari>d), ujung-ujung baju (at}ra>f al-thaub), dan tangan (al-yad). Karena
itu penghukuman tidak digunakan selain jenis alat-alat ini. Menurut
pendapat jumhur, sebagaimana halnya dengan alat-alat ini sah untuk
163
84
165
85
d.
Teknis Pelaksanaan
Agar suatu hukuman mencapai sasaran sebagaimana yang
diharapkan, maka diperlukan adanya teknik (kaifi>yat) dalam
pengeksekusian pelaku tindak pidana. Maka pelaksanaan hukum jinayat
khamar dijelaskan dalam Qanun ini tepatnya pada Bab VIII Pasal 31-32
Qanun Khamar memuat tentang pelaksanaan uqu>ba>t (khamar). Di dalam
Pasal 31 dinyatakan bahwa: (1) Uqu>ba>t cambuk dilakukan oleh seorang
petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum. (2)
Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Jaksa
Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam
Qanun ini dan/atau ketentuan yang akan diatur dalam Qanun tentang
hukum formil.170
Meskipun ketentuan Qanun yang menyatakan tentang jumlah dan
alat yang digunakan dalam pengeksekusian pelaku khamar, namun
kadang kala dalam realita pelaksanaan terjadi pengurangan/penambahan
hukuman dalam penghukuman atas pelaku. Hal ini berat kemungkinan
disebabkan oleh bahwasanya hakim telah mengalihkan hukuman h}add
menjadi hukuman tazi>r, seperti halnya yang dijatuhkan terhadap pelaku
tindak pidana lainnya yang ditetepkan Qanun, sehingga untuk pelaku
khamar juga dikenakan hukuman tazi>r. Memang hukuman tazi>r bagi
tindak pidana khamar diakui oleh pendapat sebagian kecil ulama fiqh
sebagaimana dikatakan al-Jazi>ri>.171
Selain hukuman h}add yang ditetapkan Pasal 26 Ayat 1 Bab VII
Qanun No. 12 Tahun 2003 ini, dalam ayat (2) dikatakan bahwa setiap
orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
sampai Pasal 8 diancam dengan uqu>ba>t (tazir) berupa kurungan paling
lama 1 (satu) tahun, paling singkat 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling
banyak Rp 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp
25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah.172
Selain penghukuman h}udd 40 kali cambuk bagi peminum
khamar yang dinyatakan Pasal 6 Ayat (3),173 bagi pelaku yang bukan
170
86
87
( :[] ).
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Tidak ada orang yang
mengatakan (bahwa) hukum Allah yang lebih baik, kecuali orang-orang yang
menyakini. (al-Ma>idah [6]: 50). Lihat juga Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human
Rights Tradition and Politics, 29.
88
2.
178
89
ada dua: Pertama, minum minuman yang memabukkan; dan kedua, ada
itikat untuk jahat.
Mazhab Imam Mlik (w. 117 H), Imam al-Shfi` (w. 204 H),
Imam Ahmad (241 H) mengaharamkan khamar dan minuman lain yang
memabukkan baik sedikit ataupun banyak. Meminum minumannya
sendiri adalah termasuk ke dalam kategori jarmah.182Disyaratkan benda
yang memabukkan itu berupa minuman. Selain dari minuman maka
hukumnya juga tetap haram, hanya hukumannya adalah tazi>r. Seorang
penulis Fiqh Islam Indonesia, Mochtar Effendy memaknai hukuman altazr sebagai suatu larangan, pencegahan, mengurus, menghukum,
mencela dan memukul. Ulama fiqh lainnya mengartikan, tazr adalah;
al-tadb (pendidikan). Bila hukum h}udu>d telah ditetapkan di dalam alQuran dan Hadith, maka jarimah tazr tidak ditentukan di dalam alQuran dan Hadith. Dengan perkataan lain Fiqh membuka peluang bagi
penguasa (uli al-amr) untuk menghukum dengan hukuman ini, bagi
perkara yang tidak ditentukan al-Quran dan al-h}adith.183
Ditulis Abu Malik Kamal bin al-Saiyid Salim dalam Fiqh Sunnah
bahwa ada empat alat bukti minum minuman khamar, yaitu (1)
persaksian, dengan dua orang saksi; (2) pengakuan; (3) bau mulut; dan
(4) mabuk. Dikatakan al-Jazi>ri> di dalam kitab Fiq muqa>ranah-nya,
bahwa para Imam mazhab sepakat dengan pengakuan (minum khamar)
walupun satu kali, dikenakan h}add. Sedangkan Abu Yusuf dari mazhab
Hanafi mengatakan bahwa pengakuan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali,
baru dikenakan h}add. 184Sedangkan menyangkut dengan sebab-sebab
terhapusnya hukuman tindak pidana khamar ada dua, yaitu (1) saksi
menarik kesaksiaannya; dan (2) pelaku menarik pengakuaannya.185
Hukuman bagi peminum khamar menurut Qidah Fiqhiyah ada
dua macam, yaitu: (1) dera /cambuk 80 kali; dan/atau (2) dera 40 kali.
Ketentuan hukuman terhadap pelaku meminum khamar secara berulangulang dan telah dihukum lebih dari 3 kali,
manyoritas ulama
menyatakan bahwa hukuman mati tidak diterapkan pada kasus demikian.
Ijma> berpendapat, syariat telah menetapkan hukuman tertentu terhadap
182
90
186
Qanun Aceh No. 12 Tahun 2003 Bab VII Pasal 26 Ayat (1) menetapkan
40 (empat puluh) kali cambukan bagi peminum khamar.
187
Abu> Ma>lik Kamal bin al-Sayyid Salim, S}ah}ih} Fiqh al-Sunnah, H}udu>d,
Jinyt dan Diyat, Jual Beli (Terj.), 125.
91
dan pendapat ini dipilih oleh al-Allmah Bakar Abu Zaid (rah}imahu
Allah).188
Tabel 3.2 menunjukkan bahwa keempat madhhab Fiqh sunni
sepakat dengan penghukuman cambuk sebanyak 40 kali terhadap
peminum khamar, dan hukuman tazi>r kurungan atau denda terhadap
pihak yang terlibat di dalam perdagangan dan penyediaaan fasilitas bagi
terlaksananya praktek minum khamar di Aceh.189
Tabel 3.2:
Hukum Jarimah Khamar dalam Perspektif Fiqh.
Hukuman &
Peminum
40 kali
cambuk
Ss
Ss
Ss
Ss
Produsen
3 bulan
1 tahun
25-75
juta
Ss
Ss
Ss
Ss
Penyedia
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Penjual
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
5
6
Pemasok
Pengangkut
Sda
Sda
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Penyimpan
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
188
Mazhab
lainnya
Hanabilah
Tazi>r
Denda
Malikiyah
Tazi>r
Hadd
KurunCambuk
gan
Shafiiyah
No
Perspektif Fiqh
Hanafiyah
Hukuman
Pelaku
pidana/jarimah
Abu> Ma>lik Kamal bin al-Sayyid Salim, S}ah}ih} Fiqh al-Sunnah, H}udu>d,
Jinyt dan Diyat, Jual Beli (Terj.), 129. Lihat juga Abdu al-Qa>dir U>dah, al-Tashr`
al-Jin Muqrinan bi al- Qnn al-Wad}i>, 525.
189
Al-Jazi>ri menulis bahwa madhhab Hanafiyah, Shafiiyah dan H}anabilah
setuju tentang batas hukuman tazi>r tidak lebih dari h}add. Sedangkan Maliki>yah
menyerahkan perkara tazi>r kepada imam (pemimpin), dan membolehkan tazi>r
melebihi h}add dengan tinjauan ada kemaslahatan ummatpada penghukuman tindak
pidana tertentu. Lihat Abd al-Rah}man al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala> al- Madha>hib al-Arbaah
, Jilid 5, 308. Lihat juga Abdu al-Qadir U<>dah, al-Tashr al-Jin al-Islm
Muqranan bi al-Qnn al-Wad}, 154.
92
8
Penimbun
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Pedagang
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
10
Penghadiah
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
11
12
Prormotor
Pemberi izin
Sda
Sda
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Keterangan:
Bentuk Jarimah: meminum, memproduksi, menyediakan, memasok, mengangkut, menimbun,
memperdagangkan, menghadiahkan, mempromosikan, dan memberikan izin; Ts = Tidak sesuai;
dan Ss = Sesuai
Abdul al-Qadir U<d> ah, al-Tashr` al-Jin al-Isla>mi> Muqrinan bi alQnn al-Wad}i>, 425.
191
Abd al-Rah}man al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala> al- Madha>hib al-Arbaah, 27.
93
. :
) .
(
Perumpamaan orang yang melaksanakan hukuman Allah
(h}udu>d Allah) dan orang yang melanggarnya adalah bagaikan orangorang yang berbagi tempat dalam perahu. Sebagian dari mereka berada
di atas dan sebagian lainnya berada di bawah . Orang-orang yang
192
Abu> Ma>lik Kamal bin al-Sayyid Salim, S}ah}ih} Fiqh al-Sunnah, H}udu>d,
Jinyt dan Diyat, Jual Beli (Terj.), 131.
193
Abd al-Rah}ma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala> al-Madha>hib al-Arbaah, 29.
94
.
Muslim telah meriwayatkan dari Anas ra., Nabi Saw pernah
menghukum dera pada kasus khamar dengan lidi dan sandal sebanyak
40 kali dera.194
Senada dengan fiqh yang memiliki pendapat yang bermacam
ragam tentang hukuman yang menyangkut dengan praktek tindak
pidana yang terkait dengan minuman beralkohol, Qanun No. 12 Tahun
2003 Pasal 29 menyatakan bahwa pengulangan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, yakni dengan
mengkonsumsikan khamar maka uqbt yang diterima sesorang dapat
ditambah 1/3 (sepertiga) dari uqubat maksimal, bila berupa h}add (40 kali
cambuk) maka sehingga mencapai 53 kali cambuk. Sedangkan bila
berupa denda (tazi>r) juga disesuaikan dengan penambahan 1/3
hukuman.195
Dengan demikian, meskipun penghukuman seperti ini ada titiktitik perbedaan dengan dengan fiqh namun tidak menyalahi fiqh,196
karena ada kalanya fiqh tidak mengatakan penambahan 1/3 dari hukuman
h}dd, yang ada adalah perlu adanya anjuran penambahan hukuman atau
194
95
.
Para Imam (mazhab) sepakat bahwa wajib, bukan makruh, hukumnya h}add
pada praktek minum khamar, baik sedikit maupun banyak.
96
97
Abu> Ma>lik Kamal bin al-Sayyid Salim, S}ah}ih} Fiqh al-Sunnah, H}udu>d,
Jinyt dan Diyat, Jual Beli, (Terj.), 8-9.
98
99
Sumber:
http://pesanrakyat.blogspot.com/
2011/01/4-konsumen-tuak-diaceh-besar-di-cambuk.html
100
208
Syamsuhadi
Nasional , 45.
Irsyad,
101
No
1.
2.
Jarimah
(Tindak Pidana)
Pelaku
Cambuk
Berjudi
Orang
6 12
kali
Penyedia
fasilitas,
penyelenggara,
pelindung, atau
Orang,
badan
hukum, dan
aparat
15-35
juta
209
Kurungan
Denda
102
pemberi izin
perjudian
pemerintah
211
103
104
Teknis pelaksanaan
Teknis pelaksanaan qanun mengatur prosesi dan teknis
pengeksekusian pelaku yang benar-benar terlibat di dalamnya dan ada
suatu keputusan hakim yang didasari penyelidikan secara matang.
Pelaksanaan pengeksekusian judi, sama halnya dengan pengeksekusian
praktek jinayat lainnya. Hal ini diatur di dalam Bab VIII Pasal 28-31
Qanu ini. Dikatakan dalam Pasal 28 bahwa (1) uqu>ba>t cambuk
dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut
Umum; dan (2) dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang
benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain. Lihat juga
Pasal 1 Angka 16 KUHAP.
217
Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 26.
218
Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 29 Ayat (1) dan (2).
219
Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 31.
105
diatur dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang akan diatur dalam
Qanun tentang hukum formil.220
Menyangkut dengan personel (algojo) yang melakukan eksekusi
dan alat yang digunakan untuk mencambuk juga telah ditetapkan
sebagaimana alat yang digunakan untuk mencambuk pelaku tindak
pidana lainnya selain judi.
c. Tempat eksekusi
Prosesi hukuman diperlihatkan kepada orang banyak. Apakah
diminta atau tidak, masyarakat memiliki kesadaran tentang perlunya
menghadiri dan menyaksikan pengeksekusian suatu tindak pidana dalam
Islam. Fenomena yang terkait dengan ini dinyatakan dalam Pasal 30 Ayat
(1). Dikatakan bahwa uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat yang
dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum
dan dokter yang ditunjuk. Sebagai contoh, fenomena ini pernah
dipraktekkan Mahkamah Kuala Simpang. Mahkamah telah melakukan
eksekusi pencambukan terhadap terhukum di depan halaman Masjid Nur
Hasanah Karang Baru, Aceh Tamiang.221 Mahkamah Syariyah Kuala
Simpang juga pernah melaksanakan eksekusi di depan Kantor Kejari,
Kuala Simpang pada tanggal 28 Oktober 2010. 222
Bagian fisik terhukum yang dapat dekenakan cemeti cambukan,
dikatakan di dalam Ayat (3), yaitu pencambukan dilakukan pada bagian
tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemaluan. Posisi terhukum
di panggung eksekusi, dikatakan di dalam Ayat (5), yakni bahwa
terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa
diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat.223
Terhadap terhukum perempuan, pencambukan dilakukan dalam
posisi duduk dan ditutup kain di atasnya. Khusus bagi wanita yang
sedang hamil Qanun melarang dilakukan pengeksekusian. Di dalam Pasal
30 Ayat (6) dikatakan, pencambukan terhadap perempuan hamil
dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang bersangkutan
220
106
). .
107
Abd al-Qadir U<d> ah, al-Tashr` al-Jin al-Isla>mi> Muqrinan bi al- Qnn
al-Wad}i>, 424.
229
Madhhab Hanafi>yah dan Shafiiyah dan H}ana>bilah menyatakan bahwa
hukuman tazi>r jangan menyalahi sebab. H}anafi>yah setuju dengan hukuman cambuk
tidak lebih dari 39 kali. Sedangkan Shafii>yah dan Ha}naq>bilah menyetujui batas
maksimal cambuk tazi>r sebanyak 19 kali. Sedangkan Maliki>yah membolehkan tazi>r
melebihi h}add dengan tinjauan ada kemaslahatan. Lihat Abd al-Rah}man - al Jazi>ri>, alFiqh ala> al- Madha>hib al-Arbaah , Jilid 5, 308. Lihat juga Abdu al-Qadir U<>dah, alTashr al-Jin al-Islm Muqranan bi al-Qnn al-Wad}, 154.
108
Tabel 3.4:
Hukum Jarimah Judi dalam Perspektif Fiqh
Hukuman dan Kesesuaiannya dengan Fiqh
Tazi>r
Tazi>r
Cambuk
Kurungan
Denda
6-12
kali
15-35
juta
rupiah
Ss
Ss
Hanabilah
Penjudi
Tazi>r
Shafiiyah
Pelaku tindak
pidana/jarimah
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Malikiyah
No
Perspektif Fiqh
Hanafiyah
Hukuman
Ss
Penyedia
Fasilitas
Penyelenggara
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Pelindung
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
4
5
Pemberi Izin
fasilitas,
Mazhab
Lain
nya
menyekenggarakan,
230
109
(:[]).
Wahai orang orang yang beriman janganlah kalian memakan harta
sesame kalian dengan jalan yang batil (tidak hak), dan kalian membawakannya
231
110
kepada hakim agar kalian dapat memakan sebagian harta manusia dengan
dengan dosa sementara kalian mengetahui (Qs. al-Baqarah [2] ayat 188).
232
111
: . :
.
112
238
113
Gambar 3.2:
Gambar 3.2 menunjukkan seorang algojo
sedang mengeksekusi cambuk seorang
penjudi/petogel di Langsa. Pencambukan
dilakukan sebanyak enam kali yang digelar
di Lapangan Merdeka Langsa pada 6 Juni
2011 yang digelar oleh Kejaksaan Negeri
(Kejari) Langsa.240
114
1.
No.
Khlawat
(Mesum)
Pelaku
Pelaku mesum
Orang
Penyedia
fasilitas,
penyelenggara,
pelindung, atau
pemberi izin
khalwat
Orang,
badan
hukum, atau
aparat
pemerintah
Cambuk
3 9 kali
Kurungan
Denda
2,5
10 juta
2 6 bulan
5 15
juta
115
Dikatakan dalam Pasal 1 huruf (o) Qanun No. 14 Tahun 2003, Jaksa adalah
Jaksa Nanggroe Aceh Darussalam yang diberitugas dan wewenang menjalankan tugas
khusus di bidang Syariat Islam. Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 1 huruf (o).
244
Sharia Poice Arrasted for Rape, The Jakarta Post, January 16, 2010,
1.Lihat juga Wahyu Hidayat, WH Amankan Pasangan Mesum, Waspada, 02
Augustus 2010 , 8.
116
117
118
248
119
120
254
121
( ) :
Dari
:
257
( )
Dari Uqbah bin A>mir bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
Jauhilah olehmu dari memasuki (kamar) perempuan. Lalu seorang lakilaki dari golongan Ans}a>r bertanya: bagaimana jika saudara laki-laki
suami? Rasulullah Saw menjawab: Saudara laki-laki suami mematikan.
(HR. Bukhari dan Muslim).
Praktek khalwat kerab dikategorikan ke dalam perkara yang
mendekati zina yang sebenarnya.258 Allah SWT dalam al-Quran
mengatakan:
( :[]
Muhammad al-Lut}fi al-S{ibgh, Tah}rm al-Khulwah bi al-Marah alAjnabi>yah wa al-Ikhtila>t} al-Mustahtir (Riyad}: Idrt al-Buh}u>th al-Ilmyah wa al-Ift
wa al-Dawah wa al-Irshd, 1411 H), 123.
258
Muhammad al-Lut}fi> al-Siba>g, Tahri>m al-Khalwah bi al-Marah alAjnabi>yah wa al-Ikhtila>t} al-Mustahtir , 22.
122
3.
123
124
Jenis perkara
Tahun 2007
Diterima
a.
b.
c
Khamar/Min. Keras
13
18
27
58
Maisir/Perjudian
Khalwat
Jumlah
Tahun 2008
Diputuskan
[14] 13
13
20
47
Diterima
8
38
9
55
Diputuskan
8
38
9
55
Keterangan:
Selama tahun 2007 perkara jinayah Mahkamah Syariyah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang diterima sebanyak 58 perkara. Sedangkan kasus dapat diputuskan
cuma 47 perkara. Sementara tahun 2008 sebanyak 55 kasus, dan dapat diputuskan
semuanya.
Tabel 3.7:
Perkara Banding [Jinayat] Mahkamah Syariyah Provinsi NAD Tahun 2007 dan Tahun
2008.
No.
Jenis perkara
Tahun 2007
Diterima
a.
b.
c
Khamar/Min. Keras
Maisir/Perjudian
Khalwat
Jumlah
2
7
2
11
Diputuskan
2
7
2
11
Tahun 2008
Diterima
2
2
Diputuskan
2
2
Keterangan:
262
Syamsuhadi
Nasional, 45.s
Irsyad,
125
Selama tahun 2007 perkara banding jinayah Mahkamah Syariyah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang diterima sebanyak 11 perkara. Semua kasus tersebut dapat diputuskan pada
tahun itu juga. Demikian juga yang terjadi pada tahun 2008.263
126
Table 3.8:
Hukum Jarimah Mesum dalam Perspektif Fiqh:
Hukuman dan Kesesuaiannya dengan HAM
Pelindung
Promotor
Pemberi
Izin
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Tazi>r
Tazi>r
Kurungan
Denda
3-9 kali
3 bulan1 tahun
Sda
Sda
Sda
2,5 10
juta
5 15
juta
Shafiiyah
Ss
Tazi>r
Cambuk
Malikiyah
Mazhab
Lainnya
Perspektif HAM
Hanabilah
Hukuman
Hanafiayah
No
Pelaku
tindak
tindak
pidana/jarimah
Pelaku
mesum
Penyedia
fasilitas
127
BAB
PELAKSANAAN
HUKUM JINAYAT DI
ACEH
DALAM PERSPEKTIF
HAM
A.
UU No. 11 Tahun 2006 Bab XVII Pasal 125, 126, dan 127. Lihat juga
Keputusan Mahkamah Agung RI No. KMA/070/SK/X/2004 tanggal 6 Oktober 2004
tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah
Syariyah di Prov. NAD.
128
129
130
lebih menonjol pada aspek penghukuman (uqu>ba>t). Oleh karena itu yang
perlu ditekankan dalam pembahasan ini adalah aspek uqubat (hukuman)
yang ditimbulkan karena pelanggaran Qanun ini. Maka di samping
membahas tentang perspektif HAM terhadap khamar dan uqu>ba>t-nya,
juga menyinggung tentang perundang-undangan lainnnya (selain Qanun)
yang berlaku di Indonesia yang membahas tentang khamar, sehingga
akan jelas bagaimana aplikasi qanun dalam tatanan hukum di Indonesia.
Dengan demikian semakin menampakkan fenomena yuridis pelaksanaan
Qanun Jinayat ini dalam menelaah sudut pandang konsep HAM,
khususnya tentang khamar yang sedang dibahas sekarang ini.
Penghukuman h}add yang diterapkan Qanun terhadap peminum
khamar merupakan aplikasi suatu perintah/kewajiaban dalam Islam bagi
penganutnya. Diakui M. H. Syed, seorang pakar HAM dalam Islam,
bahwa khamar (alcohol) merupakan larangan yang tidak dapat dielakkan
(undeniably).
Masyarakat
Islam
tidak
pernah
menyetujui
penggunaannnya.274 Senada dengan M. H. Syed, Qanun Aceh
menetapkan penghukuman bagi peminum khamar. Penetapan ini agar
memperoleh dua keuntungan, yaitu (1) pahala bila dapat disesuaikan
dengan ketentuan di samping merupakan jalan bertaubat bagi orang
muslim yang terlanjur meminum khamar;275 dan (2) agar masyarakat
muslim dapat terhindar dari perilaku negative dalam kebiasaan sikap
dalam meminum khamar dan akibat negative lain yang bakal ditimbulkan
dari eksistensi substansi khamar di dalam raga dan jiwa seseorang
muslim.276Walaupun demikian, sebagaimana diakui Joseph Schacht,
bahwa hukuman h}add khamar tidak diterapkan tanpa bukti yang dapat
277
diterima.
Telah disinggung pada Bab I penelitian ini bahwa tujuan
pengqanunan hukum (jinayat) ini agar menimbukan perasaan takut
terhadap hukuman bagi orang untuk mengkonsumsikannya baik
hukuman di duniamelalui penerapan Qanun ini, maupun di akhirat
bagi orang-orang yang beriman kepada hari Akhir. Amir Muallimin,
274
131
278
132
281
133
134
135
Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariat Islam dan HAM, Dampak
pada Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan non-Muslim,
214
292
Alyasa Abu Bakar, Syariat Islam Jangan Bertentangan dengan HAM,
Serambi Indonesia, 10 Juni 2010, 3.
293
MPU, Qanun Syariat Perlu Disempurnakan, Serambi Indonesia, 1
Desember 2010, 1.
136
137
perubahan sosial di dalam dimensi ruang dan waktu. Konsep hak asasi
manusia modern (tersebut) dikembangkan setelah adanya malapetaka
perang dunia ke dua (the Second World War), khususnya respon terhadap
holokus ( pembunuhan massal/holocaust), yang mencapai puncak pada
adopsinya oleh Pernyataan Sejagat Hak-hak asasi Manusia ( the Universal
Declaration of Human Rights) oleh Majlis Umum PBB (the United Nations
General Assembly) pada tahun 1948. Maka frase human rights
merupakan landasan relatif modern dari konsep modern yang dapat
dijejaki melalui sejarah filosofis dan konsep-konsep hukum kebebasan
dan hak alamiah yang berkembang sejak masa berdirinya Negara-negara
kota Yunani kuno (the city states of Classical Greece) dan perkembangan
hukum Romawi (Roman Law). 296
Nuansa HAM dewasa ini menunjukkan bahwa konsep DUHAM
inilah yang membawa dampak pada pelaksanaan penegakan HAM bagi
zaman kontemporer ini, meskipun sejak waktu dideklarasikan, sudah ada
perdebatan-perdebatan mengenai konsep HAM ini. Perdebatan itu
melahirkan dua konsep sikap dunia, yaitu pertama Radical Cultural
relativism, yang berarti nilai-nilai budayalah yang dijadikan pijakan
pedoman bagi penentuan Hak Asasi Manusia; kedua adalah Individual
Cultural Universalism yang berarti individulah yang berhak menentukan
sikap tentang haknya. Dua paham hak asasi ini terlihat pada komentarkomentar tokoh dunia dalam menanggapi The Universal Declaration of
Human Rights 1948.
Lee Kuan Yew, mantan Perdana Meteri Singapore, mengatakan
bahwa nilai-nilai Asia memiliki perbedaan sifgnifikan dengan nilai-nlai
Barat termasuk nilai-nilai loyalitas dan kebebasan pribadi demi untuk
stabilitas sosial dan kemakmuran. Karena itu pemerintah otoriter adalah
lebih cocok di Asia dari pada demokrasi. Karena adanya perbedaan nilai
tersebut, ia menolak UDHR 1948 itu.Tanggapan demikian dapat dilihat
pada ungkapan:
Cultural relativism is a self-detonating position; if
cultural relativism is true, then universalism must also be true.
Relativistic arguments tend to neglect the fact that modern human
rights are new to all cultures, dating back no further than the
296
138
UDHR in 1948. They also don't account for the fact that the
UDHR was drafted by people from many different cultures and
traditions, including a US Roman Catholic, a Chinese Confucian
philosopher, a French zionist and a representative from the Arab
League, amongst others, and drew upon advice from thinkers
such as Mahatma Gandhi. 297
298
2010).
2010).
299
139
300
140
301
141
142
bidang HAM yang bersifat sangat penting ini, menetapkan bahwa hak
tersebut merupakan hak fundamental yang tidak boleh dikurangi dengan
alasan apapun (non deroglabed rights). Juga dikatakan dalam Pasal 10
Ayat (1) bahwa setiap orang yang dirampas kemerdekaannya wajib
diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang
melekat pada diri manusia tersebut. Kedua butir International Covenants
on Civil and Politics Rights kerab dikaitkan dengan hukuman jinayat
ditetapkan dalam Islam.
Selain itu, di dalam penjelasan tentang kesepakatan tentang
perlawanan terhadap penyiksaan juga dikatakan bahwa Deklarasi tentang
Perlindungan dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang
Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat (1975) yang
ditetapkan oleh Majelis Umum dalam resolusi 3452 pada 9 Desember
1975, Pasal 1 menjelaskan istilah penyiksaan sebagai: setiap
tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk menyebabkan rasa sakit
atau penderitaan yang hebat baik secara fisik maupun mental pada
seseorang oleh atau atas anjuran seorang pejabat publik, dengan maksud
untuk mendapatkan informasi atau pengakuan darinya atau dari orang
ketiga, untuk menghukumnya atas tindakan yang sudah dilakukan atau
yang diduga sudah dilakukannya, atau untuk mengintimidasi orang
tersebut atau orang lain.305
Penyiksaan yang dimaksudkan tersebut tidak termasuk rasa sakit
atau penderitaan akibat tindakan yang disengaja maupun tidak atas dasar
hukum seperti Standar Minimum Peraturan bagi Perlakuan terhadap
Tahanan. Pasal 2 menyatakan bahwa Penyiksaan terdiri dari segala
bentuk perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan
merendahkan martabat baik yang sengaja maupun tidak. Selanjutnya
Pasal 3 dari Deklarasi menyatakan bahwa tidak ada pengecualian apapun
seperti misalnya keadaan perang, ketidakstabilan politik internal atau
keadaan darurat publik lainnya yang bisa dianggap sebagai justifikasi
penyiksaan dan bentuk perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak
manusiawi dan merendahkan martabat. 306
305
143
Pemerintah RI dengan berbagai pertimbangan pada prinsipprinsip hak mendasar manusia yang tertuang dalam konsep International
Covenants on Civil and Politics Rights tersebut, telah menandatantangi
kesepakan HAM dengan PBB dalam bentuk The Covenants (kesepakatan)
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) pada tanggal 19
Desember 1996. Pemerintah juga telah meratifikasikannya ke dalam UU
No. 12 Tahun 2005.307 Ada empat pertimbangan utama Indonesia
melakukan kesepakatan:308
1) Pertimbangan pertama
Pokok-pokok pikiran yang mendorong lahirnya konvensi, adalah
faktor penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam,
tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia masih terus terjadi
di berbagai negara dan kawasan dunia, yang diakui secara luas akan
dapat merapuhkan sendi-sendi tegaknya masyarakat yang tertib, teratur,
dan berbudaya. Dalam rangka menegakkan sendi-sendi masyarakat
demikian itu, seluruh masyarakat internasional bertekad bulat melarang
dan mencegah segala bentuk tindak penyiksaan, baik jasmaniah maupun
rohaniah. Masyarakat internasional sepakat untuk melakukan pelarangan
dan pencegahan terhadap tindakan penyiksaan ini dalam suatu wadah
perangkat internasional yang mengikat semua Negara Pihak secara
hukum.
2) Pertimbangan kedua
Mengingat yang menjadi alasan Indonesia menjadi Negara
pihak adalah: (1) Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa
Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan
hukum nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti
tercermin dalam Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Asas ini
merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia tertekad untuk
mencegah dan melarang segala bentuk penyiksaan, sesuai dengan
Konvensi ini; (2) dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan
Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia pada dasarnya telah menetapkan
peraturan perundang-undangan yang langsung mengatur pencegahan dan
307
144
Having regard also to the Declaration on the Protection of All Persons from
Being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment, adopted by the General Assembly on 9 December 1975 (resolution 3452
(XXX)
145
310
204
311
http://www1.umn.edu/humanrts/instree/cairodeclaration.html (diakses
tanggal 7 Desember 2010).
312
Lihat Iben, Catatan Akhir Tahun Hak Asasi Manusia, Komnas
HAM, 12 Agustus 2009, 6. Lihat juga Martino Sardi, Macam-Macam Hak-hak Asasi
Manusia, Komnas HAM, 14 Mei 2010, 1. Lihat juga Syaldi Sahude , Instrumen
HAM Internasional yang Telah Diratifikasi Indonesia, (Artikel) Fact Sheet, Komnas
HAM dan Berbagai Sumber Lainnya, 8 Mei 2009 (diakses tanggal 12 Desember 2010).
Sementara Masudi mengatakan, meskipun hukuman badan (h}udu}d)
terhadap tindakan kriminal (jari>mah) telah dibahas secara teoritis oleh pakar Fiqh
muslim Indonesiaberdasarkan penafsiran terhadap al-Quran dan h}adith, di dalam
prakteknya, ia tidak diaplikasikan di Indonesia, semenjak Negara tidak menyatakan
h}udu>d ini sebagai bagian dari hukum Islam, atau shariah. Namun, Negara
menggunakan undang-undang sekuler. Sarjana Muslim Indonesia seperti Masykuri
Abdillah tidak setuju tujuh kata dari Piagam Jakarta: Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya dikembalikan. Oleh karena itu, bukan
146
hanya potong tangan bagi pencuri yang dilarang, namun juga rajam bagi penzina dan
hukuman mati bagi pelangggar hukum/ murtad. Lihat Ahmad Azhar Basyir, Ikhtisar
Fikih Jinayat (Jogjakarta: UII Press, 2000).76. Lihat juga Masudi, Islam dan Hak-hak
Reproduksi Perempuan, 189-190.
313
Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQuen, Islam and Human Rights in
Practice Prospectives across the Ummah, 144.
147
314
(1) Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be subjected
to arbitrary arrest or detention. No one shall be deprived of his liberty except on
such grounds and in accordance with such procedure as are established by law.
(2) Anyone who is arrested shall be informed, at the time of arrest, of the reasons for
his arrest and shall be promptly informed of any charges against him.
(3) Anyone arrested or detained on a criminal charge shall be brought promptly before
a judge or other officer authorized by law to exercise judicial power and shall be
entitled to trial within a reasonable time or to release. It shall not be the general rule
that persons awaiting trial shall be detained in custody, but release may be subject
to guarantees to appear for trial, at any other stage of the judicial proceedings, and,
should occasion arise, for execution of the judgement.
(4) Anyone who is deprived of his liberty by arrest or detention shall be entitled to take
proceedings before a court, in order that that court may decide without delay on the
lawfulness of his detention and order his release if the detention is not lawful.
(5) Anyone who has been the victim of unlawful arrest or detention shall have an
enforceable right to compensation.
315
Article 14:
(1) All persons shall be equal before the courts and tribunals. In the determination of
any criminal charge against him, or of his rights and obligations in a suit at law,
everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent
and impartial tribunal established by law. The press and the public may be excluded
from all or part of a trial for reasons of morals, public order (ordre public) or
national security in a democratic society, or when the interest of the private lives of
the parties so requires, or to the extent strictly necessary in the opinion of the court
in special circumstances where publicity would prejudice the interests of justice;
but any judgement rendered in a criminal case or in a suit at law shall be made
public except where the interest of juvenile persons otherwise requires or the
proceedings concern matrimonial disputes or the guardianship of children.
(2) Everyone charged with a criminal offence shall have the right to be presumed
innocent until proved guilty according to law.
148
149
tentang pasal 7 yang dimiliki Mayer dan Komnas HAM RI. Pemahaman
keduanya tentang Pasal 7 tersebut bahwa sama-sama mengakui
pelanggaran HAM bila hukuman dijatuhkan atas manusia yang tidak
melakukan tindak pidana/kesalahan, termasuk tidak meminum
khamar.316
Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim dalam buku mereka
Syariat Islam dan HAM, Dampak pada Perda Syariah terhadap
Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan non-Muslim telah mengutip
beberapa pandangan pakar HAM muslim dalam menanggapi perkara
HAM. Abdullahi Ahmed A. An-Naim, misalnya, menawarkan teknik
penafsiran (Fiqh) yang disebut Evolusi Syariah. Menurutnya,
bagaimanapun hukum Islam harus dibuat fleksibel sebagaimana yang
berlaku pada era Islam periode Mekkah. A. An-Naim juga menawarkan
prinsip resiprositas (reciprocity), yang juga dikenal Golden Rule. Prinsip
ini membuat seseorang memperlakukan orang lain dengan ideal-ideal
civil rights yang sama. Pakar lain, Basam Tibi juga menyarankan agar
syariat Islam di zaman modern dibuat sebagaimana masa prakondisi,
yakni bagaimana membuat hukum Islam lebih fleksibel sehingga dapat
menampung apa yang disebutnya sebagai cultural accommodation of
change, seperti HAM universal.317
Memahami pandangan para pakar HAM di atas, dapat dikatakan
bahwa realitas civil rights yang diatur ICCPR tidak ditemukan
pertentangan yang berarti antara ICCPR dan Qanun Khamar. Qanun
menetapkan h}add yang paling ringan terhadap pelaku khamar, yang
bersumber dari ketentuan-ketentuan yang diatur Fiqh Islam. Oleh karena
itu penafsiran tentang HAM dan hukum jinayat tidak mengahalagi
penerapan hukum Islam menurut persepsi dan kondisi umat Islam berada
(seperti di Aceh). Penerapan h}add terhadap pelaku minum khamar di
Aceh merupakan hasil konsensus legislatif dan eksekutif Aceh dalam
rangka pengaturan hukum bagi tindak pidana khamar yang juga diajarkan
316
150
Fiqh Islam, di samping ada konsideran terhadap hukum perundangundangan yang berlaku di Indonesia.318
Tidak disalahkan, bila dalam (salah satu) Komentar Umum No.
20 (1992) dari Komite Hak Asasi Manusia. Komite Hak Asasi Manusia
memberitahukan bahwa Negara Pihak berkewajiban memberikan
perlindungan pada semua orang melalui perundang-undangan dan adanya
pelarangan tindakan tertentu dalam Pasal 7. Di galam Komentar Umum
itu dikatakan, pelarangan ini juga termasuk hukuman fisik seperti
hukuman berat untuk sebuah kejahatan atau cara pendisiplinan. Negara
Pihak tidak boleh membiarkan individu mengalami resiko penyiksaan,
perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
martabat ketika individu tersebut kembali dalam proses ekstradisi atau
pengusiran. Mempertimbangkan hal ini, Qanun khamar, sebagaimana
keterangan di atas, memaknai bahwa hukuman yang diterapkan Qanun
merupakan salah satu hukum perundang-undangan yang tidak termasuk
penghukuman berat dan mengerikan, namun masih dalam batas
kewajaran sesuai kesalahan pelaku.
Dikatakan Hasanuddin, salah seorang tokoh di Aceh, bahwa
minum arak dan dan sejumlah kejahatan lain seperti zina dan menuduh
orang lain berzina tanpa cukup saksi merupakan perbuatan keji dan jahat.
Karena itu ketika hukuman cambuk diberikan kepada pelakunya tidaklah
berlebihan dan tidaklah melanggar HAM bagi orang yang berpikiran dan
objektif dalam berpikir, karena pelakunya telah melanggar sejumlah hak
orang lain. Hanya orang-orang yang mengedepankan hawa nafsu sajalah
yang menuduh hukum cambuk melanggar HAM serta tidak berperi
318
151
319
Hasanuddin Yusuf Adan, Aceh Antara Hukuman Cambuk dan HAM , Lihat
http://ummahonline wordpress.com/2010/02/19/aceh-antar-hukum-cambuk-dan-ham/
(diakses 9 Desember 2010).
320
Pembukaan Qanun No. 12 Tahun 2003.
152
b.
153
154
Lihat Deklarasi Perlindungan bagi semua orang dari Sasaran Penyiksaan dan
Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan
Martabat Manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada 9 Desember 1975.
327
Sulaiman Abdurrahman Al Hageel, Human Rights in Islam and Refutation
of Miscoseived Allegations Assosiated with These Rights, 1999.
155
328
156
157
Allah, dan yang paling dicintai di sisi-Nya adalah yang paling bermanfaat
dari hamba-hamba-Nya. Tidak ada seorangpun yang berkuasa atas yang
lain kecuali atas dasar kesalehan dan tingkah laku yang baik.334
Konsep HAM Islam ini menyatakan bahwa pelaksanaan Hukum
Islam adalah berdasarkan penafsiran umat Islam tentang syariat Islam
sebagaimana terkandung dalam Fiqh Islam yang bersumber dari AlQuran dan Sunnah.335
Senada dengan konsep HAM dalam Deklarasi Kairo, Qanun No.
12 Tahun 2003 juga mengutarakan sejumlah kandungan Fiqh Jinayah
yang ada dalamnya. Di dalam Pasal 1 Ayat (19) Qanun dikatakan, bahwa
Uqubat adalah ancaman uqu>ba>t terhadap pelanggaran jarimah qisas-diat,
h>udu>d dan tazi>r .336
Aspek yang perbedaan antara Cairo Declaration on Human
Rights in
Islam dengan Qanun Aceh terdapat dalam volume
penghukuman dana ruang lingkup perkara jinayat. Cairo Declaration
on Human Rights in Islam menyatakan bahwa hukum h}add dalam Islam
(yang berupa potong tangan pencuri, dan bahkan hukuman mati bagi
pelaku murtad, dan rajam bagi penzina muh}san dan cambuk bagi pelaku
khamar) merupakan kebolehan/anjuran
bila
mahkamah syariat
Islam/hakim di suatu Negara Islam memutuskan/menerapkan demikian.
H}add tidak dikategorikan melanggar hak individu, dan penyiksaan yang
menyiksa dan merendahkan martabat manusia sebagaimana yang ada di
dalam pernyataan DUHAM dan CAT, dan tidak melanggar hak sipil
sebagaimana diatur ICCPR, dan instrument/kompenen HAM terkait
lainnya.337
334
158
338
Qs. al-H{ujura>t [50]: 12. Lihat juga Keppres No. 3 Tahun 1997.
Abdu al-Qadi>r U<dah, al-Tashri>` al Jin Muqrinan bi al- Qnn alWad}i>, 45-61. Lihat juga Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh:
Problem, Solusi dan Implementasi, 37.
340
CDHRI 1990 Pasal 19 Ayat 1-4.
339
159
160
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 3rd
Edition (Colorado: Westview, 1999), 76.
344
Lihat DIUHR 1981 Bab IV.
161
162
347
163
164
tersebut juga dapat dibaca pada Pasal 32 Qanun ini yang mengatakan:
(1) Pelaksanaan uqu>ba>t dilakukan segera setelah putusan hakim
mempunyai kekuatan hukum tetap; dan (2) Penundaan pelaksanaan
uqu>ba>t hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala
Kejaksaan apabila terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum
setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang.353
Memang kadang kala terjadi ketimpangan-ketimpangan dalam
proses pelaksanaan Qanun ini. Penegakan hukum memiliki resiko bagi
semua pihak yang terlibat di dalamnya. Namun sebagimana semboyan
di mana bumi dipijak disitu langit dijunjung, maka tidak mustahil
pelanggaran-pelanggaran akan terjadi baik disengaja ataupun tidak oleh
pihak yang terlibat dalam pemrosesan perkara. Untuk itu keahlian dan
etika hukum pada oknum-oknum yang yang bersangkutan sangat
diperlukan.
Dalam konteks ini, penanggung jawab terhadap kesepakatan
HAM internasional bukan dipikul pemerintah Aceh semata tetapi oleh
pemerintah Indonesia, karena Aceh bagian dari Indonesia. Komnas HAM
dapat melakukan negosiasi dengan Mahkamah Agung terhadap perkara
yang menyangkut dengan penegakan hukum cambuk bagi pelaku khamar
di Aceh, tanpa mengabaikan hak Otonomi yang diberikan kepada Aceh.
Semua pihak dapat berpedoman kepada Hukum perundang-undangan
yang berlaku.354
Bukan hanya di Aceh, telah dialami Sudan bahwa upaya untuk
menerapkan syariat sudah dihadapkan dengan kontroversi, kekerasan,
bahkan peperangan (seperti perang saudara Sudan yang ke-2--Second
Sudanese Civil War) yang berkaitan dengan perselisihan antara syariah dan
konsep-konsep internasional, terutama menyangkut dengan hak-hak
manusia (human rights) yang berkenaan dengan hak wanita, non-muslim,
ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah setelah jangka waktu 2
(dua) bulan sejak laporan diterima penyidik.
Peran yang sama juga dikatakan juga dalam Qanun No 13, Pasal 15 dan
Qanun No. 14 Tahun 2003.
353
Lihat Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 23 Ayat 1 dan 2.
354
Lihat Keputusan Mahkamah Agung RI No. KMA/070/SK/X/2004 tanggal 6
Oktober 2004 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada
Mahkamah Syariyah di Prov. NAD.
165
No
Pelaku
pidana/jarimah
355
H{add
cambuk
Tazi>r
kurungn
Tazi>r
denda
U
D
H
R
M
a
y
e
r
Komnas
HAM
RI
C
E
D
A
W
C
A
T
D
I
U
H
R
CD
HR
I
166
40 x
cambuk
Peminum
Ts
Ss
Ts
Ts
Ss
Ss
Ss
Produsen
25-75 juta
rupiah
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
3 bulan
1 tahun
Sda
Penyedia
Penjual
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
5
6
7
Pemasok
Pengangkut
Penyimpan
Sda
Sda
Sda
Sda
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
8
Penimbun
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
9
Pedagang
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
10 Penghadiah
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
11 Promotor
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
12 Pemberi izin
sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Keterangan
Bentuk jarimah: meminum, memproduksi, menyediakan, menjual, mengangkut, menyimpan,
menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan dan mempromosikan; Ts = Tidak Sesuai; dan Ss =
Sesuai.
167
168
undangan Indonesia ia berada lebih tinggi dari khamar bila dilihat pada
aspek pemidanaannya.
M. H. Syed, seorang pakar HAM dalam Islam mengatakan:
Gambling is a dishonest practice, both in act and in
spirit, for it represent an effort to make money without
working.(Judi adalah suatu praktek ketidak jujuran, baik dalam
bentuk tindakan maupun dalam mental, karena judi menunjukkan
usaha untuk memperoleh uang tanpa kerja).361
2. Pandangan HAM Universal
Penjelasan di atas tentang ketentuan hukuman bagi tindak pidana
judisebagaimana halnya Qanun tentang khamar di atas dan Qanun
tentang khalwat
(yang akan dibahas selanjutnya), memerlukan
pembahasannya menyangkut dengan HAM. Penghukuman cambuk yang
ditetapkan Qanun No. 13 Tahun 2003 bagi pelaku judi dalam pandangan
HAM sama halnya dengan hukuman terhadap tindak pidana khamar dan
khalwat, kecuali hanya volume cambukan dan penghukuman. Di dalam
Qanun judi juga terdapat penghukuman tazi>r pencambukan di depan
masyarakat umum bagi pelaku, seperti telah dialami oleh 15 terpidana
syariat (pelanggar syariat Islam) di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, yang
dieksekusi hukuman cambuk sebanyak 7-8 kali yang diperlihatkan dalam
contoh kasus di bab III Penelitian ini. Dalam kasus tersebut aspek
kategori pengukuman dan penyiksaan memang tidak terlalu berat, namun
aspek merendahkan martabat manusia dan tidak manusiawi yang
dipahami sebagian orangyang kentara terlihat pada pencambukan 6-12
kali dari qanun.
Sebagian kalangan mengatakan bahwa penghukuman seperti itu
bertentangan dengan The Universal Declaration of Human Rights Pasal
5. Karena hal itu termasuk ke dalam kategori penyiksaan yang
merendahkan martabat manusia menjadi seperti hewan--yang bisa
dicambuk bila melanggar aturan. Namun menurut konteks Islam bahwa
tidak berdosa menegakkan hukum cambuk sebagaimana yang digariskan
hukum Islam (atau telah diqanunkan). Bahkan penghukuman tazi>r
361
169
2003.
364
170
171
UIDHR 1981 Bab XV Ayat a-f Dalam Bab XVI tentang hak untuk
memiliki harta (Right to Protection of Property) juga dikatakan, No property may be
expropriated except in the public interest and on payment of fair and adequate
compensation. Lihat juga ICCPR 1966 Pasal1 Ayat (1) dan (2).
368
Rusjdi Ali Muhammad & Swa, Melanggar Syariat, Non-Muslim Boleh
Pilih Hukuman, Serambi Indonesia, 21 Juni 2011, 2.
172
Lihat Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Ciputat Press,
2005), 383.
370
173
rapat panitia dari para ahli hukum yang diselenggarakan di Taheran pada
tanggal 2628 December 1989. Para ahli menyetujuinya untuk
mengesahkan Deklarasi Kairo tentang hak-hak asasi manusia menurut
Islam yang akan menjadi petunjuk umum bagi Negara anggota dalam
hak asasi manusia, dalam rangka mengukuhkan kembali keummatan dan
kodrat manusia yang diciptakan Allah sebagai umat yang terbaik dan
memberikan kepada manusia peradaban yang paling seimbang.
CDHRI dikombinasikan dengan hukum menurut kenyakinan
Islam di mana saja umat Islam berada. Umat Islam bebas mengikuti
mazhab fiqh mereka masing-masing dalam mengamalkan syariat Islam.
CDHRI memenuhi harapan dari semua masyarakat muslim agar menjadi
panduan bagi mereka yang bingung karena perbedaan dan konflik
kepercayaan dan ideology yang terkait dengan hak. CDHRI bertujuan
untuk mengokohkan hak dan kebebasannnya dalam hidup yang
bermakna sesuai dengan syariat Islam sebagiamana kitab yang
diwahyukan (the revealed Books of Allah) dan yang terkandung dalam
sunnah Rasul-Nya (which were sent through the last of His prophets)
yang dapat mengawasi hak-hak dasar dan kebebasan-kebebasan individu
setiap muslim dan tanggung jawab kolektif dari ummat secara
keseluruhan. 373
Di antara sejumlah hak manusia CDHRI juga mengetengahkan
hak kepemilikan (proriation rights). Setiap orang memiliki hak untuk
memiliki dan mencari harta dengan cara yang halal, bukan dengan cara
perampasan dan berlawanan dengan hukum dan undang-undang. Di
dalam Pasal 10 Ayat (1) dan (2) dikatakan:
Everyone shall have the right to own property acquired in
a legitimate way, and shall be entitled to the rights of sownership
without prejudice to oneself, others or the society in general.
Expropriation is not permissible except for requirements of public
interest and upon payment of prompt and fair compensation. (2)
Confiscation and seizure of property is prohibited except for a
necessity dictated by law (Setiap orang memiliki hak untuk
373
174
CDHRI 1990 Pasal 10. Lihat juga Al-Hageel, Human Rights in Islam and
Refutation of Misconceived Allegation Associated with These Rights, 60.
375
Lihat Qs. al-Ma>idah: 91-92.
376
CDHRI 1990 Pasal 13.
175
Pelaku tindak
pidana/jarimah
judi
U
D
H
R
I
C
C
P
R
C
E
D
A
W
C
A
T
D
I
U
H
R
C
D
H
R
I
Ts
Ts
Ts
Ss
Ss
Ss
Tazi>r
kurungan
Tazi>r
denda
6-12 kali
cambuk
Tazi>r
cambuk
Penjudi
Penyedia fasilitas
15-35
juta
rupiah
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Penyelenggara
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Pelindung
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Sda
Sda
Ss
Ss Ss Ss Ss Ss
5 Pemberi izin
Catatan:
Bentuk jarimah (tindak pidana): melakukan perjudian, menyediakan fasilitas,
menyelenggarakan, melindungi, dan memberikan izin; Ts = Tidak Sesuai; dan Ss =
Sesuai.
176
378
177
178
381
Qanun No. 5 Tahun 2000. Lihat juga Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal
Pangabean, Politik Syariat Islam: dari Indonesia hingga Nigeria, 41-44.
382
Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 27 Ayat (1) dan (2).
179
Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 14 Ayat (1) sampai (3).
Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 15.
385
Sukron Kamil, dkk, Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah
terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan Non Muslim, 165.
384
180
181
Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM: Dampak
Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan Non Muslim , 134
390
Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQuen, Islam and Human Rights in
Practice Prospectives across the Ummah, 1-10.
391
Alyasa Abu Bakar, Syariat Islam jangan Bertentangan dengan HAM,
Serambi Indonesia, 10 Juni 2010, 3. Lihat juga Sukron Kamil Chaider S. Bamualim,,
Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hakhak Perempuan dan Non Muslim 207.
392
M. H. Syed, Human Rights in Islam: the Modern Perspective , 154
182
183
395
396
184
185
menyarankan agar dua ketentuan hukum yakni hukum khalwat dan dan
hukum tentang tata cara berpakaian syariah dicabut.401
HRW memberikan contoh adanya pemerkosaan terhadap tahanan
oleh oknum Wilayatul Hisbah (WH). WH yang dibentuk dalam rangka
melakukan pengawasan terhadap tidak pidana khalwat, ironisnya oknum
dari badan ini juga melakukan tindak pidana dalam menjalankan
tugasnya. Di Langsa, misalnya, 3 orang oknum dari WH yang bernama
Nazir, Feri, dan Dedi memperkosa tahanan tersangka pelaku khalwat
yang bernama Nita. Akibat tindak pidana ini ketiga oknum WH ini
dijatuhi hukuman 8 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Langsa,
Aceh.402
Pada lingkup yang lain, pejuang Hak-hak perempuan asal Iran,
Shirin Ebadi juga mengecam sejumlah Undang-undang yang mencegah
persamaan hak sebagai fakta hukum yang cacat. Ia menyarankan adanya
persamaan hak antara perempuan dan laki-laki pada kedua system yang
mengatur hak-hak asasi manusia yakni system HAM dan system Islam.
Maka interpretasi Islam tentang status perempuan di peringkat kedua di
dalam realita sosial memerlukan pertimbangan.403Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa penafsiran status gender baik menurut konsep Islam
maupun konsep HAM memerlukan perhatian semua kalangan, sehingga
tidak nampak adanya diskriminasi terhadap perempuan (discrimination
against women) dalam setiap aspek kehidupan.
Qanun khalwat menyahuti pelarangan dari mendekati zina di
dalam Islam dengan melakukan penghukuman terhadap pelaku khalwat,
agar orang tidak mudah terjermus ke dalam praktek yang mendekati
kepada perzinaan. Penghukuman khalwat lebih dekat dengan analogi
penghukuman jarimah zina yang diperintahkan Qs. al-Nu>r [34]: 2. Ayat ini
secara gamblang memerintahkan pengeksekusian pelaku tindak pidana
zina (dengan pencambukan) yang dilakukan di depan khalayak. Senada
401
186
dengan Ayat tersebut, Pasal 28 Ayat (1) Qanun ini menyatakan bahwa
uqubat cambuk (bagi pelaku khalwat) dilakukan di suatu tempat yang
dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum
dan dokter yang ditunjuk.404
Memang menurut Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women, pencambukan yang ditetapkan Qanun
No. 14 Tahun 2003 yang menerapkan eksekusi di depan umum bagi
tindak pidana khalwat, di samping bertentangan dengan HAM
universalsebagaimana diuraikan di atas, juga bertentangan dengan
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women terutama bila hukumannya dijatuhkan kepada perempuan.
Dikatakan bertentangan dengan HAM juga, karena ketentuan Qanun ini
hanya berlaku bagi laki-laki dan perempuan Islam yang berdomisili di
Aceh. Dengan demikian terdapat diskriminasi terhadap ummat Islam
dalam penghukuman.405
Berbeda dengan Komnas Perempuan, Hasanuddin Yusuf Adan
mengatakan bahwa hak dan kebebasan menjalankan ajaran agama dapat
berlaku bagi penganut agama apa saja. Kepada penganut agama Kristen
di negeri Batak dan Roma, penganut agama Yahudi di Yeruzalem dan
Palestina, penganut agama Hindu-Budha di Bali dan Thailand. Mereka
berhak menjalankan ketentuan agamanya dengan bebas asalkan tidak
mengganggu agama lain karena itu bahagian dari ketentuan HAM
internasional. Untuk itu semua jangan berkedok HAM untuk
menghancurkan Hukum Islam, kalau itu yang dilakukan maka ummat
Islam boleh menyimpulkan HAM yang menjajah hukuman cambuk dan
404
187
188
189
104.
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 102-
412
Pasal 12 CDHRI menyatakan: Every man shall have the right, within the
framework of the Shari'ah, to free movement and to select his place of residence
whether within or outside his country and if persecuted, is entitled to seek asylum in
another country. The country of refuge shall be obliged to provide protection to the
asylum-seeker until his safety has been attained, unless asylum is motivated by
committing an act regarded by the Shari'ah as a crime.
413
Lihat Pasal 13 CDHRI 1990.
190
in Islam menyatakan juga bahwa setiap orang bebas memilih pekerjaan,
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 16.
191
415
Article 9 of ICCPR:
(1) Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be subjected
to arbitrary arrest or detention. No one shall be deprived of his liberty except on
such grounds and in accordance with such procedure as are established by law.
(2) Anyone who is arrested shall be informed, at the time of arrest, of the reasons for
his arrest and shall be promptly informed of any charges against him.
(3) Anyone arrested or detained on a criminal charge shall be brought promptly before
a judge or other officer authorized by law to exercise judicial power and shall be
entitled to trial within a reasonable time or to release. It shall not be the general rule
that persons awaiting trial shall be detained in custody, but release may be subject
to guarantees to appear for trial, at any other stage of the judicial proceedings, and,
should occasion arise, for execution of the judgement.
(4) Anyone who is deprived of his liberty by arrest or detention shall be entitled to take
proceedings before a court, in order that that court may decide without delay on the
lawfulness of his detention and order his release if the detention is not lawful.
(5) Anyone who has been the victim of unlawful arrest or detention shall have an
enforceable right to compensation.
416
Article 14 of ICCPR: All persons shall be equal before the courts and
tribunals. In the determination of any criminal charge against him, or of his rights and
obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a
competent, independent and impartial tribunal established by law. The press and the
public may be excluded from all or part of a trial for reasons of morals, public order
(ordre public) or national security in a democratic society, or when the interest of the
private lives of the parties so requires, or to the extent strictly necessary in the opinion
of the court in special circumstances where publicity would prejudice the interests of
justice; but any judgement rendered in a criminal case or in a suit at law shall be made
public except where the interest of juvenile persons otherwise requires or the
proceedings concern matrimonial disputes or the guardianship of children.
417
Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall
include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds,
regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through
any other media of his choice
192
Pasal (Article) 19 of CDHRI: (a) All individuals are equal before the law,
without distinction between the ruler and the ruled; (b) The right to resort to justice is
guaranteed to everyone; (c) Liability is in essence personal; dan (d) There shall be no
crime or punishment except as provided for in the Shari'ah.
419
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 16.
420
Article 15 of ICCPR:
(1) No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any act or
omission which did not constitute a criminal offence, under national or
international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be
imposed than the one that was applicable at the time when the criminal offence was
committed. If, subsequent to the commission of the offece, provision is made by
law for the imposition of the lighter penalty, the offender shall benefit thereby; dan
(2) Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any person for any
act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according
to the general principles of law recognized by the community of nations.
193
421
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 29.
David Littman, Universal Human Rights and "Human Rights in Islam," The
Journal Midstream (New York, February/March 1999), 8.
423
194
Dikakatakan Mayer juga bahwa pihak publik kadang kala keliru dalam
memahami tentang adanya pelanggaran hak asasi bila hakim/qadi menghukum mati
orang murtad. Hukum spesifik tidak berlaku secara global. Kita tidak boleh mengatakan
Sudan melanggar HAM karena menghukum mati orang murtad. Tetapi lebih layak kita
katakan Sudan, mungkin, belum melaksanakan hukum Islam secara benar menurut
kaidah hukum Islam dunia. Karena murtad yang di suruh hukum mati oleh Nabi Saw
adalah murtad dalam kategori pengkhianatan. Yakni Nabi Saw mengkhawatirkan bila
ada orang Islam keluar dari agamanya kemudian masuk ke agama lain yang sedang
memusuhi Islam pada saat itu, ia akan membocorkan rahasia-rahasia kenegaraan Islam
(Madinah) kepada musuh. Di samping menjadi profokator yang mempengaruhi muslim
lainnya untuk ikut-ikutan keluar dari Islam. Murtad demikian jelas lebih terkait dengan
tindak pidana pengkhianatan yang merngancam keutuhan hukum Islam dalam
keseharian masyrakat yang telah susah payah ditegakkkan Nabi Saw dalam proses
pengubahan umat dari tradisi dan kondisi kejahiliahan menjadi Islam. Lihat Ann
Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 29.
425
Pasal 11 Ayat (1) dikatakan: Setiap orang yang dituduh melakukan tindak
pidana berhak untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya sesuai
dengan hukum, dalam pengadilan yang terbuka, di mana ia memperoleh semua jaminan
yang dibutuhkan untuk pembelaannya.
195
tindakan
426
196
Hukuman dan Kesesuaiannya dengan HAM
Hukuman
Perspektif HAM
Pelaku
tindak
N
o pidana/jari-
Penyedia
fasilitas
3
4
5
Pelindung
Promotor
Pemberi
izin
3-9
kali
Tazi>r
denda
Ts
Ts
Ss
Ss
2-6
bulan
2,5-10
juta
rupiah
5-15
juta
Sda
Sda
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Sda
Sda
Ss
Ss
Alyasa`
AB/M.H.Syed
kurungan
I
C
C
P
R
Komnas Pr.
Pelaku
mesum
cambuk
U
D
H
R
C
A
T
Alyasa` AB
Tazi>r
HRW/Komnas
Pr.
mah
Tazi>r
C
E
D
A
W
U
I
D
H
R
C
D
H
R
I
Ss
Ts
Ss
Ss
Ss
Ts
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ts
Ss
Ss
Ss
Ts
ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ts
Ts
Catatan:
Bentuk jarimah (tindak pidana): melakukan
mempromosikan, dan memberikan izin.
mesum,
menyediakan
fasilitas,
197
428
Lihat Anwarullah, The Crime Law of Islam, 241-263. Lihat juga Feener, R.
Michael, Mark E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and
Institution, 211.
429
Abdu al-Qadir U<>dahdi dalam al-Tashr al-Jin al-Islm Muqranan
bi al-Qnn al-Wad}, 154menulis:
198
199
432
Bernard Lewis, Islam and The West (New York: Oxford University
Press), 1993, 112.
433
200.
200
Selain rancangan qanun rajam usulan DPRA pada tahun 2009, pada tahun
2006 juga pernah ada rancangan Qanun usulan gubernur tentang h}add pencurian (alsirqah) yakni Rancangan Qanun Prov. NAD Tanggal 13 Desember 2006 tentang
Pencurian, namun kedua Qanun ini masih dalam bentuk rancangan. H{add qazaf
(penuduhan zina seseorang tanpa bukti) juga pernah dicantumkan dalam rancangan
KHJA Tahun 2008. Lihat Alyasa Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh:Upaya
Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa.
201
435
202
BAB
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penerapan Hukum Pidana Islam (Jinayat) di Aceh dalam konteks
keindonesiaan tidak terlepas dari dampak latar belakang penerapan
syariat Islam dalam sosio-historis masyarakat Aceh. Sejak pra-penjajahan
(1903) dan awal kemerdekaan (1945) masyarakat Aceh telah memiliki
kecenderungan untuk menerapkan syariat Islam dengan pembentukan
Lembaga Qada> (Mah}kamah Shari>yah) untuk peneyelesaian persoalan
hukum sehari-hari, meskipun banyak rintangan, seperti terhalang
peleburan Aceh menjadi provinsi Sumatra Utara sebelum pengesahan
UU No. 24 Tahun 1956. Namun setelah provinsi Aceh terbentuk, Aceh
kembali berupaya memperjuangkan penegakan syariat Islam. UU No. 44
Tahun 1999, UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006,
merupakan aplikasi upaya tersebut, yang merefleksikan qanun-qanun
Aceh yang menyangkut dengan pelaksanaan syariat Islam, termasuk
Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 yang mengatur tentang aturan
pelaksanaan Hukum Jinayat yang telah berlangsung hingga saat
sekarang ini.
Penelitian ini berkisar pada konsep dan penerapan Hukum Islam
yang terkandung dalan ketiga Qanun tentang Jina>yah terbut melalui
hasil studi kepustakaan dan studi pada dokomen-dokumen kasus tindak
pidana yang terjadi (terutama yang dipublikasikan media massa).
Pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh sebagian besar telah berjalan
sebagaimana yang diqanunkan.
Implementasi Hukum Jinayat yang berupa pencambukan (baik
dalam kategori h}udu>d maupun tazir) terhadap pelaku tindak pidana
khamar, judi, dan mesum yang disahkan Qanun berlangsung berdasarkan
kasus yang diajukan masyarakat, hasil penyelidikan (opsporing) Pihak
Wilayatul Hisbah, dan/atau temuan pihak terkait lainnya. Penerapan
203
204
205
B. SARAN-SARAN
Dengan adanya formalisasi hukum jinayat di Aceh, Indonesia,
hukuman bagi pelaku kriminal (termasuk tindak pidana khamar, judi dan
khalwat) dapat menjadi stimulus bagi penyadaran masyarakatdari
berbagai latar belakang agama, ras, dan budaya tentang adanya
pelaksanaan hukum jinayat di Aceh-Indonesia.
206
207
yang terjadi di Aceh merupakan realisasi Qanun (dan hukum perundangundangan lainnya) yang berdasarkan syariat Islam, pelaksanaan Qanun
tersebut diharapkan tetap menghormati UDHR1948 dan beberapa
kesepakatannya (covenant-nya)seperti ICCPR, CEDAW dan CAT
yang telah disepakati Indonesia dengan PBB, dan bahkan sudah
diratifikasi menjadi sejumlah Undang-undang untuk Indonesia.
208
DAFTAR PUSTAKA
A. Referensi dari Buku-buku.
1. Referensi dari Bahasa Arab.
Al-Biri>, Abu Hasan Ali Bin Muammad Bin abb alMward.Al-Jawmi al-Kabr fi Fiqh Madhhab al-Ima>m alShfi. Juz II. Bairut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1994.
Al-Dardiri, Aqrab al-Masalik li Madhhab Imam Malik. Nigeria:
Maktabah Aiyub, 2000.
Al-Hanbali>, al-Buhuti>. Kshshf al-Qina`. Bairut: Da>r- al-Kutub alIlmi>yah, 1997.
Ibnu Arab. Ahkm al-Qurn, Qism al- Rbi`. Bairut: Dr alMarf, 468 H.
Ibnu Farhun. Kitb Tabrt al-ukkm fi Ul al-Aqd{i>yah wa
209
210
211
212
213
214
215
216
C.
217
D.
218
INDEKS
A
Abdul Hamid II, 21
Abu Bakar (al-khalifah), 68
Abu Hanifah (Imam) 56, 58, 66, 67, 68
Abu Ishaq al-Shatibi 25
Abu Malik Kamal 66
Abu Yusuf 66
Abu Wafa 46
Abdurrahman Wahid 3, 4, 5,9, 88, ,
126
Abdussamad 26, 36
Abdul Aziz Sidqi 20
Abdul Qadir Audah 19, 40, 45, 46,
69, 75,
76
Abdul Qadir Jailani 28, 40
Abdul Mujaeb 5, 45
Abdullah Puteh 51, 40, 48, 79,
Abdurrahmnan I. Doi 25, 70, 90,
Abdullahi Ahmed An-Naim 111, 108,
130, 133
Aceh Barat 70
Aceh Besar 87
Aceh Tamiang 75
Aceh Tengah 60, 70, 79
Administrative Law 23
Al-Jaziri 69, 58
Ahmad Mukri Ali 38, 44, 50
Ahmad bin Hanbal (Imam) 13, 58, 62,
66, 67, 68
Ahmad Farhan Hamid 47
Anaeuk Jamee 26
Ann Elizabet Mayer 5, 8, 12,100, 101,
106, 107, 127
219
Aristoteles 8, 23
ASEAN 6, 8
Azyumardi Azra 12, 13, 19, 20, 2, 27.
31
CDHRI 6, 11, 12, 14,18, 143, 145, 201
CEDAW 5,6, 9,10, 35, 49, 109, 141,
201
Constitutional law, 23
Contract Law, 23
Covenants 36, 103
CRC 35, 49
Criminal Law 23
CPRW 10, 14, 49
CERD 35, 49
Chaider S. Bamualim 102
Hasanuddin 7, 8, 108,139
Helsinki 26, 29, 35, 41
Herri Maulizar 88
Hifz al-aql 25
Hifz al-din 25
Hifz al-ird 25
Hifz al-nafs 25
Hifz al-nasl 25
Hifz al-mal 25, 74
HS Bhatia 59
D
Darul Islam (DI) 1
Datu Beru 70
Daud Beureueh 1
David Clear Water 17,
David Littman 134
Diyat 43
Documentarial study 16
E
Elaine Pearson 9, 93, 94, 134, 136
Executie 49
Eropa, 27, 39
F
Fazlu Rahman 8, 9
Fath ad-Durami, 69
Al-firar min al-zahf 25
FPI 88
G
Gamawan Fauzi 80
Gerakan Aceh Merdeka (Freedom Aceh
Movement) 2
Golden Rule 108
J
Al-Jaziri 60, 62, 64, 69, 77
Jafari>, 9
Jakarta 46
Jepang, 39
John Locke 30
Jewish Law 23
220
H
Hadd 4, 8, 9, 20, 43, 47, 54, 57, 58, 59,
61, 63, 64, 65, 69, 88, 95, 108
Hasan Tiro 2
K
Kartosuwiryo 2
Khalwat 3
Khilafah Islamiyah 21 28
Khomeini 29
Komnas HAM 36, 107, 116
L
Lada Sicupa 27
Lex specialis derogaat lex generalis, 40,
93
Library research 16
M
M. B. Hooker 14, 32, 38, 47
M. H. Syed 64, 91, 128
M. Nur Djuned 71
MacQueen, 18, 144
Magna Charta 100, 110
Mahatma Gandhi, 136
Malaka 26
Mahatir Muhammad 99, 109
Marcopolo 13, 21
Martino Sardi 19, 125
Mark E. Cammack 14, 90
Marti Ahtisaari 3
Martono 53
Marwan bin al-Hakam 68
Mawardi Ismail 13, 37
Megawati Sukarnoputri 79, 34
Meulaboh 70
Meurah Silu 19. 27
Meurah Pupok 20
Moch Nur Ikhwan 44
Moh. Mahfud MD 29, 40, 90, 95, 100,
105,120 , 129, 139
221
Montesqiew 21
Muhammad Abdul Mujaeb, 62
Muhammad Arkoun 29, 41
Mahatma Gandhi 95
Muhammad Akram Laldin 72
P
Pakistan 8
Papua Barat 32
Perlak 22
Pidie Jaya 79, 80
Plenipotentiaries 8
Prevention 4
Property Law 23
Punishment 4
PUSA 2
Putroe Phang 21
Q
Qadi Malikul Adil 38
Qat`u al-tariq (robbery) 24
Qazf (false accusation) 24
Qisas 43, 47
Qiyas 23
R
Ross Clarke 14
Romanization tables 18
Rusjdi Ali Muhammad 12, 13
Syamsu Rizal Pangabean 28
Syed Serajul Islam 1, 13, 133, 141
Syiah Kuala 21
Sumaryo Suryokusumo 101
Suharto 3, 38, 79, 90
Sukron Kamil 4, 8, 9
Sumatra Utara 1
Al-Shaibani 61
Relax 77
Reusam 21
Riddah (apostasy) 23, 46
Rijal Pangabean 20, 21
R. Michael Feener 12, 14, 17, 18, 82
S
Safruddin 70.
Said Rajaie-Khorassani 112
Al-Shaibani 68
Samudra Pasai 20, 27
Said Qutb 45
SDSB, 50
Self Government 1, 40
Secular 28
Al-Shafi`I (Imam) 13, 24, 60, 65, 67
Shahram Akbarzadeh 8, 12, 13,
110, 133, 205
Shatranji 78
Shirin Ebadi 122
Snouck Hurgronje 19, 20, 29, 51,
71
Sporting gambling 50
Sidi Muhammad 22
Siasah Shari`yah 15
Statuta Roma 8
Susilo Bambang Yudhoyono 2, 79
Syamsu Rizal 19, 20, 38
Sulaiman Abdurrahman al-Hageel
6, 8, 14, 109, 115, 117,133, 204
T
Tim Linsey 47
Taufiq Adnan Amal 27, 28
Turki 29
U
UDHR 3, 8, 11, 13, 15, 18, 19, 35,
138
Ulee Balang 38
222
Uli al-Amr 69
Umar bin Khattab (Ra.) 67, 68, 74
Umar bin Abdul Aziz 68
Usman bin Affan (Ra.) 67
Uqbah bin Amir 84
Uqubat 7, 10, 57, 58, 59, 61, 74,
223
APPENDIX
UDHR 1948
UIDHR 1981
CDHRI 1990
UU RI No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR 1966
UU RI No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi CAT 1984
UU RI No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW 1979
Qanun Aceh No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar dan Sejenisnya
Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 tentang Judi
Qanun Aceh No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat
224
225
and worth of the human person and in the equal rights of men and
women and have determined to promote social progress and
better standards of life in larger freedom;
Whereas Member States have pledged themselves to achieve, in
co-operation with the United Nations, the promotion of universal
respect for and observance of human rights and fundamental
freedoms;
Whereas a common understanding of these rights and freedoms is
of the greatest importance for the full realization of this pledge;
Now, Therefore THE GENERAL ASSEMBLY proclaims
THIS UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS
as a common standard of achievement for all peoples and all
nations, to the end that every individual and every organ of
society, keeping this Declaration constantly in mind, shall strive
by teaching and education to promote respect for these rights and
freedoms and by progressive measures, national and international,
to secure their universal and effective recognition and observance,
both among the peoples of Member States themselves and among
the peoples of territories under their jurisdiction.
Article 1.
All human beings are born free and equal in dignity and
rights.They are endowed with reason and conscience and should
act towards one another in a spirit of brotherhood.
Article 2
Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this
Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour,
sex, language, religion, political or other opinion, national or
social origin, property, birth or other status.
Furthermore, no distinction shall be made on the basis of the
political, jurisdictional or international status of the country or
territory to which a person belongs, whether it be independent,
trust, non-self-governing or under any other limitation of
sovereignty.
Article 3.
Everyone has the right to life, liberty and security of person.
226
Article 4
No one shall be held in slavery or servitude; slavery and the slave
trade shall be prohibited in all their forms.
Article 5
No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or
degrading treatment or punishment.
Article 6.
Everyone has the right to recognition everywhere as a person
before the law.
Article 7.
All are equal before the law and are entitled without any
discrimination to equal protection of the law. All are entitled to
equal protection against any discrimination in violation of this
Declaration and against any incitement to such discrimination.
Article 8.
Everyone has the right to an effective remedy by the competent
national tribunals for acts violating the fundamental rights granted
him by the constitution or by law.
Article 9.
No one shall be subjected to arbitrary arrest, detention or exile.
Article 10
Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by
an independent and impartial tribunal, in the determination of his
rights and obligations and of any criminal charge against him.
Article 11
(1) Everyone charged with a penal offence has the right to be
presumed innocent until proved guilty according to law in a
public trial at which he has had all the guarantees necessary
for his defence.
(2) No one shall be held guilty of any penal offence on account of
any act or omission which did not constitute a penal offence,
under national or international law, at the time when it was
committed.
Article 12
No one shall be subjected to arbitrary interference with his
privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his
honour and reputation. Everyone has the right to the protection of
the law against such interference or attacks.
227
Article 13
(1) Everyone has the right to freedom of movement and residence
within the borders of each state.
(2) Everyone has the right to leave any country, including his
own, and to return to his country.
Article 14
(1) Everyone has the right to seek and to enjoy in other countries
asylum from persecution.
(2) This right may not be invoked in the case of prosecutions
genuinely arising from non-political crimes or from acts
contrary to the purposes and principles of the United Nations.
Article 15
(1) Everyone has the right to a nationality.
(2) No one shall be arbitrarily deprived of his nationality nor
denied the right to change his nationality.
Article 16
(1) Men and women of full age, without any limitation due to
race, nationality or religion, have the right to marry and to
found a family. They are entitled to equal rights as to
marriage, during marriage and at its dissolution.
(2) Marriage shall be entered into only with the free and full
consent of the intending spouses.
(3) The family is the natural and fundamental group unit of
society and is entitled to protection by society and the State.
Article 17
(1) Everyone has the right to own property alone as well as in
association with others.
(2) No one shall be arbitrarily deprived of his property
Article 18
Everyone has the right to freedom of thought, conscience and
religion; this right includes freedom to change his religion or
belief, and freedom, either alone or in community with others and
in public or private, to manifest his religion or belief in teaching,
practice, worship and observance.
Article 19
Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this
right includes freedom to hold opinions without interference and
228
229
230
Article 29
(1) Everyone has duties to the community in which alone the free
and full development of his personality is possible.
(2) In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be
subject only to such limitations as are determined by law
solely for the purpose of securing due recognition and respect
for the rights and freedoms of others and of meeting the just
requirements of morality, public order and the general welfare
in a democratic society.
(3) These rights and freedoms may in no case be exercised
contrary to the purposes and principles of the United Nations.
Article 30
Nothing in this Declaration may be interpreted as implying for
any State, group or person any right to engage in any activity or
to perform any act aimed at the destruction of any of the rights
and freedoms set forth herein.
231
Contents
Foreword
Preamble
I.
II.
III.
IV.
V.
VI.
VII.
VIII.
IX.
X.
XI.
XII.
XIII.
XIV.
XV.
Right to Life
Right to Freedom
Right to Equality and Prohibition Against Impermissible
Discrimination
Right to Justice
Right to Fair Trial
Right to Protection Against Abuse of Power
Right to Protection Against Torture
Right to Protection of Honour and Reputation
Right to Asylum
Rights of Minorities
Right and Obligation to Participate in the Conduct and
Management of Public Affairs
Right to Freedom of Belief, Thought and Speech
Right to Freedom of Religion
Right to Free Association
The Economic Order and the Rights Evolving Therefrom
232
XVI.
XVII.
XVIII.
XIX.
XX.
XXI.
XXII.
XXIII.
233
Century of the Islamic era, the first being the Universal Islamic
Declaration announced at the International Conference on The Prophet
Muhammad (peace and blessings be upon him) and his Message, held in
London from 12 to 15 April 1980.
The Universal Islamic Declaration of Human Rights is based on the
Qur'an and the Sunnah and has been compiled by eminent Muslim
scholars, jurists and representatives of Islamic movements and thought.
May God reward them all for their efforts and guide us along the right
path.
Paris 21 Dhul Qaidah 1401 Salem Azzam
19th September 1981 Secretary General
O men! Behold, We have created you all out of a male and a female, and
have made you into nations and tribes, so that you might come to know
one another. Verily, the noblest of you in the sight of God is the one who
is most deeply conscious of Him. Behold, God is all-knowing, all aware.
(Al Qur'an, Al-Hujurat 49:13)
Preamble
WHEREAS the age-old human aspiration for a just world order wherein
people could live, develop and prosper in an environment free from fear,
oppression, exploitation and deprivation, remains largely unfulfilled;
WHEREAS the Divine Mercy unto mankind reflected in its having been
endowed with super-abundant economic sustenance is being wasted, or
unfairly or unjustly withheld from the inhabitants of the earth;
WHEREAS Allah (God) has given mankind through His revelations in
the Holy Qur'an and the Sunnah of His Blessed Prophet Muhammad an
abiding legal and moral framework within which to establish and
regulate human institutions and relationships;
WHEREAS the human rights decreed by the Divine Law aim at
conferring dignity and honour on mankind and are designed to eliminate
oppression and injustice;
WHEREAS by virtue of their Divine source and sanction these rights can
neither be curtailed, abrogated or disregarded by authorities, assemblies
or other institutions, nor can they be surrendered or alienated;
234
235
viii)
I Right to Life
a) Human life is sacred and inviolable and every effort shall be made to
protect it. In particular no one shall be exposed to injury or death,
except under the authority of the Law.
236
II Right to Freedom
a) Man is born free. No inroads shall be made on his right to liberty
except under the authority and in due process of the Law.
b) Every individual and every people has the inalienable right to
freedom in all its forms physical, cultural, economic and
political and shall be entitled to struggle by all available means
against any infringement or abrogation of this right; and every
oppressed individual or people has a legitimate claim to the
support of other individuals and/or peoples in such a struggle.
III Right to Equality and Prohibition Against Impermissible
Discrimination
a) All persons are equal before the Law and are entitled to equal
opportunities and protection of the Law.
b) All persons shall be entitled to equal wage for equal work.
c) No person shall be denied the opportunity to work or be
discriminated against in any manner or exposed to greater
physical risk by reason of religious belief, colour, race, origin, sex
or language.
IV Right to Justice
a) Every person has the right to be treated in accordance with the
Law, and only in accordance with the Law.
b) Every person has not only the right but also the obligation to
protest against injustice; to recourse to remedies provided by the
Law in respect of any unwarranted personal injury or loss; to selfdefence against any charges that are preferred against him and to
obtain fair adjudication before an independent judicial tribunal in
any dispute with public authorities or any other person.
c) It is the right and duty of every person to defend the rights of any
other person and the community in general (Hisbah).
d) No person shall be discriminated against while seeking to defend
private and public rights.
237
238
239
240
241
242
243
244
245
246
(a)
(b)
(c)
ARTICLE 7:
As of the moment of birth, every child has rights due from the
parents, the society and the state to be accorded proper nursing,
education and material, hygienic and moral care. Both the fetus
and the mother must be safeguarded and accorded special care.
Parents and those in such like capacity have the right to choose the
type of education they desire for their children, provided they take
into consideration the interest and future of the children in
accordance with ethical values and the principles of the Shari'ah.
Both parents are entitled to certain rights from their children, and
relatives are entitled to rights from their kin, in accordance with
the tenets of the shari'ah.
ARTCLE 8:
Every human being has the right to enjoy a legitimate eligibility with all
its prerogatives and obligations in case such eligibility is lost or impaired,
the person shall have the right to be represented by his/her guardian.
ARTICLE 9:
(a) The seeking of knowledge is an obligation and provision of education
is the duty of the society and the State. The State shall ensure the
availability of ways and means to acquire education and shall
guarantee its diversity in the interest of the society so as to enable
man to be acquainted with the religion of Islam and uncover the
secrets of the Universe for the benefit of mankind.
(b) Every human being has a right to receive both religious and worldly
education from the various institutions of teaching, education and
guidance, including the family, the school, the university, the media,
etc., and in such an integrated and balanced manner that would
develop human personality, strengthen man's faith in Allah and
promote man's respect to and defence of both rights and obligations.
ARTICLE 10:
Islam is the religion of true unspoiled nature. It is prohibited to exercise
any form of pressure on man or to exploit his poverty or ignorance in
order to force him to change his religion to another religion or to atheism.
ARTICLE 11:
247
(a) Human beings are born free, and no one has the right to enslave,
humiliate, oppress or exploit them, and there can be no subjugation
but to Allah the Almighty.
(b) Colonialism of all types being one of the most evil forms of
enslavement is totally prohibited. Peoples suffering from colonialism
have the full right to freedom and self-determination. It is the duty of
all States peoples to support the struggle of colonized peoples for the
liquidation of all forms of and occupation, and all States and peoples
have the right to preserve their independent identity and econtrol over
their wealth and natural resources.
ARTICLE 12:
Every man shall have the right, within the framework of the Shari'ah, to
free movement and to select his place of residence whether within or
outside his country and if persecuted, is entitled to seek asylum in
another country. The country of refuge shall be obliged to provide
protection to the asylum-seeker until his safety has been attained, unless
asylum is motivated by committing an act regarded by the Shari'ah as a
crime.
ARTICLE 13:
Work is a right guaranteed by the State and the Society for each person
with capability to work. Everyone shall be free to choose the work that
suits him best and which serves his interests as well as those of the
society. The employee shall have the right to enjoy safety and security as
well as all other social guarantees. He may not be assigned work beyond
his capacity nor shall he be subjected to compulsion or exploited or
harmed in any way. He shall be entitled - without any discrimination
between males and females - to fair wages for his work without delay, as
well as to the holidays allowances and promotions which he deserves. On
his part, he shall be required to be dedicated and meticulous in his work.
Should workers and employers disagree on any matter, the State shall
intervene to settle the dispute and have the grievances redressed, the
rights confirmed and justice enforced without bias.
ARTICLE 14:
Everyone shall have the right to earn a legitimate living without
monopolization, deceit or causing harm to oneself or to others. Usury
(riba) is explicitly prohibited.
248
ARTICLE 15:
(a) Everyone shall have the right to own property acquired in a legitimate
way, and shall be entitled to the rights of ownership without prejudice
to oneself, others or the society in general. Expropriation is not
permissible except for requirements of public interest and upon
payment of prompt and fair compensation.
(b) Confiscation and seizure of property is prohibited except for a
necessity dictated by law.
ARTICLE 16:
Everyone shall have the right to enjoy the fruits of his scientific, literary,
artistic or technical labour of which he is the author; and he shall have
the right to the protection of his moral and material interests stemming
therefrom, provided it is not contrary to the principles of the Shari'ah.
ARTICLE 17:
(a) Everyone shall have the right to live in a clean environment, away
from vice and moral corruption, that would favour a healthy ethical
development of his person and it is incumbent upon the State and
society in general to afford that right.
(b) Everyone shall have the right to medical and social care, and to all
public amenities provided by society and the State within the limits of
their available resources.
(c) The States shall ensure the right of the individual to a decent living
that may enable him to meet his requirements and those of his
dependents, including food, clothing, housing, education, medical
care and all other basic needs.
ARTICLE 18:
(a) Everyone shall have the right to live in security for himself, his
religion, his dependents, his honour and his property.
(b) Everyone shall have the right to privacy in the conduct of his private
affairs, in his home, among his family, with regard to his property
and his relationships. It is not permitted to spy on him, to place him
under surveillance or to besmirch his good name. The State shall
protect him from arbitrary interference.
249
250
ARTICLE 23:
(a) Authority is a trust; and abuse or malicious exploitation thereof is
explicitly prohibited, in order to guarantee fundamental human rights.
(b) Everyone shall have the right to participate, directly or indirectly in
the administration of his country's public affairs. He shall also have
the right to assume public office in accordance with the provisions of
Shari'ah.
ARTICLE 24:
All the rights and freedoms stipulated in this Declaration are subject to
the Islamic Shari'ah.
ARTICLE 25:
The Islamic Shari'ah is the only source of reference for the explanation or
clarification of any of the articles of this Declaration.
sumber: http://www1.umn.edu/humanrts/instree/cairodeclaration.html
251
252
Mengingat:
1.Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28,
Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28G, Pasal 28I, dan
Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2.Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882);
3.Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
4.Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);
5.Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
208; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG
TENTANG
PENGESAHAN
INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL
253
254
255
KOVENAN INTERNASIONAL
TENTANG HAK SIPIL DAN
POLITIK
Diadopsi dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi
oleh
Resolusi
Majelis
Umum
2200A
(XXI)
tertanggal 16 Desember 1966
mulai berlaku pada 23 Maret 1976, sesuai dengan Pasal 49
Mukadimah
Negara-negara Pihak pada Kovenan ini,
Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamirkan
dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, pengakuan atas martabat
alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga
manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia,
Mengakui bahwa hak-hak ini berasal dari martabat yang melekat pada
manusia,
Mengakui bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,
yang ideal manusia bebas untuk menikmati kebebasan sipil dan politik
dan kebebasan dari rasa takut dan ingin hanya dapat dicapai apabila
kondisi diciptakan dimana semua orang dapat menikmati hak-haknya
sipil dan politik, serta sebagai hak-haknya ekonomi, sosial dan budaya,
Menimbang kewajiban Negara berdasarkan Piagam Perserikatan BangsaBangsa untuk mempromosikan penghargaan universal bagi, dan
kepatuhan terhadap, hak asasi manusia dan kebebasan,
Menyadari bahwa individu, memiliki tugas untuk orang lain dan kepada
masyarakat yang ia berasal, berada di bawah tanggung jawab untuk
berjuang untuk promosi dan ketaatan terhadap hak yang diakui dalam
Kovenan ini,
Menyetujui pasal-pasal sebagai berikut:
256
BAGIAN I
Pasal 1
1. Semua bangsa memiliki hak penentuan nasib sendiri. Berdasarkan
hak tersebut mereka bebas menentukan status politik mereka dan
bebas mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya.
2. Semua bangsa, untuk tujuan mereka sendiri, secara bebas
mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa
mengurangi kewajiban-kewajiban yang timbul dari operasi
internasional kerja sama ekonomi, berdasarkan prinsip saling
menguntungkan, dan hukum internasional. Dalam kasus tidak
mungkin orang akan kekurangan sarana subsisten sendiri.
3. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, termasuk yang memiliki
tanggung jawab atas administrasi Non-Pemerintahan Sendiri dan
Wilayah Perwalian, harus memajukan perwujudan hak penentuan
nasib sendiri, dan harus menghormati hak, sesuai dengan ketentuan
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
BAGIAN II
Pasal 2
1. Setiap Negara Pihak Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan
memastikan untuk semua individu dalam wilayahnya dan tunduk
pada yurisdiksinya hak yang diakui dalam Kovenan ini, tanpa
pembedaan apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pendapat lain, asal nasional atau sosial,
kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
2. Apabila belum diatur oleh ada tindakan legislatif atau lainnya,
masing-masing Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk
mengambil langkah yang diperlukan, sesuai dengan proses
konstitusionalnya dan dengan ketentuan dalam Kovenan ini, untuk
mengadopsi undang-undang atau tindakan lain yang mungkin
diperlukan untuk memberlakukan hak-hak yang diakui dalam
Kovenan ini.
3. Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji:
(a) Untuk memastikan bahwa setiap orang yang hak atau kebebasan
yang diakui disini dilanggar akan mempunyai obat yang efektif,
walaupun pelanggaran tersebut telah dilakukan oleh orang yang
bertindak dalam kapasitas resmi;
257
258
259
260
2.
3.
4.
5.
Pasal 10
1. Semua orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan
secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat
pada manusia.
2. Siapapun yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan
tidak sah akan memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi.
(a) Terdakwa, kecuali dalam keadaan luar biasa, harus dipisahkan
dari orang yang dihukum dan tunduk diperlakukan secara
berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang belum
dipidana;
(b) orang Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang
dewasa dan secepat mungkin untuk ajudikasi.
3. Sistem pemasyarakatan terdiri perlakuan terhadap tahanan tujuan
penting dari reformasi yang harus mereka dan rehabilitasi sosial.
261
atas
dasar
Pasal 12
1. Setiap orang secara sah berada di wilayah suatu Negara harus, dalam
wilayah tersebut, memiliki hak atas kebebasan bergerak dan
kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya.
2. Setiap orang harus bebas untuk meninggalkan negara manapun,
termasuk negerinya sendiri.
3. Hak-hak di atas tidak akan tunduk pada pembatasan kecuali yang
disediakan oleh hukum, diperlukan untuk melindungi keamanan
nasional, ketertiban umum (ordre public), kesehatan atau moral
umum atau hak-hak dan kebebasan orang lain, dan konsisten dengan
hak-hak lainnya yang diakui dalam Kovenan ini.
4. Tidak seorangpun dapat secara sewenang-wenang dirampas haknya
untuk memasuki negaranya sendiri.
Pasal 13
Alien secara sah di wilayah suatu Negara Pihak dalam Kovenan ini dapat
diusir darinya hanya menurut keputusan yang dicapai sesuai dengan
hukum dan harus, kecuali alasan kuat keamanan nasional mengharuskan
lain, diperbolehkan untuk mengajukan alasan-alasan terhadap nya
pengusiran dan agar kasusnya ditinjau oleh, dan diwakili untuk tujuan
ini, yang berwenang atau orang atau orang-orang khususnya yang
ditunjuk oleh pejabat yang berwenang.
Pasal 14
1. Semua orang harus sama di hadapan pengadilan dan dewan
pengadilan. Dalam menentukan setiap tuntutan pidana terhadap
dirinya, atau hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan hukum,
setiap orang berhak atas pengadilan yang adil dan terbuka oleh
pengadilan yang kompeten, independen dan tidak memihak yang
ditetapkan oleh hukum. Pers dan publik dapat dikecualikan dari
seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral, ketertiban umum
262
263
264
Pasal 17
1. Tidak seorangpun dapat diganggu dengan sewenang-wenang atau
melanggar hukum, keluarganya rumah privasi, atau korespondensi,
atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya.
2. Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur
tangan atau serangan.
Pasal 18
1. Hak ini harus mencakup kebebasan untuk memiliki atau
mengadopsi suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya, dan
kebebasan, baik secara individu atau dalam komunitas dengan
orang lain dan di depan umum atau swasta, untuk menyatakan
agama atau kepercayaan dalam ibadah, praktek ketaatan, dan
pengajaran.
2. Tidak seorangpun dapat dikenakan paksaan yang akan mengganggu
kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau
kepercayaan atas pilihannya.
3. Kebebasan untuk mewujudkan satu agama atau kepercayaan dapat
tunduk hanya pada pembatasan seperti yang ditentukan oleh hukum
dan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan publik,
ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak-hak mendasar dan
kebebasan orang lain.
4. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati
kebebasan orang tua dan, bila diperlukan, wali hukum untuk
memastikan bahwa pendidikan agama dan moral anak-anak mereka
sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
Pasal 19
1. Setiap orang berhak untuk memiliki pendapat tanpa gangguan.
2. Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi, hak ini termasuk
kebebasan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi
dan pemikiran apapun, tanpa batasan, baik secara lisan, tertulis atau
cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui lain media pilihannya.
3. Pelaksanaan hak yang diatur dalam ayat 2 pasal ini disertai dengan
tugas khusus dan tanggung jawab. Karena itu dapat dikenakan
pembatasan tertentu, tetapi hanya akan seperti ditentukan oleh
hukum dan diperlukan:
(a) Untuk menghormati hak atau reputasi orang lain;
265
266
2. Hak pria dan wanita usia perkawinan untuk menikah dan untuk
membentuk keluarga harus diakui.
3. Perkawinan Tidak akan dimasukkan ke dalam tanpa persetujuan
bebas dan penuh dari kedua mempelai.
4. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini harus mengambil langkah
yang sesuai untuk menjamin kesetaraan hak dan tanggung jawab
pasangan untuk perkawinan, selama perkawinan dan pada saat
perceraian. Dalam hal pembubaran, ketentuan harus dibuat untuk
perlindungan yang diperlukan dari setiap anak.
Pasal 24
1. Setiap anak harus memiliki, tanpa diskriminasi apapun seperti ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, properti agama, nasional atau
sosial, asal atau kelahiran, hak untuk tindakan perlindungan yang
dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak di bawah umur, pada bagian
keluarganya, masyarakat dan Negara.
2. Setiap anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan harus
memiliki nama.
3. Setiap anak berhak untuk memperoleh kewarganegaraan.
Pasal 25
Setiap warga negara berhak dan kesempatan, tanpa ada perbedaan yang
disebutkan dalam pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak masuk akal:
(a) Untuk mengambil bagian dalam urusan publik, secara langsung atau
melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;
(b) Untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang
murni, harus dengan hak pilih universal dan sama dan harus dimiliki
oleh pemungutan suara secara rahasia, menjamin ekspresi bebas dari
kehendak para pemilih;
(c) Untuk memiliki akses, berdasarkan ketentuan umum kesetaraan,
untuk pelayanan publik di negaranya.
Pasal 26
Semua orang sama di depan hukum dan berhak tanpa diskriminasi atas
perlindungan hukum yang sama. Dalam hal ini, hukum harus melarang
diskriminasi apapun, dan menjamin kepada semua orang yang sama dan
perlindungan yang efektif terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti
267
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau
lainnya, asal nasional atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
Pasal 27
Di negara-negara yang memiliki kelompok minoritas etnis, agama atau
bahasa, orang yang tergolong minoritas tersebut tidak boleh diingkari
haknya, dalam masyarakat dengan anggota lain dari kelompok mereka,
untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk mengakui dan praktek
agama mereka, atau untuk menggunakan bahasa mereka sendiri.
PART IV BAGIAN IV
Pasal 28
1. Harus dibentuk Komite Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut
dalam Kovenan ini sebagai Komite). Ini harus terdiri dari delapan
belas anggota dan akan melaksanakan fungsi yang disediakan
selanjutnya.
2. Komite harus terdiri dari warga negara dari Negara Pihak dalam
Kovenan ini yang harus bermoral tinggi dan diakui keahliannya di
bidang hak asasi manusia, pertimbangan yang diberikan kepada
manfaat dari keikutsertaan beberapa orang yang mempunyai
pengalaman hukum.
3. Para anggota Komite harus dipilih dan bertugas dalam kapasitas
pribadinya.
Pasal 29
1. Para anggota Komite harus dipilih dengan pemungutan suara secara
rahasia dari daftar orang-orang yang memiliki kualifikasi yang
ditentukan dalam pasal 28 dan dinominasikan untuk tujuan itu oleh
Negara Pihak dalam Kovenan ini.
2. Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini dapat mencalonkan tidak
lebih dari dua orang. Orang-orang ini harus warga negara dari
Negara pencalonan.
3. Seseorang harus memenuhi syarat untuk pencalonan kembali.
Pasal 30
1. Pemilihan pertama akan diselenggarakan tidak lebih dari enam bulan
setelah tanggal berlakunya Kovenan ini.
2. Setidaknya empat bulan sebelum tanggal setiap pemilihan Komite,
selain dari pemilihan untuk mengisi kekosongan yang telah
268
269
270
Pasal 37
1. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan
sidang pertama Komite di Markas Besar PBB.
2. Setelah pertemuan pertama ini, Komite harus bertemu pada waktuwaktu seperti ditetapkan dalam aturan tata kerjanya.
3. Komite biasanya bersidang di Markas Besar Perserikatan BangsaBangsa atau di Kantor PBB di Jenewa.
Pasal 38
Setiap anggota Komite, sebelum memulai tugasnya, membuat suatu
pernyataan yang khidmat dalam komite terbuka bahwa ia akan
melaksanakan tugasnya tanpa memihak dan dengan seksama.
Pasal 39
1. Komite harus memilih para stafnya untuk masa jabatan dua tahun.
Mereka mungkin dipilih kembali.
2. Komite harus menetapkan aturan prosedurnya sendiri, tetapi
peraturan itu harus menyediakan, antara lain, bahwa:
(a) Dua belas anggotanya merupakan kuorum;
(b) Keputusan-keputusan Komite harus dibuat berdasarkan suara
mayoritas anggota yang hadir.
Pasal 40
1. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk
menyampaikan laporan pada kebijakan mereka telah mengadopsi
yang memberikan pengaruh terhadap hak-hak yang diakui di dalam
dan tentang kemajuan yang dibuat dalam pemenuhan hak-hak
tersebut:
(a) Dalam satu tahun berlakunya dari Kovenan ini untuk Negara
Pihak yang bersangkutan;
(b) Setelah itu setiap kali Komite memintanya.
2. Semua laporan harus disampaikan kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang akan menyampaikan mereka
kepada Komite untuk dipertimbangkan. Laporan harus
menunjukkan faktor-faktor dan kesulitan-kesulitan, jika ada, yang
mempengaruhi penerapan Kovenan ini.
3. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, setelah
berkonsultasi dengan Komite, dapat meneruskan kepada badan-
271
272
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
273
274
(b) Komisi terdiri dari lima orang diterima oleh Negara Pihak yang
bersangkutan.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
275
276
Pasal 47
Tidak ada dalam Kovenan ini dapat ditafsirkan sebagai mengurangi hak
yang melekat pada semua orang untuk menikmati dan memanfaatkan
sepenuhnya dan secara bebas kekayaan dan sumber daya alam mereka.
PART VI
Pasal 48
1. Kovenan ini terbuka untuk ditandatangani oleh Negara
Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa atau anggota dari
badan khusus, oleh Negara Pihak pada Statuta Mahkamah
Internasional, dan oleh Negara lainnya yang telah diundang
oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
menjadi Pihak pada Kovenan ini.
2. Kovenan ini harus diratifikasi. Instrumen ratifikasi akan
diserahkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa untuk disimpan.
3. Kovenan ini terbuka untuk diaksesi oleh Negara manapun
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 Pasal ini.
4. Aksesi akan berlaku efektif dengan disimpannya instrumen
aksesi pada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa.
277
5.
Pasal 49
1. Kovenan ini akan mulai berlaku tiga bulan setelah tanggal
penyimpanan dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa dari ketiga puluh lima instrumen ratifikasi atau instrumen
aksesi.
2. Untuk setiap Negara yang meratifikasi Kovenan ini atau yang
melakukan aksesi setelah penyimpanan instrumen puluh lima
instrumen ratifikasi atau aksesi, Kovenan ini akan mulai berlaku
tiga bulan setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi atau
instrumen aksesi.
Pasal 50
Ketentuan-ketentuan dalam Kovenan ini berlaku bagi semua bagian dari
Negara federal tanpa ada pembatasan atau pengecualian.
Pasal 51
1. Setiap perubahan diadopsi oleh mayoritas Negara Pihak yang hadir
dan memberikan suara pada konferensi akan diserahkan kepada
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendapatkan
persetujuan.
2. Perubahan akan berlaku apabila mereka telah disetujui oleh Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan diterima oleh mayoritas duapertiga dari Negara Pihak Kovenan ini sesuai dengan proses
konstitusi masing-masing.
Pasal 52
Terlepas dari pemberitahuan yang dibuat berdasarkan Pasal 48 ayat 5,
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa wajib memberitahu semua
Negara yang dimaksud dalam ayat 1 dari Pasal yang sama, hal-hal sebagai
berikut:
(a) penandatangan, ratifikasi dan aksesi berdasarkan Pasal 48;
278
279
280
281
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 28 September 1998
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 September 1998
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AKBAR TANDJUNG
LEMBARAN NEGARA REPUBLlK INDONESIA TAHUN 1998
NOMOR 164
282
283
mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk
suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi, apabila rasa sakit
dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari,
dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat pemerintah. Hal
itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya
dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh sanksi hukum yang
berlaku.
2. Pasal ini tidak mengurangi berlakunya perangkat internasional
atau peraturan perundang-undangan nasional yang benar-benar
atau mungkin mengandung ketentuan-ketentuan dengan
penerapan yang lebih luas.
Pasal 2
Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif,
administrasi, hukum atau langkah-langkah efektif lainnya untuk
mencegah tindakan penyiksaan di dalam wilayah kekuasaannya.
2. Tidak ada pengecualian apapun, baik dalam keadaan perang atau
ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri atau
keadaan darurat lainnya, dapat digunakan sebagai pembenaran
penyiksaan.
3. Perintah dari atasan atau penguasa tidak boleh digunakan sebagai
pembenaran penyiksaan.
1.
Pasal 3
Tidak ada satu Negara Pihak pun yang boleh mengusir,
mengembalikan (refouler) atau mengekstradisikan seseorang ke
Negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk
menduga bahwa orang itu berada dalam bahaya karena dapat
menjadi sasaran penyiksaan.
2. Untuk menentukan apakah terdapat alasan-alasan semacam itu,
pihak yang berwenang harus mempertimbangkan semua hal yang
berkaitan termasuk, apabila mungkin, adanya pola tetap
pelanggaran yang besar, mencolok, atau massal terhadap hak
asasi manusia di Negara tersebut.
Pasal 4
1.
284
Pasal 5
1.
1.
285
286
1.
Negara-Negara Pihak akan saling memberi bantuan sebesarbesarnya sehubungan dengan perkara pidana yang diajukan
berkenaan dengan pelanggaran yang disebut dalam pasal 4,
termasuk pemberian semua bukti yang mereka miliki yang
diperlukan untuk penyelesaian perkara itu.
287
2.
Pasal 11
Setiap Negara Pihak harus senantiasa mengawasi secara sistematik
peraturan-peraturan tentang interogasi, instruksi, metode, kebiasaankebiasaan dan peraturan untuk penahanan serta perlakuan terhadap
orang-orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara dalam setiap
wilayah kewenangan hukumnya, dengan maksud untuk mencegah
terjadinya kasus penyiksaan.
288
Pasal 12
Setiap Negara Pihak harus menjamin agar instansi-instansi yang
berwenang melakukan suatu penyelidikan dengan cepat dan tidak
memihak, setiap ada alasan yang cukup kuat untuk mempercayai bahwa
suatu tindak penyiksaan telah dilakukan di dalam wilayah kewenangan
hukumnya.
Pasal 13
Setiap Negara Pihak harus menjamin agar setiap orang yang menyatakan
bahwa dirinya telah disiksa dalam wilayah kewenangan hukumnya
mempunyai hak untuk mengadu, dan agar kasusnya diperiksa dengan
segera dan tidak memihak oleh pihak-pihak yang berwenang. Langkahlangkah harus diambil untuk menjamin bahwa orang yang mengadu dan
saksi-saksi dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai
akibat dari pengaduan atau kesaksian mereka.
Pasal 14
1. Setiap Negara Pihak harus menjamin agar dalam sistem hukumnya
korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti-rugi dan
mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak,
termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin. Dalam
peristiwa korban meninggal dunia sebagai akibat tindak penyiksaan,
ahli warisnya berhak mendapatkan ganti-rugi.
2. Dalam Pasal ini tidak ada hal apapun yang mengurangi hak korban
atau orang lain atas ganti kerugian yang mungkin telah diatur dalam
hukum nasional.
Pasal 15
Setiap Negara Pihak harus menjamin bahwa setiap pernyataan yang telah
ditetapkan sebagai tindak lanjut dari tindak penyiksaan tidak digunakan
sebagai bukti, kecuali terhadap orang yang dituduh melakukan tindak
penyiksaan, sebagai bukti bahwa pernyataan itu
Pasal 16
1. Setiap Negara Pihak harus mencegah di wilayah kewenangan
hukumnya perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, yang tidak
termasuk tindak penyiksaan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1,
apabila tindakan semacam itu dilakukan atas atau atas hasutan atau
289
290
4.
5.
6.
7.
1.
2.
291
1.
2.
3.
4.
Pasal 19
Negara-negara Pihak akan menyerahkan kepada Komite, melalui
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, laporan tentang
tindakan-tindakan yang telah mereka ambil dalam rangka
penerapan Konvensi ini, dalam waktu satu tahun setelah
diberlakukannya Konvensi ini untuk Negara Pihak yang
bersangkutan. Setelah itu Negara-Negara Pihak menyerahkan
laporan pelengkap setiap empat tahun sekali tentang setiap
langkah baru yang diambil dan laporan-laporan lain yang
mungkin diminta Komite.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa harus
meneruskan laporan-laporan tersebut kepada semua Negara
Pihak.
Setiap laporan akan dipertimbangkan oleh Komite yang dapat
memberikan komentar umum terhadap laporan tersebut apabila
Komite menganggapnya tepat dan akan meneruskan komentar ini
kepada Negara Pihak yang bersangkutan. Negara tersebut dapat
menanggapi dengan observasi-observasi yang dibuatnya kepada
Komite.
Atas kebijaksanaannya, Komite dapat memutuskan untuk
memasukkan setiap komentar yang dibuatnya sesuai dengan ayat
3 pasal ini bersamaan dengan observasi atas komentar itu dari
292
1.
2.
3.
4.
5.
293
1.
294
295
296
297
BAGIAN III
Pasal 25
1.
2.
Pasal 26
Konvensi ini terbuka bagi persetujuan oleh semua Negara. Persetujuan
berlaku dengan penyerahan piagam persetujuan kepada Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 27
1. Konvensi ini berlaku pada hari ketiga puluh setelah tanggal
penyerahan piagam kedua puluh dari ratifikasi atau persetujuan
kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2. Bagi setiap Negara yang meratifikasi Konvensi ini atau
menyetujuinya setelah penyerahan piagam kedua puluh dari ratifikasi
atau persetujuan, Konvensi ini akan berlaku pada hari ketiga puluh
setelah tanggal penyerahan piagam ratifikasi atau persetujuan Negara
tersebut.
Pasal 28
1. Setiap Negara, pada waktu menandatangani, meratifikasi atau
menyetujui Konvensi ini, dapat menyatakan bahwa pihaknya tidak
mengakui kewewenangan Komite yang ditetapkan pada Pasal 20.
2. Setiap Negara Pihak yang telah memberi pembatasan sesuai dengan
ayat 1 pasal ini, setiap saat dapat menarik kembali pembatasannya
dengan pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Pasal 29
1. Setiap Negara Pihak Konvensi ini dapat mengusulkan perubahan
dengan mengajukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa, selanjutnya Sekretaris Jenderal akan mengkomunikasikan
usulan perubahan itu kepada Negara-Negara Pihak dengan suatu
permintaan agar mereka memberitahu apakah mereka menyetujui
untuk mengadakan suatu konferensi Negara-Negara Pihak dengan
tujuan membahas dan memberikan suara kepada usulan itu. Apabila
dalam waktu empat bulan sejak tanggal komunikasi tersebut
298
2.
3.
1.
2.
3.
1.
299
2.
26;
Tanggal diberlakukannya Konvensi ini berdasarkan pasal 27 dan
tanggal diberlakukannya setiap perubahan berdasarkan pasal 29;
Penarikan diri berdasarkan Pasal 31.
Pasal 33
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menyimpan semua
naskah asli Konvensi dalam bahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis,
Rusia dan Spanyol.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirimkan
salinan Konvensi yang telah disahkan kepada semua Negara.
300
301
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI
MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK
DISKRIMINASI TERHADAP WANITA (CONVENTION ON THE
ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINST
WOMEN).
Pasal 1
Mengesahkan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women) yang telah disetujui oleh
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18
Desember 1979, dengan pensyaratan (reservation) terhadap Pasal 29
ayat (1) tentang penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau
penerapan Konvensi ini, yang salinannya dilampirkan pada Undangundang ini.
Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
302
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juli 1984
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juli 1984
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO, S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1984
NOMOR 29
303
BAGIAN III
Pendidikan ( Pasal 10 )
304
Pekerjaan ( Pasal 11 )
Kesehatan ( Pasal 12 )
Manfaat Ekonomi dan Sosial ( Pasal 13 )
Pedesaan Perempuan ( Pasal 14 )
PART IV BAGIAN IV
Hukum ( Pasal 15 )
Perkawinan dan Kehidupan Keluarga ( Pasal 16 )
BAGIAN V
Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan ( Pasal 17 )
Laporan Nasional ( Pasal 18 )
Aturan Prosedur ( Pasal 19 )
Rapat Komite ( Pasal 20 )
Laporan Komite ( Pasal 21 )
Peran Badan Khusus ( Pasal 22 )
BAGIAN VI
Pengaruh tentang Perjanjian Internasional lainnya ( Pasal 23 )
Komitmen Negara Pihak ( Pasal 24 )
Administrasi Konvensi ( Pasal 25-30 )
PENDAHULUAN
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB. Hal ini mulai
berlaku sebagai perjanjian internasional pada tanggal 3 September 1981
setelah kedua puluh negara telah meratifikasinya. Dengan ulang tahun
kesepuluh dari Konvensi pada tahun 1989, hampir seratus negara telah
setuju untuk terikat oleh ketentuan-ketentuannya.
Konvensi ini adalah puncak dari lebih dari tiga puluh tahun bekerja
dengan Komisi PBB tentang Status Perempuan, sebuah badan yang
dibentuk pada tahun 1946 untuk memantau situasi perempuan dan
untuk mempromosikan hak-hak perempuan. . Komisi Pekerjaan telah
berperan dalam membawa untuk menyalakan semua daerah di mana
305
306
hubungan jender.
Status hukum perempuan menerima perhatian luas. Keprihatinan atas
hak-hak dasar partisipasi politik belum berkurang sejak adopsi dari
Konvensi Hak-hak Politik Perempuan tahun 1952. Ketentuanketentuannya, oleh karena itu, disajikan kembali dalam pasal 7 dari
dokumen ini, dimana perempuan dijamin hak untuk memilih, untuk
memegang jabatan publik dan untuk melaksanakan fungsi publik. Ini
termasuk hak yang sama bagi perempuan untuk mewakili negara
mereka di tingkat internasional (pasal 8). Konvensi Kebangsaan dari
Perempuan Menikah - diadopsi pada tahun 1957 - terintegrasi menurut
pasal 9 menyediakan untuk kenegaraan wanita, terlepas dari status
perkawinan mereka. Konvensi ini, dengan demikian, menarik perhatian
pada fakta yang sering status hukum perempuan telah dikaitkan dengan
pernikahan, membuat mereka tergantung pada suami kebangsaan
mereka bukan individu di kanan mereka sendiri. Pasal 10, 11 dan 13,
masing-masing, menegaskan hak-hak perempuan untuk nondiskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan dan kegiatan ekonomi dan
sosial. Tuntutan ini diberi penekanan khusus berkaitan dengan situasi
perempuan pedesaan, yang khusus perjuangan dan kontribusi ekonomi
penting, seperti yang tercantum dalam pasal 14, menjamin perhatian
lebih dalam perencanaan kebijakan. Pasal 15 menegaskan kesetaraan
penuh perempuan dalam dan bisnis masalah perdata, menuntut bahwa
semua instrumen diarahkan untuk membatasi kapasitas hukum
perempuan''akan dianggap batal demi hukum ",. Akhirnya dalam pasal
16, Konvensi kembali ke masalah perkawinan dan keluarga hubungan,
menegaskan persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki
berkaitan dengan pilihan pasangan, orangtua, hak-hak pribadi dan
komando atas properti.
Selain isu-isu hak-hak sipil, Konvensi juga mencurahkan perhatian
besar pada perhatian penting sebagian besar perempuan, yaitu hak
reproduksi mereka. Pembukaan menetapkan nada dengan menyatakan
bahwa "peran perempuan dalam prokreasi tidak boleh dasar untuk
diskriminasi". Hubungan antara diskriminasi dan peran reproduksi
perempuan adalah masalah perhatian berulang dalam Konvensi.
Misalnya, advokat, dalam pasal 5,''pemahaman yang tepat tentang
307
308
Memperhatikan
309
instrumen
310
311
312
313
Pasal 5
Negara-negara Pihak akan mengambil lagkah-langkah yang sesuai:
(a) Untuk mengubah pola social-budaya dari perilaku laki-laki dan
perempuan, dengan sutu pandangan dalam mencapai penghapusan
syakwa sangaka dan adat-istiadat dan prektek lainnya yang terkait
denga ide perendahan dan peninggian satu sama lain terkait jenis
lelamin atau pada peran-peran kesejajaran bagi laki-laki dan
perempuan;
(b) Untuk memastikan bahwa pendidikan keluarga termasuk
pemahaman yang tepat tentang persalinan sebagai suatu fungsi
sosial dan pengakuan tentang tanggung jawab yang semestinya bagi
laki-laki dan perempuan di dalam pendidikan dan pengembangan
anak-anak mereka, dengan kata lain bahwa kepentingan anak-anak
adalah perkara utama di dalam semua perkara.
Pasal 6
Negara-negara pihak akan mengambil langkah yang tepat, termasuk
pengesahan undang-undang, untuk menekankan segala bentuk
perdagangan gelap perempuan dan ekspoitasi pada pelacuran
perempuan
BAGIAN II
Pasal 7
Negara-negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang cocok
untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di dalam kehidupan
politik dan public di suatu Negara dan, khususnya, akan memastikan
perempuan, atas kesamaan nilai dengan laki-laki, dalam bidang hak:
(a) Untuk memberikan suara dalam semua pemilihan umum dan
referendum publik dan dapat dipilh di dlam pemilihan semua badan
publik yang dipilih;
(b) Untuk berpartisipasi di dalam perumusan kebijakan pemerintahan
dan penerapan kebijakan itu dan menjabat di kantor publik dan
memainkan semua fungsi publik di semua level pemerintahan;
(c) Untuk ikut serta di dalam organisasi-organisasi non-pemerintah dan
perkumpulan-perkumpulan yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat dan politik di suatu negara.
Pasal 8
314
315
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
laki dan perempuan pada semua level dan di dalam semua bentuk
pendidikan dengan meningkatkan pendidikan bersama dan tipe-tipe
lain dari pendidikan yang akan membantu pencapaian tujuan ini dan,
khususnya, dengan merevisi buku-buku naskah dan programprogram sekolah dan pemnyesuain metode pengajaran;
Kesempatan yang sama untuk memperoleh beasiswa dan anugerah
studi lainnya;
Kesempatan yanga sama di dalam mendapatkan program-program
kelanjutan pendidikan, termasuk orang dewasa dan programprogram fungsi aksara, khususnya yang bertujuan pada pengurangan,
sedini mungkin, celah di dalam pendidikan yang terjadi antara lakilaki dan perempuan;
Pengurangan angka drop-out pelajar perempuan dan penyusunan
program-program
bagi anak perempuan dan wanita yang
meninggalkan sekolah secara prematur;
Kesempatan yang sama di dalam berpartisipasi aktif di bidang olah
raga dan pendidikan fisik;
Mengenyam pengetahuan pendidikan khusus yang dapat membantu
di dalam menjaga kesehatan dan kebahagiaan keluarga, termasuk
pengetahuan dan nasehat pada keluarga berencana
Pasal 11
1. Negara-negara Pihak akan mengambil kebijakan yang tepat untuk
penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di lapangan
pekerjaan dalam rangka memastikan, atas dasar persamaan laki-laki
dan perempuan, persamaan hak, khususnya:
(a) Hak untuk bekerja sebagai suatu hak yang tidak dapat dihindari
bagi semua manusia;
(b) Hak pada peluang yang sama di dalam pekerjaan, termasuk
permohonan kriteria yang sama untuk memilih bidang-bidang
pekerjaan;
(c) Hak bebas memilih profesi dan pekerjaan, hak promosi,
keamanan pekerjaan dan semua keuntungan dan kondisi
perlakuan dan hak untuk menerima pelatihan kerja dan
pelatihan ulang, termasuk magang, pelatihan kerja lanjutan dan
latihan ulangan;
(d) Hak untuk pembayaran yang sama, termasuk keuntungankeuntungan, dan perlakuan yang sama dari hasil kerja dengan
316
317
318
319
Pasal 16
1. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat
untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam segala
hal yang berkaitan dengan hubungan perkawinan dan keluarga dan
khususnya harus menjamin, atas dasar persamaan antara pria dan
wanita:
(a) hak yang sama untuk masuk ke dalam perkawinan;
(b) Hak yang sama untuk bebas memilih pasangan dan untuk
masuk ke dalam pernikahan hanya dengan bebas dan
persetujuan penuh mereka;
(c) hak yang sama dan tanggung jawab selama perkawinan dan
pada saat perceraian;
(d) Hak yang sama dan tanggung jawab sebagai orangtua, terlepas
dari status perkawinan mereka, dalam hal-hal yang berkaitan
dengan anak-anak mereka, dalam semua kasus kepentingan
anak harus menjadi yang utama;
(e) Hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan
bertanggung jawab tentang jumlah dan jarak anak-anak mereka
dan untuk memiliki akses ke informasi, pendidikan dan sarana
untuk memungkinkan mereka melaksanakan hak-hak;
(f) Hak yang sama dan tanggung jawab berkaitan dengan
perwalian,, perwalian perwalian dan adopsi anak, atau lembaga
serupa di mana konsep-konsep ini ada dalam perundangundangan nasional, dalam semua kasus kepentingan anak harus
menjadi yang utama;
(g) Hak pribadi yang sama sebagai suami dan istri, termasuk hak
untuk memilih nama keluarga, profesi dan pekerjaan;
(h) Hak yang sama untuk kedua pasangan sehubungan dengan
akuisisi kepemilikan,, manajemen,, kenikmatan administrasi
dan pembagian harta, baik secara gratis atau untuk hal yang
berharga.
2. Para pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak memiliki
kekuatan hukum, dan semua tindakan yang diperlukan, termasuk
legislasi, harus diambil untuk menetapkan usia minimum untuk
menikah dan membuat pendaftaran pernikahan dalam registri wajib
resmi.
BAGIAN V
320
Pasal 17
1. Untuk tujuan mempertimbangkan kemajuan yang dibuat dalam
pelaksanaan Konvensi ini, harus ada dibentuk suatu Komite
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (selanjutnya
disebut sebagai Komite) yang terdiri, pada saat berlakunya
Konvensi, delapan belas tahun dan, setelah ratifikasi atau aksesi
Konvensi oleh Negara Pihak kelima-tiga puluh, dua puluh tiga
orang ahli yang bermoral tinggi dan kompetensi di bidang yang
dicakup oleh Konvensi. Para pakar harus dipilih oleh Negara-negara
Pihak dari warga negara mereka dan bertugas dalam kapasitas
pribadi mereka, pertimbangan diberikan pada distribusi geografis
yang adil dan perwakilan dari berbagai bentuk peradaban maupun
sistem hukum yang utama.
2. Para anggota Komite harus dipilih dengan pemungutan suara secara
rahasia dari daftar orang-orang yang dicalonkan oleh Negara Pihak.
Setiap Negara Pihak dapat mencalonkan satu orang dari warga
negaranya sendiri.
3. Pemilihan pertama akan diselenggarakan enam bulan setelah
tanggal berlakunya Konvensi ini. Setidaknya tiga bulan sebelum
tanggal setiap pemilihan Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa harus mengirimkan surat kepada Negara Pihak mengundang
mereka untuk menyampaikan calon mereka dalam waktu dua bulan.
Sekretaris Jenderal harus menyiapkan daftar menurut abjad semua
orang yang dicalonkan, dengan menunjukkan Negara-negara Pihak
yang mencalonkan mereka, dan akan menyampaikannya kepada
Negara-negara Pihak.
4. Pemilihan anggota Komite harus diselenggarakan pada sidang
Negara-negara Pihak yang diselenggarakan oleh Sekretaris Jendral
di Markas Besar PBB. Pada pertemuan itu, di mana dua pertiga
Negara Pihak merupakan suatu kuorum, orang yang dipilih untuk
Komite adalah mereka calon yang memperoleh suara terbanyak dan
mayoritas mutlak dari suara wakil-wakil dari Negara Pihak dan
suara hadir .
5. Para anggota Komite akan dipilih untuk masa jabatan empat tahun.
Namun, persyaratan sembilan anggota terpilih pada pemilihan
321
6.
7.
8.
9.
Pasal 18
1. Negara-negara Pihak berjanji untuk menyampaikan kepada
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa,
untuk
dipertimbangkan oleh Komite, laporan mengenai, peradilan,
administratif atau lain tindakan legislatif yang mereka telah
mengadopsi untuk memberikan ketentuan-ketentuan dalam
Konvensi ini dan di kemajuan dalam hal ini:
(a) Dalam satu tahun setelah berlakunya bagi Negara yang
bersangkutan;
(b) Setelah itu setidaknya setiap empat tahun dan selanjutnya
setiap kali Komite memintanya.
2. Laporan dapat mengindikasikan faktor dan kesulitan-kesulitan yang
mempengaruhi tingkat pemenuhan kewajiban berdasarkan
Konvensi ini.
Pasal 19
1. Komite harus menetapkan aturan prosedurnya sendiri.
2. Komite harus memilih para stafnya untuk masa jabatan dua tahun.
322
Pasal 20
1. Komite biasanya bersidang untuk jangka waktu tidak lebih dari dua
minggu setiap tahun untuk mempertimbangkan laporan yang
disampaikan sesuai dengan pasal 18 Konvensi ini.
2. Pertemuan-pertemuan Komite biasanya akan diselenggarakan di
Markas Besar PBB atau di tempat yang nyaman lain yang
ditetapkan oleh Komite ( perubahan , status ratifikasi )
Pasal 21
1. Komite harus, melalui Dewan Ekonomi dan Sosial, laporan tahunan
kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
kegiatan-kegiatannya dan dapat memberikan usulan dan
rekomendasi umum berdasarkan pemeriksaan laporan dan informasi
yang diterima dari Negara Pihak. Saran-saran dan rekomendasi
umum tersebut wajib dimasukkan dalam laporan Komite bersamasama dengan komentar, jika ada, dari Negara-negara Pihak.
2. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa harus meneruskan
laporan-laporan Komite kepada Komisi Status Perempuan untuk
informasinya.
Pasal 22
Badan-badan khusus berhak untuk diwakili dalam mempertimbangkan
pelaksanaan ketentuan-ketentuan Konvensi ini, seperti yang berada
dalam lingkup kegiatan mereka. Komite dapat mengundang badanbadan khusus untuk menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan
Konvensi di bidang-bidang yang termasuk dalam ruang lingkup
kegiatan mereka.
BAGIAN VI
Pasal 23
Tidak ada dalam Konvensi ini akan mempengaruhi setiap ketentuan
yang lebih kondusif untuk pencapaian kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan yang mungkin dimuat:
(a) Dalam undang-undang suatu Negara Pihak; atau
(b) perjanjian konvensi internasional, atau perjanjian yang berlaku bagi
Negara.
Pasal 24
Negara-negara Pihak untuk mengambil semua langkah yang diperlukan
323
324
Pasal 29
1. Setiap sengketa antara dua atau lebih Negara Pihak mengenai
penafsiran atau penerapan Konvensi ini yang tidak diselesaikan
melalui negosiasi, atas permintaan salah satu dari mereka, harus
diajukan untuk arbitrase. Jika dalam waktu enam bulan dari tanggal
permintaan untuk arbitrasi para pihak tidak dapat bersepakat
mengenai struktur arbitrase, salah satu dari para pihak dapat
mengajukan sengketa kepada Mahkamah Internasional melalui
permohonan sesuai dengan Statuta Mahkamah .
2. Setiap Negara peserta pada saat penandatanganan atau ratifikasi
Konvensi ini atau aksesi dapat menyatakan bahwa ia tidak
menganggap dirinya terikat oleh ayat I dari pasal ini. Negara-negara
Pihak lainnya tidak akan terikat oleh ayat berkenaan dengan setiap
Negara Pihak yang telah membuat reservasi dimaksud.
3. Setiap Negara Pihak yang telah membuat reservasi sesuai dengan
ayat 2 pasal ini dapat setiap saat menarik kembali reservasi tersebut
dengan pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Pasal 30
Konvensi ini, dalam bahasa Arab, Cina, Inggris, Rusia dan Spanyol teks
Prancis yang sama-sama otentik, akan disimpan pada Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
325
326
327
328
329
330
331
332
Pasal 15
Tata cara penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diajukan ke
Mahkamah.
BAB V
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
Pasal 16
(1) Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Imum Mukim dan Keuchik
berkewajiban melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap
penerapan larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 sampai
Pasal 8.
(2) Untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap
pelaksanaan qanun ini, Gubernur, Bupati/Walikota membentuk
Wilayatul Hisbah.
(3) Susunan dan kedudukan Wilayatul Hisbah diatur lebih lanjut
dengan Surat Keputusan Gubernur setelah mendengar pendapat
Majelis Permusyawaratan Ulama setempat.
Pasal 17
(1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, Pejabat Wilayatul
Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal16 yang
mengetahui pelaku pelanggaran terhadap larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 sampai Pasal 8, menyampaikan laporan
secara tertulis kepada penyidik.
(2) Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul
Hisbah dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu
kepada pelaku sebelum menyerahkan laporannya kepada
penyidik.
(3) Pejabat Wilayatul Hisbah wajib menyampaikan laporan kepada
penyidik tentang telah dilakukan peringatan dan pembinaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 18
Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan praperadilan kepada
Mahkamah apabila laporannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal 17 tidak ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah
setelah jangka waktu 2 (dua) bulan sejak laporan diterima penyidik.
BAB VI
333
334
335
336
337
338
Sebelum adanya hukum acara yang diatur dalam qanun tersendiri, maka
hukum acara yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dan peraturan
perundang-undangan lainnya tetap berlaku sepanjang tidak diatur di
dalam qanun ini.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 38
Hal-hal yang menyangkut dengan teknis pelaksanaan diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 39
Qanun ini, mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Disahkan di Banda Aceh
Pada tanggal 5 Juli 2003 M
7 Jumadil Awal 1424 H
GUBERNUR
PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
ABDULLAH PUTEH
Diundangkan di Banda Aceh
Pada tanggal 16 Juli 2003 M
16 Jumadil Awal 1424 H
LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH
DARUSALAM TAHUN 2003 NOMOR 25 D NOMOR 12
339
340
341
342
343
344
345
346
347
j.
mengadakan
yangberlaku.
tindakan
lain
menurut
aturan
hukum
Pasal 20
Setiap penyidik yang mengetahui dan/atau menerima laporan telah terjadi
pelanggaran terhadap larangan maisir wajib segera melakukan
penyidikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 21
Penuntut umum menuntut perkara jarimah maisir yang terjadi
dalamdaerah hukumnya menurut peraturan perundang-undangan
yangberlaku;
Pasal 22
Penuntut umum mempunyai wewenang :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik;
b. mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan
penyidikan dari penyidik;
c. memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh
penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke Mahkamah;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat
panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi,untuk
datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
h. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan
tanggungjawab sebagai penuntut umum menurut hukum yang
berlaku;
i. melaksanakan putusan dan penetapan hakim.
BAB VII
KETENTUAN UQUBAT
Pasal 23
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5, diancam dengan uqubat cambuk di depan umum
paling banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit 6 (enam) kali.
348
(2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha Non Instansi
Pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimanadimaksud
dalam pasal 6, dan 7 diancam dengan uqubat atau denda paling
banyak Rp. 35.000.000,- (tiga puluh limajuta rupiah), paling
sedikit Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah).
(3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud
dalampasal 5, 6 dan 7 adalah jarimah tazir.
Pasal 24
Denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) merupakan
penerimaan Daerah dan disetor langsung ke Kas Baital Mal.
Pasal 25
Barang-barang/benda-benda yang digunakan dan/atau diperoleh dari
jarimah maisir dirampas untuk Daerah atau dimusnahkan.
Pasal 26
Pengulangan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6 dan 7
uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari uqubatmaksimal.
Pasal 27
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalampasal 6 :
a. apabila
dilakukan
oleh
badan
hukum/badan
usaha,
makauqubatnya dijatuhkan kepada penanggung jawab;
b. apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain
sanksi uqubat sebagaimana dimaksud dalam pasal 23ayat (2),
dapat juga dikenakan uqubat administratif denganmencabut atau
membatalkan izin usaha yang telah diberikan;
BAB VIII
PELAKSANAAN UQUBAT
Pasal 28
(1) Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk
oleh Jaksa Penuntut Umum.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan
yang diatur dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang akan diatur
dalam Qanun tentang hukum formil.
Pasal 29
(1) Pelaksanaan uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim
mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Penundaan pelaksanaan uqubat hanya dapat dilakukan
berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan Negeri apabila
349
350
351
352
353
354
355
356
357
ayat (1) tidak ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yangsah
setelah jangka waktu 2 (dua) bulan sejak laporan diterima
penyidik.
BAB VI
PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN
Pasal 16
Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran larangan
khalwat/mesum dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku sepanjang tidak diatur dalam Qanun ini.
Pasal 17
Penyidik adalah :
a. Pejabat Polisi Nanggroe Aceh Darussalam;
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus
untuk melakukan penyidikan bidang Syariat Islam.
Pasal 18
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 huruf akarena
kewajibannya mempunyai wewenang :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorangtentang
adanya jarimah;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempatkejadian;
c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksatanda
pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahandan
penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksasebagai
tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. menghentikan penyidikan setelah mendapat tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan jarimah
dan memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum,
tersangka atau keluarganya dan Wilayatul Hisbah;
j. mengadakan tindakan lain menurut aturan hukum yang
berlaku.
358
359
360
361
362
TENTANG PENULIS
363