Anda di halaman 1dari 379

PELAKSANAAN HUKUM JINA>YA>T DI ACEH

DALAM PERSPEKTIF FIQH DAN HAM


STUDI QANUN NOMOR 12, 13, DAN 14 TAHUN 2003.
MUHAMMAD YANI

JAKARTA
2011M/1432 H

Pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh dalam


perespektif Fiqh dan HAM: studi Qanun Nomor
12, 13, dan 14 Tahun 2003.
Muhammad Yani

Editor: Prof. Dr. H. Mohammad Atho Mudzhar, MSPD.


Hak Cipta pada: Pengarang
Hak penerbitan pada: Isdar Press
Cover/Lay Out: Abbas
Penerbit: Isdar Press
Jl. SD Inpres No. 11 Pisangan Barat
Ciputat Tangerang Selatan Banten 15419 Telp. 0217417687
Cetakan ke- 1: November 2011
ISBN: 978-602-19419-0-4

PEDOMAN TRANSLITERASI
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
ARAB

LATIN

ARAB

LATIN

` (apostrof)

t}

Z}

(petik satu)

th

gh

h}

kh

dh

sh

s}

h (waqaf)

d}

Al-(tari>f)

Untuk Tanda Panjang


Ketentuan alih vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan h}araka>t dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan

a dengan garis di atas

i dengan garis di atas

u dengan garis di atas

Shaddah (Tashdd)
Shaddah atu tashdd yang dalam system bahasa Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (---) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda shaddah itu. Akan tetapi, hal ini

tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda shaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf shamsi>yah. Misalnya, kata
tidak
ditulis ad}d}aru>rah melainkan al-d}aru>rah, demikian seterusnya.

ii

ABSTRAK
Muhammad Yani: Pelaksanaan Hukum Jina>ya>t di Aceh dalam Perspektif Fiqh
dan HAM: Studi Qanun Nomor 12, 13, dan 14 Tahun 2003.
Penelitian ini membuktikan bahwa pelaksanaan Qanun Nomor 12, 13, dan 14
Tahun 2003 tentang khamar, maisir, dan khalwt di Aceh telah berlangsung
secara realistis sebagaimana yang diqanunkan. Frekwensi pelaksanaannya dapat
dilihat pada data statistik perkara Jinayat dan dokumen-dokumen eksekusi
(uqu>ba>t) terhadap pelaku pelanggaran. Kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa materi Qanun dan hukuman (h}add dan tazi>r ) yang terkandung di
dalamnya kerab mempertimbangkan aspek Hak-hak Asasi Manusia (HAM).
Meskipun implementasi Qanun Jinayat dilatarbelakangi Qanun-qanun
sebelumnya seperti: Qanun Prov. NAD No. 1 Tahun 2002 tentang Peradilan
Syariat Islam; Qanun Prov. NAD No.11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat
Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, keseluruhan hukum Jinayat belum
terimplementasikan sebagaimana tuntutan Fiqh Jinayah secara ideal, karena
sejumlah pakar menilai bahwa bila hukum Islam ditegakkan scara total, akan
bertentangan dengan HAM (global).
Dalam perkara Fiqh, studi ini membantah pandangan Nurcholish Madjid
sebagaimana dikutip Rusjdi Ali Muhammad di dalam Revitalisasi Syariat Islam di
Aceh; Problem, Solusi, dan Implementasi, 2003 yang mengatakan Wilayah
Hisbah (polisi syariat) berhak menjatuhkan hukuman tazir bagi pelaku jinayat.
Persepsi ini bertentangan dengan kaidah fiqhiyah yang popular, yakni penerapan
hukuman mesti dilakukan oleh qad}i/umara.
Dalam perkara HAM, studi ini membantah Iben (dari Komnas HAM RI).
Menurutnya Qanun Jinayat Aceh tersebut bertentangan dengan HAM pasca
peratifikasian ICCPR ke dalam UU No. 12 tahun 2005. Iben hanya melakukan
tinjauan pada aspek HAM universal, tidak meninjau konsep-konsep HAM
menurut dunia Islam yang menyatakan hukum jinayat tidak melanggar HAM.
Pendapatnya ini juga berlawanan dengan Mahkamah Agung RI yang telah
menyatakan kebolehan kepada Qanun-qanun tersebut untuk diaplikasikan di
Aceh.
Melihat aspek historis peradilan Syariat Islam di Aceh, studi ini sesuai
dengan pandangan Ratno Lukito,
Islamic Law and Adat Encounter:the
Experience of Indonesia (Canada: MacGill: 1997); Ratno dalam karyanya itu
telah menyinggung tentang implementasi Hukum Jinayat di Aceh pra-Penjajahan
(pre-colonialism), yang demikian juga halnya yang disinggung di dalam studi ini.
Studi ini juga mendukung karya Moch. Nur Ikhwan, the Politics of
Shariatization: Central Governmental and Regional Discourses of Sharia
Implementation in Aceh dalam R. Michael Feener and E. Cammck, Islamic Law in
Contemporary Indonesia Ideas and Institutions (Massechussets: Harvard University
Press, 2007). Nur Ikhwan menulis bahwa Mahkamah Syariyah Aceh bertugas

menangani aspek pidana Islam di Aceh untuk dapat mengaplikasikan Qanunqanun Aceh yang menyangkut dengan jinayat. Ia juga mengatakan bahwa
pelaksanaan Qanun Jinayat merupakan kelanjutan dari program penerapan

iii

syariat Islam di Aceh sejak 1 Muharram 1423 Hijriah, bertepatan dengan 14 Maret
2002.
Studi ini juga mendukung karya Alyasa Abu Bakar, Penerapan Syariat
Islam di NAD: Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa (Banda Aceh:
Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2008). Alyasa mengatakan bahwa Qanun
jinayat Aceh yang membahas tindak pidana khamar, judi, dan khalwah tersebut
telah melakukan tinjauan ke fiqh Islam, dan telah melakukan penyesuaian dengan
Hukum Perundang-undangan Nasional RItanpa mengabaikan HAM.
Sumber-sumber dari Penelitian adalah dokomen-dokumen (terutama
Qanun Aceh baik dalam bentuk konsep maupun data aplikatif), dengan
menempuh studi kepustakaan dan dokumentatif. Data-data tersebut, diuraikan
dalam pembahasan secara deskriptif dan analisis dengan melakukan pendekatan
legal-historis.

iv

ABSTRACTS
Muhammad Yani: Pelaksanaan Hukum Jinayat Aceh dalam Perspektif Fiqh dan
HAM: Studi Qanun Nomor 12, 13, dan 14 Tahun 2003 (Jina>ya>t Law application
in Aceh in the Fiqh Perspective of and the Human Rights: Study of Qanuns
Number 12, 13, and 14 of the year 2003).
This Research proves that most of application of Jinayat (Islamic Penal
Law) in Aceh have been in accordance with the Qanuns guidance applied
pursuant to the chance given by Special Autonomy Law for Aceh.
It appeared at some data related to the Jina>ya>t cases appeared as tazi>r
punishments (uqu>ba>t) for criminals. The facts showed that tazi>r (discretionary
punishments) really considered the human rights aspects. Flogging punishments
carried out by Qanun Number 12, 13 , and 14 of the year 2003, each of those
exposed about khamar (drinking wine), gambling (maysir), and khalwat
(improper relation between the sexes). The reality has shown that the uqu>ba>t
(punishments) of jinayat law apart from these three, havent been implemented
yet in accordance with Fiqh conceptual. The main bars of these were universality
and complexityabout which were scholars understandingof Fiqh and Human
Rights concepts.
This research refused the view of Nurcholis Majids from whom Rusjdi
Ali Muhammad wrote in Revitalisasi Syariat Islam di Aceh: Problem, Solusi, dan
Implementasi (Banda Aceh: AR-Raniry Press, 2003 (Revitalization of Islamic
Sharia in Aceh: Problem, Solution, and Implementation (Banda Aceh: Ar-Raniry
Press, 2003). He said that Islamic Police (Wilayatul Hisbah) had authorities to
judge tazi>r punishments towards offenders (in implementation Jinayat Law of
Qanuns). It was contradictive to popular rules of Fiqh Pattern Concepts (Qa>idah
fiqhi>yah), that the judgement of condomination (tazi>r) must be carried out by
Qa>d>i represented the leader/government. Further, this study refuses the views of
Iben who said that Islamic Penal Law of Aceh was contradictive to Human Rights
after ratification of some Interrnational Human Rights Covenants into Indonesian
Laws related to Human Rights.
On the contrary to what have been mentioned, this study supported the
views of Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: the Experience of
Indonesia (Canada: McGill University, 1997. Ratno said that Islamic Law in
Indonesia has begun since the periode of pre-colonialization.
This study also supported the views of Moch. Nur Ikhwan, the Politics of
Shariatization: Central Governmental and Regional Discourses of Sharia
Implementation in Aceh in R. Michael Feener and E. Cammack, Islamic Law in
Contemporary Indonesia Ideas and
Institutions (Massechussets: Harvard
University Press, 2007). Nur Ikhwan said that Islamic Courts had been established
to handle Islamic penal law aspects of Acehs Qanuns. He also said that
manifestation of Qanuns related to Jinayat was the continuing of Islamic sharia
application program since the 1st of Muharram 1423 H in accordance with 14
Maret 2002.
Besides of what have been mentioned, this study also supported Alyasa
Abu Bakar, Penerapan Syariah Islam di Aceh: Upaya Penyusunan Fiqh dalam

Negara Bangsa (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2008 (Application of Islamic
Sharia in Aceh: as the afford of Islamic Jurisprudence Arranging in the Nation
State, (Banda Aceh: Islamic Office, 2008). Alyasa Abu Bakar in his exposition
said that he had participated in arranging the Qanun Jina>ya>t conceptuals in
Aceh, and they were not contraditive to Fiqh (Islamic Yurisprudence) and most
of those contents paid attention to Human Rights Aspects and National Law.
The resources of this study are the data and documents related to jinayah
application in Aceh, by library and documentarial research. The data that have
been maintioned were applied in describing and analising exposition by
conducting legal-historical approach.

vi

:
: : .

)( .

/ .
.
/ .




.
.

:

/ .

/ . )
(


) (.

.
.


.

vii


.

.

viii

KATA PENGANTAR
Dengan berkat kerja keras dan kontinyu yang dibarengi dengan
permohonan taufi>q danina>yah Allah SWT, penulis telah dapat menyusun sebuah
karya yang sederhana ini dengan judul Pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh
dalam Perspektif Fiqh dan HAM: Studi Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun
2003.
Studi ini merupakan sebuah karya yang penulis pertahankan pada
Sidang Promosi Magister di SPs (Sekolah Pascasarjana) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 21 April 2011. Penulisan karya ini merupakan salah satu
syarat di antara syarat-syarat untuk dapat menyempurnakan studi di lembaga
tersebut, sekaligus agar memperoleh gelar Magister Agama di bidang
hukum/syariah (MA.Hk). Pasca sidang tersebut penulis dicatat sebagai Magister
yang ke-1886 di instutusi tersebut.
Dalam perampungan studi ini, ucapan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat,
MA, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.
Azyumardi Azra, MA, sebagai direktur SPs UIN Jakarta yang merangkap dosen;
dan Prof. Dr. H. Mohamad Atho Mudzhar, MSPD sebagai pembimbing penulis
dalam penyusunan karya ini. Selain sebagai pembimbing, beliau juga merangkap
sebagai dosen. Ucapan terima kasih juga kepada: Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad
Jabaly, MA, dan Dr. Yusuf Rahman, MA, sebagai tim pelaksana Work in
Progress bagi penyempurnaan studi ini, yang merangkap sebagai dosen juga.
Selanjutnya, ucapan terima kasih disampaikan kepada para dosen yang
menyajikan Mata Kuliah/Pelajaran di ruang perkuliahan, terutama para dosen
yang menyajikan Mata Kuliah bidang Hukum, Politik dan Perubahan Sosial: Prof.
Dr. Abdul Halim, MA, Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis, MA; para dosen
yang menyajikan Mata Kuliah Perbandingan Hukum Keluarga di Berbagai Negara
Islam: Prof. Dr. Huzaimah Tahio Tanggo, MA, Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA,
dan Dr. Euis Nurlaelawati, MA; dan para dosen yang menyajikan Mata Kuliah
Pendekatan Metodologi Studi Islam (PMSI): Prof. Dr. Abuddin Nata, MA, Prof.
Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA, Prof. Dr. A. Rodoni, MA, Prof. Dr. Ahmad
Lutfi, MA, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, MA, dan Dr. Muhaimin AG. Ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada para dosen yang menyajikan Mata Kuliah
Islam dan HAMStudi Perbandingan: Prof. Dr. Bachtiar Effendy, MA, dan Dr.
Hendro Prasetiyo, MA.
Selanjutnya kepada kepala perpustakaan yang ada di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan pelayanan pada pencarian
sumber-sumber literatur ilmiyah dan peminjaman buku-buku bacaan guna
kelancaran penyusunan studi ini, dan kepada kawan-kawan /mahasiswa
seperjuangan yang telah membantu dalam pemberitahuan kiat-kiat studi dan
perkuliahan di Lembaga tersebut.
Kepada bapak-bapak/ibu-ibu/dosen dan kawan-kawan yang telah penulis
sebutkan, penulis ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya; jazhum
Allahu bi ah}sani m amilu>>, mn!

ix

Akhirnya Penulis mengakui masih ada ketidaksempurnaan pada studi ini,


namun penulis mengharapkan kepada semua pihak agar dapat memberikan
kritikan konstruktif sehingga Penelitian ini dapat berguna sebagaimana yang
diharapkan.

Jakarta, 4 April 2011

Muhammad Yani

DAFTAR ISI
TRANSLITERASI
KATA PENGANTAR
iii
ABSTRAK
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
BAB 1
: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Permasalahan
1. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
2. Perumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
D. Kajian Pustaka dan Penelitian Terdahulu
E. Signifikansi Penelitian
F. Metodologi
1. Jenis Penelitian
2. Instrumen Pengumpulan Data
3. Pengolahan dan Analisa Data
4. Bahan Penelitian
G. Sistimatika Penulisan
BAB 2
: PEMBERLAKUAN HUKUM JINAYAT DI ACEH
A. Kondisi Masyarakat Aceh
1. Aspek Sosio-Geografis-Historis
2. Aspek Sosio-Yuridis
B. Sejarah Otonomi Khusus Aceh
1. Kebijakan Berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999
2. Kebijakan Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001
3. Kebijakan Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006
C. Pengaturan Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 61
1. Hukum Jinayat Menurut Qanun
2. Rumusan Qanun
a. Qanun No. 12 Tahun 2003
b. Qanun No. 13 Tahun 2003
c. Qanun No. 14 Tahun 2003
BAB 3
: PELAKSANAAAN HUKUM JINAYAT ACEH DALAM
PERSPEKTIF FIQH
A. Pelaksanaan Qanun No. 12 Tahun 2003
1. Ketentuan Uqubat (Punishment) Menurut Qanun
a. Waktu Pelaksanaan `Uqubat
b. Tempat Pelaksanaan
c. Izin Imam untuk Pelaksanaan
d. Teknik Pelaksanaan
2. Ketentuan Uqubat Menurut Fiqh

xi

ix
v
vi
1
1
13
13
15
15
16
19
22
22
23
24
24
24
27
27
27
32
41
43
46
49
61
65
66
70
75
79
79
79
82
83
84
85
88

BAB 4

a. Waktu dan Teknis Pelaksanaan


b. Tempat Pelaksanaan
c. Izin Imam untuk Pelaksanaan
3. Eksekusi Tindak Pidana Khamar di Aceh
B. Pelaksanaan Qanun No. 13 Tahun 2003
100
1. Uqubat Judi Menurut Qanun
a. Waktu Pelaksanaan
b. Teknis Pelaksanaan
c. Tempat Eksekusi
2. Judi Menurut Fiqh
3. Eksekusi Tindak Pidana Judi di Aceh
C. Pelaksanaan Qanun No. 14 Tahun 2003
1. Uqubat Khalwat Menurut Qanun
a. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
b. Teknik Pelaksanaan
c. Izin Imam untuk Pelaksanaan
2. Uqubat Khalwat Menurut Fiqh
3. Eksekusi Pelaku Khalwat di Aceh
: PELAKSANAAAN HUKUM JINAYAT ACEH DALAM
PERSPEKTIF HAM

94
95
95
96

100
102
104
105
106
110
113
113
114
116
118
119
121

127
A. Pelaksanaan Qanun No. 12 Tahun 2003
127
1. Qanun dan Perundang-undangan RI lainnya
127
2. Tujuan Uqubat Khamar Menurut Qanun
129
3. Pandangan HAM Universal dan Substansi Qanun 131
a. Hukuman dalam Qanun Khamar dan ICCPR1966 140
b. Pandangan CEDAW dan CAT terhadap Uqubat 150
4. Pandangan HAM Islam
153
a. Pandangan CDHRI 1990
154
b. Pandangan DIUHR 1981
157
B. Pelaksanaan Qanun No. 13 Tahun 2003
164
1. Qanun dan Perundang-undangan RI lainnya
164
2. Uqubat Judi Menurut HAM Universal
165
3. Qanun Judi dalam Perspektif Konsep HAM Islam 167
a. Pandangan DIUHR 1981
167
b. Pandangan CDHRI 1990
169
C. Pelaksanaan Qanun No. 14 Tahun 2003
174
1. Qanun dan Perundang-undangan RI lainnya
174
2. Khalwat Menurut HAM Universal
176
3. Pandangan CEDAW
180
4. Pandangan HAM Islam
185
BAB 5

: PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran-saran

199
199
203

xii

205
211
217

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INDEKS
APPENDIX

xiii

DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. .80
Tabel 3.2. .91
Tabel 3.3 .101
Tabel 3. 4. 106
Tabel 3.5. .102
Tabel 3.6. .122
Table 3. 7 .123
Tabel 3.8

..123

Tabel 4.1. .161


Tabel 4.2. .171
Tabel 4.3. .191

xiv

BAB
1

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah


Konflik yang berlangsung lama antar pemerintah Pusat dan Aceh
telah melahirkan beberapa peraturan perundang-undangan. Perundangundangan tersebut tidak hanya merupakan wujud dari resolusi konflik
demi konflik di antara keduanya namun kerap melahirkan
penyempurnaan pada tatanan hukum perundang-undangan nasional.
Fenomena ini nampak pada pengesahan undang-undang pemberian hak
otonomi bagi Aceh untuk mengatur rumah tangganya sendiri (self
government), dalam berbagai aspek kehidupan.
Orde/masa pemerintahan yang ikut mempengaruhi nuansa politik
dan hukum (perundang-undangan) di Indonesia adalah Orde Lama
(1945-1966), Orde Baru (1966-1998) dan Orde Reformasi (1998sekarang). Faktor esensial konflik yang terjadi antara Pusat dan Aceh
pada Orde Lama adalah peleburan Aceh ke dalam bagian provinsi
Sumatra Utara, yang berubah dari apa yang dijanjikan pemerintah Orde
Lama untuk memberikan otonomi bagi Aceh untuk mengatur diri sesuai
dengan sosio-kultural masyarakatnya pasca kemerdekaan, terutama
menyangkut dengan penerapan syariat Islam. Telah terjadi negosiasi
politik antara tokoh-tokoh Aceh dengan pemerintah Pusat. Presiden
Sukarno (1945-1966) berjanji akan memberikan hak otonom bagi Aceh,
termasuk mendirikan Mahkamah Syariyah jika Aceh mendukung
kedaulatan Indonesia. Dikatakan Syed Serajul Islam bahwa Provinsi
Aceh lahir setelah adanya gejolak social (Darul Islam) yang disebabkan
oleh pengingkaran janji Sukarno terhadap tokoh-tokoh Aceh. Sukarno
membagikan pulau Sumatra menjadi tiga bagian: Pertama, Sumatra
Utara, yang termasuk Aceh; kedua, Tapanuli; dan ketiga Sumatra Timur.
Kebijakan ini telah mengurangi hak otonom bagi Aceh sekaligus
pengingkaran terhadap janji sebelumnya.1
1

Indonesian nationalist leaders gave tentative recognition to the PUSAs de


facto control of Aceh and even recognized the newlyestablished Islamic Courts.
Sukarno, the nationalist leader, met Daud Beureueh in June 1948 in Aceh and promised
that Aceh would be an Islamic province if it was committed to supporting Indonesia.

Peleburanyang mengakibatkan timbulnya gerakan Dr alIslm (DI) Aceh tahun 1953-1954 yang digerakkan Daud Beureueh itu
membawa dampak pada pengesahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan
Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara.2 Dengan perkataan lain,
akhirnya, pergolakan yang yang bercampur dengan gerakan NII (Negara
Islam Indonesia) pimpinan Kartosuwiryo dapat dipadamkan pemerintah
Pusat dengan pembentukan provinsi Aceh dan pengesahan hak otonomi. 3
Pada masa Orde Baru pimpinan Suharto (1966-1998), Hak
Otonomi untuk Aceh dari UndangUndang Nomor 24 Tahun 1956 itu
tidak direalisasikan, bahkan pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 5
Tahun 1974 tentang pemerintahan di daerah yang mengakibatkan
penghapusan sejumlah hak dan wewenang pimpinan adat di Aceh.
Kebijakan pemerintah Pusat seperti ini memunculkan gejolak lagi yang
berupa gerakan pemisahan diri dari Indonesia yang dipimpin Hasan Tiro
tahun 1976 yang memakan waktu 30 tahun. Pemerintahan Suharto
dengan mengeluarkan Undang-undang tersebut telah mengakibatkan
penghapusan wilayah mukim (kekuasaan adat) yang telah tegak dalam
wilayah Aceh sebelumnya di samping mengubah sebutan gampong
That declaration came as a serious disappointment to Acehnese; it was considered a
betrayal to preindependence pledges by Sukarno to PUSA leaders. That was the
begining of Acehnese nationalism. (Para pemimpin nasionalis Indonesia memberikan
pengakuan sementara pada pengontrolan de facto PUSA dan bahkan mengakui
pendirian Mahkamah Shariyah baru. Sukarno sebagai pemimpin nasionalis, telah
menjumpai Daud Beureueh pada Juni 1948 di Aceh dan telah menjanjikan bahwa Aceh
akan menjadi sebuah provinsi Islam jika mau mendukung Indonesia. Pernyataan
(janji) itu menjelma dalam (bentuk) pengingkaran serius terhadap rakyat Aceh;
Pengingkaran itu menjadi sebuah pengkhianatan terhadap sumpah-sumpah yang
diucapkan Sukarno di hadapan tokoh-tokoh PUSA sebelum kemerdekaan. Pengingkaran
itu juga menjadi permulaan bagi nasionalisme rakyat Aceh). Lihat Syed Serajul
Islam, The Politics of Islamic Identity in South East Asia (Mexico: Thomson, 2005), 58
dan 60. Lihat juga Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syar`iyyah dalam Sistem Peradilan
Nasional (Jakarta: Fakultas Hukum Universiatas Indonesia, 2009), 66.
2
Repulik Indonesia, UU No. 24 Tahun 1956 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 1103).
3
Abu Ramli, seorang mantan Perwira Personalia Resimen VII mengatakan
bahwa hubungan antar gerakan NII di Aceh dan NII di Jawa Barat ada, namun ideologi
dan kebijakan politik antara keduanya tidak ada hubungan apa-apa. Lihat NII Jabar
Tak Ada Hubungan dengan DI/TII di Aceh, Waspada, 17 Mei 2011, B5.

dengan desa dan kelurahan sebagai teritorial administratif paling


bawah.
Pasca kejatuhan Suharto sejak 21 Mei 1998 muncul Orde
Reformasi di Indonesia. Dalam penyelesaian konflik Aceh, pemerintah
Pusat melakukan banyak melakukan upaya penyelesaian konflik (perang
saudara antara pemerintah RI dan GAM), namun tidak menemukan
solusi. Hasil dari berbagai negosiasi, pemerintah Pusat mengeluarkan UU
No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh, 4 yang ditanda tangani presiden B. J. Habibie
(1998-1999); dan UU No. 18 Tahun 2001 bagi Daerah Istimewa Aceh
menjadi Nanggroe Aceh Darussalam, yang ditandatangani presiden
Megawati Sukarnoputri (2001-2004).
Akhirnya seiring dengan bencana alam tsunami tahun pada 26
Desember 2004yang menelan 200.000,- jiwa lebih, muncul inisiatif
baru untuk menyelesaikan konflik Aceh, yakni melalui negosiasi di meja
perundingan sehingga menghasilkan perjanjian damai (yang bersifat
internasional) antara pemerintah Pusat dan Gerakan Aceh Merdeka
(Freedom Aceh Movement) pada tanggal 15 Agustus 2005. Perjanjian itu
dipimpin Marty Ahtisaari di Helsinki, Finlandia. Dampak dari perjanjian
damai tersebut pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU itu ditanda tangani presiden Susilo
Bambang Yudoyono, yang sedang berlaku hingga saat sekarang ini.5
UU yang disahkan tahun 2006 ini menunjukkan kewenangan
pemerintah Aceh6 menjadi bertambah dalam menjalankan roda
4

Lihat Republik Indonesia, UU No. 5 Tahun 1974.


Lihat juga Republik
Indonesia UU No. 44 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893).
5
Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden yang keenam (2004-sekarang).
Sebelumnya, yang pertama Sukarno (1959-1966); kedua Suharto (1966-1998); ketiga
B. J. Habibie (1998-1999); keempat Gus Dur (1999-2001); dan kelima Megawati
Sukarnoputri (2001-2004). Lihat Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQuen. Islam
and Human Rights in Practice Prospectives across the Ummah (Canada: Routledge,
2008), 144.
6
Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Lihat Bab I Pasal 1 Ayat 4
UU No. 11 Tahun 2006.

pemerintahan, terutama dalam merealisasikan perundang-undangan RI


yang tidak terealisasikan sebelumnya. Bidang syariah dapat terlihat pada
Bab XVII Pasal 128-137, yang
memberikan kewenangan bagi
pemerintah Aceh dalam penerapan syariat di berbagai aspek (termasuk
Jinayat). Hal ini terlihat bahwa berbagai qanun (syariat) yang
sebelumnya masih bersifat kurang asosiatif, seperti Qanun-qanun turunan
UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 44 Tahun 1999, telah nampak pada
realita-aplikatif dalam kehidupan masyarakat. Keppres RI No. 11 Tahun
2003 yang menuntun Mahkamah Syariyah juga dapat dilihat telah
menemukaan porsi yudisial dalam merealisasikan Hukum Jinayat dan
lainnya.
Sebelum UU No. 11 Tahun 2006, UU No. 18 Tahun 2001 Bab
XII Pasal 25 Ayat 2 telah memuat adanya hak otonomi khusus7 bagi
Mahkamah Syariyah Provinsi. Tepatnya pada Ayat 3 dari UU No. 18
Tahun 2001 dikatakan adanya pemberian wewenang kepada legislatif
dan eksekutif Aceh untuk membuat qanun (bylaw). Mengingat UU ini,
pemerintah NAD merealisasikan Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang
khamar dan yang sejenisnya, Qanun No. 13 tentang judi (maisir), dan
Qanun No. 14 tentang khalwat.8 Pelaku pelanggaran terhadap ketiga
Qanun ini ditetapkan ketentuan hukum (h}add/tazr) pencambukan di
muka publik dengan mekanisme yang telah ditetapkan dalam qanun.
Fenomena ini tidak bertentangan dengan hukum perundang-undangan
dan Undang-undang Ketatanegaraaan Indonesia, terutama pasca
pengamandemenan UUD 1945 sebanyak empat kali.
Sekarang, Aceh dan pemerintahannya berpijak pada UU No. 11
Tahun 2006. Bab 1, Pasal 1, Ayat 2 UU tersebut menyatakan Aceh
adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum
yang bersifat istimewa dan diberikan kewenangan khusus untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
7

Penjelasan tentang Otonomi Khusus telah menemukan hasil analisis dari


Dinas Syariaat Islam NAD periode 2003-2008. Alyasa mengatakan bahwa Qanun
(yang biasanya sederajat dengan Perda) telah berubah statusnya menjadi setingkat
Peraturan Pemerintah (PP) yang bisa menyingkirkan Perpres dan Perda. Lihat Alyasa
Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam
Provinsi NAD 2008), 34.
8
Arskal Salim, Sharia in Indonesias Current Transition, dalam Asskal
Salim and Azyumardi Azra, Shari;a and Politics in Modern Indonesia (Singapore:
ISEAS, 2003), 224-226).

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan


dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Di dalam Ayat 4
Pasal tersebut juga diakatakan, Pemerintah Aceh adalah pemerintah
daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah Aceh dan DPR Daerah Aceh sesuai fungsi dan
kewenangan masing-masing.9
Setelah kurun masa 6 figur kepresidenan, hanya K. H.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), presiden RI ke-4 yang mampu
mencetuskan hak Otonomi untuk pelaksanaan syariat di Aceh tahun
1999.10 Gus Dur sendiri juga ikut terlibat dalam memberikan pendapat
tentang Syariat Islam Aceh. Gus Dur berpendapat dalam diskursus
hukum Islam, kerab mengkritisi pemahaman tentang hukum Islam
menurut zahir nas}s} semata. Gagasannya tentang pelaksanaan syariat
Islam di Aceh-Indonesia telah banyak dicetuskan. Beliau, misalnya,
mengatakan maksud dari qis}a>s} (dari ayat al-Qura>n tentang Hukum
Jinyt): jiwa (dibalas) dengan jiwa dan mata dengan mata (dalam nas}s})
adalah untuk pencegahan. Maka penafsiran h}add potong tangan bagi
tindak pidana pencurian agar tidak diberi makna secara zahiriyah ayat.
Namun yang penting ada dua prinsip yaitu menghukum dan mencegah
(punishment and preventiont).11Pandangan Gus Dur ini juga didukung
Iman Ghazali Said yang memaknai al-qat}u (memotong) dengan almanu (mencegah).12
Meskipun ketiga UU, yakni UU No. 44 Tahun 1999 tentang
keistimewaan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001, dan UU No. 11 Tahun 2006
9

4.

Republik Indonesia, UU No. 11 Tahun 2006 Bab 1, Pasal 1, Ayat 2 dan Ayat

10

Pandangan ini dicetuskan Gus Dur di Mesjid Baiturrahman B. Aceh pada


tahun 2000.
11
K. H. Abdurrahman, Misteri Kata-kata, 34. Lihat juga Sukron Kamil, dkk.,
Syariat Islam dan HAM, Dampak pada Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hakhak Perempuan dan non-Muslim (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2007), 91.
12
Iman Ghazali Said, Piagam Madinah dan Konstitusi Indonesia dalam
Masykuri Abdillah, , dkk. Formalisasi Syariat Islam di Indonesia (Jakarta: Renaisan,
2005), 127

pernah disahkan, paradigma perdebatan hukum di Indonesia yang


menyangkut dengan Aceh belum sampai ke titik terminasi. Masyarakat
masih menghadapi diskursus (perdebatan) hukum dalam realita
kehidupan sehari-hari. Perkembangan opini tentang Hukum Jinayat terus
bergulir. Namun sebagaimana dikatakan Alyasa Abu Bakar bahwa
pemerintah Aceh berusaha ingin menjadikan ketiga qanuntentang
khamar, judi dan khalwatuntuk menjadi sebuah Kompilasi Hukum
Jinayat Aceh (KHJA) yang netraldalam menemukan titik kesesuaian
di antara Jinyt Fiqhiyah dan HAM.13 Hal ini nampak pada realita
materil dari Qanun Jinayat yang disahkan tersebut. Sedangkan
Rancangan Qanun (jinayat rajam) yang datang belakanganyang
diajukan DPRA periode 2004-2009, tidak disahkan Gubernur Aceh,
karena kandunan materi hukuman rajam bagi penzina muh}s}an masih
memiliki kontradiksi yang tajam dengan Deklarasi HAM Universal dan
sejumlah hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia.14
Seiiring dengan perdebatan itu, suara perjuangan penegakan
HAM ikut bergema pasca kejatuhan kepala pemerintahan rezim Orde
Baru (Orba), Suharto 1998, dan pasca konflik Aceh reda. Perbincangan
juga menyangkut dengan pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh oleh
aparat RI tidak dapat diungkapkan pada saat konflik Aceh berlangsung.
Konflik Aceh pada masa Orba bersifat domestik dan terisolasi/jauh dari
pantauan dunia luar di dalam system pemerintahan ototiter. Dengan
muncul presiden B.J. Habibie melanjutkan tongkat estafet
kepemimpinan presiden Suharto, jantung demokrasi rakyat mulai terbuka
dan berbagai undang-undang yang menyangkut dengan HAM disahkan.
B. J. Habibie mengeluarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak
Asasi Manusia yang mengokohkan Komnas HAM yan disahkan
berdasarkan Keppres No. 50 Tahun 199815 di Indonesia yang berlaku
sampai saat sekarang ini.16
13

AlyasaAbu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh Penerapan Syariat


Islam di Aceh:Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa (Banda Aceh: Dinas
Syariat Islam Aceh, 2008), 106-168.
14
www.mahkamahsyariyahaceh.go.id diakses 1 Mei 2010.
15
Di samping kewenangan menurut UU No. 39 Tahun 1999, Komnas HAM
juga berwenang melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia
dengan dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia. Berdasarkan Undang-undang ini, Komnas HAM adalah lembaga yang

berwenang menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam melakukan
penyelidikan ini Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat.
16
Menanggapi hukuman h}add/Jina>yat kontemporer di Aceh dapat melanggar
HAM, Hasanuddin Yusuf Adan mengatakan bahwa Hak Azasi Manusia (HAM) yang
dalam yang dalam bahasa Inggeris disebut Human Rights akhir-akhir ini sudah
dijadikan raja oleh sebahagian manusia di dunia raya ini. Padahal ia tidak lebih dari
sebuah aturan yang disusun oleh manusia yang diciptakan Allah dan memiliki banyak
kelemahan. Sementara Hukuman cambuk merupakan komponen resmi dan penting dari
Hukum Jinayah (Pidana Islam) yang elemen-elemennya langsung datang dari Allah
selaku pencipta lebih ditinggalkan dari pada para penyusun HAM.
Menurutnya, memang selama ini di Aceh banyak orang yang menantang
pelaksanaan hukuman cambuk sebagai salah satu dimensi dari Hukum Islam. Alasan
mereka selalu dikaitkan dengan pelanggaran HAM. Mencambuk orang yang melanggar
syariat Islam adalah melanggar HAM, paling tidak demikianlah ucapan gamblang
mereka. Tetapi mereka tidak pernah menguraikan bagaimana tata cara pelaksanaan
Hukum Islam yang penuh kemuslihatan itu. Mereka tidak pernah mengkajinya dengan
kajian ilmiah dan objektif, yang ada adalah pemahaman terhadap ketentuan-ketentuan
HAM itu sendiri baik yang tertera dalam Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia (The
Universal Declaration of Human Rights), yang salah satu instrumennya adalah
Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah disahkan ke dalam UndangUndang No. 12 Tahun 2005.
Dengan gambaran seperti di atas, maka tidak dapat dengan serta merta
seseorang itu menyimpulkan bahwa Hukuman Cambuk melanggar HAM. Apa lagi
kalau kebanyakan yang mengatakan demikian sudah menjadi agen pihak tertentu yang
menutup mata terhadap kemuslihatan Hukum Islam dan keadilan hukuman cambuk.
Dari segi usia antara HAM atau DUHAM dengan hukuman cambuk jauh sekali lebih
tua hukuman cambuk, HAM itu muncul lebih kurang 600 tahun setelah lahirnya
Hukuman Cambuk. Dari segi pencipta juga tidak dapat disetarakan sama sekali karena
hukuman cambuk milik dan ciptaan Allah sementara HAM buatan manusia yang
manusia itu sendiri diciptakan, dihidupkan, dinafkahi, disejahterakan dan diberikan
rezeki oleh Allah SWT. Toh karena mengikuti perkembangan HAM di Eropa, yang
berasal dari dokumen Magna Charta 1512.
Hukuman cambuk itu dilaksanakan dalam pidana Islam sebagai balasan bagi
pelanggar Hukum Allah dengan tujuan untuk menjerakan pelanggar syariah dan
memberi pelajaran kepada orang lain yang belum melanggarnya agar mereka tunduk
dan patuh kepada Allah sang Khaliq dan Maha Raja dari segala raja-raja yang ada.
Artinya, itu merupakan salah satu hukum atau undang-undang atau peraturan baku yang
positif, objektif dan logis bagi seluruh ummat manusia yang berpikir waras dan baik.

Lihat
http://ummahonline
wordpress.com/2010/02/19/aceh-antar-hukumcambuk-dan-ham/ (diakses 9 Desember 2010). Lihat juga Nazila Ghanea, Alan
Stephens and Raphael Walden, Does God Believe in Human Rights?: Studies on
Religion, Secular Beliefs and Human Rights (Boston: Martinus Nijhoff
Publishers, 2007), 14.

Hak demokrasi rakyat juga dibuka lebar bagi dunia. Bahkan isu
(penyuaraan) tentang HAM lebih bergema ketika qanun yang
menyangkut jinayat (terutama hukuman pencambukan) diterapkan di
Aceh sejak tahun 2003 sampai saat sekarang ini.
Memang sejak zamam Yunani kuno Hak Asasi Manusia telah
muncul dan diterjemahkan sebagai hak yang melekat pada diri setiap
manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak
dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik yang
menuntut setiap individu menjunjung tinggi nilai hak tersebut tanpa
membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain
sebagainya. Seorang Folosof Yunani, Aristoteles telah menulis tentang
hak-hak dari warga Negara secara luas untuk memiliki dan berpartisipasi
dalam urusan public (ancient philosophers such as Aristoteles wrote
extensively on the rights of citizens to property and participation in
public affairs).17
Menyangkut HAM, selain menggalang kerjasama bangsa-bangsa
global (United Nations), secara regional, Indonesia bersama dengan
Negara-negara tetangganya juga telah menyepakati beberapa kesepakatan
internasional, sebagaimana dikatakan dalam sebuah dokumen tentang
HAM:
Indonesia has, both by ASEAN and Islamic world
standards, been diligent in accepting major human rights
conventions over the past forty years. It has ratified 12 of the 16
main UN conventions, including the Universal Declaration on
Human Rights (UDHR), the International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR), the International Covenant on
Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) and the
International Covenant on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women (CEDAW). It has also played a
role in the UN General Assembly debates on the ICCPR and
17

However, neither the Greeks nor the Romans had any concept of universal
human rights; slavery, for instance, was justified both in ancient and modern times as a
natural condition. Medieval charters of liberty such as the English Magna Carta were
not charters of human rights, let alone general charters of rights: they instead constituted
a
form
of
limited
political
and
legal
agreement.
Lihat
http://www.UDHR/Human_rights. htm, diakses tanggal 7 Desember 2010, diakses
tanggal 17 Desember 2010.

ICESCR as a member of the Third Committee and later had an


individual representative on the final committee formulating
both conventions. Indonesia has often been present at, though
not a leading player in, the various initiatives to draft an Islamicbased human rights declaration or convention. Indonesia had
representation at the 1990 meeting of Organization of the Islamic
Conference (OIC) member foreign ministers which adopted the
Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI).18
Berdasarkan bunyi dokumen tersebut, Indonesia bersama
Negara-negara OKI telah berperan serta dalam menyelesaikan persoalan
Islam global menyangkut konsep hak asasi manusia. Konsep HAM yang
dicetuskan OKI adalah berdasarkan Islam, yang dikenal dengan
Deklarasi Kairo tentang hak-hak Asasi Manusia (Cairo Declaration on
Human Rights in Islam) Agustus 1990. CDHRI ini merupakan
kesepakatan Negara-negara muslim untuk menyepakati keputusan
bersama yang menyangkut dengan persoalan hukuman pidana (mati) atas
riddah (dan rajam) yang dikatakan melanggar hak asasi manusia oleh
Pasal 18 UDHR 1948.19Menurut pihak ini DUHR 1948 masih bersifat
relatif.
Pasal 25 CDHRI mengimplikasikan bahwa OKI mengakui
pluralitas mazhab fiqh dalam dunia Islam. Hukum Islam dapat
diterapkan menurut daya terima (receptive) masyarakat di kawasankawasan tertentu dari belahan bumi. Sejumlah mazhab hukum Islam
seperti Sunni, Shii>, Jafar, Mutazil, H{nf, Mlik, Shfi, H{anbal,
Wahabi>, Z{hir, Madhhab, Non-Madhhab, Zuhail, Islam Rasional
(kelanjutan dari paham mutazilah)20 dan lain-lain dapat diamalkan umat
Islam sesuai situasi dan kondisi mereka. Bahkan Organisasi Islam dunia
ini juga ingin mewujudkan Islam menjadi suatu agama yang dapat
membawa rahmat bagi sekalian alam, sehingga hukum Islam menjadi
pedoman dalam kehidupan umat Islam dalam bermasyarakat, berbangsa

18

Lihat http://www.UDHR/Human_rights. htm, diakses tanggal 7 Desember

2010.
19

Ann Elizabeth Mayer Islam, and Human Right, Tradition and Politics
(Colorado: Westview Press, 1999), 23.
20
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Jakarta: Mizan,
1994), 211-283.

10

dan bernegara di manapun mereka berada, tak terkecuali bagi umat Islam
di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 21
Penerapan Hukum Islam di Aceh-Indonesia didukung oleh
konstitusi negara (Undang-undang Dasar 1945). Di dalam Pasal 29
dikatakan bahwa kebebasan beragama di Indonesia berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa. Kandungan Konstitusi juga telah ikut melatar
belakangi sejumlah Undang-undang RI yang menyangkut Aceh seperti:
UU No. 44 Tahun 1999, dan UU No. 18 Tahun 200. Pasca Mou Helsinki
disahkan pula UU No.11 Tahun 2006. Fenomena ini menunjukkan
bahwa konstituisi Negara RI ikut melatar belakangi pengesahan dan
pelaksanaan Qanun Aceh tentang jinayah.
Di dalam Qanun Jinayat masyarakat diberikan peranan untuk
mencegah terjadinya jarimah (kejahatan) minuman khamar, judi, dan
khalwat. Peran serta umat Islam tersebut bukan dalam bentuk main
hakim sendiri, namun berdasarkan proses peradilan di Mhkamah. Jika
tidak menoleh ke aspek HAM, uqubat cambuk yang diatur Qanun akan
lebih efektif karena memberi rasa malu dan tidak menimbulkan resiko
serius bagi keluarga, jenis hukuman ini juga memadai biaya lebih murah
yang ditanggung pemerintah dibandingkan jenis uqubat lainnya, seperti
penahanan, yang lebih banyak menghabiskan dana dalam proses
penghukuman pelaku kejahatan. Urensi qanun jinayat juga merupakan
salah satu upaya pemerintah Aceh untuk menghindari kevakuman
hukum dalam kancah upaya merealisasikan hukum perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia yang terkait dengan pidana. Lembaga
Mahkamah Syariyah dan Wilayatul Hisbah diberikan tugas dalam upaya
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi (cambuk) dan
pengawasan pelaku tindak pidana yang telah diqanunkan. 22
Ketua Dewan Dawah Islam Indonesia wilayah Aceh,
Hasanuddin menegaskan bahwa hukuman cambuk sama sekali tidak
melanggar HAM dan tidak akan melanggar HAM kalau eksekutor
menjalankannya mengikuti ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Sebaliknya, malah HAM itu sendiri yang selama ini menjajah hukum
Islam khususnya hukuman cambuk. Pegiat HAM di seluruh penjuru
dunia harus belajar Hukum Islam dan belajar rasionalisasi Hukum Islam
21

CDHRI 1990 Pasal 25.


Lihat qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 1, 16, dan 17 ; Qanun No. 13 Tahun
2003 Pasal 1 dan 16; dan Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 1 dan 13.
22

11

agar tidak berprasangka jahat terhadap Hukum Allah ini. Jangan


mengedepankan Hak Azasi Manusia hanya dalam batas-batas yang
menguntungkan mereka saja dengan berupaya menghambat berjalannya
Hukum Islam di negara dan wilayah mayoritas muslim seperti di Aceh.
Itu tidak berhak sama sekali, semua manusia bebas beragama adalah
salah satu ketentuan HAM, karena sudah bebas beragama maka bebas
pula bagi mereka untuk menjalankan ketentuan agamanya.23 Hukuman
ini merupakan salah satu ketentuan agama Islam yang wajib dilaksanakan
oleh semua muslim di seluruh alam. Karenanya tidak berhak pihak lain
dengan mengatasnamakan HAM menghambat, melarang dan
mencemooh berlakunya kukuman cambuk di Aceh karena itu dibenarkan
oleh ketentuan HAM dunia berkenaan dengan kebebasan beragama.24
Senada dengan Hasanuddin, Sulieman Abdul Rahman Al-Hageel telah
membuat penafsiran lebih moderat. Ia menegaskan bahwa orang muslim
telah terikat dengan ketentuan Islamnya, maka hukum takli>fi> berlaku
atasnya. Fenomena seperti ini menurutnya tidak dapat dikatakan
melanggar HAM.25
Hukuman yang menjerakan pelaku tindak pidana terdapat pula
oleh Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional yang
ditetapkan oleh Konperensi Diplomatik PBB di Plenipotentiaries pada 17
Juli 1998. Pasal 7 Statuta Roma menyatakan tindakan penyiksaan yang
sudah menyebar luas atau secara sistematis dan tindakan tidak manusiawi
lainnya yang menyebabkan penderitaan atau terluka secara fisik maupun
mental dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Penyiksaan
didefinisikan sebagai tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau
penderitaan baik secara fisik maupun mental terhadap seseorang dalam
tahanan atau seorang tersangka dalam hukum; terkecuali apabila
merupakan bagian dari sanksi hukum dan tidak menyebabkan adanya
penderitaan.26
23

Pasal 18 ayat (1) UDHR 1948


Hasanuddin Yusuf Adan, Aceh Antara Hukuman Cambuk dan HAM,
http://ummahonline wordpress.com/2010/02/19/aceh-antar-hukum-cambuk-dan-ham/
(diakses 9 Desember 2010).
25
Sulieman Abdul Rahman Al-Hageel, Human Rights in Islam and
Refutation of the Misconceived Allegations Associated with this Rights, 2nd edition
(Arab Saudi: HRH Prince Sultan Ibn Abdul-Aziz al-Sau>d, 1999) , 23.
26
Lihat Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional yang ditetapkan
oleh Konperensi Diplomatik PBB di Plenipotentiaries pada 17 Juli 1998.
24

12

Berbeda dengan pandangan tersebut, ada juga pandangan muslim


liberal yang tidak setuju dengan penghukuman h}add dalam Islam.
Realita ini terlihat pada contoh yang diberikan Sukron Kamil dkk dalam
Syariat Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan
Sipil , Hak-hak Perempuan dan Non-Muslim bahwa terdapat pandangan
Fazlur Rahman, seorang cendekiawan neo-modernis yang hijrah dari
Pakistan ke Amerika karena merasa tidak ada kebebasan akademik di
negaranya. Menurutnya, hukum (h}add) potong tangan yang ditetapkan
Pakistan merupakan sesuatu yang mengerikan dan merupakan tradisi
(hukum) masyarakat Arab, yang tidak mesti diterapkan di luar Arab.27
Dengan perkataan lain baik Gus Dur, Sukron Kamil, ataupun Fazlur
Rahman telah ikut mengintepretasikan hukum Islam jinayat menurut
pandangan modern.
Selain itu, pelaksanaan Qanun Aceh mendapat pantauan pegiat
HAM. Pihak Human Right Watch (HRW) melakukan penelitian
menyangkut dengan adanya pelanggaran HAM pada realisasi Qanun
Aceh. Setelah melakukan penelitian mulai bulan Mei-April 2010 di
Aceh, HRW merekomendasikan kepada pihak terkait agar membatalkan
Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang khalwat, dan mengamandemen Qanun
No. 11 Tahun 2002 tentang busana muslimah. Wakil Direktur HRW
Asia, Elaine Pearson mengatakan bahwa HRW pada dasarnya bersikap
netral atas penerapan syariat di Aceh, dan mereka sebenarnya tidak
punya posisi pada syariat kecuali bila bertentangan dengan HAM yang
dilindungi Undang-undang dan berbagai konvensi (HAM) yang
diratifikasi Indonesia.28
Berdasarkan uraian di atas studi ini ingin membahas tentang
bagaimana pandangan fiqh dan HAM terhadap pelaksanaan hukum
jinayatyang sejak zaman dahulu didambakan masyarakat Aceh dalam
konteks negara kebangsaan (baca: negara bangsa) yang berdasarkan
Pancasila pada saat sekarang ini. 29Dengan pekataan lain, hukum jinayat
27

Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariat Islam dan HAM, Dampak
pada Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan non-Muslim,
91.
28
Hukum dan Kriminalitas, Gatra.Com, tanggal 9 Desember 2010, 1 dalam
http://www.gatra.com/artikel.php?id=143697 (diakses tanggal 15-02-2011).
29
Kondisi kemajemukan kehidupan umat beragama telah di atur sejak Nabi
Saw. Nabi Saw membentuk Piagam Madinah (Madinah Charter) yang mengayomi
semua ummat, tanpa membentuk Negara Islam. Prinsip toleransi dan sikap lakum

13

yang diberlakukan di Aceh sebagaimana Qanun No. 12, 13, dan 14


merupakan peluang otonomis semata, sehingga tidak bertentangan
dengan ideologi negara dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
30

B. Permasalahan
1. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Studi ini mengkaji konsep dan ruang lingkup hak otonomi dan
keistemewaan bagi Aceh yang menyangkut dengan penerapan syariat
Islam yang telah disahkan oleh sejumlah Undang-undang, seperti UU
No. 44 Tahun 2009, UU No. 18 Tahun 2001, UU No. 11 Tahun 2006,
dan bahkan UUD 1945 (sebagai konstitisi Negara). Hak otonomi dan
keistimewaan yang dimaksudkan dalam studi ini adalah hak dalam
penerapan hukum jinayat sebagaimana yang terdapat dalam Qanun No.
12, 13, dan 14 Tahun 2003.

di>nukum waliadin di antara agamaagama yang beerbeda-beda tumbuh pada masa Nabi
Saw. Dikatakan Norrahman dalam artikelnya Copatibility between Pancasila and
Sharia-based Islamic Teaching yang dimuat oleh The Jakarta Post, tanggal 10 Januari
2010, 6, It is correct that when he migrated to Medina, Muhammad was trusted to
become the leader of plural society consisting of many tribes and religions.In a state
where Muslims have been given the freedom to conduct. Di dalam List of Muslim
Majority Countries juga dinyatakan bahwa Indonesia adalah Non Religion State
(bukan Negara Agama). Lihat http//www. List_of_Muslim_majority_countries.htm
(diakses tanggal 7 Desember 2010).
30
Pertentangan-pertentangan hukum Jinayat dengan hukum adat di Indonesia
merupakan realita keniscayaan di dalam dunia hukum. Bahkan di antara hukum Islam
itu sendiri juga kerap terjadi pertentangan karena perbedaan penafsiran dari sumbernya
(nas}). Terdapat banyak perbedaan metode analogi dan pemahaman masing-masing
pakar Fiqh. Pengalaman historis-keindonesian menunjukkan adanya persoalan
penerapan Hukum Pidana Islam (Jinyt) yang melahirkan konflik antara golongan
madzhabi> dan non-madzhabi>. Golongan madhhab kerab merujuk kitab fiqh imam
madhhab (yang berisi al-ah}ka>m al-urufi>yah) dalam memutuskan perkara, sedangkan
golojan non-madhhab tidak bermazhab) menarjih zahir nas} secara langsung dalam
pemutusan perkara jinayat dan persoalan hukum lainnya. Belanda ketika menjajah
Indonesia tempo dulu memanfaatkan kondisi untuk melakukan pendekatan konflik,
dengan mengadu domba antara golongan adat (young people) dan golongan
paderi/golongan ulama (old people) pada awal abad ke-18 M. Lihat Ratno Lukito,
Islamic Law and Adat Encounter, 16. Lihat Juga Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa
Majlis Ulama al Induni>si>: Dira>sah fi al-Fikri al-Tashri> i> al-Isla>mi> bi Indu>ni>sia>
1975-1988 (Jakarta: INIS, 1992), 38.

14

Peluang penerepan hukum Islam di Aceh yang dipayungi sejumlah


hukum perundang-undangan tersebut, membuat studi ini meninjau
sejauh mana konsep Fiqh Islam dan HAM yang telah direalisasikan
dalam pelakasanaan Qanun-qanun tersebut, terutama dalam penanganan
kasus tindak pidana dengan hukuman (uqu>ba>t) pencambukan.
Pandangan Fiqh terhadap pelaksanan Qanun-qanun tersebut
didasarkan pada pendapat sejumlah imam mazhab Fiqh yang
berkembang dalam Islam. Sedankan pandangan hukum HAM akan
dinilai dengan sejumlah pasal UDHR dan kesepakatan (covenants)
HAM dunia, termasuk yang sudah diratifikasi (disahkan) untuk
menjadi Hukum Perundang-undangan RI seperti UU No. 68 Tahun 1998
sebagai tindak lanjut dari Konvensi tentang Hak Politik Kaum
Perempuan (CPRW); UU No. 7 Tahun 1984 sebagai tindak lanjut dari
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (CEDAW); UU No. 5 Tahun 1998 sebagai tindak lanjut dari
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat
Manusia (Toture Convention); dan instrument HAM lainnya yang
terkait yang telah diratifikasi Indonesia.
Studi ini mengidentifikasikan masalah-maslah bagaimana Qanun
Aceh tersebut mempertimbangkan dampak dari keseluruhan konvensi
HAM tersebut pada penerapan Hukum Jinyt/penghukuman cambuk
di Aceh. Studi ini juga menyinggung alternatif kebijakan yang
ditempuh konsep HAM Islam (CDHRI dan UIDHR) yang dapat
menghubungkan antara hukum jinayat dengan pandangan peratifikasian
UU dari kovenan-kovenan HAM tersebut, mengingat hukum jinayat
bersumber dari hukum (agama) Islam. Dengan perkataan lain, sejumlah
instrument HAM tersebut bersama dengan factor-faktor terkait, akan
menjadi suatu bahan analisa bagi studi ini.
Jadi, studi ini hanya membatasi permasalahan pada pelaksanaan
syariat Islam (jinyt) di Aceh priode Pemerintahan Aceh kontemporer
yang menyangkut dengan:
a. Kebijakan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh, dan
UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Daerah Istimewa
Aceh menjadi Naggroe Aceh Darussalam terhadap pengesahan
Perda Prov. DI Aceh No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat

15

Islam/Hukum Jinyt.31 Penelitian juga menganalisa dampak hukum


perundang-undangan tersebut terhadap pengesahan Qnn No. 12
Tahun 2003 tentang khamar dan Sejenisnya, Qanun No. 13 Tahun
2003 tentang Perjudian, dan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang
Khalwtyang kerab dikenal dengan Qanun Jinayat.
b. Realitas perspektif Fiqh Islam dan HAM terhadap pelaksanaan
Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar dan sejenisnya, Qnn
No. 13 Tahun 2003 tentang Perjudian, dan Qanun No. 14 Tahun 2003
tentang Khalwt
c. Konsep-konsep HAM yang berkembang, yakni: UDHR 1948, ICCPR
1966, CAT 1984, CEDAW 1979, UIDHR 1981, CDHR 1990 dalam
proses pengimplementasian Hukum Jinyt di Aceh.
2. Perumusan Masalah
Banyak persoalan yang dihadapi Qanun Aceh yang berhubungan
dengan pelaksanaan syariat Islam. Tidak semua persoalan tersebut dapat
dijawab dalam penelitian ini. Studi ini dilakukan hanya dalam rangka
menjawab dua pertanyaan, yaitu: Pertama, bagaimana pelaksanaan
hukum Jinayat di Aceh menurut perspektif Fiqh Islam dan HAM ?Kedua,
sejauh mana peluang hak otonomi bagi Aceh dalam penerapan Hukum
Jinayat selama pemerintahan Aceh kontemporer?32Kedua pertanyaan ini
diberi jawaban berdasarkan pelaksanaan Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun
2003.
C. Tujuan Penelitian
31

Analogi dari term


al-Fiqh al-Islm menjadi term Hukum Islam,
sebagaimana dipaparkan Abd. Shomad, maka dari al-fqh al-jinmenurut penelitian
inijuga dapat dijabarkan menjadi term hukum jinayat dalam tema besar Penelitian
ini. Mukri Ali, dengan mengutip Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Indonesia,
mengatakan bahwa kata hukum berasal dari kata Arab al-h}ukm berarti menetapkan
sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya. Secara bahasa al-h}ukm berarti juga
mempunyai pengertian al-qad}a> (ketetepan) dan al-mni (pencegahan). Lihat Abd.
Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Cet. 1
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 25. Lihat juga Mukhtar Ali, Prospek
Fatwa sebagai Hukum Positif di Indonesisia (Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2009), 51.
32
Kontemporer artinya: sezaman, semasa; bersamaan waktu; di waktu yang
sama; masa kini dan dewasa ini. Lihat Badu Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), 10.

16

Adapun tujuan penelitian ini adalah sbb:


1. Untuk menguraikan bagaimana perspektif Fiqh dan DUHAM
terhadap Hukum Jinayat Aceh.
2. Untuk menguraikan mengapa Hukum Jinayat diterapkan di
Aceh. 33
3. Untuk menjelaskan dampak sosio-legal-historis terhadap
pelaksanaan hukum jinayat di Aceh pada zaman kontemporer.
D.

Kajian kepustakaan dan penelitian terdahulu yang relevan


Terdapat beberapa studi yang telah dilakukan yang berkaitan
dengan studi ini, antara lain:
1. Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of
Indonesia (Kanada: McGill University, 1997).
2. Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and
Politics, 3rd Edition (Colorado: Westview, 1999).
3. Azyumardi Azra, Implementasi Syariat Islam di Nanggroe Aceh
Darussalam, dalam Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat
Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi menuju

33

Tujuan Hukum Islam menurut shara, telah disinggung Abdu al-Qa>dir


U<dah dalam al-Tashri> al-Jini, al-Islm Muqranan bi al-Qnu>n al-Wad},
115,yaitu:

"


"

Dalam rangka merealisasikan tujuan itu, di dalam perkara jinayah, Islam
menetapkan qis}a>s}, h}add, diyat dan tazr, terhadap pelaku kejahatan tertentu. Orang
merasa takut dipotong tangannya bila ia mencuri, merasa takut didera/dirajam bila ia
berzina, dan merasa takut disalib bila ia memberontak (bugwah) terhadap imam
(pemimpin) yang sah. Sehubungan dengan tujuan tersebut; Qanun Aceh juga
menetapkan beberapa tujuan, yakni: a. menegakkan Syariat Islam dan adat istiadat
yang berlaku dalam masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; b. melindungi
masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak
kehormatan; c. mencegah anggota masyarakat sedini mungkin dari melakukan
perbuatan yang mengarah kepada zina; d. meningkatkan peran serta masyarakat dalam
mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum; e. menutup peluang
terjadinya kerusakan moral. (Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003).

17

Pelaksanaan Hukum Islam di NAD, Cet. 1 (Banda Aceh: Ar-Raniry


Press, 2000).
4. Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQueen, Islam and Human
Rights in Practice Prospectives across the Ummah (London:
Routledge, 2005).
5. R. Michael Feener and Mark E. Cammack, Islamic law in
Contemporary Indonesia Ideas and Institution (Massechusset:
Harvard university Press, 2007).
6. Alyasa Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh: Upaya
Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa (Banda Aceh: Dinas Syariat
Islam Aceh, 2008).
7. Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syar`iyyah dalam System Peradilan
Nasional (Jakarta: Fakultas Hukum Universiatas Indonesia, 2009).
Karya pertama, Ratno Lukito menulis bahwa pertemuan antara
hukum adat (customary law) dan hukum Islam di Indonesia telah terjadi
sebelum dan sesudah Indonesia merdeka 1945. Dalam karyanya itu,
Ratno telah membuat pembahasan historis yang mendiskrepsikan proses
dan prosedur peradilan (jinayah) pada Mahkamah Syariyah Aceh.
Karya kedua, Mayer membahas tentang UDHR 1948, dan
efeknya terhadap UIDHR 1981 dan Cairo Declaration of Human Rights
in Islam (CDHRI) 1990 yang menjadi pelengkap (complement) bagi
penegakan hukum yang berkaitan dengan pelanggaran Hak-hak asasi
manusia menurut konsep Negara-negara Islam dan Umat Islam. Ia juga
mengutarakan hukuman jina>ya>t (h}udu>d) dan hubungannya dengan HAM.
Karya ketiga, Rusjdi Ali Muhammad dalam karyanya telah
mampu menghimpun sejumlah artikel dari penulis-penulis Indonesia
dalam mendukung karyanya yang menyangkut dengan implementsi
syariat Islam di Aceh.34 Ia juga mengetengahkan tentang adanya
pelanggaran HAM yang tidak disidangkan sebagai imbas dari konflik
Aceh (1976-2005). Dalam salah satu artikel yang berjudul Implementasi
Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Azyumardi Azra
mengatakan bahwa sejarah menyangkut Islam di Nusantara, kesultanan
Aceh merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Indonesia.
34

Azyumardi Azra, Implementasi Syariat Islam di Nanggroe Aceh


Darussalam dalam Rusydi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh;
Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di NAD, cet. 1
(Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2000), 30.

18

Sebelum muncul kesultanan Aceh, yang paling penting adalah Kerajaan


Perlak dan Kesultanan Pase yang keduanya terletak di Ujung Timur Laut
Sumatara. Marcopolo mengunjungi Perlak pada tahumn 1292
memberikan bukti pertama tentang sebuah kesultanan Aceh di Nusantara.
Kesultanan Aceh yang mulanya bukan sebuah kerajaan penting di bagian
paling barat laut Sumatra, di bawah kekuasaan Ali Munghayat Syah (w.
1530) berhasil mepersatukan bagian kerajaan kecil yang terbelah secara
tajam di kawasan utara Sumatra menjelang awal abad ke 16. Pernyataan
Azyumardi Azra tersebut menunjukkan bahwa kerajaan Aceh
menerapkan syariat Islam dalam system pemerintahannya secara ka>ffah
(menyeluruh).
Karya keempat, Akbarzadeh35 dan MacQueen36 mengetengahkan
perkembangan hak asasi manusia dan bagaimana harapannya terhadap
kenyataan tentang hak-hak asasi manusia di Indonesia, dan
mengetengahkan perbedaan antara konsep HAM Universal antara
persepsi Islam dan persepsi dunia (Differences between Islamist and
universalist human rights codes). Dalam ungkapan aslinya Akbarzadeh
mengatakan:
Ada lima perkara utama yang menjadi keberatan pihak
Islam terhadap Hak-hak Asasi Manusia Sejagat, sebagaimana
tercantum di dalam naskah-naskah UDHR dan ICCPR, yaitu: (1)
hak untuk mengubah agama; (2) hak untuk kawin campur (antar
agama, khususnya seorang wanita muslimah untuk mengawini
lelaki non-muslim); (3) hak-hak untuk mencampuradukkan di
antara masyarakat beragama; (4) kebebasan untuk mengamalkan
ajaran agama atau kepercayaan; dan (5) persamaan gender.
Semua perkara ini sangat dipengaruhi oleh persepsi sejarah
Islam dan kepercayaan di bawah ancaman musuh-musuhnya.
(There are five main areas of Islams objection to
universalist notions of human rights, as embodied in documents
such as the UDHR and ICCPR. These are: (1) the right to
35

Seorang professor di bidang penelitian tentang keislaaman di Universitas


Melbourne, Australia.
36
Seorang penasehat badan penelitian tentang keislaman di Universitas
Melbourne, Australia.

19

change religion; (2) the right to inter-religious marriages


(particularly a Muslim woman marrying a non-Muslim man); (3)
the right to proselytize among religious communities; (4)
freedom to practice a religion or belief; and (5) gender equality.
All of these have been strongly influenced by the historical
perceptions of Islamists and the belief that Islam is under attack
from its foes).37
Item ke-4 dan ke-5 dari ungkapan Shahram tersebut agak terkait dengan
pelaksanaan Qanun No, 12, 13, dan, 14 Tahun 2003.
Karya kelima, R. Micheal Feener dan Mark E. Cammack telah
menghimpun sejumlah artikel yang mengupas tentang hukum perundangundangan RI yang terkait dengan pelaksanaan Hukum Islam di
Indonesia. Di dalam sebuah artikel yang berjudul Sharia Revival in
Aceh, Tim Lindsey bersama H. B. Hooker, Ross Clarke, dan Jerami
Kingsley telah menguraikan peran Dinas Syariat Islam (Shari`a Office),
Majlis Permusyawaratan Ulama dalam pecetusan Qanun-Qanun, dan
peran Mahkamah Syariyah dan Wilayatul Hisbah di Aceh dalam
merelisasikan Qanun-Qanun Jinayat.
Karya keenam, Alyasa Abu Bakar sebagai ketua Dinas
Syariat Islam Aceh periode 2003-2008 membahas tentang syariat Islam
Aceh dari berbagai fase pengesahan Undang-undang yang berkaitan
dengan syariat Islam. Ia juga telah memberikan maksud dari Otonomi
Khusus dalam aspek Peradilan Islam (Mahkamah Syariyah) bagi Aceh,
dan di periode kepemimpinannya, tiga Qanun yang berkaitan dengan
syariat Islam Jinayat dicetuskan.
Karya ketujuh, Syamsuhadi Irsyad telah mampu membuat
uraian tentang peran dan kedudukan Qanun Jinayat dalam system
peradilan nasional. Setelah mengalisa perundang-undangan yang relevan
ia menyimpulkan telah ada perkembangan hukum pidana Islam yang
menjadi hukum positif di Indonesia melalui implementasi Qanun di
Aceh.
E. Signifikansi Penelitian

37

Shahram Akbarzadeh and MacQueen, Islam and Human Rigts in Practice


Prospectives Across the Ummah, 142.

20

Studi ini, berat kemungkinan, dapat memberikan secercah


harapan bagi pegiat HAM dan penegak hukum Islam di Aceh-Indonesia
untuk memahami pentingnya HAM dan Fiqh Jinayat direalisasikan di
dalam tatanan hukum sehari-hari. Setelah perjuangan panjang umat Islam
Aceh-Indonesia telah dapat mengungkapkan suatu hukum positif yang
baru yang bersumber dari hukum Islam yang menyangkut dengan tindak
pidana dalam realisasasi Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003. Studi ini
juga telah memberikan suatu jawaban terhadap persoalan tentang
bagaimana perpektif fiqh dan HAM terhadap pelaksanaan hukum pidana
Islam di dunia umumnya dan di Aceh khususnya, yang berbeda dengan
penelitian lain yang hanya melakukan oposisi terhadap hukum Islam dan
konsep HAM yang dianut dunia dan umat Islam.
Tegasnya, penelitian ini menyatakan bahwa sangat banyak pakar
yang telah membahas persoalan (yang berupa keterkaitan dan perbedaan
antara konsep HAM dengan hukum jinayat), namun belum menemukan
titik temu antara HAM dan Hukum Jinayat. Faktanya terlihat pada
literatur-literatur pakar yang membahas Fiqh Jinayat dan HAM. Namun,
setelah meneliti Qanun Aceh, penelitian ini dapat memberikan sedikit
konstribusi (sumbangan) solusi tentang kerenggangan (gap) antara HAM
dan Fiqh dalam menanggapi aspek penghukuman terhadap tindak pidana
yang dilakukan manusia. Faktor yang mewujudkan fenomena ini antara
lain disebabkan adanya pengontrolan ketiga qanun oleh hukum
perundang-undangan yang lebih tinggi yakni UU No. 18 Tahun 2001
dan UU No. 11 Tahun 2006 yang menyangkut dengan urusan Aceh.
Tanpa kedua UU ini qanun Aceh sulit disahkan dan direalisasikan di
Aceh-Indonesia. Maka jika Al-Hageel, misalnya, telah melakukan
oposisi (perlawanan) terhadap DUHAM, penelitian ini justru
mengungkapkan realita positif yang terkandung di dalam DUHAM dan
hukum Islam (jinayat) bagi penegakan hukum di Aceh-Indonesia.
Selain itu dapat juga dikatakan bahwa melalui pengqanunan
ketiga Qanun ini, masyarakat Aceh dapat melihat kembali latar belakang
sejarah otonomi khusus bagi Aceh untuk melaksanakan Hukum Islam
(Jinyt) tanpa harus menempuh jalan kekerasan seperti yang dilakukan
Ikhwa>n al-Muslimi>n (Mesir), sebagaimana dikatakan Sidqi.38 Bahkan
38

Undang-undang dalam arti material berarti semua peraturan yang bersifat


undang-undang yang dibuat oleh pemerintah atau DPR, seperti: Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden (Keppres), Peraturan Menteri, dan lain-lain. Dalam arti formal

21

dengan pengqanunan hukum jinayat juga memungkinkan pemerintah


Aceh dan pemerintah Pusat, dapat meningkatkan status Hukum Jinyt
Aceh ke ruang lingkup implementasi yang lebih luas, sehingga Fiqh
Jinayat yang ada dalam Islam dapat dikembangkan dalam realita proses
peradilan dengan metode lebih modern dan lebih cocok untuk dimensi
ruang dan waktu di zaman sekarang ini.39
Penerapan hukum Islam (Jinayah) secara tidak ofensif melalui
pengqanunan, dapat menjadi harapan politik syariat Islam (siya>sah
shari>yah) dalam merealisasikan kandungan fiqh Islam. Qanun jinayah
dapat menunjukkan hukum Islam jauh dari keseraman, yang
memungkinkan pertimbangan untuk penerapannya di dunia. Pandangan
seperti ini telah disinggung Norrahman, seorang guru besar UIN
Bandung. dalam artikelnya Compatibility between Pancasila and ShariaBased Islamic Teachings pada tanggal 10 Januari 2010.40
adalah peraturan yang dibuat oleh DPR bersama-sama pemerintah berdasarkan Pasal 5
Ayat (1) dan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undamg Dasar 1945. Perundang-undangan
ialah segala hal yang berhubungan dengan undang-undang.Qnn adalah Peraturan
Perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Provinsi Aceh. Qnn Aceh, yang berlaku
di seluruh wilayah Provinsi Aceh. Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur setelah
mendapat persetujuan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Lihat
http://en.wikipedia.org/wiki/Qanun (diakses tanggal 24 Agustus 2010).
39
Abdul Aziz Sidqi, Pemikiran Said Qut}b tentang Jihad (Tesis PPs Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2000), 62. Lihat juga Shahram Akbarzadeh and Benjamin
MacQueen, Islam and Human Rights in Practice Prospectives across the Ummah, 2.
40
Dikatakan Norrahman, Sementara kita sebagai muslim, berdasarkan
keyakinan agama, mampu mengamalkan syariah di dalam sebuah negara Islam atau
bukan, para teroris ingin membentuk negara Islam sebagai cara satu-satunya agar dapat
menegakkan syariah. Sedangkan orang Islam umumnya menganggap syariah sebagai
norma-norma agama yang dapat diukur dan dikembangkan berdasarkan situasi dan
kondisi yang berbeda yang nampak pada adanya perbedaan realistis di antara masingmasing kawasan. Kaum teroris ingin menerapkan syariah dengan cara-cara eklusif,
kekerasan, kaku, dan tanpa toleransi.
Sementara umat Islam umumnya menganggap syariah sebagi suatu hal yang
terpisah di antara aqidah (keyakinan), sebagaimana dikatakan Mahmud Syaltut bahwa,
dalam Islam, adanya saling keterkaitan antara aqidah dan syariah. Kaum teroris ingin
mewujudkan bahwa aqidah dan syaria keduanya sebagai suatu keyakinan yang
hendaknya diterapkan bagi masyarakat dengan cara kekerasan demi menyelamatkan
masyarakat dari api neraka. Di dalam sebuah Negara di mana masyarakat muslim
diberikan kebebasan untuk mengamalkan kukum-hukum syariat, keinginan untuk
mendirikan Negara Islam adalah sangat tidak relevan.

22

Manifestasi dari harapan seperti ini juga senada dengan Syeikh


Yusuf Qard}awi dalam karyanya Malmih} al-Mujtama al-Muslim alladh Nansuduhu yang mengatakan bahwa penerapan sryariat Islam dan
usaha perwujudannya adalah tanggung jawab umat Islam semuanya, baik
secara pribadi,
kelompok maupun universal. Dengan demikian
penelitian ini akan berguna bagi para peneliti lain yang berkecimpung
dalam bidang hukum Islam (Islamic Law Studies). Khususnya bagi para
peneliti muslim akan dapat mengembangkan ilimunya bagi manifestasi
syariat Islam pada zaman kontemporer ini.41
Studi ini memiliki asumsi bahwa yang dikehendaki dari
pemahaman fiqh (jinyt) kontemporer di Aceh-Indonesia adalah
manifestasi salah satu dari tujuan dari Ra>bitah al lam al-Islm
(Persatuan Islam se-dunia) yang berdiri pada tahun 1962. Organisasi
Konferensi Islam (Organization Islamic Conference--OIC) yang berdiri
tahun 1969 di Marokko juga mendukung penerapan hukum Islam di
dunia. Upaya OKI ini menunjukkan bahwa Hukum Jinayat mendapat
perhatian serius dunia Islam.
F. Metodologi
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research)
dan penelitian dokumen (documentary study) dengan mengumpulkan
data-data teoritis tentang pelaksanaan Hukum Pidana Islam (Jinyt) dan
Qanun Jinayat.
(While we, as Muslims, based on religious conscience, are able to conduct
sharia with or without the presence of an Islamic state, terrorists tend to see the Islamic
state as an inevitable tool to enforce sharia. While we generally see sharia as religious
norms that can be adjusted and developed based on a different time and circumstances
and therefore has a different appearance in different regions, terrorists tend to conduct
sharia in an exclusive, immutable, rigid and intolerable manner.
While Muslims generally see sharia as something seperate from aqidah (creed),
as indicated by using conjunction and in Mahmud Syaltuts phrase al-Islam Aqidah
wa Syariah, terrorists tend to see both sharia and aqidah as a creed that should be
applied to other people by force in order to save them from the hellfire. In a state
where Muslims have been given the freedom to conduct sharia norms, the need to
establish an Islamic state is no longer relevant). Baca Norrahman, Compatibility
between Pancasila and sharia-based Islamic teachings, The Jakarta Post, 10 Januari
2010, 6.
41
Syeikh Ysuf Qard}wi, Malmih al-Mujtama`al-Muslim Alladhi Nansuduhu
(Kairo: Maktabah Wahbah, 1993), 160.

23

Penggalian dan penyampaian data, akan dilakukan secara


deskriptif dan analisis yaitu menyampaikan data-data faktual yang seteliti
mungkin tentang keadaan atau fenomena-fenomena yang melingkupi
obyek penelitian ini, sehingga menemukan makna (pemahaman) yang
logis dari apa yang diteliti. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini lebih mengarah kepada pendekatan sosiologis-legal-historis karena
mengikutsertakan konteks sosial Hukum Jinayat Aceh yang digunakan,
juga personalia, lembaga, dan badan hukum terkait sebagai pelaksana
hukum, agar menemukan sebuah pengertian yang komprehensif dan
mendalam.
2. Instrumen dan teknik Pengumpulan Data
Adapun untuk pengumpulan data, alat dan teknik yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Dokumentasi
yang
menunjukkan
data/informasi
tentang
implementasi UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006
yang menyinggung tentang Hukum Jinyt di Aceh kontemporer,
yang menjadi bahan analisis dalam mengungkapkan bagaimana
pandangan Fiqh (muqa>ranah) dan konsep HAM terhadap
pelaksanaan Qanun Hukum Jinayat.
b. Membaca karya-karya peneliti terdahulu yang relevan melalui kajian
kepustakaan, seperti karya Syamsuhadi, Mahkamah Syariyyah
dalam Sistem Peradilan Nasional (Jakarta: Fakultas Hukum
Universiatas Indonesia, 2009). Alat ini digunakan untuk melengkapi
deskripsi dan evaluasi data-data yang sudah digali melalui studi
dokumentasi. Penelitian juga menelaah data-data tentang
pelaksanaan Qanun Jinayat termasuk yang menyangkut dengan para
pelaksana Qanun-qanun Aceh (Gubernur, Wakil Gubernur, dan
Kepala Dinas Syriat Islam Aceh), Ketua DPRA, Ketua Mahkamah
Syariyyah, Wilyatul H{isbah42 dan Muh}tasib.43 Karena dengan
penelitian seperti itu, dapat mendukung penemuan jawaban-jawaban
yang diperlukan oleh penelitian.
42

Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas membina,mengawasi dan


melakukan advokasi terhadap pelaksanaan amar makruf nahi mungkar.
43
Muhtasib adalah pengawas bagi aparat pemerintah dan masyarakat yang
melaporkan kepada pihak yang berwenang terhadap kasus tindak pidana yang dilakukan
mereka. Wilyatul hisbah dan muhtasib keduanya berkonotasi berbeda, namun ada juga
pakar bahasa yang mempersamakan kedua terminologoi tersebut sebagai satu badan.

24

c.

Membaca berita eksekusi tidak pidana di lapangan yang dipaparkan


mass media juga melalui documentary research. Alat ini digunakan
untuk mendukung library research yang dilakukan penelitian ini,
sehingga kevalidan data lebih terjamin dan memiliki keterkaitan
dengan fenomena realistis.
3.
Bahan Penelitian
Pengkatagorian bahan penelitian ini adalah sebagaimana
tingkat kebutuhan terhadap bahan tersebut, yang dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. Bahan primer, terdiri dari: 1). Dokumen eksekusi hukuman pada
Mahkamah Syariyah (se-Aceh), dan berbagai kitab fiqh jinayat
standar yang digunanakan; 2). Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun
2003 dan UU No. 44 Tahun 1999; 3). Literatur-literatur yang
memuat ketentuan-ketentuan Jinayat yang terdapat dalam Fiqh, dan
konsep HAM yang pro dan kontra terhadap praktek hukum jinayat,
baik yang pro dan kontra secara keseluruhan maupun berupa bagian
(parsial) dari hukum jinayat Fiqh, termasuk hukum jinayat yang
diqanunkan di Aceh.
b. Bahan sekunder terdiri atas: 1). Berbagai buku/kitab mengenai
Hukum Islam (jinyt); 2). Berbagai artikel, makalah, buletin,
jurnal tentang jinyt; 3). Berbagai buku mengenai hukum Islam
Indonesia; 4). Beberapa hukum perundang-undangan RI (selain
Qanun Aceh) seperti UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh; PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom; dan Kepres No. 11
Tahun 2003 tentang Mah}kamah Syariyah dan Mah}kamah Syariyah
Provinsi di Nanggroe Aceh Darussalam.
G. Sistimatika Penulisan
Penulisan bagi penelitian/studi ini adalah menggunakan buku
Pedoman Akademik yang diterbitkan oleh Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2009-2011. Untuk teknik penulisan
penelitian menggunakan Pedoman ALA-LC Romanization Tables dengan
font (taransliterasi) Time New Arabic dan David Clear Water. Citation
Guide Footnotes and Bibliographic Entries (Turabian/Chicago/Turabian
Style) Chicago: University of Lethbridge, 2010.
Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab satu/pendahuluan
membahas tentang permasalahan (identifikasi masalah, pembatasan
masalah, dan perumusan masalah). Untuk pembatasan masalah studi ini

25

memfokuskan
pada
pembahasan
syariat
Islam
tentang
jinyt/criminal/penal law yang sedang diberlakukan di Aceh, agar jelas
pemusatan (focus): group, time and area. Bab satu juga membahas
tujuan, signifikansi, dan metodologi penelitian. Khusus untuk
metodologi, penulis menguraikan tentang jenis pengumpulan data, alat
pengumpulan data, pengolahan dan analisa data, dan bahan penelitian.
Kemudian ditutup dengan sistimatika penulisan (ini).
Bab dua membahas tentang kondisi masayarakat Aceh yang
menyangkut: (1) Aspek georafis; (2) Aspek Sosio-LegalHistoris; (3)
Sejarah Otonomi Khusus bagi Aceh; dan (4) Pengaturan Qanun yang
terdiri dari: a. Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar dan
sejenisnya; b. Qanun No. 13 tentang Maisir; dan c. Qanun No. 14
tentang Khalwat (Mesum).
Bab tiga menguraikan tentang Pelaksanaann Hukum Jinayat
dalam perspektif Fiqh. Setelah meninjau data-data kepustakaan,
penelitian ini menguraikan bagaimana pelaksanaan Qanun No. 12 tentang
Khamar dan sejenisnya; Qanun No.13 tentang Maisir; dan Qanun 14
tentang Mesum di Aceh. Pembahasan tentang pelaksanaan ketiga Qanun
ini diperlukan untuk melihat bagaimana kaca mata Fiqh melihat hukum
Islam (jinayat) yang ditetapkan Qanun Aceh. Pembahasan demikian
mengingat bahwa ketiga Qanun tersebut juga memiliki konsideran
Hukum perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Bab empat menguraikan tentang pelaksanaan ketiga Qanun
tersebut menurut perspektif HAM dengan menganalisa konsep qanun
dan konsep HAM dan realita pengamalan Qanun hukum jinayat di AcehIndonesia. Dengan perkataan lain, penelitian akan membahas bagaimana
realisasi ketiga Qanun Aceh tentang jinayat itu menurut perspektif
Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM/UDHR
1948) yang dianggap mutabar (formal) di dunia. Bab ini juga
menyinggung tentang konsep HAM Islam, yaitu: The Univeversal
Islamic Declaration of Human Rights (UIDHR 1981) dan Cairo
Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI 1990) yang mendukung
penerapan Qanun. Kedua konsep HAM Islami ini perlu dibahas agar
dapat melihat bagaimana solusi yang ditempuh dunia Islam dan Negaranegara Islam tentang persoalan yang terdapat pada aspek jinyt yang
(dianggap) berseberangan dengan DUHAM (UDHR 1948).

26

Bab lima adalah bab penutup yang meliputi kesimpulan tentang


bagaimana konsep dan aplikasi Qanun Jinayat Aceh menurut perspektif
fiqh dan HAM. Bab penutup ini dilengkapi dengan saran-saran.

27

BAB PEMBERLAKUAN
2 HUKUM JINAYAT DI
ACEH
A. Kondisi Masyarakat Aceh
1. Aspek Sosio-Geografis-Kultural
Sejumlah pakar berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia
pada abad pertama Hijriah yang dibawa langsung oleh saudagar-saudagar
Arab. Perlak (Aceh Utara) merupakan tempat pertama yang disinggahi
para mubalig Arab dalam penyebaran Islam pada masa sebelum
penjajahan bangsa Eropa (pre-colonialization) di nusantara.44Para pakar
sejarah mengatakan bahwa para saudagar itu selain bertujuan berdagang
juga menyebarkan Islam dan syariat Islam di Aceh. Mereka telah
mengislamkan raja Pasai (Meurah Silu1297-1307M), yang sebelumnya
beragama Hindu. Peristiwa factual ini diakui para ilmuan kontemporer
seperti Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal, Azyumardi Azra dan
Ratno Lukito.
Para sejarahwan juga mengutarakan bahwa perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, mulai dari kejayaannya sampai
keruntuhan kerajaan Aceh Darussalam. Aspek keruntuhan dapat dilihat
pada adanya kolonialisasi dan penetrasi budaya Eropa ke dalam budaya
Aceh melalui penjajahan. Meskipun para penjajah melakukan pengaruh
akulturasi mereka di Aceh, sisa-sisa budaya peninggalan Kerajaan Islam
Aceh tersebut dapat terjaga. Budaya Islam secara terus menerus inheren
ke dalam pelaksanaan hukum Islam dalam budaya keseharian masyarakat
sampai saat sekarang ini.
Di masa kolonialisasi Eropa, Belanda dalam memperpanjang
masa kolonialisasi mereka, pernah mengalami kesulitan dalam
menaklukkan perlawanan umat Islam di Aceh, sehingga mereka
44

Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Cet. ke-1(Jakarta: Pustaka Tarbiyah,


1999), 8. Lihat juga R. Michael Feeneer and Mark E. Cammack, Islamic Law in
Contemporary Indonesia: Ideas and Isnstitution ((Massechusset: Harvard University
Press, 2007), 193.

28

mengutus Snouck Hughronje untuk belajar Islam ke Mekkah agar dapat


melakukan upaya untuk mengubah karakteristik jihad keislaman Aceh
menjadi pudar. Ia datang ke Mekkah dengan melakukan penyamaran
identitas keislamandengan berinteraksi dalam lingkungan keseharian
masyarakat. Setelah ia pulang ke Aceh dari tempat studinya masyarakat
Aceh mengangkat Snouck Hurgronje sebagai mufti dan penasehat yang
dapat menetapkan perkara hukum pada berbagai kasus yang terjadi dalam
masyarakat. Masyarakat Aceh menganggapnya seorang muslim yang
banyak ilmu agamanya. Banyak literatur sejarah kolonialisasi Belanda
membahas tentang Snouck Hurgronje. Snouck juga pernah menulis
dalam De Achehers yang telah dijadikan pijakan oleh praktisi hukum di
Indonesia (terutama Theorie Receptie) dalam membahas persoalan
hukum di tengah-tengah masyarakat yang majemuk di Indonesia. 45
Politik muslihat Belanda dengan memanfaatkan jasa Snouck
Hughronje tersebut membuahkan hasil, yakni Belanda
mampu
menyandera Isteri dan anak Sultan Daud Syah, yang mengakibatkan
Sultan menyerah pada tanggal 20 Januari 1903. Meskipun sultan
menyerah, masyarakat Aceh mundur untuk terus bergelirya melancarkan
perlawanan.46
Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Pangabean dalam Politik
Syariat Islam: dari Indonesia hingga Nigeria turut menyinggung sejarah
Islam Aceh, termasuk proses historis qnn Aceh sejak awal masuknya
Islam ke Samudra Pasai (1297-1307 M) sampai dengan lahirnya Hukum
Perundang-undangan RI yang membawa dampak pada perwujudan
qnn tentang jinyt di Aceh pada masa kontemporer. Mereka
memaparkan dampak sejarah keislaman yang berupa penegakan hukum
Islam di Aceh menjelma pada realita pengqanunan hukum Jinayat pada
saat sekarang ini, yang berupa pencambukan terhadap pelaku tindak
pidana dalam Islam.47Dengan pengqanunan aspek ini telah mewujudkan
kelanjutan sosio-kultural yang agamis bagi masyarakat Aceh.
45

Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum


Indonesia, 228. Lihat juga Snouck Hurgronje, De Atjehers, Terj. Sutan Maimun, Aceh,
Rakyat dan Adat Istiadatnya (Jakarta: INIS, 1996), 257. Lihat juga Ratno Lukito,
Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia, 60.
46
Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syariyyah dalam Sistem Peradilan
Nasional, 66 dan 101.
47
Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Pangabean, Politik Syariat Islam:
dari Indonesia hingga Nigeria (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), 41-44.

29

Ratno Lukito dalam karyanya yang berjudul Islamic Law and


Adat Encounter: the Experience of Indonesia juga membahas tentang
fenomena hukum yang berlaku di Indonesia, terutama adanya hukum
Islam dan hukum adat yang saling memberikan pengaruh pada peradilan
hukum di Indonesia, termasuk di di Aceh.48 Pelaksanaan Hukum Jinayat
di Aceh merupahan perwujudan dari harapan ideal masyarakat dalam
upaya melakukan manifestasi supremasi hukum masa lampau (yudisialhistoris) ke dalam tata peradilan. Fenomena ini telah ditunjukkan oleh
kerajaan Islam di pantai Utara Sumatara (Samudra Pasai) dan pantai
Timur (Kerajaan Aceh Darussalam) yang mencapai puncaknya pada
masa Sutan Iskandar Muda yang memimpin kerajaan Aceh Darussalam
(1607-1636). Pandangan serupa juga disinggung Mohamad Atho
Mudzhar. Menurut beliau di Mahkamah Syariyah Aceh, Sultan Iskandar
Muda pernah menegakkan hukuman h}add (zina) terhadap putranya
(Meurah Pupok) yang melakukan pelangaran susila.49
Pegejawantahan kekuasaan adat dan syariat Islam juga dapat
diterapkan secara permanen pada masa Sutan Iskandar Muda, sehingga
syariat Islam sempat menjadi Dasar Negara bagi masyarakat. Dalam
sosio-kultural masyarakat Aceh ada semboyan berbunyi adat ngon
hukun hana tom cre, legee zat ngon sifeut yang berarti adat dan hukum
menyatu bagaikan menyatunya zat dan sifat Allah SWT (menurut
keyakinan al-Ashariyah). Realitas dari dampak historis tersebut juga
menunjukkan adanya aplikasi harapan masyarakat dalam bentuk
manifestasi suatu hukum perundang-undangan yang berupa pengesahan
Undang-undang Otonomi Khusus. Kekhususan juga dapat dilihat pada
peruntukan sejumlah Undang-undang (UU No. 44 Tahun 1999, UU No.
18 Tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006) yang dikhususkan bagi
provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Selain Ratno Lukito, Taufiq Adnan Amal, dan Rijal Pangabean
yang membahas tentang sejarah dan hukum di Aceh, Snouck Hurgronje
di dalam bukunya tersebut menulis bahwa Aceh pernah mengirimkan
lada si cupa kepada Sultan Turki, yang diistilahkan orang Aceh sebagai
raja segenap orang beriman, raja [Rum] di Eseutamboy (Istambul).
48

Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: the Experience of


Indonesia , 74-75.
49
Mohamad Atho Mudzhar, Fata>wa Majlis Ulama alInduni>si>: Dira>sah fi
al-Fikri al-Tashrii> al-Isla>mi> bi Indu>ni>sia> 1975-1988, 38.

30

Kemudian di balas sultan Turki dengan hadiah Meriam yang dikenal


Lada Sicupa. Bersama sejumlah pekerja yang terampil supaya dapat
mengajarkan berbagai kesenian yang belum dikenal di Aceh.50 Anthony
Reid juga telah mengutip Hikayat Aceh dan Bustan al-Salatin yang
menyatakan bahwa kerja sama dengan Turki adalah dalam rangka
mengokohkan persahabatan sesama muslim.51
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa sebelum bergabung ke
dalam negara Indonesia (yang tercatat sebagai salah satu Negara
bangsa yang diakui Perserikatan Bangsa-bangsa), Aceh pernah terikat
dengan system pengontrolan Khilafah Islamiyah yang terakhir (yakni
Khilafah Uthmaniyah) yang memberikan pengaruh bagi jalannya sistem
pemerintahan Islam di Aceh yang berdasarkan syariat Islam secara
kffah. Kekaisaran Turki Usmani (1876) pernah menjalin hubungan
dengan Aceh pada masa Aceh dipimin oleh sultan Alauddin Riayatsyah
dan Sultan Abdul Hamid II.52 Upaya kerajaan dalam menerapkan
supremasi hukum berdasarkan Islam mendapat dukungan pihak internal
dan eksternal. Aceh melalui jalinan hubungan internal dan eksternal
tersebut, dapat menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam
lainnya di dunia dalam pengontrolan system kekhalifahan Islam yang
terakhir itu yang memiliki kekuasaan yang luas.
Menyangkut dengan politik hukum pembagian kekuasaan di
Aceh, bila
John Locke (di Inggris) dalam Two treaties of Civil
Government (1690) yang diikuti oleh
Montesqieu, misalnya,
mengembangkan konsep trias politika pada tahun 1825,53 maka politik
hukum (pembagian kekuasaan) pada kerajaan Aceh adalah penerapan
pembagian kekuasaan pemerintahan dalam semboyan adat bak po
teumeureuhom, hukom bak Syaih Kuala, qanun bak Putroe phang
Reusam bak Laksamana, yang berarti kekuasaan adat/budaya dipegang
50

Snouck Hurgronje, De Atjehers Terj. Sutan Maimun, Aceh, Rakyat dan Adat
Istiadatnya, 163. Lihat juga Ayumardi Azra, Sharia and Politics in Modern Indonesia
(Sinagpore: ISEAS, 2003), 14.
51
Anthony Reid, Verendah of Violence: the Background to the Aceh Problem
(Seatle: University of Washington Press, 2006), 54.
52
Azhari, Negara Hukum Indonesia: Analisis Normatif tentang Unsurunsurnya (Jakarta: UI Press, 1995), 97.
53
R. Michael Feener and Mark E Cammack, Islamic law in Contemporary
Indonesia Ideas and Institution , 193.

31

oleh sultan, hukum diatur oleh ulama, qanun dipegang oleh Putroe
Pahang, dan literature (reusam) dipegang oleh Laksamana. Dengan
pengasimilasian antara keduanya (hukum Islam dan adat) dalam berbagai
aspek kehidupan menyebabkan syariat Islam menjadi Dasar Negara bagi
kehidupan masyarakat.54
Diakatakan Azyumardi Azra bahwa sejarah yang menyangkut
dengan Islam di Nusantara, kesultanan Aceh merupakan salah satu
kerajaan Islam terbesar di Indonesia. Sebelum muncul kesultanan Aceh,
yang paling penting adalah Kerajaan Perlak dan Kesultanan Pase yang
keduanya terletak di Ujung Timur Laut Sumatara. Marcopolo
mengunjungi Perlak pada tahun 1292 memberikan bukti pertama tentang
sebuah kesultanan Aceh di Nusantara. Kesultanan Aceh yang mulanya
bukan sebuah kerajaan penting di bagian paling barat laut Sumatra, di
bawah kekuasaan Ali Munghayat Syah (w. 1530) berhasil mepersatukan
bagian kerajaan kecil yang terbelah secara tajam di kawasan utara
Sumatra menjelang awal abad ke-16. Kemudian Kesultananan Aceh itu
mencapai kejayaan internal dan eksternal pada masa sultan Iskandar
Muda (1607-1637). Di tangan sultan Ibrahim kesultanan Aceh kembali
menjadi kekuatan aktual yang berupaya menegakkan otoritasnya atas
seluruh kawasan Utara Sumatra. Menurut sumber-sumber Belanda, dia
mengirim Sidi Muhammad menjadi Duta Aceh di pelabuhan Istambul
(Sublime Port pada 1850-1851) untuk meminta penguasa Dinasti Turki
Usmaniyah kembali mengakui Aceh sebagai relasi kerjasama (vasal)
dari Dinasti Turki Usmaniyah.55
Kesultanan Aceh Darussslam juga memiliki system peradilan
yang kuat. Buktibukti menunjukkan bahwa Mahkamah Aceh di era
kesultanan, bagi seorang hakim/qa>d}i (yang dikenal qad}i Malikul A>dil,
yang menjadi wakil Sultan dalam bidang pengadilan) disyaratkan
terlerbih dahulu menguasai 51 madhhab dalam hukum Islam. Berbeda
dengan Mahkamah Aceh pada saat sekarang ini ditangani oleh
hakim/qa>d}i yang hanya memilki kemampuan memahami beberapa

55

Azyumardi Azra, Implementasai Syariat Islam di Nanggroe Aceh


Darussalam: Perspektif Sosio Historis, dalam Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi
Syariat Islam di Aceh; Problem , Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum
Islam di NAD, 30.

32

madhhab fiqh saja.56 Berbagai perkembangan hukum menunjukkan


bahwa sosio-kultural Aceh (sekarang) belum terlepas dari bingkai sejarah
pra-kemerdekaan (1945) dan pra-penjajahan (1297-1903 M).57
b. Aspek sosio-yuridis
Sebelum membahas tentang aspek yuridis yang berkaitan dengan
kehidupam masyarakat Aceh terlebih dahulu dipaparkan aspek teoritis
yang berkenaan dengan hukum (yuridis) itu sendiri.
Secara umum, menyangkut dengan teori hukum, penelitian ini
ingin mengutip cuplikan dari sebuah Wikipedia menyatakan macammacam istilah/ungkapan yang menggambarkan keumuman hukum di
dunia. Hukum-hukum tersebut antara lain:
1. Hukum Perjanjian (Contract Law) menggatur segala sesuatu, mulai
dari perjanjian membeli satu tiket bus sampai dngan perdagangan di
pasar-pasar yang terjangkau/tertentu.
2. Hukum Hak Kepemilikan (Property Law) berarti hukum yang
mengatur hak dan kewajiban yang berkaitan dengan transfer (hak
milik) dari seseorang kepada orang yang dituju.
3. Hukum Kepercayaan (Trust Law) permohonan asset yang
diperuntukkan untuk investasi dan pengamanan uang.
4. Hukum Penyiksaan/Pelukaan (Tort Law) menyatakan tuntutan pada
ganti rugi (compensation) jika suatu hak seseorang atau harta
kekayaannya diganggu (harmed).
5. Hukum tindak pidana (criminal law) memberikan sarana dengan cara
Negara dapat memproses si penjahat itu, suatu perkara
dikriminalisasikan;

56

Wawancara pribadi dengan Ibrahim Kaoy (Ketua Majlis Adat Aceh),


Banda Aceh, 30 Juli 2008 mengenai pengetahuan qadi terhadap madhhab fiqh.
Wawancara ini bukan dalam kontek penelitian, namun berdasarkan pengalaman peneliti
selama berada di Aceh. Lihat juga Idri (STAIN Pamangkasan, Indonesia), Religious
Court in Indonesia History and Prospect, Journal of Indonesian Islam, Vol. 3 Number
2, Desember 2009, 302. Sistem lembaga peradilan Islam pra-kemerdekaan dan prapenjajahan juga berbeda, yakni Mahkamah Syariyah pasca MoU Helsinki 2005 berada
dalam koridor hukum nasional RI/di bawah payung hukum tertingggi UUD 1945 RI.
Sedangkan pra-penjajahan tunduk di bawah ke-sultan-an (penguasa). Lihat UU No. 11
Tahun 2006 bab XVIII tentang Mahkamah Syariyah pasal 128, 132, 135, 136, dan
137.
57
Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syariyah dalam Sistem Peradilan Nasional
(Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), 101.

33

6. Hukum Konstitusi (Constitutional Law) memberikan kerangka bagi


pembuatan hukum, perlindungan terhadap hak manusia (human
rights) dan pilihan dari suatu perwakilan politik.
7. Hukum Administrasi (Administrative Law) digunakan untuk
meninjau kembali keputusan dari badan-badan pemerintah.
8. Hukum internasional (international law) mengatur urusan-urusan di
antara negara-negara yang berdaulat (sovereign nation states) dalam
aktifitas yang berhubungan dengan perdagangan (trade) sampai
mengatur wilayah aksi militer.
Macam-macam hukum tersebut menunjukkan bahwa banyak
sector hidup dan kehidupan manusia yang memerlukan hukum sebagai
alat pengontrol kegiatan-kegiatan manusia. Aristoteles, philosof Yunani
(Greek philosopher350 SM) mengatakan, peraturan dari suatu
undangundang adalah lebih baik dari peraturan banyak individuthe
rule of law is better than the rule of any individual." 58
Bila dikaitkan dengan agama maka hukum akan melahirkan
penamaan hukum agama (religious law). Hukum agama secara eksplisit
adalah hukum yang berdasarkan persepsi agama (religious precepts),
seperti Halaka (agama) Yahudi (Jewish Halakha) dan syariat Islam
(Islamic Sharia)yang keduanya dimaknai sebagai jalan untuk diikuti
(the path to follow)sementara hukum agama Kristen (Christian canon
law) juga berlaku pada sejumlah masyarakat gereja. Implikasi suatu
agama terhadap hukum kerap tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata
(unalterability), sebab kata-kata Tuhan tidak dapat ditetapkan oleh hakim
maupun pemerintah (cannot be amended or legislated against by judges
or governments). Bagaimanapun sebuah system hukum (legal system)
yang mendetil memerlukan campur tangan manusia. Dalam agama
Kristen, Hukum perundangan (Canon law) hanya digunakan oleh
sejumlah juru tulis di Roman Catholic Church, the Eastern Orthodox
Church dan Anglican Communion.59
Torah atau Perjanjian Lama (Old Testament) di dalam the
Pentateuch or Five Books of Moses juga mengandung peraturan dasar
(basic code) dari hukum Yahudi (Jewish law), yang diamalkan oleh
58

Lihat http:// en.wikipedia.org/wiki.Islamic Law of the World/Law.htm


(diakses tanggal 18 Agustus 2010).
59
Lihat http://en.wikipedia.org/wiki.Islamic Law of the World/Law.htm
(diakses tanggal 18 Agustus 2010). Lihat juga Qs. al-Ma>idah [5]:32

34

sejumlah masyarakat Yuhudi. Halaka adalah kode (peraturan) dari


hukum Yahudi (a code of Jewish law) yang meringkaskan sejumlah
penafsiran Talmut. Celakanya, Hukum Israel (Israeli Law) mengizinkan
para individu (litigants) untuk menggunakan hukum-hukum agama hanya
jika mereka perlu atau mereka pilih, (bahkan memutar balikkan
isi/kandungan kitab suci.60
Al-Quran juga memiliki sejumlah undang-undang yang bertindak
sebagai sumber bagi sumber-sumber hukum selanjutnya melalui
penafsiran (through interpretation), qiya>s (reasoning by analogy), Ijma>`
(consensus) and precedent. Perkara yang utama ini meliputi sebuah
tubuh hukum yang dikenal dengan Sharia dan Fiqh.
Istilah hukum Islam terambil dari istilah fiqh al-Isla>m yang
mencakup ibdt, mua>malt, ah}wl al-Shakhs}yah, dan al-Jinyah.61
Sedangkan makna hukum (secara umum) juga berarti sebuah sistem
Undang-undang (a system of rules).
Di dalam aspek Jinayah, para pakar hukum Islam membagikan perkara
Jinayat/h}udu>d ke dalam 8 (delapan) aspek. Empat imam madhhab (Fiqh

Sunni>) sepakat bahwa tindak pidana dalam Islam terdiri dari 7 aspek.
Keseluruhan aspek tersebut adalah: (1) Tindak pidana riddah (apostasy);
(2) tindak pidana khamar (drinking wine); (3) Tindak pidana zin
(mesum/adultery); (4) tindak pidana penuduhan (qazaf/false
accusation)); (5) tindak pidana pemberontakan (bughwah/h}ira>bah); (6)
tindak pidana pencurian; (7) tindak pidana penyamunan (qat}u alt}arq/robbery); 62 dan (8) tindak pidana pembunuhan.63
60

Qs. al-Baqarah [2]: 79.

,
.
Kecelakaan telah menimpa orang-orang yang menulis al-Kitab dengan
tangan-tangan mereka sendiri, kemudian mengatakan (kitab) ini dari sisi Allah, agar
memperoleh keuntungan sedikit (dalam kehidupan dunia). Maka kecelakaan bagi
mereka karena apa yang mereka tulis, dan kecelakaan bagi mereka karena apa yang
mereka lakukan.
61
Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia, cet. 1 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 25.
62
Muhammad Atha Alsid Sidahmad, the Hudud the Seven Spesific Criminal
Law and Their Mandatory Punishment (Petaling Jaya, Eagle Sdn., Bhd., 1995), 36.

35

Abdurrahman I. Doi dalam Shariah the Islamic Law juga


menyebutkan 8 (delapan) penggolongan jinayat. Dari delapan tersebut ia
tidak menyebutkan tindak pidana penyamunan (qat}u al-t}a>riq/robbery).
Ia hanya menambahkan dengan tindak pidana lari dari medan peperangan
(al-firr min al-zah}f/running away from the battle field in jiha>d).64
Menurut qaidah fiqhiyah, untuk penghukuman bagi pelaku jinayat,
terdapat hukuman qis}a>s} dan diat.65Selain itu ada juga yang diterapkan
h}add dan tazr.66 Pandangan ini disetujui Abdul Qadr U<dah dalam
kitabnya al-Tashr al-Jini> al-Isla>mi>.

63

(1) Riddah secara bahasa (lugawi>) berarti menarik diri dari sesuatu dan
berpindah darinya. Menurut Istilah syariat, riddah adalah sikap seseorang muslim yang
menyebabkan kekafirannya, baik berupa perkataan, perbuatan, meninggalkan (sesuatu
kewajiban), keyakinan maupun keraguan , bila bila syarat-syaratnya terpenuhi; (2) Zina>
mempunyai dua pengertian luqgawi>: fujur (kekejian), dan d}ai>yiq (penyempitan). Zina
juga dimaknai untuk sebutan bagi perbuatan persetubuhan dengan wanita yang bukan
isteri; (3) Qazaf adalah al-ramy (melempar). Firman Allah SWT: aniqzi fihi fi altabuti faqzi fiihi fi al-yammi berarti: letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian
lemparkanlah (hanyutkan) ia ke sungai (Nil). (Qs. T{a>ha: 39); (4) H{irbah
(perampokan) secara bahasa , berasal dari kata al-h}arb (perang), lawan kata dari as-silm
dengan menfatah huruf rayang artinya al-salbu (permpasan). H}araba fulanan
malahu, artinya merampas harta si fulan. Obyeknya disebut mahrub atau hrib (orang
yang dirampas); (5) Mencuri adalah mengambil sesuatu yang bukan miliknya secara
sembunyi-sembunyi. Menurut istilah adalah mengambil harta yang terjaga milik orang
lain dan mengeluarkannya dari tempat penyimpanannya tanpa ada kerancuan (shubhat)
di dalamnya dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi; dan (6) Al-qatl

(pembunuhan) ialah tindakan yang dilakukan oleh manusia untuk


menghilangkan nyawa, atau hilangnya nyawa manusia akibat tindakan
manusia lainnya. Lihat S{ah{i>h Fiqh Sunnah, 280.
64

Do, I. Abdurrahman, Shariah the Islamic Law (Kuala Lumpur: A.S.


Noordeen, 2002), 229-267.
65
Al-diya>t adalah bentuh jama dari al-diyah. Secara bahasa adalah bentuk
mas}dar dari lafal wadaah al-qtil, yadahu diatan, bila wali pembunuh memberikan
tebusan nyawa atau selainnya kepada korban atau walinya karena disebabkan oleh
jinayat (tindak pidana) jiwa korban atau selainnya. Ada juga yang mengatakan bahwa
al-qatl sinonim dengan diyat. Lihat S{ah}i>h Fiqh Sunnah, 342.
66
Jinayat selain pembunuhan adalah setiap tindakan haram yang dilakukan
terhadap anggota tubuh, baik dengan cara memotong, melukai, maupun menghilangkan
fungsinya. Jinayat selain pembunuhan ada dua macam. Pertama, jinayat yang
mengharuskan qiss. Kedua, jinayat yang mengharuskan diyat dan lainnya. Lihat Sahih
Fiqh Sunnah, 319.

36

Abu Ishaq al-Sha>t}ibi dalam kitabnya al-Muwfaqt fi Us}u>l alSharah menyebutkan lima perkara yang disuruh lindungi dalam Islam.
Lima perkara tersebut dinamakan al-d}aru>ri>yat al-khamsah (lima perkara
yang asasi), yaitu (1) h}ifz} al-dn, (perlindungan agama), (2) h}ifz} al-nafs
(perlindungan jiwa),67 (3) h}ifz} al-aqli (perlindungan akal), (4) h}ifz} alnasl (perlindungan keturunan), dan (5) h}ifz} al-ml (perlindungan harta
benda). Abd. Shomad menggabungkan antara h}ifz} al-dn dan h}ifz} al-ird}
menjadi satu bagian dari lima perkara tersebut.68
Adapun perkara hukum dalam sejarah Aceh, pasca terbentuknya
Indonesia tahun 1945, pemerintah Pusat mengeluarkan UU Provinsi UU
No. 24 Tahun 1956 yang mengembalikan Aceh menjadi provinsi
Acehsebagaimana telah disinggung di atas. UU tersebut turut
menyatakan bahwa sosio-kultural Aceh yang terdiri dari suku Aceh,
suku Gayo, suku Alas, suku Aneuk Jameie, suku Kluet, suku Tamiang,
suku-suku di berbagai kepulauan, dan suku lain, yang dalam
perkembangan selanjutnya dihuni juga oleh para pendatang. Refleksi
dari sejumlah UU yang menyangkut denan pemekaran wilayah (provinsi
dan kabupaten/kota) di Indonesia pasca tahun 1998, provinsi Aceh pada
saat ini mekar menjadi 13 (tiga belas) kabupaten yaitu Kabupaten Aceh
Timur, Aceh Utara, Bireuen, Pidie, Aceh Besar, Aceh Barat, Simeuleu,
Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, dan Aceh Tengah, serta 4
(empat) kota yaitu Kota Banda Aceh, Sabang, Lhokseumawe, dan
Langsa. Sedangkan sekarang/pasca MoU Helsinki 15 Agustus 2005
jumlah kabupaten di Aceh sudah sudah mencapai 23 kabupaten/kota.
Konsep UU tersebut menyatakan bahwa secara geogafis Aceh
terletak di ujung utara Pulau Sumatera mempunyai batas-batas: a. sebelah
utara dengan Selat Malaka; b. sebelah selatan dengan Provinsi Sumatera
67

Perkara (hak) perlindungan jiwa (hifz al-nafs) di Aceh, walaupun tidak


diqanunkan, sudah ada kebijakan yang bernuansa ke arah penegakan hukuman diyat
dalam praktek pembunuhan. Pemerintah RI, misalnya, merasa bertanggung jawab atas
terbunuhnya warga sipil yang tidak berdosa dalam konflik Aceh dengan memberikan
dana diyat. Dikatakan Azwar Abu Bakar, (mantan Plt. Gubernur Aceh), Program dana
"diyat" yang digagasnya, diterapkan pada 2002. Dananya (baca; dana diyat) bersumber
dari APBA yang ketika itu mendapat tambahan dana lebih dari Rp 1 triliun bersamaan
dengan disahkannya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh. Lihat
Azwar Abu Bakar: Santunan Korban Konflik Tetap Diperjuangkan: Dana Diyat
Diberikan Selama 8 Tahun, Serambi Indonesia, 30 September 2010, 1.
68
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia, 89.

37

Utara; c. sebelah timur dengan Selat Malaka; dan d. sebelah barat dengan
Samudra Indonesia.69 Sejak pasca kemerdekaan maupun sekarang hukum
positif yang diterapkan di Indonesia adalah banyak menggunakan
peninggalan Belanda yang menurut sejumlah pakar hukum Indonesia
masih relevan dengan jiwa masyarakat Indonesia yang majemuk.
Memang sejak zaman Belanda telah ada lembaga qa>d}i untuk menangani
perkara perdata masyarakat Islam, yang kemudian diperbaharui sedikit
demi sedikit oleh putraputra Indonesia (di dalam kurun waktu tiga orde
pemerintahan) hingga telah mengarah kepada penciptaan supremasi
hukum pada saat sekarang ini.70
Kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan pada masa orde
lama menitikberatkan pada sistem yang terpusat (centralistic) dipandang
sebagai sumber bagi munculnya ketidakadilan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.71 Kondisi yang demikian mengakibatkan
munculnya pergolakan masyarakat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh
yang dapat memanifestasikan berbagai bentuk reaksi di berbagai belahan
wilayah Indonesia. Namun permasalahan gejolak ini dapat dipecahkan
oleh pemerintah Pusat dengan berbagai kebijakan agar tidak mengancam
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di awal orde reformasi (tahun 1998) terdapat perubahan
kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh. Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1999
yang diketuai oleh Amien Rais telah mengamanatkan dalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1999, antara lain
memberikan Otonomi Khusus kepada Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Tahun 2000 juga telah dilakukan perubahan kedua terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, antara lain
dikatakan dalam Pasal 18B Ayat (1) bahwa negara mengakui dan
menghormati satuan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
69

Lihat Republik Indonesia, UU No. 24 Tahun 1956 Bab I Pasal 1.


Perbagai peraturan perdata yang menyangkut Hukum keluarga Islam telah
mendapat pengesahan dari pemerintahan Belanda, seperti UndangUndang perkawinan,
namun hukum pidana tetap berlaku KUHP.
71
Pemerintah Orde Baru mengesahkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang
pemerintahan di daerah. Dengan UU ini kewenangan pemuka adat (Law Center) Aceh
yang telah dilestarikan secara turun-temurun terhapus, sehingga menimbulkan gejolak
(hiruk-pikuk) tahun 1976-2005.
70

38

atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Selain itu,


Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.
IV/MPR/2000 juga telah merekomendasikan agar Undang-undang
tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dapat dikeluarkan
selambat-lambatnya bulan Mei 2001. Maka tepatnya tahun 2001
Pemerintah mensahkan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus
bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam.72
Pengesahan hak otonomi dan keistimewaan bagi Aceh
menunjukkan bahwa sejarah panjang keberadaan masyarakat Aceh di
bumi Nusantara, memperlihatkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara di daerah tersebut telah mampu menata kehidupan
kemasyarakatan yang unik, egaliter dan berkeseimbangan dalam
menyiapkan kehidupan duniawi dan ukhrawi. Masyarakat Aceh tunduk
dan taat kepada ajaran Islam serta memperhatikan fatwa dan bimbingan
ulama. Penghayatan terhadap ajaran Islam kemudian melahirkan budaya
Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat yang mendapat gelar serambi
Mekkah karena dari wilayah inilah kaum muslimin dari wilayah lain
berangkat ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang
kelima. Gelar ini merupakan realisasi penyatuan antara 3 (tiga) perkara
hukum Islam, pendidikan, dan adat-istiadat (sosio-yuridis) Aceh. Dengan
perkataan lain, meskipun sebelum kedatangan Islam abad ke-7 di
Samudra Pasai masyarakat masih beragama Hindu, namun pengaruh
keislaman lebih kental dalam kesejarahan Aceh.
Berlandaskan kepada UU No. 22 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, pengaturan tentang
Pelaksanaan Syariat Islam diatur dalam suatu Peraturan Daerah. Dampak
dari berbagai UU yang Islami tersebut menjelma ke dalam berbagai
legislasi hukum lainnya yang bernuansa Islami untuk diterapkan dalam
berbagai pelosok Aceh. Di Aceh Barat misalnya bupati Ramli telah
mengesahkan Peraturan Bupati (Perbub) yang menekankan pentingnya
busana muslimah yang dikenal dengan Perbub tentang pakaian
muslimah.73 Gubernur Aceh juga pernah mengeluarkan Perda No. 2
72

Alyasa Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh: Upaya Penyusunan


Fiqh dalam Negara Bangsa, 31. Lihat juga UUD 1945 Pasal 18B Ayat (1).
73
Bupati Teken Perbub Rok, Serambi Indonesia, tanggal 13 Maret 2010, 1.
Lihat juga Muhammad Yani, Saran untuk Bupati Aceh Barat, Serambi Indonesia, 28

39

Tahun 2000 tentang pembentukan Majlis Permusyawaratan Ulama.


Bahkan berbagai pengalaman yuridis-historis bagi otonomi Aceh menjadi
peluang realistis ketika UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan
Aceh. Kebijakan hukum perundang-undangan yang berlaku dan konsepkonsep fatwa ulama dapat disosialisasikan dalam rangka pelestarian adat
keislaman yang diturunkan secara turun-temurun dari para pendahulu.
Dengan perkataan lain, upaya pencegahan praktek kriminal dan maksiat
yang melanggar dengan syariat juga dapat mengalami tensi penurunan.
Berdasarkan hukum menurut persepsi agama maka keberadaan
hukum Islam di di Aceh-Indonesia khususnya dan di dunia umumnya,
sama halnya dengan eksistensi hukum suatu agama di suatu Negara di
dunia. Sejak zaman globalisasi tiba pada abad ke-20 (seiring dengan
mulainya milenium ke-3) manusia sulit membedakan praktek hukum
suatu agama di dunia. Dunia dapat melihat realitas pengamalan hukum
Islam pada Negara-negara yang manyoritas penduduknya muslim dan
memiliki agama Islam sebagai agama resmi Negara (states official
religion). Sedangkan Indonesia sebagai suatu Negara yang yang didirikan
pasca penjajahan dan imperialisme Jepang dan Eropa, bukan sebuah
Negara Islam meskipun penduduknya mayoritas muslim.74
Kesulitan dalam menerapkan hukum Islam akan dialami oleh
banyak Negara monyoritas muslim yang pernah dijajah. Indonesia juga
memiliki banyak kendala bila melaksanakan hukum Islam. Bahkan lebih
sulit jika membentuk Negara Islam. Kesulitan utama adalah disebabkan
konsensus pada awal berdirinya Negara Indonesia yang bukan
berideologi Islam, namun Pancasila. Dengan perkataan lain Indonesia
adalah Negara bangsa bukan Negara agama.
Pemerintahan Islam pada Kekhalifahan Turki Usmani yang
terletak di dataran Eropa juga mengalami kesulitan dalam
mengaplikasikan hukum Islam. Sebagian kalangan memahami bahwa
hukum Islam memiliki banyak kontradiksi di dalamnya. Pemahaman
kontradiktif ini juga ikut menyulitkan penerapan hukum Islam itu sendiri.
Fenomena ini membuat Kemal Attarturk (presiden Turki) meleburkannya

Juli 2010, 4. Lihat juga Hukum dan Kriminalitas, Gatra.Com, tanggal 9 Desember
2010, 1 dalam http://www.gatra.com/artikel.php?id=143697 (diakses tanggal 15-022011).
74
Lihat http://www. List of Muslim Moyarity Countries.

40

Khila>fah Isla>miyah Turki Usmani menjadi Negara sekuler tahun 1924. 75


Setelah itu Turki menjadi Negara sekular yang memisahkan hukum
agama dan hukum negara hingga sekarang ini. Bahkan pemerintahan
dunia Islam hanya berbentuk kesultanan-kesultanan/kerajaan-kerajaan
dan Negara-negara kebangsaan (nasionalisme) seperti Indonesia.
Paham nasionalis ini membawa dampak pada kebijakan
pemerintahan Indonesia. Pemerintah Orde Lama Indonesia telah
menghilangkan upaya-upaya bangsa Indonesia dalam mendirikan negara
Islam (NII). Kesultanan Aceh, setelah bergabung dengan Indonesia, ikut
menjadi menjadi kawasan yang berpaham nasionalis (secular) juga pada
tahun 1948. Aceh mengalami pengggabungan bersama dengan kerajaankerajaan Islam Melayu lainnya di nusantara dalam wadah Negara
Indonesia. Abdul Qadir Jailani mengatakan bahwa Nasionalisme juga
salah satu bentuk sekularime suatu Negara.76
Oleh kerena itu upaya-upaya penerapan syariat Islam tidak dapat
dilangsungkan dengan cepat seperti membalikkan telapak tangan, namun
pihak legislatif menenerapkannya melalui penyusunan Undang-undang
Islami yang memiliki nuansa representatif bagi seluruh bangsa.
Keinginan masyarakat untuk mendirikan Negara Islam juga tidak dapat
dilaksanakan. Negara melawan setiap aksi yang melawan ideologi
Negara (Pancasia), seperti aksi pembentukan NII oleh Aceh dan beberapa
daerah lainnya pada tahun 1950-an.
Sebenarnya, Hukum Islam yang ingin diterapkan di Aceh adalah
sebagaimana di Negaranegara Islam lainnya di dunia, yakni meliputi
semua aspek hukum Islam (termasuk jinayat, yang selama ini semua
tindak pidana ditangani Kitab Hukum Tindak Pidana peninggalan
Belanda). Tujuan tersebut dalam rangka untuk menuju penerapan syariat
Islam secara ka>ffah (menyeluruh). Penerapan hukum Jinayat secara
ka>ffah bertujuan untuk pencegahan praktek kriminal dalam masyarakat.
Karena Hukum Jinyt juga memiliki motif, ciri-ciri dan sifat khusus
sebagaimana karakter hukum kriminal lainnya. Amir Muallimin, dengan
didukung oleh Ketua Mahkamah Konstitusi RI (Mohd. Mahfud MD)
menulis dalam bukunya Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Ia
75

Richard C. Martin, Ensycclopedy of Islam and the Muslim World, Vol. 1


(New York: Macmillan Reference USA, 2003), 387.
76
Abdul Qadir Jailani, Islamisme Versus Sekularisme (Jakarta: Yayasan
Pengkajian Islam Madinah al-Munawwarah, 1999), 16.

41

mengatakan bahwa motif utama hukum ialah sensitif terhadap sangsi dan
untuk menciptakan kepatuhan di kalangan masyarakat.77
Berdasarkan uraian di atas, implementasi hukum Islam di AcehIndonesia tidak mesti melibatkan banyak kemponen muslim untuk
membentuk suatu Negara Islam dalam pengamalan Hukum Islam pada
saat sekarang ini. Karena di zaman modern ini upaya ini akan mendapat
kecaman dari berbagai Negara bangsa, tidak terkecuali dari kalangan
umat Islam (Indonesia) sendiri. Muhammad Arkoundalam Islam: to
Reform or to Subvert?mengatakan bahwa suatu kekeliruan sejarah
yang disesalkan (the apologetic historical confusion) bila
mengembalikan tradisi Islam kepada regime Islam seperti rejim Islam
Iran yang dibentuk oleh Khomeini sejak 1978. Pembentukan regime
berlawanan dengan haluan para ilmuwan politik baru, para sejarahwan,
dan para philosof di zaman demokratisasi global.78
B. Sejarah Otonomi Khusus Aceh
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa otonomi bagi Aceh telah
ada sejak pengesahan UU No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan
Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi
Sumatera Utara.
Pasca 4 (empat) periode kepresidenan RI, keinginan masyarakat
Aceh untuk menerapkan syariat Islam dapat diwujudkan secara kffah
(menyeluruh) pasca MoU Helsinki 15 Agustus 2005. Dalam periode ini,
Aceh, yang mayoritas penduduknya adalah muslim, memiliki peluang
dalam pembentukan otonomi yang luas dengan pengamalan syariat
Islam, meskipun tujuan dari MoU Helsinki 2005 tersebut adalah bukan
untuk Syariat Islam, bahkan bukan untuk hak otonomi khusus.79MoU
77

Amir Muallimin, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Jakarta: UII Press,


1999), 105.
78
Muhammad Arkoun , Islam: to Reform or to Subvert?, 16.
79
Moch. Nur Ikhwan, the Politics of Shariatization: Central Governmental
and Regional discourses of Sharia Implementation in Aceh dalam R. Michael Feener
and E. Cammck, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and Institutions, 197.
Pelaksanaan syariat pada masa Nabi Saw (550 M-11 H) telah sempurna. Pasca Nabi
Saw wafat, ditreruskan oleh khulafah al-rasyidin yang berpusat di Madinah. Kemudian
muncul periode kekhalifahan Islam Bani Umaiyah yang berpusat di Damaskus (660-750
M), periode kekhalifahahn Islam Bani Abbasiyah yang berpusat di Bagdad (749-842M),
periode kekhalifahan Daulat Bani Umayyah di Andalusia, periode kekhalifahan Islam
Fatimiah di Mesir (909-1171 M)), periode Khilfah Islamiyah Turki Usmani (Ottoman
Empire1326-1918 M). Khilafah Islamiyah juga memimpin kerajaan-kerajaan Islam di

42

Helsinki telah merefleksikan pengesahan UU No. 11 Tahun 2006 yang


memberikan kewenangan yang luas bagi Aceh untuk menerapkan syariat
Islam yang menyentuh semua aspek Fiqh Islam.
Sebelum UU No. 11 Tahun 2006, istilah otonomi khusus bagi
Aceh terdapat di dalam UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Daerah Istimewa Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam, yang
memberikan kepada Aceh peluang dalam menciptakan Qanun sendiri,
termasuk tiga Qanun (bylaw) menyangkut dengan Jinayat yang disahkan
tahun 2003.
Ketiga Qanun tersebut merupakan hasil usaha sungguh-sunnguh
lembaga eksekutif dan legistatif Aceh melalui Dinas Syariat Islam yang
diketuai oleh Alyasa Abu Bakar kepala Dinas Syariat Islam di dalam
kurun waktu 2000-2007. Dinas ini bekerja membantu Gubernur Aceh,
Adullah Puteh (2000-2004). Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 telah
diaplikasikan sejak tahun 2003 sampai saat sekarang ini. Dengan
demikian peluang otonomi khusus bagi Aceh membuahkan hasildalam
bentuk supemasi hukummeskipun masih ada kontradiksi kalangan
masyarakat Indonesia.
Alyasa memaknai kekhususuan dalam kriteria yang bertahap.
Tahap pertama, otonomi khusus dimaknai sebagai tambahan atas
otonomi daerah; kedua, otonomi khusus sebagai pengambilan dari
kewenangan pusat; dan ketiga, otonomi khusus sebagai pelaksanaan
keistimewan Aceh. Berdasarkan tahap-tahap ini Alyasa menyimpulkan
bahwa letak hukum jinayat Aceh sebenarnya bila berpijak pada UU No.
dunia, termasuk Kerajaan Islam Aceh Darussalam (1607-1636 M). Dinamisasi
kekuasaan di bumi, diakui al-Qura>n dalam Qs. li Imrn: 140 yang artinya: Harihari(masa) kejayaan itu Kami gilirkan di antara manusia.Lihat Juga Qs. Saba: 28,
yang artinya: Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) kecuali untuk manusia (ka>ffah)
seluruhnya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Dikatakan di dalam sebuah Wikipedia, Until the 18th century, Sharia law was
practiced throughout the Muslim world in a non-codified form, with the Ottoman
empire's Mecelle code in the 19th century being first attempt at codifying elements of
Sharia law. Since the mid-1940s, efforts have been made, in country after country, to
bring Sharia law more into line with modern conditions and conceptions. In modern
times, the legal systems of many Muslim countries draw upon both civil and common
law traditions as well as Islamic law and custom. The constitutions of certain Muslim
states, such as Egypt and Afghanistan, recognise Islam as the religion of the state,
obliging legislature to adhere to Sharia. Lihat http:// en.wikipedia.org/wiki.Islamic
Law of the World/Law.htm (diakses tanggal 18 Agustus 2010).

43

44 Tahun 1999 adalah sejenis peraturan daerah yang yang berada di


bawah Peraturan Pemerintah (PP), namun dengan kekhususan yang
diperoleh dari Undangundang Negara (UU No. 11 Tahun 2006) ia
menempati peringkat Peraturan Pemerintah (yang tidak dapat
disingkirkan oleh PP dan Keputusan Presiden). Alyasa menambahkan
bahwa UUD 1945 Pasal 24 Ayat (2) menyatakan bahwa lingkungan
peradilan sudah ditetapkan hanya 4 lingkungan yaitu: (1) Lingkungan
Peradilan Umum: (2) Lingkungan Peradilan Agama; (3) Lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara; dan Lingkungan Peradilan Militer.80
Selain itu, secara realitamenurut Alyasatelah ada 4
kebijakan berkenaan dengan penerapan syariat Islam di Aceh (pasca
kemerdekaan RI), yakni: (1) kebijakan berdasarkan UU No. 44 Tahun
1999; (2) kebijakan berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001; dan (3)
Kebijakan berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006.81
1. Kebijakan berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999
Pengesahan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh oleh pemerintah Indonesia
mewujudkan sejumlah kebijakan daerah yang terkandung dalam turunan
UU tersebut. Salah satu dari peranakan UU tersebut adalah aplikasi
Peraturan Daerah (Perda) No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat
Islam. Perda ini merupakan suatu nuansa Islami yang turut memberikan
peluang bagi masyarakat Aceh untuk menciptakan nuansa keislaman di
Aceh.
Undangundang tersebut menyatakan bahwa pemberian
keistimewaan kepada Aceh menimbang sejarah panjang perjuangan
rakyat Aceh membuktikan adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi,
yang bersumber dari kehidupan yang religius, adat yang kukuh, dan
budaya Islam yang kuat dalam menghadapi kaum penjajah. Kehidupan
religius rakyat Aceh juga telah membentuk sikap pantang menyerah dan
semangat nasionalisme dalam menentang penjajah dan mempertahankan
kemerdekaan merupakan kontribusi yang besar dalam menegakkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kehidupan masyarakat Aceh yang
80

Alyasa Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh:Upaya Penyusunan


Fiqh dalam Negara Bangsa, 34-38. Lihat juga Tap MPR R I No. III/MPR/1978 yang
menyinggung kedudukan Mahkamah Syariyah Aceh.
81
Alyasa Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh: Upaya Penyusunan
Fiqh dalam Negara Bangsa, 13-75.

44

religius, menjunjung tinggi adat, dan telah menempatkan ulama pada


peran yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara perlu dilestarikan dan dikembangkan bersamaan dengan
pengembangan pendidikan Islam. Berdasarkan pertimbangan tersebut,
penyelenggaraan pemerintahan daerah Aceh memerlukan adanya
jaminan kepastian hukum dalam melaksanakan segala urusan. Maka
Undang-undang tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah
Istimewa Aceh menjadi hukum normatif bagi upaya tersebut. Fenomena
seperti ini telah disebutkan Arsekal Salim dalam Challenging the Secular
State: the Islamization of Law in Modern Indonesia.82
Pasca pengambil alihan kekuasaan pemerintahan oleh Orde Baru
(New Orde) yang dipimpin Suharto tahun 1966, hak keistimewaan bagi
Aceh yang tercantum dalam UU No. 24 Tahun 1956 tidak direalisasikan.
Semua hak dan kebijakan daerah diambil alih oleh pemerintah pusat
terutama setelah pengesahan UU No. 5 Tahun 1975. Korupsi, Kolusi,
Nepotisme di berbagai pelanggaran HAM lainnya juga merajalela di
dalam kehidupan birokrasi Orde Baru. Pemerintahan ororiter ini berakhir
dengan ditabuhkannya genderang perang terhadap korupsi, kolusi dan
nepotisme yang di diprakarsai Amein Rais (tokoh pencetus reformasi)
pada tahun 1998yang menyebabkan pergantian kepresidenan dari
Suharto kepada wakilnya, B. J. Habibie. Dikatakan Moch. Nur Ikhwan
bahwa dengan peralihan kepemimpinan ini tindakan-tindakan rejim
represif (the regimes repressive actions) di Aceh semakin lama semakin
berkurang. 83
B. J. Habibie yang melanjutkan tongkat estafet pemerintahan
Suharto, berusaha membuka pintu demokrasi dengan cepat sesuai
tuntutan keadaan. Di antara bentuk pemerintahan demokrasi dengan
memberikan kewenangan-kewenangan legislatif yang signifikan kepada
daerah-deerah, termasuk otonomi khusus bagi Nanggroe Aceh

82

Arsekal Salim dalam Challenging the Secular State: the Islamization of Law
in Moderen Indonesia (Honolulu: University of Hawai`I Press, 2008),143-144. Lihat
juga UU No. 44 Tahun 1999.
83
Moch. Nur Ikhwan, the Politics of Shariaatization: Central Governmental
and Regional Discourses of Shari`a Implementation in Aceh dalam R. Michael Feener
and Mark E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and Institution,
194.

45

Darussalam, sebagaimana dikatakan Tim Linsey dan M. B. Hooker. 84


Realita ini memunculkan berbagai wancana dan kebijakan terhadap
peningkatan supremasi hukum di Indonesia, sehingga membawa dampak
kepada kebijakan pemerintah untuk membentuk Lembaga Komisi
Pemberantasan Korupsi pada tahun 2003. Kemudian dilanjutkan dengan
adanya Mahkamah Konstitusi tahun 2004. Kedua institusi peradilan ini
dapat menghambat kesewenang-wenangan pejabat negara dari perilaku
yang merugikan negara dan masyarakat.
Bagi Aceh, sejarah perkembangan hukum menunjukkan bahwa
pemerintah mengeluarkan UU No. 44 Tahun 1999 yang memberikan
keistimewaan (renofatif) bagi Aceh di bidang agama, adat-istiadat, dan
Pendidikan. Dengan demikian telah ada 2 daerah Istimewa di Indonesia
yakni DI Aceh dan DI Yokyakarta. Sedangkan pasca Undang-undang
Otonomi daerah telah ada lima daerah Otonomi Khusus bagi Indonesia
(termasuk Papua Barat).
2. Kebijakan berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001
Dari realita di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan
pemerintah sebagai penyelenggara Negara nampak pada pengesahan
hukum perundang-undangan. Fenomena ini dapat terjadi karena
pengaruh dari pusat atau dari daerah (Aceh). Sejumlah UU muncul
dengan latar belakang hiruk-pikuk masyarakat yang menuntut adanya
perubahan kebijakan dari masa ke masa. Demikian pula yang terjadi
terhadap UU No.18 Tahun 2001, yang membawa dampak pada
pengesahan qanun Jinayat tahun 2003. Meskipun UU ini dianggap tidak
berlaku lagi pasca pengesahan UU No. 11 Tahun 2006, Qanun jinayat
tahun 2003 tersebut tetap dinyatakan berlaku sampai saat sekarang ini.85
Kebijakan UU tentang Otonomi Khusus ini nampak pada
batang tubuh dan kandungan/isinya. Menyangkut dengan syariat Islam,
84

Tim Lindsey and M.B. Hooker, Sharia Revival in Aceh dalam R. Michael
Feener and Mark E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and
Institution, 219.
85
UU No. 11 Tahun 2006 memperlihatkan bahwa wewenang yang diberikan
kepada Aceh meliputi banyak sektor, kecuali keuangan, pertahanan, urusan luar
negeri, kehakiman, dan agama. Ketentuan ini sebenarnya senada juga dengan UU No.
34 Tahun 2003 tentang Otonomi Daerahsebagai penyempurnaan dari UU No. 22
Tahun 1999 (yang berlaku bagi semua daerah di Indonesia). Lihat Mohd. Mahfud MD,
Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: Rajawali Press, 2010),
218.

46

Bab XII Pasal 25 dan 26 Undangundang ini mencantumkan item


tentang pengesahan Mahkamah Syariyah di Nanggroe Aceh
Darussalam, sehingga menampakkan adanya kemajuan dari sektor
peradilan Islam. Sebelumnya, semua kasus kriminal mesti merujuk ke
pangadilan Umum atau pengadilan yang relevan ketika masayarakat
mengajukan suatu kasus yang menyangkut dengan tindak pidana. UU ini
di samping memperkuat kebijakan-kebijakan daerah sebelumnya yang
menyangkut dengan peradilan, juga sekurang-kurangnya tidak
melangkah ke belakang dalam proses peradilan di Aceh. Fakta yuridis
menunjukkan bahwa sebelumnya UU No. 22 Tahun 1999, pemerintah
Aceh telah mengesahkan Perda No. 5 Tahun 2000 tentang peradilan
syariat Islam di Aceh yang tidak memiliki lembaga peradilan yang dijinayat-kan.
Pasca pengesahan UU No. 18 Tahun 2001, keterlibatan
Mahkamah Syariyah Aceh dalam penanganan perkara pelanggaran
syariat terletak pada hukum acara pidana yang telah diterapkan oleh
Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003. Sejumlah tindak pidana lain,
tidak terkecuali perkara pelanggaran daru>riyah al-khamsah (lima perkara
yang dilindungi agama), belum dapat ditegakkan dengan hukum Islam.
Fenomena ini demi menjaga Konsensus 1945 yang menyatakan bahwa
Negara Indonesia bukan berdasarkan Islam.
Tentang status Aceh dalam ketatanegaraan Indonesia
kontemporer telah juga disebutkan di dalam Wikipidea:
Sejumlah Provinsi yakni Aceh, Jakarta, Yokyakarta, dan
Papua Barat memiliki keistimewaan hukum yang lebih besar dan
lebih tinggi derajat otonomi dari pemerintah pusat dibandingkan
daerah-daerah lain. Pemerintah Aceh, contohnya, memiliki hak
untuk membuat system hukum yang independen, pada tahun 2003
Aceh membentuk sebuah hukum syariat. Yokyakarta diberikan
kawasan khusus karena dikenal peran pentingnya di republik di
dalam revolusi Indonesia. Papua yang yang dulunya dikenal Irian
Jaya, sekarang Papua Barat, dianugerahi status otonomi khusus
pada tahun 2001. Jakarta adalah kawasan ibu kota Negara yang
khusus
(The provinces of Aceh, Jakarta, Yokyakarta, and West
Papua have greater legislative privileges and a higher degree of
autonomy from the central government than the other provinces.

47

The Acehnese government, for example, has the right to create an


independent legal system; in 2003, it instituted a form of Sharia
(Islamic law). Yogyakarta was granted the status of Special
Region in recognition of its pivotal role in supporting Indonesian
Republicans during the Indonesian Revolution. Papua, formerly
known as Irian Jaya, now West Papua, was granted special
autonomy status in 2001 Jakarta is the country's special capital
region).86
Di antara tokoh Aceh Ahmad Farhan Hamid, dianggap memiliki
andil dalam menagani proses pengesahan dan penyusunan UU No. 18
Tahun 2001tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh menjadi provinsi Nanggroe Aceh Darusalamini. Sebagai
Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Daerah (DPD) Aceh, ia ikut
meyumbangkan pemikiran bagi perwujudan UU hingga ditantatangani
presiden Megawati Sukarnoputri dan diundangkan menjadi Undangundang RI pada bulan Mei 2001. 87 Bustami dengan mengutip beberapa
pakar dari Aceh mengatakan bahwa kata Nanggroe (sebagaimana
halnya frase Wali Nanggroe yang tertera dalam UU No. 18 Tahun
2001) dapat diartikan Negara, dan juga berarti suatu kawasaan di dalam
suatu Negara. Pengggunaan kata Nanggroe dalam UU No. 18 Tahun
2001 membuat jiwa masyarakat menerima penamaan ini.88 Dikatakan

86

http://en.wikipedia.org/wiki/Qanun, diakses tanggal 29 November 2010.


Lihat juga UUD 1945 Pasal 18B Ayat (1), Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan undang-undang. Lihat juga Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik
Hukum, Menegakkan Konstitusi, 226.
87
Di antara kekhususan dalam Undang-undang ini adalah meberikan peluang
pembentukan Mahkamah Syariyah (Sharia Courts) dan implementasi syaraiat Islam
di provinsi Aceh. Lihat Moch. Nur Ikhwan, the Politics of Shariatization: Central
Governmental and Regional discourses of Sharia Implementation in Aceh dalam R.
Michael Feener and E. Cammck, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and
Institutions, 196.
88
Lihat Pasal 10 Ayat 3 UU No. 18 Tahun 2001. Lihat juga Bustami, Wali
Nanggroe:MonarchidalamRepublik,http://www.acehfeature.org/index.php/site/detailart
ikel/771/Wali-Nanggroe-Monarki-dalam-Republik/

48

Tim Lindsey dan M.B. Hooker bahwa kedudukan Wali Nonggroe lebih
terkait dengan symbol dibandingkan politik.89
UU ini sebagaimana perundang-undangan lainnya, dianggap
merupakan hasil kesepakatan umum masyarakat Indonesia yang tidak
mengabaikan kepentingan masyarakat (Aceh) secara representatif. UU
ini mengimplikasikan suatu anggapan bagi masyarakat Aceh-Indonesia
bahwa NKRI telah final dan tidak lagi harus ada perjuangan rakyat untuk
memisahkan diri. Kebijakan pengesahan Undangundang ini juga
meredam antusias masyarakat Aceh untuk berpisah, di samping mencari
solusi persoalan masyarakat Aceh pada fase-fase lanjutan.
Dengan perkataan lain, dengan kekhususan UU tersebut dapat
dijadikan peluang oleh eksekutif dan legislative Aceh untuk membuat
qanun jinayat yang berhasil disusun tahun 2003 yang menyangkut
hukuman bagi tindak pidana khamar, judi, dan khalwat sebagaimana
tersebut di atas. Ketiga Qanun ini dapat diterapkan secara lebih realistis
sejak diundangkan dan pasca keluarnya UU No. 11 Tahun 2006 tentang
pemerintahan Aceh.
3.

Kebijakan berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006


Sebagaimana uraian sebelumnya, bahwa pengesahan hukum
perundang-undangan merupakan wujud dinamisasi nuansa system
pemerintahan Negara yang bertujuan menuju ke arah yang lebih baik.
Maka bagi UU No. 11 Tahun 2006 memiliki sejumlah
kekhususan/kespesifikan bagi Aceh. Di antara kespesifikasiannya adalah
adanya penamaan-penamaan baru bagi kantor-kantor dan lembagalembaga pemerintahan di provinsi Aceh. UU No. 11 Tahun 2006 ini
menamakan gubernur Aceh dengan sebutan kepala pemerintah Aceh,
bukan kepala daerah (sebagaimana yang berlaku pada masa silam).
Hukum Islam juga dapat diterapkan sesuai dengan yang telah diatur UU
RI dan Qanun yang dijabarkan oleh Daerah dengan Pergub, Perbub, dan
perundangundangan yang bersifat otonomis lainnya. Meskipun sesuai
dengan hukum perundang-undangan yang berlaku, hukum Islam yang
diterapkan mesti ada penyelerasan dengan ideologi Negara, karena
Indonesia telah terikat dengan konsensus sebelumnya yakni berideologi
89

Tim Lindsey and M.B. Hooker, Shari`a Revival in Aceh dalam R. Michael
Feener and Mark E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and
Institution, 220.

49

Negara Pancasila sejak tahun 1945. Maka demikian pula penerapan


hukum Islam yang dilindungi UU ini.90
Penanganan konflik Aceh sebelum UU ini telah melibatkan
banyak pihak dan organisasi Internasional (Non Govermental
Organization), yang berakhir dengan perjanjian Helsinki 15 Agustus
2005. Fenomena ini menunjukkan persoalan Aceh tidak hanya
merupakan persoalan domestik bangsa Indonesia, namun telah
melibatkan campur tangan dunia luar. Pasca (Memorandum of
Understanding (MoU) tersebut menunjukkan bahwa Aceh masih
merupakan salah satu provinsi di Negara kesatuan Republik Indonesia,
anggota PBB (UN) yang telah menandatangani Pernyataan Sejagat Hakhak Asasi manusia (the Universal Declaration of Human Rights) tahun
1948. Sebagai sebuah Negara, Indonesia memiliki status yang sama
dengan Negara-negara lainnya di dunia. Juga memiliki hak dan
kewajiban yang sama dalam menjaga perdamaian. Perkara hak asasi
manusia memerlukan pembahasan mengingat perkara ini memiliki
keterkaiatan dengan pengamalan hukum Islam di Indonesia, termasuk
hukum jinayat Aceh.Kesepakatan HAM tersebut merupakan suatu
tatanan yang mesti dijalani oleh suatu bangsa/pemerintahan.
Kesepakatan-kesepakatan dunia yang menyangkut dengan HAM
adalah berupa kesepakatan tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan (CEDAW) tahun 1979, Kesepakatan tentang Hak Anak
(CRC), Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras (CERD) tahun
1965, Kesepakatan tentang Hak Sipil dan Berpolitik (ICCPR) 1966,
Kesepakatan
tentang
Anti
penyiksaan
(CAT)
dan
lainlain.91Kesepakatan-kesepakatan itu sudah menjadi hukum perundangundangan yang disahkan (diratifikasi) ke dalam hukum periundangundangan Republik Indonesia.92

90

Alyasa Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh,77. Lihat juga


Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syariyah dalam Sistem Peradilan Nasional, 110-118.
Lihat juga UU No. 11 Tahun 2006 bab XVIII pasal 10. Lihat juga Keppres No. 11
Tahun 2003.
91
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain
yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan, atau Merendahkan Martabat
Manusia (Toture Convention), telah diratifikasi dengan UU RI No. 5 Tahun 1998
92
UUD 1945 yang telah empat kali diamademen inio, banyak memuat pasalpasal yang menyangkut dengan HAM.

50

Keseluruhan kesepakatan tersebut menjadi acuan bagi perilaku


hukum di Indonesia, tak terkecuali pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh.
Di antara kesepakatan-kesepakatan tersebut, ICCPR dinilai sangat rentan
(untuk mendapatkan sorotan publik) menyangkut dengan pelaksanaan
Hukum Jinayat di Aceh. Namun latar belakang penandatanganan ICCPR
itu Indonesia juga memiliki konsideran terhadap konsep HAM Islam
(Deklarasi Kairo), sehingga, menunurut sejumlah pakar, pelaksanaan
hukum Jinayat tidak bertentangan dengan HAM dalam pemahaman yang
menyeluruh. Bagi Indonesia Komnas HAM yang merupakan badan
HAM Indonesia yang terbentuk dengan Keppres No. 50 Tahun 1993
dikuatkan dengan pengesahan UU No. 39 Tahun 1999 yang
ditandatangani oleh B. J. Habibie. Sampai saat sekarang ini, badan ini
tidak akan keliru dalam memahami hukum jinayat Aceh. Komnas HAM
memahami latar belakang penandatangan ICCPR tersebut dan hak
Otonomi bagi Aceh. Walaupun Komnas HAM tidak dapat membatalkan
Qanun Jinayat, penegakan HAM akan terbuka peluang bagi Indonesia
dalam kerjasama bidang HAM dengan Dunia.93
93

Syaldi Sahude, Instrumen HAM Internasional yang Telah Diratifikasi


Indonesia, (Artikel) Fact Sheet, Komnas HAM dan Berbagai Sumber Lainnya , pada 8
Mei 2009, (diakses tanggal 12 Desember 2010). Syaldi mengatakan bahwa instrument
HAM yang telah diratifikasi adalah: 1. Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, telah
diratifikasi dengan UU No. 59 Tahun 1958; 2. Konvensi Tentang Hak Politik Kaum
Perempuan Convention of Political Rights of Women, telah diratifikasi dengan UU
No. 68 tahun 1958; 3. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan Convention on the Elmination of Discrimination againts Women,
telah diratifikasi dengan UU No. 7 tahun 1984; 4. Konvensi Hak Anak Convention on
the Rights of the Child, telah diratifikasi dengan Keppres 36 tahun 1990 ( Protokol
Tambahan Konvensi Hak Anak mengenai Perdagangan Anak dan, prostitusi Anak, dan
Pornografi Anak Optional Protocol to the Convention on the rights of The child on the
sale of children, child prostitution dan child pornography, telah ditandatangani pada
tanggal 24 sepetember 2001), Protokol tambahan Konvensi Hak Anak mengenai
Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata Optional Protocol to the Convention on
the Rights of the child on the Involvement of the Children ini Armend Conflict, telah
ditandatangani pada 24 September 2001; 5. Konvensi Pelarangan, Pengembangan,
Produksi dan Penyimpanan Senjata Biologis dan Penyimpanannya serta pemusnahannya
Convention on the Prohobition of the Development, Production and Stockpilling of
Bacteriological (Biological) and Toxic Weaponsand on their Destruction, telah
diratifikasi dengan Kepres No. 58 tahun 1991; 6. Konvensi Internasional terhadap Anti
Apartheid dalam Olahraga International Convention Againts Apartheid in Sports,
telah diratifikasi dengan UU No. 48 tahun 1993; 7. Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau

51

Perkara spesifik yang tertera pada UU No. 11 Tahun 2006


terdapat pada bidang syariah. Aceh memiliki kekhususan-kekhususan
dalam di dalam bidang yurisdiksi (Peradilan/Mahkamah Syariah), yaitu:
(1) adanya ketentuan pidana (jinayat) yang diatur dengan qanun (Pasal
125 UU No. 11 Tahun 2006); (2) adanya penundukan diri secara sukarela
(Pasal 129 Ayat 1); (3) Jinayah berlaku bagi non-muslim apabila delik
(kejahatan) tersebut tidak ada pengaturannya dalam KUHP atau
perundang-undangan lain (Pasal 129 Ayat 2); (4) Qanun tentang syariat
Islam hanya dapat dibatalkan melalui yudicial review oleh Mahkamah
Agung (Pasal 235 Ayat 4); (5) Ketentuan tentang hukuman yang berlaku
untuk Perda, tidak berlaku untuk Qanun Syariat Islam (Pasal 241 Ayat
4). Kekhususan Aceh demikian telah dipaparkan oleh Mawardi Ismail
(seorang dosen Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh).94
Diakui Syamsuhadi Irsyad, berkaitan dengan hukum pidana
Islam,95 telah diutarakan secara gamblang di dalam kebijakan UU
(tentang Pemerintahan Aceh) ini, yaitu: (1) syariat Islam yang
dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, shariyah dan akhlak; (2) syariat
Islam sebagaimana dimaksudkan adalah meliputi ibadah, ahwal alMerendahkan, atau merendahkan martabat Manusia Toture Convention, telah
diratifikasi dengan UU No. 5 tahun 1998; 8. Konvensi organisasi Buruh Internasional
No. 87, 1998 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi
ILO (International Labour Organisation) Convention No. 87, 1998 Concerning
Freedom Association and Protection on the Rights to Organise, telah diratifikasi dengan
UU No. 83 tahun 1998; 9. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi Rasial Convention on the Elemination of Racial Discrimination, telah
diratifikasi dengan UU No. 29 Tahun 1999; 10. Optional protokol Konvensi tentang
Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Convention on the
Elmination of Discrimination Againt Women, telah ditandatangi pada Maret 2000 tetapi
belum bisa diratifikasi; 11. Dan Konvensi Internasional untuk penghentian Pembiayaan
terorisme International Convention for the Supression of the Financing Terrorism,
telah ditandatangani pada 24 September 2001. Lihat juga Mohd. Mahfud MD,
Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, 206.
94
Mawardi Ismail, Beberapa Kekhusususan Undang-undang tentang
Pemerintahan Aceh /UU No. 11 Tahun 2006 (Banda Aceh: Aceh Recovery Forum,
2008), 9-10. Lihat juga Rusjdi Ali Muhammad & Swa, Melanggar Syariat, NonMuslim Boleh Pilih Hukuman, Serambi Indonesia, 21 Juni 2011, 2.
95
Pasal-pasal UU No. 11 Tahun 2006 yang menyangkut dengan Jina>ya>t
(Hukum Pidana Islam) menunjukkan bahwa tanggung jawab pelaksanaan hukum
jinayat dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah Pusat dan pemerintah Aceh,
terutama menyangkut dengan pendanaan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 127
Ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006.

52

shakhiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinyah


(hukum pidana), qad}a> (peradilan), tarbi>yah (pendidikan), dakwah, shiar,
dan pembelaan Islam; dan (3) ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan syariat Islam sebagaimana dimaksudkan diatur dengan
Qanun Aceh. 96
Sebelum UU ini, Qanun Aceh tentang hukum acara pada
Mahkamah Syariyah, menurut Syamsuhadi, yang dibentuk adalah: (1)
hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syariyah adalah hukum
acara yang diatur dalam Qanun Aceh; dan (2) hukum acara yang berlaku
pada Mahkamah Syariyah sepanjang mengenai jinayah adalah hukum
acara sebagaimana yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.97
Kewenangan Mahkamah Syariyah sebagaimana tercantum di
dalam UU No. 18 Tahun 2001, menjadi meluas setelah penegesahan
UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Misalnya, dikatakan
dalam Pasal 20 Bab VI UU No. 11 Tahun 2006, Penyelenggaraan
Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota berpedoman pada
azas umum penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri atas asas keIslaman.98
Memang, perwujudan Mahkamah Syariyah pada saat sekarang ini
tidak terlepas dari dampak sejarah Aceh masa silam. Idri dalam
artikelnya yang berjudul Negara di Jawa Masa Lampau; Studi tentang
Masa Mataram II dengan mengutip dari Martono mengatakan :
Unlike the judicial system in Java, the religious courts in
Aceh were conducted in various levels . The first level court
operated on the village level , and was led by an arbitrator called
keuchik . The court handled only petty cases: more severe cases
were heard by the Mukim or Law Center. When one of litigant
parties was not satisfied with the decision of the first level, he or
she might lodge an appeal to the Uleebalangs (second-level
courts) . A furher appeal might be submitted to the Panglima
Sagi. If still not satisfied, then he or she might continue the
96

Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006.


Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syariyah dalam Sistem Peradilan Nasional
(Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), 188.
98
UU No. 11 Tahun 2006 Pasal 20.
97

53

appeal to the Sultan. It would be heard by the Supreme Court


made up of: Malikul Adil, The Rich Sri Master, the Rich King
Bandhara, and Faqih (Ulama).
(Beda dengan system peradilan di Jawa, pengadilanpengadilan agama di Aceh dibentuk dalam beberapa tingkat.
Pengadilan tingkat pertama dilangsungkan di tingkat desa, dan
dipimpin oleh seorang penengah yang dinamakan keuchik.
Pengadilan hanya menangani menangani kasus-kasus ringan:
kasus-kasus yang agak berat ditangani oleh Mukum atau Pusat
Hukum. Ketika seorang warga tidak puas dengan keputusan dari
tingkat pertama dia dapat mengajukan banding ke Uleebalang
(Pengadilan tingkat dua). Pengajuan banding yang lebih lanjut
tapat diajukan ke Panglima Sagoe. Jika tidak puas, orang dapat
melanjutkan banding ke Sultan. Hal itu akan didengar oleh
Mahkamah Agung yang dinamakan Malikul Adil, Yang dipertuan
Agung, Syah Bandar, dan FaqihUlama). 99
Di era kontemporer, realita menunjukkan bahwa hak Otonomi
khusus telah menjelma dalam pergantian badan peradilan Islam
(Mahkamah Syariyah) yang sebelumnya berada di bawah jajaran
Departemen Agama RI (baca: Kementerian Agama RI) menjadi tunduk
kepada Mahkamah Agung RI. Maka berkenaan dengan lembaga ini dan
data statistik dari penanganan kasus tindak pidana akan penulis jelaskan
selanjutnya.
Kedudukan Mahkamah Syariyah adalah Lembaga Tinggi di
bawah Mahkamah Agung Negara sebagaimana dimaksudkan dalam
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
III/MPR/1978.100 Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi
dari semua Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya

99

Idri (STAIN Pamangkasan, Indonesia), Religious Court in Indonesia History


and Prospect, Journal of Indonesian Islam, Vol 3 Number 2 , Desember 2009, 302.
Lihat juga Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: the Experience of Indonesia,
75.
100
Republik Indonesia, UU No. 14 Tahun 1985 Bab 1 tentang Kedudukan
Mahkamah Agung pasal 1 dan 2. Lihat juga Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 1 huruf
(i), Mahkamah adalah Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kota dan Mahkamah
Syariyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

54

terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh pengaruh lain.101


Mahkamah syariyah provinsi bertugas merealisasikan tugas-tugas
peradilan di daerah (Aceh). Mahkamah Syariyah Wilayah Aceh di
samping mengemban tugas peradilan yang berkaitan dengan keperdataan
(ah}wa>l al-shakkhs}i>yah), juga merealisasikan Qanun Jinayat dari Otonomi
Khusus. Maka sesuai dengan tugasnya, tanggung jawab Mahkamah
Syariyah Aceh menjadi lebih luas.102
Selain itu, nuansa perkembangan baru yang berlaku bagi Aceh
dari realitas UU No. 11 Tahun 2006 yang disahkan pasca MoU Helsinki
15 Agustus 2005 menampakkan pengubahan nama Aceh dari Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (sebagaimana UU No. 18 Tahun 2001)
menjadi Provinsi Aceh kembali (sebagaimana UU No. 24 Tahun 1956
yang ketika itu Aceh memiliki 5 kabupaten). Pasca MoU tersebut Aceh
memiliki 21 kabupaten.
Bila UU No. 24 Tahun 1956 tersebut Aceh masih berada di antara
27 provinsi, maka eksistensi Aceh tetap sebagai salah satu provinsi dari
33 provinsi di Indonesia pasca UU No. 11 Tahun 2006. Dengan
perkataan lain, UU No. 11 Tahun 2006 telah menambah nuansa baru
bagi bagi sosio-kultural-geografis (pembagian territorial) Aceh.
Perubahan sebutan (naming) bagi beberapa lembaga resmi
pemerintah juga banyak dilakukan, meskipun fungsinya tetap dan
penambahan dari sebelumnya. Namanama instansi pemerintahan telah
disesuaikan dengan kultur (budaya) Aceh. Aceh diberiakan peluang
yang sangat besar untuk membenah diri. Di samping memperkuat
kelembagaan daerah, memperkokoh
bidang ekonomi yang
mensejahterakan masyarakat, UU ini juga melakukan pembenahan di
sektor agama dan adat. Namun mengingat sosialisasi Undang-undang ini
belum merata (bagi masyarakat dan birikrasi pemerintahan), maka tidak
mustahil adanya banyak kendala, terutama ketika berada pada tahap
pembahasan wewenang dan tanggungjawab antara pusat dan daerah
101

Lihat Republik Indonesia, UU No. 14 Tahun 1985 Bab 1, Pasal 1, dan


pasal 2. Adnan Buyung Nasution, dalam Arus Pemikiran Konstitusionalisme Hukum
dan Peradilan (Jakarta: Kata Hasta, 2007), 56-57agak jeli menilai konteks ini. Adnan
mengartikan ungkapan terlepas dari pengaruh pemerintah dan pihak lain sebagai
suatu wewenang absolut pemerintah di dalam bidang pemerintahan/kehakiman.
102
Lihat Keputusan Mahkamah Agung RI No. KMA/070/SK/X/2004 tanggal 6
Oktober 2004 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada
Mahkamah Syariyah di Prov. NAD.

55

menyangkut dengan RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) yang


menjadi turunan UU tersebut.103
Dengan perkataan lain, berbagai pengesahan Undang-undang
yang berupa UU No. 24 Tahun 1956, UU No. 22 Tahun 1999 , UU No.
44 Tahun 1999, UU No. 18 Tahun 2001, dan UU No. 11 Tahun 2006
sebagai hasil dari ijm DPR RI bagi Aceh, menunjukkan adanya
dinamisasi hukum perundang-undangan Indonesia yang menyangkut
dengan Aceh. Dinamisasi system pemerintahan Negara dalam berbagai
bentuk, termasuk penerapan system otonomi daerah bertujuan untuk
menciptakan kelanggengan bagi masyarakat dalam merealisasikan
kehidupannya sehari-hari, mengingat pendduduk Indonesia adalah
masyarakat yang mejemuk yang memiliki kultur dan adat istiadat yang
berbeda-beda yang telah terikat di dalam falsafah Bhinneka Tunggal Ika.
104

Iklim Ke-bhinneka-an tersebut dapat membawa dampak pada


sejumlah nuansa Hukum perundang-undangan RI, tak terkecuali Undangundang ini yang membahas hak pengololaan pemerintahan sendiri (self
government) berdasarkan adat istiadat Aceh bagi masyarakat Aceh,
bahkan khusus menyangkut dengan keagamaan dan hukum. Dampak lain
dari tuntutan zaman pihak DPR RI telah 4 kali mengamandemen UUD
1945.105
Hal mendasar dari sejumlah undang-undang (UU No. 44 Tahun
1999, UU No. 18 Tahun 2001, dan UU No. 11 Tahun 2006) adalah
pengesahan Keistimewaan dan hak otonomi bagi Aceh. Khusus UU No.
11 Tahun 2006 mengatur pemberian kesempatan yang lebih luas bagi
Aceh untuk mengatur dan mengurus sumber-sumber ekonomi, menggali
dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia,
menumbuh kembangkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi,
meningkatkan
peran
serta
masyarakat,
menggali
dan
mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur
kehidupan masyarakat Aceh, memfungsikan secara optimal Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam
103

Fikar W Eda, Menkeu Anulir RPP Sabang: Pemerintah Aceh Kecewa dan
Merasa Ditipu Lagi, Serambi Indonesia, 13 Agustus 2010, 1.
104
http://www. IslamicLawoftheWorld/Indonesia.htm (diakses tanggal 17
November 2010).
105
Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi,
21.

56

memajukan penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Nanggroe Aceh


Darussalam dan mengaplikasikan syariat Islam dalam kehidupan
bermasyarakat. Untuk melaksanakan berbagai kewenangan dalam rangka
kekhususan, Maka DPR NAD merealisasikan kewenagan ini dalam
bentuk Qanun-qanun, termasuk qanun-qanun jinayat tahun 2003.
Pelaksanaan system hukum di Lembaga peradilan Islam Aceh memang
masih mendapat pengontrolan dari Mahkamah Agung RI.
Pemerintah juga membuka peluang untuk meningkatkan
penerimaan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam termasuk
kemungkinan tambahan penerimaan selain yang telah diatur dalam
undang-undang ini. UU ini menempatkan titik berat otonomi khusus pada
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang pelaksanaannya diletakkan
pada daerah Kabupaten dan Kota atau nama lain secara proporsional.
Kekhususan ini merupakan peluang yang berharga untuk melakukan
penyesuaian struktur, susunan, pembentukan dan penamaan
pemerintahan di tingkat lebih bawah yang sesuai dengan jiwa dan
semangat berbangsa dan bernegara yang hidup dalam nilai-nilai luhur
masyarakat Aceh, diatur dalam Peraturan Daerah yang disebut dengan
Qanun. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan
Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dapat
mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan
mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis dan Mahkamah
Agung berwenang melakukan uji materiil terhadap Qanun. Dalam hal
pemberian otonomi khusus sebagaimana dimaksud undang-undang ini,
Pemerintah berkewajiban memfasilitasi dan mengoptimalkan perannya
dalam rangka percepatan pelaksanaan otonomi khusus yang disahkan
kepada Provinsi NanggroeAceh Darussalam. 106
Sebelum sejumlah UU (Keistimewaan Aceh 1999, UU Otonomi
Khusus 2001, dan UUPA 2006) tersebut disahkan khusus menyangkut
dengan Aceh, pengamalan hukum produk orde lama seperti UU No. 24
Tahun 1956 tidak dapat direalisasikan karena kandas dengan peralihan
orde pemerintahan. Ada anggapan sebenarnya UU ini memadai bagi

106

Lihat UU No. 11/2006 pasal XVIII. Lihat juga Keputusan Mahkamah


Agung RI No. KMA/070/SK/X/2004 tanggal 6 Oktober 2004 tentang Pelimpahan
Sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah Syariyah di Prov.
NAD.

57

Aceh dalam melakukan pembenahan diri, yang tidak harus melakukan


perubahan melalui cara angkat senjata dalam mensikapi tuntutan.
Payung hukum tentang kebijakan pencetusan Otonomi Daerah
dilatarbelakangi Pasal 1 Ayat (1), Pasal 5 Ayat (1), Pasal 18B Ayat (1),
dan Pasal 20 Ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945; Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999
tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara; Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000
tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi
Daerah; UU No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Propinsi Atjeh dan
Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara (yang sebelumnya
digabungkan menyatu dengan provinsi Sumatra Utara);107 UU No. 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; dan UU No. 44
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah
Istimewa Aceh, yang disahkan oleh presiden B. J. Habibie pada tanggal
4 Oktober 1999 di Jakarta.
Dalam UU No. 11 Tahun 2006 Bab XIII (Ketentuan Peralihan)
Pasal 27 menyangkut dengan Sengketa-wewenang antara Mahkamah
Syariyah dan Pengadilan dalam lingkungan peradilan lain menjadi
wewenang Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk tingkat pertama
dan tingkat terakhir.108 Selanjutnya Pasal 28 mengatur tentang susunan
organisasi, perangkat Daerah, jabatan dalam pemerintahan Daerah, dan
peraturan perundang-undangan yang ada tetap berlaku hingga dibentuk
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sesuai dengan undangundang ini.

107

Lembaran Negara Tahun 1956 No. 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor
1103. UU ini disahkan oleh presiden pertama RI, Sukarno.
108
Jaenal Aripin mengatakan, beberapa produk peraturan perundang-undangan
yang diubah adalah tentang kekuasaan kehakiman dan badan-badan pelaksananya:
yakni Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Peadilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Dengan
demikian demikian dapat dikatakan bahwa kekuasaan kehakiman mencapai puncak
supremasinya. Lihat Jaenal Aripin, Reformsi Hukum di Indonesia dan Implikasinya
terhadap Peradilan Agama: Analisis terhadap Eksistensi Peradilan Agama di Era
Reformasi (1998-2008), 4. Lihat juga UU No. 4 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU
No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, LN-RI Tahun 2004 No. 8, TLN-RI No. 4358.

58

UU tersebut juga tidak melakukan perubahan kebijakan daerah


yang telah diatur Qanun Aceh sebelumnya. Dengan demikian qanun
jinayat dan yang bernuansa Islam lainnya tidak mengalami pembatalan.
Dikatakan dalam Pasal 29, Semua peraturan perundang-undangan yang
ada sepanjang tidak diatur dengan undang-undang (Otonomi Khusus) ini
dinyatakan tetap berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Fenomena ini ditegaskan lagi dalam Pasal 30 yang menyatakan bahwa
semua Peraturan Daerah yang ada dinyatakan sebagai Qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam sesuai dengan yang dimaksud dalam
undang-undang tersebut.109
Wilayah mukim, yang pada masa orde baru terabaikan karena
pengesahan UU No, 5 tahun 1997, diusahakan untuk hidup kembali.110
Dalam Bab III UU No. 11 Tahun 2006 diatur tentang Kewenangan
Provinsi NAD. Tepatnya di dalam pasal 3 ditegaskan bahwa: (1)
kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur dalam
undang-undang ini adalah kewenangan dalam rangka pelaksanaan
otonomi khusus; dan (2) Kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam selain yang diatur pada ayat (1) tetap berlaku sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Selain mukim perkara kekuasaan pemuka adat di Aceh juga
diutarakan dalam Bab VI UU ini. Bab ini lebih memfokuskan tentang
kedudukan lembaga legislatif di Provinsi NAD . Bahkan perkara ini juga
diatur di dalam Bab VII, yang berkenaan dengan tokoh dan wewenang
tokoh adat di Aceh sebagai pemersatu masyarakat. Dikatakan di dalam
Bab VII ini: (1) Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe adalah lembaga yang
merupakan simbol bagi pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat,
budaya, dan pemersatu masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam; (2) Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe bukan merupakan
109
110

Lihat UU No. 11 Tahun 2006 Pasal 27-29.

Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah
Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain, yang dipimpin oleh Imum Mukim. Selanjutnya
gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi
pemerintahan terendah langsung di bawah mukim atau nama lain yang menempati
wilayah tertentu, yang dipimpin oleh keuchik yang berhak menyelenggarakan urusan
pemerintahan di desa. Hal yang terkait dengan ini juga diutarakan dalam Bab II UU
No. 18 Tahun 2001.

59

lembaga politik dan pemerintahan; dan (3) Hal-hal sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.111
Dalam bidang yudikatif, dalam rangka merealisasikan penegakan
hukum, lembaga-lembaga yang melengkapi susunan pemerintahan
seperti lembaga kepolisian tetap diperlukan. Bab VIII tentang Badan
Eksekutif Nanggroe Aceh Darussalam telah menegaskan hal ini; Bab X
membahas tentang Kepolisian daerah provinsi NAD; dan bab XI tentang
kejaksaan di Provinsi NAD.
Di dalam Bab XI Pasal 24 dikatakan, (1) Tugas kejaksaan
dilakukan oleh kejaksaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai
bagian dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia; (2) Pengangkatan
Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilakukan
oleh Jaksa Agung dengan persetujuan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam; dan (3) Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dilakukan oleh Jaksa Agung.
Lebih lanjut dalam Bab XII tentang Mahkamah Syariyah di
Provinsi NAD Pasal 25 menyatakan: (1) Peradilan Syariat Islam di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari system
peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syariyah yang bebas dari
pengaruh pihak manapun; (2) Kewenangan Mahkamah Syariyah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan atas syariat Islam dalam
sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam; (3) Kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.
Dikatakan dalam Pasal 26, (1) Mahkamah Syariyah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) terdiri atas Mahkamah Syariyah
Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda atau nama lain sebagai pengadilan
tingkat pertama, dan Mahkamah Syariyah Provinsi sebagai pengadilan
tingkat banding di ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; (2)
Mahkamah Syariyah untuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan pada
Mahkamah Agung Republik Indonesia; (3) Hakim Mahkamah Syariyah
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sebagai Kepala Negara atas
usul Menteri Kehakiman setelah mendapat pertimbangan Gubernur
111

Lihat UU No. 11 Tahun 2006 Bab VI dan VII. Menurut pemberitaan


Harian Serambi Indonesia, DPRA pada akhir 2010 sedang melakukan perancangan
Qanun tentang Wali Nanggroe. Lihat Serambi Indonesia, tanggal 1 Desember 2010, 1.

60

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Ketua Mahkamah Agung.112

C. Pengaturan Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003


1. Hukum Jinayat Menurut Qanun
Sebelum menjelaskan tentang perbincangan wacana yuridis
mengenai aplikasi Hukum Jinayat terlebih dahulu diparkan definisi
hukum sebagaima tema utama dari penelitian ini. Mukhtar Ali dalam
Prospek Fatwa sebagai Hukum Positif di Indonesia menulis bahwa secara
terminologis kata hukum, dengan melihat dari Hamka, Filsafat Usu>l
al-Fiqh menemukan bahwa dalam Arab bahwa hukum berasal dari kata
h}akama yah}kumu-h}ukman berarti memutuskan, mengadili, menetapkan,
memerintahkan, memerintah, menghukum, mengendalikan, dan lain-lain
sebaginya. Asal-usul dari istilah hukam` juga berasal dari istilah
tersebut, yang berarti mengendalikan dengan suatu pengendalian. Hukum
memang berhubungan dengan keputusan atau perintah yang bijak
(h}akm;s}ifah al-mushbahah). Hukum juga diartikan dengan kebijakan
atau policy. Bahkan ada pengertian hukum secara umum misalnya
terungkap dalam bahasa: Anda memutuskan sesuatu dengan begitu atau
begini, baik keputusan tersebut mengikat orang lain atau tidak. 113
Pakar Fiqh tidak membedakan antara kejahatan dan pelanggaran.
Pelanggaran yang ditentukan oleh Allah SWT disebut dengan kejahatan.
Kejahatan atau pelanggaran itu disebut dengan jarmah. Pengertian
jarimah itu sama dengan tindak pidana atau delik dalam hukum positif.
Contohnya zina, menuduh orang zina (dengan tuduhan yang salah),
mencuri, minum khamar, merampok, murtad, memberontak,
menganianya, dsb. Perbuatan jinyt menimbulkan h}add, qis}s}, diyat,
dan tazr terhadap pelakunya114
Ahmad Mukri Ali, dengan mengutip dari kitab al-Ah}ka>m alS{ult}niyah, mempersamakan antara jinyt dengan jarmah sebagaimana
tarf berikut:
112

Lihat UU No. 11 Tahun 2006 Pasal 24, 25, dan 26.


Lihat Mukhtar Ali, Prospek Fatwa sebagai Hukum Positif di Indonesisia,
51. Lihat juga Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia, 23.
114
Muhammad Abdul Mujaeb, dkk., Kamus Istilah Hukum (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1994), 141.
113

61

"
"
Segala larangan laraangan syara yang diancam dengan
hukuman h}add, atau ta`zr. Sedangkan al-mah}d}u>ratsesuatu yang
dilarang ituadalah melaksanakan perbuatan yang dilarang, atau
meninggalkan sesuatu perbuatan yang diperintah.115
Bentuk dari seperangkat kejahatan (jarimah) yang dilarang Islam,
dapat dijumpai dalam firman Allah dalam ayat-ayat berikut:116
Pertama, Qs al-Baqarah [2]: 219 yang bunyinya:


( :[] ). ...
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah
pada (perkara) keduanya ada dosa besar, dan ada manfaat bagi
manusia. Sedangkan dosa keduanya lebih besar dari faedah. (Qs. alBaqarah [2]: 219).
Kedua, ayat yang bunyinya:

...
( :[] )
Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu (sekalian)
mendekati shalat ketika kamu sedang mabuk, hinnga kamu sadar apa
yang kamu ucapkan. ( Qs. al-Nisa[4]: 43).
Ketiga, Qs al-Maidah [6] ayat 90-91:
115

Ahmad Mukri Ali, Rasionalitas Ijtihad Ibnu Rushd (Bogor: Pena Ilahi,

2010), 65.

116

Ayat-ayat al-Quran yang melarang khamar diturunkan secara berangsurangsur (tadriji>yan) sesuai daya serap masyarakat dalam memahami faedah dan bahaya
yang terkandung dalam khamar. Pada tahap permulaan al-Quran tidak menyatakan
pelarangan secara tajam.

62


.
:[] ).
(-
Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamar berjudi berhala
mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji dari perbuatan syaithan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu lantaran khamar dan berjudi itu, dan menghalangi
kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka kalian berhenti?

(Qs. al-Ma>idah [6]: 90-91).


Berdasarkan ayat-ayat di atas pembahasan mengenai kejahatan
dalam Islam ada aspek-aspek yang terlibat. Misalnya, praktek minum
khamar sering dilakukan beriringan dengan judi (seperti taruhan, bilyar,
dan togel), juga sering diiringi perempuan-perempuan penghibur
terutama di tempat-tempat hiburan dan bar-bar yang menyebabkan
perzinanaan dan mesum. Bahkan ada tempat-tempat maksiat yang
menyediakan hadiah perempuan bagi siapa yang menang dalam
perjudian. Tidak mustahil juga mengundang pembunuhan dan saling
membenci di antara pihakpihak yuang bertikai di tempat demikian. Oleh
karena itu Allah SWT melarang praktek kejahatan yang demikian dan
memerintahkan umat Islam untuk melakukan upaya-upaya pencegahan
sebagaimana ditentukan di dalam kitab-kitab Fiqh Islam yang mu`tabar.
Muhammad Abdul Mujeab, dkk dalam Kamus Istilah Hukum
(Fiqh) menulis bahwa jinyt bentuk jama dari kata jinyah artinya:
perbuatan dosa, maksiat, atau kejahatan. Menurut Said Qutb, jinayat
adalah bentuk jama` dari jinayah yang artinya dosa dan kesalahan.
117
Abdul Qadir Audah dalam kitabnya al-Tashri>i al-Jinial-Isla>mi>
Muqrinan bi al- Qnn al-Wad}i> juga menulis bahwa kata jinyt
berasal dari kata berarti seseorang memungut/memetik buah dari
117

Muhammad Abdul Mujaeb, dkk, Kamus Istilah Hukum, 141.

63

pohonnya. Menurut istilah fuqaha jinyah adalah salah satu perbuatan


yang diharamkan syara yang berkaitan dengan perbuatan, harta atau
lainnya, dan mereka memberikan tarf berlakunya jinyt itu pada
kasus yang berkenaan dengan jiwa manusia atau anggota tubuhnya
seperti membunuh, melukai dan memukul.118
Abu> Wafa>di dalam al-Ja>mi al-S}agi>r ala Sharhihi al-Na>fi alKabi>r juga mengatakan:

: . :

Jinayah menurut bahasa (lugawi>) berarti sebutan yang dapat


dipidanakannya seseorang lantaran kejahatan yang ia lakukan. Menurut
shara, nama bagi suatu pekerjaan yang diharamkan baik terhadap
harta benda atau jiwa. Namun menurut kebiasaan para ahli Fiqh, itu
dimaknai dengan keseluruhan sebutan kejahatan.
Hampir sama dengan definisi-definisi di atas, al-Jurjani dalam alTarft memaknai istilah jinayat sebagai setiap tindak kejahatan
terhadap jiwa atau harta. Tapi dalam tradisi para ahli fiqh, jinayat lebih
dikhususkan pada sesuatu yang bisa menyangkut dengan kejahatan
terhadap fisik manusia. Sedangkan kejahatan terhadap harta disebut
perampasan,
penjambretan,
pencuruian,
pengkhianatan,
dan
pengrusakan.120Sebagaimana pengertian dan sekalian lingkup Jinayat
yang terdapat dalam Fiqh Islam tersebut, Aceh telah menegesahkan 3
Qanun dalam rangka pengaturan 3 aspek jinayat yaitu menyangkut
dengan kejahatan khamar, judi, dan khalwat.
Ketiga aspek jinayat yang terdapat dalam tiga Qanun tersebut
mendapat legitimasi UU No. 11 Tahun 2006 bab V tentang pemerintahan
Aceh pada saat sekarang ini. Di dalam Pasal 13 dikatakan bahwa
pembagian urusan pemerintahan yang berkaitan dengan syariat Islam
118

Abd al-Qadir U<dah, al-Tashr al-Jin, al-Islm Muqrinan bi al-Qnn


al-Wad}, 4.
119
Abu> Wafa> al-Afgani, al-Ja>mi al-Sagir ala Sharhihi al-Nafi al-Kabi>r
(Mesir: Maktabah al-Wafa>, 1357), 493.
120
Al-Jurjani, al-Tarft, 339. Lihat juga S}ah}i>h Fiqh Sunnah, Jilid 5, 279.

64

antara Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota diatur


dengan Qanun Aceh. Dengan demikian pelaksanaan Qanun jinayat
tersebut dikuatkan oleh ketentuan yuridis dalam hukum perundangundangan di Indonesia.121
Rangkuman aspek jinayat yang dibahas dalam Fiqh dapat dilihat
di dalam kitab-kitab Fiqh. Abdu al-Qadi>r U<>dah, misalnya, menyebutkan
bahwa aspek jinayat dalam Islam adalah menyangkut: al-irtida>d, al-zina>,
al-qaz}af, al-khamar, qat}u al-t}ari>q, al-qatl, sirqah, dan h}ira}bah.
Menyangkut dengan aspek-aspek jinayat tersebut, Aceh telah
mengqanunkan 2 (dua) aspek yang relevan, yaitu: syarb al-khamar,
khalwat, (dan judi). Jarimah judi (maisir) sendiri sebenarnya tergolong
jarimah (namun belum mencapai batas jinayat h}udu>d). Aspek pencurian
(al-sirqah) pernah ada Rancangan Qanun di Aceh.122 Sedangkan Aspek
lainnya belum ditetapkan di dalam Qanun Aceh karena penerapannya
masih mengundang kontroversi di kalangan masyarakat Aceh/Indonesia,
terutama aspek riddah dan rajam. Aspek pelanggaran hak hidup dan
aspek HAM lainya yang berlangsung selama konflik Aceh (tahun 19762005), juga tidak diqanunkan. Pemerintah Pusat dengan Gerakan Aceh
Merdeka telah melakukan is}la>h (perdamaian) yang dikenal Memorandum
of Understanding (MoU) Helsinki, Finlandia.123
2.
Rumusan Qanun
Pelaksanaan hukum Islam masa Kerajaan Aceh Darussalam di
bawah pengontrolan Turki Usmani, masa penjajahan dan
pasca
kemerdekaaan menjadi latar belakang dari pengesahan Qanun (Jinayat)
Aceh. UU No. 24 Tahun 1956, UU No. 44 Tahun 1999 dan UU No. 18
Tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006 berupaya melakukan pewujudan
keistimewaan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dikatakan di dalam
UU No. 44 Tahun 1999, Aceh memiliki 4 (empat) keistimewaan, yakni:
121

122

Lihat UU No. 11 Tahun 2005 Pasal 13.


Lihat Rancangan Qanun Prov. NAD Tanggal 13 Desember 2006 tentang

Pencurian.
123

Lihat juga Susno Duaji, Praktik-praktik Pelanggaran HAM di Indonesia,


pelangaran HAM-Susno duaji-Pdf-Adobe-Reader (Denpasar, Juli 2003), diakses 12
Desember 2010. Susno mengatakan, Konflik Horizontal dan Konflik Vertikal telah
melahirkan berbagai tindakan kekerasan yang melanggar hak asasi manusia baik oleh
sesama kelompok masyarakat, perorangan, maupun oleh aparat, seperti:a.
pembunuhan; b. penganiayaan; c. penculikan; d. pemerkosaan;e. pengusiran; f.
hilangnya mata pencaharian; g. hilangnya rasa aman, dll.

65

a. Penyelenggaraan Kehidupan beragama; b.Penyelenggaraan Kehidupan


Adat; c. Penyelenggaraan Pendidikan; dan d. Peran Ulama dalan
penetapan kebijakan Daerah.124
Abdul Halim dalam Politik Hukum Islam di Indonesia
mengatakan Pada zaman Usmani kata-kata Qanun sering dipakai
sebagai istilah hukum untuk aturan-aturan hukum yang dibuat oleh
Negara, yaitu untuk membedakannya dari aturan hukum syariat dan fiqh
yang diproduk oleh ulama. Sesuai prinsip elaborasi norma, Qanun Islam
bersumber kepada fiqh, dan fiqh bersumber kepada syariat. Qanun tentu
tidak boleh bertentangan dengan fiqh dan fiqh tidak boleh bertentangan
dengan syariat .125
Hukum Pidana Islam (Jinayat) yang disahkan melalui Qanun
Aceh di Aceh telah memunculkan beberapa lembaga hukum baru sebagai
pembaharuan bagi sistem hukum pidana (Criminal Justice System) di
Indonesia, konsep-konsep hukum berdasarkan ketentuan nas}s (}al-Qurn
dan al-H}adith) yang diadopsi menjadi sebuah hukum positif dan formal.
Qanun Jinayat menjadi acuan yang konstruktif dalam pembangunan
hukum di zaman sekarang dan masa yang akan datang. Dapat dikatakan,
Aceh merupakan pemrakarsa pertama yang menerapkan Syariat Islam
(jinyah) sebagai hukum positif, tentunya tidak terlepas dari berbagai
kendala (pro-kontra), baik dalam konteks sosio-politik Keindonesiaan
maupun konteks perspektif global, yang akan menjadi pembelajaran dan
penyesuaian yang cukup panjang untuk sampai pada tujuan akhir yaitu
menciptakan masyarakat Aceh yang tertib, aman dan tentram sesuai
dengan fundamen-fundamen ke-Islaman yang kffah.126

124

Di dalam Pasal 4 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa


penyelenggaraan kehidupan beragama diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syariat
Islam bagi para pemeluknya, dari momentum inilah kemudian Pemerintah Aceh
menindaklanjuti dengan membentuk beberapa Qanun (aturan setingkat PERDA) yang
bertujuan untuk mengimplementasikan Syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat di
bidang Aqidah, Ibadah, Syiar dan Jinayat. Lihat D. Y. Witanto, Hukum Pidana
Cambuk dalam Perspektif Hukum Pidana di Aceh, Hukum dan Peradilan, Lampung,
17 Februari 2010, dalam http://hkmperadilan.blogspot.com/2-11/02/pidana-cambukdalam-perspektif-hukum.html(diakses tanggal 22 November 2010).
125
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia ( Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Dept. Agama RI, 2008), 72-74.
126
D. Y. Witanto, Hukum Pidana Cambuk dalam Perspektif Hukum Pidana
di Aceh, Hukum dan Peradilan, Lampung, 17 Februari 2010, dalam

66

Sistem Hukum Pidana Islam (jinyah) mengandung beberapa


jenis sanksi pidana yang antara lain: qis}a>s,} h}add, dan tazr. Qanun
Jinayat Aceh hanya memberlakukan sebagian hukuman h}add dan tazi>r.
Hukuman h}add diaplikasikan dalam ketentuan pelanggaran khamar, dan
hukuman tazi>r diberlakukan bagi pelaku khalwat, maisir. Ketiga
perkara jinayat tersebut telah diqanunkan ke dalam tiga konsepsi Qanun
Hukum yaitu: a. Qanun Jinayat No. 12 Tahun 2003 tentang khamar dan
sejenisnya, b. Qanun Jinayat No. 13 Tahun 2003 tentang judi, dan c.
Qanun Jinayat No. 14 Tahun 2003 tentang khalwat.
a. Qanun Jinayat No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar dan Sejenisnya.
Pengesahan Qanun ini, sebagaima halnya Qanun lainnya, adalah
menimbang bahwa Keistimewaan dan Otonomi Khusus yang diberikan
untuk Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan
UU No. 44 Tahun 1999 dan UU No. 18 Tahun 2001.
Di dalam S{ah}i>h Fiqh Sunnah dikatakan, pengkonsumsian
minuman khamar (beralkohol) dan sejenisnya merupakan pelanggaran
terhadap Syariat Islam, dan dapat merusak kesehatan fisik dan akal.
Khamar juga dapat merugikan kehidupan masyarakat secara umum,
seperti berpeluang munculnya maksiat lainnya dalam masyarakat
dalam bentuk perzinaan dan permusuhan. Di dalam hukum Islam
pelakunya didera sebanyak 40 kali dera sebagaimana hadits, atau 80 kali
dera sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah yang ke-2, Umar bin
Khattab.127Pengqanunan hukum jinayat juga merupakan upaya
manifestasi tujuan pengharaman khamar yang dipaparkan al-Quran.
Pengharaman khamar dalam Islam (menurut Qanun) adalah pencegahan
tindak pidana khamar (dan kejahatan lainnya yang diakibatkan khamar.
Maka di Aceh segala hal yang meliputi praktek khamar dan sejenisnya
menjadi larangan dengan adanya pengesahan Qanun.128
Menurut lugawi>, kata khamar adalah bentuk jama dari kata
Khumur (bentuk kata berkategori perempuan (muannath) dan bisa juga
dinilai muzakkar. Namun, lebih sering digunakan sebagai muannath.
http://hkmperadilan.blogspot.com/2-11/02/pidana-cambuk-dalam-perspektif-hukum.htm
(diakses tanggal 22 November 2010).
127
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, dkk., S>ahi>h Fiqh al-Sunnah
H}udu>d , Jina>ya>t dan Diyat, Jualbeli (Terj.), Jilid 5 (Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2006),
111. Lihat juga Abdu al-Rahma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala> al-Madha>hib al-Arbaah (Bairu>t:
Da>r al-Kutub al-Ilmi>yah, 2003), 18.
128
Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 2 Ayat (a), (b), dan (c).

67

Kata ini bisa dijadikan muannats dengan partikel ha, sehingga bisa
dikatakan humur yang berarti merah. Dinamakan demikian karena
khamar (dalam proses pembuatannya) ditutup hingga matang/memerah
ketika mendidih. Di antara pakar juga mengatakan bahwa kata khamar
adalah isim mushtaq (kata berimbuhan) dari kha>mara-ykha>miru-khamran
yang berarti menutupi dan mengacaukan. Dikatakan khamar karena
menutupi dan mengacaukan aqal (tukhamiru al-aqla). 129
Bagi tata peraturan perundang-undangan RI, Qanun khamar ini
dapat membantu realisasi UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana Indonesia. Juga membantu terlaksananya
Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 1997 tentang Larangan,
Pengawasan, Penertiban, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol
di Daerah. Qanun ini juga merupakan kelanjutan dari Qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan
Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.
Naskah qanun No. 12 Tahun 2003 terdiri dari 10 bab dengan 39
pasal dangan dilengkapi sejumlah ayat dan penjelasan-penjelasan.
Qanun ini disahkan di Banda Aceh pada tanggal 15 Juli 2003 bertepatan
dengan 7 Jumadil Awal 1424, dengan bubuhan tanda tangan gubernur
Abdullah Puteh. Qanun ini juga diundangkan di Banda Aceh pada
tanggal 16 Juli 2003 bertepatan dengan 16 Jumadil Awal 1424 .
Naskahnya ini kemudian
disimpan Lembaran Daerah provinsi
Nangggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 25 Seri D Nomor 12.
Qanun Aceh yang merupakan hasil Ijma>` (consensus) eksekutif
dan legislatif (DPRD) Aceh yang didukung oleh pertimbangan Majlis
Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. Qanun ini telah memuat konsep
yang komplek yang menyangkut dengan pelarangan khamar. Qanun ini
terdiri dari ketentuan definisi, kriteria, sampai penjatuhan hukuman bagi
tindak pidana khamar tersebut. Rumusan naskah Bab 1 (Ketentuan
Umum) Qanun No. 12 Tahun 2003 tertera dalam Pasal 1 Qanun ini. Bab
ini memuat definisi, kriteria khamar, dan kriminalisasinya.130 Tujuan dan
129

Wahbah al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adilatuhu, al-Juz-6 (Damaskus:


Da> al-Fikr, 1984), 149.
130
Pasal 1 berbunyi: (1) Khamar dan sejenisnya adalah minuman yang
memabukkan, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan terganggu kesehatan, kesadaran
dan daya pikir; (2) Selain mengkonsumsi, Memproduksi juga merupakan adalah
serangkaian kegiatan atau proses penghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat,
mengawetkan, mengemas, dan/atau mengubah bentuk menjadi minuman khamar dan

68

Ruang Lingkupnya dijelaskan dalam Bab II Pasal 2-3. Bab II dinyatakan


dengan dua pasal. Menyangkut dengan pelarangan (secara spesifik),
praktek khamar tidak hanya dilarang untuk meminum dan mengkonsumsi
namun meliputi larangan dan pencegahan, sebagaimana yang
diungkapkan dalam Bab III Pasal 4-9.
Di antara hal utama lainnya yang juga perlu diperhatikan dalam
rangka penerapan hukun Islam (jinyah) adalah penyidikan dan
penuntutan. Sebagaimana halnya terjadi hukum pelarangan praktek
krimilanalitas dalam bentuk penanganan hukum secara umum memuat
hal ini, demikian juga halnya dengan hukum jinayat yang diungkapkan
Qanun. Penyelidikan suatu tindak criminal, secara umum, memiliki
tahap-tahap prosesi hukum bagi pelaku pelanggaran syariat yang ikut
diterapkan/diatur Qanun. Fase penyelidikan sebelum Pemeriksaan di
Persidangan memiliki Proses yang terdiri dari 5 fase: (1) Opsporing
(penyelidikan); (2) Vervolgin (penuntutan); (3) Rehtspraak (pemeriksaan
pengadilan); (4) Executie (pelaksanaan putusan); dan (5) Pengawasan
putusan.131
Keikutsertaan masyarakat dalam upaya pelaksanaan pencegahan
khamar juga diperlukan. Proses pelarangan ini juga memerlukan
pengawasan dan pembinaan. Untuk itu, keterlibatan pemimpin (umara>)
adalah penting adanya dalam merealisasikan pelarangan tersebut.
Perkara-perkara ini dijelaskan di dalam Bab IV Pasal 16-19. Khusus
sejenisnya; (3) Juga termasuk dengan cara Mengedarkan adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran minuman khamar dan sejenisnya kepada
perorangan dan/atau masyarakat; (4) Mengangkut adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan membawa minuman khamar dan sejenisnya dari suatu tempat ke
tempat lain dengan kendaraan atau tanpa menggunakan kendaraan; (5) Memasukkan
adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan membawa minuman khamar dan
sejenisnya dari daerah atau negara lain kedalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam; (6) Memperdagangkan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
dalam rangka penawaran, penjualan ataumemasarkan minuman khamar dan sejenisnya;
(7) Menyimpan adalah menempatkan khamar dan sejenisnya digudang, hotel,
penginapan, losmen, wisma, bar, restoran,warung kopi, rumah makan, kedai, kios dan
tempat-tempatlain; (8) Menimbun adalah mengumpulkan minuman khamar
dansejenisnya digudang, hotel, penginapan, losmen, wisma, bar, restoran, warung kopi,
rumah makan, kedai, kios dan tempat-tempat lain; dan (9) Mengkonsumsi adalah
memakan atau meminum minuman khamar dan sejenisnya baik dilakukan sendiri
maupun dengan bantuan orang lain.
131
UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

69

menyangkut dengan peran serta masyarakat, diutarakan dalam Pasal 1015. Demikian sekilas empat bab (Qanun) yang perlu diutarakan dalam
bab rumusan tentang Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang khamar dan
sejenisnya.
b.
Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Judi)
Sebelum menjelaskan konseps Qanun, perlu adanya penjelasan
tentang bentuk-bentuk judi dan jenisnya. Judi (al-maysir) sinonim
dengan al-qima>r (judi). Kata ini berasal dari al-yusr yang artinya assuhalah (kemudahan) karena praktek ini merupakan usaha tanpa
kesulitan dan tidak perlu bersusah payah; bisa juga bersasal dari kata alyasar yang artinya al-gina (kaya), karena praktik ini dimaksudkan untuk
cepat kaya; bisa juga berasal dari kaya al-yasar yang bermakna altajzi>yah dan al-iqtisa>m (terbagi); dan bahkan ada juga orang yang
mengatakan, setiap yang mengandung kerugian adalah maisir.132
Seorang juru dakwah dari Arab Saudi, Erwandi Tarmizi
membagikan bentuk perjudian ke dalam 5 bentuk, yaitu: Pertama,
perjudian bangsa Arab Jahiliyah. Masyarakat (Arab Jahiliyah) berjudi
dengan cara memotong seekor unta dan membaginya menjadi 28 bagian,
lalu mengambil 10 anak panah dan menuliskan namanama tertentu pada
anak panah itu, 3 nama anak panah itu kosong dan 7 berisi bagian unta,
kemudian seluruh anak ditaruh disatu bejana dan masingmasing mereka
mengambil satu anak panah, siapa yang mendapat anak panah kosong
merakalah yang membayar harga unta. Orang yang menang sering
memberikan daging unta itu untuk fakir miskin. Ruh judi kerap mengakar
pada jiwa masyrakat Jahiliyah. Jika salah satu pihak kalah, sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Ibbas rad}iyalla>hu anhu, maka objek perjudian
mereka sering meluas sampai kepada pertaruhan anak dan istri.133
Kedua, kupon undian (lottery ticket). Bentuk judi ini diciptakan
dan diperkenalkan oleh orang-orang Barat yaitu membeli kupon undian
dengan harga bentuk judi, yaitu membeli kupon undian dengan harga
yang murah dengan imingan mendapatkan hadiah yang sangat besar.
Pemenangnya ditentukan dengan cara yang tak jauh berbeda dengan
perjudian jahiliyah. Kadang-kadang keuntungannya digunakan untuk
132 Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, dkk., S>ahi>h Fiqh al-Sunnah
H}udu>d , Jina>ya>t dan Diyat, Jualbeli, 429. Lihat juga Erwandi Tarmizi, Al-Maiysir
Qadi>man wa H}adi>than (Riya>d}: Maktab Dakwah wa Irsha>d Jali>yah Rabuwwah, 2007),
2-5.
133
Franz Rosenthal, Gambling in Islam (Leiden: E. J. Brill, 1975), 68.

70

kepentingan olah raga dan sosial yang dahulu dikenal di Indonesia


dengan nama Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB).134
Ketiga, pertaruhan olah raga (sporting gambling). Islam sangat
menganjurkan olah raga ketangkasan berperang, seperti; berkuda,
memanah, gulat dan lain-lain yang dalam bahasa modern bisa dikatakan
merakit dan menggunakan senjata ringan dan berat, bela diri, dan lainlain, dalam rangka mempersiapkan kekuatan menggentarkan musuh.
Namun bila pertarungan dan perlombaan tersebut menyaratkan bayaran
dengan sejumlah materi dari pihak yang kalah kepada yang menang,
mengakibatkan perbuatan tersebut masuk ke dalam kategori perjudian.135
Keempat, undian berhadiah. Biasanya diselenggarakan oleh
supermarket atau perusahaan tertentu untuk meningkatkan penjualan
mereka, ini termasuk perjudian bilamana si pembeli berniat membeli
barang tersebut dengan tujuan bisa mengikuti undian berhadiah sekalipun
harga barang yang dibeli tetap stabil .
Kelima, ansuransi (insurance). Asuransi yang dimaksudkan di
sini adalah asuransi yang nasabahnya membayar premi dalam jumlah
tertentu dan akan menerima jumlah yang jauh lebih besar dari
bayarannya bila terjadi suatu peristiwa tertentu, seperti; kebakaran,
kematian, kecelakaan, selain itu dana yang terhimpun dikelola dengan
cara praktik ribaw , ini sama persis dengan defenisi judi di atas . 136
Selain bentuk (type) judi tersebut, di zaman globalisasi sekarang
ini orang dapat bermain judi dengan games (permaianan) yang diakses
melalui internet. Permainan judi dalam bentuk game ini sering

134

Pada tahun 1990-an, masa pemerintahan Orde Baru, SDSB pernah legal
untuk sementara waktu di Indonesia, namun menimbulkan protes masyarakat muslim
karena mengandung unsur judi (undian) di dalamnya. Gejolak (protes) masyarakat ini
mengakibatkan Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pengharaman dan
pelarangannya di Indonesia. Kemudian pemerintah menghentikannnya secara resmi
pada tahun 1993. Lihat C. Van Dijk, Religious Authority, Politics and Fatwa in
Contemporary Southeast Asia, dalam R. Michael Feener and Mark E. Cammack,
Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and Istitutions, 49. Lihat juga Euis
Nurlelawati, The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice in Indonesian Religious
Courts: Modernization, Tradition and Identity (Amsterdam: Amsterdam University
Press, 1990), 75.
135
Abd al-Qadir U<dah, al-Tashr al-Jin al-Isla>mi> Muqrinan bi al- Qnn
al-Wad}i>, 423.
136
Erwandi Tarmizi, al-Maiysir Qadi>man wa H}adi>than, 8.

71

digandrungi anak-anak. Anak-anak dapat memperoleh untung bila


memenangi lomba dalam games ini.137
Baik praktek judi yang dilakukan manusia zaman jahiliyah
maupun setelah datangnya Islam (termasuk judi Online yang berkembang
sekarang), dan berbagai praktek socio-ekonomi yang bersifat negatif
sangat dilarang Islam. Maka penyusunan dan pengesahan Qanun yang
merupakan salah satu bentuk perundang-undangan bertujuan untuk
mencegah realita negatif tersebut dari masyarakat (Aceh). Meskipun
praktek judi sulit dihilangkan, namun dengan adanya usaha-usaha
pimpinan/tokoh masyarakat dalam mengayahkan suatu komponen
masyarakat agar menghindari praktek perdagangan dan system ekonomi
yang berbau judi yang berupa taruhan, undian, dan ansuransi, serta
praktek judi lainnya yang dilarang/diharamkan oleh ketentuan Islam.
Islam telah membuka bidang-bidang usaha lain yang tidak menyangkut
dengan perjudian dan praktek ekonomi yang yang berhaluan negatif.
Fenomena perjudian di Aceh di dalam serah Aceh adalah riskan.
sebagaimana pengakuan Snouck Hurgronje. Snouck mengatakan bahwa
meskipun ada larangan keras hukum Islam atas segala sesuatu yang
berbau riba, namun tidak semua masyarakat Aceh taat kepada hukum
agama. Di antara masyarakat ada yang melanggar ketentuan agama
dengan cara terang-terangan. Meskipun ada larangan keras agama,
ketaatan masyarakat kepada hukum agama tidak membawa dampak bagi
mereka, disebabkan kecanduan mereka dalam bermain judi lebih
dominan. Praktek bisnis riba juga dilakukan oleh golongan tertentu dari
masyarakat Aceh. Praktek ekonomi negatif yang dinamakan permainan
137

Lihat Ariel Hikmah Judi On line (diakses tanggal 11 Desember 2010).


Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh juga mengharamkan kegiatan
menghimpun dan menggandakan uang atau dikenal dengan istilah Money Game (MG)
dan Multi Level Marketing (MLM), yang berkembang di zaman globalisasi ini. Khusus
untuk LML yang memenuhi kaidah serta obyek transaksi jelas, ulama memberi label
mubah (boleh). Money Game adalah kegiatan menghimpun dana masyarakat atau
penggandaan uang dengan praktek memberikan komisi dan bonus dari hasil perekrutan
mitra usaha baru dan bukan dari hasil penjualan produk. Sementara, ulama
mendefinisikan MLM adalah penjualan langsung berjenjang (PLB) dengan cara
penjualan barang atau jasa melalui jaringan pemasaran yang dilakukan oleh perorangan
atau badan usaha kepeda sejumlah perorangan atau badan usaha lainnya secara berturutturut. Lihat MPU Mengharamkan Money Game, Serambi Indonesia, 12 Desember
2010, 1.

72

judi juga sering dijumpai dalam masyarakat. Snouck menambahkan


bahwa dari keseluruhan aspek judi yang dilakukan masyarakat, banyak
yang berupa taruhan. Sedangkan perjudian dalam bentuk kontrak
ansuransi dan yang serupa dengannya tidak dijumpai di Aceh, karena
kontrak demikian tidak dikenal masyarakat (pada saat itu). Sekiranya
system kontrak ansuransi sudah ada (ketika itu), sebagaimana sifat umum
perjudian sejati, orang akan menerima kontrak tersebut tanpa ragu-ragu.
138

Diakui pada permulaan Islam, praktek judi bagi masyarakat


memang terdapat sedikit nilai positif pda social-kemasyarakatan. AlQuran bahwa pada kelangsungan paraktek judi terdapat faedah yang
sedikit namun dosanya lebih besar dari faedahnya.139 Sebelum adanya
pelarangan, manfaat judi adalah dapat mengumpulkan masyarakat dalam
suatu kumunitas social yang dapat saling menukar ide dan saling bertemu
melalui suatu kegiatan yakni perjudian. Kelompok sosial pada perjudian
dimanfaatkan masyarakat untuk bermusyawarah dalam mengahadapi
segala persoalan masyarakat, di samping banyak juga membawa mudarat
bagi mereka. Sedangkan aspek mudarat (kerugian), selain dosa, praktek
judi mengundang persoalan social dan masalah kebangkrutan ekonomi
yang fatal bagi masyarakat.
Adapun konsep Qanun Aceh yang menyangkut dengan perjudian,
ia terdiri dari 10 bab dengan 34 pasal dangan sejumlah ayat serta
dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan. Qanun ini disahkan di Banda
Aceh pada tanggal 15 Juli 2003 bertepatan dengan 7 Jumadil Awal 1424,
dengan bubuhan tanda tangan gubernur Abdullah Puteh. Qanun ini
diundangkan di Banda Aceh pada tanggal 16 Juli 2003 bertepatan dengan
16 Jumadil Awal 1424 kemudian disimpan di Lembaran Daerah Provinsi
Nngggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 No. 256 Seri D Nomor 13.
Rumusan bab I Qanun ini memuat Ketentuan Umum yang terdiri
cuma satu pasal. 140Bab II membahas tentang Ruang lingkup
sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 2-3 Qanun ini.
138

Snouck Hurgronje, De Atjehers Terj. Sutan Maimun, Aceh, Rakyat dan


Adat Istiadatnya, 162-256.
139
Qs. al-Baqarah [2]: 219.
140
Pasal 1 manyatakan: Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan:a. Daerah
adalah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam; b. Pemerintah Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam adalah Gubernur beserta perangkat lain
Pemerintah
DaerahIstimewa Aceh sebagai badan eksekutif Provinsi NanggroeAceh Darussalam; c.

73

Pembahasan tentang Pengawasan, larangan dan pencegahan


khamar, dimuat di dalam Bab III Pasal 4-8. Pembahasan Bab IV
menyangkut dengan peran serta masyarakat dijelaskan dalam Pasal 9-13.
Bab V yang menyangkut dengan pengawasan dan pembinaan dijelaskan
dalam pasal 14-16. Bab VI (penyidikan dan penuntutan), dijelaskan
dalam pasal 17-22.141
Berdasarkan uraian di atas, penyusunan Qanun ini penting
dilakukan mengingat adanya ayat al-Quran yang menyatakan pentingnya
pelarangan judi bagi masyarakat, di samping ada aspek historis
pelarangan sebagaimana dikatakan Snouck Hurgronje di atas.142
c.

Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat

Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota beserta perangkat lain pemerintah


Kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif Kabupaten/Kota dalam Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam; d. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
e. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
f. Camat adalah kepala pemerintahan di kecamatan; g. Imeum Mukim/Kepala Mukim
adalah pimpinan dalam suatu kesatuan masyarakat hukum yang terdiri atas gabungan
beberapa gampong; h. Guechik adalah Kepala pemerintahan terendah dalam suatu
kesatuan masyarakat hukum di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berhak
menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri; i. Masyarakat adalah himpunan
orang-orang yang berdomisili di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;j Mahkamah
adalah Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kotadan Mahkamah Syariyah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam; k. Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas
membina, mengawasi dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan amar makruf nahi
mungkar; l. Polisi adalah Polisi Nanggroe Aceh Darussalam yang diberitugas dan
wewenang khusus menangani pelaksanaan penegakan Syariat Islam; m. Penyidik
adalah Penyidik Umum dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil; n. Penyidik Pegawai
Negeri Sipil adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh Gubernur yang
diberi tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan pelanggaran Syariat Islam; o.
Jaksa adalah Jaksa Nanggroe Aceh Darussalam yang diberi tugas dan wewenang
menjalankan tugas khusus di bidang Syariat Islam; p. Penuntut Umum adalah Jaksa
yang diberi tugas dan wewenang khusus untuk melaksanakan penuntutan dibidang
Syariat dan melaksanakan penetapan dan putusan hakim Mahkamah; q. Pejabat yang
berwenang adalah Kepala Polisi Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan/atau
pejabat lain di lingkungannya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; r. Jarimah adalah perbuatan terlarang yang diancam dengan qis}a>s-} diyat,
h>udu>d, dan tazi>r; s. Uqu>ba>t adalah ancaman hukuman terhadap pelanggaran jarimah;
t. Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan yangbersifat taruhan antara dua
pihak atau lebih dimana pihak yang menang mendapatkan bayaran.
141
Lihat Qanun No. 13 Tahun 2003.
142
Lihat juga Snouck Hurgronje, the Achehers, Terj. Sutan Maimun,126.

74

Dalam menanggapi fenomena sosial yang negatif dalam bentuk


praktek khalwat yakni berdua-duan di antara laki-laki dan perempuan
yang bukan muhrim di tempat yang sepi tanpa ikatan sah (pernikahan),
pemerintah Aceh ikut berperan untuk mengurangi aspek negatif yang
bakal ditimbulkan dari perilaku sosial yang negatif seperti ini. Praktek ini
dapat terjadi di berbagai dimensi ruang dan waktu, terutama akibat dari
faktor biologis dan psikologis manusia yang menyukai lawan jenisnya,
sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan hal-hal yang melenceng dari
ketentuaan agama seperti adanya perzinaan. Maka persoalan ini
memerlukan campur tangan pemerintah dan semua pihak umat Islam
demi menciptakan kehidupan masyarakat agamis dan Islami.
Praktek khalwat dapat juga berupa bercinta-cintaan di tempat
yang sepi, yang disadurkan dari terminology Arab khal-yakhlu>-khalwah
yang berarti bersunyi-sunyi; bersepi-sepi.143 Berkhalwat dalam
terminologi Aceh kadang kala dinamai manok ek eumpung artinya
ayam naik (tangga) menuju ke tempat bertelur. Term (istilah) khalwat
dalam konteks ini lebih mendekati kepada pengertian khalwat yang
berupa percintaan muda-mudi yang belum nikah/menjelang nikah.
Qanun Aceh mendefinisikan khalwat sebagai suatu perbuatan yang
berupa bersunyi-sunyian antara dua orang mukallaf atau lebih yang
berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.144
Di Aceh, untuk menghindari perbuatan maksiat (khalwat) terdapat
larangan-larangan adat sebagai berikut: a. Pemuda bergaul rapat dengan
pemudi, berkirim surat-surat cinta, menjemput pemudi untuk jalan-jalan
dan mengantarnya pulang sebelum mereka menikah; b. Bertandang ke
rumah orang tanpa hadir laki-laki yang empunya rumah atau isterinya; c.
Mengunjungi seorang janda yang masih muda, jika tak ada orang
tua/muhrimnya; d. Duduk-duduk di tangga rumah orang lain. e. Berjalanjalan di bawah rumah orang lain; f. Masuk ke sumur orang lain, baik
berdinding atau tidak berdinding tanpa meminta izin; g. Berbicara yang
tidak perlu dengan isteri orang lain wanita yang bukan isteri. 145
Sisi lain yang dapat dipahami dari khalwah adalah (dengan
sengaja) berada di tempat yang sunyi bersama lawan jenis yang bukan
143

Mukhtar al-S}ih}h, 50.


Qanun No. 14 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 20.
145
Moehammad Hoesin, Adat Atjeh (Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Peopinsi Daerah Istimewa Atjeh, 1970), 183.
144

75

muhrim (lelaki/perempuan yang tidak dinikahi)--yang tidak mesti ada


atau tidaknya melakukan hubungan seksual. Bila tejadi perselingkuhan
akan masuk ke dalam kategori lanjutan yang dikenal dengan ketentuan
zina yang dikenakan hukuman h}add (dera/rajam) di dalam syariat
Islam.146
Adapun konsep qanun Aceh, yang telah disahkan pemerintah
Daerah tentang khalwah ini terdiri dari 10 bab dengan 33 pasal. Qanun
ini dilengkapi dangan sejumlah ayat dan penjelasan-penjelasan. Qanun
ini disahkan di Banda Aceh pada tanggal pada tanggal 15 Juli 2003
bertepatan dengan 7 Jumadil Awal 1424, dengan bubuhan tanda tangan
gubernur Abdullah Puteh. Qanun ini juga telah diundangkan di Banda
Aceh pada tanggal 16 Juli 2003 bertepatan dengan 16 Jumadil Awal
1424.
Sebagaimana hukum perundang-undangan lainnya, Qanun ini
menjelaskan juga prosedur penerapan uqubat (hukuman). Uqubat
mesum/ khalwat yang ditetapkan Qanun ini terdapat dalam bab I yang
membahas tentang ketentuan umum. Ketentuan Umum hanya terdiri dari
1 pasal yakni Pasal 1. 147 Bab II membahas tentang ruang lingkup dan
tujuan yang perinciannya tersusun di dalam Pasal 2-3.
146

Kata zina secara bahasa, diantaranya; fuju>r (kekejian), dan d}ai>yiq


(penyempitan). Kata (zina) ini juga dapat digunakan sebagai sebutan untuk perbuatan
selain persetubuhan dengan wanita yang bukan isteri. Lihat Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani, dkk., S}ahi>h Fiqh al-Sunnah Hudu>d , Jina>ya>t dan Diyat, Jual
Beli, (Terj.), 30.
147
Pasal 1: Daerah adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; a. Pemerintah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Gubernur beserta perangkat lainnya
sebagai badan eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; b. Pemerintah
Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota beserta perangkat lain pemerintah
Kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif Kabupaten/Kota dalam Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam; c. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
d. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
e. Camat adalah kepala pemerintahan di kecamatan; f. Imeum Mukim/Kepala Mukim
adalah pimpinan dalam suatu kesatuan masyarakat hukum yang terdiri atas gabungan
beberapa gampong; g. Keuchik adalah kepala pemerintahan terendah dalam suatu
kesatuan masyarakat hukum di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berhak
menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri; h. Masyarakat adalah himpunan
orang-orang yang berdomisili di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; i. Mahkamah
adalah Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kota dan Mahkamah Syariyah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam; j. Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas
membina, melakukan advokasi dan mengawasi pelaksanaan amar makruf nahi mungkar
dan dapat berfungsi sebagai penyelidik. k. Polisi adalah Polisi Nanggroe Aceh

76

Qanun ini jua menyatakan bahwa pelarangan dan perintah suatu


perkara dalam Islam merupakan ketentuan syara yang wajib dijalankan,
maka menetapkan ketentuan hukum dan hukuman dalam susunan batang
tubuh dan kandungan/isinya. Ketentuan ini merupakan konsekwensi logis
suatu hukum perundang-undangan. Qanun ini menyatakan bahwa tujuan
pengqanunan perkara pelarangan khalwat adalah untuk mencegah
masyarakat dari melakukan kejahatan khalwat dan zina. Bab III Qanun
ini mengatur tentang larangan dan pencegahan tersebut, yang diuraikan
dan dirincikan di dalam Pasal 4-7.
Dari sudut sasaran, hukum Islam sebenarnya dibebankan kepada
umat Islam (yang mukallaf, yakni bagi orang Islam yang balig dan
berakal) untuk dijalankan di dalam realita kehidupan. Maka keterlibatan
semua pihak sangat digalakkan dalam rangka merealisasikan perkara ini.
Perkara ini di bahas dalam Bab IV. Peran serta masyarakat merupakan
aspek penting dalam realisasi Qanun, agar penegakan hukum mencapai
sasarannya. Bab tersebut mengupas aspek tersebut dalam Pasal 8-12.
Sebagaiman hukum Islam, upaya penegakan hukum bukan
bermaksud untuk mencari-cari kesalahan (tajassus), namun bertujuan
agar masyarakat tidak terjermus ke dalam tindakan kriminal sebagaimana
diuraikan di atas. 148Karena itu Bab V Qanun ini mengatur tentang
pengawasan dan pembinaan, yang merupakan suatu upaya hukum yang
tidak diabaikan. Pengaturan tentang upaya ini dapat dilihat di dalam
Pasal 13-15.
Darussalam yang diberi tugas dan wewenang khusus menangani pelaksanaan
penegakan Syariat Islam; 1. Penyidik adalah Penyidik Umum dan/atau Penyidik
Pegawai Negeri Sipil; m. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat PegawaiNegeri
Sipil yang diangkat oleh Gubernur yang diberi tugas dan wewenang untuk melakukan
penyidikan pelanggaran Syariat Islam; n. Jaksa adalah Jaksa Nanggroe Aceh
Darussalam yang diberi tugas dan wewenang menjalankan tugas khusus di bidang
Syariat Islam; o. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi tugas dan wewenang khusus
untuk melaksanakan penuntutan di bidang syariat dan melaksanakan penetapan putusan
hakim mahkamah; p. Pejabat yang berwenang adalah Kepala Polisi NanggroeAceh
Darussalam dan/atau pejabat lain di lingkungannya yang ditunjuk berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; q. Jarimah adalah perbuatan terlarang yang diancam
dengan qis}a>s-diat, hudud, dan tazir. r. Uqubat adalah ancaman hukuman terhadap
pelanggaran jarimah; dan t. Khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua
orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan
perkawinan.
148
Qs. al-H}ujura>t [49]: 12.

77

Selain itu, sebelum merealisasikan dan menegakkan suatu


hukuman bagi pelaku kriminal/kejahatan perlu adanya kepastian
hukuman yang disusun oleh para ulama. Kepastian hukum bertujuan agar
penjatuhan hukuman dapat berjalan secara efektif dan ideal, bukan
hantam kromo tanpa perhitungan yang menyebabkan kerugian bagi
pihak tertentu. Praktek hantam kromo dalam penghukuman merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak individu sebagaimana yang dijamin dalam
Isam. Jaminan Islam terhadap hak-hak individu dapat dilihat di dalam
lembaran-lembaran naskah kitab suci al-Quran, Sunnah Nabi Saw, dan
dalam kitab-kitab fiqh Islam. Maka Bab VI Qanun No. 14 Tahun 2003
mengatur juga tentang penyidikan dan penuntutan. Penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan perkara diperlukan agar hukuman yang
dijalankan mendapat tanggapan positif dari masyarakat, di samping agar
tidak bertentangan dengan Islam dan hak-hak individu masyarakat.
Pengaturan mengenai hal ini merupakan tuntutan suatu hukum
perundang-undangan, sehingga hal ini dirincikan dalam Pasal 16-21 bab
tersebut.149

149

Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003.

78

BAB PELAKSANAAN

HUKUM JINAYAT DI
ACEH
DALAM PERSPEKTIF
FIQH

A.
1.

Pelaksanaan Qanun No. 12 Tahun 2003


Ketentuan Uqubat (Khamar) Menurut Qanun.
Dalam menjelaskan tentang ketentuan uqu>ba>t dan pelaksanaan
eksekusi bagi pelanggaran hukum jinayat yang terkait dengan khamar,
menyinggung terlebih dahulu tentang khamar menurut Qanun (bylaw).150
Menurut Qanun, khamar adalah sejenis minuman yang memabukkan
yang dilarang dalam Qanun karena merupakan salah satu larangan berat
dalam hukum Islam. Disebabkan adanya larangan shara maka Qanun
mengatur penetapan hukuman h}add terhadap pelakunya, dan
penghukuman lainnya (seperti tazi>r) sesuai tingkat keterlibatan
seseorang dalam praktek tindak pidana khamar tersebut. H{add
merupakan ketentuan hukum yang telah ditentukan Alah SWT dan/atau
Nabi-Nya. Pelarangan khamar dalam al-Quran berbentuk umum
(general). Namun ia kentara diucapkan oleh lisan Muhammad SAW,
terutama dalam menanggapi larangan Allah SWT yang terdapat dalam
Qs. al-Ma>idah [6]: 90-91. Allah SWT mengakui bahwa apa yang

150

Al-Zarqa>ni> mengatakan bahwa uqu>ba>t yang terdapat dalan nas}s} (alQuran/al-H}adith) ada dua, yaitu qis}a>s} dan h}udu>d. Tazi>r merupakan uqu>ba>at mafu>d}ah
(yang diserahkan kepada hakim/uli al-amr)--yang tidak ada dalam nas}s}. Lihat Mus}t}afa
Ah}mad al-Zarqani>, al-Madkhal al-Fiqhi> al-A>am: al-Fiqh al-Isla>mi> fi al-Thaub al-Jadi>d
(Damaskus, Da>r al-Fikr, 1968), 605, 626.

79

dikatakan Nabi Saw merupakan wahyu Allah juga, yang diwahyukan


kepadanya.151
Hukuman (uqu>ba>t) di dalam Qanun No. 12 Tahun 2003 merujuk
kepada ketentuan pendapat-pendapat ulama yang popular di dalam Fiqh
Islam, seperti pendapat para imam mazhab yang sebagaimana diuraikan
al-Jaziri. Di dalam Qanun, misalnya, dikatakan, khamar dan sejenisnya
adalah minuman yang memabukkan, apabila dikonsumsi dapat
menyebabkan terganggunya kesehatan, kesadaran dan daya pikir
manusia;152 dan khamar bila dikonsumsikan seseorang, ia dikenakan
hukuman h}add 40 (empat puluh) kali cambukan, menurut mekanisme
yang diatur Qanun. Fiqh sebagai rujukan utama Qanun juga menyatakan
bahwa h}add 40 kali dera (cambukan) merupakan pendapat yang masyhur
di dalam Fiqh Islam.153
Tabel 3.1:
Jenis Hukuman dalam Qanun No. 12 Tahun 2003
Jarimah/Td.Pidana
Khamar

Pelaku

Cambuk

Kurungan

Denda

Menkonsumsi

Orang

40 x
cambuk

Memproduksi,
menyediakan,
menjual,
memasukkan,
mengedarkan,
mengangkut,
menyimpan,
menimbun,

Orang, badan
hukum, badan
usaha, pejabat
yang
berwenang,
dan
pemodal asing

No

3 bulan 1
tahun

25-75
juta

151

Mus}t}afa Ah}mad al-Zarqani>, al-Madkhal al-Fiqhi> al-A>am: al-Fiqh alIsla>mi> fi al-Thaub al-Jadi>d, 605.
Lihat jua Qs. al-Najm [53]: 3-4 bunyinya: .
Yang diucapkan (Nabi Saw) hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.
152
Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1.
153

H}add menurut pakar Fiqh adalah hukuman yang telah ditentukan dan
dwajibkan untuk memenuhi hak Allah SWT.Lihat Abdu al-Rahman al-Jazi>ri>, alFiqh ala> al-Madhahib al-Arbaah, Juz 5 (Bairu>t: Da>r al-Kutub al-Ilmi>yah, 2003), 11.

80
memperdagangkan,
menghadiahkan,
mempromosikan, dan
pejabat yang mengizinkan penyediaan
minumnan khamar

Tabel 3.1 menunjukkan hukuman untuk peminum khamar


ditetapkan 40 kali cambukan tanpa hukuman alternative. Hal ini dapat
dimaklumi karena jarimah meminum khamar termasuk jarimah hudud.
Tetapi pada jarimah menyediakan, memproduksi dan atau menjual
khamar dan beberapa perbuatan lainnya bersifat alternative antara
penjara dan denda. Hukuman ditetapkan penjara antara tiga bulan sampai
satu tahun, yang disamakan dengan hukuman denda antara Rp. 25.000,sampai Rp. 75.000,-.
Jumlah cambukan yang ditetapkan Qanun tersebut, dikatakan dalam
Pasal 26 Ayat (1) bahwa khamar merupakan minuman yang
memabukkan yang dihukum 40 kali dera bagi siapa yang
melanggarnya.154 Sedangkan menurut ketentuan fiqh, di samping
menyetujui batas tersebut, juga menyetujui pencambukan 80 kali.155
Dengan demikian Qanun hanya menetapkan hukuman h}add yang paling
ringan dari yang dietapkan fiqh. Pencambukan 40 kali ini dera didukung
madhhab al-Shafi`i> dengan mendasarkan sejumlah h{adi>th Nabi Saw.
Sementra ada juga madhhab fiqh yang menanggapi secara berbeda.156

154

Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 26 Ayat (1).


Umar bin al-Khat}ta} >b, A<li bin Abi T}a>lib, Abu Hanifah, Ima>m Ma>lik, Ima>m
Ah}mad bin H}anbal, dan salah satu dari dua pendapat dari al-Sha>fii>, setuju dengan
penghukuman dera sebanyak 80 kali bagi peminum khamar. Hukuman ini pernah
dipraktekkan Umar bin al-Khat}t}a>b, khalifah yang ke-2 dari Khula>fah al-Ra>shidi>n. Pada
masa Umar banyak orang yang sudah kebal dengan 40 kali dera. Lihat Abdu alRahma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala> al-Madha>hib al-Arbaah, 32-33.
156
Al-Shafii>yah menyetujui h}add 40 kali dera bagi bagi peminum khamar.
Hukuman yang ditegakkan pada masa Umar merupakan tambahan dari h}add (40 kali)
dengan penghukuman tazi>r, sehingga berjumlah 80 kali. Lihat Abdu al-Rah}ma>n alJazi>ri>, al-Fiqh ala> al- Madha>hib al-Arbaah, 33.
155

81

Pelaksanaan hukuman (cambuk) yang ditetapkan meliputi waktu


pencambukan, tempat penghukuman, teknis pelaksanaan dan perkara
yang terkait lainnya. H}add merupakan ketentuan hukuman yang telah
ditepkan oleh al-Quran atau al-H}adith (bukan ditentukan oleh umat
Islam). Umat Islam hanya disuruh mengamalkan apa yang telah
ditentukan tersebut, sebagaimana telah diakui al-Jazi>ri>157
Ketentuan uqubat dalam Qanun ini merupakan inti dari penetapan
hukuman yang dijalankan Qanun dalam upaya menyadarkan umat Islam
dari praktek khamar. Qanun tidak hanya membuat hukum yang bersifat
normatif dalam bentuk pelarangan dengan menerangkan aspek negatif
dan positif dari khamar, namun merupakan hukum formal dan positif
terhadap pelaku tindak pidana khamar. Bagi orang yang ikhlas menerima
hukuman h}add akan diampuni dosanya oleh Allah SWT, karena Allah
SWT menerima taubat (penyesalan) hambanya sebelum nyawanya
sampai di kerongkongan. Dikatakan Ahmad Fath>i al-Bahansi> bahwa alSamarqandi di dalam al-Kanz telah mengutip h}adith Nabi Saw yang
mengatakan bahwa barangsiapa yang melakukan dosa lalu dihukum di di
Dunia, maka ia tidak akan dihukum lagi di Akhirat (kelak). 158 Memang
hukuman h}add merupakan hak Allah SWT yang perlu ditaati hambahamba-Nya.159
Dengan perkataan lain, di samping mengakui adanya larangan
Islam terhadap khamar ini, Qanun juga mengatur dan menetapkan
hukuman sebagaimana yang ditetapkan Fiqh Islam itu sendiri. Berbagai
proses perkara yang menyangkut dengan prosesi eksekusi pelaku akan
direalisasikan sebagaimana ketentuan Fiqh. Contoh-contoh eksekusi
kasus tindak pidana khamar yang terjadi di Aceh kerab diungkapkan
media massa. Menyangkut dengan uqu>ba>t khamar, Pasal 26-29 Qanun
menyatakan ketentuan dengan jelas tentang apa hukuman bagi pelaku
dan pihak yang terkait dengannya.
Adapun perkara yang menyangkut dengan mekanisme
pelaksanaan hukuman dapat diuraikan sebagai berikut:
a.
Waktu Pelaksanaan
157
158

Abdu al-Rah}ma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala> al-Madha>hib al-Arbaah, 8.

( ). Lihat Ahmad

Fath>i al-Bahansi, al-Uqu>bah fi al-Fiqh al-Isla>mi> (Bairu>t, Da>r al-Sharq, 1983), 15


159
Joseph Schacht, an Introduction to Islamic Law (New York, Oxford
University Press, 1971), 176.

82

Tentang kapan peksekusian h}add ditegakkan, Qanun telah


menetapkan waktu yang jelas. Eksekusi dilakukan setelah adanya
keputusan hakim. Esekutor/Algojo langsung menegakkan hukuman
berdasarkan waktu yang ditetapkan. Pengeksekusian diawali temuan
sejumlah keterangan dan hakim membolehkan seorang untuk
menegakkan uqu>ba>t (hukuman) berdasarkan hasil putusan hakim.
Sejumlah keterangan yang menyatakan keterlibatan pelaku dalam
praktek khamar, diawali proses penyelidikan, laporan, penyidikan,
pemeriksaan, dan lain-lain yang merupakan keterangan yang
menyakinkan tanpa ada keraguan (shubhat). Demikian yang dikatakan di
dalam Pasal 5-8 Qanun ini. Laporan kasus yang disampaikan dapat
berupa laporan praperadilan oleh pejabat Wilayatul Hisbah sebagaimana
dikatakan dalam Pasal 16. Kasus khamar dapat juga dilaporkan
masyarakat kepada pihak yang berwenang untuk diadili di Mahkamah.
Jika ada keraguan tentang keterlibatan pelaku, hukuman dan eksekusi
tidak dapat dilakukaan, dan bahkan memerlukan penundaan hingga
tindak pidana tersebut menyakinkan untuk dapat dijatuhi hukuman.
Pengeksekusian pelaku di panggung pencambukan dilakukan
setelah adanya keputusan hakim yang tetap, sebagiaman nikatakan di
dalam Pasal 32 Qanun tersebut. Pelaksanaan eksekusi uqu>ba>t dilakukan
segera setelah putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Penundaan pelaksanaan uqu>ba>t hanya dapat dilakukan berdasarkan
penetapan dari Kepala Kejaksaan apabila terdapat hal-hal yang
membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang
berwenang.160Pelaksanaan eksekusi tidak boleh ditunda-tunda kecuali
ada alasan yang telah diatur Qanun melalui keputusan
Mahkamah.161Keputusan Mahkamah, selain mendasarkan pertimbangan
Qanun dan hukum perundang-undangan lainnya yang berlaku di
Indonesia yang terkait dengan khamar, juga mempedomani petunjukpetunjuk fuqaha> (pakar Fiqh) Islam yang terkandung di dalam kitab-kitab
yang mutabar (sebagaimana dikatakan H.S. Bhatia).162 Penetapan waktu
160

Qanun No. 12 Pasal 23 Ayat (1) dan (2).


Pada masa Nabi Saw, pengeksekusian peminum khamar dilakukan setelah
orang sadar dari mabuknya agar merasakan kesakitan hukuman tersebut. Lihat Abdu
al-Rahma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala> al-Madha>hib al-Arbaah, 29.
162
H.S. Bhatia, Studies in Islamic Law , Religion and Society (New Delhi:
Deep And Deep Publications,1998), 30.
161

83

penghukuman juga berdasarkan


mengabaikan kondisi terhukum.

kebijakan

Mahkamah

tanpa

b. Tempat Pelaksanaan
Sebagaimana lazimnya pengeksekusian pelaku pelanggran syariat
Islam, pelaku khamar dieksekusi di muka umum. Penempatan panggung
pencambukan adakalanya di halaman mesjid, atau di halaman kantor
Mahkamah yang dapat dilihat orang banyak. Penghukuman seperti ini
merupakan tendensi dari syariat Islam yakni sebagai suatu upaya menuju
pada pencegahan seseorang atau umat dari melakukan tindak pidana ini.
Pengeksekusiannya kerap didirikan di hadapan khalayak ramai, seperti di
halaman mesjid setelah pelaksanaan salat Jumat, seperti Lapangan Olah
Raga (yang pernah dilakukan Mahkamah Syariyah Aceh Tengah).
Pengeksekusian dapat juga dilaksanakan di tempat terbuka lainnya.
163
Dikatakan dalam Qanun Pasal 32, bahwa uqubat cambuk dilakukan di
tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa
Penuntut Umum dan dokter yang ditunjuk. Selin itu pencambukan
dilakukan dengan rotan yang yang telah ditepakan ukurannya dalam
qanun, yakni panjangnya 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung
ganda/belah, dengan lebar maksimal 1 centi meter. Pencambukan
dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher.164
Alat (cambuk) untuk eksekusi tersebut disesuaikan dengan alat
yang diatur fiqh madhhab sunni> dari bebagai madhhab. Dengan menelaah
kitab Fiqh menemukan bahwa alat-alat yang digunakan untuk
memukul/mencambuk memang bermacam-macam, termasuk cambuk
(cemeti). Para ulama, sebagaimana diakui al-Jazi>ri>, berbeda pendapat
mengenai alat yang digunakan untuk memukul. Di antara pakar Fiqh
mengatakan bahwa pada masa Nabi Saw ummat Islam menggunakan
bermacam-macam alat. Ada orang menggunakan sandal (al-nia>l), lidi
(al-jari>d), ujung-ujung baju (at}ra>f al-thaub), dan tangan (al-yad). Karena
itu penghukuman tidak digunakan selain jenis alat-alat ini. Menurut
pendapat jumhur, sebagaimana halnya dengan alat-alat ini sah untuk

163

An/min, Penjudi dan anak mantan bupati dicambuk, Serambi Indonesia,


1, 24 September 2005 dalam http://www.aceh-eye.org/a-eye-news
item.as?NewsID=1861(diakses 20 Desember 2010).
164
Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 32 Ayat (1) sampai (3).

84

digunakan, maka dengan cemeti (al-saut) juga sah.165Oleh karena itu


Qanun menggunakan cemeti (cambuk) dalam pengeksekusian
terhukum.166
c.

Izin Imam (Penguasa)


Pengeksekusian merupakan proses Mahkamah yang memberikan
keputusan terakhir yang dijatuhkan setelah adanya keputusan hakim
sebagai pejabat yang dipilih oleh penguasa (umara>/khalifah) untuk
menegakkan hukum terhadap pelaku khamar. Karena merupakan
kewajiban uli al-amri untuk menegakkan hukum Islam (jinayat) demi
kemaslahatan ummat, sehingga kejahatan khamar tidak meraja lela di
kalangan ummat, di samping agar hukum Allah dapat ditegakkan. Dalam
hal ini hakim merupakan perpanjangan tangan pemimpin untuk
memproses perkara setelah mendapatkan izin (legalitas) dari penguasa.
Menyangkut dengan keizinan dari siapa, Qanun tidak merincikan
secara jelas. Dalam hal ini Gubernur Aceh ditunjuk menjadi pejabat yang
dapat mengangkat dan memberhentikan seorang hakim di Mahkamah
Syariyah Aceh dengan melakukan usulan ke Mahkamah Agung
RI.167Pemutusan hukum merupakan wewenang hakim yang absolut.
Tentang kewenangan yang dimiliki hakim, di dalam Pasal 32 Ayat (1)
ditegaskan bahwa pelaksanaan uqu>ba>t dilakukan segera setelah putusan
hakim mempunyai kekuatan hukum tetap.168
Pakar Fiqh, Ahmad Fathi> Bahansi juga mengatakan bahwa
keizinan iman (pemimpin) dalam merelisasikan hukuman h}add
merupakan upaya siya>sah jina>i>yah Syariyah. Keputusan penghukuman
terhadap pelaku kriminal memang melibatkan penguasa (sultan, raja,
atau pemerintah dan hakim yang absolute).169 Dengan perkataan lain,
setelah merujuk berbagai sumber yang relevan, pelaksanaan Qanun
berlangsung secara sinergis, representatif dan simultan menurut garis
komando horizontal kekuasaan penguasa dalam komunitas umat Islam
Aceh-Indonesia.

165

Abd al-Rah}man al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala> al- Madha>hib al-Arbaah, 17-18.


Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 33 Ayat (2).
167
UU No. 11 Tahun 2006.
168
Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 32 Ayat (1).
169
Ah}mad Fathi> Bahansi, 25-26
166

85

d.

Teknis Pelaksanaan
Agar suatu hukuman mencapai sasaran sebagaimana yang
diharapkan, maka diperlukan adanya teknik (kaifi>yat) dalam
pengeksekusian pelaku tindak pidana. Maka pelaksanaan hukum jinayat
khamar dijelaskan dalam Qanun ini tepatnya pada Bab VIII Pasal 31-32
Qanun Khamar memuat tentang pelaksanaan uqu>ba>t (khamar). Di dalam
Pasal 31 dinyatakan bahwa: (1) Uqu>ba>t cambuk dilakukan oleh seorang
petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum. (2)
Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Jaksa
Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam
Qanun ini dan/atau ketentuan yang akan diatur dalam Qanun tentang
hukum formil.170
Meskipun ketentuan Qanun yang menyatakan tentang jumlah dan
alat yang digunakan dalam pengeksekusian pelaku khamar, namun
kadang kala dalam realita pelaksanaan terjadi pengurangan/penambahan
hukuman dalam penghukuman atas pelaku. Hal ini berat kemungkinan
disebabkan oleh bahwasanya hakim telah mengalihkan hukuman h}add
menjadi hukuman tazi>r, seperti halnya yang dijatuhkan terhadap pelaku
tindak pidana lainnya yang ditetepkan Qanun, sehingga untuk pelaku
khamar juga dikenakan hukuman tazi>r. Memang hukuman tazi>r bagi
tindak pidana khamar diakui oleh pendapat sebagian kecil ulama fiqh
sebagaimana dikatakan al-Jazi>ri>.171
Selain hukuman h}add yang ditetapkan Pasal 26 Ayat 1 Bab VII
Qanun No. 12 Tahun 2003 ini, dalam ayat (2) dikatakan bahwa setiap
orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
sampai Pasal 8 diancam dengan uqu>ba>t (tazir) berupa kurungan paling
lama 1 (satu) tahun, paling singkat 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling
banyak Rp 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp
25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah.172
Selain penghukuman h}udd 40 kali cambuk bagi peminum
khamar yang dinyatakan Pasal 6 Ayat (3),173 bagi pelaku yang bukan
170

Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 31 Ayat (1) dan (2).


Abd al-Rahma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala> al-Madha>hib al-Arbaah, 14.
172
Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 26 Ayat (2).
173
Pasal 6: Setiap orang atau badan hukum dilarang turut serta/membantu
memproduksi, menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut,
menyimpan, menimbun, memperdagangkan dan memproduksi minuman khamar dan
sejenisnya;
171

86

melakukan pengkonsumsian khamar secara langsung dikenakan


penghukuman tazi>r. Hukuman tazi>r dijatuhkan bagi pelaku tindak
pidana pemberian keizinan dalam praktek dan bisnis khamar yang
(bahkan) kadang kala melibatkan bukan hanya orang muslim, namun
juga pihak non-muslim/pihak asing. Maka dengan pertimbangan
demikian qanun tidak menetapkan h}add (cambuk). Ditegaskan dalam
Pasal 26 Ayat (4) bahwa Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 adalah jarimah (kejahatan)
tazi>r.174
Hukuman tazi>r (denda atau kurungan) juga dijatuhkan bagi
pelaku tindak pidana yang terlibat di dalam aktifitas perdangangan dan
penyediaan fasilitas untuk praktek minum khamar sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 30, yakni pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 :a. apabila
dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka uqu>ba>t-nya dijatuhkan
kepada penanggung jawab; b. apabila ada hubungan dengan kegiatan
usahanya, maka selain uqu>ba>t sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
Pasal 26 (yakni berupa kurungan), dapat juga dikenakan uqu>ba>t
administratif dengan mencabut atau membatalkan izin usaha yang telah
diberikan.175
Penghukuman tazi>r (yang berupa denda yang terkandung di
dalam pasal 27) sebagaimana disinggung di atas, yakni pembayaran
denda akan menjadi pendapatan/penerimaan Daerah yang disetor
langsung ke Kas Baital Mal, dapat menimbulkan kelemahan bagi
hakim/Penguasa dlam menegakkan supremasi hukum. Penghukuman
seperti kerap menimbulkan praktek penyogokan hakim. Pembayaran
Pasal 7: Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 berlaku juga bagi
badan hukum dan atau badan usaha yang dimodali atau mempekerjakan tenaga asing.
Instansi yang berwenang menerbitkan izin usaha hotel, penginapan, losmen, wisma, bar,
restoran, warung kopi, rumah makan, kedai, kios, dan tempat-tempat lain dilarang
melegalisasikan penyediaan minuman khamar dan sejenisnya. Setiap orang atau
kelompok/institusi masyarakat berkewajiban mencegah perbuatan minuman khamar dan
sejenisnya. Lihat Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 7.
Pasal 8: Setiap orang atau kelompok/institusi masyarakat berkewajiban
mencegah perbuatan minuman khamar dan sejenisnya.
174
Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 26 Ayat (3) dan (4).
175
Menurut al-Zarqa>ni, khalifah Ali bin Abi T{a>lib pernah membangun
sejumlah penjara untuk para penjahat. Lihat Mus}t}afa Ah}mad al-Zarqani>, al-Madkhal
al-Fiqhi> al-A>am: al-Fiqh al-Isla>mi> fi al-Thaub al-Jadi>d, 629.

87

denda juga kerab menyebabkan terjadinya ketidak adilan sosial antara si


miskin dan si kaya, sebagaimana dikatakan M. H. Syed.176 Maka model
penghukuman seperti ini bukan cara yang digalakkan dalam Islam.
Hukuman (tazi>r) pembayaran denda memang terdapat di dalam
fiqh pada perkara-perkara (jarimah) tertentu, terutama untuk selain
khamar. Di dalam perkara terkait khamar (dalam perkara penghukuman
dengan tazi>r juga dapat diterapkan. Fenomena penghukuman ini
menunjukkan bahwa penting adanya kesungguhan dan keyakinan
seorang hakim dalam penegakan hukuman dalam tindak pidana ini. Bila
tidak dibarengi dengan dengan nilai-nilai keadilan Islam pada diri
seorang hakim, tendensi syariat Islam jauh dari yang diharapkan Islam.
Dalam penegakan hukum Islam, motif keimanan mesti menjadi perkara
prioritas agar mencapai sasaran keadilan shara.177
Penghukuman tazi>r dengan denda juga dapat mengandung
resiko terhadap tidak tercapainya tujuan perncegahan praktek khamar
dalam Islam. Dengan membayar denda, berat kemungkinan, akan beralih
fungsi penghukuman kepada praktek legalitas perdagangan khamar
(minuman yang beralkohol) dengan pembayaran pajak bagi
pengusaha/pemerintah oleh pihak-pihak tertentu yang ingin memperjual
belikan khamar. Kebijakan seperti ini juga beresiko timbulnya praktek
minuman khamar yang dilakukan secara terselubung dalam masyarakat,
karena pemerintah punya legalitas hukum untuk menerima denda dari
praktek ini, sehingga menimbulkan tumpang tindih kejahatan, seperti
memunculkan pelaku backing oleh aparat penegak hukum bagi terjadinya
aksi kriminalitas dengan penerimaan bayaran sejumlah materi dari
pelaku. Maka sasaran penghukuman yang ditetapkan pasal 30 qanun
khamar, berat kemungkinan, akan mengalami kontradiksi dengan pasal
176

M. H. Syed mengatakan, Law is the same for the rich as well as


poor.(Hukum sama antara orang kaya dan orang miskin). Lihat M. H. Syed, Human
Rights in Islam: the Modern Perspective (New Delhi: Anmol Publication PVT. LTD,
2003), 174.
177
Qs. al-Ma>idah: 50 menyatakan:

( :[] ).
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Tidak ada orang yang
mengatakan (bahwa) hukum Allah yang lebih baik, kecuali orang-orang yang
menyakini. (al-Ma>idah [6]: 50). Lihat juga Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human
Rights Tradition and Politics, 29.

88

26, jika tidak dilakukan pengawasan yang signifikan. Bahkan hukuman


pencabutan izin usaha dan kurungan juga dikhawatirkan beralih ke
pembayaran denda bila perkara ini dinisbahkan ke Pasal 6 dan 8 Qanun
ini.178 Sebuah qaidah Usul Fiqh mengtakan la> d}ara>ra wala> d}ira>ra
(janganlah kamu menyiksa diri sendiri dan jangan (pula)
menyengsarakan orang lain).

2.

(Uqubat) Khamar Menurut Fiqh.


Dalam menjelaskan tentang penegakan hukum jinayat yang
menyangkut dengan khamar dalam perspektif fiqh (hukum Islam),
terlebih dahulu memaparkan tentang konsepsi para imam mazhab fiqh
tentang khamar. Konsep (gagasan) ini ditempuh dengan melihat pada
pendapat para fuqaha (pakar Fiqh) yang representatif dipedomani
mazhab mereka oleh umat Islam di dunia, termasuk umat Islam di AcehIndonesia. Para ulama sunni sepakat dengan keabsahan empat mazhab
Fiqh (H{anafi.yah. Malikiyah. Shafii>yah, dan H{ana>bilah) untuk diikuti
umat Islam pasca peruntuhan Bagdad 1258 oleh tentara Holago
Khan.179
Para fuqaha (imam mazhab) berbeda pendapat mengenai
substansi khamar (arak). Menurut Imam Malik, Imam al-Shafi, dan
Imam Ahmad: khamar adalah meminum yang memabukkan, baik
disebut khamar atau tidak.180 Abu Hanifah (w. 150 H) berbeda pendapat
tentang jenis antara khamar dan mabuk. Beliau mengharamkan minuman
khamar baik sedikit maupun banyak. Minuman lain yang memabukkan
selain khamar, menurutnya, hanya disebutkan sebagai minuman yang
memabukkan. Minuman lain yang bukan khamar keharamannnya bukan
lizatihi (disebabkan substansinya), tetapi adalah minuman yang terakhir
yang menjadikannya mabuk.181 Unsur jarimah dalam minuman khamar

178

Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 30.


HS Bhatia, Studies in Islamic Law , Religion and Society, 30. Lihat juga
Abdurrahman I. Doi, Shariah: the Islamic Law ( Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 2002),
88-111.
180
Mochtar Effendy, Fiqh Islam
(Palembang: Universitas Sriwijaya
bekerjasama dengan Yayasan Pendidikan dan Ilmu Islam Al-Mukhtr, 2003), 400401.
181
Mochtar Effendy, Fiqh Islam, 40.
179

89

ada dua: Pertama, minum minuman yang memabukkan; dan kedua, ada
itikat untuk jahat.
Mazhab Imam Mlik (w. 117 H), Imam al-Shfi` (w. 204 H),
Imam Ahmad (241 H) mengaharamkan khamar dan minuman lain yang
memabukkan baik sedikit ataupun banyak. Meminum minumannya
sendiri adalah termasuk ke dalam kategori jarmah.182Disyaratkan benda
yang memabukkan itu berupa minuman. Selain dari minuman maka
hukumnya juga tetap haram, hanya hukumannya adalah tazi>r. Seorang
penulis Fiqh Islam Indonesia, Mochtar Effendy memaknai hukuman altazr sebagai suatu larangan, pencegahan, mengurus, menghukum,
mencela dan memukul. Ulama fiqh lainnya mengartikan, tazr adalah;
al-tadb (pendidikan). Bila hukum h}udu>d telah ditetapkan di dalam alQuran dan Hadith, maka jarimah tazr tidak ditentukan di dalam alQuran dan Hadith. Dengan perkataan lain Fiqh membuka peluang bagi
penguasa (uli al-amr) untuk menghukum dengan hukuman ini, bagi
perkara yang tidak ditentukan al-Quran dan al-h}adith.183
Ditulis Abu Malik Kamal bin al-Saiyid Salim dalam Fiqh Sunnah
bahwa ada empat alat bukti minum minuman khamar, yaitu (1)
persaksian, dengan dua orang saksi; (2) pengakuan; (3) bau mulut; dan
(4) mabuk. Dikatakan al-Jazi>ri> di dalam kitab Fiq muqa>ranah-nya,
bahwa para Imam mazhab sepakat dengan pengakuan (minum khamar)
walupun satu kali, dikenakan h}add. Sedangkan Abu Yusuf dari mazhab
Hanafi mengatakan bahwa pengakuan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali,
baru dikenakan h}add. 184Sedangkan menyangkut dengan sebab-sebab
terhapusnya hukuman tindak pidana khamar ada dua, yaitu (1) saksi
menarik kesaksiaannya; dan (2) pelaku menarik pengakuaannya.185
Hukuman bagi peminum khamar menurut Qidah Fiqhiyah ada
dua macam, yaitu: (1) dera /cambuk 80 kali; dan/atau (2) dera 40 kali.
Ketentuan hukuman terhadap pelaku meminum khamar secara berulangulang dan telah dihukum lebih dari 3 kali,
manyoritas ulama
menyatakan bahwa hukuman mati tidak diterapkan pada kasus demikian.
Ijma> berpendapat, syariat telah menetapkan hukuman tertentu terhadap
182

Mochtar Effendy, Fiqh Islam, 373.


Mochtar Effendy, Fiqh Islam, 422 dan 423.
184
Abdu al-Rah}ma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala> al-Madha>hib al-Arbaah, 17.
185
Abu> Ma>lik Kamal bin al-Sayyid Salim, S}ah}ih} Fiqh al-Sunnah, H}udu>d,
Jinyt dan Diyat, Jual Beli (Terj.), 401-402.
183

90

pelanggaran minuman khamar. Banyak hadith (nas}s)} yang menyebutkan


tentang hukuman bagi peminum khamarsebagiannya dikemukakan
bahkan para sahabat dan generasi setelah mereka telah sepakat hanya
menghukum cambuk bagi peminum khamar. Pendapat rjih (kuat dan
jelas) dari manyoritas ulama adalah bahwa hukuman mati bagi peminum
khamar yang keempat kalinya telah dihapuskan (mansu>kh). Pendapat ini
dikatakan yang lebih kuat, karena keabsahan dalilnya. Demikian pula
ijma> mengenai hal itu menyatakan demikian. Mereka hanya berbeda
pendapat tentang kadar cambukan dalam dua pendapat, yaitu: (1)
kadarnya empat puluh kali cambukan; dan (2) delapan puluh kali.186
Sebagaimana dijelaskan di atas, factor untuk menetapkan
hukuman bagi praktek minum khamar adalah: (1) pengakuan; dan (2)
bukti. Mengenai apakah aroma khamar pada mulut atau muntahan
khamar bisa dianggap sebagai bukti? Para ulama berbeda pendapat
mengenai wajibnya diberlakukan hukuman karena didapati aroma
khamar pada mulut atau memuntahkan khamar, dalam 3 pendapat.187
Pertama, tidak wajib diberlakukan hukuman hanya karena didapati
aroma minum khamar pada mulut seseorang atau muntah. Ini pendapat
manyoritas ulama, diantaranya: al-Thauri, Abu Hanifah, al-Shfi, dan
Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat yang berasal darinya.
Kedua, wajib dialaksanakan hukuman karena didapatinya aroma
khamar dari mulutnya atau muntah. Ini pendapat Malik dan Ahmad
dalam riwayat yang lain darinya. Ini adalah pendapat yang dipegang
muridnya Ibn al-Qayyim. Alasan mereka bahwa pendapat ini adalah
manifestasi dari apa yang telah diberlakukan oleh para sahabat, seperti
Umar, Usman, dan Ibnu Masd.
Ketiga, penetapan khamar sebagai aroma khamar tidak wajib
dilaksanakan kecuali bila disertai dengan indikator pendukung yang
bisa menghilangkan shubhat (keraguan), maka saat itulah hukuman
dilakukan. Demikian pendapat segolangan salaf, di antaranya Umar, Ibnu
al-Zubair dan Atha. Ibnu Qudmah juga cederung kepada pendapat ini,

186

Qanun Aceh No. 12 Tahun 2003 Bab VII Pasal 26 Ayat (1) menetapkan
40 (empat puluh) kali cambukan bagi peminum khamar.
187
Abu> Ma>lik Kamal bin al-Sayyid Salim, S}ah}ih} Fiqh al-Sunnah, H}udu>d,
Jinyt dan Diyat, Jual Beli (Terj.), 125.

91

dan pendapat ini dipilih oleh al-Allmah Bakar Abu Zaid (rah}imahu
Allah).188
Tabel 3.2 menunjukkan bahwa keempat madhhab Fiqh sunni
sepakat dengan penghukuman cambuk sebanyak 40 kali terhadap
peminum khamar, dan hukuman tazi>r kurungan atau denda terhadap
pihak yang terlibat di dalam perdagangan dan penyediaaan fasilitas bagi
terlaksananya praktek minum khamar di Aceh.189
Tabel 3.2:
Hukum Jarimah Khamar dalam Perspektif Fiqh.
Hukuman &

Kesesuaiannya dengan Fiqh

Peminum

40 kali
cambuk

Ss

Ss

Ss

Ss

Produsen

3 bulan
1 tahun

25-75
juta

Ss

Ss

Ss

Ss

Penyedia

Sda

Sda

Ss

Ss

Ss

Ss

Penjual

Sda

Sda

Ss

Ss

Ss

Ss

5
6

Pemasok
Pengangkut

Sda
Sda

Sda
Sda

Ss
Ss

Ss
Ss

Ss
Ss

Ss
Ss

Penyimpan

Sda

Sda

Ss

Ss

Ss

Ss

188

Mazhab
lainnya

Hanabilah

Tazi>r
Denda

Malikiyah

Tazi>r
Hadd
KurunCambuk
gan

Shafiiyah

No

Perspektif Fiqh
Hanafiyah

Hukuman
Pelaku
pidana/jarimah

Abu> Ma>lik Kamal bin al-Sayyid Salim, S}ah}ih} Fiqh al-Sunnah, H}udu>d,
Jinyt dan Diyat, Jual Beli (Terj.), 129. Lihat juga Abdu al-Qa>dir U>dah, al-Tashr`
al-Jin Muqrinan bi al- Qnn al-Wad}i>, 525.
189
Al-Jazi>ri menulis bahwa madhhab Hanafiyah, Shafiiyah dan H}anabilah
setuju tentang batas hukuman tazi>r tidak lebih dari h}add. Sedangkan Maliki>yah
menyerahkan perkara tazi>r kepada imam (pemimpin), dan membolehkan tazi>r
melebihi h}add dengan tinjauan ada kemaslahatan ummatpada penghukuman tindak
pidana tertentu. Lihat Abd al-Rah}man al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala> al- Madha>hib al-Arbaah
, Jilid 5, 308. Lihat juga Abdu al-Qadir U<>dah, al-Tashr al-Jin al-Islm
Muqranan bi al-Qnn al-Wad}, 154.

92
8

Penimbun

Sda

Sda

Ss

Ss

Ss

Ss

Pedagang

Sda

Sda

Ss

Ss

Ss

Ss

10

Penghadiah

Sda

Sda

Ss

Ss

Ss

Ss

11
12

Prormotor
Pemberi izin

Sda
Sda

Sda
Sda

Ss
Ss

Ss
Ss

Ss
Ss

Ss
Ss

Keterangan:
Bentuk Jarimah: meminum, memproduksi, menyediakan, memasok, mengangkut, menimbun,
memperdagangkan, menghadiahkan, mempromosikan, dan memberikan izin; Ts = Tidak sesuai;
dan Ss = Sesuai

Selanjutnya, aktifitas bergaul dengan peminum khamar, yang


tidak ikut meminumnya apakah dikenakan hukuman? Dalam hal ini
ulama sepakat bahwa
diharamkan bergaul dengan para peminum
khamar yang sedang meminum khamar, atau ikut makan pada jamuan di
mana suatu yang memabukkan dikonsumsi, baik berupa khamar maupun
selainnya, bersabda Nabi Saw: barang siapa beriman kepada Allah dan
hari Akhir, hendaklah ia tidak duduk pada jamuan di mana khamar
diminum. Sabda beliau juga: Barangsiapa yang meminum khamar
maka deralah.190
Diharamkan juga atas orang Islam yang mukallaf menyuguhkan
khamar kepada orang lain, walaupun yang disuguhi itu anak kecil, orang
gila atau orang kafir, berdasarkan sabda Nabi: Allah telah melaknat
khamar,
peminumnya,
penuangnya,
penjualnya,
pembelinya,
pemerasnya, orang yang meminta diperaskan, pembawanya dan orang
yang dibawakan kepadanya.191
Yang menimbulkan pertanyaan adalah mengenai orang yang
tidak meminumnya yang duduk di jamuan khamar, apakah ia dikenai
hukuman juga? Diriwayatkan dari Ibnu Samir dan Marwan Bin alH{akam bahwa orang tersebut dikenai hukum juga, hanya tidak dikenai
hukuman tertentu (h}add) karena hukuman itu ditetapkan untuk golongan
tertentu, di antaranya adalah peminum khamar. Adapun selainnya, tidak
ada dalil yang mewajibkan hukuman h}add terhadapnya, baik dari alQuran ataupun Hadith, Ijma>, maupun perkataan sahabat (athar), tetapi
190

Abdul al-Qadir U<d> ah, al-Tashr` al-Jin al-Isla>mi> Muqrinan bi alQnn al-Wad}i>, 425.
191
Abd al-Rah}man al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala> al- Madha>hib al-Arbaah, 27.

93

imam berhak memberikan tazi>r kepadanya yang mengandung


kemaslahatan. 192
Selain itu sejumlah nas} menunjukkan bahwa pelarangan khamar
terjadi secara gradual menunjukkan bahwa adanya sosialisasi larangan
sebelum hukuman (uqu>ba>t) benar-benar dilakukan. Dengan demikian
Islam melakukan penyadaran tentang manfaat, mudarat, dan ketentuan
hukum pada setiap perbuatan yang dilakukan manusia. Maka fase-fase
pelarangan ini dapat dijumpai pada ayat-ayat (Qs. al-Baqarah [2]: 219,
Qs. al-Nisa>[5]: 43, dan Qs al-Ma>idah [6]: 91), yang telah disebutkan di
atas.
Ketentuan ini sama dengan semua pendapat Imam Madhhab.
Tidak seorang ulama pun menolak keharaman khamar ini. Sedangkan
bila benda lainnya yang memabukkan yang biasanya tidak mabuk maka
dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan haram,
seperti Ima>m Malik, Imam al-Sha>fii>, dan Imam Ahmad. Ada juga yang
mengatakan tidak, seperti Imam Abu Hanifah. Hal ini disebabkan bahwa
benda itu sebelumnya tidak haram.193
Penegakan hukuman h}udu>d adalah perlu sebagaimana ungkapan
H}adi>th Nabi Saw:



. :
) .
(
Perumpamaan orang yang melaksanakan hukuman Allah
(h}udu>d Allah) dan orang yang melanggarnya adalah bagaikan orangorang yang berbagi tempat dalam perahu. Sebagian dari mereka berada
di atas dan sebagian lainnya berada di bawah . Orang-orang yang
192

Abu> Ma>lik Kamal bin al-Sayyid Salim, S}ah}ih} Fiqh al-Sunnah, H}udu>d,
Jinyt dan Diyat, Jual Beli (Terj.), 131.
193
Abd al-Rah}ma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala> al-Madha>hib al-Arbaah, 29.

94

berada di bagian bawah , saat memerlukan air mereka harus naik ke


atas. Lalu mereka berujar, Alangkah baiknya kita melubangi bagian
kita ini sehingga tidak mengganggu orang-orang yang di atas. Jika
mereka yang di atas membiarkan mereka yang (di bawah) dan apa yang
hendak dilakukan oleh mereka, tentulah mereka semua akan binasa. Tapi
bila mereka mencegah perbuatan mereka (yang di bawah) tentu mereka
akan selamat, dan semuanya menjadi selamat. (HR Bukhari dan
Turmizi).
Menyangkut dengan h}add khamar yang berupa (dera) sebanyak
40 kali diutarakan di dalam al-H}adith:


.
Muslim telah meriwayatkan dari Anas ra., Nabi Saw pernah
menghukum dera pada kasus khamar dengan lidi dan sandal sebanyak
40 kali dera.194
Senada dengan fiqh yang memiliki pendapat yang bermacam
ragam tentang hukuman yang menyangkut dengan praktek tindak
pidana yang terkait dengan minuman beralkohol, Qanun No. 12 Tahun
2003 Pasal 29 menyatakan bahwa pengulangan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, yakni dengan
mengkonsumsikan khamar maka uqbt yang diterima sesorang dapat
ditambah 1/3 (sepertiga) dari uqubat maksimal, bila berupa h}add (40 kali
cambuk) maka sehingga mencapai 53 kali cambuk. Sedangkan bila
berupa denda (tazi>r) juga disesuaikan dengan penambahan 1/3
hukuman.195
Dengan demikian, meskipun penghukuman seperti ini ada titiktitik perbedaan dengan dengan fiqh namun tidak menyalahi fiqh,196
karena ada kalanya fiqh tidak mengatakan penambahan 1/3 dari hukuman
h}dd, yang ada adalah perlu adanya anjuran penambahan hukuman atau
194

Abd al-Rah}man al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala> al- Madha>hib al-Arbaah, 15.


Qanun No 12 Tahun 2003 Pasal 29.
196
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, 73-74.
195

95

penghukuman lainnya dalam bentuk h}dd dan tazi>r Meskipun ada


pendapat minoritas fiqh dapat ditegakkan hukuman mati bagi yang telah
berulang ulang sampai lebih dari 3 kali meminum khamar, namun itu
bukan hukuman h}dd. Hukuman mati bagi peminum khamar secara
berulang-ulang ditolak oleh manyoritas pendapat ulama Fiqh dalam
Islam. Walaupun hukuman tazir fiqh adalah termasuk hukuman mati,
namun Qanun tidak menetapkan tazi>r yang demikian. Qanun lebih
cederung mengikuti mazhab Sha>fii>/Sunni yang menegakkan h}add 40
kali cambuk bagi setiap kali melakukan/mengulang praktek minum
khamar.197
a.

Waktu dan Teknis Pelaksanaan


Ada pertanyaan, apakah orang mabuk dihukum ketika mabuk atau
setelah sadar? Umar bin Abdu al-Azi>z, al-Shaibani>, al-Thauri, Abu>
H{a>nifah berpendapat orang mabuk tidak dihukum kecuali setelah sadar
dari mabuknya. Alasannnya tujuan pertama dari hukuman itu adalah
untuk menghalau dan menjerakan pelaku. Kedua bertujuan untuk dapat
tercapai tujuan penghukuman, maka pelaksanakan hukuman terhadapnya
dalam keadaan sadar secara penuh perlu ditegakkan.Bahkan pelaksanaan
hukuman harus ditangguhkan hingga ia sadar dari mabuknya, karena
orang mabuk tidak menyadari hukuman tersebut.
Kelompok lain berpendapat, pelaku dihukum saat (waktu)
ditangkap. Ini pendapat Ibnu Hazm. Ia berkata, karena saat peminum
khamar saat dihadapkan kepada Nabi Saw, lalu ia mengakuinya, maka
beliau langsung menghukumnya dan tidak menunggu sampai sadar (dari
mabuknya). Berdasarkan pandangan ini pendapat menyangkut dengan
penghukuman tidak bisa mengalahkan khabar s}ah}h. Maka, yang wajib
diaksanakan adalah menghukum si pelaku ketika dihadapkan. Kecuali
bila ia tidak sadar sama sekali, dan tidak dapat memahami sesuatu, maka
hukumannya ditangguhkan hingga bisa merasakan.198
197

Abd al-Rah}man al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala> al- Madha>hib al-Arbaah, 27.


Abu> Ma>lik Kamal bin al-Sayyid Salim, S}ah}ih} Fiqh al-Sunnah, H}udu>d,
Jinyt dan Diyat, Jual Beli (Terj.), 130. Lihat juga Abd al-Rah}ma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh
ala> al-Madha>hib al-Arbaah, 29. Al-Jazi>ri menulis:
198

.
Para Imam (mazhab) sepakat bahwa wajib, bukan makruh, hukumnya h}add
pada praktek minum khamar, baik sedikit maupun banyak.

96

Dengan demikian hakim tidak boleh memberikan maaf, karena


hal h}add adalah hak Allah SWT.199
b. Tempat Pelaksanaan
Menyangkut dengan tempat peneksekusian, para ulama juga
terjadi perbedaan pendapat. Para fuqaha sebagaimana halnya perbedaan
tentang waktu pelaksanaan namun menurut tradisi penghukuman
penjahat dalam Islam, maka penghukumannya mestinya dilakukan di
muka umum. Tempat penghukuman seperti ini merupakan tradisi
(kebiasaan) pengeksekusian tidak pidana Islam yang terkait h}add (hak
Allah SWT).200
c. Izin Imam untuk Pelaksanaan
Fath ad-Durami guru besar
di Universitas di Damaskus
mengatakan tazi>r itu adalah: hukuman yang diserahkan pada uli alamr (pemerintah) untuk menentukan bentuk dan kadarnya sesuai dengan
kemaslahatan
yang dikehendaki tujuan hukum syara di dalam
menetapkan hukuman yang ditetapkan di dalam perkara maksiat.
Mukhtar menambahkan, para fuqaha membagi tazr ke dalam dua
bentuk; Pertama, al-tazr al al-maa>s}i (tazi>r untuk kemaslahatan
hidup); dan kedua, al- tazi>r li maslah}ah al-a>mmah (tazi>r untuk
kemaslahatan umum). Perbedaaan kedua ini, terletak pada hukum tindak
pidana tersebut. Dalam kitab Fiqh tematisnya, al-S{a>wi mengatakan
bahwa pengusaha kerab mewakilkan pelaksanaan pencegahan
kemaksiatan dan amar-makruf-nahi-munkar kepada lembaga
h}isbah.201Kesepakatan tentang hukuman tazi>r sebagai hukuman yang
ditetapkan penguasa juga disetujui Abdul Qadir U<dah di dalam kitab
Fiqhnya--yang membahas tentang Jinayat (dalam) perbandingan
(muqa>ranah) berbagai madhhab.202
Al-Jazi>ri> juga mengatakan bahwa seorang imam (pemimpin) bila
diajukan orang tentang adanya praktek tindak pidana khamar maka ia
199

Abd al-Rah}ma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala> al- Madha>hib al-Arbaah , 18.


Qs. al-Nu>r [25]: 2. Lihat juga Abdul Qadir U>dah, al-Tashr al-Jin alIsla>mi> Muqrinan bi al- Qnn al-Wad}i>, 82.
201
S}a>lih} al-S}a>wi>, al-Ta addudi>yah al-Sia>sah fi> al-Daulah al-Isla>mi>yah (TTP:
Da>r al-Ila>m al-Dauli>, 1992), 34.
202
Abdu al-Qadir U<>dah, al-Tashr al-Jin al-Islm Muqranan bi alQnn al-Wad}, 154
200

97

wajib menegakkan h}add setelah ada pengakuan dan saksi-saksi.


Sedangkan hakim adalah perpanjangan tangan imam (pemimpin) dalam
memutuskan pengeksekusian pelaku tindak pidana. Hakim telah
memiliki hak kebebasan dalam memutuskan hukuman terhadap pelaku
setelah (pengangkatannya) oleh ima>m (pemimpin). Hal ini menunjukkan
bahwa dalam menegakkan hukum h}add memerlukan kekuasaan dan
kemampuan. Kemampuan adalah kekuasaan. Karena itu, pelaksanaan
hukuman diwajibkan atas para pemegang kekuasaan dan para wakilnya.
Alasan lain, tidak pernah dilakukan hukuman terhadap orang merdeka
pada masa Nabi Saw kecuali dengan seizinnya. Demikian pula yang
dilakukan oleh khalifah-khalifah sesudahnya. Karena itu tidak boleh
dilakukan kecuali dengan seizin imam (penguasa).203
3.

Eksekusi Tindak Pidana Khamar di Aceh


Ada beberpa peristiwa pelanggaran tindak pidana minuman
keras (khamar) yang terjadi di Aceh yang dicambuk di panggung
pengeksekusian. Diantaranya, pertama terjadi di Aceh Tengah, dan
kedua di Aceh Barat.
Pertama, dari Takengon (Aceh Tengah) dilaporkan sebanyak
tujuh pemuda yang terbukti meminum minuman haram divonis
Mahkamah Syariyah Takengon dengan hukum cambuk. Ketujuh
tersangka terbukti melanggar Pasal 26 Qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan
sejenisnya yang dihukum (uqu>ba>t) masing-masing 40 kali cambukan
di antara terhukum terdapat anak mantan bupati, Mustafa M. Tamy.
Terhadap pencambukan anaknya, Mustfa M. Tamy mengatakan
mendukung proses hukum Islam di Aceh Tengah dan Provnsi NAD, dan
sangat memahami bahwa hukum tidak memandang strata serta status
sosial masyarakat.
Keseluruhan pemuda yang dicambuk itu masing-masing Andi
Akmal bin Mustafa M. Tamy (umur 34 tahun) anak mantan bupati Aceh
Tengah Mustafa M. Tamy, Danil Harahap (umur 35 tahun), Iwan Pelita
bin Abdurrahman (umur 35 tahun), Meidi Radian bin Rasyidin (umur 25
tahun), Iwan Syahputra bin Jamaluddin (umur 18 tahun), Anjas Beni bin
Kiran (umur 22 tahun), dan Yusra bin Sudarto (umur 18 tahun). Mereka
203

Abu> Ma>lik Kamal bin al-Sayyid Salim, S}ah}ih} Fiqh al-Sunnah, H}udu>d,
Jinyt dan Diyat, Jual Beli, (Terj.), 8-9.

98

menjalani pencambukan di depan tribun barat Lapangan Olahraga


Musara Alun masing-masing sebanyak 40 kali cambukan. Proses
pencambukan itu disaksikan ribuan warga Kabupaten Aceh Tengah. Di
Aceh Tengah, pasca pemberlakuan Qanun-qanun syariat Islam, sebanyak
lima kali digelar acara pencambukan dengan jumlah terpidana pelanggar
syariat sebanyak 29 orang sesuai pendataan pada tahun 2005.
Sebagaimana pemberitaan Media Massa, tujuh terpidana cambuk
itu ditangkap petugas Reskrim Unit Narkoba, di sebuah rumah
kecantikan Meidi Salon Jalan Rumah Sakit Datu Beru, Kampung
Gunung Bukit, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah. Bersama dengan
tertangkap tujuh pelanggar syariat Islam itu, polisi menyita barang bukti
10 botol kosong minuman keras merek Scouth, satu botol minuman keras
merek Contreau yang juga sudah kosong, dan satu unit mobil Mitsubhisi
Kuda Nopol BG-2459-NK, semua barang bukti itu juga dihadirkan di
Mahkamah Syariyah.204
Kedua, kasus terjadi di kabupaten Aceh Barat. Ada 15 terpidana
syariat (pelanggar syariat Islam) di Kabupaten Aceh Barat, Aceh,
dieksekusi hukuman cambuk. Mereka tertangkap personel Wilayatul
Hisbah (Polisi Syariat) karena pelanggaran mesum, khalwat, berjudi, dan
minuman khamar dan sejenisnya. Keputusan hukuman cambuk
dipastikan setelah 15 orang itu disidang dan mendapat vonis dari
Mahkamah Syariah Meulaboh, Aceh Barat. Dari 15 terpidana
pelanggaran syariat itu akan dieksekusi secara bertahap. Tahap pertama
rencananya dicambuk lima orang terpidana dari berbagai kasus
pelanggaran. Jumlah cambukan setiap mereka juga berbeda yakni sesuai
kesalahan dan dan putusan Mahkamah Syariyah.
Sebagaimana diberitakan media massa, kepala Dinas Syariat
Islam, Kabupaten Aceh Barat, M. Nur Djuned, mengatakan kepastian
hukuman telah ada hanya saja menentukan waktu dan berkoordinasi
dengan muspida serta pihak penegak hukum lainnya. Harian Media
Indonesia mencatat bahwa hukuman cambuk bagi pelanggar syariat
sering dilakukan di depan umum seperti di lapangan dan halaman masjid
setelah salat Jumat. Eksekusi berlangsung di atas panggung.
Personel/algojo yang ditentukan harus memakai penutup wajah. Jumlah
204

Lihat An/min, Penjudi dan anak mantan bupati dicambuk, Serambi


Indonesia, 1, 24 September 2005 dalam
http://www.aceh-eye.org/a-eye-newsitem.as?NewsID=1861(diakses 20 Desember 2010).

99

cambukan berkisar 5-20 kali dengan menggunakan rotan atau alat


cambuk khusus.205
Selain contoh kasus tindak pidana khamar tersebut, media massa
kadang kala mempublikasikan gambar terhukum seperti terlihat pada
gambar 3.1.
Gambar 3.1:

Sumber:
http://pesanrakyat.blogspot.com/
2011/01/4-konsumen-tuak-diaceh-besar-di-cambuk.html

Gambar 3.1 menunjukkan seorang


algojo
sedang
mengeksekusi
seorang peminum kamar di Aceh di
kecamatan Suka Makmur, Aceh
Besar yang tertangkap pada 12
Desember 2010. Pencambukan
dilakukan sebanyak 40 kali yang
digelar di lingkungan Mesjid Agung
Al-Munawwarah Kota Jantho, Aceh
Besar pada 28 Januari 2011. 206

Beberapa kasus tersebut terjadi di Aceh sejak Qanun tentang


Jinayat diberlakukan. Menurut data penelitian Syamsuhadi Irsyad bahwa
pada tahun 2007 Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kota se-Prov. Aceh
telah menerima kasus khamar sebanyak 13 kasus dan memutuskan 14
kasus. Sedangkan yang mengajukan banding pada tahun itu juga
sebanyak 2 kasus dan memutuskan juga 2 kasus. Syamsuhadi Irsyad
juga mencatat bahwa pada tahun 2008 kasus khamar yang sama diterima
Mahkamah sebanyak 8 kasus dan diputuskan sebanyak 8 kasus juga.
Sedangkan yang mengajukan banding nihil (tidak ada).207
205

Amiruddin Abdullah, 15 Pelanggar Syariat di Aceh Divonis Hukum


Cambuk, Media Indonesia,12 Mei 2010, dalam http://www.15-Pelanggar-Syariat-diAceh-Divonis-Hukum-Cambuk-htm (diakses 15 Mei 2010).
206

4 Konsumen Tuak di Aceh Besar Di Cambuk 40 Kali, Pesan Rakyat, 28


Januari 2011 dalam http://pesanrakyat.blogspot.com/2011/01/4-konsumen-tuak-diaceh-besar-di-cambuk.html, diakses 29 Januari 2011.
207
Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syariyah dalam System Peradilan
Nasional, 45.

100

Dari sampel pengeksekusian yang dipaparkan media massa


tersebut dapat dikatakan bahwa pengaturan/pelaksanaan Qanun tidak
jauh berbeda dengan fiqh. Memang fiqh memiliki penafsiran yang luas
berdasarkan prinsip taaqqul di samping prinsip taabbud. Prinsip
taabbudi merupakan pelaksanaan hukum Islam berdasarkan kepatuhan
pada ketentuan hukum Tuhan dalam rangka merealisasikan ketundukan
kepada-Nya. Sedangkan taaqquli merupakan penafsiran dari teks kitab
suci dan sunnah Nabi Saw melalui proses ijtihad dengan cara menggali
hukum yang tidak disebutkan secara langsung oleh kitab suci dan sunnah
nabi Saw. Maka demikian yang dijalankan Mahkamah Syariyah Aceh
Barat, provinsi Acehdalam merealisasikan Qanun Aceh.208Denagn
demikian, ada beberapa kesesusuaian dan kemiripan antara ketentuan
Fiqh dengan qanun No. 12 Tahun 2003 ini, bila ada penyimpangan dari
Fiqh, berat kemungkinan, hanya diakibatkan kelalaian para pelaksana
Qanun di lapangan.
Para fuqaha telah banyak membahas tentang pandangan para
imam mazhab tentang khamar. Pandangan mereka memiliki landasan
hukum yang jelas dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan
khamar di dalam Islam, sehingga menjadi pedoman bagi umat Islam
dalam menegakkan hukuman terhadap pelaku jarimah khamar.
B. Pelaksanaan Qanun No. 13 Tahun 2003
1. Uqubat Judi Menurut Qanun
Substansi (ketentuan hukuman dan pelaksanaan) bagi tindak
pidana judi dapat dilihat di dalam Pasal 23-27 Qanun No. 13 Tahun 2003
tentang judi. Pasal-pasal tersebut menunjukkan bahwa suatu perjudian,
selain dilakukan secara perorangan, kerab ada lembaga dan badan
tertentu yang memfasilitasi dan memberikan izin. Pasal 27 menyatakan
bahwa pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6: a) apabila dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka
uqubatnya dijatuhkan kepada penanggung jawab; dan b) apabila ada
hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi uqubat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1), dapat juga dikenakan

208

Syamsuhadi
Nasional , 45.

Irsyad,

Mahkamah Syariyyah dalam System Peradilan

101

uqubat administratif dengan mencabut atau membatalkan izin usaha


yang telah diberikan sebagaimana tertian di dalam Ayat (2).209
Selain pencabutan izin tersebut, badan tersebut tidak terlepas dari
hukuman denda. Ketentuan ini, berat kemungkinan, Qanun mendasarkan
kepada Qaidah Usul Fiqh menyatakan bahwa upaya pencabutan izin
suatu usaha (bisnis) mayarakat seperti ini dapat dikategorikan suatu
upaya penutupan peluang (sadd al-d}ara>i) bagi munculnya aktifitas
maksiat perjudian. Qaidah Usu>l Fiqh juga berbunyi dafu al-mafa>sid
muqaddam ala> jalb al-mana>fi (mencegah kemaksiatan lebih
diutamakan dari pada menarik faidah). Muhammad Akram Laldin, salah
seorang penulis buku Fiqh, telah mencantumkan qaidah ini di dalam
bukunya.210
Tabel 3.3:
Jenis Hukuman dalam Qanun No. 13 Tahun 2003

No
1.

2.

Jarimah
(Tindak Pidana)

Pelaku

Cambuk

Berjudi

Orang

6 12
kali

Penyedia
fasilitas,
penyelenggara,
pelindung, atau

Orang,
badan
hukum, dan
aparat

15-35
juta

209

Kurungan

Denda

Di dalam Pasal 23 dikatakan: Setiap orang yang melanggar ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, diancam dengan uqubat cambuk di depan umum
paling banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit 6 (enam) kali. Lihat Qanun No 13
Tahun 2003 Pasal 23 Ayat (1).
Selanjutnya di dalam ayat (2) dikatakan, Setiap orang atau badan hukum atau
badan usaha Non Instansi Pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 6, dan 7 diancam dengan uqubat atau denda paling banyak Rp.
35.000.000,- (tiga puluh limajuta rupiah), paling sedikit Rp 15.000.000,- (lima belas juta
rupiah). Ayat (3) menyatakan Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5, 6 dan 7 adalah jarimah tazi>r. Denda tersebut akan diserahkan ke Baitul
Mal yang penggunaannya ditetapkan Qanun, sebagaimana dikatakan dalam Pasal 24
bahwa denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) untuk merupakan
penerimaan Daerah dan disetor langsung ke Kas Baital Mal. Lihat Qanun No. 13 Tahun
2003 Pasal 23 Ayat (2) dan (3). Lihat juga Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 27.
210
Muhammad Akram Laldin, Introduction to Shariah and Islamic
Yurisprudence, 112-113.

102
pemberi izin
perjudian

pemerintah

Tabel 3.3 menunjukkan hukuman untuk pelaku maisir hanya


cambuk, antara enam sampai 12 kali. Sedang bagi yang menjadi
penyelenggara, pelindung atau pemberi fasilitas ditetapkan hukuman
denda antara Rp. 15.000.000,-sampai Rp. 35.000.000,- tanpa alternative
penjara atau cambuk.
Komnas Perempuan tentang pelaksanaan syariat Islam di Aceh
pernah mencatat bahwa Qanun maisir ini juga menyatakan uqu>ba>t
(hukuman) bagi penjudi se;ain trerdapat di dalalam Qanun Maisir
memang sudah terdapat di dalam Hukum perundang-undangan RI. Kitab
Hukum Pidana (KUHP) RI juga telah menetapkan ketentuan hukum
bagi tindak pidana ini, namun ketentuan itu tidak dipaparkan lagi di
dalam penelitian ini. Karena konsideran Qanun telah menyebutkan
sejumlah hukum perundang-undanagan RI, termasuk KUHP yang
merupakan hukum pidana positif lainnya yang berlaku di Indonesia.211
Melalui hak otonomi bagi Aceh, konsep hukum pelarangan judi yang
sebelumnya ditangani KUHP (yang banyak mengadopsi hukum
peninggalan kolonial Belanda), sekarang sudah ada kewenangan bagi
putra-putra Indonesia untuk menyusun ketentuan hukum pidana sendiri
yang berupa Qanun Jinayat. Dengan perkataan lain realisasi hak
otonomi bagi Aceh untuk menyusun Qanun merupakan langkah yang
maju bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia.
Dengan perkataan lain, pengqanunan judi telah didukung oleh
sejumlah Hukum perundang-undangan lainnya di Indonesia. Hukum
perundang-undangan RI tetap membuka peluang bagi semua pihak
(terutama para praktisi hukum) untuk dapat memberikan kontribusi bagi
penyempurnaan Qanun, demi pencegahan praktek judi dalam keseharian
masyarakat.
a. Waktu Pelaksanaan Uqubat

211

Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, Analisis


terhadap Qanun No. 12, 13, dan 14 tentang Jinayat, Kertas Kebijakan, 10 Oktober
2005, 8.

103

Sebelum menjelaskan tentang waktu, penting disebutkan di dalam


studi ini tentang tujuan dari pelarangan/penghukuman tindak pidana
maisir tersebut. Dikatakan dalam Pasal 3 Qanun maisir, tujuan larangan
maisir (perjudian) adalah untuk: a. Memelihara dan melindungi harta
benda/kekayaan; b. Mencegah anggota mayarakat melakukan perbuatan
yang mengarah kepada perjudian.212 Perlindungan harta benda (hifz alma>l) merupakan suatu kewajiban yang diperintahkan Islam bagi
umatnya, kerab disebutkan berbarengan dengan pelarangan khamar
yang memfokuskan pada perlindungan akal/mentalitas (hifz} al-aql)
manusia. Oleh karena itu qanun maisir menetapkan hukuman bagi
pelanggar kewajiban ini. Para pakar berbagai ilmu mengakui bahwa
tradisi perjudian pada seseorang merupakan sikap mentalitas buruk bagi
pelakunya.213
Qanun maisir Pasal 5 menyatakan bahwa setiap orang dilarang
melakukan perbuatan maisir. Qanun No. 13 Tahun 2003 menetapkan
hukuman bagi tindak pidana bagi perkara larangan ini dengan hukuman
tazr cambuk bagi penjudi dan denda bagi yang membantu terlaksananya
praktek perjudian di dalam masyarakat Aceh. 214
Tentang barang-barang yang digunakan dalam perjudian, apakah
akan disimpan atau dimusnahkan, dikatakan dalam Pasal 25 bahwa
barang-barang/benda-benda yang digunakan dan/atau diperoleh dari
jarimah maisir dirampas untuk Daerah atau dimusnahkan.215Dalam hal
ini Qanun tidak merincikan secara jelas tentang benda-benda apa yang
dapat dirampas untuk daerah, dan apa-apa yang mesti dimusnahkan.
Barang-barang yang dapat dimusnahkan, Berat kemungkinan, berupa
alat-alat/barang-barang yang digunakan untuk berjudi, sementara jika
berupa uang akan diambil untuk daerah agar dapat dimintakan
pertanggung jawaban dari pelaku perjudian di Mahkamah, sekaligus
dapat menjadi barang bukti.216
212

Qanun No. 13 Tahun 2003 Ayat (3).


M. H. Syed, Human Rights in Islam: the Modern Perspective , 153.
214
Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 5.
215
Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 25.
216
Senada dengan Qanun Pasal 46 Ayat 2 UU No. 8 Tahun 1981 juga
menyatakan bahwa apabila pekara sudah diputus, maka benda yang dikenakan
penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan
tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk
dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika
213

104

Bila ada pelaku perjudian yang meneruskan prakteknya padahal


ia pernah dihukum maka akan dikenakan hukuman lebih berat.
Dinyatakan dalam Pasal 26 bahwa pengulangan pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6 dan 7 uqubatnya dapat
ditambah 1/3 (sepertiga) dari uqbt maksimal.217
Adapun menyangkut dengan kapan uqu>ba>t judi dilaksanakan,
Qanun telah memberikan ketentuan. Waktu penghukuman tindak pidana
judi adalah setelah adanya keputusan hakim untuk melakukan proses
penghukuman. Dinyatakan dalam Pasal 29 bahwa (1) pelaksanaan
uqbt dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan
hukum tetap; dan (2) penundaan pelaksanaan uqbt hanya dapat
dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan Negeri apabila
terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat
keterangan dokter yang berwenang.218
Untuk kesempurnaan penghukuman/pengeksekusian, pihak
Mahkamah Syariyah
juga melibatkan tim medis yang dianggap
memahami kondisi fisik pelaku. Ketentuan ini dinyatakan dalam Pasal
31, apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang membahayakan
terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa
cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.219
b.

Teknis pelaksanaan
Teknis pelaksanaan qanun mengatur prosesi dan teknis
pengeksekusian pelaku yang benar-benar terlibat di dalamnya dan ada
suatu keputusan hakim yang didasari penyelidikan secara matang.
Pelaksanaan pengeksekusian judi, sama halnya dengan pengeksekusian
praktek jinayat lainnya. Hal ini diatur di dalam Bab VIII Pasal 28-31
Qanu ini. Dikatakan dalam Pasal 28 bahwa (1) uqu>ba>t cambuk
dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut
Umum; dan (2) dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang

benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain. Lihat juga
Pasal 1 Angka 16 KUHAP.
217
Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 26.
218
Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 29 Ayat (1) dan (2).
219
Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 31.

105

diatur dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang akan diatur dalam
Qanun tentang hukum formil.220
Menyangkut dengan personel (algojo) yang melakukan eksekusi
dan alat yang digunakan untuk mencambuk juga telah ditetapkan
sebagaimana alat yang digunakan untuk mencambuk pelaku tindak
pidana lainnya selain judi.
c. Tempat eksekusi
Prosesi hukuman diperlihatkan kepada orang banyak. Apakah
diminta atau tidak, masyarakat memiliki kesadaran tentang perlunya
menghadiri dan menyaksikan pengeksekusian suatu tindak pidana dalam
Islam. Fenomena yang terkait dengan ini dinyatakan dalam Pasal 30 Ayat
(1). Dikatakan bahwa uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat yang
dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum
dan dokter yang ditunjuk. Sebagai contoh, fenomena ini pernah
dipraktekkan Mahkamah Kuala Simpang. Mahkamah telah melakukan
eksekusi pencambukan terhadap terhukum di depan halaman Masjid Nur
Hasanah Karang Baru, Aceh Tamiang.221 Mahkamah Syariyah Kuala
Simpang juga pernah melaksanakan eksekusi di depan Kantor Kejari,
Kuala Simpang pada tanggal 28 Oktober 2010. 222
Bagian fisik terhukum yang dapat dekenakan cemeti cambukan,
dikatakan di dalam Ayat (3), yaitu pencambukan dilakukan pada bagian
tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemaluan. Posisi terhukum
di panggung eksekusi, dikatakan di dalam Ayat (5), yakni bahwa
terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa
diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat.223
Terhadap terhukum perempuan, pencambukan dilakukan dalam
posisi duduk dan ditutup kain di atasnya. Khusus bagi wanita yang
sedang hamil Qanun melarang dilakukan pengeksekusian. Di dalam Pasal
30 Ayat (6) dikatakan, pencambukan terhadap perempuan hamil
dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang bersangkutan
220

Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 28-31.


http//www.serambinews.com.news_item.asp,judiachtgh.htm. (diakses 25
Desember 2010).
222
Yu/md, Lagi penjudi dicambuk, Serambi Indonesia, , 1, 29 Oktober 2010
dalam http://aceh.tribunnews.com/news/view/41804/lagi-penjudi-dicambuk (diakses
tanggal 29 Oktober 2010).
223
Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 30 Ayat (1), (3) dan (5).
221

106

melahirkan.224Ketentuan ini mempertimbangkan bahwa ada beberapa


halangan yang dimiliki wanita hamil untuk menerima cambukan.
Halangan ini berupa akibat dari beratnya beban yang dipikul di dalam
kandungannya, dapat mempengaruhi keselamatan dan kesehatan bayi
yang ada di dalam kandungannya, sementra yang bersalah adalah adalah
ibu bayi. Bayi yang berada di dalam kandungan ibunya wajib dijaga jiwa
dan keselamatannya sebagaimana menjaga setiap manusia lain yang tidak
bersakah sebagaimana semestinya, dalam hal ini Qanun mementingkan
pertimbangan yang bersifat kemanusiaan.225
2.

Judi Menurut Fiqh


Pada masa sebelum Islam, perjudian merupakan salah satu dari
banyak perilaku kejahatan yang diwariskan tradisi Arab sebelumnya.
Masyarakat Arab telah terbiasa berjudi dengan pertaruhan tanpa
mempertimbangkan harta dan keluarga (isteri). Dikatakan Ibnu Abbas,
pada masa Jahiliah seseorang kerap bertarung judi dengan lawannya
dengan taruhan harta dan isteri (woman folk, ahl). Siapa saja yang kalah
dengan lawannya, ia harus meninggalkan harta dan isterinya untuk
pemenangnya.226
Setelah kedatangan Islam praktek seperti itu dilarang
(diharamkan).227Islam mengajarkan bahwa usaha judi sebenarnya masuk
ke dalam kategori usaha untuk memperoleh harta secara tidak halal.
Memang pendapat masyhur pakar fiqh tidak memasukkan perkara judi
menjadi perkara jinayat dalam kitab-kitab Fiqh mereka, namun praktek
judi merupakan perilaku usaha masyarakat tertentu yang tergolong ke
dalam salah satu praktek ekonomi yang tidak sah menurut Islam. Praktek
perjudian sering digolongkan ke dalam golongan perbuatan lagw (sia-sia)
224
225

Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 30 Ayat (6)


Al-Qura>n menyatakan:
--:[ ]

). .

Manusia hanya akan menerima balasan terhadap apa yang dilakukannya.


Perbuatannya kelak akan diperlihatkan. (al-Najm [35]: 39-40)
226
Franz Rosenthal, Gambling in Islam (Leiden: E.J. Brill, 1975), 68.
227
Lihat Qs. al-Baqarah [2]: 219; al-Baqarah [2]: 188; dan al-Ma>idah [6]: 9091.

107

karena menghabiskan waktu yang banyak bagi perbuatan yang tidak


memberi faedah. Perilaku negatif ini menimbulkan dosa dan kerugian
duniawi dan ukhrawi bagi pelakunya.
Abdul al-Qadir U<>dah dalam karyanya memisahkan perkara
siba>q
(perlombaan)
dari
perkara
jina>ya>t/h}udu>d.
Beliau
mengistilahkannya dengan al-ala>b al-furusi>yah. Bermain lomba pacuan
kuda (al-ala>b al-furu>si>yah) juga meliputi praktek olah raga lainnya
yang berlaku sampai sekarang. Menurutnya, manfaat olah raga dapat
meningkatkan kekuatan, ketangkasan yang bermanfaat bagi masyarakat
baik di waktu damai maupun waktu perang. Perlomaaan pacuan kuda,
lomba perahu, lomba balap mobil, lomba terbang, dan lain-lain
sebagainya. Juga lomba ketangkasan bermain pedang, pergulatan, tinju
(boxing), lempar lembing, lomba tembak, angkat besi, lomba tarik
tambang, dan renang. 228
Perbedaan antara mana mainan yang dibolehkan/dianjurkan yang
berupa perlumbaan (siba>q) yang berupa lomba pacu kuda (al-ala>b alfaru>siyah) kadang kala sulit dibedakan. Perbedaan ini tergantung kepada
apa yang direncanakan pelakunya tentang ada atau tidaknya
menggunakan taruhan uang/material dalam praktek perlombaan.
Kalaupun menggunakan uang apakah itu merupakan hadiah atau
memang benar-benar taruhan, yakni yang harus dibayar oleh pihak yang
kalah. Sebab fiqh menyatakan bahwa pemberian hadiah bagi pemenang
lomba ada keabsahan hukum dalam Islam.
Tabel 3.4 menunjukkan bahwa keempat madhhab Fiqh sunni
menganggap sesuai dengan Fiqh bila sesorang yang melakukan
perjudiian dihukum dengan penghukuman cambuk sebanyak 6-12 kali.
Pihak yang ikut serta di dalam membantu terselenggaranya tindak pidana
tersebut dikenakan hukuman tazi>r denda.229
228

Abd al-Qadir U<d> ah, al-Tashr` al-Jin al-Isla>mi> Muqrinan bi al- Qnn
al-Wad}i>, 424.
229
Madhhab Hanafi>yah dan Shafiiyah dan H}ana>bilah menyatakan bahwa
hukuman tazi>r jangan menyalahi sebab. H}anafi>yah setuju dengan hukuman cambuk
tidak lebih dari 39 kali. Sedangkan Shafii>yah dan Ha}naq>bilah menyetujui batas
maksimal cambuk tazi>r sebanyak 19 kali. Sedangkan Maliki>yah membolehkan tazi>r
melebihi h}add dengan tinjauan ada kemaslahatan. Lihat Abd al-Rah}man - al Jazi>ri>, alFiqh ala> al- Madha>hib al-Arbaah , Jilid 5, 308. Lihat juga Abdu al-Qadir U<>dah, alTashr al-Jin al-Islm Muqranan bi al-Qnn al-Wad}, 154.

108
Tabel 3.4:
Hukum Jarimah Judi dalam Perspektif Fiqh
Hukuman dan Kesesuaiannya dengan Fiqh

Tazi>r

Tazi>r
Cambuk

Kurungan

Denda

6-12
kali

15-35
juta
rupiah

Ss

Ss

Hanabilah

Penjudi

Tazi>r

Shafiiyah

Pelaku tindak
pidana/jarimah

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Malikiyah

No

Perspektif Fiqh
Hanafiyah

Hukuman

Ss

Penyedia
Fasilitas

Penyelenggara

Sda

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Pelindung

Sda

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Sda

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

4
5

Pemberi Izin

Catatan: Bentuk jarimah: berjudi, menyediakan


melindungi, dan memberikan izin perjudian.

fasilitas,

Mazhab
Lain
nya

menyekenggarakan,

Al-Jaziri> dalam kitabnya al-Fiqh ala> al-Madhha>hib al-Arbaah


mencatat bahwa seorang
penguasa, misalnya, dapat merangsang
pelomba dengan mengatakan: siapa yang menang di antara kalian
berdua akan saya tanggung sekian dana (hadiah).Di antara pihak yang
menjadi petarung juga boleh mengatakan: jika kamu menang dalam
perlombaan ini maka saya akan bayar sekian dana untuk kamu. Yang
tidak boleh mereka katakan kepada yang kalah: jika kamu kalah harus
membayar sekian dana untuk saya. Dengan perkataan lain,
penerimaan/pemberian hadiah untuk merangsang pelomba dibolehkan
dalam hukum Islam.230Namun bila mengarah ke upaya untuk
memperoleh laba dari usaha tersebut, dan ada unsur keterpaksaan, hal ini

230

Abd al-Qadir U<>dah, al-Tashr` al-Jin al-Isla>mi> Muqrinan bi al- Qnn


al- Wad}i>, 425. Lihat juga Abu> Ma>lik Kamal bin al-Sayyid Salim, S}ah}ih} Fiqh alSunnah, H}udu>d, Jinyt dan Diyat, Jual Beli (Terj.), 2-5. Lihat juga Abd al-Rah}ma>n
al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala> al-Madha>hib al-Arbaah, 14.

109

tidak dibolehkan. Apalagi dengan menjadikan usaha (yang berbau judi)


tersebut dengan tujuan agar cepat menjadi kaya.
Perkara pelarangan judi disebutkan disebutkan berbarengan
dengan perkara khamar oleh al-Qura>n. Karena praktek judi kerap
dilakukan berbarengan dengan dengan khamar. Khamar merupakan
minuman yang kerap disuguhkan bagi para penjudi oleh wanita-wanita
jahiliyah. Maka dengan melihat akibat yang ditimbulkan judi, berbagai
tinjauan (seperti pada aspek hukuman tazr yang dijatuhkan kepada
pelakunya), Qanun Aceh telah menggolongkannya ke dalam perkara
jinayat. Pengqanunan judi (bagi suatu masyarakat Islam) tidak terlepas
dari aspek historis (khilafah Islamiyah), karena Qanun bersumber dari
Fiqh sebagaimana diakui Abdul Halim.231
Memang menurut perspektif ekonomi, kadang kala judi kerap
digalakkan oleh pelakunya yang menginginkan cepat menjadi orang
kaya dalam berdikarai, meskipun dalam realita di lapangan kerap terjadi
sebaliknya. Praktek judi kerab bukan menguntungkan pelakunya secara
ekonomi. Bahkan bila orang mengalami kekalahan, ia akan melakukan
pengorbanan sisa hartanya demi ingin mengembalikan harta yang telah
habis di meja judi. Ketika hartanya habis baru ia menyadari
kerugiannya, sehingga bukan hanya kerugian besar secara ekonomi
yang dialaminya, namun juga terhadap dampak psikologis yang
dialaminya, seperti munculnya stress (frustasi) karena kerugian.
Kerugian ini juga menimbulkan kebencian kepada si pemenang yang
telah mengalihkan hartanya menjadi harta si pemenang, tanpa susah
payah. Maka Islam melarang praktek judi yang merupakan salah satu
cara memperoleh harta secara bt}il (tidak halal) itu.
Pelarangan Islam dalam mencari harta dengan cara yang batil,
sebagaimana dinyatakan dalam Qs. al-Baqarah [2] ayat 188:


(:[]).
Wahai orang orang yang beriman janganlah kalian memakan harta
sesame kalian dengan jalan yang batil (tidak hak), dan kalian membawakannya
231

Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia , 72-74.

110
kepada hakim agar kalian dapat memakan sebagian harta manusia dengan
dengan dosa sementara kalian mengetahui (Qs. al-Baqarah [2] ayat 188).

Al-Quran telah menyatakan bahwa praktek usaha judi dalam


bidang perekonomian termasuk cara perolehan harta yang digalakkan
syaitan yang dapat membinasakan seseorang di dunia, dan bahkan di
akhirat kelak.232 Di akhirat orang akan disiksa karena harta haram yang ia
konsumsikan dan belanjakan. Harta tersebut juga menjadi bahan
penyiksa dirinya di neraka.233 Maka Islam mengenakan hukuman bagi
pelaku agar ia jera dan insaf (sadar) dan mencegah orang lain dari
mengikuti seperti yang orang tersebut lakukan.
Fiqh (etika) juga mengatakan bahwa usaha judi sebenarnya
masuk ke dalam praktek memperoleh harta secara curang. Meskipun
pendapat masyhur tidak memasukkan judi menjadi perkara Fiqh
bahkan tidak tidak menetapkan hukuman tertentu bagi pelaku/pelaksana
perjudian, Qanun Aceh telah menggolongkannya ke dalam perkara
jinayat (jarimah) karena berbagai tinjauan (seperti adanya aspek
hukuman tazi>r yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan/jarimah)
sebagaimana uraian di atas. Menurut pandangan Qanun Aceh praktek
judi akan mengakibatkan masyarakat mengalami kebinasaan di dunia,
bahkan akan menghancurkan system perekonomian rumah tangga.234
Nabi Saw mengatakan: sesungguhnya Allah SWT membenci pada dirimu
qi>la wa qa>la (banyak berdebat), banyak bertanya dan membuang-buang
harta.235
Seorang pakar Fiqh, Ibnu Qayyim juga pernah mengatakan
bahwa apabila seseorang melihat orang-orang jahat dan fasiq bermain
catur (shat}ranji) hendaklah seseorang mencegah mereka karena mereka
tidak memahami dan mengalihkan mereka kepada permainan-permainan

232

Qs. al-Midah [6]: 90-91.


Qs. al-Humazah [104]: 1-4.
234
Di dalam sosio-kultural masyarakat juga berkembang pemahaman bahwa
harta yang diperoleh secara haram, sering diistilahkan dengan harta Qarun. Al-Quran
mencotohkan praktek pengumpulan harta secara illegal (haram) pada kisah Qa>ru>n pada
masa Musa AS. Qa>ru>n bersama dengan hartanya ditenggelamkan Allah ke dalam perut
bumi. Lihat Qs. al-Qas}a: 76-78.
235
Al-Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Kairo: al-Fath li ila>m al-Arabi>, 1365 H),
7.
233

111

yang disukai Allah SWT seperti latihan menembak (rima>yah),


perlombaan, pacuan kuda (siba>q), dan yang serupa itu.236
Berdasarkan nas}s} (teks) di atasmeskipun Fiqh Islam tidak
menetapkan hukuman tertentu bagi pelaku maisiralangkah bagusnya
bagi pelaku dikenakan hukuman agar ia tidak mengulangi lagi
perbuatannya dan menakutkan orang lain dari mmengikuti seperti yang
orang tersebut lakukan.
3. Eksekusi Tindak Pidana Judi di Aceh
Dengan berkembangnya dimensi usaha masyarakat dalam
berbagi bentuk dewasa ini, mengakibatkan masyarakat tertentu memilih
dan mencari cara yang paling mudah dalam mencapai kekayaan. Selain
sebagai suatu usaha, oknum tertentu dari masyarakat Aceh juga kerap
melakukan perjudian karena pengaruh keterbatasan ekonomi dalam
membuka usaha yang legal, bahkan juga kerap adanya pengaruh
lingkungan/ajakan kawan. Namun Wilayatul Hisbah sebagaimana
tugasnya yang diatur Qanun tetap menangkap pelaku perjudian, agar
diberikan hukuman. Tugas seperti ini tidak terlepas dari anjuran yang
terkandung dalam Fiqh juga, sebagimana ditulis Abbas Ah}mad
Muh}ammad al-Ba>z dalam kitab Fiqh. 237
Beberapa contoh kasus penegakan uqubat yang terjadi di Aceh
dapat ditelaah dalam pengamatan nyata dan pemberitaan media massa.
Cantoh kasus antara lain, pertama terjadi di Kuala Simpang, dan yang
kedua di Pidie Jaya. Yang pertama, terjadi penghukuman di Aceh
Tamiang terhadap tujuh terdakwa kasus perjudian (maisir) dengan
menggunakan kartu leng dan dua agen toto gelap (togel) di Aceh
Tamiang. Pasca salat Jumat tanggal 23 September 2005, pelaku
236

Kaml Muhammad s, Aqd}yah wa Qud}h fi Rih}b al-Islm (Jeddah:


Mat}bi Dr al-Bild, 1987), 510.
237
Abbas Ah}mad Muh}ammad al-Ba>z, Ah}ka>m al-Ma>l al-H}ara>m wa D}awa>bit}u
al-Intifa> wa al-Tas}arruf bihi fi> al-Fiqh al-Isla>mi> (al-Urdun: Da>r al-Nafa>is, 1998), 62.
Lihat juga Kaml Muhammad sdalam Aqd}yah wa Qud}h fi Rih{b al-Islm,
510yang mengutip h}adith Nabi Saw:


: . :
.

112

dicambuk di depan halaman Masjid Nur Hasanah Karang Baru, Aceh


Tamiang. Para penjudi itu dihukum cambuk rotan sebanyak enam kali,
dan dua penjudi togel di antaranya dicambuk tujuh kali. Sembilan orang
terkait kasus maisir itu sebelumnya dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU)
masing-masing 12 kali cambuk atau sebesar Rp 35 juta perorang. Namun
hakim Mahkamah Syariyah (MS) Kuala Simpang yang menyidang
kasus tersebut memvonis para terdakwa dengan hukuman tujuh kali
dicambuk untuk pemain togel dan enam kali dicambuk untuk pemain
kartu yang di wilayah itu dikenal sebagai permainan kartu leng.
Dikatakan media massa, para terdakwa di depan majelis
Mahkamah Syariyah Kuala Simpang mengakui kesalahannya dan
berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Ketujuh penjudi yang
dicambuk enam kali masing-masing MN, SY, AS, AD, WN, IS dan DI.
Sedangkan yang dicambuk tujuh kali adalah Y dan BH.
Kedua, terjadi di kabupaten Pidie Jaya Prov. Aceh. Bahwa
Kepala seksi penegakan syariat Islam Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol
PP) dan Wilayatul Hisbah (WH) Aceh, Samsuddin, mengatakan lima
terpidana menjalani hukuman cambuk di halaman Mesjid Pante Geulima,
Meureudu, kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh.238 Di antara lima
terpidana itu terdapat tiga terpidana perjudian (maisir) berinisial ZY
(umur 40 tahun), dikenakan hukuman cambuk delapan kali cambukan,
seorang lagi berinisial IT (umur 37 tahun) dan NS (40) dicambuk tujuh
kali. Ketiga warga asal Pidie Jaya itu, sebelumnya divonis Majelis
Hakim Mahkamah Syariah Pidie Jaya, secara sah dan meyakinkan
melanggar qanun No. 13 Tahun 2003 tentang maisir.239
Selain dua kasus tersebut, media massa kerap menampilkan
gambar terhukum seperti gamabar 3. 2.

238

Yu/md, Lagi penjudi dicambuk, Serambi Indonesia, 1, 29 Oktober 2010


dalam http://aceh.tribunnews.com/news/view/41804/lagi-penjudi-dicambuk. Lihat juga
http//www.serambinews.com.news_item.asp,judiachtgh.htm. (diakses 25 Desember
2010).
239
Satroy Bangun , 5 Terpidana dicambuk Waspada, 07 Agustus 2010, 1.

113

Gambar 3.2:
Gambar 3.2 menunjukkan seorang algojo
sedang mengeksekusi cambuk seorang
penjudi/petogel di Langsa. Pencambukan
dilakukan sebanyak enam kali yang digelar
di Lapangan Merdeka Langsa pada 6 Juni
2011 yang digelar oleh Kejaksaan Negeri
(Kejari) Langsa.240

Sejumlah kasus tindak


pidana judi tersebut merupakan sampel kasus yang terjadi pada tahun
2010-2011. Menurut data penelitian Syamsuhadi Irsyad bahwa tahun
2007 Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kota se-Provinsi Aceh telah
menerima kasus judi sebanyak 18 kasus dan memutuskan 13 kasus.
Sedangkan yang mengajukan banding pada tahun itu juga sebanyak 7
kasus dan memutuskan 7 kasus juga. Pada tahun 2008 kasus yang sama
diterima Mahkamah sebanyak 38 kasus dan diputuskan sebanyak 38
kasus juga. Sedangkan yang mengajukan banding yang diterima 2 kasus
dan diputuskan 2 kasus juga.241
Mengingat penghukuman Qanun judi berbentuk tazi>r, yakni
hukuman yang dijatuhkan uli al-amr (pemerintah), dapat dikatakan telah
memiliki landasan fiqhiyah yang mutabar (formal) untuk diterapkan
menjadi suatu hukum pidana di dalam Islam yang diperuntukkan bagi
ummat Islam warga Aceh, atau pihak yang terkait lainnya.242 Dengan
diundangkannya Qanun tentang maisir ini setiap tahun ada terjadi
pelangaran hukum jinayat yang dihukum, dengan harapan bahwa praktek
jinayat semakin lama semakin berkurang dalam kalangan masyarakat.
C. Pelaksanaan Qanun No. 14 Tahun 2003.
240

Hukum Cambuk: Kejari Langsa Eksekusi Terpidana Kasus Togel, 11 Juni


2011 dalam http://wartapedia.com/nasional/hukum-dan-kriminal/3766-hukum-cambukkejari-langsa-eksekusi-terpidana-kasus-togel.html, diakses 1 Juli 2011.
241
Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syari>yah dalam System Peradilan Nasional
, 45
242
Rusjdi Ali Muhammad & Swa, Melanggar Syariat, Non-Muslim Boleh
Pilih Hukuman, Serambi Indonesia, 21 Juni 2011, 2.

114

1.

Uqubat Khalwat Menurut Qanun


Uqubat khalwat yang ditetapkan Qanun No. 14 Tahun 2003
merupakan hasil keputusan majlis hakim di Mahkamah Syariyah,
berdasarkan hukum perundang-undangan yang berlaku yang berupa
Qanun.
Table 3.5 menunjukkan bahwa hukuman untuk pelaku khalwat
ditetapkan bersifat alternative antara cambuk dengan denda. Hukuman
cambuk paling sedikit adalah tiga kali dan paling banyak sembilan kali,
sedang hukuman denda paling sedikit Rp. 2.500.000,- dan paling banyak
Rp. 10.000.000,-. Untuk pemberi fasilitas dan pelindung perbuatan
khalwat juga disediakan hukuman alternative antara penjara dengan
denda. Hukuman penjara ditetapkan antara dua sampai enam bulan,
sedang denda ditetapkan antara Rp 2.500.000,- sampai Rp. 10.000.000,-.
Tabel 3.5:
Jenis Hukuman dalam Qanun No. 14 Tahun 2003

No.

Khlawat
(Mesum)

Pelaku

Pelaku mesum

Orang

Penyedia
fasilitas,
penyelenggara,
pelindung, atau
pemberi izin
khalwat

Orang,
badan
hukum, atau
aparat
pemerintah

Cambuk
3 9 kali

Kurungan

Denda

2,5
10 juta

2 6 bulan

5 15
juta

Tabel di atas mengandung ketentuan Pasal 22 Qanun No. 14


Tahun 2003 tentang khalwat menunjukkan bahwa Qanun menetapkan
ketentuan hukuman baik kepada pelaku maupun orang/badan yang
memfasilitasi terlaksananya praktek khalwat.
a. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penyelengggaraan hukuman merupakan upaya hukum yang
digalakkan dalam pengeksekusian tindak pidana. Hal ini sebagimana
dikatakan di dalam Pasal 27 bahwa: (1) Pelaksanaan uqbt dilakukan
segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap. (2)
Penundaan pelaksanaan uqubat hanya dapat dilakukan berdasarkan

115

penetapan dari Kepala Kejaksaan apabila terdapat hal-hal yang


membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang
berwenang.243Sebelum tiba jadwal, sosialisasi pengeksekusian hukuman
secara langsung dilakukan untuk menjadi pelajaran bagi publik.
Sosialisasi ini sekurang-kurangnya, dilakukan melalui pengumuman loud
speaker di wilayah kemesjidan, tempat terhukum dieksekusi.
Berdasarkan penegasan Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006, maka
yang menjadi tolok ukur pemberlakuan syariat adalah Qanun (Jinayat)
yang masih diberlakukan adalah tiga qanun menyangkut dengan Jinayat
termasuk Qanun No. 14 ini. Maka sejak diberlakukan, Qanun tersebut
berjalan secara implementatif di Aceh, mekipun qanun itu belum
mengikuti keseluruhan ketentuan Fiqh. Pelaku khalwat kadang kala
terjermus ke dalam praktek zina (muh}san dan gairu muh}san), masih juga
dihukum dengan hukuman khalwat dengan 3-9 kali dera oleh Mahkamah
Syariyah, atau diserahkan ke Pengadilan Umum untuk ditangani KUHAP
(hukum nasional RI).
Penanganan demikian merupakan suatu pengaturan kewenangan
pada system peradilan Indonesia menyangkut dengan letak penerapannya
antara mana konsep Qanun yang merujuk kepada konsep Fiqh dan mana
yang merujuk kepada Hukum Nasinal (KUHP) pada pengadilan Umum.
Hal ini disebabkan bahwa dalam proses penangkapan pelaku khalwat,
ada kalanya terdapat pelaku khalwat yang belum tentu adanya perzinaan.
Namun praktek zina biasanya sudah pasti dilakukan secara berkhalwat.
Menurut Fiqh Islam khalwat tanpa zina (hubungan seksual) tidak
dikenakan h}add (hukuman tertentu yang ditetapkan nas}).
Sementara khalwat bila telah masuk ke dalam katagori zina maka
sebenarnya hukuman tidak disamakan dengan hukuman khalwat 3-9 kali
dera, karena Fiqh menetapkan h}add bagi pelakunya. Numun karena
ketentuan dera (cambuk) 100 kali bagi zina gairu muh}sa} n, dan rajam
bagi penzina yang telah kawin belum diqanunkan, maka hukuman sering
dijatuhkan seperti halnya tindak pidana khalwat yang ada dalam qanun
atau merujuk ke Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).244
243

Dikatakan dalam Pasal 1 huruf (o) Qanun No. 14 Tahun 2003, Jaksa adalah
Jaksa Nanggroe Aceh Darussalam yang diberitugas dan wewenang menjalankan tugas
khusus di bidang Syariat Islam. Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 1 huruf (o).
244
Sharia Poice Arrasted for Rape, The Jakarta Post, January 16, 2010,
1.Lihat juga Wahyu Hidayat, WH Amankan Pasangan Mesum, Waspada, 02
Augustus 2010 , 8.

116

Berdasarkan ketentuan-ketentuan jinayat menurut Qanun,


maka jelas terlihat adanya penafsiran yang luas dan berbeda dalam
penjatuhan uqu>ba>t (hukuman) tazi>r bagi pelaku khalwat. Kadang
kala Mahkamah Syariyah/hakim menjatuhkan hukuman yang tidak
tercatum di dalam nas} (al-Quran atau al-Hadith), bahkan tidak
terdapat dalam fiqh Islam yang mutabar/yang dapat dijadikan
rujukan.
Kosekuensi kejahatan yang berhubungan dengan h}add
menurut Fiqh adalah tidak memaafkan hukuman bagi pelaku
kesalahan yang berupa pelanggaran terhadap hak Allah, tanpa
alasan tertentu/ketentuan tertentu yang digariskan shara. Al-Quran
menyatakan bahwa penegakan Hukum Allah bertujuan menjunjung
Agama Allah (rafah fi di>n Allah). 245
Memang Qanun Jinayat Aceh tahun 2003 ini mengamalkan
fiqh dalam konteks otonomi dan dalam legalisasi Negara bangsa,
bukan mengamalkan fiqh secara total sebaimana diamalkan Negaranegara Islam di dunia. Realita ini merupakan konsekwensi dari
ideologi Negara Pancasila, bukan berideologi Islam. Namun peluang
menjalankan Hukum Islam tidak terhalang sama sekali, karena
hukum Perundang-undangan RI telah memberikan celah-celah
untuk pengamalan hukum Islam, sebagaimana tertuang dalam UUD
1945 pasal 29 ayat (1) dan (2), dengan sejumlah hukum perundang
undangan lainnya.246
Sehubungan dengan pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia,
Ahmad Azhar Basyir mengatakan bahwa (memang) hukuman ini
245

Lihat Qs. al-Nu>r [25]: 2 yang artinya:


Janganlah karena kasihan terhadap keduanya (penzina laki-laki dan
perempuan) itu mencegah kalian dari menegakkan (h}add yang ditetapkan) , karena
(penenegakan hukuman) itu untuk menjunjung (perintah) agama Allah, jika kalian
beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan hendaklah pengeksekusian itu disaksikan
segolongan dari orang-orang yang beriman.
246
Urutan Hukum perundang-undangan RI adalah: a. UUD 1945; b. TAP
MPR; c. UU; d. PP; dan Peraturan Daereh. Maka UU yang menyangkut dengan Aceh
seperti: UU 44 Tahun 1999, UU 18 Tahun 2001, dan UU 11 Tahun 2006 berada di
bawah UUD dan TAP MPR dan tidak boleh melampaui keduanya. Namun sesuai
dengan kekhususan yang disahkan untuk Aceh, kedudukan Qanun menjadi setingkat
dengan Peraturan Pemerintah (PP), bukan setingkat Peraturan Daerah (Perda). Lihat
Alyasa Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh:Upaya Penyusunan Fiqh dalam
Negara Bangsa, 34-38.

117

akan membebaskan pelaku kejahatan dari azab Allah di hari


kiamat. Dapat dimengerti, hukuman h}udu>d
adalah perkara
kontroversial di Indonesia, sejak dulu penetapan hukuman bagi
penjahat adalah hukum sekuler, bukan hukum Islam. Lebih jauh,
bahkan dalan Islam otoritas untuk menegakkan hukum rajam
sebagai suatu hukuman yang berlaku di pemerintahan, dalam
kondisi Indonesia tidak akan memungkinkan hal itu. Sesungguhnya
satu di antara persoalan utama adalah dengan menerapkan
hukuman h}udu>d akan mengakibatkan pelanggaran hak-hak asasi
manusia yang tidak dapat dielakkan.
Hal tersebut
menunjukkan adanya pemahaman yang
beragam tentang makna syariat Islam di kalangan umat Islam itu
sendiri. Semua muslim mengakui bahwa syariah adalah hukum
Tuhan (Gods law), tetapi mereka berbeda cara memahaminya, baik
secara umum maupun secara terperinci (in detail).247 Modernists,
traditionalists dan fundamentalists memiliki pemahaman yang
berbeda mengenai Sharia, seiring dengan berbedanya pemikiran
madhhab yang diikuti di kalangan
sarjana-sarjana muslim.
Berbeda negara, berbeda wilayah, berbeda budaya maka berbeda
pula dalam memahami shariah, meskipun semua muslim percaya
bahwa syariat adalah bersumber dari al-Quran dan al-sunnah Nabi
Saw.
b. Teknik Pelaksanaan
Pada lembaran lampiran dari penelitian ini dapat dilihat gambar
seorang pelaku khalwat dieksekuasi di hadapan khalayak ramai. Gambar
itu memperlihatkan seorang alqojo sedang menjatuhkan cambukannya ke
atas punggung orang yang terhukum. Algojo biasanya direkrut dari
personel Wilayatul Hisbah (WH) yang sering dikenal sebagai polisi
syariat. Algojo ini mengayunkan cambukannya setiap kali mendengarkan
suara (aba-aba) dari jaksa yang ditugaskan, bukan melakukan menurut
keinginannya semata-mata. Pencambukan itu juga dilakukan setelah surat
putusan hakim dibacakan di panggung pencambukan itu.
Pelaksanaan hukuman ini sebagaimana ketentuan Bab VII
memuat Ketentuan Uqbt (Mesum). Di dalam Pasal 22 Bab tersebut
dikatakan: (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
247

Wah}bah al-Zuh}aili>, al-Fiqh al- Isla>mi> wa Adillatuhu , Juz I (Damaskus: Da>r


al-Fikr, 1984), 17.

118

dimaksud dalam Pasal 4, diancam dengan uqbt tazi>r berupa


dicambuk paling tinggi 9 (sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali
dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah),
paling sedikit Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Selain itu bagi pelaku yang tidak terlibat langsung dalam praktek
khalwat, di dalam ayat (2) dikatakan, setiap orang yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diancam dengan
uqu>ba>t tazi>r berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan, paling
singkat 2 (dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,(limabelas juta rupiah), paling sedikit Rp 5.000.000,-(lima juta rupiah).
Kesalahan pelaku yang mengakibatkan penghukuman seperti ini adalah
berupa penyediaan fasilitas dan perlindungan bagi terlaksananya praktek
khalwat dalam masyarakat.
Selanjutnya dalam Ayat (3) dikatakan, Pelanggaran terhadap
larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6 adalah jarimah
tazi>r. Selain Pasal 22 yang menetapkan jumlah cambukan/danda bagi
pelaku khalwat, Pasal 23 juga menyatakan: Denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 Ayat (1) dan (2) merupakan peneriman Daerah
dan disetor langsung ke Kas Baital Mal. Ketentuan hukuman menurut
pasal-pasal (provisions) tersebut adalah menurut hukuman tazi>r menurut
tingkat kesalahan dalam kategori khalwat.248
Penggunaan dana akibat pendendaan ini nampaknya Qanun tidak
memaparkan secara rinci dan jelas, karena Baitul Mal merupakan suatu
Lembaga Keuangan Daerah yang membantu berbagai kepentingan Umat.
Pengaturan ini dikhawatirkan terjadinya legalitas perpajakan sebagai kata
lain dari denda. Sedangkan bila dijelaskan secara rinci bagi proses
penegakan hukum, misalnya, maka, berat kemungkinan, akan membawa
dampak positif dari hukuman pendendaan. Memang hukum Islam
membolehkan hukuman tazi>r dalam bentuk denda. Namun keefektifan
penghukuman seperti ini sangat tergantung kepada penguasa/hakim. 249
Penambahan hukuman tetap berlaku bagi pelaku tindak pidana.
Di dalam Pasal 24 dikatakan: Pengulangan pelanggaran terhadap

248

Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 22-23.


Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 22 Ayat (1) sampai (3). Lihat juga
Anwarullah, The Crime Law of Islam (Kuala Lumpur: Pustaka Hayati, 1997), 242.
249

119

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22, uqbt-nya dapat


ditambah 1/3 (sepertiga) dari uqubat maksimal. 250
Fasilitator tindak pidana khalwat juga dikenakan hukuman. Di
dalam Pasal 25 dikatakan, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 5 dan 6: a. apabila dilakukan oleh badan
hukum/badan usaha, maka uqbt-nya dijatuhkan kepada penanggung
jawab. b. apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain
sanksi uqubat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Ayat (1) dan (2)
dapat juga dikenakan uqubat administratif dengan mencabut atau
membatalkan izin usaha yang telah diberikan.251
Dari keseluruhan pasal-pasal (22-25) yang menyangkut dengan
khalwat memang sangat riskan terhadap kefektifan jalannya hukum Islam
di Aceh. Bahkan pelaksanaan Qanun khalwat agak berbeda jauh dari
kaca mata Fiqh. Penghukuman tazi>r dalam perkara khalwat ini lebih
menitik beratkan pada faktor taaqquli (ijtiha>di>) dibandingkan taabbudi
(as}li>). Dalam perkara khalwat ini pihak penyusun qanun nampaknya
belum mencantumkan ketentuan Fiqh yang sebenarnya, yang
menyangkut dengan kategori-kategori kesalahan dan penghukuman.
Berat kemungkinan h{add zina belum mampu ditegakkan di tengah
percaturan hukum Islam pada era Qanun tersebut disahkan.252
c. Izin Imam untuk Pelaksanaan
Bab VIII memuat tentang pelaksanaan uqbt (mesum), di
dalam Pasal 26 dikatakan: (1) Uqbt cambuk dilakukan oleh seorang
petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum; dan (2) Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), Jaksa
Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam
Qanun ini dan/atau ketentuan yang akan diatur dalam Qanun tentang
hukum formil.253Pemerintah juga melibatkan Dokter dalam proses
eksekusi terhukum dalam rangka memantau kondisi terhukum, karena
hukuman dilakukan menyangkut fisik (coporal punishment). Pasal 29
menyatakan bahwa apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang
250

Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 24.


Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 25.
252
Muhammad Akram Laldin, Introduction to Shariah and Islamic
Yurisprudence (Kuala Lumpur; CERT Publication, 2006), 101.
253
Pasal 1 huruf (o) Qanun No. 14 Tahun 2003 menyatakan: Penuntut Umum
adalah jaksa yang diberi tugas dan wewenang khusus untuk melaksanakan penuntutan
di bidang syariat dan melaksanakan penetapan putusan hakim mahkamah.
251

120

membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk,


maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang
memungkinkan.254
Pihak yang terlibat di dalam praktek khalwat juga ada
kemungkinan dilakukan hukuman kurungan. Pasal 30 menyatakan bahwa
pelaksanaan uqbt kurungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
Ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.255
2.

Khalwat Menurut Fiqh


Fiqh Islam tidak membicarakan tentang hukuman tertentu yang
dijatuhkan kepada pelaku khalwat, namun dalam rangka menghindari
pencampuran laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim di tempat
yang sepiyang dikhawatirkan akan terjadinya perzinaanal-Qura>n
telah menyatakan perlunya h}ija>b (pembatas) antara laki-laki dan
perempuan baik di tempat yang sepi maupun di tempat-tempat umum.
Al-Quran mengungkapkan rambu-rambu (petunjuk-petunjuk) yang
terkait dengan hal tersebut yakni berupa: Larangan menampakkan
perhiasan (Qs. al-Sajadah [33]:33); Anjuran memakai kerudung (Qs.
33:59); Anjuran menjaga pandangan (Qs. 30:31); Suruhan meminta izin
masuk ke kamar orang lain (Qs. al-Muminu>n [24]: 58); dan Larangan
berbicara berhadap-hadapan antar laki-laki dan perempuan (Qs. alSajadah [33]: 53). Menyangkut dengan dampak apa yang ditimbulkan
oleh perintah dan larangan bagi seorang muslim/muslimah terhadap
lawan jenisnya telah diberitahukan di dalam kitab fiqh, sehingga umat
Islam menjaga dan mentaati batas-batas hubungan antara seorang lakilaki dan perempuan.256
Dalam menjaga etika Islami tersebut, dalil (nas}s)} yang berupa ayatayat al-Quran dan al-H}adith banyak membahas tentang pelarangan
khalwat dan pendekatan zina. Ada dua H}adith Nabi Saw yang terkutip di
dalam studi ini yang khusus menyinggung tentang khalwat:
Pertama, al-H}adith yang diriwayakan Ibn Abba>s:

254

Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 29.


Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 30.
256
Muhammad Iqbal Siddiqi, The Penal Law of Islam (New Delhi: International
Islamic Publishers, 1994), 17-20.
255

121


( ) :
Dari

Ibnu Abbas ra. Bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:


Hendaklah seorang laki-laki tidak mengasingkan diri di tempat yang
sepi bersama dengan seorang perempuan kecuali ada muhrimnya. (HR.
Bukhari dan Muslim).
Kedua, al-H}adith yang diriwayakan Uqbah bin A<mir:

:

257
( )
Dari Uqbah bin A>mir bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
Jauhilah olehmu dari memasuki (kamar) perempuan. Lalu seorang lakilaki dari golongan Ans}a>r bertanya: bagaimana jika saudara laki-laki
suami? Rasulullah Saw menjawab: Saudara laki-laki suami mematikan.
(HR. Bukhari dan Muslim).
Praktek khalwat kerab dikategorikan ke dalam perkara yang
mendekati zina yang sebenarnya.258 Allah SWT dalam al-Quran
mengatakan:
( :[]

Janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya itu adalah


perbuatan keji dan seburuk-buruk cara. (al-Isra>` [17]: 32)
257

Muhammad al-Lut}fi al-S{ibgh, Tah}rm al-Khulwah bi al-Marah alAjnabi>yah wa al-Ikhtila>t} al-Mustahtir (Riyad}: Idrt al-Buh}u>th al-Ilmyah wa al-Ift
wa al-Dawah wa al-Irshd, 1411 H), 123.
258
Muhammad al-Lut}fi> al-Siba>g, Tahri>m al-Khalwah bi al-Marah alAjnabi>yah wa al-Ikhtila>t} al-Mustahtir , 22.

122

3.

Eksekusi Pelaku Khalwat di Aceh


Wilayatul Hisbah kerap ditunjuk hakim sebagai algojo di
dalam penghukuman tazir bagi pelanggar Qanun khalwat. Sebagaimana
tugas Wilayutul Hisbah secara historis dan praktis (fiqhi>yah),259
Wilayatul Hisbah dalam Qanun ditugaskan untuk melakukan
penyelidikan, jika menemukan pelaku khalwat di dalam masyarakat,
melaporkan kepada penyidik untuk ditindak lanjuti. Wilayatul Hisbah
dapat mengajukan gugatan bila hasil laporannya tidak ditindak lanjuti.
Hasil penyidikan tim penyidik kadang kala tersangka dilepaskan jika
tidak bersalah, atau ditahan bila terlibat praktek khalwat untuk menerima
proses perkara lebih lanjut. Bila seseorang ternyata terlibat dalam
pelanggaran Qanun maka hakim akan mengambil keputusan
penghukuman yang dikenal dengan nama uqubat.
Di beritakan Media Massa, Wakil Komandan Operasi WH
Aceh Safruddin
mengatakan bahwa
Wilayatul Hisbah (polisi
syariat/WH) Provinsi Aceh mengamankan sepasang insan berlainan jenis
karena diduga berbuat mesum dan melanggar qanun syariat Islam. Kedua
pelaku itu diamankan untuk menghindari amukan warga, karena yang
menangkap mereka adalah warga masyarakat.
Pasangan berinisial MY (umur 51 tahun) dan Mai (umur 31
tahun) ditangkap warga saat berduaan di sebuah gubuk persawahan
Gampong (desa) Lam Lubuk, Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh
besar.
Setelah ditangkap diserahkan ke polsek Ingin Jaya untuk
menghindari amukan massa, kemudian mereka (warga) menghubungi
Satuan Polisi Pamongpraja (PP) dan WH Aceh untuk menyerahkan
kedua tersangka. Dikatakan, dalam pemeriksaan kedua tersangka
mengakui perbuatannya. Mai, tersangka perempuan, kata Safruddin,
mengaku melakukan hubungan itu atas perintah mantan suaminya
berinisial S. (Sebenarnya) Mai dan S telah bercerai, namun S kemudian
menyuruh bekas isterinya itu berhubungan dengan MY. S percaya kalau
mantan isterinya itu sudah berhubungan dengan lelaki lain, dia bisa
259

Iin Solikhin, Wilayah Hisbah dalam Tinjauan Historis Pemerintahan


Islam, Jurnal Studi Islam dan Budaya, Vol 3 No 1 Jan-Jun 2005, 1. Lihat juga Kaml
Muhammad `s, Aqd}yah wa Qud}h fi Rih{b al-Islm, 510. Lihat juga

Sulaiman Abdurrahman Al-Hageel, Human Rights in Islam and Refutation of


Miscoseived Allegations Assosiated with These Rights, 56.

123

kembali sebagai suami Mai Gambar 3.3 menunjukkan seorang


sedang
mengeksekusi
yang sah. Petugas WH algojo
mencari S untuk meminta cambuk seorang pelaku khalwat
di Pidie Jaya. Pencambukan
keterangan atas tuduhan itu.
Menurut Safruddin, dilangsungkan di halaman Mesjid
Chik di tanggal 6 Agustus
kedua insan berlainan jenis itu Tgk 261
melanggar Qanun No. 14 2010.
Tahun
2003
tentang
khalwat/mesum dan terancam dikenai hukuman cambuk. Namun kita
masih membuka peluang agar kadua insan ini diselesaikan secara
pembinaan, ujar dia. Pasca ditangkap bermesum, pasangan non muhrim
memilih tinggal di Kantor Satpol PP dan WH karena takut kembali ke
kampungnya. 260
Selain itu media massa juga kerap menampilkan gambar pelaku
khalwat yang dieksekusi seperti terlihat pada gambar 3.3.
Gambar 3.3:

Sejumlah kasus tindak pidana khalwat tersebut, merupakan


contoh-contoh kasus yang terjadi pada tahun 2010. Syamsuhadi Irsyad
mencatat bahwa pada tahun 2007 Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kota
se-Prov. Aceh telah menerima kasus khalwat sebanyak 27 kasus dan
memutuskan 20 kasus. Sedangkan yang mengajukan banding pada tahun
itu juga sebanyak 2 kasus dan memutuskan 2 kasus juga. Pada tahun
260

Wahyu Hidayat, WH Amankan Pasangan Mesum, Waspada, 02


Augustus 2010 , 8.
261
Http://www.aceh.tribune.com/news/view/36721/pijay-cambuk-limapelanggar-syariat, diakses tanggal 7 Agustus 2010).

124

2008 kasus yang sama diterima sebanyak 9 kasus dan diputuskan


sebanyak 9 kasus juga. Sedangkan yang mengajukan banding nihil (tidak
ada).262 Keseluruhan data terkait dengn kasus jinayat Aceh di dalam dua
tahun itu diperlihatkan di dalam tabel 3.6 dan 3.7.
Tabel 3.6:
Perkara [Jinayat] di Mahkamah Syariyah Kabupaten/ Kota se-Provinsi NAD Tahun 2007
dan Tahun 2008 yang Menyangkut dengan Jenis Perkara dan Jumlah Perkara.
No.

Jenis perkara

Tahun 2007
Diterima

a.
b.
c

Khamar/Min. Keras

13
18
27
58

Maisir/Perjudian
Khalwat
Jumlah

Tahun 2008

Diputuskan
[14] 13
13
20
47

Diterima
8
38
9
55

Diputuskan
8
38
9
55

Keterangan:
Selama tahun 2007 perkara jinayah Mahkamah Syariyah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang diterima sebanyak 58 perkara. Sedangkan kasus dapat diputuskan
cuma 47 perkara. Sementara tahun 2008 sebanyak 55 kasus, dan dapat diputuskan
semuanya.
Tabel 3.7:
Perkara Banding [Jinayat] Mahkamah Syariyah Provinsi NAD Tahun 2007 dan Tahun
2008.
No.

Jenis perkara

Tahun 2007
Diterima

a.
b.
c

Khamar/Min. Keras
Maisir/Perjudian
Khalwat
Jumlah

2
7
2
11

Diputuskan
2
7
2
11

Tahun 2008
Diterima
2
2

Diputuskan
2
2

Keterangan:

262

Syamsuhadi
Nasional, 45.s

Irsyad,

Mahkamah Syari>yah dalam System Peradilan

125
Selama tahun 2007 perkara banding jinayah Mahkamah Syariyah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang diterima sebanyak 11 perkara. Semua kasus tersebut dapat diputuskan pada
tahun itu juga. Demikian juga yang terjadi pada tahun 2008.263

Keseluruhan data sampel kasus (termasuk yang dicatat


Syamsuhadi), baik hukuman h}add maupun hukuman tazi>r ` (bagi
pelaku pelanggaran jinayah) yang telah diatur oleh Qanun-qanun
tersebut, dikukuhkan lagi di dalam Bab Peralihan UU No. 11 Tahun
2006. Di dalam UU ini dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan
yang berlaku bagi Aceh (yang berupa Qanun-qanun) dianggap sah untuk
diberlakukan, kecuali peraturan-perundang-undangan yang jelas dihapus
oleh UU (yang baru) tersebut. Selain itu, upaya-upaya untuk
penyempurnaan qanun-qanun tersebut terus ditingkatkan, seperti
penyusunan rancangan Kompilasi Hukum Jinayat (KHJ) pada tahun
2008.264 Hukum perundang-undangan lainnya yang berlaku di Indonesia
juga tidak melakukan pembatalan.265
Khusus menyangkut dengan pelanggaran Qanun No. 14 Tahun
2003, tabel 3.8 menunjukkan bahwa keempat madhhab Fiqh sunni
menganggap sesuai dengan Fiqh bila sesorang yang melakukan khalwat
dihukum dengan tazi>r cambuk sebanyak 3-9 kali, atau menanggung
denda 2,5-10 juta.266 Pihak yang ikut serta di dalam membantu
terselenggaranya praktek khalwat seperti menyediakan fasilitas,
melindungi, mempromosikan dan lain-lain dikenakan hukuman tazi>r
antara denda dan penjara. Karena menurut Fiqh hukuman cambuk,
denda, dan penjara termasuk ke dalam hukuman yang dapat diterapkan
pemerintah (uli al-amr). Dalam hal ini Qanun merupakan aturan yang
diterapkan pemerintah (Aceh-Indonesia).267
263

Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syariyah dalam System Peradilan


Nasional, 45.
264
AlyasaAbu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh: Upaya Penyusunan
Fiqh dalam Negara Bangsa, 106-168.
265

Bab XL Pasal 269 Ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 menyatakan:


Peraturan perundang-undangan yang ada pada saat Undang-Undang ini
diundangkan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
266
Abdu al-Qadir U<>dah, al-Tashr al-Jin al-Islm Muqranan bi alQnn al-Wad}, 154.
267
Lihat Abd al-Rah}man - al Jazi>ri>, al-Fiqh ala> al- Madha>hib al-Arbaah ,
Jilid 5, 307-309

126
Table 3.8:
Hukum Jarimah Mesum dalam Perspektif Fiqh:
Hukuman dan Kesesuaiannya dengan HAM

Pelindung

Promotor

Pemberi
Izin

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Tazi>r

Tazi>r

Kurungan

Denda

3-9 kali

3 bulan1 tahun
Sda
Sda

Sda

2,5 10
juta
5 15
juta

Shafiiyah

Ss

Tazi>r

Cambuk

Malikiyah

Mazhab
Lainnya

Perspektif HAM
Hanabilah

Hukuman
Hanafiayah

No

Pelaku
tindak
tindak
pidana/jarimah
Pelaku
mesum
Penyedia
fasilitas

Catatan: Bentuk jarimah: melakukan khalwat/mesum, menyediakan fasilitas, dan


melindungi

127

BAB

PELAKSANAAN
HUKUM JINAYAT DI
ACEH
DALAM PERSPEKTIF
HAM

A.

Pelaksanaan Qanun No. 12 Tahun 2003


1. Qanun dan Hukum Perundang-undangan RI lainnya
Telah dikatakan sebelumnya, Qanun (bylaw) Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, yang dapat mengenyampingkan peraturan perundangundangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex
generalis. Mahkamah Agung Republik Indonesia memiliki wewenang
untuk
melakukan uji materiil terhadap Qanun Aceh. Dalam
merealisasikan hak otonomi khusus sebagaimana dimaksudkan dalam
UU No. 18 Tahun 2001, pemerintah Pusat berkewajiban memfasilitasi
dan mengoptimalkan perannya dalam rangka percepatan pelaksanaan
otonomi khusus yang diberikan kepada Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. 268
Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan
Sejenisnya secara substantif tidak memiliki perbedaaan dengan produk
perundang-undangan lainnya. Pengaturan Qanun hanya menunjukkan
adanya kekhususan yang disahkan untuk Aceh di kancah dunia hukum
Indonesia. Namun Qanun tetap melandaskan/mempertimbangkan produk
perundang-undangan lain dalam konsiderannya. Hal tersebut merupakan
suatu logika hukum dan etika yuridis dalam penyusunan suatu hukum
268

UU No. 11 Tahun 2006 Bab XVII Pasal 125, 126, dan 127. Lihat juga
Keputusan Mahkamah Agung RI No. KMA/070/SK/X/2004 tanggal 6 Oktober 2004
tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah
Syariyah di Prov. NAD.

128

perundang-undangan. Qanun ini memuat ketentuan hukum bagi tindak


pidana khamar menunurut hukum Islam. Gus Dur, mantan presiden RI
yang keempat pernah menyarankan agar syariat Islam yang diatur dalam
Qanun Aceh melandaskan al-Qura>n dan al-H{adi>th pada posisi utama
dalam konsideran pembuatan Qanunnya, bukan UUD 1945. Pada tanggal
9 Desember 2009 Gus Durdalam pidatonya di Mesjid Raya
Baiturrahman Banada Acehmendeklarasikan Syariat Islam di
Nanggroe Aceh Darussalam. Pada era presiden Megawati Sukarnoputri
(2001-2004) juga di Aceh dibentuk polisi syariat (sharia police force)
yang belum ada di provinsi lain di Indonesia.269
Konsideran Qanun menunjukkan bahwa secara materil
mempertimbangkan produk perundang-undangan lainnya, terutama
dalam konteks yang sama yakni mengatur perkara hukum yang
menyangkut dengan pelarangan khamar dan penghukumannya.
Keputusan dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 1997,
misalnya, telah membahas tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban,
Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di Daerah. Dilihat dari
sudut pendelegasian kewenangan penyusunan perundang-undangan, telah
mengkonfirmasi bahwa qanun khamar tidak mengalami kontradiksi
dengan undang-undang lainnya. Secara umum, materi muatan Qanun
Khamar sama persis dengan konten Keppres No. 3 Tahun 1997.
Perbedaan yang paling prinsipil terletak pada lingkup larangannya.
Keppres tersebut menyebutkan bahwa memproduksi dan
mengedarkan, sementara mengkonsumsi masih diperbolehkan dengan
syarat-syarat tertentu. Namun Larangan mengkosumsi juga tidak berlaku
di tempat-tempat khusus, seperti hotel, bar, dan lain sebagainya. Keppres
hanya dengan tegas melarang memperjual belikan minuman beralkohol
kepada siapa saja yang masih berusia di bawah dua puluh lima tahun.
Keppres tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada larangan
meminum alkohol, sejauh mengikuti rambu-rambu yang telah
ditetapkan.270
Dikatakan di dalam Pasal 5 Keppres No. 3 Tahun 1997, dilarang
mengedarkan dan/atau menjual minuman beralkohol sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2) kepada yang belum berusia 25 (dua
269

Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQuen, Islam and Human Rights in


Practice Prospectives across the Ummah, 146.
270
Keppres No. 3 Tahun 1997.

129

puluh lima) tahun. Sementara qanun tidak demikian. Qanun Khamar,


secara tegas melarang kepada siapa saja (subyek hukum qanun, terutama
umat Islam yang berdomisili di Provinsi NAD) untuk meminum
minuman beralkohol. Dua tipe hukum perundang-undangan RI ini
menunjukkan adanya perbedaan antara mana yang melandaskan hukum
syari (ah}ka>m al-shari>ah) dan mana yang dilatar belakangi ah}ka>m alqawa>ni>n (hasil buatan aqal manusia semata).271
Realita menunjukkan, Qanun Khamar tidak hanya melarang
mengkonsumsi, badan hukum atau badan usaha juga dilarang
memproduksi, menyediakan, menjual, memasukkan, dan mengedarkan.
Hal ini disebabkan oleh bahwasanya Qanun lebih mendasarkan diri pada
syariat Islam yang melarang khamar kepada siapa saja, tanpa
pengecualian.272
2. Tujuan dan Uqubat (Punishment)
Bab IV penelitian ini tidak lagi menguraikan conto-contoh kasus
yang terkait dengan pelanggaran Qanun di Aceh secara rinci. Bahkan
tentang ketentuan uqu>ba>t (punishment) yang ditetapkan Qanun tentang
Jinayat juga telah diuraikan di Bab III penelitian ini. Bab IV hanya
menerangkan bagaimana perspektif HAM terhadap realita uqubat
tersebut di atas. Di dalam Bab II telah diterangkan tentang pengaturan
Qanun itu sendiri, baik dari sejarah perumusan sampai kepada rumusan
Qanun itu sendiri.273
Memang aspek HAM meninjau bahwa praktek khamar dalam
konsepsi Qanun, wacana yang mendukung Qanun dan yang kontradiktif
271

Abdu al-Qadir U<dah, al-Tashr` al-Jin al-Isla>mi> Muqrinan bi al- Qnn


al-Wad}i>, 183.
272
Abdu al-Rah}man al-Jazi>ri>, Kita>b al-Fiqh ala> al-Madha>hib al-Arbaah, 7.
273

pasal 1 Qanun No. 12 Tahun 2003 mengimplikasikan bahwa khamar dan


sejenisnya adalah minuman yang memabukkan, apabila dikonsumsi dapat
menyebabkan terganggu kesehatan, kesadaran dan daya pikir; yang dilarang
mengkonsumsi, memproduksi, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan,
mengemas, dan/atau mengubah bentuk menjadi minuman khamar dan sejenisnya; Juga
dilarang mengedarkan, mengangkut, memasukkan, memperdagangkan, memasarkan,
menyimpan, dan menimbun, dan cara-cara lain yang menyebabkan terjadinya praktek
meminum khamar dalam masyrakat.

130

lebih menonjol pada aspek penghukuman (uqu>ba>t). Oleh karena itu yang
perlu ditekankan dalam pembahasan ini adalah aspek uqubat (hukuman)
yang ditimbulkan karena pelanggaran Qanun ini. Maka di samping
membahas tentang perspektif HAM terhadap khamar dan uqu>ba>t-nya,
juga menyinggung tentang perundang-undangan lainnnya (selain Qanun)
yang berlaku di Indonesia yang membahas tentang khamar, sehingga
akan jelas bagaimana aplikasi qanun dalam tatanan hukum di Indonesia.
Dengan demikian semakin menampakkan fenomena yuridis pelaksanaan
Qanun Jinayat ini dalam menelaah sudut pandang konsep HAM,
khususnya tentang khamar yang sedang dibahas sekarang ini.
Penghukuman h}add yang diterapkan Qanun terhadap peminum
khamar merupakan aplikasi suatu perintah/kewajiaban dalam Islam bagi
penganutnya. Diakui M. H. Syed, seorang pakar HAM dalam Islam,
bahwa khamar (alcohol) merupakan larangan yang tidak dapat dielakkan
(undeniably).
Masyarakat
Islam
tidak
pernah
menyetujui
penggunaannnya.274 Senada dengan M. H. Syed, Qanun Aceh
menetapkan penghukuman bagi peminum khamar. Penetapan ini agar
memperoleh dua keuntungan, yaitu (1) pahala bila dapat disesuaikan
dengan ketentuan di samping merupakan jalan bertaubat bagi orang
muslim yang terlanjur meminum khamar;275 dan (2) agar masyarakat
muslim dapat terhindar dari perilaku negative dalam kebiasaan sikap
dalam meminum khamar dan akibat negative lain yang bakal ditimbulkan
dari eksistensi substansi khamar di dalam raga dan jiwa seseorang
muslim.276Walaupun demikian, sebagaimana diakui Joseph Schacht,
bahwa hukuman h}add khamar tidak diterapkan tanpa bukti yang dapat
277
diterima.
Telah disinggung pada Bab I penelitian ini bahwa tujuan
pengqanunan hukum (jinayat) ini agar menimbukan perasaan takut
terhadap hukuman bagi orang untuk mengkonsumsikannya baik
hukuman di duniamelalui penerapan Qanun ini, maupun di akhirat
bagi orang-orang yang beriman kepada hari Akhir. Amir Muallimin,
274

M. H. Syed, Human Rights in Islam: the Modern Perspective, 154.


Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, S}ah}ih} Fiqh al-Sunnah, H}udu>d,
Jinyt dan Diyat, Jual Beli, 28.
276
Sulaiman Abdurrahman Al Hageel, Human Rights in Islam and Refutation
of Misconseived Allegations Assosiated with These Rights,156.
277
Joseph Schacht, an Introduction to Islamic Law, 179.
275

131

yang pendapatnya didukung ketua Mahkamah Konstitusi RI (Mohd.


Mahfud MD), dalam bukunya Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam
menulis bahwa motif utama hukum ialah sensitif terhadap sanksi dan
untuk menciptakan kepatuhan di kalangan masyarakat.278
3. Pandangan HAM Universal
Hubungan Qanun dengan HAM, bila ditinjau dari substansi
pelarangan dan penyelidikan pelaku, maka aspek HAM dan Qanun No.
12 Tahun 2003 tidak nampak adanya kontradiksi di antara keduanya.
Hanya dari sudut pandang seseorang saja yang menunjukkan bahwa
Qanun
bertentangan dengan konsep HAM yang formalyang
dipedomani dunia, yakni yang berlaku bagi dunia (non-muslim dan
muslim), terutama menyangkut dengan hak kebebasan individu dalam
mengkonsumsikan minuman khamar. Namun dalam konteks global,
dunia menganggap bahwa khamar (sebagai minuman yang mengandung
alkohol merupakan minuman yang membahayakan bagi kesehatan fisik
dan mental manusia), bahkan sangat berbahaya bila dikonsumsikan anakanak.279
Melihat pada sudut bahaya yang ditimbulkan khamar, dunia
menyetujui tentang perlunya pengaturan dan pelarangan kminuman
beralkohol pada kondisi dan situasi tertentu. Gorgia, misalnya, telah
mengundangkan peraturan tentang zat (substance) yang memabukkkan.
Dikatakan Sue Titus Reid, meskipun banyak negara menganggap sah
(decriminalize) mabuk-mabukan di muka public, banyak orang yang
masuk penjara karena kejahatan ini. Penyalah gunaan zat (alkohol atau
obat-obatan lainnya) menjadi bahan diskusi dunia apakah itu merupakan
penyakit atau kebebasan kehendak (free will).280

278

Amir Muallimin, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Jakarta: UII Press,


1999), 105.
279
Lihat Konvensi (HAM) tentang Hak Anak (Convention on the Rights of the
Child) yang telah diratifikasi dengan Kepres 36 Tahun 1990 ( Protokol Tambahan
Konvensi Hak Anak mengenai Perdagangan Anak, prostitusi Anak, dan Pornografi
Anak).
280
Sue Titus Reid, Criminal Law (Buston, Mc Graw Hill, 2000), 292.

132

Masyarakat dunia telah menyadari mengapa Islam menghukum


dera (cambuk) terhadap orang yang melakukan tindak pidana khamar
ini. Maka selain melihat konsep HAM secara global, dalam
mengetengahkan qanun Aceh dalam perspektif HAM juga terlebih
dahulu mengetengahkan
HAM menurut konteks keindonesiaan.
Keterkaitan qanun Aceh dengan negara Indonesia disebabkan Aceh
masih tergabung ke dalam wilayah (territorial) Indonesiayang menurut
anggapan dunia kerab melakukan pelanggaran HAM juga.281
Sejak pengesahan UU tentang HAM tahun 1999, bagi Indonesia,
Komnas HAM RI merupakan salah satu badan yang mengawasi sejauh
mana hak fundamental manusia dijamin di dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, sebagimana disebutkan di dalam Undang-Undang
Dasar 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Komisi ini terbentuk pada era kontemporer ini yakni masa periode
kepresidenan yang ke-3, B.J. Habibie. Sebelumnya, Indonesia tidak
(banyak) menandatangani kesepakatan HAM dengan PBB.
Menandatangani atau tidak, itu merupakan win-win solution bagi
kepentingan politik Indonesia.282
Selain aspek uqu>ba>t, fakta argumentatif menunjukkan bahwa
kandungan Qanun banyak mempertimbangkan aspek Hak-hak Asasi
manusia. Realita ini teraplikasi dalam rentetan pasal-pasal Qanun yang
terkait/terimplikasi dalam perkara-perkara HAM.283Oleh karena itu,

281

Negaranegara di dunia yang masih memiliki warna hitam karena


pelagggaran HAM adalah Chechnya, Rusia; Myanmar (Burma); North Korea;
Peshawar, Pakistan; Jaffna Peninsula, Srilanka; Indonesia, Papua, dan Eritrea.
Lihat juga Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh; Problem, Solusi
dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di NAD, 43.
282
Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
183.
283
Pertimbangan qanun terhadap HAM terdapat dalam bunyi Pasal 17 Qanun
No. 12 Tahun 2003:
(1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, Pejabat Wilayatul Hisbah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) Pasal16 yang mengetahui pelaku pelanggaran terhadap
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai Pasal 8, menyampaikan
laporan secara tertulis kepada penyidik.

133

seiring pertumbuhan nuansa global terhadap aplikasi dimensi hukum


maka perkembangan hukum Islam akan memiliki peranjakan dinamis
dari masa ke masa. Pantauan kaca mata hukum yang berasal dari internal
dan eksternal membuat implementasi hukum Islam yang bersumber dari
hasil interpretasi Fiqh dan Qanun akan membawa efek pada kemajuan
hukum Islam di dunia, terutama pada perkembangan penafsiran
(penggalian) hukum Islam jinayah dari berbagai kitab Fiqh dalam dunia
Islam yang sampai pada zaman kontemporer ini redup akibat dampak
kolonialisasi Eropa terhadap dunia timur dalam kurun waktu yang sangat
lama.284
Qanun, sebagaimana Hukum dan Peraturan Perundang-undangan
lainnya mengimplikasikan nilai-nilai keadilan yang berdasarkan adopsiadopsi dari berbagai sumber (termasuk nilai-nilai yang terkandung dalam
konsep HAM Eropa). Qanun telah melandaskan diri pada konsep Islam
yang membuka peluang untuk mengadopsi nilai-nilai keadilan dan
kemanusiaan, termasuk yang diungkapkan The Universal Declaration of
Human Rights (UDHR) 1948 itu. Dikatakan oleh Ali Ali Mans}u>r bahwa
pengaruh asimilasi budaya antara budaya Islam dan budaya Kristen
setelah
perang Salib memunculkan perkembangan pemikiran
Barat/Eropa tentang hak-hak Asasi manusia. Umat Islam telah
memperkenalkan Hak-hak asasi Manusia kepada masyarakat Eropa
melalui penaklukan Andalus setelah Abad-abad Pertengahan.285
Dalam Islam perkara HAM bukan merupakan perkara baru. HAM
bukan lahir pada saat dunia mendeklarasikan HAM tahun 1948.286
(2) Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul hisbah dapat
memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum
menyerahkan laporannya kepada penyidik.
(3) Pejabat Wilayatul Hisbah wajib menyampaikan laporan kepada penyidik tentang
telah dilakukan peringatan dan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pertimbangan pada aspek HAM juga terdapat pada Pasal 19 Qanun tersebut,
sebagaimana bunyinya:Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan praperadilan
kepada Mahkamah apabila laporannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 17
tidak ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah setelah jangka waktu 2
(dua) bulan sejak laporan diterima penyidik. Lihat Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 1719.
284
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 16.
285
Ali Ali Man}su>r, Muqa>rana>t baina al-Shari>ah al-Isla>mi>yah wa al-Qawa>ni>n
alWad}i>yah (Bairur: Da>r al-Fath li al-T{aba>ah wa al-Nashr, 1980), 171.
286
M. H. Syed, Human Rights in Islam: the Modern Perspective, 20-31.

134

Dengan perkataan lain bahwa Islam dapat mengambil peraturan-perturan


yang humanis dari pihak eksternal Islam, asal tidak mengubah keyakinan
tentang aqidah Islam semata. Sikap toleransi seperti ini telah terjadi sejak
zaman Nabi Saw sebagaimana dikisahkan dalam Qs. al-Ka>firu>n Ayat 17.287Nabi Saw telah mengajarkan kebebasan beragama (religious leberty)
dan kebebasan beribadah (freedom of worship) bagi manusia jauh
sebelum presiden Roosevelt kumandangkan, yangkemudiandiadopsi
Majlis PBB menjadi Pasal 18 UDHR 1948.288
Fenomena gagasan yang menunjukkan bahwa Qanun memiliki
pandangan yang sama dengan konsep HAM/ The Universal Declaration
of Human Rights 1948 didapati dalam kandungan Pasal 11 Ayat (1),
Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana berhak untuk
dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum
dalam suatu pengadilan terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan
yang diperlukan untuk pembelaannya. Di dalam Ayat (2) dikatakan juga
bahwa tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran
hukum karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu
pelanggaran hukum menurut undang-undang nasional atau internasional,
ketika perbuatan tersebut dilakukan.289 Maka dengan mempertimbangkan
HAM, Qanun ini mengatur proses peradilan tersangka pelanggar hukum
sebagaimana termaktub di dalam Pasal 17, 18 dan 32 Qanun ini. 290
Alyasa Abu Bakar, seorang pakar hukum Islam Aceh
mengatakan,
kalau pelaksanaannya (Qanun) tidak cocok harus
diselesaikan, artinya kalau tidak Islamnya salah kita pahami, makna
287

Qs. al-Ka>firun: 1-7.


Nazila Ghanea, Alan Stephens and Raphael Walden, Does God Believe in
Human Rights?: Studies on Religion, Secular Beliefs and Human Rights (Boston:
Martinus Nijhoff Publishers, 2007), 10.
289
Pasal 11 Ayat (1) dan (2) UDHR 1948.
290
Qanun Aceh tentang jinayat hanya menangani tiga aspek penegakan Hukum
Pidana Islam (Jinayat). Qanun Aceh belum memasukkan qis}a>s} (hukuman balasan) pada
tindak pidana pembunuhan dan pelukaan dengan sengaja, diyat (denda berat dan ringan
bagi pembunuhan tidak sengaja dan seperti sengaja), dan h}udu>d (bagi zina>, sirqah, dan
qaz}af), dll. Penghukuman terhadap peminum khamarpelaku perjudian dan pelaku
khalwatadalah hukuman alternatif yang menurut pertimbangan pihak legislatif dan
eksekutif Aceh tidak bertentangan dengan HAM. Dikatakan Alyasa Abu Bakar, jika
ada hal-hal yang kurang cocok perlu diselesaikan/disesuaikan oleh pihak yang yang
berwenang/uli al-amri.
288

135

HAM-nya salah dijelaskan. Tidak mungkin penerapan syariat Islam


bertentangan dengan HAM. Penerapan syariat Islam di Aceh tidak
mencontoh Malaysia, Afghanistan, dan berbagai Negara-negara Islam
lainnya. Tapi Aceh memiliki model sendiri dan itu tidak bisa
dilaksanakan dalam waktu cepat. Jadi apa pun kekurangan dalam
pelaksanaannya merupakan tahap try and error (coba dan salah) untuk
diperbaiki. Dalam hal ini Alyasa menyangkal kalangangan yang
mengatakan bahwa hukum jinayat yang berlaku di Aceh, berat
kemungkinan, dengan mencontoh Malaisia, Afganistan, dan Negaranegar Islam Lainnyasebagaimana dikatakan Masykuri Abdillah291
Alyasa, yang membantu proses pelaksanaan syariat Islam di
Aceh pada masa Gubernur Abdullah Puteh (2000-2004), setuju asalkan
pelaksanaan syariat Islam di Aceh tidak merujuk ke belakang. Tapi
penerapan syariat Islam yang diterapkan tetap sesuai hingga 20 tahun ke
depan. Alyasa mengakui sejak pertama sekali penerapan syariat Islam
disahkan dan diatur dalam Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 untuk
proses hukum pelanggaran pelaku judi, khamar, dan khalwat, masih
terdapat kekurangan. 292
Selain Alyasa, Muslim Ibrahim, ketua Majlis Permusyawaratan
Ulama (MPU) Aceh juga mengatakan, bahwa ada empat Qanun yang
perlu disempurnakan sejak dideklarasikannya Syariat Islam di Aceh pada
tanggal 1 Muharram 1432 H.
Memang, pemerintah Aceh sudah menerbitkan empat qanun
terkait syariat Islam, yakni Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang
Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Akidah, Ibadah, dan Syiar Islam.
Kemudian Qanun No. 12 Tentang khamar (minuman yang
memabukkan), Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Perjudian, dan Qanun
No. 14 Tahun 2003 tentang khalwat (mesum).293Muslim Ibrahim dalam
komentarnya tersebut bukan dalam kapasitas pembahasan tentang
penerapan Qanun yang terkait dengan HAM namun lebih mengikat pada
aspek Fiqh Islam. Komentar ini diucapakan dalam sebuah Muzakarah
291

Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariat Islam dan HAM, Dampak
pada Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan non-Muslim,
214
292
Alyasa Abu Bakar, Syariat Islam Jangan Bertentangan dengan HAM,
Serambi Indonesia, 10 Juni 2010, 3.
293
MPU, Qanun Syariat Perlu Disempurnakan, Serambi Indonesia, 1
Desember 2010, 1.

136

Ulama se-Aceh yang dihadiri perwakilan 23 kabupaten tanggal 30


September 2010 di Banda Aceh. Kesamaan pandangan Muslim Ibrahim
dengan Alyasa hanya pada perlunya penyempurnaan Qanun-qanun
tersebut, sehingga dalam proses penyempurnaannya tidak mengabaikan
Fiqh, dan tidak mengabaikan HAM.
Penganut Hak Asasi Manusia mengakui bahwa hak-hak manusia
merupakan hak yang dibawa sejak lahir, yang terkandung di dalam model
persamaan yang universal. Hak-hak semacam ini dapat berada dalam
norma-norma moralitas manusia sebagaimana suatu norma moral yang
didukung oleh alasan yang kuat yaitu hak-hak yang sah baik di level
hukum nasional maupun di dalam hukum Internasional (international
law). Islam telah menamakan kodrat manusia yang terkandung nilai-nilai
moralitas di dalamnya dengan sebutan al-fit}rah. Maka bagaimanapun
tidak ada konsensus (dunia) yang berkaitan dengan alam (manusia) yang
tepat dari apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dihargai sebagai
hak asasi manusia pada perasaan yang ada (terdahulu), dan konsep yang
abstrak dari hak manusia yang menjadi subjek perdebatan dan kritikan
filosofis lanjutan.294
Dikatakan aktifis HAM dunia, Elaine Pearson, bahwa badan
HAM yang dipimpinnya melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan
hukum yang terkait dengan pelanggaran HAM di dunia. Dalam
peranannya sebagai Wakil ditrektur Human Rigths Watch (HRW) untuk
Asia, ia mengatakan juga bahwa badan tersebut bersikap netral terhadap
pelaksanaan syriat Islam di Aceh. Menurutnya HRW tidak mempunyai
posisi pada syariah, kecuali bila bertentangan dengan HAM yang
dilindungi Undang-undang dan berbagai Undang-undang yang
diratifikasi Indonesia.295 Tanggapan Elaine Pearson ini menunjukkan
bahwa hukum HAM sudah berlaku bagi Aceh-Indonesia, terutama terkait
dengan kesepakatan-kesepakatan HAM yang telah diratifikasi Indonesia.
Dengan perkataan lain, konsep Hak-hak Asasi Manusia tidak
berhenti pada wilayah dan periode tertentu dalam sejarah Hak-hak Asasi
Manusia. Konsep tersebut terus berkembang secara dinamis menurut
294

Qs. al-Ru>m [31]:30. Lihat juga http://www/UDHR/Human_rights.htm


(diakses tanggal 17 Desember 2010).
295
Asrori S. Karni, Hukum dan Kriminalitas; Sisi Gelap Penegakan
Qanun Syariah, Gatra. Com. Nomor 5, tanggal 9 Desember 2010, 1, dalam
http://www.gatra.com/artikel.php?id=143697 (diakses tanggal 15 Januari 2011).

137

perubahan sosial di dalam dimensi ruang dan waktu. Konsep hak asasi
manusia modern (tersebut) dikembangkan setelah adanya malapetaka
perang dunia ke dua (the Second World War), khususnya respon terhadap
holokus ( pembunuhan massal/holocaust), yang mencapai puncak pada
adopsinya oleh Pernyataan Sejagat Hak-hak asasi Manusia ( the Universal
Declaration of Human Rights) oleh Majlis Umum PBB (the United Nations
General Assembly) pada tahun 1948. Maka frase human rights
merupakan landasan relatif modern dari konsep modern yang dapat
dijejaki melalui sejarah filosofis dan konsep-konsep hukum kebebasan
dan hak alamiah yang berkembang sejak masa berdirinya Negara-negara
kota Yunani kuno (the city states of Classical Greece) dan perkembangan
hukum Romawi (Roman Law). 296
Nuansa HAM dewasa ini menunjukkan bahwa konsep DUHAM
inilah yang membawa dampak pada pelaksanaan penegakan HAM bagi
zaman kontemporer ini, meskipun sejak waktu dideklarasikan, sudah ada
perdebatan-perdebatan mengenai konsep HAM ini. Perdebatan itu
melahirkan dua konsep sikap dunia, yaitu pertama Radical Cultural
relativism, yang berarti nilai-nilai budayalah yang dijadikan pijakan
pedoman bagi penentuan Hak Asasi Manusia; kedua adalah Individual
Cultural Universalism yang berarti individulah yang berhak menentukan
sikap tentang haknya. Dua paham hak asasi ini terlihat pada komentarkomentar tokoh dunia dalam menanggapi The Universal Declaration of
Human Rights 1948.
Lee Kuan Yew, mantan Perdana Meteri Singapore, mengatakan
bahwa nilai-nilai Asia memiliki perbedaan sifgnifikan dengan nilai-nlai
Barat termasuk nilai-nilai loyalitas dan kebebasan pribadi demi untuk
stabilitas sosial dan kemakmuran. Karena itu pemerintah otoriter adalah
lebih cocok di Asia dari pada demokrasi. Karena adanya perbedaan nilai
tersebut, ia menolak UDHR 1948 itu.Tanggapan demikian dapat dilihat
pada ungkapan:
Cultural relativism is a self-detonating position; if
cultural relativism is true, then universalism must also be true.
Relativistic arguments tend to neglect the fact that modern human
rights are new to all cultures, dating back no further than the
296

Ali A`li Mans}u>r, Muqa>rana>t baina al-Shari>ah al-Isla>mi>yah wa al-Qawa>ni>n


al-Wad}i>yah, 167-168.

138

UDHR in 1948. They also don't account for the fact that the
UDHR was drafted by people from many different cultures and
traditions, including a US Roman Catholic, a Chinese Confucian
philosopher, a French zionist and a representative from the Arab
League, amongst others, and drew upon advice from thinkers
such as Mahatma Gandhi. 297

Mantan perdana menteri Malaysia, Mahatir Muhammad juga


menyepakati pandangan (view) Lee Kuan Yew tersebut. Adanya
perbedaan pandangannya tentang DUHAM dapat dilihat dalam ungkapan
berikut:

Although the argument between universalism and


relativism is far from complete, it is an academic discussion in
that all international human rights instruments adhere to the
principle that human rights are universally applicable. The 2005
World Summit reaffirmed the international community's
adherence to this principle. 298

Di zaman modern para penganut HAM itu menjadi pelopor


utama perdebatan hak assasi manusia menyangkut konsep pencerahan
dari hak alamiah manusia. Konsep ini sebagaimana dikembangkan oleh
figur-figur seperti John Locke dan Immanuel Kant dan melalui ranah
politik pada the United States Bill of Rights dan pernyataan tentang hak
dari manusia dan warga negara (the Declaration of the Rights of Man and of
299
the Citizen) pada abad ke-17.
297

http:/www/ /UDHR/Human_rights. htm (diakses tanggal 7 Desember

298

http://www /UDHR/Human_rights. htm (diakses tanggal 7 Desember

2010).
2010).

299

R. J. Vincent, Human Rights and International Relations (Cambridge:


Cambridge University Press, 2001), 25.

139

Tendensi konsep HAM kontemporer dapat dibaca pada


pembukaan Pembukaan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia
(DUHAM) 1948 mengatakan bahwa Deklarasi Universal Hak-hak Asasi
Manusia muncul dengan menimbang bahwa pengakuan atas martabat
alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga
manusia merupakan dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di
dunia. Mengabaikan dan memandang rendah hak asasi manusia juga
telah mengakibatkan tindakan biadab yang membuat hati nurani umat
manusia menjadi marah. Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia
juga dilatarbelakangi keinginan untuk memunculkan sebuah dunia di
mana manusia akan menikmati kebebasan berbicara dan kepercayaan dan
kebebasan dari ketakutan. Maka dengan pencetusan Deklarasi Universal
Hak-hak Asasi Manusia, apa yang diinginkan telah diproklamasikan
sebagai aspirasi tertinggi rakyat biasa.
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia tersebut
merupakan satu standar umum keberhasilan untuk semua bangsa dan
semua negara, untuk mengakhiri perselisihan. Setiap individu dan
setiap organ masyarakat, yang menjaga Deklarasi ini terus-menerus
dalam pikiran, akan berusaha dengan jalan mengajar dalam proses
pendidikan untuk mempromosikan penghormatan terhadap hak-hak
dan kebebasan dengan langkah-langkah progresif, yang berjalan dalam
ruang lingkup nasional dan internasional, dengan menjamin pengakuan
secara universal dan efektif dengan penuh tanggung jawab, terutama bagi
rakyat Negara Anggota sendiri dan di antara bangsa-bangsa wilayah
(regional) yang berada di bawah yurisdiksi mereka.300
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia telah dilengkapi
dengan sejumlah treaty (perjanjian) dan covenants (kesepakatan) dan
instrument pelengkapnyayang mesti ditaati oleh Negara anggota/pihak
yang mengikat perjanjian dan kesepakatan. Salah satu Negara anggota
yang menandatangani kesepakatan, Indonesia telah terikat dengan

300

Preamble (pembukaan) UDHR 1948.

140

sejumlah treaty, covenants, dan instrument tersebut yang telah disekati


bersama Negara-negara PBB lainnya di dunia.301
Mohd. Mahfud MD, ketua Mahkamah Konstitusi RI,dengan
mengutip dari Sumaryo Suryokusumomengatakan bahwa penanggung
jawab utama realisasi konsep HAM dunia, Majlis Umum PBB hanya
menghimbau agar anggota PBB meratifikasi atau tidak meratifikasi
perjanjian internasional. Jika melakukan ratifikasi, maka kepentingan
nasional tetap diletakkan sebagai pertimbangan utamanya. 302Dengan
perkataan lain dapat dipahami juga bahwa konsep HAM PBB tidak perlu
didewa-dewakan oleh pihak-pihak tertentu yang menghalangi penegakan
hukum Islam bagi penganut-penganutnya di Indonesia, karena alasan
HAM.
Di dalam karyanya Membangun Politik Hukum, Menegakkan
Konstitusi, Mohd. Mahfud juga menulis bahwa jauh sebelum UDHR
1948, konstitusi RI telah memuat konsep HAM. Preamble UUD 1945
yang berbunyi: bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Di dalam
alinea keempat UUD 1954 ditekankan pentingnya HAM, seperti
melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, ketuhanan
yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil yang beradap, kerakyatan
(umumnya diterjemahkan dengan demokrasi sebagai hak politik,
sebagaimana dalam ICCPR). Demikian juga tentang keadilan sosial.
Pasal 27, 28, 29, dan Pasal 31 UUD 1945 juga memuat konsep-konsep
HAM,303jauh sebelum penandatanganan kesepakatan macam-macam
covenants HAM yang telah disepakati Indonesia bersama PBB,
sebagaimana diterangkan di atas.

301

Martino Sardi, Macam-Macam Hak-hak Asasi Manusia, Komnas HAM,


14 Mei 2010, 1.
302

Ratifikasi adalah pengadopsian konvensi/ kesepakatan hukum internasional


ke dalam sistem hukum suatu negara.
303

Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,


200 dan 203. Lihat juga Redaksi Bukune, UUD 1945 dan Perubahannya (Jakarta:
Bukune, 2010), 1.

141

Di antara kesepakatan-kesepakatan HAM tersebut, yang sangat


rentan dengan aplikasi qanun jinayat Aceh-Indonesia adalah ICCPR,
CEDAW dan CAT.
a. Pandangan ICCPR
Telah dijelaskan di atas, Qanun No. 12 Tahun 2003 merupakan
hasil interpretasi konsep hukum Islam. Qanun yang dicetuskan
Pemerimtah Daerah Acehuntuk pengimplementasian syariat Islam ini
, memiliki sangkut-paut dengan International Covenants on Civil and
Politics Rights (ICCPR). Penyesuaian dengan Kovenan HAM (ICCPR)
yang telah disepakati Indonesia, semuanya dapat diselaraskan dengan
Islam dan Qanun menurut sudut pandang HAM, karena International
Covenants on Civil and Politics Rights diperuntukkan bagi semua
individu di dunia yang terikat dengan kesepakatan, tanpa membedakan
agama, ras, bangsa, bahasa, dan aliansi politik. International Covenants
on Civil and Politics Rights yang merupakan turunan UDHR 1948 yang
menjabarkan konsep hak sipil sebagaimana tertera dalam Pasal 18, 19,
dan 30 The Universal Declaration of Human Rightsyang masih
diperdebatkan pakar Islam. 304 Pasal-pasal ini sejak awal memerlukan
pertimbangan dan tinjauan kembali dari pakar-pakar hukum Islam dan
Qanun Aceh untuk dapat mengambil sikap sepakat. Bila ada sudut
kontradiktif dengan DUHAM, hukum cambuk mereka selaraskan dengan
konsep HAM Islami sebgaimana diterangkan di atas.
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) pertama
kali disahkan tanggal 19 Desember 1966, dan mulai berlaku pada tanggal
23 Maret 1976 di Indonesia. Perjanjian ini juga dijelaskan dan
menjelaskan hak-hak yang tercantum dalam The Universal Declaration
of Human Rights, juga berhubungan dengan hak baru. Hak yang
dilindungi oleh ICCPR bisa dikategorikan sebagai hak-hak melindungi
kesucian hidup, melindungi hak-hak orang yang dituduh dan penjahat,
hak mobilitas, dan hak-hak sipil. Menyangkut dengan Hak-hak sipil ia
termasuk kebebasan berpikir dan berekspresi.
Salah satu butir International Covenants on Civil and Politics
Rights (yakni di dalam Pasal 7) dikatakan, Tidak seorangpun dapat
dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat. Perangkat intenasional di
304

Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQuen, Islam and Human Rights in


Practice Prospectives across the Ummah, 57-58, dan 152.

142

bidang HAM yang bersifat sangat penting ini, menetapkan bahwa hak
tersebut merupakan hak fundamental yang tidak boleh dikurangi dengan
alasan apapun (non deroglabed rights). Juga dikatakan dalam Pasal 10
Ayat (1) bahwa setiap orang yang dirampas kemerdekaannya wajib
diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang
melekat pada diri manusia tersebut. Kedua butir International Covenants
on Civil and Politics Rights kerab dikaitkan dengan hukuman jinayat
ditetapkan dalam Islam.
Selain itu, di dalam penjelasan tentang kesepakatan tentang
perlawanan terhadap penyiksaan juga dikatakan bahwa Deklarasi tentang
Perlindungan dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang
Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat (1975) yang
ditetapkan oleh Majelis Umum dalam resolusi 3452 pada 9 Desember
1975, Pasal 1 menjelaskan istilah penyiksaan sebagai: setiap
tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk menyebabkan rasa sakit
atau penderitaan yang hebat baik secara fisik maupun mental pada
seseorang oleh atau atas anjuran seorang pejabat publik, dengan maksud
untuk mendapatkan informasi atau pengakuan darinya atau dari orang
ketiga, untuk menghukumnya atas tindakan yang sudah dilakukan atau
yang diduga sudah dilakukannya, atau untuk mengintimidasi orang
tersebut atau orang lain.305
Penyiksaan yang dimaksudkan tersebut tidak termasuk rasa sakit
atau penderitaan akibat tindakan yang disengaja maupun tidak atas dasar
hukum seperti Standar Minimum Peraturan bagi Perlakuan terhadap
Tahanan. Pasal 2 menyatakan bahwa Penyiksaan terdiri dari segala
bentuk perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan
merendahkan martabat baik yang sengaja maupun tidak. Selanjutnya
Pasal 3 dari Deklarasi menyatakan bahwa tidak ada pengecualian apapun
seperti misalnya keadaan perang, ketidakstabilan politik internal atau
keadaan darurat publik lainnya yang bisa dianggap sebagai justifikasi
penyiksaan dan bentuk perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak
manusiawi dan merendahkan martabat. 306
305

Lihat Resolusi (Majlis Umum) PBB No. 3452 Pasal 1.


Lihat Penjelasan Kovenan tentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia
yang disetujui oleh Majelis Umum pada 9 Desember 1975. Lihat juga ICCPR Pasal 7
dan 10.
306

143

Pemerintah RI dengan berbagai pertimbangan pada prinsipprinsip hak mendasar manusia yang tertuang dalam konsep International
Covenants on Civil and Politics Rights tersebut, telah menandatantangi
kesepakan HAM dengan PBB dalam bentuk The Covenants (kesepakatan)
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) pada tanggal 19
Desember 1996. Pemerintah juga telah meratifikasikannya ke dalam UU
No. 12 Tahun 2005.307 Ada empat pertimbangan utama Indonesia
melakukan kesepakatan:308
1) Pertimbangan pertama
Pokok-pokok pikiran yang mendorong lahirnya konvensi, adalah
faktor penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam,
tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia masih terus terjadi
di berbagai negara dan kawasan dunia, yang diakui secara luas akan
dapat merapuhkan sendi-sendi tegaknya masyarakat yang tertib, teratur,
dan berbudaya. Dalam rangka menegakkan sendi-sendi masyarakat
demikian itu, seluruh masyarakat internasional bertekad bulat melarang
dan mencegah segala bentuk tindak penyiksaan, baik jasmaniah maupun
rohaniah. Masyarakat internasional sepakat untuk melakukan pelarangan
dan pencegahan terhadap tindakan penyiksaan ini dalam suatu wadah
perangkat internasional yang mengikat semua Negara Pihak secara
hukum.
2) Pertimbangan kedua
Mengingat yang menjadi alasan Indonesia menjadi Negara
pihak adalah: (1) Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa
Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan
hukum nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti
tercermin dalam Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Asas ini
merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia tertekad untuk
mencegah dan melarang segala bentuk penyiksaan, sesuai dengan
Konvensi ini; (2) dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan
Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia pada dasarnya telah menetapkan
peraturan perundang-undangan yang langsung mengatur pencegahan dan
307

Syaldi Sahude, Instrumen HAM Internasional yang Telah Diratifikasi


Indonesia, (Artikel) Fact Sheet, Komnas HAM dan Berbagai Sumber Lainnya , pada 8
Mei 2009, (diakses tanggal 12 Desember 2010).
308
http://www1.umn.edu/humanrts/instree/cairodeclaration.html(diakses
tanggal 7 Desember 2010).

144

pelarangan, segala bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi dan


merendahkan martabat manusia. Namun perundang-undangan itu karena
belum sepenuhnya sesuai dengan Konvensi, masih perlu disempurnakan;
Penyempurnaan perundang-undangan nasional tersebut, akan
meningkatkan perlindungan hukum secara lebih efektif, sehingga akan
lebih menjamin hak-hak setiap warga negara bebas dari penyiksaan dan
perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat manusia, demi tercapainya suatu masyarakat
Indonesia yang tertib, teratur, dan berbudaya; (3) suatu masyarakat
Indonesia yang tertib, teratur, dan berbudaya akan mampu mewujudkan
upaya bersama untuk memelihara perdamaian, ketertiban umum, dan
kemakmuran dunia serta melestarikan peradaban umat manusia; (4)
Pengesahan dan pelaksanaan isi Konvensi secara bertanggungjawab
menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam upaya pemajuan dan
perlindungan HAM, khususnya hak bebas dari penyiksaan. Hak ini juga
akan lebih meningkatkan citra positif Indonesia di dunia internasional
dan memantapkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap
Indonesia.
3) Pertimbangan ketiga
Yang menjadi pokok-pokok konvensi (ICCPR) adalah: (1)
Konvensi menentang penyiksaan terdiri atas pembukuan dengan 6
paragraf dan batang tubuh dengan 3 bab yang terdiri atas 33 pasal.
Pembukaan meletakkan dasar-dasar dan tujuan Konvensi. Dalam
konsideran secara tegas dinyatakan bahwa tujuan Konvensi ini adalah
lebih mengefektifkan perjuangan di seluruh dunia dalam menentang
penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi, atau merendahkan martabat manusia;309 (2) Bab I (Pasal 116) memuat ketentuan-ketentuan pokok yang mengatur definisi tentang
penyiksaan dan kewajiban Negara Pihak untuk mencegah dan melarang
penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi, atau merendahkan martabat manusia; (3) Bab II (Pasal 1724) mengatur ketentuan mengenai Komite Menentang Penyiksaan
309

Having regard also to the Declaration on the Protection of All Persons from
Being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment, adopted by the General Assembly on 9 December 1975 (resolution 3452
(XXX)

145

(Committee Against Torture) dan tugas serta kewenangannya dalam


melakukan pemantauan atas pelaksanaan Konvensi; (4) Bab III (Pasal
25-33) merupakan ketentuan penutup yang memuat hal-hal yang
berkaitan dengan mulai berlakunya konvensi, perubahan, pensyaratan
(reservation), ratifikasi dan aksesi, pengunduran diri serta mekanisme
penyelesalan perselisihan antar Negara Pihak. Fenomena seperti ini juga
pernah disinggung Mohd. Mahfud MD.310
4) Pertimbangan keempat
Konvensi ini menyangkut dengan: (1) hak hidup di Pasal 1 Ayat
b; (2) keadilan di Pasal 1 Ayat b; (3) laranganan pemaksaan agama di
Pasal 10 Ayat (a); (4) Pasal 15 Ayat (a) dan (b) tentang harta; (4) Hak
pemimpin dan dipimpin sama di pasal 19 ayat a, b, c, d; (5) Pasal 20 ,
larangan penyiksaan; (6) Pasal 24, semua kebebasan harus sesuai syariat;
(6) Larangan menyandera di Pasal 21; dan (7) Hanya syariat Islam yang
dapat menafsirkan fasal ini (Pasal 25 CDHR).311
Dikatakan (Iben), pasca peratifikasian itu, banyak Perda yang
bertentangan dengan Kovenan Sipil dan Politik sebagaimana telah
diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005, termasuk Qanun Jinayah di
Acehyang memperkenalkan hukuman yang lebih berat daripada yang
berlaku pada saat tindak pidana tersebut dilakukan. 312

310

Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,

204
311

http://www1.umn.edu/humanrts/instree/cairodeclaration.html (diakses
tanggal 7 Desember 2010).
312
Lihat Iben, Catatan Akhir Tahun Hak Asasi Manusia, Komnas
HAM, 12 Agustus 2009, 6. Lihat juga Martino Sardi, Macam-Macam Hak-hak Asasi
Manusia, Komnas HAM, 14 Mei 2010, 1. Lihat juga Syaldi Sahude , Instrumen
HAM Internasional yang Telah Diratifikasi Indonesia, (Artikel) Fact Sheet, Komnas
HAM dan Berbagai Sumber Lainnya, 8 Mei 2009 (diakses tanggal 12 Desember 2010).
Sementara Masudi mengatakan, meskipun hukuman badan (h}udu}d)
terhadap tindakan kriminal (jari>mah) telah dibahas secara teoritis oleh pakar Fiqh
muslim Indonesiaberdasarkan penafsiran terhadap al-Quran dan h}adith, di dalam
prakteknya, ia tidak diaplikasikan di Indonesia, semenjak Negara tidak menyatakan
h}udu>d ini sebagai bagian dari hukum Islam, atau shariah. Namun, Negara
menggunakan undang-undang sekuler. Sarjana Muslim Indonesia seperti Masykuri
Abdillah tidak setuju tujuh kata dari Piagam Jakarta: Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya dikembalikan. Oleh karena itu, bukan

146

Beda dengan Iben, Shahram


Akbarzadeh and Benjamin
MacQuen di dalm bukunya menulis bahwa dalam penyepakatan
International Covenants on Civil and Politics Rights, Deklarasi Kairo
ikut dijadikan pertimbangan oleh Indonesia untuk penyepakatan. Maka
penenegakan hukum cambuk yang tertera di dalam Qanun jinayat, tidak
harus dengan serta merta disalahkan dalam penerapannya di dalam
masyarakat.313 Beberapa hukum perundang-undangan lainnya juga telah
dijadikan rujukan oleh qanun. UU No. 12 Tahun 2005 bukanlah satusatunya hukum yang berkenaan dengan HAM bila ditinjau kompleksitas
pemahaman HAM itu sendiri di dalam masyarakat Indonesia dan Asia,
apalagi International Covenants on Civil and Politics Rights yang
diratifikasi tersebut masih dipahami beragam oleh pakar HAM dan
pakar hukum.
Ann Elizabeth Mayer, seorang pakar HAM dan hukum Islam
dalam Islam and Human Rights Tradition and Politicsmengatakan
bahwa sesuai dengan International Covenants on Civil and Politics
Rights, tidak ada Undang-undang shariah tentang hukum jinayat yang
secara formal dimasukkan ke dalam Undang-undang Nasional Indonesia.
Juga Undang-undang Indonesia tentang Hak-hak Asasi Manusia tidak
mengatakan sesuatu tentang perkara krusial ini. Bahkan International
Covenants on Civil and Politics Rights mempersembahkan hanya
beberapa ciri dari hak-hak baru dan pengawasan prosedural dalam Pasal
9 dan 14 menyangkut perkara hukum pidana. Ungkapan Ann Elizabeth
Mayer tersebut dapat dipahami bahwa penghukuman yang diatur Qanun
jinayat Aceh bukan pelangggran HAM yang dimaksudkan International
Covenants on Civil and Politics Rights. Mayer mengatakan:

hanya potong tangan bagi pencuri yang dilarang, namun juga rajam bagi penzina dan
hukuman mati bagi pelangggar hukum/ murtad. Lihat Ahmad Azhar Basyir, Ikhtisar
Fikih Jinayat (Jogjakarta: UII Press, 2000).76. Lihat juga Masudi, Islam dan Hak-hak
Reproduksi Perempuan, 189-190.
313
Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQuen, Islam and Human Rights in
Practice Prospectives across the Ummah, 144.

147

(Accordingly, no rulings of the sharah on criminal law are formally


included in the national law of Indonesia. Nor does the Indonesian
Law of Human Rights say anything about this crucial subject. Even
the ICCPR presents only a few features of the extensive rights and
procedural safeguards in the area of criminal procedure in articles
9314 and 14).315

314

Article 9 (of ICCPR):

(1) Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be subjected
to arbitrary arrest or detention. No one shall be deprived of his liberty except on
such grounds and in accordance with such procedure as are established by law.
(2) Anyone who is arrested shall be informed, at the time of arrest, of the reasons for
his arrest and shall be promptly informed of any charges against him.
(3) Anyone arrested or detained on a criminal charge shall be brought promptly before
a judge or other officer authorized by law to exercise judicial power and shall be
entitled to trial within a reasonable time or to release. It shall not be the general rule
that persons awaiting trial shall be detained in custody, but release may be subject
to guarantees to appear for trial, at any other stage of the judicial proceedings, and,
should occasion arise, for execution of the judgement.
(4) Anyone who is deprived of his liberty by arrest or detention shall be entitled to take
proceedings before a court, in order that that court may decide without delay on the
lawfulness of his detention and order his release if the detention is not lawful.
(5) Anyone who has been the victim of unlawful arrest or detention shall have an
enforceable right to compensation.
315

Article 14:

(1) All persons shall be equal before the courts and tribunals. In the determination of
any criminal charge against him, or of his rights and obligations in a suit at law,
everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent
and impartial tribunal established by law. The press and the public may be excluded
from all or part of a trial for reasons of morals, public order (ordre public) or
national security in a democratic society, or when the interest of the private lives of
the parties so requires, or to the extent strictly necessary in the opinion of the court
in special circumstances where publicity would prejudice the interests of justice;
but any judgement rendered in a criminal case or in a suit at law shall be made
public except where the interest of juvenile persons otherwise requires or the
proceedings concern matrimonial disputes or the guardianship of children.
(2) Everyone charged with a criminal offence shall have the right to be presumed
innocent until proved guilty according to law.

148

Beda dengan Mayer, uqu>ba>t Qanun menurut Komnas HAM RI


bertentangan dengan International Covenants on Civil and Politics
Rights (kesepakatan tentang hak-hak sipil), yang di dalam salah satu
pasalnya (Pasal 7) dikatakan: Tidak seorangpun dapat dikenai
penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat. Khususnya, tidak seorangpun
dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa
persetujuannya. Dikatakan di dalam Pasal 10 Ayat (1) bahwa setiap
orang yang dirampas kemerdekaannya wajib diperlakukan secara
manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri
manusia tersebut. Dalam hal ini jelas terdapat perbedaan penafsiran
(3) In the determination of any criminal charge against him, everyone shall be entitled
to the following minimum guarantees, in full equality: (a) To be informed promptly
and in detail in a language which he understands of the nature and cause of the
charge against him; (b) To have adequate time and facilities for the preparation of
his defence and to communicate with counsel of his own choosing; (c) To be tried
without undue delay; (d) To be tried in his presence, and to defend himself in
person or through legal assistance of his own choosing; to be informed, if he does
not have legal assistance, of this right; and to have legal assistance assigned to him,
in any case where the interests of justice so require, and without payment by him in
any such case if he does not have sufficient means to pay for it; (e) To examine, or
have examined, the witnesses against him and to obtain the attendance and
examination of witnesses on his behalf under the same conditions as witnesses
against him; (f) To have the free assistance of an interpreter if he cannot understand
or speak the language used in court; (g) Not to be compelled to testify against
himself or to confess guilt.
(4) In the case of juvenile persons, the procedure shall be such as will take account of
their age and the desirability of promoting their rehabilitation.
(5) Everyone convicted of a crime shall have the right to his conviction and sentence
being reviewed by a higher tribunal according to law.
(6) When a person has by a final decision been convicted of a criminal offence and
when subsequently his conviction has been reversed or he has been pardoned on the
ground that a new or newly discovered fact shows conclusively that there has been
a miscarriage of justice, the person who has suffered punishment as a result of such
conviction shall be compensated according to law, unless it is proved that the nondisclosure of the unknown fact in time is wholly or partly attributable to him.
(7) No one shall be liable to be tried or punished again for an offence for which he has
already been finally convicted or acquitted in accordance with the law and penal
procedure of each country.

149

tentang pasal 7 yang dimiliki Mayer dan Komnas HAM RI. Pemahaman
keduanya tentang Pasal 7 tersebut bahwa sama-sama mengakui
pelanggaran HAM bila hukuman dijatuhkan atas manusia yang tidak
melakukan tindak pidana/kesalahan, termasuk tidak meminum
khamar.316
Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim dalam buku mereka
Syariat Islam dan HAM, Dampak pada Perda Syariah terhadap
Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan non-Muslim telah mengutip
beberapa pandangan pakar HAM muslim dalam menanggapi perkara
HAM. Abdullahi Ahmed A. An-Naim, misalnya, menawarkan teknik
penafsiran (Fiqh) yang disebut Evolusi Syariah. Menurutnya,
bagaimanapun hukum Islam harus dibuat fleksibel sebagaimana yang
berlaku pada era Islam periode Mekkah. A. An-Naim juga menawarkan
prinsip resiprositas (reciprocity), yang juga dikenal Golden Rule. Prinsip
ini membuat seseorang memperlakukan orang lain dengan ideal-ideal
civil rights yang sama. Pakar lain, Basam Tibi juga menyarankan agar
syariat Islam di zaman modern dibuat sebagaimana masa prakondisi,
yakni bagaimana membuat hukum Islam lebih fleksibel sehingga dapat
menampung apa yang disebutnya sebagai cultural accommodation of
change, seperti HAM universal.317
Memahami pandangan para pakar HAM di atas, dapat dikatakan
bahwa realitas civil rights yang diatur ICCPR tidak ditemukan
pertentangan yang berarti antara ICCPR dan Qanun Khamar. Qanun
menetapkan h}add yang paling ringan terhadap pelaku khamar, yang
bersumber dari ketentuan-ketentuan yang diatur Fiqh Islam. Oleh karena
itu penafsiran tentang HAM dan hukum jinayat tidak mengahalagi
penerapan hukum Islam menurut persepsi dan kondisi umat Islam berada
(seperti di Aceh). Penerapan h}add terhadap pelaku minum khamar di
Aceh merupakan hasil konsensus legislatif dan eksekutif Aceh dalam
rangka pengaturan hukum bagi tindak pidana khamar yang juga diajarkan

316

Syaldi Sahude, Instrumen HAM Internasional yang Telah Diratifikasi


Indonesia, (Artikel) Fact Sheet, Komnas HAM dan Berbagai Sumber Lainnya, 8 Mei
2009. Lihat juga Martino Sardi, Macam-macam Hak-hak Asasi Manusia,
Komnas HAM, 14 Mei 2010, 3. Lihat juga Iben, Catatan Akhir Tahun Hak Asasi
Manusia, Komnas HAM, 12 Agustus 2009, 6.
317
Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariat Islam dan HAM, Dampak pada
Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan non-Muslim, 12.

150

Fiqh Islam, di samping ada konsideran terhadap hukum perundangundangan yang berlaku di Indonesia.318
Tidak disalahkan, bila dalam (salah satu) Komentar Umum No.
20 (1992) dari Komite Hak Asasi Manusia. Komite Hak Asasi Manusia
memberitahukan bahwa Negara Pihak berkewajiban memberikan
perlindungan pada semua orang melalui perundang-undangan dan adanya
pelarangan tindakan tertentu dalam Pasal 7. Di galam Komentar Umum
itu dikatakan, pelarangan ini juga termasuk hukuman fisik seperti
hukuman berat untuk sebuah kejahatan atau cara pendisiplinan. Negara
Pihak tidak boleh membiarkan individu mengalami resiko penyiksaan,
perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
martabat ketika individu tersebut kembali dalam proses ekstradisi atau
pengusiran. Mempertimbangkan hal ini, Qanun khamar, sebagaimana
keterangan di atas, memaknai bahwa hukuman yang diterapkan Qanun
merupakan salah satu hukum perundang-undangan yang tidak termasuk
penghukuman berat dan mengerikan, namun masih dalam batas
kewajaran sesuai kesalahan pelaku.
Dikatakan Hasanuddin, salah seorang tokoh di Aceh, bahwa
minum arak dan dan sejumlah kejahatan lain seperti zina dan menuduh
orang lain berzina tanpa cukup saksi merupakan perbuatan keji dan jahat.
Karena itu ketika hukuman cambuk diberikan kepada pelakunya tidaklah
berlebihan dan tidaklah melanggar HAM bagi orang yang berpikiran dan
objektif dalam berpikir, karena pelakunya telah melanggar sejumlah hak
orang lain. Hanya orang-orang yang mengedepankan hawa nafsu sajalah
yang menuduh hukum cambuk melanggar HAM serta tidak berperi

318

Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, Analisis


terhadap Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 tentang Jinayat, Kertas Kebijakan, 10
Oktober 2005, 3, dalam Analisis-terhadap-qanun-nanggroe-aceh-darussalam (Pdf),
diakses tanggal 20 Januari 2011. Lihat juga Gamawan Fauzi, Aceh sees Shallow
Implementation of Sharia, The Jakarta Post, 21 Agustus 2010, 5. Lihat juga
Gamawan Fauzi, Islamic Bylaw may not Harm Tolerance and Pluralism, The Jakarta
Post, 21 Agustus 2010, 2.

151

kemanusiaan.319Dengan demikian substansi dan uqubat yang dijatuhkan


Qanun terhadap pelaku khamardan bagi sejumlah kejahatan lainnya
memiliki pandangan beragam di antara pakar HAM dan hukum Islam di
Indonesia khususnya dan di dunia umumnya.
Berdasarkan asumsi adanya pertentangan atau tidak antara
Qanun Aceh tentang khamar dengan Covenan hak Sipil dan Politik ini,
seharusnya Qanun Jinayat Aceh tidak perlu melakukan tinjauan ke
ICCPR yang merupakan (kesepakatan) kovenan hukum HAM yang
bersifat global, namun para penyusun Qanun cukup mengakui bahwa
pengesehan Qanun tersebut memiliki konsideran yang cukup kepada
banyak Hukum Perundang-undangan (HAM) yang telah diratifikasi
Pemerintah.
Oleh karena itu, penyelidikan, pemrosesan, dan pencambukan
bagi tindak pidana khamar cukup merujuk kepada perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia di samping konsep syariat yang bersifat
global sebagai hasil interpretasi nas}s} (al-Quran dan al-Sunnah) yang
telah dijabarkan dalam fiqh. Maka selain merujuk kepada Fiqh, Aceh
membuat qanun Jinayat yang terkait dengan khamar berdasarkan Hak
Otonomi yang diatur oleh hukum perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, dengan menimbang sejumlah hukum perundang-undangan RI
sebagaimana disebutkan di atas.320
Asumsi-asumsi terkait antara penerapan HAM dan penerapan
Qanun perlu dikaitkan dengan logika penyusunan qanun/suatu hukum
perundang-undangan yang berlaku, sehingga tidak terjadi asumsi yang
berlawanan dengan logika hukum. Apalagi asumsi itu bersumber dari
pihak-pihak yang ingin melanggar hukum (jinayah) khamar. Pada saat
sekarang ini bukan lagi asumsi, bahkan wacana, telah berkembang bahwa
di antara covenant HAM iniyang mengatur hak-hak masyarakat sipil
dalam berbudaya dan berpolitikmenampakkan kontradiksi dengan
hukum jinayat dalam Islam.

319

Hasanuddin Yusuf Adan, Aceh Antara Hukuman Cambuk dan HAM , Lihat

http://ummahonline wordpress.com/2010/02/19/aceh-antar-hukum-cambuk-dan-ham/
(diakses 9 Desember 2010).
320
Pembukaan Qanun No. 12 Tahun 2003.

152

b.

Pandangan CEDAW dan CAT


Ditinjau dari sudut substansi jenis pidananya, qanun di Aceh
tidak sama dengan hukum pidana lainnya di Indonesia yang tidak
mengenal hukuman cambuk, apalagi eksekusi yang dipertontonkan di
muka umum, dengan mempublikasikan identitas terpidana. Bahkan, jika
cambukan dianggap merendahkan martabat kemanusiaan seseorang (lakilaki/perempuan), jelas-jelas ia telah bertentangan dengan UUD 1945
Bab XA Pasal 18A -28J, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No.
7 Tahun1984 tentang Ratifikasi (Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Demikian pendapat
Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.321
Komnas Perempuan ini juga menilai bahwa jenis pidana
cambukan juga dianggap bertentangan dengan Konvensi melawan
Penyiksaan/Convention Against Toture (CAT) yang telah diratifikasi
Indonesia dengan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi
Melawan Penganiayaan dan Perlakuan Kejam yang lain, tidak Manusiawi
atau Hukuman yang Menghinakan.
Selain Komnas Perempuan, hukuman penyiksaan juga tidak
didukung Amnesti Internasional. Amnesty meminta Pemerintah RI
mencabut hukum cambuk.322 Tentang hukuman penyiksaan juga kerap
dibahas Komite Menentang Penyiksaan yang dibentuk pada 1987.
Sesuai dengan Pasal 17, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan
serta Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan
Martabat ini terdiri dari 10 orang ahli yang bermoral tinggi dan diakui
keahliannya di bidang hak asasi manusia, yang dipilih oleh Negara Pihak
dari warga negaranya. Anggota dipilih untuk masa jabatan empat tahun
melalui pemungutan suara secara rahasia pada persidangan Negara Pihak,
dan bertindak dalam kapasitas pribadinya.323
321

Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, Analisis


terhadap Qanun No. 12, 13, dan 14 tentang Jinayat, Kertas Kebijakan, 10 Oktober
2005, 8.
322
Tempointeractive.com, Amnesti Internasional Minta Hukuman Cambuk
Dicabut, The Atjeh Post, 2 Mei 2011, dalam http://atjehpost.com/nanggroe/daerah/2416-amnesti-internasional-minta-hukuman-cambuk-dicabut-html (diakses tanggal 5
April 2011).
323
Tugas Komite, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 sampai dengan 24
Konvensi adalah: mempelajari laporan-laporan tentang tindakan yang telah diambil
Negara Pihak untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan Konvensi; melakukan

153

Menanggapi permintaan Amnesty tersebut, Syukri Muhammad


Yusuf, Kepala Seksi Bimbingan dan Penyuluhan Hukum, Dinas Syariat
Islam Aceh mengatakan Penerapan hukuman cambuk bagi para pelaku
pelanggar syariat Islam di Aceh dinilai tidak bertentangan dengan Hak
asasi Manusia (HAM). Menurut Syukri, perdebatan soal sanksi hukum
cambuk itu terjadi karena perbedaan pandangan antara masyarakat
muslim dan para pejuang HAM barat dalam melihat aturan tersebut.
Syukri mengajak para pejuang HAM Barat tidak membuka diri untuk
berdialog dengan umat Islam.324
Memang di antara pengertian penyiksaan yang termaktub dalam
CAT adalah tidak termasuk konsekwensi hukum. Committee Against
Torture lebih cenderung memaknai penyiksaan dengan pemaksaan
seseorang untuk memberikan pengakuan terhadap suatu interogasi dalam
suatu penyelidikan perkara untuk kepentingan pihak tertentu/pihak
ketiga, yang biasa terjadi dalam situasi pertikaian/peperangan di antara
dua pihak.325 Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa wajar bila
penyelidikan rahasia, apabila diputuskan bahwa hal ini diperlukan sehubungan dengan
indikasi nyata adanya praktek-praktek penyiksaan secara sistematis di wilayah Negara
Pihak; menjalankan fungsi-fungsi tertentu dalam penyelesaian sengketa antar Negara
Pihak sehubungan dengan penerapan Konvensi, dengan ketentuan bahwa Negara Pihak
tersebut mengakui kompetensi Komite Menentang Penyiksaan untuk melakukan fungsi
tersebut; jika diperlukan mendirikan komisi pendamain ad hoc yang menyediakan jasa
baiknya bagi Negara Pihak yang terlibat sengketa untuk mencapai penyelesaian
bersahabat dalam pertikaian antar negara; membahas komunikasi dari atau atas nama
individu yang berada dalam wilayah hukum Negara Pihak yang bersangkutan yang
menyatakan bahwa ia menjadi korban pelanggaran ketentuan Konvensi, apabila Negara
Pihak tersebut telah mengakui kompetensi Komite dalam masalah tersebut; dan
menyerahkan laporan tahunan tentang kegiatannya kepada Negara Pihak dan Majelis
Umum PBB. Lihat: Deklarasi Perlindungan bagi semua orang dari Sasaran Penyiksaan
dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan
Martabat Manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada 9 Desember 1975.
324
Hukuman cambuk Tidak melanggar HAM, The Atjeh Post, 23 Mei 2011
dalam
http://atjehpost.com/nanggroe/hukum/2450-hukuman-cambuk-tak-melanggarhamq.html (diakses tanggal 5 April 2011).
325
Lihat Deklarasi Perlindungan bagi semua orang dari Sasaran Penyiksaan
dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan
Martabat Manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada 9 Desember 1975. Lihat
juga Pasal 1 Ayat 1 CAT, 4 Februari 1985.

154

penghukuman penyiksaan mengundang perdebatan (di antara pakar


hukum Islam dan HAM).
Di Indonesia, Sebelum diratifikasikannya Committee Against
Torture ke dalam UU No. 5 Tahun 1998, telah berkembang sejumlah
konvensi dan deklarasi menyangkut dengan penjabaran Committee
Against Torture. Selain pengertian penyiksaan yang terungkap di
dalam CAT, juga telah berkembang penafsiran yang dihasilkan konvensi
dan deklarasi yang terkait dengan Committee Against Torture. Pengertian
penyiksaan dalam Deklarasi (yang dihasilkan Deklarasi Wina 1993)
adalah tindak pidana menurut ketentuan dalam hukum pidana. Deklarasi
itu juga bersifat tidak mengikat secara hukum, Komisi Hak Asasi
Manusia Perserikatan bangsa-bangsa
telah menyusun rancangan
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain
yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia
yang selanjutnya diajukan kepada Sidang Majelis Umum PBB untuk
disahkan. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui secara
konsensus rancangan konvensi tersebut pada tanggal 10 Desember 1984
yang menyatakan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 26 Juni
1987.326
Dengan demikian dapat dipahami bahwa fenomena tersebut juga
dapat dipastikan bahwa hukuman cambuk bagi pelanggar syariat Islam
yang berupa hukuman h}add cambukan 40 kali, walaupun ada pihak yang
memaknai bahwa hukuman demikian bertentangan dengan konsep HAM
(Committee Against Torture) sebagai penghukuman pennyiksaan,
masih dalam perdebatan/perbedaan pemahaman. Al-Hageel, penganut
hukum Islam dan HAM juga membantah tentang adanya penghukuman
kejam yang terdapat dalam perkara khamar yang ditetapkan Islam. AlHageel menyebutkan banyaknya bahaya terhadap peminum khamar,
sehingga
peminumnya
memerlukan
penghukuman
demikian.327Pandangan Al-Hageel ini juga dapat dikatakan tidak
berlawanan dengan Committee Against Torture, karena peminum khamar
dihukum sebagai suatu konsekwensi hukum.
326

Lihat Deklarasi Perlindungan bagi semua orang dari Sasaran Penyiksaan dan
Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan
Martabat Manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada 9 Desember 1975.
327
Sulaiman Abdurrahman Al Hageel, Human Rights in Islam and Refutation
of Miscoseived Allegations Assosiated with These Rights, 1999.

155

Maka bila mempedomani pendapat Al-Hageel (dan beberapa


pendapat pakar lainnya), Qanun Aceh yang menetapkan dera (cambukan)
bagi peminum khamar tidak ada aspek HAM yang dilanggar, berbeda
dengan pandangan sepihak tentang kedua kovenan HAM tersebut.
3.

Pandangan HAM Islam


Perdebatan tentang wacana Islam dan HAM yang dimulai
sejak sangat awal kemunculan Deklarasi Universal HAM hingga
kini.328Kalangan Islam telah mempersoalkan salah satu pasal krusial
pada Pasal 18 dari Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia
(DUHAM) yang berisi tentang kebebasan beragama yang
memasukkan di dalamnya kebebasan berpindah agama karena
negara itu mengenal hanya satu kebenaran tafsir agama dan
memberlakukan hukuman mati bagi orang yang murtad.329
Shahram dan MecQuen mengutip pendapat Abdullah Ahmed An-Naim
yang mengatakan bahwa Islam mengakui keterlibatan manusia (human agency)
dalam penafsiran nas}s} yang menyangkut dengan HAM melalui proses ijtiha>di>.
330

Akibat adanya pertentangan antara ideology/hukum Islam dengan


sebagian
pasal-pasal
DUHAM
maka
kalangan
Islam
mendeklarasikan konsep HAM Islami. Konsep ini dapat menjadi
pelengkap bagi konsep HAM yang telah ada. Said Rajaie-Khorassani,
perwakilan Iran untuk PBB, yang mengucapkan posisi dari negaranya
menanggapi the Universal Declaration of Human Rights dengan
mengatakan bahwa UDHR adalah " pemahaman sekuler dari tradisi
Yahudi-Kristen
(the
Judeo-Christian)",
yang
tidak
dapat

328

Pasca pencetusan UDHR oleh PBB tahun1948, ada 2 (dua) tanggapan


reaktif dari dunia, golongan yang pertama radical cultural universalism yang diwakili
oleh negara-negara barat yang berpendapat bahwa setiap individulah yeng berhak
menentukan haknya, juga hak masyarakat dan negara bersarkan kongres. Sedangkan
golongan yang kedua radical cultural relativism yang diwakili oleh Negara-negara
dunia ketiga. Golongan ini berpendapat bahwa kebudayaan dan agamalah yang
mengatur pedoman masyarakatnya. Lihat http://www/UDHR/Human rights.htm,
(diakses tanggal 17 Desember 2010).
329
Pasal 18 menyebutkan bahwa setiap orang bebas untuk memeluk dan keluar
dari suatu agama.
330
Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQuen, Islam and Human Rights in
Practice Prospectives across the Ummah, 3.

156

diimplementasikan oleh seorang muslim tanpa penerobosan (


trespassing) hukum Islam.331
Negara-negara muslim terutama Saudi Arabia mampu
mempengaruhi negara anggota OKI (Organisasi Komprensi Islam)
untuk
mempersoalkan
pasal-pasal
tersebut.
Pernyataan
pertentangan tersebut dituangkan dalam Deklarasi HAM Kairo
dengan menambahkan klausul DUHAM dapat diikuti terhadap
pasal-pasal krusial mengenai agama selama tidak bertentangan
dengan Syariah Islam. Dengan perkataan lain, masalah-masalah
yang dianggap krusial bagi negara-negara Islam dan mayoritas
Muslim adalah masalah yang berkaitan dengan keyakinan agama
dan gender. Indonesia juga ikut serta dalam Deklarasi Kairo. Diakui
Shahram dan MacQuen bahwa Indonesia memiliki utusan
(representation) Menteri Luar Negerinya dalam menghadiri
konperensi OKI di Kairo tahun 1990, dalam rangka melindungi
Hak-hak Asasi manusia di Negara-negara Islam.332Namun tidak ada
respon tunggal bagi negara-negara Islam terhadap DUHAM,
bahkan dalam masalah yang paling krusial sekalipun.
a. Pandangan CDHRI 1990
Dalam konteks HAM, Cairo Declaration of Human Rights in
Islam (CDHRI) 1990 mengatakan bahwa semua manusia adalah satu
anggota keluarga yang anggota-anggotanya dipersatukan oleh
pengabdian mereka kepada Allah, dan semua manusia adalah keturunan
dari Adam.333 Semua manusia sama dalam hal asasi manusia dan
kewajiban dan tanggung jawab asasi, tanpa diskriminasi atas dasar ras
warna kukit, bahasa, kepercayaan, jenis kelamin, agama, afilasi politik,
status social atau pertimbangan-pertimbangan. Islam adalah agama yang
benar yang menjamin pengangkatan martabat integritas manusia.
Deklarasi Kairo juga mengakui bahwa semua manusia adalah hamba
331

David Littman, Universal Human Rights and "Human Rights in Islam,"


The Journal Midstream (New York, February/March 1999), 1, dalam
http://www.dhimmi.org/Islam.html.
332
Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQuen, Islam and Human Rights in
Practice Prospectives across the Ummah, 145.
333
http://www1.umn.edu/humanrts/instree/cairodeclaration.html
(diakses
tanggal 2 Desember 2010).

157

Allah, dan yang paling dicintai di sisi-Nya adalah yang paling bermanfaat
dari hamba-hamba-Nya. Tidak ada seorangpun yang berkuasa atas yang
lain kecuali atas dasar kesalehan dan tingkah laku yang baik.334
Konsep HAM Islam ini menyatakan bahwa pelaksanaan Hukum
Islam adalah berdasarkan penafsiran umat Islam tentang syariat Islam
sebagaimana terkandung dalam Fiqh Islam yang bersumber dari AlQuran dan Sunnah.335
Senada dengan konsep HAM dalam Deklarasi Kairo, Qanun No.
12 Tahun 2003 juga mengutarakan sejumlah kandungan Fiqh Jinayah
yang ada dalamnya. Di dalam Pasal 1 Ayat (19) Qanun dikatakan, bahwa
Uqubat adalah ancaman uqu>ba>t terhadap pelanggaran jarimah qisas-diat,
h>udu>d dan tazi>r .336
Aspek yang perbedaan antara Cairo Declaration on Human
Rights in
Islam dengan Qanun Aceh terdapat dalam volume
penghukuman dana ruang lingkup perkara jinayat. Cairo Declaration
on Human Rights in Islam menyatakan bahwa hukum h}add dalam Islam
(yang berupa potong tangan pencuri, dan bahkan hukuman mati bagi
pelaku murtad, dan rajam bagi penzina muh}san dan cambuk bagi pelaku
khamar) merupakan kebolehan/anjuran
bila
mahkamah syariat
Islam/hakim di suatu Negara Islam memutuskan/menerapkan demikian.
H}add tidak dikategorikan melanggar hak individu, dan penyiksaan yang
menyiksa dan merendahkan martabat manusia sebagaimana yang ada di
dalam pernyataan DUHAM dan CAT, dan tidak melanggar hak sipil
sebagaimana diatur ICCPR, dan instrument/kompenen HAM terkait
lainnya.337

334

Pasal 1 Ayat (1) Deklarasi Kairo.


Pasal 25 CDHRI Tahun 1990.
336
Bab 1 Pasal 1 Ayat (19) Qanun No. 12 Tahun 2003.
337
Pasal 19, 22, 24, dan 25 Deklarasi Kairo.
335

158

Dengan perkataan lain, hukum h}add cambuk (bagi


peminum khamar) yang diatur Qanun Aceh dianjurkan oleh konsep
HAM Islam (Cairo Declaration on Human Rights in Islam). Suatu
kasus khamar, sejak proses penyelidikannya sampai dengan proses
pengeksekusian pelaku dibenarkan dalam hukum Islam asal bukan
bermaksud mencari-cari kesalahan (tajassus) untuk menghukum.338
Pengaturan hak dalam Islam diketahui pada banyak ayat al-Quran
dan al_Hadith yang mengajarkan manusia tentang kesamaan hak,
terutama pada aspek lima perkara; (1) agama, (2) jiwa kehormatan,
(3) aqal, (4) keturunan, dan (5) harta. 339
Dikatakan juga dalam Cairo Declaration on Human
Rights in Islam 1990 bahwa status individu di depan hukum adalah
sama antara pemimpin dan orang yang dipimpin. Hak menempuh
jalur hukum juga dijamin, pertanggungjawaban adalah esensi
individu, tidak ada penghukuman kecuali yang ditetapkan syariah.
Tersangka adalah tidak bersalah kecuali kalau sudah terbukti di
pengadilan dan berhak melakukan pembelaan diri. Prisip-prinsip
peradilan ini dikatakan dalam Pasal 19:
(1) All individuals are equal before the law, without
distinction between the ruler and the ruled; (2) The right to resort
to justice is guaranteed to everyone; (3) Liability is in essence
personal; (3) There shall be no crime or punishment except as
provided for in the Shari'ah; dan (4) A defendant is innocent until his
guilt is proven in a fast trial in which he shall be given all the
guarantees of defence.340

338

Qs. al-H{ujura>t [50]: 12. Lihat juga Keppres No. 3 Tahun 1997.
Abdu al-Qadi>r U<dah, al-Tashri>` al Jin Muqrinan bi al- Qnn alWad}i>, 45-61. Lihat juga Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh:
Problem, Solusi dan Implementasi, 37.
340
CDHRI 1990 Pasal 19 Ayat 1-4.
339

159

Menyangkut dengan keadilan hukum CDHRI menyatakan bahwa


bahwa penegakan hukum
mesti tanpa diskriminasi dan dituntut
berpedoman kepada syariat Islam. Dikatakan dalam Pasal 22:
(1) Everyone shall have the right to express his opinion
freely in such manner as would not be contrary to the principles
of the Shari'ah; (2) Everyone shall have the right to advocate what
is right, and propagate what is good, and warn against what is
wrong and evil according to the norms of Islamic Shari'ah; (3)
Information is a vital necessity to society. It may not be exploited
or misused in such a way as may violate sanctities and the dignity
of Prophets, undermine moral and ethical Values or disintegrate,
corrupt or harm society or weaken its fait; (4) It is not permitted
to excite nationalistic or doctrinal hatred or to do anything that
may be an incitement to any form or racial discrimination.341
Dalam pasal-pasal terakhir dikatakan bahwa semua kebebasan
individu mesti merujuk kepada syariat Islam, dan dapat dilakukan
penafsiran terhadap apa yang dinyatakan dalam nas}s} (teks kitab suci AlQuran dan H{adith) sebagai kitab sumber syariat Islam. Hal ini
sebagaimana terungkap dalam Pasal 24: All the rights and freedoms
stipulated in this Declaration are subject to the Islamic Shari'ah. Di
dalam Pasal 25 juga dikatakan: The Islamic Shari'ah is the only source
of reference for the explanation or clarification of any of the articles of
this Declaration.342
b. Pandangan UIDHR 1981
Deklarasi Islam Universal Hak Asasi Manusia (The Universal
Islamic Declaration of Human Rights/UIDHR) ini dicetuskan 21 Dhul
Qidah 1401 bertepatan dengan 19 September 1981. Konsep HAM ini
mengkritisi The Universal Declaration of Human Rights 1948 karena
melihat pada latar belakang historis munculnya The Universal
Declaration of Human Rights 1948 yakni adanya pengaruh JudeoCristian
sebagai
refleksi dari Perang Dunia Kedua. Juga
dilatarbelakangi sikap kesewenang-wenangan raja terhadap kaum
341
342

CDHRI 1990 Pasal 22 Ayat 1-4.


CDHRI 1990 Pasal 24 dan 25.

160

protelar (para tuan tanah) di Inggris, yang mengakibatkan lahirnya


piagam Magna Charta 1912. DIUHR ini memiliki 23 pasal dengan
pasal-pasal yang relevan dengan Islam.
Di antara pasal yang menyangkut dengan Hukum Islam
(Jinayat), dapat dilihat dalam bab IV The Universal Islamic Declaration
of Human Rights ini yang membahas tentang hak keadilan ( right to
justice) yang dilengkapi 6 pasal. Bab V tentang keadilan dalam
pengadilan hukum ( right to fair trial), dan bab VII mengenai hak
perlindungan terhadap penyiksaaan (right to protection against torture).
Di dalam UIDHR 1981 terkandung 11 macam hak manusia yang
mendasar.343
Dikatakan dalam Bab IV tentang Hak untuk Keadilan, bahwa
setiap orang berhak untuk diperlakukan sesuai dengan hukum kitab suci,
dan hanya sesuai dengan hukum. Setiap orang tidak hanya menerima hak
tetapi juga menjalakan kewajiban dalam menyatakan protes melawan
ketidakadilan. Setiap orang berhak untuk penyelesaian perkara melalui
proses hukum yang diatur oleh UU seperti mengenai cedera pribadi yang
disebabkan pihak lain tanpa alasan yang dibenarkan menurut hukum.
Orang berhak menerima ganti rugi, berhak untuk membela diri terhadap
setiap tuduhan yang tidak disukai terhadap dirinya dengan memperoleh
putusan yang adil di depan pengadilan peradilan independen dalam
peneyelesaian sengketa dengan penguasa (yang memiliki otoritas public)
atau orang lain.
Di dalam bab tersebut juga diatur tentang hak dan kewajiban
setiap orang untuk membela hak-hak orang lain dan masyarakat pada
umumnya (h}isbah). Tidak seorang akan didiskriminasi saat berusaha
untuk membela hak-hak pribadi dan publik. Bab tersebut juga mengatur
hak dan kewajiban setiap muslim untuk menolak untuk mematuhi setiap
perintah yang bertentangan dengan UU, tidak peduli dari siapa perintah
tersebut diterbitkan.344
Tentang Hak untuk memperoleh peradilan yang adil (trial fair)
dikatakan dalam Bab V The Universal Islamic Declaration of Human Rights.
343

Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 3rd
Edition (Colorado: Westview, 1999), 76.
344
Lihat DIUHR 1981 Bab IV.

161

Dikatakan bahwa bahwa tidak seorangpun akan divonis bersalah karena


melakukan kejahatan dan membuat dikenakan hukuman kecuali setelah
terbukti bersalah di depan pengadilan peradilan independen. Tidak
seorangpun akan divonis bersalah kecuali setelah pengadilan yang adil
dan setelah kesempatan yang wajar untuk pertahanan telah diberikan
kepadanya. Hukuman akan diberikan sesuai dengan UU tersebut, secara
proporsional dengan adanya kenyataan pelanggaran dan dengan
memperhatikan keadaan (kondisi) di mana perbuatan tersebut dilakukan.
Suatu perbuatan tidak boleh dianggap sebagai kejahatan kecuali jika
ditetapkan dalam kata-kata Hukum yang jelas. Tanggung jawab atas
kejahatan yang dilakukan seseorang/sutu pihak tidak dapat diperluas
kepada anggota lain dari keluarga atau kelompok, yang tidak dinyatakan
secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam pelaksanaan kejahatan
tersebut.345
Tentang Hak Perlindungan terhadap Penyiksaan dikatakan dalam
Bab VII, bahwa tidak seorangpun akan menjadi sasaran penyiksaan
dalam pikiran atau tubuh, atau rusak, atau diancam dengan cedera baik
untuk dirinya sendiri atau kepada siapapun yang berhubungan dengan
atau dimiliki kekerabatan dengan dia, atau secara paksa dibuat untuk
mengakui komisi kejahatan, atau terpaksa untuk menyetujui suatu
tindakan yang merugikan kepentingannya.346
Al-Hageel membagikan kebebasan individu ke dalam tiga
kebebasan utama yang telah dijamin Islam yaitu: (1) Kebebasan berfikir
dan mengungkapkan pendapat (Freedom of thought and expression in
Islam); (2) Kebebasan beragama dalam Islam (Religious freedom in
Islam) dan (3) kebebasan memiliki harta dalam Islam (freedom to private
property in Islam). Maka hukuman h}udu>d (terhadap peminum khamar
dan tindak pidana lainnya) dalam Islam adalah bertujuan untuk
melindungi hak-hak asasi manusia dan untuk mencapai keadilan yang
absulut, sebagimana yang ditetapkan sang pencipta. Ia juga membagikan
konsep peradilan ke dalam tiga konsep peradilan Islam yang
berfungsi/bergerak secara harmonis satu sama lain, yaitu: (1) Sistem
peradilan yang normal (the normal judiciary system); (2) Sistem
345
346

DIUHR 1981 Bab V.


DIUHR 1981 Bab VII.

162

pertimbangan keluahan (the grievance system); dan Sistem rehabilitasi


umum (general rehabilitation systemhisbah system). 347
Ketiga system tersebut bila dikaitkan dengan Qanun Aceh
tentang khamar dapat dikatakan bahwa sistem peradilan yang normal
berarti peradilan Islam menegakkan keadilan untuk semua pihak, dengan
tidak membeda-bedakan status dan posisi pihak yang bersangkutan.
Sistem (pertimbangan) keluhan berarti melihat perkara hukum dengan
pertimbangan kondisi dan situasi dan prosesi peradilan. Selanjutnya
sistem rehabilitasi umum bermakna bahwa dalam rangka menegakkan
amal makruf dan nahi munkar melakukan penyelidikan-penyelidikan
dan pengawasan-pengawasan (h}isbah).
Senada dengan Al-Hageel, R. Michael mengatakan badan hisbah
adalah badan yang mengontrol dan mengawasi implemntasi syariah
sebagaimana terdapat gambaran Pasal 20 Qanun No. 5 Tahun 2000.
Badan hisbah ini dikenal sebagai Wilayatul Hisbah. Peran dari badan ini
secara panjang tidak didefinisikan dalam Qanun ini. Mahkamah Syariyah
diberikan kewenagan untuk mengatur personalia wilayatul h}isbah348 dan
muh}tasib dalam proses perekrutan dan peneyelidikan kasus, baik Hukum
Acara perdata maupun tindak pidana. 349 Sedangkan wewenang
pengangkatan adalah di tangan gubernur Aceh.350
Pembentukan lembaga ini tidak terlepas dari dampak historis
pengamalan hukum Islam. Iin Solikhin telah mengutarakan tugas badan
ini berdasarkan sejarah, sebagaimana ungkapannya:

347

Sulaiman Abdurrahman Al-Hageel, Human Rights in Islam and Refutation


of Miscoseived Allegations Assosiated with These Rights, 56 dan 107. Lihat juga Pasal
10-12 UDHR 1948.
348
R. Michael Feener, Islamic law in Contemporary Indonesia Ideas and
Institution, 247.
349
Pengawasan (h}isbah) terhadap tindak pidana kriminal dinyatakan dalam
Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 16, Qanun No 13 Tahun 2003 Pasal 14, dan Qanun No.
14 Tahun 2003 Pasal 13.
350
Dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan qanun
ini, Gubernur, Bupati/Walikota membentuk Wilayatul Hisbah. Susunan dan kedudukan
Wilayatul Hisbah diatur lebih lanjut dengan Surat Keputusan Gubernur setelah
mendengar pendapat Majelis Permusyawaratan Ulama setempat. Lihat Qanun No. 12
Tahun 2003 Pasal 16 Ayat (2) dan (3).

163

Wilayah Hisbah is a jurisdiction institute (qad}a>)


orienting to advocate righteous deed and prevent the evil one.
During Prophet SAW and khalifah al-Rasyidin periods, this
institute still merged on khalifah's (government) power, although
afterwards Prophet SAW and khalifah al-Rasyidin delegate this
authority to several people. Later then, at period of Daulah
Umaiyyah and Abbasiyah Wilayah Hisbah separated from
khalifah's (government) power. In execution of its duty, this
institute had given authority to executing punishment (ta'zi>r) to
lawbreaker. (Wilayah Hisbah adalah lembaga peradilan yang
berorientasi pada penganjuran berbuat baik dan pelarangan dari
berbuat munkar seseorang. Selama masa Nabi Saw dan khalifah
al-Rasyidin mendelegasikan kewenangan ini kepada sejumlah
orang. Kemudian, pada masa Daulah Umayah dan Abbasiyah
Wilayah Hisbah dipisahkan dari kekuasaan khalifah. Di dalam
pengeksekusian tugas ini, lembaga ini telah memberikan
hukuman eksekusi (tazi>r) kepada pelanggar hukum yang
ringan).351
Selain pertimbangan his}bah (general rehabilitation system) yang
dikatatakan Al-Hageel, 352 pertimbangan keluhan, yang dikatakannya
351

Iin Solikhin, Wilayah Hisbah dalam Tinjauan Historis Pemerintahan


Islam, Jurnal Studi Islam dan Budaya, Vol. 3 No. 1 Jan-Jun 2005, 1-5.
352
Peran Wilatul Hisbah yang diungkapkan Qanun No. 12 Tahun 2003
tercantum dalam pasal 17, 18 dan 19:
Pasal 17:
(1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, Pejabat Wilayatul Hisbah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal16 yang mengetahui pelaku
pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai
Pasal 8, menyampaikan laporan secara tertulis kepada penyidik;
(2) Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul hisbah dapat
memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum
menyerahkan laporannya kepada penyidik.
Pasal 18:
Pejabat Wilayatul Hisbah wajib menyampaikan laporan kepada penyidik
tentang telah dilakukan peringatan dan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2).
Pasal 19:
Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan praperadilan kepada Mahkamah
apabila laporannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 17 tidak

164

tersebut juga dapat dibaca pada Pasal 32 Qanun ini yang mengatakan:
(1) Pelaksanaan uqu>ba>t dilakukan segera setelah putusan hakim
mempunyai kekuatan hukum tetap; dan (2) Penundaan pelaksanaan
uqu>ba>t hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala
Kejaksaan apabila terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum
setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang.353
Memang kadang kala terjadi ketimpangan-ketimpangan dalam
proses pelaksanaan Qanun ini. Penegakan hukum memiliki resiko bagi
semua pihak yang terlibat di dalamnya. Namun sebagimana semboyan
di mana bumi dipijak disitu langit dijunjung, maka tidak mustahil
pelanggaran-pelanggaran akan terjadi baik disengaja ataupun tidak oleh
pihak yang terlibat dalam pemrosesan perkara. Untuk itu keahlian dan
etika hukum pada oknum-oknum yang yang bersangkutan sangat
diperlukan.
Dalam konteks ini, penanggung jawab terhadap kesepakatan
HAM internasional bukan dipikul pemerintah Aceh semata tetapi oleh
pemerintah Indonesia, karena Aceh bagian dari Indonesia. Komnas HAM
dapat melakukan negosiasi dengan Mahkamah Agung terhadap perkara
yang menyangkut dengan penegakan hukum cambuk bagi pelaku khamar
di Aceh, tanpa mengabaikan hak Otonomi yang diberikan kepada Aceh.
Semua pihak dapat berpedoman kepada Hukum perundang-undangan
yang berlaku.354
Bukan hanya di Aceh, telah dialami Sudan bahwa upaya untuk
menerapkan syariat sudah dihadapkan dengan kontroversi, kekerasan,
bahkan peperangan (seperti perang saudara Sudan yang ke-2--Second
Sudanese Civil War) yang berkaitan dengan perselisihan antara syariah dan
konsep-konsep internasional, terutama menyangkut dengan hak-hak
manusia (human rights) yang berkenaan dengan hak wanita, non-muslim,

ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah setelah jangka waktu 2
(dua) bulan sejak laporan diterima penyidik.
Peran yang sama juga dikatakan juga dalam Qanun No 13, Pasal 15 dan
Qanun No. 14 Tahun 2003.
353
Lihat Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 23 Ayat 1 dan 2.
354
Lihat Keputusan Mahkamah Agung RI No. KMA/070/SK/X/2004 tanggal 6
Oktober 2004 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada
Mahkamah Syariyah di Prov. NAD.

165

dan penodaan agama (blasphemy). 355 Memang aspek bertentangan utama


antara syariah dengan HAM adalah yang berkaitan dengan hukuman
h}udu>d (h}udu>d punishments) yang berupa pemotongan, rajam, dan
pencambukan (flogging) dan beheading (hukuman mati). Larangan qazaf
dan murtad (apostasy) juga merupakan pengecualian dari konsep yang
dikenal di dunia internasional tentang kebebasan beragama (religious
356
freedom). OKI telah merampungkan Deklarasi Kairo tentang hak-hak
asasi manusia dalam Islam (Cairo Declaration on Human Rights in
357
Islam/CDHRI) yang sesuai dengan penafsiran syariah.
Tabel 4.1 menunjukkan adanya kesesuaian dan ketidak sesuaian
antara Qanun No 12 Tahun 2003 dengan HAM. Hukum cambuk menurut
UDHR 1948 tdak sesuai dengan HAM. Menurut Mayer, tidak ada
pertentangan antara ICCPR 1966 dengan hukum cambuk, sedangkan
Komnas HAM RI mengatakan pertentangan. Selain Komnas, CEDAW
juga tidak setuju dengan hukum cambuk. Sedangkan CAT, CDHRI dan
DIUHR menyetujui bahwa hukum cambuk dalam Qanun khamar setidak
bertentangan dengan HAM. Keseluruhan Deklarasi dan kovenan HAM
ini mengakui setuju terhadap penghukuman selain cambuk yang diatur
Qanun Aceh ini.
Tabel 4.1.
Kesesuaian dan Ketidaksesuaian antara Qanun Khamar dengan ketentuan HAM
Hukuman &
Hukuman

Kesesuaiannya dengan HAM


Perspektif HAM
ICCPR

No

Pelaku
pidana/jarimah

355

H{add
cambuk

Tazi>r
kurungn

Tazi>r
denda

U
D
H
R

M
a
y
e
r

Komnas
HAM
RI

C
E
D
A
W

C
A
T

D
I
U
H
R

David Littman, Universal Human Rights and "Human Rights in Islam,"


The Journal Midstream (New York, February/March 1999), 13.
356
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 16.
357
Lihat http://www/Islamic Law of the World/Law.htm (diakses tanggal 18
Agustus 2010).

CD
HR
I

166
40 x
cambuk

Peminum

Ts

Ss

Ts

Ts

Ss

Ss

Ss

Produsen

25-75 juta
rupiah

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

3 bulan
1 tahun
Sda

Penyedia

Penjual

Sda

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Sda

Sda

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

5
6
7

Pemasok
Pengangkut
Penyimpan

Sda
Sda
Sda

Sda
Sda
Sda

Ss
Ss
Ss

Ss
Ss
Ss

Ss
Ss
Ss

Ss
Ss
Ss

Ss
Ss
Ss

Ss
Ss
Ss

Ss
Ss
Ss

8
Penimbun
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
9
Pedagang
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
10 Penghadiah
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
11 Promotor
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
12 Pemberi izin
sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Keterangan
Bentuk jarimah: meminum, memproduksi, menyediakan, menjual, mengangkut, menyimpan,
menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan dan mempromosikan; Ts = Tidak Sesuai; dan Ss =
Sesuai.

B. Pelaksanaan Qanun No. 13 Tahun 2003


1. Qanun dan Hukum Perundang-undangan lainnya.
Secara umum Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir
(Perjudian) tidak memiliki kontradiksi materil dengan perundangundangan lainnya di Indonesia. Perjudian tidak hanya dilarang di Aceh,
tapi di seluruh wilayah hukum Indonesia. Pelarangan judi baik dalam
tatatanan hukum keindonesiaan maupun global lebih tinggi dari
pelarangan khamar (minuman yang beralkohol). Landasan utama Qanun
(Maisir) ini adalah al-Quran dan al-Sunnah, di samping secara tegas
konsideran (pertimbangan) Qanun Maisir mencantumkan UU RI No. 7
Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Tidak ada yang baru dan
berbeda dari qanun ini kecuali soal jenis pidana (pencambukan) yang
ditetapkan. Definisi dan larangan perjudian telah lama diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana. Pasal 303 Ayat 3 menyebutkan: yang
disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada

167

umumnya kemungkinan mendapat untung tergantung pada peruntungan


belaka, juga karena permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ
termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau
permainan lain-lainnya, yang tidak diadakan antara mereka yang turut
berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.358
Pasal 1 Ayat (20) Qanun Maisir menyebutkan: perjudian adalah
kegiatan dan/ atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau
lebih di mana pihak yang menang mendapatkan bayaran. Tidak ada
perbedaan prinsipil jenis kejahatan antara yang diatur dalam KUHP dan
Qanun Maisir. Berbeda dengan larangan minuman beralkohol
sebagaimana diterangkan di atas, praktik judi sama sekali tidak
dibenarkan di bumi Indonesia, tak terkecuali di Aceh.359
Pasal 1 KUHP secara tegas menyatakan semua tindak pidana
perjudian sebagai kejahatan. Konsideran UU No. 7 Tahun 1974 pada
bagian menimbang juga menyebutkan bahwa perjudian pada
hakekatnya bertentangan dengan Agama, Kesusilaan dan Moral
Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara.360
Dalam hal ini, pemerintah Aceh dan pemerintah Pusat melakukan
usaha-usaha untuk menertibkan perjudian, membatasinya sampai
lingkungan
sekecil-kecilnya,
untuk
akhirnya
menuju
pada
penghapusannya sama sekali dari seluruh wilayah Aceh-Indonesia.
Penegasan bahwa judi dilarang di semua wilayah Indonesia hingga
lingkungan yang sekecil-kecilnya sampai menuju penghapusan sama
sekali merupakan tujuan yang menggambarkan bahwa kejahatan umum
perjudian ini jelas tidak dikehendaki kehadirannya. Dengan demikian,
kehadiran qanun tentang Maisir sangat mendukung produk hukum
lainnya yang melarang perjudian.
Pengaturan dan pelaksanaan Qanun judi juga mengingat bahwa
Qanun Aceh merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia. Meskipun dalam hukum pidana Islam ia bukan
merupakan kejahatan tertier (teratas), namun dalam hukum perundang358

KUHP Pasal 303 Ayat 3.


Qanun No. 13 Tahun 2003 Ayat 20.
360
KUHP Pasal 1. Lihat juga Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat
Islam di Aceh, Analisis terhadap Qanun No. 12, 13, dan 14 tentang Jinayat, Kertas
Kebijakan, 10 Oktober 2005, 8, dalam Analisis-terhadap-qanun-nanggroe-acehdarussalam (Pdf), diakses tanggal 20 Januari 2011.
359

168

undangan Indonesia ia berada lebih tinggi dari khamar bila dilihat pada
aspek pemidanaannya.
M. H. Syed, seorang pakar HAM dalam Islam mengatakan:
Gambling is a dishonest practice, both in act and in
spirit, for it represent an effort to make money without
working.(Judi adalah suatu praktek ketidak jujuran, baik dalam
bentuk tindakan maupun dalam mental, karena judi menunjukkan
usaha untuk memperoleh uang tanpa kerja).361
2. Pandangan HAM Universal
Penjelasan di atas tentang ketentuan hukuman bagi tindak pidana
judisebagaimana halnya Qanun tentang khamar di atas dan Qanun
tentang khalwat
(yang akan dibahas selanjutnya), memerlukan
pembahasannya menyangkut dengan HAM. Penghukuman cambuk yang
ditetapkan Qanun No. 13 Tahun 2003 bagi pelaku judi dalam pandangan
HAM sama halnya dengan hukuman terhadap tindak pidana khamar dan
khalwat, kecuali hanya volume cambukan dan penghukuman. Di dalam
Qanun judi juga terdapat penghukuman tazi>r pencambukan di depan
masyarakat umum bagi pelaku, seperti telah dialami oleh 15 terpidana
syariat (pelanggar syariat Islam) di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, yang
dieksekusi hukuman cambuk sebanyak 7-8 kali yang diperlihatkan dalam
contoh kasus di bab III Penelitian ini. Dalam kasus tersebut aspek
kategori pengukuman dan penyiksaan memang tidak terlalu berat, namun
aspek merendahkan martabat manusia dan tidak manusiawi yang
dipahami sebagian orangyang kentara terlihat pada pencambukan 6-12
kali dari qanun.
Sebagian kalangan mengatakan bahwa penghukuman seperti itu
bertentangan dengan The Universal Declaration of Human Rights Pasal
5. Karena hal itu termasuk ke dalam kategori penyiksaan yang
merendahkan martabat manusia menjadi seperti hewan--yang bisa
dicambuk bila melanggar aturan. Namun menurut konteks Islam bahwa
tidak berdosa menegakkan hukum cambuk sebagaimana yang digariskan
hukum Islam (atau telah diqanunkan). Bahkan penghukuman tazi>r
361

M. H. Syed, Human Rights in Islam: the Modern Perspective , 153.

169

(berupa cambuk atau lannya) merupakan kewajiban uli al-amr


(penguasa) dalam rangka mencegah praktek kejahatan di dalam
masyarakat yang dipimpinnya dengan mendelegasikan kewenangannya
kepada qadi/hakim.Walaupun demikian Islam masih membuka hukuman
alternative selain cambuk terhadap pelaku judi.362
Sebagaimana ditunjukkan table 4.2 bahwa selain aspek
pencambukan terhadap penjudi, penghukuman yang diatur Qanun
mendapat dukungan The Universal Declaration of Human Rights.
Dengan meninjau pada proses pra-peradilan pelaku, misalnya, Qanun
telah sesuai Pasal 11 The Universal Declaration of Human Rights
sebagaimana telah disebutkan di atas. Tersangka menjalani proses
penyelidikan dan tahap-tahap peradilan lainnya, tidak langsung dihukum.
Penetapan hukuman hanya setelah menjalani proses pra-peradilan dan
pra-penuntutan dalam rangka menghargai hak tersangka.363
Dikatakan di dalam Pasal 22 Qanun judi bahwa Penuntut umum
mempunyai wewenang: a. Menerima dan memeriksa berkas perkara
penyidikan dari penyidik; b. Mengadakan pra-penuntutan apabila ada
kekurangan pada penyidikan dan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c. Memberi perpanjangan
penahanan, melakukan penahanan atau mengubah status tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. Membuat surat dakwaan; e.
melimpahkan perkara ke Mahkamah; f. Menyampaikan pemberitahuan
kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan
yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada
saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. melakukan
penuntutan; h. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan
tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut hukum yang berlaku;
dan i. Melaksanakan putusan dan penetapan hakim.364
Ketentuan Pasal 22 Qanun Aceh ini juga merupakan hasil
konsensus (kesepakatan) Legslatif dan Eksekutif Aceh dalam
362
363

2003.

364

M. H. Syed, Human Rights in Islam: the Modern Perspective, 174


Lihat Pasal 11 UDHR Tahun 1948. Lihat juga Pasal 22 Qanun No. 13 Tahun
Pasal 22 Qanun No. 13 Tahun 2003.

170

pengesahannya pada tahun 2003. Qanun ini disahkan untuk menjadi


pedoman Mahkamah Syariah Aceh sampai dengan saat sekarang ini
dalam memutuskan hukum pada perkara yang terkait. Pihak yang
berwenang dalam penyusunan Qanun ini telah melakukan ijtihad (kajian
yang mendalam) berdasarkan konsideran-konsideran hukum perundangundangan yang berlaku dan HAM. Faktor yang mempengaruhi
konsideran demikian adalah penerapan Syariat Islam di Aceh masih
berada dalam lingkup otoritas Negara bangsa (Indonesia).365
Bila melihat dari sudut pandang HAM lebih lanjut, praktek
judi ada dua sisi (sudut pandang), yakni (1) aspek permainan, dan (2)
aspek ekonomi. Aspek yang pertama dapat dilihat pada sikap dan tujuan
individu yang menggunakan judi sebagai suatu aktifitas yang
menyenangkan (rileks dan asah otak). Bahkan ada unsur senda gurau
dalam perlombaan dan taruhan. Perlombaan dan mainan bukan judi,
namun ia menjadi judi jika menggunakan system taruhan dan undian
uang. Maka praktek kebebasan individu untuk relaks (menghilangkan
ketegangan jiwa) tidak dimaksudkan sebagai suatu praktek perjudian
oleh Qanun/Fiqh Islam. Jadi selain dalam Qanun, judi juga dilarang
dalam The Universal Declaration of Human Rights 1948 yang
tercantum dalam pasal-pasalnya yang terkait dan di dalam pasal-pasal
ICCPR sebagai penjabaran dari UDHR juga.
3. Qanun Judi dan perspektif konsep HAM Islam
a. Pandangan UIDHR 1981
Islam membolehkan umatnya berdikari (mencari nafkah) dengan
cara yang halal, bukan dengan cara-cara yang terlarang seperti dengan
cara bermain judi agar menjadi kaya, atau praktek illegal lainnya.
Dikatakan dalam Bab XV UIDHR 1981 bahwa semua orang berhak
atas manfaat dari alam dan semua sumber daya yang dimilikinya. Ini
adalah berkat yang dianugerahkan oleh Tuhan untuk kepentingan umat
manusia secara keseluruhan; dan semua manusia berhak untuk mencari
nafkah mereka menurut hukum; setiap orang berhak memiliki harta, baik
secara individu atau dalam hubungan dengan orang lain dalam suatu
Negara.366
365
366

Lihat http//www. List of Muslim Majority Countries.html.


DIUHR 1981 Bab XV.

171

Deklarasi HAM Islam dunia ini mengatur bahwa kepemilikan


ekonomi tertentu dari sumber daya alam merupakan kepentingan
masyarakat yang sah; masyarakat miskin boleh memiliki hak untuk
bagian yang ditentukan dalam kekayaan orang kaya, sebagaimana
ditetapkan oleh zakat, dipungut dan dikumpulkan sesuai dengan hukum.
Semua alat-alat produksi harus dimanfaatkan untuk kepentingan
masyarakat (ummat) secara keseluruhan, dan tidak dapat diabaikan atau
disalahgunakan. Dalam rangka untuk memeningkatkan pembangunan
ekonomi yang seimbang dan untuk melindungi masyarakat dari
eksploitasi, hukum Islam melarang monopoli, melarang praktek
perdagangan destruktif, riba, penggunaan paksaan dalam pembuatan
kontrak dan penerbitan iklan yang menyesatkan. Bahkan semua kegiatan
ekonomi diijinkan dengan syarat tidak merugikan kepentingan
masyarakat (ummat) dan tidak melanggar hukum Islam dan nilainilai.367
Senada dengan UIDHR 1981 ini, Qanun Aceh membolehkan
masyarakat menghidupkan sektor ekonomi yang sesuai qaidah Islam dan
hukum perundang-undangan yang berlaku. Karena itu Qanun melakukan
pengaturan hukuman bagi pihak/individu yang melanggar aturan, yakni
khusus bagi individu yang beragama Islam yang berdomisili di Aceh.
Kebijakan Islam yang dicantumkan dalam Qanun Aceh yang melarang
umatnya dari pengaruh judi, bukan untuk membuat umat non-muslim
untuk merasa curiga dan takut. Bahkan umat non-muslim bebas untuk
memeilih aturan hukum Qanun atau KUHP bila terlanjur atau dengan
sengaja melakukan tindak pidana perjudian. Diakui Rusjdi Ali
Muhammad bahwa umat non-muslim boleh memilih Pengadilan Umum
atau Mahkamah Syariyah dalam proses pengadilan tindak pidana (judi)
yang dilakukan. Sedangkan bagi umat Islam diwajibkan merujuk kepada
Qanun.368
Dikatakan Alyasa (seorang pakar hukum Islam) bahwa
penerapan syariat Islam hanya berlaku bagi umat Islam sehingga mereka
yang non-muslim tidak perlu merasa takut yang berlebihan mendengar
367

UIDHR 1981 Bab XV Ayat a-f Dalam Bab XVI tentang hak untuk
memiliki harta (Right to Protection of Property) juga dikatakan, No property may be
expropriated except in the public interest and on payment of fair and adequate
compensation. Lihat juga ICCPR 1966 Pasal1 Ayat (1) dan (2).
368
Rusjdi Ali Muhammad & Swa, Melanggar Syariat, Non-Muslim Boleh
Pilih Hukuman, Serambi Indonesia, 21 Juni 2011, 2.

172

syariat Islam. Alyasa Abu Bakar menjamin bahwa syariat Islam


mengatur hak-hak nonmuslim di NAD.369
Senada dengan Alyasa, Gamawan Fauzi, Menteri dalam Negeri
Kabinet Indonesia Bersatu (pimpinan SBY) mengatakan:
Only a religiousgroup majority, targeted by bylaw, must
comply with them. People with different religions to those
regulated by the by law must be excluded .( Hanya
kelompok mayoritas penganut agama, yang ditujukan Qanun,
yang harus mereka patuhi. Sedangkan masyarakat yang berbeda
agama bagi mereka tidak dikenakan).370
Pandangan para pakar/tokoh tersebut dikuatkan Mawardi Islamil.
Menurut Mawardi, pakar hukum dari Universitas Syiah Kuala, Banda
Aceh, bagi pelaku judi di Aceh dari kalangan non-muslim diberikan
kebebasan apakah memilih pengadilan Umum (dengan KHUP) atau
menundukkan diri dengan hukum (jinayah) Islam dengan menerima
uqubat sebagaimana yang diatur di dalam Qanun No. 13 Tahun 2003.
Fenomena ini merupakan kekhususan bagi Aceh yang diberikan oleh UU
No. 11 Tahun 2006 Pasal 125 Ayat (1) dan (2), dan Pasal 129 Ayat
(2).371
b. Pandangan CDHRI 1990
Deklarasi Kairo tentang Hak-hak Asasi Manusia (Cairo
Declaration on Human Rights in Islam) dilangsungkan pada 5 Agustus
1990yang ikut dihadiri Indonesia.372 CDHRI dilandasi laporan dari
369

Lihat Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Ciputat Press,
2005), 383.
370

Gamawan Fauzi, Aceh sees Shallow Implementation of Sharia, The


Jakarta Post, 21 Agustus 2010, 5. Lihat juga Gamawan Fauzi, Islamic Bylaw may not
Harm Tolerance and Pluralism, The Jakarta Post, 21 Agustus 2010, 2.
371

Mawardi Ismail, Beberapa Kekhusususan Undang-undang tentang


Pemerintahan Aceh /UU No. 11 Tahun 2006, 9.
372
http://www1.umn.edu/humanrts/instree/cairodeclaration.html (diakses tanggal 2
Desember 2010).

173

rapat panitia dari para ahli hukum yang diselenggarakan di Taheran pada
tanggal 2628 December 1989. Para ahli menyetujuinya untuk
mengesahkan Deklarasi Kairo tentang hak-hak asasi manusia menurut
Islam yang akan menjadi petunjuk umum bagi Negara anggota dalam
hak asasi manusia, dalam rangka mengukuhkan kembali keummatan dan
kodrat manusia yang diciptakan Allah sebagai umat yang terbaik dan
memberikan kepada manusia peradaban yang paling seimbang.
CDHRI dikombinasikan dengan hukum menurut kenyakinan
Islam di mana saja umat Islam berada. Umat Islam bebas mengikuti
mazhab fiqh mereka masing-masing dalam mengamalkan syariat Islam.
CDHRI memenuhi harapan dari semua masyarakat muslim agar menjadi
panduan bagi mereka yang bingung karena perbedaan dan konflik
kepercayaan dan ideology yang terkait dengan hak. CDHRI bertujuan
untuk mengokohkan hak dan kebebasannnya dalam hidup yang
bermakna sesuai dengan syariat Islam sebagiamana kitab yang
diwahyukan (the revealed Books of Allah) dan yang terkandung dalam
sunnah Rasul-Nya (which were sent through the last of His prophets)
yang dapat mengawasi hak-hak dasar dan kebebasan-kebebasan individu
setiap muslim dan tanggung jawab kolektif dari ummat secara
keseluruhan. 373
Di antara sejumlah hak manusia CDHRI juga mengetengahkan
hak kepemilikan (proriation rights). Setiap orang memiliki hak untuk
memiliki dan mencari harta dengan cara yang halal, bukan dengan cara
perampasan dan berlawanan dengan hukum dan undang-undang. Di
dalam Pasal 10 Ayat (1) dan (2) dikatakan:
Everyone shall have the right to own property acquired in
a legitimate way, and shall be entitled to the rights of sownership
without prejudice to oneself, others or the society in general.
Expropriation is not permissible except for requirements of public
interest and upon payment of prompt and fair compensation. (2)
Confiscation and seizure of property is prohibited except for a
necessity dictated by law (Setiap orang memiliki hak untuk
373

Pembukaan Deklarasi Kairo 1990. Lihat juga Rusjdi Ali Muhammad,


Revitalisasi Syariat Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi menuju
Pelaksanaan Hukum Islam di NAD, 42. Lihat juga Ann Elizabeth Mayer. Islam and
Human Rights Tradition and Politics, 120.

174

memiliki harta yang diperoleh secara halal yang dinamakan hak


kepemilikan tanpa ada syakwa sangaka baik yang datang dari
pribadi maupun orang lain secara umum. Pengalihan hak tidak
dibolehkan kecuali dengan syarat-syarat untuk kepentingan
publik dan dengan cara pembayaran ganti rugi secara adil dan
segera. Penyitaan harta dilarang kecuali untuk keperluan yang
ditetapkan hukum).374
Pasal 10 Ayat (1) dan (2) dari CDHRI tersebut jelas
mengharamkan berdikari yang melanggar syariat (termasuk praktek judi)
yang dinyatakan melanggar hukum syariat oleh al-Quran Surah alBaqarah Ayat 219.375
Semua macam hak Asasi manusia yang tidak bertentangan
dengan keyakinan Islam diakui dalam Islam, termasuk hak memperoleh
pekerjaan dan penghidupan yang layak dan berperan serta di dalam
aktifitas social kemasyarakatan. Di dalam Pasal 13 CDHRI juga
dikatakan:
Work is a right guaranteed by the State and the Society
for each person with capability to work. Everyone shall be free to
choose the work that suits him best and which serves his interests
as well as those of the society. The employee shall have the right
to enjoy safety and security as well as all other social guarantees.
He may not be assigned work beyond his capacity nor shall he be
subjected to compulsion or exploited or harmed in any way. He
shall be entitledwithout any discrimination between males and
femalesto fair wages for his work without delay, as well as to
the holidays allowances and promotions which he deserves. On
his part, he shall be required to be dedicated and meticulous in his
work. Should workers and employers disagree on any matter, the
State shall intervene to settle the dispute and have the grievances
redressed, the rights confirmed and justice enforced without
bias. 376
374

CDHRI 1990 Pasal 10. Lihat juga Al-Hageel, Human Rights in Islam and
Refutation of Misconceived Allegation Associated with These Rights, 60.
375
Lihat Qs. al-Ma>idah: 91-92.
376
CDHRI 1990 Pasal 13.

175

Dikatakan juga dalam Pasal 15 bahwa setiap orang berhak


memperoleh harta yang bukan dengan cara yang terlarang. Pengambil
alihan harta seseorang kepada pihak lain tidak diperbolehkan kecuali
syarat-syarat tertentu yang dibolehkan secara hukum, atau demi
kepentingan umum dengan pembayaran ganti rugi.
Berdasarkan uraian-uraian yang menyangkut dengan perolehan
harta yang legal yang diatur dalam konsep HAM universal dan konsep
HAM Islam di atas, Qanun No. 13 Tahun 2003 ini, disamping melakukan
upaya pengaturan terhadap cara berdikari yang halal, juga melakukan
upaya pelarangan dan penghukuman bagi tindak pidana judi. Selain
dilarang oleh Islam, judi juga dilarang oleh Negara RI melalui hukum
perundang-undangan yang berlaku. Dalam merelisasikan pelarangan ini
qanun menetapkan uqu>ba>t (penghukuman/pencambukan) bagi pelaku
yang terlibat.
Tabel 4.2.
Kesesuaian dan Ketidaksesuaian antara Qanun Maisir dengan Ketentuan HAM
Hukuman dan Kesesuaiannya dengan HAM
Hukuman
Perspektif HAM
No

Pelaku tindak
pidana/jarimah
judi

U
D
H
R

I
C
C
P
R

C
E
D
A
W

C
A
T

D
I
U
H
R

C
D
H
R
I

Ts

Ts

Ts

Ss

Ss

Ss

Tazi>r
kurungan

Tazi>r
denda

6-12 kali
cambuk

Tazi>r

cambuk

Penjudi

Penyedia fasilitas

15-35
juta
rupiah

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Penyelenggara

Sda

Sda

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Pelindung

Sda

Sda

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Sda
Sda
Ss
Ss Ss Ss Ss Ss
5 Pemberi izin
Catatan:
Bentuk jarimah (tindak pidana): melakukan perjudian, menyediakan fasilitas,
menyelenggarakan, melindungi, dan memberikan izin; Ts = Tidak Sesuai; dan Ss =
Sesuai.

176

Dalam rangka menghargai martabat manusia sebagaimana


anjuran UDHR 1948, Qanun menganut prinsip pra-duga tak bersalah dan
menyesuaikan dengan kondisi fisik dan mental terhukum. Di dalam Pasal
29 Qanun ini dikatakan: (1) Pelaksanaan uqubat dilakukan segera
setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap; dan (2)
Penundaan pelaksanaan uqu>ba>t hanya dapat dilakukan berdasarkan
penetapan dari Kepala Kejaksaan Negeri apabila terdapat hal-hal yang
membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang
berwenang.377
Persepsi (Qanun) seperti ini juga telah dicantumkan di dalam
Deklarasi Kairo 1990. Dikatakan di dalam CDHRI bahwa menyangkut
dengan status individidu di depan hukum adalah sama antara pemimpin
dan orang yang dipimpin; hak menempuh jalur hukum juga dijamin,
pertanggungjawaban adalah esensi individu, tadak ada penghukuman
kecuali yang ditetapkan syariah; dan seorang tersangka tidak bersalah
kecuali kalau sudah terbukti di pengadilan dan berhak melakukan
pembelaan diri. Pasal 19 CDHRI berbunyi:
(1) All individuals are equal before the law, without
distinction between the ruler and the ruled; (2) The right to
resort to justice is guaranteed to everyone; (3) Liability is in
essence personal; (4) There shall be no crime or punishment
except as provided for in the Shari'ah; and (5) A defendant is
innocent until his guilt is proven in a fast trial in which he shall
be given all the guarantees of defence.378
Berdasarkan table 4.2 di atas dapat dikatakan bahwa selain
cambuk, Deklarasi HAM dan kovenan-covenannya menyetujui hukuman
yang diatur Qanun terhadap pelaku perjudian dan orang yang terlibat
dengan praktek perjudian. UDHR 1948 memang tidak setuju dengan
penghukuman (cambuk) dari Qanun yang demikian. Pandangan ICCPR
yang menyangkut dengan kesesuaian dan ketidak sesuaian Qanun hukum
cambuk dengan HAM, memiliki dua penafsiransebagaiman tersebut
di atas. Namun banyak kalangan yang memahami bahwa hukum cambuk
bertentangan juga dengan ICCPRseperti Iben dari Komnas HAM RI.
377

Qanun No. 13 Pasal 29 Ayat (1) dan (2).


Pasal 19 CDHRI 1990

378

177

Tabel juga menyatakan bahwa CEDAW juga kontradiktif dengan hukum


cambuk yang diatur Qanun. Sedangkan CAT, CDHRI dan DIUHR
mengakui bahwa Qanun maisir telah sesuai dengan HAM.
B. Pelaksanaan Qanun No. 14 Tahun 2003
1. Qanun dan Perspektif Perundang-undangan lainnya.
Tentang uqu>ba>t khawat diatur dalam Qanun No. 14 Tahun 2003
tentang khalwat (mesum), jika dilihat dari jenis perbuatan melawan
hukumnya, bukan suatu hal yang baru. Hal yang sama ditemui dalam
aturan kesusilaan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP). Terlepas dari kontroversi yang dimilikinya, KUHP produk
kolonial ini jauh-jauh hari telah mengatur soal kesusilaan. Bahkan jauh
lebih rinci dibandingkan Qanun Khalwat. Pandangan seperti ini
dilontarkan Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di
Aceh.379
Komisi ini juga mengatakan bahwa khalwat didefinisikan sebagai
perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang
berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawainan.
Sementara dalam KUHP dikatakan, hal-hal kecil. Namun demikian,
keduanya tetap memiliki perbedaan orientasi hukum. Perbuatan khalwat
akan tetap ditindak baik dilakukan di tempat umum (terbuka) maupun
ditempat tertutup. Artinya, orientasi hukum pengaturan khalwat adalah
untuk kemaslahatan dan kemanfaatan pribadi seseorang dan juga orang
lain. Manfaat pribadi agar seseorang tidak melakukan perbuatan yang
mengarah pada perbuatan zina yang dilarang oleh agama dan
mengakibatkan dosa dan siksa di kemudian hari. Sementara manfaat bagi
orang lain adalah melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan
atau perbuatan yang merusak kehormatan, sebagaimana maksud dari
pelarangan khalwat di dalam Islam.380
Tujuan pelarangan khalwat terdapat dalam Pasal 3 Qanun
Khalwat. Tujuan larangan khalwat adalah untuk melindungi masyarakat
sedini mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina
dan merusak kehormatan. Menurut KUHP perbuatan asusila akan
379

Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, Analisis


terhadap Qanun No. 12, 13, dan 14 tentang Jinayat, Kertas Kebijakan, 10 Oktober
2005, 8.
380
Muhammad al-Lut}fi> al-Siba>g, Tahri>m al-Khalwah bi al-Marah alAjnabi>yah wa al-Ikhtila>t} al-Mustahtir (al-Riya>d}: Mat}baah Safi>r, 1411 H), 25.

178

ditindak sebagai pelanggaran hukum ketika dilakukan di muka umum.


Sementara jika dilakukan di tempat tertutup tidak lagi menjadi obyek
hukum. Perspektif hukum pidana tentang pengaturan kesusilaan ini
mengarah pada upaya melindungi orang lain untuk tidak terganggu atau
terpengaruh oleh tindakan yang menyebabkan timbulnya birahi orang
lain. Di sinilah letak perbedaaan konsep qanun dengan KUHP.
Pertimbangan utama yang penyusunan qanun itu adalah al-Quran
dan Sunnah. Karena itu, secara materil qanun ini hanya memiliki
justifikasi syariat Islam semata, meskipun ia tetap tidak bisa dipersoalkan
(uji materil) karena berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999 dan UU No. 18
Tahun 2001, Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan sebagai daerah yang
diperintahkan oleh hukum untuk menjalankan syariat Islam.381
Selain menyelaraskan dengan sejumlah pasal dari UDHR 1948
(terutama dengan pasal 11), untuk menghindari pengeksekusian yang
curang dan tidak adil maka perlu dilibatkan pelaksana ahli dalam bidang
Hukum pidana. Dikatakan dalam Pasal 27 Qanun tersebut bahwa: (1)
Pelaksanaan uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai
kekuatan hukum tetap; dan (2) Penundaan pelaksanaan uqubat hanya
dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan apabila
terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat
keterangan dokter yang berwenang.382
Prosesi penegakan hukum juga senada dengan pasal 11 UDHR
1948 sebagaimana dikatakan dalam pasal 14 Qanun ini, (1) Dalam
melaksanakan fungsi pengawasannya,
Pejabat WH sebagaimana
dimaksud dalam pasal 13 bila menemukan pelaku terhadap larangan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6, menyampaikan laporan
secara tertulis kepada penyidik; (2) Dalam melaksanakan fungsi
pembinaannya, Pejabat Wilayatul Hisbah yang menemukan pelaku
jarimah khalwat/mesum dapat memberi peringatan dan pembinaan
terlebih dahulu kepada pelaku sebelum menyerahkannya kepada
penyidik; dan (3) Pejabat Wilayatul Hisbah wajib menyampaikan laporan

381

Qanun No. 5 Tahun 2000. Lihat juga Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal
Pangabean, Politik Syariat Islam: dari Indonesia hingga Nigeria, 41-44.
382
Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 27 Ayat (1) dan (2).

179

kepada penyidik tentang telah dilakukan peringatan dan pembinaan


sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).383
Selain itu, di dalam Pasal 15 juga dikatakan: Wilayatul Hisbah
dapat mengajukan gugatan praperadilan kepada Mahkamah apabila
laporannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (1) tidak
ditindak lanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah setelah jangka
waktu 2 (dua) bulan sejak laporan diterima penyidik.384
2.

Pandangan HAM Universal

Sudah diuraikan di atas, menurut sebagian kalangan, aplikasi


Qanun No. 14 Tahun 2003 tidak hanya melangganggar UDHR 1948
(terutama pasal 5-6 nya), namun juga banyak bertentangan dengan
sejumlah kovenan-kovenannya. Hal ini dapat dilihat pada kovenan
HAM/CEDAW. Menurut tinjauan Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women pelanggaran HAM bukan
hanya pada eksekusi tindak pidana (khalwat) namun sejak mulai
penyelidikan (opsporing) oleh Wilayatul Hisbah tentang praktek
kebebasan individu yang berupa khalwat. Penyelidikan seperti ini juga
bertentangan dengan kovenan HAM/ICCPR yakni Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik yang ditanda tangani RI pada tanggal 19
Desember 1966, sebagaimana diterangkan di atas. Diakui Sukron Kamil,
dkk bahwa di Bireuen (Aceh) memiliki frekwensi razia/penyelidikan
(wanita keluar malam) paling tinggi dibandingkan tempat lain, karena
Bireuen memang telah menerapkan syariat Islam dalam berbagai aspek,
termasuk larangan khalwat.385
Selain yang berupa hanya penyelidikan tersebut, eksekusi tindak
pidana khalwat seperti dialami masyarakat Aceh Barat, yang dihadapkan
pada panggung eksekusi pencambukan jelas terjadi pelanggaran HAM
yang lebih besar. Bahkan aksi tersebut telah mengarah kepada
pelanggaran kovenan tentang penghukuman yang kejam dan melanggar
harkat dan martabat manusia/Convention Against Toture (CAT).
383

Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 14 Ayat (1) sampai (3).
Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 15.
385
Sukron Kamil, dkk, Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah
terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan Non Muslim, 165.
384

180

Argumen ini ditegaskan dengan Pasal 5 dan Pasal 6 UDHR 1948.386


Namun bagi konsep DUHAM hal ini jelas pertentangan besar dengan
CAT yang mengadopsi Pasal 5 DUHAM, dan International Covenants
on Civil and Politics Rights (ICCPR), dan instrument/komponen HAM
terkait lainnya. Pandangan seperti ini dikeluarkan oleh Komnas
Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.387
Berbeda dengan pandangan sebagian kalangan, pihak yang
mengesahkan Qanun khalwat memandang bahwa praktek hukuman
(tazi>r) yang dijatuhkan terhadap pelaku khalwat merupakan kebolehan
jika mahkamah syariat Islam/hakim ternyata memutuskan hukum
demikian, dan tidak terkategorikan melanggar hak individu, dan
penyiksaan yang menyiksa dan merendahkan martabat manusia.
Fenomena perdebatan yang menyangkut dengan (HAM) tersebut
telah ditanggapi Alyasa Abu Bakar dengan mengatakan bahwa
penerapan syariat Islam tidak boleh melanggar Hak-hak Asasi manusia
(HAM) dan tidak mengabaikan hak perempuan (gender);388 sanksi
cambuk bagi pelaku khalwat (zina) adalah hukuman alternatif yang
menurutnyatidak bertentangan dengan HAM, maka kalau
pelaksanaanya tidak cocok harus diselesaikan. Artinya kalau tidak
Islamnya salah dipahami, makna HAM-nya salah dijelaskan. Jadi tidak
mungkin penerapan syariat Islam bertentangan dengan HAM. Ia
386Pasal

5: Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam,


perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman.
Pasal 6: Setiap orang berhak atas pengakuan di mana-mana sebagai
pribadi di hadapan hukum.
387
Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, Analisis
terhadap Qanun No. 12, 13, dan 14 tentang Jinayat, Kertas Kebijakan, 10 Oktober
2005, 8.
388
Terminology gender memiliki pengertian yang luas (ambiguation), namun
yang dimaksudkan di sini adalah untuk kategori perbedaan individu ditinjau dari aspek
jenis kelamin. Keterkaitannya dengan perkara khalwat (improper relation between
sexes) karena tindak pidana ini melibatkan dua orang yang berjenis kelamin berbeda
(yakni laki-laki dan perempuan). Keterkaitannya dengan HAM karena ada pendapat
dalam Islam yang melarang perempuan bekerja di sektor publik yang bercampur-baur
antara laki-laki dan perempuan, sehingga berat kemungkinan terjadi praktek khalwat
pada situasi dan kondisi tertentu. Pandangan seperti ini bertentangan dengan UDHR
1948 Pasal 19 (tentang kebebasan gender).

181

menegaskan bahwa penerapan syariat Islam di Aceh tidak mencontoh


Malaysia, Afghanistan, dan berbagai negara Islam lainnya. Tetapi Aceh
memiliki model sendiri dan itu tak bisa dilaksanakan dalam waktu cepat.
Sukron, dkk dengan mengutip Alyasa juga mengatakan bahwa
perempuan dalam bingkai syariah di Aceh diperkenankan bekerja di luar
rumah. Di dalam adat masyarakat Aceh, perempuan diberikan
penghargaan yang tinggi (yakni ada yang menjadi ratu dan
pahlawan).389Selain paparan Ayasa,menyangkut denganpersoalan
gender di dalam Islam juga kerab diperdebatkan pakar-pakar HAM Islam
dan dunia.390
Alyasa mengakui dirinya menyetujui hukuman cambuk, baik
kepada pelaku khalwat, khamar, dan maisir. Menurutnya, semua
hukuman adalah derita, yang menurut filosof Eropa, penderitaan paling
berat adalah kehilangan kemerdekaan. Logikanya karena hak asasi paling
dasar adalah kebebasan, maka hukuman cambuk yang diterapkan adalah
yang lebih ringan dan yang agak jauh dari pelanggaran HAM. 391 Senada
dengan Alyasa M. H. Syed menyetujui pelarangan khalwat (illegal
sexual intercourse), sebagaimana katanya: Islam prohibated illegal
sexual intercourse in all forms, (Islam melarang semua bentuk
hubungan seksual yang tidak sah).392
Dengan perkataan lain, mulai dari proses penyelidikan aspek
HAM dalam pembuatan Qanun Aceh telah diperhatikan. Penyelidikan
sangat diperlukan karena hal ini merupakan aspek proses supremasi
hukum agar tidak menyimpang dengan HAM dan hukum. Pasal 11
UDHR 1948 menyebutkan: (1) Setiap orang yang dituduh melakukan
tindak pidana berhak untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan
kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan terbuka, di mana
dia memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya.
(2) Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran
389

Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM: Dampak
Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan Non Muslim , 134
390
Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQuen, Islam and Human Rights in
Practice Prospectives across the Ummah, 1-10.
391
Alyasa Abu Bakar, Syariat Islam jangan Bertentangan dengan HAM,
Serambi Indonesia, 10 Juni 2010, 3. Lihat juga Sukron Kamil Chaider S. Bamualim,,
Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hakhak Perempuan dan Non Muslim 207.
392
M. H. Syed, Human Rights in Islam: the Modern Perspective , 154

182

hukum karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu


pelanggaran hukum menurut undang-undang nasional atau internasional,
ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan dikenakan
hukuman yang lebih berat daripada yang berlaku pada saat tindak pidana
tersebut dilakukan. 393
Senada dengan Pasal 11 UDHR 1948 ini, di dalam Qanun Aceh
tentang Khalwat Pasal 14 juga dikatakan: a. Dalam melaksanakan fungsi
pengawasannya, Pejabat WH sebgaimana dimaksud dalam pasal 13 bila
menemukan pelaku terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 5 dan 6, menyampaikan laporan secara tertulis kepada penyidik; b.
Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul Hisbah
yang menemukan pelaku jarimah khalwat/mesum dapat memberi
peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum
menyerahkannya kepada penyidik; c. Pejabat Wilayatul Hisbah wajib
menyampaikan laporan kepada penyidik tentang telah dilakukan
peringatan dan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2).
Di dalam Pasal 15 Qanun tersebut juga dikatakan, Wilayatul
Hisbah dapat mengajukan gugatan praperadilan kepada Mahkamah
apabila laporannya sebagaimana dimaksud dalam pasal14 ayat (1) tidak
ditindak lanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah setelah jangka
waktu 2 (dua) bulan sejak laporan diterima penyidik.394
Hak gugatan dan perlindungan hukum yang terdapat di dalam
pasal 15 Qanun tersebut juga senada dengan Pasal 12 UDHR yang
berbunyi: Tidak seorangpun dapat dikenakan terhadap interferensi
dengan sewenang-wenang, keluarganya rumah privasi, atau
korespondensi, atau untuk serangan atas kehormatannya dan nama
baiknya. Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur
tangan atau serangan.
Pasal 31 (Qanun) menyebutkan bahwa (1) Uqubat cambuk
dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut
Umum; dan Ayat (2) menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Jaksa Penuntut Umum harus
berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Qanun ini dan/atau
ketentuaan
akan
diatur dalam Qanun tentang hukum formil.
Mekanisme ini menunjukkan adanya keterlibatan unsur personalia terkait
393
394

Lihat UDHR 1948 Pasal 11.


Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 14-15.

183

dalam prosesi pengeksekusian pelaku tindak pidana dalam suatu


mahkamah. 395
Juga dikatakan bahwa keterlibatan hakim (qd}i) tidak terlepas
sejak awal prosesi seperti penyelidikan sampai dengan penjatuhan
hukuman, sebagaimana dikatakan dalam Pasal 32 bahwa: (1)
Pelaksanaan Uqu>ba>t dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai
kekuatan hukum tetap; dan ayat (2) menyatakan bahwa Penundaan
pelaksanaan uqu>ba>t hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari
Kepala Kejaksaan apabila terdapat hal-hal yang membahayakan
terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang.
Sebagaimana diketahui bahwa bahwa seorang jaksa merupakan unsur
penting bagi keberlangsungan suatu prosesi pengeksekusian, maka tidak
mustahil ia diperankan dalam proses itu. 396
3.

Pandangan CEDAW dan CAT


Menurut Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam
di Aceh, jika qanun khamar dan maisir dianggap tidak mengalami
kontradiksi dengan perundang-undangan lainnya di Indonesia, qanun
khalwat mengalami kontradiksi dengan perundang-undangan lainnya.
Pembatasan jenis tindak pidana khalwat yang sangat luas berimplikasi
pada penafsiran hukum yang luas. Pengaturan khalwat jika dihadapkan
pada UU tentang Hak Asasi Manusia, bahkan dengan UU No. 7 Tahun
1984 tentang Ratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women (CEDAW) jelas-jelas mengalami
kontradiksi signifikan. Hak asasi seseorang menjadi sangat terancam
akibat adanya pengaturan yang sangat longgar.
Pembatasan terhadap gerak perempuan di wilayah publik,
sebagai sesuatu yang sangat ditentang oleh UU No. 7 Tahun 1984 hasil
Ratifikasi kesepakatan Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women, telah menjadi fakta lapangan di Aceh.
Jika di satu sisi kehadiran qanun khlawat dianggap memiliki justifikasi
politik, karena ia merupakan manifestasi dari pendelegasian kewenangan
dalam penyusunanan peraturan daerah, sebagaimana diatur dalam UU
No. 18 Tahun 2001, maka di sisi lain ruang untuk mempersoalkan

395
396

Lihat Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 31.


Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 1 dan 2.

184

kontradiksi yang didapati dalam qanun juga dibenarkan oleh UU yang


sama.397
Sesuai dengan namanya Hak Otonomi, UU No. 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus memang tidak membatasi secara tegas
kewenangan penyusunan peraturan daerah oleh otoritas NAD, misalnya
dengan memagari bahwa setiap produk peraturan daerah tidak boleh
bertentangan dengan UU yang menyangkut dengan HAM terrutama UU
yang telah diratifikasi dari (kesepakatan) CEDAW dan lain sebagainya.
Namun sebagaimana ditetapkan dalam Ketentuan Peralihan dalam pasal
29 UU Otonomi Khusus dijelaskan bahwa semua peraturan perundangundangan yang ada sepanjang tidak diatur dengan undang-undang ini
dinyatakan tetap berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.398 Nur
Ikhwan dalam karyanya menulis bahwa (mantan) Gubernur Abdullah
Puteh menjamin (issued an assurance) bahwa implementasi syariat tidak
akan mengurangi hak-hak dan kebebasan-kebebasan perempuan dalam
berkarya.399
Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh
beranggapan bahwa eksekusi cambuk bagi pelaku khalwat bertentangan
dengan UUD 1945 Bab XA Pasal 18A -28J, UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW, dan
UU RI No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Melawan
Penganiayaan dan Perlakuan Kejam yang lain, tidak Manusiawi atau
Hukuman yang Menghinakan.400 Pandangan seperti ini sama halnya
dengan Human Rights Watch (HRW) yang bermarkas di London. Juru
bicara Human Rights Watch, Christen Broecker, ketika berada di Jakarta,
mengatakan pemberlakuan syariat Islam bukan masalah namun beberapa
ketentuan tentang moralitas sering menimbulkan penganiaan terhadap
orang-orang yang dianggap melanggar syariat. Christen juga
397

Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, Analisis


terhadap Qanun No. 12, 13, dan 14 tentang Jinayat, Kertas Kebijakan, 10 Oktober
2005, 8.
398
Lihat UU No. 11 Tahun 2006 Bab Peralihan
399
Nur Ikhwan, the Politics of Shariatization: Central Gorvermental and
Regional Discourses of Sharia Implementation in Aceh dalam R. Michael Feener and
Mark E. Cammack, Islamic in Contemporary Indonesia Ideas and Institutions, 209.
400
Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, Analisis
terhadap Qanun No. 12, 13, dan 14 tentang Jinayat, Kertas Kebijakan, 10 Oktober
2005, 8.

185

menyarankan agar dua ketentuan hukum yakni hukum khalwat dan dan
hukum tentang tata cara berpakaian syariah dicabut.401
HRW memberikan contoh adanya pemerkosaan terhadap tahanan
oleh oknum Wilayatul Hisbah (WH). WH yang dibentuk dalam rangka
melakukan pengawasan terhadap tidak pidana khalwat, ironisnya oknum
dari badan ini juga melakukan tindak pidana dalam menjalankan
tugasnya. Di Langsa, misalnya, 3 orang oknum dari WH yang bernama
Nazir, Feri, dan Dedi memperkosa tahanan tersangka pelaku khalwat
yang bernama Nita. Akibat tindak pidana ini ketiga oknum WH ini
dijatuhi hukuman 8 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Langsa,
Aceh.402
Pada lingkup yang lain, pejuang Hak-hak perempuan asal Iran,
Shirin Ebadi juga mengecam sejumlah Undang-undang yang mencegah
persamaan hak sebagai fakta hukum yang cacat. Ia menyarankan adanya
persamaan hak antara perempuan dan laki-laki pada kedua system yang
mengatur hak-hak asasi manusia yakni system HAM dan system Islam.
Maka interpretasi Islam tentang status perempuan di peringkat kedua di
dalam realita sosial memerlukan pertimbangan.403Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa penafsiran status gender baik menurut konsep Islam
maupun konsep HAM memerlukan perhatian semua kalangan, sehingga
tidak nampak adanya diskriminasi terhadap perempuan (discrimination
against women) dalam setiap aspek kehidupan.
Qanun khalwat menyahuti pelarangan dari mendekati zina di
dalam Islam dengan melakukan penghukuman terhadap pelaku khalwat,
agar orang tidak mudah terjermus ke dalam praktek yang mendekati
kepada perzinaan. Penghukuman khalwat lebih dekat dengan analogi
penghukuman jarimah zina yang diperintahkan Qs. al-Nu>r [34]: 2. Ayat ini
secara gamblang memerintahkan pengeksekusian pelaku tindak pidana
zina (dengan pencambukan) yang dilakukan di depan khalayak. Senada
401

HRW: Qanun Khalwat Melanggar HAM, Serambi Indonesia, 3 Desember


2010
dalam
http://m.serambinews.com/news/view/44063/hrw-qanun-khalwatmelanggar-ham (diakses tanggal 3 Desember 2010.
402
Lihat Asrori S. Karni, Hukum dan Kriminalitas, Gatra. Com, tanggal 19
Desember 2010, 1, dalam http://www.gatra.com/artikel.php?id=143697 (diakses
tanggal 15-02-2011). Lhat juga Sharia Poice Arrasted for Rape, The Jakarta Post,
January 16, 2010, 1.
403
Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQueen, Islam and Human Rights
in Practice Prospectives across the Ummah, 14.

186

dengan Ayat tersebut, Pasal 28 Ayat (1) Qanun ini menyatakan bahwa
uqubat cambuk (bagi pelaku khalwat) dilakukan di suatu tempat yang
dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum
dan dokter yang ditunjuk.404
Memang menurut Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women, pencambukan yang ditetapkan Qanun
No. 14 Tahun 2003 yang menerapkan eksekusi di depan umum bagi
tindak pidana khalwat, di samping bertentangan dengan HAM
universalsebagaimana diuraikan di atas, juga bertentangan dengan
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women terutama bila hukumannya dijatuhkan kepada perempuan.
Dikatakan bertentangan dengan HAM juga, karena ketentuan Qanun ini
hanya berlaku bagi laki-laki dan perempuan Islam yang berdomisili di
Aceh. Dengan demikian terdapat diskriminasi terhadap ummat Islam
dalam penghukuman.405
Berbeda dengan Komnas Perempuan, Hasanuddin Yusuf Adan
mengatakan bahwa hak dan kebebasan menjalankan ajaran agama dapat
berlaku bagi penganut agama apa saja. Kepada penganut agama Kristen
di negeri Batak dan Roma, penganut agama Yahudi di Yeruzalem dan
Palestina, penganut agama Hindu-Budha di Bali dan Thailand. Mereka
berhak menjalankan ketentuan agamanya dengan bebas asalkan tidak
mengganggu agama lain karena itu bahagian dari ketentuan HAM
internasional. Untuk itu semua jangan berkedok HAM untuk
menghancurkan Hukum Islam, kalau itu yang dilakukan maka ummat
Islam boleh menyimpulkan HAM yang menjajah hukuman cambuk dan
404

Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Ayat (1).


Sejumlah pakar fiqh dan HAM Islam memahami bahwa Qanun cambuk bagi
pelaku khalwat sebanyak 3-9 kali tidak tergolong hukuman yang kejam, tidak
manusiawi, dan merendahkan martabat manusia; tidak diskriminasi terhadap orang
muslim/pelaku khalwat yang berdomisili di Aceh. Karena pada awal Islam ada orang
yang bernama Maiz meminta hukuman hadd zina dijatuhkan atasnya dengan suka rela
kerena ia yakin bahwa menerima hukuman itu bagian dari ketaatan terhadap hukum
agama. Maka tidak mustahil pakar HAM Islam nemahami UDHR Pasal 18 tentang
kebebasan beragamayang mencakup juga kebebasan menjalankan hukum-hukum
agama. Lihat juga Ah}mad Fathi Bah}ansi, al-Siya>sah al-Jina>iyah fi> al-Syariyah alIsla>mi>yah (Bairut: Da>r al-Maa>rif, 1403), 37.
405

187

bukan hukuman cambuk yang melanggar HAM. Hasanuddin


menambahkan, Zina, minum arak dan menuduh orang lain berzina tanpa
cukup saksi merupakan perbuatan keji dan jahat. Karena itu ketika
hukuman cambuk diberikan kepada pelakunya tidaklah berlebihan dan
tidaklah melanggar HAM bagi orang yang berpikiran dan objektif dalam
berpikir, karena pelakunya telah melanggar sejumlah hak oramg lain.
Hanya orang-orang yang mengedepankan hawa nafsu sajalah yang
menuduh hukum cambuk melanggar HAM serta tidak berperi
kemanusiaan. Kalau kita mau bertanya balik; apakah pelaku zina yang
keji dan kotor seperti hayawa>n, penuduh orang lain berzina yang d}a>lim,
kejam dan jahannam serta peminum arak yang serupa dengan syaitan
itu punya prikemanusiaan406
Nazila, dkk. juga sulit membedakan antara pelanggaran HAM
dan (hak) kebebasan menjalankankepercayaan hukumagama,
sebagaimana katanya:
The fact that it is still seen to be so difficult an issue tells
us something significant about the relationship between human
rights and religious belief.407
Terkait hukum jinayat khalwat di Aceh, Hukum perundangundangan RI telah memberikan peluang kepada Aceh untuk menyusun
dan melaksanakan Qanun tentang khalwat.408 Memang Indonesia telah
mernyetujui kovenan (kesepakatan) HAM dengan Majlis Umum PBB
pada tanggal 23 Oktober 1985, dan telah meratifikasikannya ke dalam
UU No. 5 Tahun 1998 yang ditandatangani B. J. Habibie. RI telah
meratifikasikan menjadi UU tentang pengesahan Convention Againts
Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
406

Hasanuddin Yusuf Adan, Aceh Antara Hukuman Cambuk dan HAM,


http://ummahonline wordpress.com/2010/02/19/aceh-antar-hukum-cambuk-dan-ham/
(diakses 9 Desember 2010).
407
Nazila Ghanea, Alan Stephens and Raphael Walden, Does God Believe in
Human Rights?: Studies on Religion, Secular Beliefs and Human Rights, 10.
408
Dalam jawabannya kepada HRW, Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar
mengatakan bahwa Mahkamah Agung RI pernah menguji Qanun No. 14 Tahun 2003.
Hasilnya, Mahkamah Agung tidak membatalkannya. Bahkan beberapa kasasi
Mahkamah Agung mengukuhkan ketentuan hukum tentang khalwat dan telah
berkekuatan hukum tetap menjadi yurispridensi. Lihat Asrori S. Karni, Hukum dan
Kriminalitas, Gatra.Com, tanggal 19 Desember 2010, 3.

188

Punishment (Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau


penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan
martabat manusia) yang disepakati pada tanggal 9 Desember 1975.
Deklarasi dan Prograrn Aksi Wina 1993 juga sepakat antara lain
menghimbau negara-negara anggota PBB untuk secepatnya
mengesahkan perangkat-perangkat internasional yang sangat penting di
bidang hak asasi manusia (HAM). 409
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa dualisme pemahaman
tentang HAM,satu pihak memandang bahwa penghukuman
khalwat/zina di dalam Islam merupakan pelanggaran HAM, sementara
pihak lain memandang sebaliknya, berlangsung hingga saat sekarang
ini.
4. Pandangan HAM Islam
Perkara gender penting disinggung di sini karena praktek jarimah
khalwat satu pelarangan manusia bekerja di luar rumah dan pencampur
adukan satu tempat antara laki-laki dan perempuan, menurut pandangan
Islam,
adalah agar terhindar dari praktek khalwat/tuduhan
khalwat.410CDHRI melakukan penyusunan (draft) HAM untuk
menghindari pengabaian hak yang sama berkaitan dengan hak, tanpa
mengabaikan gender (jenis kelamin)sebagaimana diharapkan di dalam
sebuah dokumen yang disahkan oleh negara-negara Islam seperti Iran
dan Arab Saudi, di mana diskriminasi yang berdasarkan jenis kelamin
adalah kebijakan Negara. Pada perumusan yang tidak jelas (evasive),
pasal 6 menyatakan bahwa wanita sama dengan laki-laki dalam kodrat
kemanusiaan (human dignity)namun tidak sama dalam hak (rights).
Para pegiat HAM Islam dari Pakistan (seperti Abu al-Ala alMaududi dan Tabandeh) kerap memberikan komentar tentang persamaan
hak dan kebebasan bagi wanita untuk bergerak dan bekerja di luar rumah
sebagaimana yang diungkapkan pasal 19 UDHR 1948. Tabendeh, pegiat
HAM Islam menyatakan pertentangannya terhadap persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan yang tercantum dalam Pasal 19 UDHR jika
dimaksudkan bahwa itu merupakan persamaan kodrat antara laki-laki dan
409

Lihat juga Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan


Konstitusi, 207.
410
Muhammad al-Lut}fi> al-Siba>g, Tahri>m al-Khalwah bi al-Marah alAjnabi>yah wa al-Ikhtila>t} al-Mustahtir , 27.

189

perempuan yang membuat mereka dapat memilih tugas-tugas tertentu


dan dalam membuat keputusan yang sama. Pandangan ini disetujui Abu
Ala al-Maududi, hanya ia menyetujui kebebasan hak bagi perempuan
untuk melakukan gugatan cerai terhadap suaminya pada keadaankeadaan yang memungkinkan. Mayer dalam bukunya menulis:
Tabandeh olso profess his opposition to the notion of
male-female equality embodied in Article 19 (of UDHR) if it
meant that a natural equality exists between men and women ,
fitting them to undertake identical tasks and to make equal
decision. Unlike Tabandeh, However, Maududis views on
women are on record in his other writing , and they are similar to
Tabandehs, with exception that Maududi believed that women
should be able to sue for divorce on liberal grounds. 411
Dalam Konteks ini Cairo Declaration of Human Rights in Islam
mencantumkan kriteria Islam dalam menegaskan hak kebebasan wanita
untuk bergerak dan kemampuan mereka untuk memilih pekerjaan. Pasal
12 The Cairo Declaration of Human Rights in Islam menyatakan bahwa
setiap orang akan memiliki hak, di dalam kerangka Sharia (fi ut}ur> alshari`a). Dalam syariah Islam agar adanya kebebasan bergerak bagi
wanita, misalnya, harus ada keizinan suami terlebih dahulu.412
Pasal 13 Cairo Declaration of Human Rights in Islam juga
menyatakan laki-laki dan perempuan yang bekerja dinjurkan adil dalam
penerimaan upah pekerjaan tanpa diskriminasi (the employee shall be
entitled without any discrimination between males and females).
Ketentuan ini merupakan sebuah langkah yang positif karena tidak
menghalangi (restrick) penentuan lapangan pekerjaan yang menjanjikan
bagi wanita.413 Pada item yang lain, The Cairo Declaration of Human Rights
411

104.

Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 102-

412

Pasal 12 CDHRI menyatakan: Every man shall have the right, within the
framework of the Shari'ah, to free movement and to select his place of residence
whether within or outside his country and if persecuted, is entitled to seek asylum in
another country. The country of refuge shall be obliged to provide protection to the
asylum-seeker until his safety has been attained, unless asylum is motivated by
committing an act regarded by the Shari'ah as a crime.
413
Lihat Pasal 13 CDHRI 1990.

190
in Islam menyatakan juga bahwa setiap orang bebas memilih pekerjaan,

dan orang tersebut tidak boleh bekerja di luar kapasitasnya. Ketentuan


inilah yang mengeluarkan perempuan dari bekerja pada wilayah yang
tidak sesuai bagi mereka. Hal ini kontradiktif dengan UDHR pasal 23
ayat (1), yang menjamin setiap orang memiliki hak untuk bekerja dan
bebas memilih pekerjaan, dan pasal 6 dari ICESCR, yang menjamin hak
bagi setiap orang untuk memperoleh penghidupan dengan bekerja yang
dipilih secara bebas dan diinginkan.
Pasal 23 The Cairo Declaration of Human Rights in Islam juga
menetapkan bahwa sharia menentukan hak untuk mengambil kantor
publik, yang dijadikan pegawai berdasarkan pengendalian perempuan
untuk berpartisipasi dari kantor-kantor pemerintahan.
Ann Elizabeth Mayer menganggap bahwa konsep Deklarasi Kairo
tentang Hak Asasi Manusia menurut Islam (Cairo Declaration of Human
Rights in Islam ) ini merupakan salinan Pasal 19 and 20 dari ICCPR,
yang menangani aspek peradilan kejahatan. Hukum shariah diakui
memiliki perkembangan sejarah yang menyangkut dengan penanganan
prosedur kejahatan sampai saat sekarang ini. Hukum Islam pernah
ditinggalkan pada banyak Negara dan digantikan oleh hukum
perundang-undangan tindak pidana yang ditetapkan Barat (Western
provenance). Hukum Islam bukan merupakan sebuah aspek dari
ketentuan Islam yang menganjurkan banyak pertimbangan atau
menghambat system peradilan modern. Di antara pernyataan Mayer yang
penting dikutip adalah:

Islamic rules on criminal procedure are not a facet of the


Islamic legacy that has commanded much loyalty or that has
constituted a serious obstacle to the modernization of criminal
justice. 414
This fact makes it difficult for some to argue that the
decision to omit from the Cairo declaration the safeguards of
414

Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 16.

191

articles 9415 and 14416 of the ICCPR was compelled by a


generally accepted view of which elements in the Islamic legal
legacy deserve high priority. Article 19 (b) 417of the Cairo
Declaration states that the right to resort to justice is guaranteed
to everyone. This formulation is regarded as fragile, since the
declaration gives insufficient guarantee that this right to resort
justice includes a fair hearing with safeguard (for both civil and
criminal litigants) according to the rights provided under

415

Article 9 of ICCPR:
(1) Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be subjected
to arbitrary arrest or detention. No one shall be deprived of his liberty except on
such grounds and in accordance with such procedure as are established by law.
(2) Anyone who is arrested shall be informed, at the time of arrest, of the reasons for
his arrest and shall be promptly informed of any charges against him.
(3) Anyone arrested or detained on a criminal charge shall be brought promptly before
a judge or other officer authorized by law to exercise judicial power and shall be
entitled to trial within a reasonable time or to release. It shall not be the general rule
that persons awaiting trial shall be detained in custody, but release may be subject
to guarantees to appear for trial, at any other stage of the judicial proceedings, and,
should occasion arise, for execution of the judgement.
(4) Anyone who is deprived of his liberty by arrest or detention shall be entitled to take
proceedings before a court, in order that that court may decide without delay on the
lawfulness of his detention and order his release if the detention is not lawful.
(5) Anyone who has been the victim of unlawful arrest or detention shall have an
enforceable right to compensation.
416
Article 14 of ICCPR: All persons shall be equal before the courts and
tribunals. In the determination of any criminal charge against him, or of his rights and
obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a
competent, independent and impartial tribunal established by law. The press and the
public may be excluded from all or part of a trial for reasons of morals, public order
(ordre public) or national security in a democratic society, or when the interest of the
private lives of the parties so requires, or to the extent strictly necessary in the opinion
of the court in special circumstances where publicity would prejudice the interests of
justice; but any judgement rendered in a criminal case or in a suit at law shall be made
public except where the interest of juvenile persons otherwise requires or the
proceedings concern matrimonial disputes or the guardianship of children.
417
Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall
include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds,
regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through
any other media of his choice

192

international law. In addition, article 19 (d)418 states that there


shall be no crime of punishment except as provided for in the
Shariah.419

Mayer juga mengakui bahwa Pasal 19 dari CDHRI 1990


bertentangan dengan Pasal 15420 ICCPR. Menurutnya, pada hukum Islam
masa lampau, tidak ada prinsip suatu tindakan harus diartikan sebagai
suatu kejahatan di dalam naskah hukum yang mendasari tuntutan
hukuman. Bahkan pada ketentuan pasal 19 CDHRI dinyatakan
seharusnya tidak ada hukuman kejahatan kecuali yang ditetapkan syariah
yang memberikan peluang untuk pengaduan pada kebijakan hukuman
tazi>r, di mana hakim dapat menaksirkan (memperkirakan) hukuman
sesuai dengan pertimbangan kondisi individu pelaku terhadap apa yang
melatar belakangi suatu tindakan kriminal yang dilakukan seseorang dan
kukuman apa yang cocok dijatuhkan kepadanya. Kebijakan peradilan
demikian, apakah dalam kategori tazi>r atau lainnya, adalah secara
mendalam dipertimbangkan (ingrained) di dalam system hukum di
negara muslim (seperti Saudi Arabia), di mana sedikit atau banyaknya
dari kodifikasi hukum maupun kewenangan pemerintah dapat
menentukan ruang lingkup dari hukum-hukum yang memberikan makna
bahwa perhatian lanjutan tentang tindakan apa dan sikap apa yang bisa
dikategorikan kejahatan dan hukuman apa yang ditetapkan, tidak
418

Pasal (Article) 19 of CDHRI: (a) All individuals are equal before the law,
without distinction between the ruler and the ruled; (b) The right to resort to justice is
guaranteed to everyone; (c) Liability is in essence personal; dan (d) There shall be no
crime or punishment except as provided for in the Shari'ah.
419
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 16.
420
Article 15 of ICCPR:
(1) No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any act or
omission which did not constitute a criminal offence, under national or
international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be
imposed than the one that was applicable at the time when the criminal offence was
committed. If, subsequent to the commission of the offece, provision is made by
law for the imposition of the lighter penalty, the offender shall benefit thereby; dan
(2) Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any person for any
act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according
to the general principles of law recognized by the community of nations.

193

diberikan wewenang kepada publik. Bahkan kewengan (pertimbangan)


penetapan hukuman oleh penguasa, menurut Mayer juga, adalah tidak
hanya pada tazi>r namun juga pada h}add. Meyer mengatakan:

The principle set forth in article 19 (b)421 of the ICCPR,


as already noted, allows the shariah to determine crimes and
punishments (the h}add penalties).422

Selain Saudi yang dikatakan Mayer di atas, Iran juga merupakan


salah satu Negara Islam yang memiliki prinsip yang sama, sebagaimana
digambarkan David Littman:

Iran had reached the conclusion that those two


instruments were compatible with Islamic law. Discrepencies
between domestic legislation and the Covenant should not be
exaggerated. Those differences could be overcome and a better
understanding of Islam, of Islamic law and of international law
achieved only by means of dialogue approached with an open
mind. 423

Terkait dengan Hukum Islam dan HAM, Mayer juga


menyatakan bahwa berusaha memaksakan syariah sudah didukung oleh

421

For the protection of national security or of public order (ordre public), or of


public health or morals.
422

Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 29.
David Littman, Universal Human Rights and "Human Rights in Islam," The
Journal Midstream (New York, February/March 1999), 8.
423

194

kontrovesi, kekerasan, dan bahkan pertempuran (perang sipil Sudan yang


kedua berkaitan dengan perselisihan anatara syariah dan konsep hakhak
asasi manusia (khususnya yang berhubungan dengan hak-hak wanita dan
non-muslim). Aspek hukum yang diperjuangkan dari syariah meliputi
pembuatan qanun hukuman h}udu}d (seperti pemotongan tangan, rajam,
pencambukan, dan hukuman pancungbeheading). Pelaranganpelarangan syariah tentang pencemaran nama baik (qazaf) dan riddah
(apostasy) juga dikecualikan dari konsep kebebasan beragama yang
dikenal secara internasional.424 Menurut Islam, Hukum Islam tidak kejam
karena menganut praduga tak bersalah sebagaimana yang di amanatkan
UDHR juga (Pasal 11 ayat1).425 Dengan demikian bukan semua pasalpasal UDHR ditolak oleh Islam, maka tidak mustahil bila Negara
(anggota OKI) seperti Indonesia juga ikut terlibat dalam
penandatanganan sejumlah kesepakatan HAM dengan dunia.
Setiap negara terikat dengan Kovenan Internasional tentang Hak
Sipil dan Politik wajib melindungi penduduknya dari memiliki hak-hak
mereka dilanggar. Perjanjian ini berlaku untuk setiap makhluk hidup
manusia di negara di bawah perjanjian tanpa memandang usia, jenis
kelamin atau ras. Komite Hak Asasi Manusia didirikan pada tahun 1977
424

Dikakatakan Mayer juga bahwa pihak publik kadang kala keliru dalam
memahami tentang adanya pelanggaran hak asasi bila hakim/qadi menghukum mati
orang murtad. Hukum spesifik tidak berlaku secara global. Kita tidak boleh mengatakan
Sudan melanggar HAM karena menghukum mati orang murtad. Tetapi lebih layak kita
katakan Sudan, mungkin, belum melaksanakan hukum Islam secara benar menurut
kaidah hukum Islam dunia. Karena murtad yang di suruh hukum mati oleh Nabi Saw
adalah murtad dalam kategori pengkhianatan. Yakni Nabi Saw mengkhawatirkan bila
ada orang Islam keluar dari agamanya kemudian masuk ke agama lain yang sedang
memusuhi Islam pada saat itu, ia akan membocorkan rahasia-rahasia kenegaraan Islam
(Madinah) kepada musuh. Di samping menjadi profokator yang mempengaruhi muslim
lainnya untuk ikut-ikutan keluar dari Islam. Murtad demikian jelas lebih terkait dengan
tindak pidana pengkhianatan yang merngancam keutuhan hukum Islam dalam
keseharian masyrakat yang telah susah payah ditegakkkan Nabi Saw dalam proses
pengubahan umat dari tradisi dan kondisi kejahiliahan menjadi Islam. Lihat Ann
Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 29.
425
Pasal 11 Ayat (1) dikatakan: Setiap orang yang dituduh melakukan tindak
pidana berhak untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya sesuai
dengan hukum, dalam pengadilan yang terbuka, di mana ia memperoleh semua jaminan
yang dibutuhkan untuk pembelaannya.

195

untuk memantau negara pihak yang menyangkut dengan


mereka yang berkaitan dengan perjanjian.

tindakan

Cairo Declaration1990 memnyetujui penerapan hukum Islam


menurut kondisi receptive negara tertentu dan komunitas masyarakat
yang bersangkutan. Negara Islam tidak terhalang untuk menerapkan
hukum pidana bagi pelaku riddah, rajam bagi penzina muh}sa} n (yang
sudah menikah), buqwah (pemberontakan), dan kawin campur (antara
penganut agama yang berbeda) yang dikatakan oleh UDHR (bahwa
kebebesan tersebut) sebagai hak dasar manusia yang tidak boleh
ditafsirkan lagi (pasal 30). Fenomena ini ditanggapi Cairo Declaration
dengan mengatakan bahwa Islam masih masih membuka penafsiran
menurut syariat Islam tentang pelaksanaan hukum Islam jika memang
memerlukan penafsiran na (pasal 25), yang membolehkan para pakar
madhhab untuk melakukan istinbt} (penggalian hukum) dan
penerapannya. 426
Martino Sardi, seorang pakar HAM dari Komnas HAM RI,
mengatakan bahwa melanggar HAM seseorang bertentangan dengan
hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah
organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu
Komnas HAM. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia memang masih
banyak yang belum tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia
HAM di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. HAM juga
bervariasi/bermacam-macam sebagaimana yang ditetapkan Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB). PBB pada tanggal 10 Desember 1948
memproklamasikan deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. 427
Tabel 4.3:
Kesesuaian dan Ketidaksesuaian antara Qanun Khalwat dengan Ketentuan HAM

426

Lihat Pasal 25 Cairo Declaration yang berbunyi: The Islamic Shari'ah is


the only Source of Reference for the Explanation or Clarification of any of the Articles
of this Declaration.
427
Martino Sardi, Macam-macam Hak-hak Asasi Manusia, Komnas
HAM, 14 Mei 2010, 5.

196
Hukuman dan Kesesuaiannya dengan HAM
Hukuman

Perspektif HAM

Pelaku
tindak

N
o pidana/jari-

Penyedia
fasilitas

3
4
5

Pelindung
Promotor
Pemberi
izin

3-9
kali

Tazi>r

denda

Ts

Ts

Ss

Ss

2-6
bulan

2,5-10
juta
rupiah
5-15
juta

Sda
Sda

Sda
Sda

Ss
Ss

Ss
Ss

Sda

Sda

Ss

Ss

Alyasa`
AB/M.H.Syed

kurungan

I
C
C
P
R

Komnas Pr.

Pelaku
mesum

cambuk

U
D
H
R

C
A
T
Alyasa` AB

Tazi>r

HRW/Komnas
Pr.

mah

Tazi>r

C
E
D
A
W

U
I
D
H
R

C
D
H
R
I

Ss

Ts

Ss

Ss

Ss

Ts

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ts

Ss

Ss

Ss

Ts

ss

Ss

Ss

Ss
Ss

Ss
Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ss

Ts

Ts

Catatan:
Bentuk jarimah (tindak pidana): melakukan
mempromosikan, dan memberikan izin.

mesum,

menyediakan

fasilitas,

Tabel 4.3. menunjukkan bahwa Pelaksanaan Qanun No. 14 Tahun


2003 terdapat beberapa perbedaan pendapat pakar bila dihubungkan
dengan perspektif HAM. UDHR (The Universal Declaration of Human
Rights) menyatakakan bahwa hukum cambuk 3-9 kali bagi atau denda 2,
5 -10 juta bagi pelaku khalwat bertentangan dengan HAM. ICCPR juga
mensinyalisasi bahwa Qanun ini bertentangan dengan kebebasan--yang
berjenis kelamin laki-laki ataupun
perempuan. Adapun menurut
pandangan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women, yang dipahami Alyasa, bahwa Qanun khalwat tidak

197

bertentangan dengan Convention on the Elimination of All Forms of


Discrimination Against Women. Sementara menurut HRW dan Komnas
Perempuan mengakui adanya kontradiksi antara Qanun ini dengan salah
satu konvensi HAM ini.
Selain itu, Committee Against Torture yang dipahami Alyasa
tidak bertentangan dengan hukum cambuk. Sementara yang dipahami
oleh Komnas Perempuaan bahwa pencambukan 3-9 kali bagi pelaku
khalwat bertentangan dengan Committee Against Torture.
Selain konsep HAM dunia dan kovenannya yang terkait tengan
dampak pelaksanaan hukuman khalwat di Aceh, table 4.3 juga
menunjukkan bahwa Deklasi Kairo dan Deklarasi HAM Islam di Eropa
menyatakan bahwa hukum cambuk atau denda atas pelaku khalwat dan
hukuman kurungan dan denda antara 5-15 juta bagi penyedia fasilitas dan
pemberi izin adalah tidak bertentangan dengan HAM. Karena praktek
khalwat (antara laki-dan perempuan yang bukan muhrim) adalah
perbuatan sangat dilarang dalam Islam. Dalam hal ini pencambukan,
kurungan, dan denda merupakan suatu hukuman tazi>r yang dibolehkan
bagi pemerintah kaum muslimin untuk melakukan pencegahan.
Dikatakan Anwarullah, menurut Islam, hukuman tazi>r bisa berupa
cambuk, penahanan, banishment (pencekalan), denda, hukuman mati,
dan/atau hukuman lainnya.428 Abdu
al-Qadir U<>dah juga telah
memaknai tazi>r dengan pengertian yang senada dengan.429

428

Lihat Anwarullah, The Crime Law of Islam, 241-263. Lihat juga Feener, R.
Michael, Mark E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and
Institution, 211.
429
Abdu al-Qadir U<>dahdi dalam al-Tashr al-Jin al-Islm Muqranan
bi al-Qnn al-Wad}, 154menulis:

198

Dengan demikian baik hukuman tazi>r (discretionary


punishments) maupun h}add (seperti yang hanya berlaku bagi pelaku
khamar dan khalwat dalam Qanun Aceh) merupakan hukuman jina>i>yah
yang terdapat di dalam fiqh Islam.430 Sedangkan hukuman jina>iyah
lainnya seperti hukuman terhadap pelaku riddah (keluar dari Islam) dan
rajam, Qanun juga masih belum dapat menegakkan h}add dan tazi>r.
Perkara riddah hanya disingung dan diatur dalam
Qanun tentang
pendangkalan aqidah, dan Pergub No. 16 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Forum Kerukunan Umat Beragama.431
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang
dikukuhkan oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
bertujuan mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan
HAM sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan Deklarasi Universal

( Tazir merupakan kumpulan dari hukuman-hukuman (uqubat)


yang tidak ditentukan (di dalam al-Quran dan al-Sunnah) mulai dari hukuman
yang paling ringan seperti dengan cara menasehati (pelaku pelanggaran) tentang
bahaya dari pelanggaran, dengan cara memberikan peringatan, sampai dengan
hukuman nyang lebih keras seperti kurungan (penjara), dera (cambuk). Bahkan
hukuman tazi>r sampai dengan kategori hukuman bunuh mati pada kasus
kriminal yang sangat berbahaya yang dilakukan pelaku. (Terhadap)
penghukuman tazir ini terserah kepada qadi (hakim) untuk memilih di antara
hukuman-hukuman yang sesuai bagi tingkat pelangggaran (kejahatan) yang
sesuai dengan kondisi (keadaan) pelaku kejahatan (dengan meninjau) pada
kepribadian pelaku dan (melihat ) pada kejahatan-kejahatan sebelumnya yang
telah ia lakukan.) Lihat Abdu al-Qadir U<>dah, al-Tashr al-Jin al-Islm
Muqranan bi al-Qnn al-Wad}, 154.
430

Lihat juga Abd al-Qdr U<dah, al-Tashr al-Jin al-Islm Muqranan


bi al-Qnn al-Wad}, 556. Lihat juga Ah}mad Fathi> Bahansi, al-Siya>sah al-Jina>i>yah fi>
al-Shari>ah al Isla>mi>yah (Bairu>t, 1983), 279.
431
Penerapan syariat Islam (kontemporer) di Aceh dimulai sejak 1 Muharram
1423 H. Perda DI Aceh No. 5 tahun 2000 Bab I pasal 4 ayat (3) yang berbunyi: Setiap
warga Negara RI atau siapapun yang bertempat tinggal atau singgah di Daerah Istimewa
Aceh, wajib menghormati pelaksanaan Syariat Islam di daerah.Lihat juga Qanun No.
11 Tahun 2002 Pasal 11.

199

HAM (DUHAM) serta meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM


guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan
kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.432
Indonesia telah ikut menyetujui Deklarasi UDHR tahun 1948 yang
dipaparkan Majlis Umum PBB. Meskipun deklarasi bukan merupakan
hukum, namun Indonesia memiliki tanggung jawab moral dalam rangka
mengahargai dan menghormati hak-hak asasi manusia di dunia.433
UUD 1945 menetapkan bahwa perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara,
terutama Pemerintah. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) nomor XVII/MPR/1998 dan Pasal 71 dan Pasal 72 UU No. 39
Tahun 1999 juga menetapkan bahwa perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung jawab
Pemerintah. Tap MPR No. XVII/MPR/1998 juga menugaskan lembagalembaga negara dan seluruh Aparatur Pemerintah untuk menghormati,
menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada
seluruh masyarakat. Hak setiap orang, kelompok, organisasi politik,
organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga
kemasyarakatan lainnya untuk berpartisipasi dalam perlindungan,
penegakan, dan pemajuan HAM diakui oleh UU No. 39 Tahun 1999.
Penerapan hukum Jinayat secara keseluruhan di Indonesia
memang berlawan dengan ideologi Negara (Pancasila). Karena hukum
jinayat identik dengan hukum Islam, sementara Indonesia bukan Negara
muslim, namun memiliki falsafah tersendiri dalam pengamalan ajaran
agama. Meskipun berbeda dengan Iran, Pakistan, Arab Saudi, dll,
peluang Indonesia dalam mejalankan syariat besar karena termasuk ke
dalam salah satu dari 59 Negara-negara Organisasi Koperensi Islam
(OKI) yang berdiri tahun 1949. Dengan demikian berbagai event
(konferensi) yang menyangkut dengan kepentingan Islam Indonesia telah

432

Bernard Lewis, Islam and The West (New York: Oxford University
Press), 1993, 112.
433

200.

Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,

200

berperan serta. Indonesia telah bersedia menanda tangangi Deklarasi


Kairo
Tahun 1990 yang diprakarsai Negara Negara Organisasi
Koperensi Islam, yang membahas tentang Hak-hak Asasi Manusia
berdasarkan Islam. Salah satu Negara OKI, Pakistan, yang merupakan
salah satu Negara Islam dan Organisasi Koperensi Islam, pernah
mengatakan bahwa HAM Islami (UIDHR dan CDHRI) merupakan
pelengkap (komplementer) bagi the Universal Declaration of Human
Rights (Deklarasi Sejagat Hak-hak Asasi Manusia) 1948.
Di Aceh, upaya-upaya penerapan h}add (yang bersumber dari
Kitab Allah dan Sunnah Nabi Saw) bagi tindak pidana zina juga pernah
diusahakan di Aceh, seperti adanya upaya pengqanunan/perancangan
qanun h}add rajam dan 100 kali dera yang telah disahkan DPRA periode
2004-2009. Rancangan Qanun ini telah diusulkan pengesahannya kepada
gubernur Aceh.434 Rancangan Qanun ini tidak dapat dilaksanakan (secara
positif) karena belum adanya pengesahan gubernur, bahkan masih terjadi
pro-kontra di kalangan masyrakat hingga saat sekarang ini.
Pihak pro, Fron Pembela Islam (FPI) Aceh menyatakan, Qanun
Jinayat (rajam) dan Hukum Acara Jinayat yang disahakan pada tanggal
14 Oktober 2009 lalu oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)
periode 2004 - 2009, sudah sepantasnya diterapkan di Aceh. Hal itu
ditegaskan Ketua Fron Pembela Islam Aceh, Yusuf al-Qardhawi. Yusuf
al-Qardhawi melanjutkan, jika alasan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf
tidak menandatangani Qanun ini dengan alasan masyarakat Aceh belum
siap, maka sampai kapanpun bahkan hingga dunia kiamat tidak akan
pernah siap. Diakatakannya juga, Qanun yang mengatur tindak pidana
menurut Islam itu sangat bagus diterapkan di Aceh yang memang
menerapkan syariat Islam. Namun demikian tentunya harus
disosialisasikan terlebih dahulu kepada seluruh masyarakat Aceh. Yusuf
juga menuturkan bahwa semua keputusan akhir untuk menerapkan qanun
434

Selain rancangan qanun rajam usulan DPRA pada tahun 2009, pada tahun
2006 juga pernah ada rancangan Qanun usulan gubernur tentang h}add pencurian (alsirqah) yakni Rancangan Qanun Prov. NAD Tanggal 13 Desember 2006 tentang
Pencurian, namun kedua Qanun ini masih dalam bentuk rancangan. H{add qazaf
(penuduhan zina seseorang tanpa bukti) juga pernah dicantumkan dalam rancangan
KHJA Tahun 2008. Lihat Alyasa Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh:Upaya
Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa.

201

ini ada di tangan pemerintahan Irwandi-Nazar, yang hingga kini belum


juga ditandatangani dengan alasan ada sejumlah poin dalam qanun ini
tidak sesuai, dan perlu pengayaan materi lebih dalam lagi.
Sedangkan pihak yang kontra,
Presiden Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEMA) IAIN Ar-Raniry, Herri Maulizar mengatakan,
keputusan Gubernur dan DPRA periode 2009 - 2012 untuk menunda
implementasi qanun jinayat (rajam) dan qanun hukum acara jinayat
sudah tepat. Herri menandaskan, Qanun ini harus dikaji kembali secara
mendalam, karena substansi di dalamnya tidak jelas dan saling
bertentangan. Dia menilai Qanun Peninggalan Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh (DPRA) periode lalu adalah produk gagal, dan perlu dikaji
kembali. Pendapat senada juga disampaikan oleh Ketua Pelajar Islam
Indonesia (PII) kota Banda Aceh, Yusri. Yusri mengatakan walaupun
banyak ormas Islam seperti Fron Pembela Islam, Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan para santri mendesak
DPRA dan Gubernur untuk segera mengimplementasikan Qanun Jinayat,
PII malah sebaliknya. 435
Dengan demikian, ketiga Qanun yang membahas tentang
pelaksanaan Hukuman Jinayat di Aceh (terhadap pelaku tindak pidana
khamar, judi dan khalwat) menurut Perspektif HAM, akan menghasilkan
kesimpulan yang disusun berdasarkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip
HAM: (1) The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948;
International Covenants on Civil and Politics Rights (ICCPR) 1966,
Convention against Torture (CAT) 1984; Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) 1979, Cairo
Declaration of Human Rights in Islam (CDHRI) 1990, dan Universal
Islamic Declaration of Human Rights (UIDHR) 1981.

435

www.mahkamahsyariyahaceh.go.id, diakses 5 Mei 2010.

202

BAB

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Penerapan Hukum Pidana Islam (Jinayat) di Aceh dalam konteks
keindonesiaan tidak terlepas dari dampak latar belakang penerapan
syariat Islam dalam sosio-historis masyarakat Aceh. Sejak pra-penjajahan
(1903) dan awal kemerdekaan (1945) masyarakat Aceh telah memiliki
kecenderungan untuk menerapkan syariat Islam dengan pembentukan
Lembaga Qada> (Mah}kamah Shari>yah) untuk peneyelesaian persoalan
hukum sehari-hari, meskipun banyak rintangan, seperti terhalang
peleburan Aceh menjadi provinsi Sumatra Utara sebelum pengesahan
UU No. 24 Tahun 1956. Namun setelah provinsi Aceh terbentuk, Aceh
kembali berupaya memperjuangkan penegakan syariat Islam. UU No. 44
Tahun 1999, UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006,
merupakan aplikasi upaya tersebut, yang merefleksikan qanun-qanun
Aceh yang menyangkut dengan pelaksanaan syariat Islam, termasuk
Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 yang mengatur tentang aturan
pelaksanaan Hukum Jinayat yang telah berlangsung hingga saat
sekarang ini.
Penelitian ini berkisar pada konsep dan penerapan Hukum Islam
yang terkandung dalan ketiga Qanun tentang Jina>yah terbut melalui
hasil studi kepustakaan dan studi pada dokomen-dokumen kasus tindak
pidana yang terjadi (terutama yang dipublikasikan media massa).
Pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh sebagian besar telah berjalan
sebagaimana yang diqanunkan.
Implementasi Hukum Jinayat yang berupa pencambukan (baik
dalam kategori h}udu>d maupun tazir) terhadap pelaku tindak pidana
khamar, judi, dan mesum yang disahkan Qanun berlangsung berdasarkan
kasus yang diajukan masyarakat, hasil penyelidikan (opsporing) Pihak
Wilayatul Hisbah, dan/atau temuan pihak terkait lainnya. Penerapan

203

hukum ini memang kerap mengundang


perdebatan. Perdebatan
disebabkan kompleksitaspemahaman/pandangan para pakarHukum
Islam dan HAM. Pelaksanaan ketiga Qanun tersebut didasari perspektif
fiqh, meskipun masih memerlukan penyesuaian/tinjauan lanjutan, kerena
pelaksanaan Hukum Pidana Islam (Jina>yah) ini berada dalam lingkup
pelaksanan Hak Otonomi Khusus bagi Aceh dan perundang-undangan
lainnya yang berlaku di Indonesia.
Perdebatan (pro dan kontra) yang menyangkut dengan
pelaksanaan Qanun merupakan konsekwensi suatu produk hukum,
sebagaimana hukum perundang-undangan lainnya juga, Namun ketiga
Qanun tersebut dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Ketiga qanun ini
dijalankan Mahkamah Syariya dan Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kota
menurut kemampuan penguasa/penegak hukum di masing-masing
mahkamah sesuai dengan keadaan pelaku dan tempat kejadian perkara.
Banyak pakar hukum yang mengatakan, pelanggaran HAM tidak
dapat dihindari bila benar-benar menerapkan hukum Islam (terutama
h}udu>d), disebabkan hukum Islam ditegakkan berlandaskan kandungan
Wahyu Allah yang diinterpretasikan oleh Nabi Saw dalam hidup dan
kehidupan beliau. Namun pakar muslim mengatakan bahwa pelaku
tindak pidana telah terlebih melanggar hak Allah, hak manusia, dan hak
individu sendiri, sebagaimana dikatakan Al-Hageel, D.Y. Witanto dan
Hasanuddin.
Pelaksanaan Qanun jinayat dan kesesuaiannya menurut perspektif
Fiqh terlihat pada lampiran table 3.2, 3.4 dan 3.6. Tabel tersebut
menunjukkan bahwa ketiga qanun tersebut menunjukkan bahwa hukum
jinayat yang ditetapkan qanun tidak melenceng dari ketentuan Fiqh
Islam (mazhab sunni) yang dianggap mutabar oleh dunia Islam pasca
peruntuhan Bagdad oleh Holago Khan tahun 1258. Keseluruhan
penghukuman dianggagap sesuai dengan Fiqh baik penghukuman dalam
kategori h}add (seperti yang dijatuhkan atas peminum khamar) maupun
tazi>r.
Memnag , ketiga qanun Aceh itu tersebut telah dikodifikasikan
dengan upaya-upaya signifikan agar tidak bertentangan dengan hukum
Islam, hukum yang berlaku di Indonesia, dan hukum HAM. Bukan
hanya di Aceh, penerapan hukum Jinayat dalam Islam didukung konsep
HAM yang telah disahkan dalam Deklarsi Universal Hak-hak Asasi
Manusia Menurut Islam (DIUHR) 1981 dan Deklarasi Kairo (CDHRI)
1990yang menyatakan bahwa penerapan syariat Islam di dunia dapat

204

disesuaikan dengan penafsiran fiqh berbagai mazhab yang ada dalam


Islam menurut kondisi dan situasi umat Islam berada, (tak terkecuali di
Aceh-Indonesia). Menurut Hukum Islam dam konsep HAM Islam,
menghukum orang yang bersalah bukan bertujuan untuk menyiksa
mereka secara tidak manusiawi dan merendahkan martabatnya. Namun
merupakan balasan atas kesalahan yang ia lakukan, di samping
merupakan salah satu cara taubah (permohonan ampunan/penyesalan
dari dosanya), bila dilakukan dengan suka rela. Tujuan Hukum Islam
adalah untuk mencegah kriminalitas(kesalahan) yang samadilakukan
oleh umat Islam yang lain.
Ketiga Hukum Jinayat itu telah menjadi hukum positif di
Indonesia sebagaimana yang telah dikatakan oleh Alyasa Abu Bakar
dan D. Y. Witanto karena telah lulus uji materil (yudisial review)
Mahkamah Agung RI (yang dilandasi konsideran) dengan sejumlah
Hukum dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku lainnya.
Dengan perkataan lain ketiganya tidak menyimpang dengan konstitusi
Negara. Selain pakar internal, dalam kontek global telah muncul
Shahram Akbarzah, Abdullahi Ahmed An-Naim, Al-Hageel, Syed
Serajul Islam dan lain-lain yang dapat menjembatani antara Konsepkonsep HAM yang berlaku di dunia dengan Islam.
Ketiga Qanun Jinayat Aceh tersebut berlandaskan hukum
Islam dalam konteks otonomi dan dalam legalisasi dan legislasi
Negara bangsa, bukan mengamalkan fiqh secara total sebagaimana
di Negara-negara Islam dunia. Konstitusi RI berideologi berideologi
Pancasila, bukan berideologi Islam. Peluang untuk menjalankan
Hukum Islam di RI tidak terhalang oleh konstitusi secara total.
Hukum Perundang-undangan RI telah memberikan celah-celah
untuk pengamalan hukum Islam, terutama berdasarkan UUD 1945
Pasal 29 Ayat (1) dan (2). Maka demikan halnya yang terjadi di
Aceh.
Kosekuensi kejahatan, menurut Fiqh adalah
tidak
menghilangkan hukuman bagi yang berhak memikulnyaseperti
qis}a>s} dalam kaitannnya dengan kejahatan terhadap jiwa/fisik
manusia, hukuman mati bagi pelaku murtad, dan rajam bagi pelaku
zina muhsan sesuai ketentuan yang telah ditetapkan Fiqh Islam,
tanpa alasan yang digariskan shara atau ada ketentuan hukum
lainnya yang disahkan shara. Namun Qanun Jinayat Aceh belum
menerapkan hukuman (h}add) ke taraf yang demikian. Qanun

205

Jinayat rajam yang dirancang dan telah disahkan DPRA periode


2004-2009, tidak disahkan gubernurkarena banyak peninjauan
seperti pertimbangan HAM.
Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) PBB memiliki kontradiksi
dengan sejumlah ketentuan dari Fiqh (Jinayah) Islam. Namun diakui
bahwa konsep ini telah memerankan peranan penting dalam peningkatan
kesadaran hak individu terhadap penciptaan nuansa kebebasan secara
universal yang dapat mengurangi/menghilangkan rasa ketakutan dari
individu dan mengurangi keinginan dari pihak-pihak tertentu untuk
melakukan praktek pengeksploitasian manusia dan penyiksaan. Maka
Aceh-Indonesia mempertimbangkan aspek HAM dalam penyusunan
Qanundengan pemberlakuan dan pelaksanaan Hukum Jinayat yang
ringan sebagaimana Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003.
Para pejuang HAM dan penegak hukum Islam masing-masing
mengunakan benteng HAM dan hukum Islam dalam rangka mencapai
misi mereka. Kedua pihak ini memiliki tujuan yang baik bagi
kemaslahatan manusia. Mereka sama-sama mencurahkan daya ijtiha>d
(kesungguhan) yang besar terhadap tujuan masing-masing.
Pelaksanaan hukum Jinayat di Aceh dalam perspektif HAM
dapat dilihat pada lampiran table 4.1, 4.2 dan 4.3. Table-tabel tersebut
menunjukkan bahwa hukum (executie) cambuk yang diterapkan oleh
Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 terdapat kedidaksesuaian dengan
konsep UDHR dan sejumlah kovenan, di samping ada juga pendapat para
pakar/lembaga HAM yang memahami dan menyimpulkan bahwa
pelaksanaan hukum jinayat oleh ketiqa qanun itu terdapat kesesuaiannya
dengan ICCPR, CEDAW, dan CAT. Adapun menurut konsep Deklarasi
HAM Islam (UIDHR dan CDHRI) dan pendapat sejumlah pakar HAM
dunia Islam bahwa tidak ada perbedaan tentang kesesuaian ketiga qanun
itu dengan HAM.

B. SARAN-SARAN
Dengan adanya formalisasi hukum jinayat di Aceh, Indonesia,
hukuman bagi pelaku kriminal (termasuk tindak pidana khamar, judi dan
khalwat) dapat menjadi stimulus bagi penyadaran masyarakatdari
berbagai latar belakang agama, ras, dan budaya tentang adanya
pelaksanaan hukum jinayat di Aceh-Indonesia.

206

Sebagaimana saran ketua MPU Aceh, Muslim Ibrahim, penelitian


ini juga menyerankan kepada pihak yang berwenang dalam penyusunan,
pengesahan, dan pelaksanaan Qanun Aceh agar melakukan langkahlangkah penyempurnaanteoritis dan aplikatifterhadap ketiga Qanun
jinayat tersebut yang sedang berlaku di Aceh. Berbeda dengan saran
direktur Human Rights Watch (HRW), Elaine Pearson agar Qanun No.
14 Tahun 2003 dibatalkan.
Pelimpahan sebagian wewenang Mahkamah Agung kepada
Mahkamah Syariyah perlu dilestarikan dalam rangka penegakan
supremasi hukum bagi pencegahan praktek kriminal di Indonesia. Dalam
rangka pelestarian itu, anggaran APBN yang difokuskan pada
pelaksanaan eksekusi Jinayat di Aceh, demikian juga halnya APBA dan
APBK dapat dianggarkan secara konsekwen dan disalurkan secara
kontinyu pada kegiatan eksekusi pelaku Jinayat, sebagaimana
diamanahkan oleh Pasal 127 Ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006 dan sesuai
hukum perundang-undangan yang berlaku lainnya. Kebijakan demikian
menunjukkan adanya tekat yang baik pemerintah dalam merealisasikan
Qanun, sebagai salah satu Hukum Perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia juga.
Selain itu, upaya uji materil (yudisial review) qanun oleh
Mahkamah Agung juga memerlukan pengembangan/konstruktif dalam
rangka pemajuan sektor hukum Aceh-Indonesia, bukan pemunduran dari
apa yang telah dicapai Qanun Aceh yang merupakan penjabaran fiqh
jinayat.
Jinayat menyangkut dengan HAM, mengingat Indonesia telah
mengadopsi dan menanda tangani ICCPR dan sejumlah kovenan HAM
lainnya yang telah disepakati Indonesia bersama dengan Negara-negara
lain di dunia, diharapkan agar Pemerintah RI merealisasikan
peratifikasikannya ke dalam pengamalan hukum perundang-undangan
yang tidak bertentangan dengan amanah Konstitusi 1945 yang telah
diamandemen 4 (empat) kali, dan sejumlah Hukum atau Peraturan
Perundang-undangan yang disahkan pemerintah yang menyetujui UU
Otonomi khusus bagi Aceh untuk penyusunan dan pelaksanaan Qanun.
Penelitian ini juga mengharapkan kepada para penegak hukum
Islam (terutama hakim) agar menggunakan alat tafsir (qa>`idah fiqhyah)
yang benar dan baku (mutabar) di dalam Islam. Hukuman yang
dijatuhkan kepada pelaku kejahatan hendaknya jauh dari aksi
penganianyaan, semborono, dan emosional. Jika pelaksanaan hukum

207

yang terjadi di Aceh merupakan realisasi Qanun (dan hukum perundangundangan lainnya) yang berdasarkan syariat Islam, pelaksanaan Qanun
tersebut diharapkan tetap menghormati UDHR1948 dan beberapa
kesepakatannya (covenant-nya)seperti ICCPR, CEDAW dan CAT
yang telah disepakati Indonesia dengan PBB, dan bahkan sudah
diratifikasi menjadi sejumlah Undang-undang untuk Indonesia.

208

DAFTAR PUSTAKA
A. Referensi dari Buku-buku.
1. Referensi dari Bahasa Arab.
Al-Biri>, Abu Hasan Ali Bin Muammad Bin abb alMward.Al-Jawmi al-Kabr fi Fiqh Madhhab al-Ima>m alShfi. Juz II. Bairut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1994.
Al-Dardiri, Aqrab al-Masalik li Madhhab Imam Malik. Nigeria:
Maktabah Aiyub, 2000.
Al-Hanbali>, al-Buhuti>. Kshshf al-Qina`. Bairut: Da>r- al-Kutub alIlmi>yah, 1997.
Ibnu Arab. Ahkm al-Qurn, Qism al- Rbi`. Bairut: Dr alMarf, 468 H.
Ibnu Farhun. Kitb Tabrt al-ukkm fi Ul al-Aqd{i>yah wa

Manhj al- Akm.Vol.2.T.tp.: Dr al-Kutub al-Ummi>yah,


t.th.
Isa, Kamal Muhammad. Aqd}iyah wa Quh fi> Rib al-Islm.
Jeddah: Mat}bi Dr al-Bild, 1987.
al-Jazi>ri> , Abdu al-Rah}ma>n. Al-Fiqh ala> al-Madha>hib al-Arbaah .
Bairu>t: Dar> al-Kutub al-Ilmi>yah, 2003.
Khallaf, Abdul Waha>b. Ilmu Ul al-Fiqh. Kairo: al-Qhirah,
1947
Mah}yiddin, Muammad. Sunan Abu Dud . Bairut: Dr al-Fikri,
t.th.
Mali>j, Muhammad. Al-Niz}a>m al-Qad} al-Islm. Kairo: Dr alTaufi>q alNumu>zaj,
1984.
Mans}ur> , Muhammad Ali. Muqrant baina al-Shari>ah alIslmi>yah wa al-Qawann al-Wad}iyah (Bairut: Da>r al-Fat li
al-T{iba>ah wa al-Nashr, 1980), 24.

209

Mudzhar, Muhammad Atho. Fatwa Majlis Ulama al Indu>ni>si>:


Dira>sah fi al-Fikri al Tashri>i> al-Isla>mi> bi Indu>ni>sia> 19751988. Jakarta: UCLA, 1992.
Al-Mutraj, Mahmu>d. Mukhtas}ar al-Muzn al al-Um li al-Imm
Muammad Bin Idrs al-Shfi. Bairut: Dr al-Kutub alIlmiyah, 1993.
Al-Nais}bri>, Muslim al-Qushair. al-Jmi al-S{ah}i<h. Bairut: Dr
al-Fikri, t.th.
Al-Naww. S{ah}i<h} Muslim Syar al-Naww, Cet. 3. Bairut: Dr
al-Fikri, 1978.
.., S{ah}i<h} al- Bukhr bi Sharh al-Naww, , Cet. II.
Bairut: Dar al-Iy wa al-Turth al-Arabi,1928 M.
Al-Qazwin, Ibnu Mjah. Sunan Ibnu Mjah. Bairut: Dr al-Kitb
al-Lubnni, t.th.
Sa>biq, al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah. Kairo: al-Fath liila>m al-Arabi>,
1365.
Al- Shfi, Muh}ammad Bin Idrs. Al-Um. Bairut: Dr al-Fikri, t.th.
Al-Sharnabulani, Muraqi al-Falah wa bi Hamishihi min Matn Nur
al-Idah. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004.
Al-S{ibgh, Muhammad al-Lut}fi. Tah}rm al-Khulwah bi al-Marah alAjnabi>yah wa al-Ikhtila>t} al-Mustahtir. Riyad}: Idrt al-Buh}u>th alIlmyah wa al-Ift wa al-Dawah wa al-Irshd, 1411 H.

Sutardi, Ahmad. Pelaksanaan Syriat Islam Sebagai Sarana


Membangun Bangsa menuju Akhlaqul karimah, Ahkam:
Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Vol. 9 No . 10/IV/2002.
Tarmizi, Erwandi. Al-Qimar fi al-Asri al- Qadm wa al-H{ad}ir. Riya>:
Maktab Dawah dan Bimbingan Jaliyat Rabwah, 2007.

U<dah, Abdul Qadr. Al-Tashr al-Jin al-Islm Muqranan bi

al-Qnn al-Wad}. Bairut: Muassasah al-Rislah, 1997.


Al-Wafa, Abu, al-Afgani. Al-Jami al-Sagi>r maa Sharhihi al-Nafi
al-Kabi>r. Mesir: al-Mat}baah al-Wafa, 1357.
Al-Zuh}aili>, Wah}bah. al-Fiqh al- Isla>mi> wa Adillatuhu , Juz I. Damaskus:
Da>r al-Fikr, 1984.

210

2. Referensi dari Bahasa Indonesia


Abdillah, Masykuri, dkk. Formalisasi Syariat Islam. Jakarta:
Renaisan, 2005.
Abdul Halim. Politik Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Ciputat
Press, 2005.
Abu Bakar, Alyasa. Penerapan Syariat Islam di Aceh:Upaya
Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa. Banda Aceh: Dinas
Syariat Islam Aceh, 2008.
Abu Malik dan Kamal bin as-Sayyid Salim, Sahih Fiqh al-Sunnah,
Hudud,
Jinayat dan Diyat, Jual Beli,tt.
Adjis, A., Chairil, Dudi Akasyah, Kriminologi Syariah. Jakarta:
PT Wahana Semesta Intermedia, 2007
Ali, Mukhtar.
Prospek Fatwa sebagai Hukum Positif di
Indonesisia, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Ali Muhammad , Rusjdi. Revitalisasi Syariat Islam di Aceh;
Problem, Solusi dan Implementasi menuju Pelaksanaan
Hukum Islam di NAD Cet.1. Banda Aceh: Ar-Raniry Press,
2000.
Ansari, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan
Sejarah Konsensus Nasional Islam dan Nasionalis tentang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959. Jakarta:
Rajawali, 1986.
Baik, Al-Khudari. Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Dr alIy` Indonesia, 1980.
Djadja, Hermansyah. KUHP Khusus, Kompilasi Ketentuan Pidana
dalam Undang-Undang Pidana Khusus. Jakarta: Sinar
Grafika, 2009.
Effendy, Mochtar Fiqh Islam. Palembang: Universitas Sriwijaya
bekerjasama dengan Yaysan Pendidikan dan Ilmu Islam AlMukhtar, 2003.
Fauzan, Peranan Sadd al-Dzari>ah sebagai Dalil Hukum Dalam
Prospek Hukum Islam, Al-Hurriyyah; Jurnal Hukum Islam,
Vo. 7, No. 2, Juli-Desember 2006.
Hurgronje, Snouck. De Atjehers Terj. Sutan Maimun, Aceh, Rakyat
dan Adat Istiadatnya (Jakarta: INIS, 1996),

211

Husaini, Usman Shihab Agama dalam Putaran Sejarah Peradaban


Menurut Malik Bennabi, Jauhar Jurnal Pemikiran Islam
Konstektual,vol. 4, No. 2, Desember 2003.
Iben, Catatan Akhir Tahun Hak Asasi Manusia, Komnas HAM,
12 Agustus 2009.
Irsyad, Syamsuhadi. Mahkamah Syariyah dalam Sistem Peradilan
di Indonesia. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2009.
Kamil, Sukron, Chaider S. Bamualim. Syariah Islam dan HAM:
Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak
Perempuan dan non-Muslim. Jakarta: CSRC, 2007.
Mahendra, Yusril Ihza.
Mewujudkan Supremasi Hukum di
Indonesia (Jakarta: Dep. Kehakiman
dan Hak Asasi
Manusia, 2002.
Mahfud MD, Mohd. Membangaun Politik Hukum: Menegakkan
Konstitusi. Jakarta: PT Raja Wali Pers Persada, 2010.
Malik, Muhammad Abduh, Filosofi Hukum dari Aturan Hukum
Pidana Islam, Ahkam: Jurnal Syariah, hukum dan Pranata
Sosial, No.10/IV/2002.
Muslich , Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar
Grafika Offset, 2005.
Nasution, Adnan Buyung. Arus Pemikiran Konstitusionalisme
Hukum dan Peradilan. Jakarta: Kata Hasta, 2007.
Norrahman. Hukum Pidana Islam. Bandung: Pustaka al-Kashshf,
2007.
Sahude, Syaldi , Instrumen HAM Internasional yang Telah
Diratifikasi Indonesia, (Artikel) Fact Sheet, Komnas HAM
dan Berbagai Sumber Lainnya , 8 Mei 2009.
Santoso, Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam di Indonesia;
Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda. Jakarta:
Gema Insani, 2003.
Shomad, Abd. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam
Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2010.
Siddiqiy, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara . Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2009.
Simorangkir, Theodrik, Peran kantor Wilayah Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI meningkatkan Kinerja

212

Jaringan Dokumentasi dan Informasi Nasional, Himpunan


Karya Tulis Bidang Hukum tahun 2003, Dephukumham RI,
2001.
Soerodibroto, R. Sumarto.KUHP dan KUHAP . Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada,1979.
Sugirman, A, Pergumulan Islam di Indonesia (Paradigma Hukum
Islam dalam Tata Negara Indonesia, Jurnal Hukum dan
Pendidikan, Vo. 6, Periode Juli-Desember 2004.
Tim Penyusun. Ensiklopedy Hukum Pidana Islam. Jakarta; Dirjen
Bimas Islam Departemen Agama, 2007.
Yatim, Badri. Sukarno, Islam, dan Nasionalisme, Cet. 1. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999.

3. Referensi dari Bahasa Inggris


An-Naim, Abdullahi Ahmed, Islamic Family Law in a Changing
World: a Global Resource book. London: 2nd book Ltd., 2002.
Anderson, J.N.D. Islamic Law in the Modern World. New York:
New York University Press, 1954.
Anwarullah. The Crime Law of Islam. Kuala Lumpur: Pustaka
Hayati, 1997.
Akbarzadeh, Shahram and Benjamin MacQueen. Islam and
Human
Rights in Practice Prospectives across the
Ummah . London: Routledge, 2005
Arkoun, Muhammad. Islam: To Reform or to Subvert? London:
Sagi Essentials, 2006.
A.C. German, B.S.,M.S.in P.A., D.P.A. Introduction to Law
Enforcement And Criminal Justice,17th Printing.T.tp.:
CharlesThomas Publisher, 1972.
Azra , Azyumardi dan Arsekal Salim. Shariah and Politics.
Singapore:
ISERS, Intitute of South East Asian
Studies, 2003.
Cammack, Mark E, The Indonesian Islamic Judiciary, dalam
Feener, R.
Michael.
Islamic
law
in
Contemporary Indonesia Ideas and
Institution.
Massechusset: Harvard University Press, 2007.

213

Coulson N.j. A History of Islamic Law. USA: Edinburg University


Press, 1964.
Doi, Abdurrahman I. Syariah; The Islamic Law. Kwala Lumpur:
Percetakan Zafar Sdn Bhd, 1996.
Etzioni, Amitai and Eva Etziani-Halevy, Social Change Sources,
Patterns, and Consequences, 2nd Edition. New York: Basic
Book
Publishers,
Feener , R. Michael and Mark E. Cammack. Islamic law in
Contemporary
Indonesia
Ideas
and
Institution.
Massechusset: Harvard University Press, 2007.
Hallaq Wael B.Was the Gate of Ijtihad Closed? International
Journal of Midle East Studies, 1984.
Jameelah, Maryam. Islam in Theory and Practice, New Delhi:
Turkman Gate-Delhi,Taj. Company, t.th.
Kadish, Sanford H. Criminal Law and Its Processes, 4th Edition.
Toronto: Little, Brown and Company, 1982.
Laldin, Muhammmmad Akram. Introduction to Shariah and
Islamic
Yusrisprudence. Kuala Lumpur: CERT
Publication, 2006.
Lukito, Ratno. Islamic Law and Adat Enconter the Experience of
Indonesia, 1s Edition. Canada: Mc Gill, 2001.
Mahmood, Taher. Islamic Law in Islamic Countries. New Delhi:
Academi of Law and Religion, 1987.
Maududi. S. Abul Ala. The Islamic Law and Constitution.
Lahore: Islamic Pubication Ltd., 2000.
Mehdi, Rubya. The Islamization of the Law in Pakistan .
Chippenham: Curzon Press/Antony Rowe Ltd., 1994.
Messick, Brinkley. The Mufti, the Text, and the Word: Legal
Interpretation in Yamen. In Journal of The Royal
Antrhopological Institute 21 No. 1, 1968.
Mayer, Elizabeth Ann, Islam and Human Rights Tradition and
Politics, 3rd Edition (Colorado: Westview, 1999.
Mudzhar, Mohammad Atho. Islam and Islamic Law in Indonesia: a
Socio-Historical Approach. Jakarta: Office of Religious
Approach and Development, and Training Ministry of
Religious Affairs Republic of Indonesia, 2003.

214

Patricia. Roman, Provincial and Islamic Law. London: Cambridge


University Press, 1987.
Rahman, S. A., Punishment of Apostasy in Islam. New Delhi:
Kalam Mahal, 1996
Reid, Anthony. Verendah of Violence: the Background to the
Aceh Problem Seatle: University of Washington Press, 2006.
Reid, Sue Titus. Criminal Law. Buston: Mc Graw Hill, 2000.
Rosenthal, Franz. Gambling in Islam. Leiden: E. J. Brill, 1975.
Schacht, Joseph. An Introduction to Islamic Law. New York:
Oxford University Press, 1971.
Serajul Islam, Syed . The Politic of Islamic Identity in South East
Asia. Australia: Thomson, 2005.
Siddiqi, Muhammad Iqbal. The Penal Law of Islam. New Delhi:
International Islamic Publishers, 1994
Shahram, Akbarzadeh. Islam and Human Rights in Practice
Prospectives across the Ummah. London: Routledge, 2005.
Syed, M. H., Human Rights in Islam: the Modern Perspective.
New Delhi: Anmol Publication PVT. LTD, 2003.
Vincent, R. J. Human Rights and International Relations.
Cambridge: Cambridge University Press, 2001.
B.

Referensi dari Perundang-undangan


Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 tentang
Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan
Peraturan Propinsi Sumatera Utara

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang


Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP).
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa
Aceh.

215

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang


Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang
Peraturan Perundang-undangan.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang
Sistem Peradilan di Indonesia.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
Keppres RI No. 11 Tahun 2003 tentang Makamah Syar`iyah dan
Makamah Syariyah Provinsi di Nanggroe Aceh
Darussalam.
Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pergub No. 16 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Forum Kerukunan Umat Beragama.
Perda Daerah Istimewa Aceh No. 3 Tahun 2000 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majlis
Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa
Aceh.
Perda Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 43 Tahun 2001 tentang
Pelaksanaan Syariat Islam tentang Perubahan Pertama atas
Perda Daerah Istimewa Aceh No. 3 Tahun 2000 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majlis
Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istomewa
Aceh.
Qanun Prov. NAD No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat
Islam.

216

Qanun Prov. NAD No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar


dan Sejenisnya.
Qanun Prov. NAD No. 13 Tahun 2003 tentang Maysir (Perjudian).
Qanun Prov. NAD No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).
Rancangan Qanun Prov. NAD Tanggal 13 Desember 2006 tentang
Pencurian.
Qanun Aceh No. 2 Tahun 2009 tentang Majlis Permusyawaratan
Ulama (MPU).
Keputusan Mahkamah Agung RI No. KMA/070/SK/X/2004
tanggal 6 Oktober 2004 tentang Pelimpahan Sebagian
Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah
Syariyah di Prov. NAD.

C.

Referensi dari Media Massa.


Bangun , Satroy. 5 Terpidana dicambuk Waspada, 07 August 2010,
1.

B/o, NII Jabar Tak Ada Hubungan dengan DI/TII di Aceh,


Waspada,
17 Mei 2011, B5
Fauzi,
Gamawan Aceh Sees Shallow Implementation of
Sharia,The Jakarta Post, 21 Agustus 2010.
Hasan, Nurdin .To Stone or not to Stone? Its All a Bit Unclear,
Jakarta Globe, 23 November 2009, A6.
Ibrahim, Muslim. Hukuman bagi Orang Murtad, Serambi
Indonesia, 11 Juni 2010, 10.
Norrahman, Compatibility between Pancasila and sharia-based
Islamic teachings, The Jakarta Post, 10 Januari 2010, 6.
Rum, Muhammad.Polemik Hukum Rajam, Serambi Indonesia, 5
Februari 2010, 4.
MI. 15 Pelanggar Syariat di Aceh Divonis Hukum Cambuk,
Media Indonesia 12 Mei 2010.
S. Karni, Asrori, Hukum dan Kriminalitas, Gatra.Com, 9
Desember 2010, 1.

217

D.

Referensi dari Websites


http://en.wikipedia.org/wiki/Qanun, dicetak pada tahun 2006.
http://en.wikipedia.Islamic Law of the World/Law.htm, 18
Agustus 2010
http://ummahonline wordpress.com/2010/02/19/aceh-antar-hukumcambukdan-ham,9 Desember 2010.
http//www.List_of_Muslim_majority_countries.htm
http://www.gatra.com/artikel.php?id=143697, 15-02-2011
http://www/UDHR/Human rights.htm, 17 Desember 2010.
http://www.dhimmi.org/Islam.html, 25 Februari 2010

218

INDEKS
A
Abdul Hamid II, 21
Abu Bakar (al-khalifah), 68
Abu Hanifah (Imam) 56, 58, 66, 67, 68
Abu Ishaq al-Shatibi 25
Abu Malik Kamal 66
Abu Yusuf 66
Abu Wafa 46
Abdurrahman Wahid 3, 4, 5,9, 88, ,
126
Abdussamad 26, 36
Abdul Aziz Sidqi 20
Abdul Qadir Audah 19, 40, 45, 46,
69, 75,
76
Abdul Qadir Jailani 28, 40
Abdul Mujaeb 5, 45
Abdullah Puteh 51, 40, 48, 79,
Abdurrahmnan I. Doi 25, 70, 90,
Abdullahi Ahmed An-Naim 111, 108,
130, 133
Aceh Barat 70
Aceh Besar 87
Aceh Tamiang 75
Aceh Tengah 60, 70, 79
Administrative Law 23
Al-Jaziri 69, 58
Ahmad Mukri Ali 38, 44, 50
Ahmad bin Hanbal (Imam) 13, 58, 62,
66, 67, 68
Ahmad Farhan Hamid 47
Anaeuk Jamee 26
Ann Elizabet Mayer 5, 8, 12,100, 101,
106, 107, 127

Amin Rais 26, 32


Amir Muallimin 29, 90
Ahmad Fathi> Buhansi 71
Ahmad MukriAli 44
Akbar Zadeh 18
Alauddin Riayatsyah 21
Ali bin Abi Talib (Ra.) 68
Ali Munghayatsyah 13, 21, 22
Ali Ali Mansur 95, 102
Alyasa Abu Bakar 4, 9, 10, ,12,
13, 14, 26, 27, 30, 31, 42, 91,
93, 120, 130,133,141, 139, 170
Ann Elizabeth Mayer 17
Ariel Hikmah 48
Arsekal Salim 30
B
Backing 63
Baital Mal 63, 84
Bakar Abu Zaid 67
Basam Tibi 111
Belanda 20, 27
Bhinneka Tunggal Ika 40
B.J.Habibie 2, 4,6, 7, 32, 35, 36,
38, 39, 44, 57, 79, 91, 95, 130
Bugwah/hirabah 24
Bukhari 64
Bylaw 3, 30, 42, 57, 93
C
CAT 35, 104, 109, 141
Canon Law 23
Centralistic 26

219

Aristoteles 8, 23
ASEAN 6, 8
Azyumardi Azra 12, 13, 19, 20, 2, 27.
31
CDHRI 6, 11, 12, 14,18, 143, 145, 201
CEDAW 5,6, 9,10, 35, 49, 109, 141,
201
Constitutional law, 23
Contract Law, 23
Covenants 36, 103
CRC 35, 49
Criminal Law 23
CPRW 10, 14, 49

CERD 35, 49
Chaider S. Bamualim 102
Hasanuddin 7, 8, 108,139
Helsinki 26, 29, 35, 41
Herri Maulizar 88
Hifz al-aql 25
Hifz al-din 25
Hifz al-ird 25
Hifz al-nafs 25
Hifz al-nasl 25
Hifz al-mal 25, 74
HS Bhatia 59

Holago Khan 60,66,73


Hukama 43
Human Rights Watch (HRW) 9
I
Iben, 144
Ibnu Qayyim 67, 78
Ibnu Qudamah 67, 68
ICCPR, 6, 7, 9,13, 15, 18, 36, 49,
102, 103, 104, 105, 106, 108,
139, 141, 144
Idri 38
Ijma 23
Ikhwan al-Musliminn 15
International law 23
Islam Federal 6
Iskandar Muda 20, 22, 27
Istambul 21

D
Darul Islam (DI) 1
Datu Beru 70
Daud Beureueh 1
David Clear Water 17,
David Littman 134
Diyat 43
Documentarial study 16
E
Elaine Pearson 9, 93, 94, 134, 136
Executie 49
Eropa, 27, 39
F
Fazlu Rahman 8, 9
Fath ad-Durami, 69
Al-firar min al-zahf 25
FPI 88
G
Gamawan Fauzi 80
Gerakan Aceh Merdeka (Freedom Aceh
Movement) 2
Golden Rule 108

J
Al-Jaziri 60, 62, 64, 69, 77
Jafari>, 9
Jakarta 46
Jepang, 39
John Locke 30
Jewish Law 23

220

H
Hadd 4, 8, 9, 20, 43, 47, 54, 57, 58, 59,
61, 63, 64, 65, 69, 88, 95, 108
Hasan Tiro 2
K
Kartosuwiryo 2
Khalwat 3
Khilafah Islamiyah 21 28
Khomeini 29
Komnas HAM 36, 107, 116
L
Lada Sicupa 27
Lex specialis derogaat lex generalis, 40,
93
Library research 16
M
M. B. Hooker 14, 32, 38, 47
M. H. Syed 64, 91, 128
M. Nur Djuned 71
MacQueen, 18, 144
Magna Charta 100, 110
Mahatma Gandhi, 136
Malaka 26
Mahatir Muhammad 99, 109
Marcopolo 13, 21
Martino Sardi 19, 125
Mark E. Cammack 14, 90
Marti Ahtisaari 3
Martono 53
Marwan bin al-Hakam 68
Mawardi Ismail 13, 37
Megawati Sukarnoputri 79, 34
Meulaboh 70
Meurah Silu 19. 27
Meurah Pupok 20
Moch Nur Ikhwan 44
Moh. Mahfud MD 29, 40, 90, 95, 100,
105,120 , 129, 139

John Locke 21, 74


Joseph Schach 95
Judeo-Cristinian 108
Mohamad Atho Mudzhar 9, 20, 27
Muslim Ibrahim 93, 133
Muhammad Nazar 88
Muhtasib 17
Mukhtar Effendi 66,, 69
Mustafa M. Tamy 70
Muslim 60
N
Nanggroe 34
Nigeria 20
NII, 3
Non deroglabed Rights 103
Non Govermental Organization 35
Norrahman, 13, 15
Nur Ikhwan 32
O
OIC (OKI) 6, 16
Old Testament 23
Opsporing 49
Orde Lama 1, 2
Orde Baru 1, 4, 31, 32
Orde Reformasi 1, 2, 26
P
Papua Barat 46
Panglima Sagoe 53
R
Rabitah Alam al-Islami 16
Rajam, 46
Ramli (bupati) 27
Ratno Lukito 9, 12, 14, 19, 20, 27,
133
Ratifikasi 36

221

Montesqiew 21
Muhammad Abdul Mujaeb, 62
Muhammad Arkoun 29, 41
Mahatma Gandhi 95
Muhammad Akram Laldin 72
P
Pakistan 8
Papua Barat 32
Perlak 22
Pidie Jaya 79, 80
Plenipotentiaries 8
Prevention 4
Property Law 23
Punishment 4
PUSA 2
Putroe Phang 21
Q
Qadi Malikul Adil 38
Qat`u al-tariq (robbery) 24
Qazf (false accusation) 24
Qisas 43, 47
Qiyas 23
R
Ross Clarke 14
Romanization tables 18
Rusjdi Ali Muhammad 12, 13
Syamsu Rizal Pangabean 28
Syed Serajul Islam 1, 13, 133, 141
Syiah Kuala 21
Sumaryo Suryokusumo 101
Suharto 3, 38, 79, 90
Sukron Kamil 4, 8, 9
Sumatra Utara 1
Al-Shaibani 61

Relax 77
Reusam 21
Riddah (apostasy) 23, 46
Rijal Pangabean 20, 21
R. Michael Feener 12, 14, 17, 18, 82
S
Safruddin 70.
Said Rajaie-Khorassani 112
Al-Shaibani 68
Samudra Pasai 20, 27
Said Qutb 45
SDSB, 50
Self Government 1, 40
Secular 28
Al-Shafi`I (Imam) 13, 24, 60, 65, 67
Shahram Akbarzadeh 8, 12, 13,
110, 133, 205
Shatranji 78
Shirin Ebadi 122
Snouck Hurgronje 19, 20, 29, 51,
71
Sporting gambling 50
Sidi Muhammad 22
Siasah Shari`yah 15
Statuta Roma 8
Susilo Bambang Yudhoyono 2, 79
Syamsu Rizal 19, 20, 38
Sulaiman Abdurrahman al-Hageel
6, 8, 14, 109, 115, 117,133, 204
T
Tim Linsey 47
Taufiq Adnan Amal 27, 28
Turki 29
U
UDHR 3, 8, 11, 13, 15, 18, 19, 35,
138
Ulee Balang 38

222

Sukron Kamil 8, 102


Sukarno 1, 22,
Syaikh Yusuf Qadawi 15, 16, 40
Syaldi Sahude 107
Syamsuhadi Irsyad 9, 14, 17, 37, 54,
79, 86, 71, 87, 90
81, 84, 94, 95
UIDHR 11, 12, 14, 18, 110
V
Velvorgin 49
W
Wahbah al-Zuhaili 14
Wilayatul Hisbah 6, 17
W. J. Witanto 141
Y
Yokyakarta 32, 46
Yunani 5, 8, 33
Yudicial review 37
Yusuf Qardhawi 200
Yusri 201
Z
Al-Zubair 58
Zina (adultery)

Uli al-Amr 69
Umar bin Khattab (Ra.) 67, 68, 74
Umar bin Abdul Aziz 68
Usman bin Affan (Ra.) 67
Uqbah bin Amir 84
Uqubat 7, 10, 57, 58, 59, 61, 74,

223

APPENDIX

UDHR 1948
UIDHR 1981
CDHRI 1990
UU RI No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR 1966
UU RI No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi CAT 1984
UU RI No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW 1979
Qanun Aceh No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar dan Sejenisnya
Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 tentang Judi
Qanun Aceh No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat

224

THE UNIVERSAL DECLARATION OF


HUMAN RIGHTS
On December 10, 1948 the General Assembly of the United
Nations adopted and proclaimed the Universal Declaration of
Human Rights the full text of which appears in the following
pages. Following this historic act the Assembly called upon all
Member countries to publicize the text of the Declaration and "to
cause it to be disseminated, displayed, read and expounded
principally in schools and other educational institutions, without
distinction based on the political status of countries or territories."
Preamble
Whereas recognition of the inherent dignity and of the equal and
inalienable rights of all members of the human family is the
foundation of freedom, justice and peace in the world;
Whereas disregard and contempt for human rights have resulted
in barbarous acts which have outraged the conscience of
mankind, and the advent of a world in which human beings shall
enjoy freedom of speech and belief and freedom from fear and
want has been proclaimed as the highest aspiration of the
common people;
Whereas it is essential, if man is not to be compelled to have
recourse, as a last resort, to rebellion against tyranny and
oppression, that human rights should be protected by the rule of
law;
Whereas it is essential to promote the development of friendly
relations between nations;
Whereas the peoples of the United Nations have in the Charter
reaffirmed their faith in fundamental human rights, in the dignity

225

and worth of the human person and in the equal rights of men and
women and have determined to promote social progress and
better standards of life in larger freedom;
Whereas Member States have pledged themselves to achieve, in
co-operation with the United Nations, the promotion of universal
respect for and observance of human rights and fundamental
freedoms;
Whereas a common understanding of these rights and freedoms is
of the greatest importance for the full realization of this pledge;
Now, Therefore THE GENERAL ASSEMBLY proclaims
THIS UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS
as a common standard of achievement for all peoples and all
nations, to the end that every individual and every organ of
society, keeping this Declaration constantly in mind, shall strive
by teaching and education to promote respect for these rights and
freedoms and by progressive measures, national and international,
to secure their universal and effective recognition and observance,
both among the peoples of Member States themselves and among
the peoples of territories under their jurisdiction.
Article 1.
All human beings are born free and equal in dignity and
rights.They are endowed with reason and conscience and should
act towards one another in a spirit of brotherhood.
Article 2
Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this
Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour,
sex, language, religion, political or other opinion, national or
social origin, property, birth or other status.
Furthermore, no distinction shall be made on the basis of the
political, jurisdictional or international status of the country or
territory to which a person belongs, whether it be independent,
trust, non-self-governing or under any other limitation of
sovereignty.
Article 3.
Everyone has the right to life, liberty and security of person.

226

Article 4
No one shall be held in slavery or servitude; slavery and the slave
trade shall be prohibited in all their forms.
Article 5
No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or
degrading treatment or punishment.
Article 6.
Everyone has the right to recognition everywhere as a person
before the law.
Article 7.
All are equal before the law and are entitled without any
discrimination to equal protection of the law. All are entitled to
equal protection against any discrimination in violation of this
Declaration and against any incitement to such discrimination.
Article 8.
Everyone has the right to an effective remedy by the competent
national tribunals for acts violating the fundamental rights granted
him by the constitution or by law.
Article 9.
No one shall be subjected to arbitrary arrest, detention or exile.
Article 10
Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by
an independent and impartial tribunal, in the determination of his
rights and obligations and of any criminal charge against him.
Article 11
(1) Everyone charged with a penal offence has the right to be
presumed innocent until proved guilty according to law in a
public trial at which he has had all the guarantees necessary
for his defence.
(2) No one shall be held guilty of any penal offence on account of
any act or omission which did not constitute a penal offence,
under national or international law, at the time when it was
committed.
Article 12
No one shall be subjected to arbitrary interference with his
privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his
honour and reputation. Everyone has the right to the protection of
the law against such interference or attacks.

227

Article 13
(1) Everyone has the right to freedom of movement and residence
within the borders of each state.
(2) Everyone has the right to leave any country, including his
own, and to return to his country.
Article 14
(1) Everyone has the right to seek and to enjoy in other countries
asylum from persecution.
(2) This right may not be invoked in the case of prosecutions
genuinely arising from non-political crimes or from acts
contrary to the purposes and principles of the United Nations.
Article 15
(1) Everyone has the right to a nationality.
(2) No one shall be arbitrarily deprived of his nationality nor
denied the right to change his nationality.
Article 16
(1) Men and women of full age, without any limitation due to
race, nationality or religion, have the right to marry and to
found a family. They are entitled to equal rights as to
marriage, during marriage and at its dissolution.
(2) Marriage shall be entered into only with the free and full
consent of the intending spouses.
(3) The family is the natural and fundamental group unit of
society and is entitled to protection by society and the State.
Article 17
(1) Everyone has the right to own property alone as well as in
association with others.
(2) No one shall be arbitrarily deprived of his property
Article 18
Everyone has the right to freedom of thought, conscience and
religion; this right includes freedom to change his religion or
belief, and freedom, either alone or in community with others and
in public or private, to manifest his religion or belief in teaching,
practice, worship and observance.
Article 19
Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this
right includes freedom to hold opinions without interference and

228

to seek, receive and impart information and ideas through any


media and regardless of frontiers.
Article 20
(1) Everyone has the right to freedom of peaceful assembly and
association.
(2) No one may be compelled to belong to an association.
Article 21
(1) Everyone has the right to take part in the government of his
country, directly or through freely chosen representatives
chosen Freely.
(2) Everyone has the right of equal access to public service in his
country.
(3) The will of the people shall be the basis of the authority of
government; this will shall be expressed in periodic and
genuine elections which shall be by universal and equal
suffrage and shall be held by secret vote or by equivalent free
voting procedures.
Article 22
Everyone, as a member of society, has the right to social security
and is entitled to realization, through national effort and
international co-operation and in accordance with the
organization and resources of each State, of the economic, social
and cultural rights indispensable for his dignity and the free
development of his personality.
Article 23
(1) Everyone has the right to work, to free choice of employment,
to just and favourable conditions of work and to protection
against unemployment.
(2) Everyone, without any discrimination, has the right to equal
pay for equal work.
(3) Everyone who works has the right to just and favourable
remuneration ensuring for himself and his family an existence
worthy of human dignity, and supplemented, if necessary, by
other means of social protection.
(4) Everyone has the right to form and to join trade unions for the
protection of his interests.
Article 24

229

Everyone has the right to rest and leisure, including reasonable


limitation of working hours and periodic holidays with pay.
Article 25
(1) Everyone has the right to a standard of living adequate for the
health and well-being of himself and of his family, including
food, clothing, housing and medical care and necessary social
services, and the right to security in the event of
unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or
other lack of livelihood in circumstances beyond his control.
(2) Motherhood and childhood are entitled to special care and
assistance. All children, whether born in or out of wedlock,
shall enjoy the same social protection.
Article 26
(1) Everyone has the right to education. Education shall be free,
at least in the elementary and fundamental stages. Elementary
education shall be compulsory. Technical and professional
education shall be made generally available and higher
education shall be equally accessible to all on the basis of
merit.
(2) Education shall be directed to the full development of the
human personality and to the strengthening of respect for
human rights and fundamental freedoms. It shall promote
understanding, tolerance and friendship among all nations,
racial or religious groups, and shall further the activities of the
United Nations for the maintenance of peace.
(3) Parents have a prior right to choose the kind of education that
shall be given to their children..
Article 27
(1) Everyone has the right freely to participate in the cultural life
of the community, to enjoy the arts and to share in scientific
advancement and its benefits.
(2) Everyone has the right to the protection of the moral and
material interests resulting from any scientific, literary or
artistic production of which he is the author.
Article 28
Everyone is entitled to a social and international order in which
the rights and freedoms set forth in this Declaration can be fully
realized.

230

Article 29
(1) Everyone has duties to the community in which alone the free
and full development of his personality is possible.
(2) In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be
subject only to such limitations as are determined by law
solely for the purpose of securing due recognition and respect
for the rights and freedoms of others and of meeting the just
requirements of morality, public order and the general welfare
in a democratic society.
(3) These rights and freedoms may in no case be exercised
contrary to the purposes and principles of the United Nations.
Article 30
Nothing in this Declaration may be interpreted as implying for
any State, group or person any right to engage in any activity or
to perform any act aimed at the destruction of any of the rights
and freedoms set forth herein.

231

Universal Islamic Declaration


of Human Rights
21 Dhul Qaidah 1401 19 September 1981

Contents
Foreword
Preamble
I.
II.
III.
IV.
V.
VI.
VII.
VIII.
IX.
X.
XI.
XII.
XIII.
XIV.
XV.

Right to Life
Right to Freedom
Right to Equality and Prohibition Against Impermissible
Discrimination
Right to Justice
Right to Fair Trial
Right to Protection Against Abuse of Power
Right to Protection Against Torture
Right to Protection of Honour and Reputation
Right to Asylum
Rights of Minorities
Right and Obligation to Participate in the Conduct and
Management of Public Affairs
Right to Freedom of Belief, Thought and Speech
Right to Freedom of Religion
Right to Free Association
The Economic Order and the Rights Evolving Therefrom

232

XVI.
XVII.
XVIII.
XIX.
XX.
XXI.
XXII.
XXIII.

Right to Protection of Property


Status and Dignity of Workers
Right to Social Security
Right to Found a Family and Related Matters
Rights of Married Women
Right to Education
Right of Privacy
Right to Freedom of Movement and Residence
Explanary Notes
Glossary of Arabic Terms
References

This is a declaration for mankind, a guidance and instruction to those


who...fearGod.
(Al Qur'an, Al-Imran 3:138)
Foreword
Islam gave to mankind an ideal code of human rights fourteen centuries
ago. These rights aim at conferring honour and dignity on mankind and
eliminating exploitation, oppression and injustice.
Human rights in Islam are firmly rooted in the belief that God, and God
alone, is the Law Giver and the Source of all human rights. Due to their
Divine origin, no ruler, government, assembly or authority can curtail or
violate in any way the human rights conferred by God, nor can they be
surrendered.
Human rights in Islam are an integral part of the overall Islamic order
and it is obligatory on all Muslim governments and organs of society to
implement them in letter and in spirit within the framework of that order.
It is unfortunate that human rights are being trampled upon with impunity
in many countries of the world, including some Muslim countries. Such
violations are a matter of serious concern and are arousing the conscience
of more and more people throughout the world.
I sincerely hope that this Declaration of Human Rights will give a
powerful impetus to the Muslim peoples to stand firm and defend
resolutely and courageously the rights conferred on them by God.
This Declaration of Human Rights is the second fundamental document
proclaimed by the Islamic Council to mark the beginning of the 15th

233

Century of the Islamic era, the first being the Universal Islamic
Declaration announced at the International Conference on The Prophet
Muhammad (peace and blessings be upon him) and his Message, held in
London from 12 to 15 April 1980.
The Universal Islamic Declaration of Human Rights is based on the
Qur'an and the Sunnah and has been compiled by eminent Muslim
scholars, jurists and representatives of Islamic movements and thought.
May God reward them all for their efforts and guide us along the right
path.
Paris 21 Dhul Qaidah 1401 Salem Azzam
19th September 1981 Secretary General
O men! Behold, We have created you all out of a male and a female, and
have made you into nations and tribes, so that you might come to know
one another. Verily, the noblest of you in the sight of God is the one who
is most deeply conscious of Him. Behold, God is all-knowing, all aware.
(Al Qur'an, Al-Hujurat 49:13)

Preamble
WHEREAS the age-old human aspiration for a just world order wherein
people could live, develop and prosper in an environment free from fear,
oppression, exploitation and deprivation, remains largely unfulfilled;
WHEREAS the Divine Mercy unto mankind reflected in its having been
endowed with super-abundant economic sustenance is being wasted, or
unfairly or unjustly withheld from the inhabitants of the earth;
WHEREAS Allah (God) has given mankind through His revelations in
the Holy Qur'an and the Sunnah of His Blessed Prophet Muhammad an
abiding legal and moral framework within which to establish and
regulate human institutions and relationships;
WHEREAS the human rights decreed by the Divine Law aim at
conferring dignity and honour on mankind and are designed to eliminate
oppression and injustice;
WHEREAS by virtue of their Divine source and sanction these rights can
neither be curtailed, abrogated or disregarded by authorities, assemblies
or other institutions, nor can they be surrendered or alienated;

234

Therefore we, as Muslims, who believe


a) in God, the Beneficent and Merciful, the Creator, the Sustainer, the
Sovereign, the sole Guide of mankind and the Source of all Law;
b) in the Vicegerency (Khilafah) of man who has been created to fulfill
the Will of God on earth;
c) in the wisdom of Divine guidance brought by the Prophets, whose
mission found its culmination in the final Divine message that was
conveyed by the Prophet Muhammad (Peace be upon him) to all
mankind;
d) that rationality by itself without the light of revelation from God can
neither be a sure guide in the affairs of mankind nor provide spiritual
nourishment to the human soul, and, knowing that the teachings of
Islam represent the quintessence of Divine guidance in its final and
perfect form, feel duty-bound to remind man of the high status and
dignity bestowed on him by God;
e) in inviting all mankind to the message of Islam;
f) that by the terms of our primeval covenant with God our duties and
obligations have priority over our rights, and that each one of us is
under a bounden duty to spread the teachings of Islam by word,
deed, and indeed in all gentle ways, and to make them effective not
only in our individual lives but also in the society around us;
g) in our obligation to establish an Islamic order:
i)
wherein all human beings shall be equal and none shall enjoy
a privilege or suffer a disadvantage or discrimination by
reason of race, colour, sex, origin or language;
ii)
wherein all human beings are born free;
iii)
wherein slavery and forced labour are abhorred;
iv)
wherein conditions shall be established such that the
institution of family shall be preserved, protected and
honoured as the basis of all social life;
v)
wherein the rulers and the ruled alike are subject to, and
equal before, the Law;
vi)
wherein obedience shall be rendered only to those commands
that are in consonance with the Law;
vii)
wherein all worldly power shall be considered as a sacred
trust, to be exercised within the limits prescribed by the Law
and in a manner approved by it, and with due regard for the
priorities fixed by it;

235

viii)

wherein all economic resources shall be treated as Divine


blessings bestowed upon mankind, to be enjoyed by all in
accordance with the rules and the values set out in the Quran
and the Sunnah;
ix)
wherein all public affairs shall be determined and conducted,
and the authority to administer them shall be exercised after
mutual consultation (Shura) between the believers qualified
to contribute to a decision which would accord well with the
Law and the public good;
x)
wherein everyone shall undertake obligations proportionate
to his capacity and shall be held responsible pro rata for his
deeds;
xi)
wherein everyone shall, in case of an infringement of his
rights, be assured of appropriate remedial measures in
accordance with the Law;
xii)
wherein no one shall be deprived of the rights assured to him
by the Law except by its authority and to the extent permitted
by it;
xiii)
wherein every individual shall have the right to bring legal
action against anyone who commits a crime against society
as a whole or against any of its members;
xiv)
wherein every effort shall be made to
(a) secure unto mankind deliverance from every type of
exploitation, injustice and oppression,
(b) ensure to everyone security, dignity and liberty in terms
set out and by methods approved and within the limits set
by the Law;
Do hereby, as servants of Allah and as members of the Universal
Brotherhood of Islam, at the beginning of the Fifteenth Century of the
Islamic Era, affirm our commitment to uphold the following inviolable
and inalienable human rights that we consider are enjoined by Islam.

I Right to Life
a) Human life is sacred and inviolable and every effort shall be made to
protect it. In particular no one shall be exposed to injury or death,
except under the authority of the Law.

236

b) Just as in life, so also after death, the sanctity of a person's body


shall be inviolable. It is the obligation of believers to see that a
deceased person's body is handled with due solemnity

II Right to Freedom
a) Man is born free. No inroads shall be made on his right to liberty
except under the authority and in due process of the Law.
b) Every individual and every people has the inalienable right to
freedom in all its forms physical, cultural, economic and
political and shall be entitled to struggle by all available means
against any infringement or abrogation of this right; and every
oppressed individual or people has a legitimate claim to the
support of other individuals and/or peoples in such a struggle.
III Right to Equality and Prohibition Against Impermissible
Discrimination
a) All persons are equal before the Law and are entitled to equal
opportunities and protection of the Law.
b) All persons shall be entitled to equal wage for equal work.
c) No person shall be denied the opportunity to work or be
discriminated against in any manner or exposed to greater
physical risk by reason of religious belief, colour, race, origin, sex
or language.
IV Right to Justice
a) Every person has the right to be treated in accordance with the
Law, and only in accordance with the Law.
b) Every person has not only the right but also the obligation to
protest against injustice; to recourse to remedies provided by the
Law in respect of any unwarranted personal injury or loss; to selfdefence against any charges that are preferred against him and to
obtain fair adjudication before an independent judicial tribunal in
any dispute with public authorities or any other person.
c) It is the right and duty of every person to defend the rights of any
other person and the community in general (Hisbah).
d) No person shall be discriminated against while seeking to defend
private and public rights.

237

e) It is the right and duty of every Muslim to refuse to obey any


command which is contrary to the Law, no matter by whom it
may be issued.
V Right to Fair Trial
a) No person shall be adjudged guilty of an offence and made liable
to punishment except after proof of his guilt before an
independent judicial tribunal.
b) No person shall be adjudged guilty except after a fair trial and
after reasonable opportunity for defence has been provided to
him.
c) Punishment shall be awarded in accordance with the Law, in
proportion to the seriousness of the offence and with due
consideration of the circumstances under which it was committed.
d) No act shall be considered a crime unless it is stipulated as such
in the clear wording of the Law.
e) Every individual is responsible for his actions. Responsibility for
a crime cannot be vicariously extended to other members of his
family or group, who are not otherwise directly or indirectly
involved in the commission of the crime in question.
VI Right to Protection Against Abuse of Power
Every person has the right to protection against harassment by official
agencies. He is not liable to account for himself except for making a
defence to the charges made against him or where he is found in a
situation wherein a question regarding suspicion of his involvement in a
crime could be reasonably raised
VII Right to Protection Against Torture
No person shall be subjected to torture in mind or body, or degraded, or
threatened with injury either to himself or to anyone related to or held
dear by him, or forcibly made to confess to the commission of a crime, or
forced to consent to an act which is injurious to his interests.
VIII Right to Protection of Honour and Reputation
Every person has the right to protect his honour and reputation against
calumnies, groundless charges or deliberate attempts at defamation and
blackmail.
IX Right to Asylum

238

a) Every persecuted or oppressed person has the right to seek refuge


and asylum. This right is guaranteed to every human being
irrespective of race, religion, colour and sex.
b) Al Masjid Al Haram (the sacred house of Allah) in Mecca is a
sanctuary for all Muslims.
X Rights of Minorities
a) The Qur'anic principle "There is no compulsion in religion" shall
govern the religious rights of non-Muslim minorities.
b) In a Muslim country religious minorities shall have the choice to be
governed in respect of their civil and personal matters by Islamic
Law, or by their own laws.
XI Right and Obligation to Participate in the Conduct and
Management of Public Affairs
a) Subject to the Law, every individual in the community (Ummah) is
entitled to assume public office.
b) Process of free consultation (Shura) is the basis of the
administrative relationship between the government and the people.
People also have the right to choose and remove their rulers in
accordance with this principle.
XII Right to Freedom of Belief, Thought and Speech
a) Every person has the right to express his thoughts and beliefs so
long as he remains within the limits prescribed by the Law. No
one, however, is entitled to disseminate falsehood or to circulate
reports which may outrage public decency, or to indulge in
slander, innuendo or to cast defamatory aspersions on other
persons.
b) Pursuit of knowledge and search after truth is not only a right but
a duty of every Muslim.
c) It is the right and duty of every Muslim to protest and strive
(within the limits set out by the Law) against oppression even if it
involves challenging the highest authority in the state.
d) There shall be no bar on the dissemination of information
provided it does not endanger the security of the society or the
state and is confined within the limits imposed by the Law.
e) No one shall hold in contempt or ridicule the religious beliefs of
others or incite public hostility against them; respect for the
religious feelings of others is obligatory on all Muslims.

239

XIII Right to Freedom of Religion


Every person has the right to freedom of conscience and worship in
accordance with his religious beliefs.
XIV Right to Free Association
a) Every person is entitled to participate individually and
collectively in the religious, social, cultural and political life of
his community and to establish institutions and agencies meant to
enjoin what is right (ma'roof) and to prevent what is wrong
(munkar).
b) Every person is entitled to strive for the establishment of
institutions whereunder an enjoyment of these rights would be
made possible. Collectively, the community is obliged to
establish conditions so as to allow its members full development
of their personalities.
XV The Economic Order and the Rights Evolving Therefrom
a) In their economic pursuits, all persons are entitled to the full
benefits of nature and all its resources. These are blessings
bestowed by God for the benefit of mankind as a whole.
b) All human beings are entitled to earn their living according to the
Law.
c) Every person is entitled to own property individually or in
association with others. State ownership of certain economic
resources in the public interest is legitimate.
d) The poor have the right to a prescribed share in the wealth of the
rich, as fixed by Zakah, levied and collected in accordance with
the Law.
e) All means of production shall be utilised in the interest of the
community (Ummah) as a whole, and may not be neglected or
misused.
f) In order to promote the development of a balanced economy and
to protect society from exploitation, Islamic Law forbids
monopolies, unreasonable restrictive trade practices, usury, the
use of coercion in the making of contracts and the publication of
misleading advertisements.
g) All economic activities are permitted provided they are not
detrimental to the interests of the community(Ummah) and do not
violate Islamic laws and values.

240

XVI Right to Protection of Property


No property may be expropriated except in the public interest and on
payment of fair and adequate compensation.
XVII Status and Dignity of Workers
Islam honours work and the worker and enjoins Muslims not only to treat
the worker justly but also generously. He is not only to be paid his earned
wages promptly, but is also entitled to adequate rest and leisure.
XVIII Right to Social Security
Every person has the right to food, shelter, clothing, education and
medical care consistent with the resources of the community. This
obligation of the community extends in particular to all individuals who
cannot take care of themselves due to some temporary or permanent
disability.
XIX Right to Found a Family and Related Matters
a) Every person is entitled to marry, to found a family and to bring
up children in conformity with his religion, traditions and culture.
Every spouse is entitled to such rights and privileges and carries
such obligations as are stipulated by the Law.
b) Each of the partners in a marriage is entitled to respect and
consideration from the other.
c) Every husband is obligated to maintain his wife and children
according to his means.
d) Every child has the right to be maintained and properly brought
up by its parents, it being forbidden that children are made to
work at an early age or that any burden is put on them which
would arrest or harm their natural development.
e) If parents are for some reason unable to discharge their
obligations towards a child it becomes the responsibility of the
community to fulfill these obligations at public expense.
f) Every person is entitled to material support, as well as care and
protection, from his family during his childhood, old age or
incapacity. Parents are entitled to material support as well as care
and protection from their children.
g) Motherhood is entitled to special respect, care and assistance on
the part of the family and the public organs of the community
(Ummah).
h) Within the family, men and women are to share in their
obligations and responsibilities according to their sex, their

241

natural endowments, talents and inclinations, bearing in mind


their common responsibilities toward their progeny and their
relatives.
i) No person may be married against his or her will, or lose or suffer
dimunition of legal personality on account of marriage.
XX Rights of Married Women
Every married woman is entitled to:
a) live in the house in which her husband lives;
b) receive the means necessary for maintaining a standard of living
which is not inferior to that of her spouse, and, in the event of
divorce, receive during the statutory period of waiting (iddah)
means of maintenance commensurate with her husband's
resources, for herself as well as for the children she nurses or
keeps, irrespective of her own financial status, earnings, or
property that she may hold in her own rights;
c) seek and obtain dissolution of marriage (Khul'a) in accordance
with the terms of the Law. This right is in addition to her right to
seek divorce through the courts.
d) inherit from her husband, her parents, her children and other
relatives according to the Law;
e) strict confidentiality from her spouse, or ex-spouse if divorced,
with regard to any information that he may have obtained about
her, the disclosure of which could prove detrimental to her
interests. A similar responsibility rests upon her in respect of her
spouse or ex-spouse.
XXI Right to Education
a) Every person is entitled to receive education in accordance with
his natural capabilities.
b) Every person is entitled to a free choice of profession and career
and to the opportunity for the full development of his natural
endowments.
XXII Right of Privacy
Every person is entitled to the protection of his privacy.
XXIII Right to Freedom of Movement and Residence

242

a) In view of the fact that the World of Islam is veritably Ummah


Islamia, every Muslim shall have the right to freely move in and
out of any Muslim country.
b) No one shall be forced to leave the country of his residence, or be
arbitrarily deported therefrom without recourse to due process of
Law.
Explanatory Notes
1. In the above formulation of Human Rights, unless the context
provides otherwise:
a) the term 'person' refers to both the male and female sexes.
b) the term 'Law' denotes the Shari'ah, i.e. the totality of ordinances
derived from the Qur'an and the Sunnah and any other laws that
are deduced from these two sources by methods considered valid
in Islamic jurisprudence.
2. Each one of the Human Rights enunciated in this declaration carries
a corresponding duty.
3. In the exercise and enjoyment of the rights referred to above every
person shall be subject only to such limitations as are enjoined by
the Law for the purpose of securing the due recognition of, and
respect for, the rights and the freedom of others and of meeting the
just requirements of morality, public order and the general welfare
of the Community (Ummah).

243

Cairo Declaration on Human Rights


in Islam, Aug. 5, 1990,
U.N. GAOR, World Conf. on Hum. Rts., 4th Sess., Agenda
Item 5, U.N. Doc.
A/CONF.157/PC/62/Add.18 (1993) [English translation].
The Nineteenth Islamic Conference of Foreign Ministers (Session of
Peace, Interdependence and Development), held in Cairo, Arab Republic
of Egypt, from 9-14 Muharram 1411H (31 July to 5 August 1990),
Keenly aware of the place of mankind in Islam as vicegerent of Allah on
Earth;
Recognizing the importance of issuing a Document on Human Rights in
Islam that will serve as a guide for Member states in all aspects of life;
Having examined the stages through which the preparation of this draft
Document has so far, passed and the relevant report of the Secretary
General;
Having examined the Report of the Meeting of the Committee of Legal
Experts held in Tehran from 26 to 28 December, 1989;
Agrees to issue the Cairo Declaration on Human Rights in Islam that will
serve as a general guidance for Member States in the Field of human
rights.
Reaffirming the civilizing and historical role of the Islamic Ummah
which Allah made as the best community and which gave humanity a
universal and well-balanced civilization, in which harmony is established
between hereunder and the hereafter, knowledge is combined with faith,
and to fulfill the expectations from this community to guide all humanity
which is confused because of different and conflicting beliefs and
ideologies and to provide solutions for all chronic problems of this
materialistic civilization.

244

In contribution to the efforts of mankind to assert human rights, to protect


man from exploitation and persecution, and to affirm his freedom and
right to a dignified life in accordance with the Islamic Shari'ah.
Convinced that mankind which has reached an advanced stage in
materialistic science is still, and shall remain, in dire need of faith to
support its civilization as well as a self motivating force to guard its
rights;
Believing that fundamental rights and freedoms according to Islam are an
integral part of the Islamic religion and that no one shall have the right as
a matter of principle to abolish them either in whole or in part or to
violate or ignore them in as much as they are binding divine commands,
which are contained in the Revealed Books of Allah and which were sent
through the last of His Prophets to complete the preceding divine
messages and that safeguarding those fundamental rights and freedoms is
an act of worship whereas the neglect or violation thereof is an
abominable sin, and that the safeguarding of those fundamental rights
and freedom is an individual responsibility of every person and a
collective responsibility of the entire Ummah;
Do hereby and on the basis of the above-mentioned principles declare as
follows:
ARTICLE 1:
(a) All human beings form one family whose members are united by their
subordination to Allah and descent from Adam. All men are equal in
terms of basic human dignity and basic obligations and
responsibilities, without any discrimination on the basis of race,
colour, language, belief, sex, religion, political affiliation, social status
or other considerations. The true religion is the guarantee for
enhancing such dignity along the path to human integrity.
(b) All human beings are Allah's subjects, and the most loved by Him are
those who are most beneficial to His subjects, and no one has
superiority over another except on the basis of piety and good deeds.
ARTICLE 2:
(a) Life is a God-given gift and the right to life is guaranteed to every
human being. It is the duty of individuals, societies and states to
safeguard this right against any violation, and it is prohibited to take
away life except for a shari'ah prescribed reason.

245

(b) It is forbidden to resort to any means which could result in the


genocidal annihilation of mankind.
(c) The preservation of human life throughout the term of time willed by
Allah is a duty prescribed by Shari'ah.
(d) Safety from bodily harm is a guaranteed right. It is the duty of the
state to safeguard it, and it is prohibited to breach it without a Shari'ahprescribed reason.
ARTICLE 3:
(a) In the event of the use of force and in case of armed conflict, it is not
permissible to kill non-belligerents such as old men, women and
children. The wounded and the sick shall have the right to medical
treatment; and prisoners of war shall have the right to be fed, sheltered
and clothed. It is prohibited to mutilate or dismember dead bodies. It is
required to exchange prisoners of war and to arrange visits or reunions
of families separated by circumstances of war.
(b) It is prohibited to cut down trees, to destroy crops or livestock, to
destroy the enemy's civilian buildings and installations by shelling,
blasting or any other means.
ARTICLE 4:
Every human being is entitled to human sanctity and the protection of
one's good name and honour during one's life and after one's death. The
state and the society shall protect one's body and burial place from
desecration.
ARTICLE 5:
(a)
The family is the foundation of society, and marriage is the basis
of making a family. Men and women have the right to marriage,
and no restrictions stemming from race, colour or nationality shall
prevent them from exercising this right.
(b) The society and the State shall remove all obstacles to marriage
and facilitate it, and shall protect the family and safeguard its
welfare.
ARTICLE 6:
(a)
Woman is equal to man in human dignity, and has her own rights
to enjoy as well as duties to perform, and has her own civil entity
and financial independence, and the right to retain her name and
lineage.
(b) The husband is responsible for the maintenance and welfare of the
family.

246

(a)

(b)

(c)

ARTICLE 7:
As of the moment of birth, every child has rights due from the
parents, the society and the state to be accorded proper nursing,
education and material, hygienic and moral care. Both the fetus
and the mother must be safeguarded and accorded special care.
Parents and those in such like capacity have the right to choose the
type of education they desire for their children, provided they take
into consideration the interest and future of the children in
accordance with ethical values and the principles of the Shari'ah.
Both parents are entitled to certain rights from their children, and
relatives are entitled to rights from their kin, in accordance with
the tenets of the shari'ah.

ARTCLE 8:
Every human being has the right to enjoy a legitimate eligibility with all
its prerogatives and obligations in case such eligibility is lost or impaired,
the person shall have the right to be represented by his/her guardian.
ARTICLE 9:
(a) The seeking of knowledge is an obligation and provision of education
is the duty of the society and the State. The State shall ensure the
availability of ways and means to acquire education and shall
guarantee its diversity in the interest of the society so as to enable
man to be acquainted with the religion of Islam and uncover the
secrets of the Universe for the benefit of mankind.
(b) Every human being has a right to receive both religious and worldly
education from the various institutions of teaching, education and
guidance, including the family, the school, the university, the media,
etc., and in such an integrated and balanced manner that would
develop human personality, strengthen man's faith in Allah and
promote man's respect to and defence of both rights and obligations.
ARTICLE 10:
Islam is the religion of true unspoiled nature. It is prohibited to exercise
any form of pressure on man or to exploit his poverty or ignorance in
order to force him to change his religion to another religion or to atheism.
ARTICLE 11:

247

(a) Human beings are born free, and no one has the right to enslave,
humiliate, oppress or exploit them, and there can be no subjugation
but to Allah the Almighty.
(b) Colonialism of all types being one of the most evil forms of
enslavement is totally prohibited. Peoples suffering from colonialism
have the full right to freedom and self-determination. It is the duty of
all States peoples to support the struggle of colonized peoples for the
liquidation of all forms of and occupation, and all States and peoples
have the right to preserve their independent identity and econtrol over
their wealth and natural resources.
ARTICLE 12:
Every man shall have the right, within the framework of the Shari'ah, to
free movement and to select his place of residence whether within or
outside his country and if persecuted, is entitled to seek asylum in
another country. The country of refuge shall be obliged to provide
protection to the asylum-seeker until his safety has been attained, unless
asylum is motivated by committing an act regarded by the Shari'ah as a
crime.
ARTICLE 13:
Work is a right guaranteed by the State and the Society for each person
with capability to work. Everyone shall be free to choose the work that
suits him best and which serves his interests as well as those of the
society. The employee shall have the right to enjoy safety and security as
well as all other social guarantees. He may not be assigned work beyond
his capacity nor shall he be subjected to compulsion or exploited or
harmed in any way. He shall be entitled - without any discrimination
between males and females - to fair wages for his work without delay, as
well as to the holidays allowances and promotions which he deserves. On
his part, he shall be required to be dedicated and meticulous in his work.
Should workers and employers disagree on any matter, the State shall
intervene to settle the dispute and have the grievances redressed, the
rights confirmed and justice enforced without bias.
ARTICLE 14:
Everyone shall have the right to earn a legitimate living without
monopolization, deceit or causing harm to oneself or to others. Usury
(riba) is explicitly prohibited.

248

ARTICLE 15:
(a) Everyone shall have the right to own property acquired in a legitimate
way, and shall be entitled to the rights of ownership without prejudice
to oneself, others or the society in general. Expropriation is not
permissible except for requirements of public interest and upon
payment of prompt and fair compensation.
(b) Confiscation and seizure of property is prohibited except for a
necessity dictated by law.
ARTICLE 16:
Everyone shall have the right to enjoy the fruits of his scientific, literary,
artistic or technical labour of which he is the author; and he shall have
the right to the protection of his moral and material interests stemming
therefrom, provided it is not contrary to the principles of the Shari'ah.
ARTICLE 17:
(a) Everyone shall have the right to live in a clean environment, away
from vice and moral corruption, that would favour a healthy ethical
development of his person and it is incumbent upon the State and
society in general to afford that right.
(b) Everyone shall have the right to medical and social care, and to all
public amenities provided by society and the State within the limits of
their available resources.
(c) The States shall ensure the right of the individual to a decent living
that may enable him to meet his requirements and those of his
dependents, including food, clothing, housing, education, medical
care and all other basic needs.
ARTICLE 18:
(a) Everyone shall have the right to live in security for himself, his
religion, his dependents, his honour and his property.
(b) Everyone shall have the right to privacy in the conduct of his private
affairs, in his home, among his family, with regard to his property
and his relationships. It is not permitted to spy on him, to place him
under surveillance or to besmirch his good name. The State shall
protect him from arbitrary interference.

249

(c) A private residence is inviolable in all cases. It will not be entered


without permission from its inhabitants or in any unlawful manner,
nor shall it be demolished or confiscated and its dwellers evicted.
ARTICLE 19:
(a) All individuals are equal before the law, without distinction between
the ruler and the ruled.
(b) The right to resort to justice is guaranteed to everyone.
(c) Liability is in essence personal.
(d) There shall be no crime or punishment except as provided for in the
Shari'ah.
(e) A defendant is innocent until his guilt is proven in a fast trial in
which he shall be given all the guarantees of defence.
ARTICLE 20:
It is not permitted without legitimate reason to arrest an individual, or
restrict his freedom, to exile or to punish him. It is not permitted to
subject him to physical or psychological torture or to any form of
maltreatment, cruelty or indignity. Nor is it permitted to subject an
individual to medical or scientific experiments without hisconsent or at
the risk of his health or of his life. Nor is it permitted to promulgate
emergency laws that would provide executive authority for such actions.
ARTICLE 21:
Taking hostages under any form or for any purpose is expressly
forbidden.
ARTICLE 22:
(a) Everyone shall have the right to express his opinion freely in such
manner as would not be contrary to the principles of the Shari'ah.
(b) Everyone shall have the right to advocate what is right, and propagate
what is good, and warn against what is wrong and evil according to
the norms of Islamic Shari'ah.
(c) Information is a vital necessity to society. It may not be exploited or
misused in such a way as may violate sanctities and the dignity of
Prophets, undermine moral and ethical Values or disintegrate, corrupt
or harm society or weaken its faith.
(d) It is not permitted to excite nationalistic or doctrinal hatred or to do
anything that may be an incitement to any form or racial
discrimination.

250

ARTICLE 23:
(a) Authority is a trust; and abuse or malicious exploitation thereof is
explicitly prohibited, in order to guarantee fundamental human rights.
(b) Everyone shall have the right to participate, directly or indirectly in
the administration of his country's public affairs. He shall also have
the right to assume public office in accordance with the provisions of
Shari'ah.
ARTICLE 24:
All the rights and freedoms stipulated in this Declaration are subject to
the Islamic Shari'ah.

ARTICLE 25:
The Islamic Shari'ah is the only source of reference for the explanation or
clarification of any of the articles of this Declaration.

sumber: http://www1.umn.edu/humanrts/instree/cairodeclaration.html

251

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 12 TAHUN 2005
TENT ANG
PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND
POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG
HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati
melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh
karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
b.bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional,
menghormati, , dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi
Manusia;
c. bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam sidangnya
tanggal 16 Desember 1966 telah mengesahkan International Covenant
on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Sipil dan Politik);
d.bahwa instrumen internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c
pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sesuai dengan sifat
negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia yang menjamin persamaan
kedudukan semua warga negara di dalam hukum, dan keinginan bangsa
Indonesia untuk secara terus-menerus memajukan dan melindungi hak
asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang

252

Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights


(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).

Mengingat:
1.Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28,
Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28G, Pasal 28I, dan
Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2.Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882);
3.Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
4.Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);
5.Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
208; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG
TENTANG
PENGESAHAN
INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL

253

RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK


SIPIL DAN POLlTIK).
Pasal 1
(1) Mengesahkan International Covenant on Civil and Political
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik)
dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1.
(2) Salinan naskah asli International Covenant on Civil and Political
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik)
dan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1 dalam bahasa
Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana
terlampir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UndangUndang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia,
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2005
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

254

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2005


MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005


NOMOR 119

255

KOVENAN INTERNASIONAL
TENTANG HAK SIPIL DAN
POLITIK
Diadopsi dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi
oleh
Resolusi
Majelis
Umum
2200A
(XXI)
tertanggal 16 Desember 1966
mulai berlaku pada 23 Maret 1976, sesuai dengan Pasal 49
Mukadimah
Negara-negara Pihak pada Kovenan ini,
Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamirkan
dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, pengakuan atas martabat
alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga
manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia,
Mengakui bahwa hak-hak ini berasal dari martabat yang melekat pada
manusia,
Mengakui bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,
yang ideal manusia bebas untuk menikmati kebebasan sipil dan politik
dan kebebasan dari rasa takut dan ingin hanya dapat dicapai apabila
kondisi diciptakan dimana semua orang dapat menikmati hak-haknya
sipil dan politik, serta sebagai hak-haknya ekonomi, sosial dan budaya,
Menimbang kewajiban Negara berdasarkan Piagam Perserikatan BangsaBangsa untuk mempromosikan penghargaan universal bagi, dan
kepatuhan terhadap, hak asasi manusia dan kebebasan,
Menyadari bahwa individu, memiliki tugas untuk orang lain dan kepada
masyarakat yang ia berasal, berada di bawah tanggung jawab untuk
berjuang untuk promosi dan ketaatan terhadap hak yang diakui dalam
Kovenan ini,
Menyetujui pasal-pasal sebagai berikut:

256

BAGIAN I
Pasal 1
1. Semua bangsa memiliki hak penentuan nasib sendiri. Berdasarkan
hak tersebut mereka bebas menentukan status politik mereka dan
bebas mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya.
2. Semua bangsa, untuk tujuan mereka sendiri, secara bebas
mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa
mengurangi kewajiban-kewajiban yang timbul dari operasi
internasional kerja sama ekonomi, berdasarkan prinsip saling
menguntungkan, dan hukum internasional. Dalam kasus tidak
mungkin orang akan kekurangan sarana subsisten sendiri.
3. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, termasuk yang memiliki
tanggung jawab atas administrasi Non-Pemerintahan Sendiri dan
Wilayah Perwalian, harus memajukan perwujudan hak penentuan
nasib sendiri, dan harus menghormati hak, sesuai dengan ketentuan
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
BAGIAN II
Pasal 2
1. Setiap Negara Pihak Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan
memastikan untuk semua individu dalam wilayahnya dan tunduk
pada yurisdiksinya hak yang diakui dalam Kovenan ini, tanpa
pembedaan apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pendapat lain, asal nasional atau sosial,
kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
2. Apabila belum diatur oleh ada tindakan legislatif atau lainnya,
masing-masing Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk
mengambil langkah yang diperlukan, sesuai dengan proses
konstitusionalnya dan dengan ketentuan dalam Kovenan ini, untuk
mengadopsi undang-undang atau tindakan lain yang mungkin
diperlukan untuk memberlakukan hak-hak yang diakui dalam
Kovenan ini.
3. Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji:
(a) Untuk memastikan bahwa setiap orang yang hak atau kebebasan
yang diakui disini dilanggar akan mempunyai obat yang efektif,
walaupun pelanggaran tersebut telah dilakukan oleh orang yang
bertindak dalam kapasitas resmi;

257

(b) Untuk memastikan bahwa setiap orang yang menuntut upaya


pemulihan tersebut harus bertandatangan haknya ditentukan
oleh otoritas peradilan, administratif atau legislatif yang
berwenang, atau oleh pejabat berwenang lainnya yang diatur
oleh sistem hukum Negara, dan untuk mengembangkan
kemungkinan pemulihan peradilan;
(c) Untuk memastikan bahwa pejabat yang berwenang akan
melaksanakan pemulihan tersebut apabila dikabulkan.
Pasal 3
Negara-negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak
yang sama laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak sipil dan
politik yang diatur dalam Kovenan ini.
Pasal 4
1. Pada saat keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan
keberadaan yang secara resmi menyatakan, Negara-negara Pihak
Kovenan ini dapat mengambil tindakan yang mengurangi kewajiban
mereka berdasarkan Kovenan ini sejauh benar dibutuhkan oleh
urgensi situasi, dengan ketentuan bahwa tindakan tersebut tidak
bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan
hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi sematamata atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau
asal-usul sosial.
2. Tidak ada pengurangan dari pasal 6, 7, 8 (ayat I dan 2), 11, 15, 16
dan 18 dapat dilakukan berdasarkan ketentuan ini.
3. Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini yang memanfaatkan hak
penyimpangan harus segera memberitahu Negara Pihak lainnya pada
Kovenan ini, melalui perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa, ketentuan hak dari yang telah dikurangi dan alasan
hak itu ditetapkan. Pemberitahuan lebih lanjut harus dilakukan,
melalui perantara yang sama, pada tanggal berakhirnya pengurangan
tersebut.
Pasal 5
1. Tidak ada dalam Kovenan ini dapat ditafsirkan untuk setiap Negara,
kelompok atau orang hak untuk terlibat dalam kegiatan apa pun
atau melakukan perbuatan yang bertujuan menghancurkan hak-hak

258

dan kebebasan yang diakui disini atau pada keterbatasan mereka ke


tingkat yang lebih besar daripada diatur dalam Kovenan ini.
2. Tidak akan ada pembatasan atau pengurangan dari hak-hak manusia
yang mendasar diakui atau yang ada di suatu Negara Pihak pada
Kovenan ini menurut hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan
dalih bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak tersebut atau yang
mengakui mereka ke tingkat yang lebih rendah.
BAGIAN III
Pasal 6
1. Setiap manusia memiliki hak yang melekat untuk hidup. Hak ini
harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun dapat secara
sewenang-wenang dirampas hidupnya.
2. Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati,
hukuman mati dapat diterapkan hanya untuk kejahatan yang paling
serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat terjadinya
tindak pidana dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan
ini dan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman
Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan
sesuai dengan adanya putusan final yang diberikan oleh
pengadilan yang berwenang.
3. Apabila perampasan kehidupan merupakan kejahatan genosida,
dipahami bahwa tidak ada dalam pasal ini memberikan
kewenangan setiap Negara Pihak pada Kovenan ini untuk
menyimpang dengan cara apapun dari kewajiban diasumsikan
berdasarkan ketentuan Konvensi tentang Pencegahan dan
Hukuman Kejahatan yang Genosida.
4. Siapapun yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mencari
pengampunan atau pergantian kalimat. Pengampunan atau
pergantian dari hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus.
5. Hukuman mati tidak akan dijatuhkan atas kejahatan yang
dilakukan oleh orang-orang di bawah usia delapan belas tahun dan
tidak boleh dilakukan pada wanita hamil.
6. Tidak ada dalam pasal ini harus diminta untuk menunda atau
mencegah penghapusan hukuman mati oleh Negara Pihak pada
Kovenan ini.
Pasal 7

259

Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam,


perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman. Secara
khusus, tak seorang pun akan dikenakan tanpa persetujuan bebas untuk
eksperimen medis atau ilmiah.
Pasal 8
1. Tidak seorangpun dapat diselenggarakan di perbudakan, perbudakan
dan perdagangan budak dalam segala bentuknya harus dilarang.
2. Tidak seorangpun dapat diselenggarakan di perbudakan.
3. Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam,
perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman. Secara
khusus, tak seorang pun akan dikenakan tanpa persetujuan bebas
untuk eksperimen medis atau ilmiah.
(a) Tidak seorang pun boleh diwajibkan untuk melakukan kerja
paksa atau kerja wajib;
(b) Ayat 3 (a) tidak boleh diadakan untuk menghalangi, di
negara-negara di mana penjara dengan kerja paksa dapat
dijatuhkan sebagai hukuman atas kejahatan, kinerja kerja
keras menurut kalimat untuk hukuman tersebut oleh
pengadilan yang berwenang;
(c) Untuk tujuan ayat ini, "kerja paksa atau wajib" tidak
mencakup:
(i) Setiap pekerjaan atau jasa, tidak sebagaimana dimaksud
dalam sub ayat (b), biasanya diwajibkan pada orang
yang ditahan sebagai konsekuensi dari perintah yang sah
dari pengadilan, atau orang yang tengah menjalani
pembebasan bersyarat dari penahanan tersebut;
(ii) Setiap layanan yang bersifat militer dan, di negaranegara di mana keberatan hati nurani diakui, layanan
nasional diperlukan oleh hukum penentang hati nurani;
(iii) Setiap layanan dituntut dalam kasus-kasus darurat atau
bencana yang mengancam kehidupan atau kesejahteraan
masyarakat;
(iv) Setiap pekerjaan atau jasa yang merupakan bagian dari
kewajiban sipil normal.
Pasal 9
1. Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak
seorangpun dapat dikenakan penangkapan atau penahanan

260

2.

3.

4.

5.

sewenang-wenang. Tidak seorangpun dapat dirampas kebebasannya


kecuali atas dasar tersebut dan sesuai dengan prosedur seperti
ditetapkan oleh hukum.
Siapa pun yang ditangkap harus diberitahu, pada saat penangkapan,
alasan penangkapan dan harus segera diberitahu tentang segala
tuduhan terhadapnya.
Siapa pun yang ditangkap atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana
harus segera dibawa ke depan hakim atau pejabat lainnya yang
diberikan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan dan
harus berhak ke pengadilan dalam waktu yang wajar, atau
dibebaskan. Tidak akan menjadi aturan umum bahwa orang
menunggu persidangan harus ditahan, tetapi pembebasan dapat
diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada
setiap tahap lain dari proses peradilan, dan, harus kesempatan
muncul, untuk pelaksanaan penghakiman.
Siapapun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan
atau penahanan, berhak untuk mengambil tindakan sebelum
pengadilan, agar pengadilan yang dapat memutuskan tanpa
penundaan tentang keabsahan penahanannya dan memerintahkan
pembebasannya bila penahanan tersebut tidak sah.
Siapapun yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan
tidak sah akan memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi.

Pasal 10
1. Semua orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan
secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat
pada manusia.
2. Siapapun yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan
tidak sah akan memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi.
(a) Terdakwa, kecuali dalam keadaan luar biasa, harus dipisahkan
dari orang yang dihukum dan tunduk diperlakukan secara
berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang belum
dipidana;
(b) orang Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang
dewasa dan secepat mungkin untuk ajudikasi.
3. Sistem pemasyarakatan terdiri perlakuan terhadap tahanan tujuan
penting dari reformasi yang harus mereka dan rehabilitasi sosial.

261

Terpidana di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan


diperlakukan sesuai dengan usia dan status hukum mereka.
Pasal 11
Tidak seorangpun dapat dipenjarakan semata-mata
ketidakmampuan untuk memenuhi kewajiban kontrak.

atas

dasar

Pasal 12
1. Setiap orang secara sah berada di wilayah suatu Negara harus, dalam
wilayah tersebut, memiliki hak atas kebebasan bergerak dan
kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya.
2. Setiap orang harus bebas untuk meninggalkan negara manapun,
termasuk negerinya sendiri.
3. Hak-hak di atas tidak akan tunduk pada pembatasan kecuali yang
disediakan oleh hukum, diperlukan untuk melindungi keamanan
nasional, ketertiban umum (ordre public), kesehatan atau moral
umum atau hak-hak dan kebebasan orang lain, dan konsisten dengan
hak-hak lainnya yang diakui dalam Kovenan ini.
4. Tidak seorangpun dapat secara sewenang-wenang dirampas haknya
untuk memasuki negaranya sendiri.
Pasal 13
Alien secara sah di wilayah suatu Negara Pihak dalam Kovenan ini dapat
diusir darinya hanya menurut keputusan yang dicapai sesuai dengan
hukum dan harus, kecuali alasan kuat keamanan nasional mengharuskan
lain, diperbolehkan untuk mengajukan alasan-alasan terhadap nya
pengusiran dan agar kasusnya ditinjau oleh, dan diwakili untuk tujuan
ini, yang berwenang atau orang atau orang-orang khususnya yang
ditunjuk oleh pejabat yang berwenang.
Pasal 14
1. Semua orang harus sama di hadapan pengadilan dan dewan
pengadilan. Dalam menentukan setiap tuntutan pidana terhadap
dirinya, atau hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan hukum,
setiap orang berhak atas pengadilan yang adil dan terbuka oleh
pengadilan yang kompeten, independen dan tidak memihak yang
ditetapkan oleh hukum. Pers dan publik dapat dikecualikan dari
seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral, ketertiban umum

262

(ordre public) atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat


demokratis, atau ketika kepentingan kehidupan pribadi dari para
pihak membutuhkan, atau untuk sejauh benar diperlukan menurut
pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi akan
merugikan kepentingan keadilan, tetapi apapun keputusan yang
diberikan dalam kasus pidana atau dalam suatu gugatan hukum harus
dilakukan masyarakat kecuali kepentingan orang remaja lain
membutuhkan atau sengketa proses perkawinan keprihatinan atau
perwalian anak-anak.
2. Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana berhak untuk
dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum.
3. Dalam menentukan setiap tuntutan pidana terhadap dia, setiap orang
berhak atas jaminan minimum berikut, dalam persamaan yang penuh:
(a) Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa
yang dia mengerti tentang sifat dan penyebab tuduhan terhadap
dia ;
(b) Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk
mempersiapkan pembelaan dan berkomunikasi dengan
pengacara yang dipilihnya sendiri;
(c) Untuk diadili tanpa penundaan;
(d) Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri
secara langsung atau melalui bantuan hukum yang dipilihnya
sendiri, untuk diberitahu, jika ia tidak mempunyai bantuan
hukum, hak ini, dan untuk mendapatkan bantuan hukum
ditugaskan kepadanya, Dalam hal di mana kepentingan keadilan
sangat membutuhkan, dan tanpa pembayaran oleh dia dalam
kasus tersebut jika ia tidak memiliki alat yang cukup untuk
membayar untuk itu;
(e) Untuk memeriksa, atau telah memeriksa, saksi-saksi terhadap
dirinya dan untuk mendapatkan kehadiran dan pemeriksaan
saksi-saksi atas nama di bawah kondisi yang sama sebagai saksi
terhadap dia;
(f) Untuk mendapatkan bantuan gratis dari seorang juru bahasa jika
dia tidak bisa memahami atau berbicara bahasa yang digunakan
di pengadilan;
(g) Tidak dipaksa untuk bersaksi melawan dirinya sendiri atau untuk
mengaku bersalah.

263

4. Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur harus sedemikian rupa


akan mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk
meningkatkan rehabilitasi bagi mereka.
5. Setiap orang yang dihukum karena kejahatan berhak untuk
keyakinannya dan hukuman yang ditinjau oleh pengadilan yang
lebih tinggi menurut hukum.
6. Ketika seseorang memiliki dengan keputusan akhir telah dihukum
karena melakukan tindak pidana dan ketika kemudian
keyakinannya telah terbalik atau dia telah diampuni atas dasar
bahwa fakta baru atau yang baru saja ditemukan menunjukkan
secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan
keadilan, orang yang telah menderita hukuman sebagai akibat dari
keputusan tersebut harus diberi ganti rugi menurut hukum, kecuali
jika dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak
diketahui itu sepenuhnya atau untuk sebagian disebabkan karena
dirinya.
7. Tidak seorang pun akan bertanggung jawab untuk diadili atau
dihukum kembali untuk suatu pelanggaran yang ia telah dihukum
atau dibebaskan, sesuai dengan hukum dan prosedur pidana
masing-masing negara.
Pasal 15
1. Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran
pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu
tindak pidana, berdasarkan hukum nasional atau internasional,
ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan
dikenakan hukuman yang lebih berat daripada yang berlaku pada
saat tindak pidana tersebut dilakukan. Jika, setelah komisi
pelanggaran ketentuan yang dibuat oleh hukum untuk penjatuhan
hukuman yang lebih ringan, pelaku harus mendapatkan
keuntungan.
2. Tidak ada dalam pasal ini harus mengurangi dan hukuman bagi
setiap orang untuk setiap tindakan atau kelalaian yang, pada waktu
ketika perbuatan tersebut dilakukan, adalah kriminal menurut
prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh masyarakat bangsabangsa.
Pasal 16
Setiap orang berhak atas pengakuan di mana-mana sebagai pribadi di
hadapan hukum.

264

Pasal 17
1. Tidak seorangpun dapat diganggu dengan sewenang-wenang atau
melanggar hukum, keluarganya rumah privasi, atau korespondensi,
atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya.
2. Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur
tangan atau serangan.
Pasal 18
1. Hak ini harus mencakup kebebasan untuk memiliki atau
mengadopsi suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya, dan
kebebasan, baik secara individu atau dalam komunitas dengan
orang lain dan di depan umum atau swasta, untuk menyatakan
agama atau kepercayaan dalam ibadah, praktek ketaatan, dan
pengajaran.
2. Tidak seorangpun dapat dikenakan paksaan yang akan mengganggu
kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau
kepercayaan atas pilihannya.
3. Kebebasan untuk mewujudkan satu agama atau kepercayaan dapat
tunduk hanya pada pembatasan seperti yang ditentukan oleh hukum
dan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan publik,
ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak-hak mendasar dan
kebebasan orang lain.
4. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati
kebebasan orang tua dan, bila diperlukan, wali hukum untuk
memastikan bahwa pendidikan agama dan moral anak-anak mereka
sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
Pasal 19
1. Setiap orang berhak untuk memiliki pendapat tanpa gangguan.
2. Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi, hak ini termasuk
kebebasan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi
dan pemikiran apapun, tanpa batasan, baik secara lisan, tertulis atau
cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui lain media pilihannya.
3. Pelaksanaan hak yang diatur dalam ayat 2 pasal ini disertai dengan
tugas khusus dan tanggung jawab. Karena itu dapat dikenakan
pembatasan tertentu, tetapi hanya akan seperti ditentukan oleh
hukum dan diperlukan:
(a) Untuk menghormati hak atau reputasi orang lain;

265

(b) Untuk perlindungan keamanan nasional atau ketertiban umum


(ordre public), atau kesehatan atau moral umum.
Pasal 20
1. Segala propaganda untuk perang harus dilarang oleh hukum.
2. Setiap advokasi kebencian berdasarkan kebangsaan, ras atau
keagamaan yang merupakan penghasutan untuk melakukan
diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh
hukum.
Pasal 21
Hak berkumpul secara damai harus diakui. Tidak ada pembatasan dapat
ditempatkan pada pelaksanaan hak ini selain yang dikenakan sesuai
dengan hukum dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi
kepentingan keamanan nasional atau keselamatan umum, ketertiban
umum (ordre public), perlindungan kesehatan masyarakat atau moral atau
perlindungan hak dan kebebasan orang lain.
Pasal 22
1. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat dengan orang lain,
termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat
pekerja untuk melindungi kepentingannya.
2. Tidak ada pembatasan dapat ditempatkan pada pelaksanaan hak ini
selain yang ditentukan oleh hukum dan yang diperlukan dalam
masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau
keselamatan umum, ketertiban umum (ordre public), perlindungan
kesehatan umum atau moral atau perlindungan hak dan kebebasan
orang lain. Artikel ini tidak akan mencegah pengenaan pembatasan
sah terhadap anggota angkatan bersenjata dan polisi dalam latihan
mereka hak ini.
3. Tidak ada dalam pasal ini yang memberikan kewenangan negara
Pihak pada Konvensi Organisasi Buruh Internasional tahun 1948
tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi
untuk mengambil tindakan legislatif yang akan merugikan, atau
menerapkan hukum sedemikian rupa untuk mengurangi, jaminan
diberikan dalam Konvensi tersebut.
Pasal 23
1. Keluarga adalah kesatuan alamiah dan fundamental dari masyarakat
dan berhak mendapat perlindungan dari masyarakat dan Negara.

266

2. Hak pria dan wanita usia perkawinan untuk menikah dan untuk
membentuk keluarga harus diakui.
3. Perkawinan Tidak akan dimasukkan ke dalam tanpa persetujuan
bebas dan penuh dari kedua mempelai.
4. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini harus mengambil langkah
yang sesuai untuk menjamin kesetaraan hak dan tanggung jawab
pasangan untuk perkawinan, selama perkawinan dan pada saat
perceraian. Dalam hal pembubaran, ketentuan harus dibuat untuk
perlindungan yang diperlukan dari setiap anak.
Pasal 24
1. Setiap anak harus memiliki, tanpa diskriminasi apapun seperti ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, properti agama, nasional atau
sosial, asal atau kelahiran, hak untuk tindakan perlindungan yang
dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak di bawah umur, pada bagian
keluarganya, masyarakat dan Negara.
2. Setiap anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan harus
memiliki nama.
3. Setiap anak berhak untuk memperoleh kewarganegaraan.
Pasal 25
Setiap warga negara berhak dan kesempatan, tanpa ada perbedaan yang
disebutkan dalam pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak masuk akal:
(a) Untuk mengambil bagian dalam urusan publik, secara langsung atau
melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;
(b) Untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang
murni, harus dengan hak pilih universal dan sama dan harus dimiliki
oleh pemungutan suara secara rahasia, menjamin ekspresi bebas dari
kehendak para pemilih;
(c) Untuk memiliki akses, berdasarkan ketentuan umum kesetaraan,
untuk pelayanan publik di negaranya.
Pasal 26
Semua orang sama di depan hukum dan berhak tanpa diskriminasi atas
perlindungan hukum yang sama. Dalam hal ini, hukum harus melarang
diskriminasi apapun, dan menjamin kepada semua orang yang sama dan
perlindungan yang efektif terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti

267

ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau
lainnya, asal nasional atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
Pasal 27
Di negara-negara yang memiliki kelompok minoritas etnis, agama atau
bahasa, orang yang tergolong minoritas tersebut tidak boleh diingkari
haknya, dalam masyarakat dengan anggota lain dari kelompok mereka,
untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk mengakui dan praktek
agama mereka, atau untuk menggunakan bahasa mereka sendiri.
PART IV BAGIAN IV
Pasal 28
1. Harus dibentuk Komite Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut
dalam Kovenan ini sebagai Komite). Ini harus terdiri dari delapan
belas anggota dan akan melaksanakan fungsi yang disediakan
selanjutnya.
2. Komite harus terdiri dari warga negara dari Negara Pihak dalam
Kovenan ini yang harus bermoral tinggi dan diakui keahliannya di
bidang hak asasi manusia, pertimbangan yang diberikan kepada
manfaat dari keikutsertaan beberapa orang yang mempunyai
pengalaman hukum.
3. Para anggota Komite harus dipilih dan bertugas dalam kapasitas
pribadinya.
Pasal 29
1. Para anggota Komite harus dipilih dengan pemungutan suara secara
rahasia dari daftar orang-orang yang memiliki kualifikasi yang
ditentukan dalam pasal 28 dan dinominasikan untuk tujuan itu oleh
Negara Pihak dalam Kovenan ini.
2. Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini dapat mencalonkan tidak
lebih dari dua orang. Orang-orang ini harus warga negara dari
Negara pencalonan.
3. Seseorang harus memenuhi syarat untuk pencalonan kembali.
Pasal 30
1. Pemilihan pertama akan diselenggarakan tidak lebih dari enam bulan
setelah tanggal berlakunya Kovenan ini.
2. Setidaknya empat bulan sebelum tanggal setiap pemilihan Komite,
selain dari pemilihan untuk mengisi kekosongan yang telah

268

dinyatakan sesuai dengan pasal 34, Sekretaris Jenderal Perserikatan


Bangsa-Bangsa akan mengirimkan undangan tertulis kepada Negara
Pihak dalam Kovenan ini untuk menyampaikan calon mereka bagi
Komite, dalam waktu tiga bulan.
3. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menyiapkan
daftar menurut abjad semua orang yang dicalonkan, dengan indikasi
Negara Pihak yang mencalonkan mereka, dan akan
menyampaikannya kepada Negara Pihak dalam Kovenan ini tidak
lebih dari satu bulan sebelum tanggal setiap pemilihan.
4. Pemilihan anggota Komite harus diselenggarakan pada sidang
Negara-negara Pihak Kovenan ini yang diselenggarakan oleh
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa di Markas Besar
PBB. Pada pertemuan itu, di mana dua pertiga dari Negara Pihak
dalam Kovenan ini akan merupakan kuorum, orang yang dipilih
untuk Komite adalah mereka calon yang memperoleh suara
terbanyak dan mayoritas mutlak dari suara para wakil Negara Pihak
yang hadir dan memberikan suara.
Pasal 31
1. Komite tidak dapat mencakup lebih dari satu nasional dari Negara
yang sama.
2. Dalam pemilihan Komite, pertimbangan harus diberikan pada
pembagian geografis yang adil keanggotaan dan perwakilan dari
berbagai bentuk peradaban dan sistem hukum yang utama.
Pasal 32
1. Para anggota Komite akan dipilih untuk masa jabatan empat tahun.
Mereka harus memenuhi syarat untuk pemilihan kembali jika
dicalonkan kembali. Namun, persyaratan sembilan anggota terpilih
pada pemilihan pertama akan berakhir pada akhir dua tahun; segera
setelah pemilihan pertama, nama-nama sembilan anggota ini akan
dipilih melalui undian oleh Ketua Sidang yang disebut dalam pasal
30, ayat 4.
2. Pemilihan pada berakhirnya jabatan akan diselenggarakan sesuai
dengan pasal-pasal sebelumnya dalam bagian ini dari Kovenan ini.
Pasal 33

269

1. Jika, menurut pendapat bulat dari anggota lain, seorang anggota


Komite telah berhenti melaksanakan fungsinya untuk setiap
penyebab selain adanya karakter sementara, Ketua Komite harus
memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa, yang kemudian akan menyatakan bahwa jabatan anggota
tersebut kosong.
2. Dalam hal kematian atau pengunduran diri anggota Komite, Ketua
harus segera memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang akan menyatakan kursi kosong
dari tanggal kematian atau tanggal pengunduran diri berlaku efektif .
Pasal 34
1. Ketika kekosongan dinyatakan sesuai dengan pasal 33 dan jika masa
jabatan anggota yang akan diganti tidak berakhir dalam waktu enam
bulan dari deklarasi kekosongan tersebut, Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa harus memberitahu setiap Negara Pihak
Kovenan ini, yang mungkin dalam waktu dua bulan mengajukan
calon sesuai dengan pasal 29 untuk tujuan mengisi kekosongan
tersebut.
2. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menyiapkan
daftar menurut abjad dari orang yang dicalonkan dan akan
menyampaikannya kepada Negara Pihak dalam Kovenan ini.
Pemilihan untuk mengisi kekosongan akan dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan terkait dalam bagian ini dari Kovenan ini.
3. Seorang anggota Komite dipilih untuk mengisi kekosongan yang
telah dinyatakan sesuai dengan pasal 33 akan menjabat selama sisa
jangka waktu anggota yang telah mengosongkan kursi pada Komite
berdasarkan ketentuan pasal itu.
Pasal 35
Para anggota Komite, dengan persetujuan Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa, menerima honorarium dari sumber-sumber Perserikatan
Bangsa-Bangsa sesuai dengan syarat dan kondisi sebagai Majelis Umum
dapat memutuskan, dengan mempertimbangkan pentingnya tanggung
jawab Komite.
Pasal 36
Perserikatan Bangsa-Bangsa harus menyediakan staf dan fasilitas yang
diperlukan untuk pelaksanaan efektif fungsi-fungsi Komite berdasarkan
Kovenan ini.

270

Pasal 37
1. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan
sidang pertama Komite di Markas Besar PBB.
2. Setelah pertemuan pertama ini, Komite harus bertemu pada waktuwaktu seperti ditetapkan dalam aturan tata kerjanya.
3. Komite biasanya bersidang di Markas Besar Perserikatan BangsaBangsa atau di Kantor PBB di Jenewa.
Pasal 38
Setiap anggota Komite, sebelum memulai tugasnya, membuat suatu
pernyataan yang khidmat dalam komite terbuka bahwa ia akan
melaksanakan tugasnya tanpa memihak dan dengan seksama.
Pasal 39
1. Komite harus memilih para stafnya untuk masa jabatan dua tahun.
Mereka mungkin dipilih kembali.
2. Komite harus menetapkan aturan prosedurnya sendiri, tetapi
peraturan itu harus menyediakan, antara lain, bahwa:
(a) Dua belas anggotanya merupakan kuorum;
(b) Keputusan-keputusan Komite harus dibuat berdasarkan suara
mayoritas anggota yang hadir.
Pasal 40
1. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk
menyampaikan laporan pada kebijakan mereka telah mengadopsi
yang memberikan pengaruh terhadap hak-hak yang diakui di dalam
dan tentang kemajuan yang dibuat dalam pemenuhan hak-hak
tersebut:
(a) Dalam satu tahun berlakunya dari Kovenan ini untuk Negara
Pihak yang bersangkutan;
(b) Setelah itu setiap kali Komite memintanya.
2. Semua laporan harus disampaikan kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang akan menyampaikan mereka
kepada Komite untuk dipertimbangkan. Laporan harus
menunjukkan faktor-faktor dan kesulitan-kesulitan, jika ada, yang
mempengaruhi penerapan Kovenan ini.
3. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, setelah
berkonsultasi dengan Komite, dapat meneruskan kepada badan-

271

badan khusus yang terkait, salinan atau bagian dari laporan


dianggap masuk dalam bidang kompetensi mereka.
4. Komite akan mempelajari laporan yang disampaikan oleh Negara
Pihak dalam Kovenan ini. It shall transmit its reports, and such
general comments as it may consider appropriate, to the States
Parties. Ini harus meneruskan laporannya, dan komentar umum
seperti mungkin dianggap tepat, kepada Negara Pihak. Komite juga
dapat mengirimkan kepada Dewan Ekonomi dan Sosial komentar
ini bersama dengan salinan laporan-laporan yang diterima dari
Negara Pihak Kovenan ini.
5. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini dapat mengajukan kepada
Komite observasi pada setiap komentar yang mungkin dibuat sesuai
dengan ayat 4 pasal ini.
Pasal 41
1. Suatu Negara Pihak Kovenan ini dapat setiap saat berdasarkan
pasal ini menyatakan bahwa ia mengakui kewenangan Komite
untuk menerima dan membahas komunikasi yang menyatakan
bahwa suatu Negara Pihak menyatakan bahwa Negara Pihak lain
tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan Kovenan ini.
Komunikasi menurut pasal ini dapat diterima dan dianggap hanya
jika diajukan oleh suatu Negara Pihak yang telah membuat
pernyataan mengakui sehubungan dengan sendirinya kompetensi
Komite. Tidak satupun komunikasi akan diterima oleh Komite jika
menyangkut suatu Negara Pihak yang belum membuat pernyataan
tersebut. Komunikasi yang diterima berdasarkan pasal ini akan
ditangani sesuai dengan prosedur sebagai berikut:
(a) Apabila Negara Pihak dalam Kovenan ini beranggapan bahwa
Negara Pihak lain tidak memberlakukan ketentuan-ketentuan
Kovenan ini, ia dapat secara tertulis meminta hal ini untuk
menjadi perhatian Negara Pihak. Dalam waktu tiga bulan
setelah diterimanya komunikasi penerimaan Negara harus
memberikan kepada negara yang mengirimkan komunikasi
penjelasan, atau pernyataan lain secara tertulis untuk
menjelaskan masalah yang harus mencakup, sejauh mungkin
dan referensi yang bersangkutan, untuk prosedur domestik dan
obat diambil , tertunda, atau ada dalam masalah tersebut;
(b) Jika persoalan itu tidak disesuaikan dengan memuaskan bagi
kedua Negara Pihak yang bersangkutan dalam waktu enam

272

(c)

(d)
(e)

(f)

(g)

(h)

bulan setelah penerimaan oleh Negara yang menerima


komunikasi awal, kedua Negara berhak untuk menyerahkan
masalah tersebut kepada Komite, melalui pemberitahuan yang
diberikan kepada Komite dan kepada Negara lain;
Komite harus menangani masalah yang diajukan kepadanya
setelah ia memastikan bahwa semua penyelesaian domestik
yang ada telah ditempuh dalam menangani masalah ini, sesuai
dengan prinsip-prinsip umum hukum internasional yang diakui.
Ini tidak akan aturan mana penerapan solusi tanpa alasan yang
berkepanjangan;
Komite harus menyelenggarakan sidang tertutup ketika
memeriksa komunikasi berdasarkan pasal ini;
Berdasarkan pada ketentuan sub ayat (c), Komite harus
menyediakan jasa baik kepada Negara Pihak yang bersangkutan
dengan maksud untuk solusi ramah dari masalah berdasarkan
penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar
yang diakui dalam Kovenan ini;
Dalam setiap masalah yang diajukan kepadanya, Komite dapat
meminta Negara Pihak yang bersangkutan, sebagaimana
dimaksud dalam sub ayat (b), untuk memberikan semua
informasi yang relevan;
Negara Pihak yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam
sub ayat (b), berhak untuk diwakili apabila masalahnya dibahas
di Komite, dan untuk menyampaikan secara lisan dan / atau
tertulis;
Komite dalam jangka waktu dua belas bulan setelah tanggal
diterimanya pemberitahuan berdasarkan sub ayat (b),
menyampaikan laporan:
(i) Kalau suatu penyelesaian menurut sub-ayat (e) tercapai,
Komite harus membatasi laporannya pada pernyataan
singkat tentang fakta dan penyelesaian yang dicapai;
(ii) Kalau suatu penyelesaian menurut sub-ayat (e) tidak
tercapai, Komite harus membatasi laporannya pada
pernyataan singkat tentang fakta; yang pengajuan tertulis
dan catatan dari lisan yang dibuat oleh Negara Pihak yang
bersangkutan harus dilampirkan laporan tersebut. Dalam
setiap hal, laporan tersebut harus dikomunikasikan kepada
Negara Pihak yang bersangkutan.

273

2. Ketentuan-ketentuan pasal ini mulai berlaku pada saat sepuluh


Negara Pihak dalam Kovenan ini telah membuat deklarasi
berdasarkan ayat I dari pasal ini. Pernyataan tersebut akan
diserahkan oleh Negara Pihak kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang kemudian akan meneruskan
salinannya kepada Negara Pihak lainnya. Suatu pernyataan dapat
ditarik setiap waktu dengan pemberitahuan kepada Sekretaris
Jenderal. Penarikan tersebut tidak akan mempengaruhi pembahasan
terhadap masalah yang merupakan pokok dari sebuah komunikasi
yang telah disampaikan berdasarkan pasal ini, tidak ada komunikasi
lanjutan dari Negara Pihak harus diterima setelah pemberitahuan
penarikan pernyataan telah diterima oleh Sekretaris Jenderal ,
kecuali jika Negara Pihak yang bersangkutan telah membuat
pernyataan baru.
Pasal 42
1. Ketentuan-ketentuan pasal ini mulai berlaku pada saat sepuluh
Negara Pihak dalam Kovenan ini telah membuat deklarasi
berdasarkan ayat I dari pasal ini. Pernyataan tersebut akan
diserahkan oleh Negara Pihak kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang kemudian akan meneruskan
salinannya kepada Negara Pihak lainnya. Suatu pernyataan dapat
ditarik setiap waktu dengan pemberitahuan kepada Sekretaris
Jenderal. Penarikan tersebut tidak akan mempengaruhi pembahasan
terhadap masalah yang merupakan pokok dari sebuah komunikasi
yang telah disampaikan berdasarkan pasal ini, tidak ada komunikasi
lanjutan dari Negara Pihak harus diterima setelah pemberitahuan
penarikan pernyataan telah diterima oleh Sekretaris Jenderal ,
kecuali jika Negara Pihak yang bersangkutan telah membuat
pernyataan baru.
(a) Jika permasalahan yang diajukan kepada Komite sesuai dengan
pasal 41 tidak memutuskan untuk kepuasan dari Negara Pihak
yang bersangkutan, Komite dapat, dengan persetujuan terlebih
dahulu dari Negara Pihak yang bersangkutan, menunjuk suatu
Komisi Konsiliasi ad hoc (selanjutnya disebut sebagai Komisi).
Jasa baik Komisi akan disediakan bagi Negara Pihak yang
bersangkutan dengan maksud untuk solusi damai dari masalah
berdasarkan penghormatan terhadap Kovenan ini;

274

(b) Komisi terdiri dari lima orang diterima oleh Negara Pihak yang
bersangkutan.
2.

3.
4.

5.
6.

7.

Para anggota Komisi akan bekerja berdasarkan kapasitas


pribadinya. Mereka tidak boleh merupakan warga negara dari
Negara-negara Pihak yang berkepentingan atau dari Negara
yang bukan Pihak pada Kovenan ini, atau Negara Pihak yang
belum membuat pernyataan berdasarkan Pasal 41.
Komisi akan memilih Ketuanya sendiri dan menetapkan aturan
prosedurnya sendiri.
Persidangan Komisi biasanya akan diselenggarakan di Markas
Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Kantor Perserikatan
Bangsa-Bangsa di Jenewa. Namun, persidangan dapat
diselenggarakan di tempat-tempat lain yang dianggap
baik/mudah sebagaimana ditentukan oleh Komisi dengan
berkonsultasi dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa dan Negara-negara Pihak yang berkepentingan.
Sekretariat yang disediakan berdasarkan Pasal 36 akan juga
melayani para anggota komisi yang ditunjuk berdasarkan Pasal
ini.
Informasi yang diterima dan dikumpulkan oleh Komite, akan
diberikan kepada Komisi, dan Komisi dapat memanggil Negaranegara Pihak yang berkepentingan untuk memberikan informasi
relevan lainnya.
Apabila Komisi telah lengkap membahas masalah secara
keseluruhan, namun dalam hal apapun, tidak lebih dari dua
belas bulan setelah menangani masalah, Komisi akan
menyampaikan laporan kepada Ketua Komite untuk
dikomunikasikan
kepada
Negara-negara
Pihak
yang
berkepentingan.
(a) Apabila Komisi tidak dapat menyelesaikan pembahasan
masalah dalam jangka waktu dua belas bulan, Komisi
akan membatasi laporannya pada pernyataan singkat
tentang status pembahasan masalah;
(b) Apabila dicapai penyelesaian yang baik terhadap masalah
berdasarkan penghormatan atas hak asasi manusia
sebagaimana diakui dalam Kovenan ini, Komisi akan

275

membatasi laporannya pada pernyataan singkat mengenai


fakta-fakta dan penyelesaian yang dicapai;
(c) Apabila tidak tercapai suatu penyelesaian sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam sub ayat (b), laporan Komisi
harus memuat temuan-temuannya mengenai semua
permasalahan fakta yang relevan dengan persoalan
antara Negara-negara Pihak yang berkepentingan, dan
pandangannya terhadap kemungkinan penyelesaian yang
baik atas masalah tersebut. Laporan ini akan berisi
pembelaan tertulis dan transkrip pembelaan lisan yang
dibuat oleh Negara-negara Pihak yang berkepentingan.
(d) Apabila laporan Komisi disampaikan berdasarkan sub ayat
(c), Negara-negara Pihak yang berkepentingan dalam
jangka waktu tiga bulan setelah diterimanya laporan akan
memberitahukan kepada Ketua Komite apakah mereka
akan menerima atau tidak isi laporan Komisi.
8. Ketentuan Pasal ini tidak mengurangi tanggung jawab Komite
berdasarkan Pasal 41.
9. Negara-negara Pihak yang berkepentingan harus memikul
bersama dengan rata seluruh biaya anggota Komisi sesuai
dengan. perkiraan yang diberikan oleh Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa
10. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa diberi
wewenanguntuk membayar pengeluaran anggota Komisi, apabila
perlu, sebelum dilakukan pembayaran kembali oleh Negaranegara Pihak yang berkepentingan sesuai dengan ayat 9 dari
Pasal ini.
Pasal 43
Para anggota Komite dan Komisi Pendamai ad hoc yang dapat
ditunjuk berdasarkan Pasal 42, berhak atas fasilitas, keistimewaan
dan kekebalan yang diberikan pada para ahli yang melakukan misi
bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagaimana diatur dalam
bagian-bagian yang relevan dari Konvensi tentang Keistimewaan dan
Kekebalan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 44
Ketentuan untuk menerapkan Kovenan ini berlaku tanpa
mengganggu prosedur yang ditentukan di bidang hak-hak asasi

276

manusia oleh atau berdasarkan instrumen-instrumen pendirian dan


konvensi-konvensi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badanbadan khusus, dan tidak boleh mencegah Negara-negara Pihak pada
Kovenan ini untuk menggunakan prosedur lain untuk penyelesaian
sengketa, sesuai dengan perjanjian internasional yang umum atau
khusus yang berlaku di antara mereka.
Pasal 45
Komite akan menyampaikan laporan tahunan tentang kegiatankegiatannya
BAGIAN V
Pasal 46
Tidak ada dalam Kovenan ini dapat ditafsirkan sebagai merusak
ketentuan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan konstitusi
badan-badan khusus yang menentukan tanggung jawab masing-masing
dari berbagai organ Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khusus
mengenai hal-hal ditangani dalam Kovenan ini.

Pasal 47
Tidak ada dalam Kovenan ini dapat ditafsirkan sebagai mengurangi hak
yang melekat pada semua orang untuk menikmati dan memanfaatkan
sepenuhnya dan secara bebas kekayaan dan sumber daya alam mereka.
PART VI
Pasal 48
1. Kovenan ini terbuka untuk ditandatangani oleh Negara
Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa atau anggota dari
badan khusus, oleh Negara Pihak pada Statuta Mahkamah
Internasional, dan oleh Negara lainnya yang telah diundang
oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
menjadi Pihak pada Kovenan ini.
2. Kovenan ini harus diratifikasi. Instrumen ratifikasi akan
diserahkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa untuk disimpan.
3. Kovenan ini terbuka untuk diaksesi oleh Negara manapun
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 Pasal ini.
4. Aksesi akan berlaku efektif dengan disimpannya instrumen
aksesi pada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa.

277

5.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa akan


memberitahukan kepada semua Negara yang telah
menandatangani atau melakukan aksesi pada Kovenan ini
tentang penyimpanan instrumen ratifikasi dan aksesi.

Pasal 49
1. Kovenan ini akan mulai berlaku tiga bulan setelah tanggal
penyimpanan dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa dari ketiga puluh lima instrumen ratifikasi atau instrumen
aksesi.
2. Untuk setiap Negara yang meratifikasi Kovenan ini atau yang
melakukan aksesi setelah penyimpanan instrumen puluh lima
instrumen ratifikasi atau aksesi, Kovenan ini akan mulai berlaku
tiga bulan setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi atau
instrumen aksesi.
Pasal 50
Ketentuan-ketentuan dalam Kovenan ini berlaku bagi semua bagian dari
Negara federal tanpa ada pembatasan atau pengecualian.

Pasal 51
1. Setiap perubahan diadopsi oleh mayoritas Negara Pihak yang hadir
dan memberikan suara pada konferensi akan diserahkan kepada
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendapatkan
persetujuan.
2. Perubahan akan berlaku apabila mereka telah disetujui oleh Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan diterima oleh mayoritas duapertiga dari Negara Pihak Kovenan ini sesuai dengan proses
konstitusi masing-masing.
Pasal 52
Terlepas dari pemberitahuan yang dibuat berdasarkan Pasal 48 ayat 5,
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa wajib memberitahu semua
Negara yang dimaksud dalam ayat 1 dari Pasal yang sama, hal-hal sebagai
berikut:
(a) penandatangan, ratifikasi dan aksesi berdasarkan Pasal 48;

278

(b) tanggal berlakunya Kovenan ini berdasarkan Pasal 49 dan tanggal


berlakunya perubahan-perubahan berdasarkan Pasal 51
Pasal 53
1. Teks Kovenan ini dalam bahasa Cina, Inggris, Prancis, Rusia dan
Spanyol mempunyai kekuatan yang sama, akan disimpan pada arsip
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa wajib meneruskan
salinan resmi Kovenan ini kepada semua Negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48.

279

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 5 TAHUN 1998
TENTANG
PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER
CRUEL, INHUMAN
OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT
(KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN
ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM,
TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT
MANUSIA)
DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah Negara hukum yang
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin
semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.
sehingga segala bentuk penyiksaan dan perlakuan atau
penghukuman lain yang kejam. tidak manusiawi atau
merendahkan martabat manusia harus dicegah dan dilarang;
b. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat internasional
menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan
tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi
Universal Hak-hak Asasi Manusia;
c. bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam
sidangnya pada tanggal 10 Desember 1984 telah menyetujui
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,
Tidak -Manusiawi. Atau Merendahkan Martabat Manusia) dan
Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani konvensi
tersebut pada tanggal 23 Oktober 1985;
d. bahwa konvensi tersebut pada dasarnya tidak bertentangan
dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia serta selaras dengan
keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus menerus
menegakkan dan memajukan pelaksanaan hak asasi manusia
dalam kehidupan berbangsadan bernegara;

280

e. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, c.


dan d dipandang perlu mengesahkan Convention Against Torture
and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment (Konvensi MenentangPenyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia) dengan Undang-undang.
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal ll, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal
27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945:
Dengan Persetujuan
DEWAN PERW AKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN CONVENTION
AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL,INHUMAN OR
DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI
MENENTANG PENYIKSAAN DANPERLAKUAN ATAU
PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAKMANUSIAWI,
ATAU MERENDAHKANMARTABAT MANUSIA).
Pasal 1
(1) Mengesahkan Convention Against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang
Kejam, Tidak Manusia, atau Merendahkan Martabat Manusia)
dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 20 dan Reservation
(Pensyaratan) terhadap Pasal 30 ayat (1).
(2) Salinan naskah asli Convention Against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang
Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia),
Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 20, dan Reservation
(Pensyaratan) terhadap Pasal 30 ayat (1) dalam bahasa Inggris, dan
terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-undang ini.
Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

281

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 28 September 1998
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 September 1998
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AKBAR TANDJUNG
LEMBARAN NEGARA REPUBLlK INDONESIA TAHUN 1998
NOMOR 164

282

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN


PERLAKUAN ATAU HUKUMAN LAIN YANG KEJAM,
TIDAK MANUSIAWI, DAN MERENDAHKAN MARTABAT
MANUSIA
Negara-negara Pihak Konvensi ini,
Mengingat bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, pengakuan atas hak yang sama dan
tidak dapat dicabut bagi semua umat manusia merupakan landasan
kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia,
Mengakui bahwa hak tersebut berasal dari martabat manusia secara
pribadi,
Mengingat kewajiban Negara-Negara berdasarkan Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa, terutama Pasal 55, adalah memajukan penghormatan dan
ketaatan universal terhadap hak asasi dan kebebasan dasar manusia,
Dengan menghormati Pasal 5 Deklarasi Universal Hak asasi Manusia
dan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang
keduanya menyatakan bahwa tak seorangpun boleh menjadi sasaran
penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi, atau merendahkan martabat manusia,
Dengan menghormati pula Deklarasi Perlindungan bagi semua orang dari
Sasaran Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam,
Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia yang disetujui
oleh Majelis Umum pada 9 Desember 1975,
Berkeinginan untuk menjadikan perjuangan lebih efektif melawan
penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat manusia di seluruh dunia,
Telah menyepakati hal-hal berikut :
BAGIAN I
Pasal 1
1. Untuk tujuan Konvensi ini, istilah penyiksaan berarti setiap
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan
rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun
rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau
keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan
menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau
diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau

283

mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk
suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi, apabila rasa sakit
dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari,
dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat pemerintah. Hal
itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya
dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh sanksi hukum yang
berlaku.
2. Pasal ini tidak mengurangi berlakunya perangkat internasional
atau peraturan perundang-undangan nasional yang benar-benar
atau mungkin mengandung ketentuan-ketentuan dengan
penerapan yang lebih luas.
Pasal 2
Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif,
administrasi, hukum atau langkah-langkah efektif lainnya untuk
mencegah tindakan penyiksaan di dalam wilayah kekuasaannya.
2. Tidak ada pengecualian apapun, baik dalam keadaan perang atau
ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri atau
keadaan darurat lainnya, dapat digunakan sebagai pembenaran
penyiksaan.
3. Perintah dari atasan atau penguasa tidak boleh digunakan sebagai
pembenaran penyiksaan.
1.

Pasal 3
Tidak ada satu Negara Pihak pun yang boleh mengusir,
mengembalikan (refouler) atau mengekstradisikan seseorang ke
Negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk
menduga bahwa orang itu berada dalam bahaya karena dapat
menjadi sasaran penyiksaan.
2. Untuk menentukan apakah terdapat alasan-alasan semacam itu,
pihak yang berwenang harus mempertimbangkan semua hal yang
berkaitan termasuk, apabila mungkin, adanya pola tetap
pelanggaran yang besar, mencolok, atau massal terhadap hak
asasi manusia di Negara tersebut.
Pasal 4
1.

284

Setiap Negara Pihak harus menjamin bahwa tindakan penyiksaan


adalah pelanggaran menurut ketentuan hukum pidananya. Hal
yang sama berlaku bagi percobaan untuk melakukan penyiksaan,
dan bagi suatu tindakan percobaan untuk melakukan penyiksaan
dan bagi suatu tindakan oleh siapa saja yang terlibat atau turut
serta dalam penyiksaan.
2. Setiap Negara Pihak harus mengatur agar pelanggaranpelanggaran dihukum dengan hukuman yang setimpal dengan
mempertimbangkan sifat kejahatannya.
1.

Pasal 5
1.

Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah


seperlunya untuk menetapkan kewenangan hukumnya atas
pelanggaran yang disebut pada pasal 4 dalam hal-hal berikut:
a. Apabila pelanggaran dilakukan di dalam suatu wilayah
hukumnya atau di atas kapal laut atau pesawat terbang yang
terdaftar di Negara itu;
b. Apabila yang dituduh melanggar adalah warga dari Negara
tersebut;
c. Apabila korban dianggap sebagai warga dari Negara tersebut,
dan Negara itu memandangnya tepat.

Setiap Negara Pihak harus mengambil tindakan seperlunya untuk


menetapkan yurisdiksinya atas pelanggaran, dalam kasus yang
dituduh sebagai pelaku pelanggaran berada di wilayah
kekuasaannya dan Negara itu tidak mengekstradisikannya sesuai
dengan pasal 8 ke Negara lain sebagaimana disebut dalam ayat 1
pasal ini.
3. Konvensi ini tidak mengesampingkan kewenangan hukum pidana
apapun yang diberlakukan sesuai dengan hukum nasional.
Pasal 6
2.

1.

Setelah merasa yakin, melalui pemeriksaan informasi yang


tersedia untuk itu bahwa keadaan menghendakinya, semua
Negara Pihak yang di wilayahnya terdapat orang yang dituduh
telah melakukan pelanggaran yang disebut dalam pasal 4, akan
menahan orang itu atau mengambil tindakan hukum lain untuk

285

menjamin kehadirannya. Penahanan dan tindakan hukum itu


harus disesuaikan dengan hukum Negara tersebut, tetapi dapat
diperpanjang untuk jangka waktu yang diperlukan agar prosedur
pidana atau ekstradisi mungkin dilaksanakan.
2. Negara tersebut harus segera membuat penyelidikan awal
berdasarkan fakta yang ada.
3. Seseorang yang ditahan berdasarkan ayat 1 dari pasal ini harus
dibantu untuk segera berhubungan dengan perwakilan Negara
yang tepat dan terdekat di mana ia menjadi warga negara, atau
jika ia tidak memiliki kewarganegaraan, dengan perwakilan
Negara tempat ia biasanya menetap.
4. Apabila suatu Negara, sesuai dengan pasal ini, telah menahan
seseorang, Negara tersebut harus segera memberitahu Negara
yang disebut dalam pasal 5 ayat 1 tentang kenyataan bahwa orang
tersebut berada dalam tahanan beserta alasan penahanannya.
Negara yang melakukan penyelidikan awal sebagaimana
dimaksud dalam ayat 2 pasal ini akan segera melaporkan
temuannya kepada Negara tersebut dan menunjukkan apakah
pihaknya akan melaksanakan kewenangan hukum.
Pasal 7
Negara Pihak yang di wilayah kewenangan hukumnya ditemukan
seseorang yang diduga telah melakukan pelanggaran sebagaimana
disebut dalam pasal 4, dalam kasus yang dimaksud dalam pasal 5,
jika Negara itu tidak mengekstradisinya, akan mengajukan kasus
itu kepada pihak yang berwenang untuk tujuan penuntutan.
2. Pihak-pihak yang berwenang ini akan mengambil keputusannya
dengan cara yang sama seperti dalam kasus pelanggaran biasa
lain yang menurut hukum itu merupakan tindak pidana berat.
Dalam kasus yang disebut dalam pasal 5, ayat 2, standar
pembuktian yang diperlukan untuk penuntutan dan penghukuman
sama sekali tidak boleh lebih longgar dibandingkan dengan
standar pembuktian yang diterapkan dalam kasus-kasus yang
disebut dalam pasal 5, ayat 1.
3. Setiap orang yang diajukan ke sidang pengadilan sehubungan
dengan suatu pelanggaran yang disebut dalam Pasal 4 akan
1.

286

mendapat jaminan perlakuan yang adil dalam setiap tahap


pengadilan.
Pasal 8
Pelanggaran yang disebut dalam pasal 4 harus dianggap sebagai
pelanggaran yang dapat diekstradisi dalam setiap perjanjian yang
telah dibuat di antara Negara-Negara Pihak. Negara-Negara
Pihakmemasukkan pelanggaran semacam ini sebagai pelanggaran
yang dapat diekstradisi dalam setiap perjanjian ekstradisi yang
disepakati di antara Negara-Negara itu.
2. Kalau suatu Negara Pihak yang mensyaratkan adanya suatu
perjanjian untuk melakukan ekstradisi menerima permohonan
ekstradisi dari suatu Negara Pihak lain yang tidak memiliki
perjanjian ekstradiksi dengannya, maka Negara Pihak tersebut
dapat menganggap Konvensi ini sebagai dasar hukum bagi
ekstradisi yang berkenaan dengan pelanggaran semacam itu.
Ekstradisi ini tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan oleh
hukum Negara yang menerima permohonan.
3. Negara-Negara Pihak yang tidak mensyaratkan adanya suatu
perjanjian untuk melakukan ekstradisi harus mengakui
pelanggaran semacam itu sebagai pelanggaran yang dapat
diekstradisi di antara mereka sendiri yang tunduk pada syaratsyarat yang ditetapkan oleh hukum Negara yang menerima
permohonan.
4. Pelanggaran seperti itu harus diperlakukan, untuk keperluan
ekstradisi antara Negara-Negara Pihak, sebagai tindak pidana
yang dilakukan tidak hanya di tempat terjadinya pelanggaran itu
tetapi juga di wilayah Negara yang diminta untuk menetapkan
kewenangan hukumnya sesuai dengan pasal 5, ayat 1.
Pasal 9
1.

1.

Negara-Negara Pihak akan saling memberi bantuan sebesarbesarnya sehubungan dengan perkara pidana yang diajukan
berkenaan dengan pelanggaran yang disebut dalam pasal 4,
termasuk pemberian semua bukti yang mereka miliki yang
diperlukan untuk penyelesaian perkara itu.

287
2.

Negara-Negara Pihak harus melaksanakan kewajibannya


berdasarkan ayat 1 pasal ini sesuai dengan semua perjanjian
timbal-balik yang mungkin ada di antara Negara-Negara tersebut.
Pasal 10

Setiap Negara Pihak harus menjamin bahwa pendidikan dan


informasi mengenai larangan terhadap penyiksaan sepenuhnya
dicantumkan dalam pelatihan bagi para petugas penegak hukum,
sipil atau militer, petugas kesehatan, pegawai pemerintah, dan
orang-orang lain yang mungkin terlibat dalam penahanan,
interogasi atau perlakuan terhadap setiap orang yang ditangkap,
ditahan atau dipenjara.
2. Setiap Negara Pihak mesti mencantumkan larangan ini dalam
peraturan atau instruksi yang dikeluarkan sehubungan dengan
tugas dan fungsi orang-orang tersebut di atas.
1.

Pasal 11
Setiap Negara Pihak harus senantiasa mengawasi secara sistematik
peraturan-peraturan tentang interogasi, instruksi, metode, kebiasaankebiasaan dan peraturan untuk penahanan serta perlakuan terhadap
orang-orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara dalam setiap
wilayah kewenangan hukumnya, dengan maksud untuk mencegah
terjadinya kasus penyiksaan.

288

Pasal 12
Setiap Negara Pihak harus menjamin agar instansi-instansi yang
berwenang melakukan suatu penyelidikan dengan cepat dan tidak
memihak, setiap ada alasan yang cukup kuat untuk mempercayai bahwa
suatu tindak penyiksaan telah dilakukan di dalam wilayah kewenangan
hukumnya.
Pasal 13
Setiap Negara Pihak harus menjamin agar setiap orang yang menyatakan
bahwa dirinya telah disiksa dalam wilayah kewenangan hukumnya
mempunyai hak untuk mengadu, dan agar kasusnya diperiksa dengan
segera dan tidak memihak oleh pihak-pihak yang berwenang. Langkahlangkah harus diambil untuk menjamin bahwa orang yang mengadu dan
saksi-saksi dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai
akibat dari pengaduan atau kesaksian mereka.
Pasal 14
1. Setiap Negara Pihak harus menjamin agar dalam sistem hukumnya
korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti-rugi dan
mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak,
termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin. Dalam
peristiwa korban meninggal dunia sebagai akibat tindak penyiksaan,
ahli warisnya berhak mendapatkan ganti-rugi.
2. Dalam Pasal ini tidak ada hal apapun yang mengurangi hak korban
atau orang lain atas ganti kerugian yang mungkin telah diatur dalam
hukum nasional.
Pasal 15
Setiap Negara Pihak harus menjamin bahwa setiap pernyataan yang telah
ditetapkan sebagai tindak lanjut dari tindak penyiksaan tidak digunakan
sebagai bukti, kecuali terhadap orang yang dituduh melakukan tindak
penyiksaan, sebagai bukti bahwa pernyataan itu
Pasal 16
1. Setiap Negara Pihak harus mencegah di wilayah kewenangan
hukumnya perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, yang tidak
termasuk tindak penyiksaan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1,
apabila tindakan semacam itu dilakukan atas atau atas hasutan atau

289

dengan persetujuan atau kesepakatan diam-diam pejabat pemerintah


atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas resmi. Secara khusus,
kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam pasal 10, 11, 12, dan 13
berlaku sebagai pengganti acuan terhadap tindak penyiksaan ke
bentuk-bentuk lain perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat manusia.
2. Ketentuan Konvensi ini tidak mempengaruhi ketentuan dari setiap
perangkat internasional atau hukum nasional yang melarang
perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat manusia atau yang berhubungan dengan
ekstradisi atau pengusiran.
BAGIAN II
Pasal 17
1. Harus dibentuk suatu Komite Menentang Penyiksaan (selanjutnya
disebut sebagai Komite) guna melaksanakan tugas-tugas yang
akan ditentukan lebih lanjut. Komite ini terdiri dari sepuluh ahli
yang bermoral tinggi dan diakui kemampuannya di bidang hak
asasi manusia, yang akan bertugas dalam kapasitas pribadinya.
Ahli-ahli ini dipilih oleh Negara-Negara Pihak dengan
pertimbangan diberikan pada pembagian geografis yang adil, dan
pada manfaat dari keikutsertaan mereka yang mempunyai
pengalaman hukum.
2. Para anggota Komite dipilih melalui pemungutan suara secara
rahasia berdasarkan daftar orang-orang yang dicalonkan oleh
Negara-Negara Pihak. Setiap Negara Pihak dapat mencalonkan
satu orang warganegaranya sendiri. Negara-Negara Pihak
mempertimbangkan manfaat pencalonan orang-orang yang juga
menjadi anggota Komite Hak asasi Manusia yang didirikan
menurut Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
yang bersedia bertugas dalam Komite Menentang Penyiksaan.
3. Pemilihan para anggota Komite dilakukan pada sidang dua
tahunan antar-Negara Pihak yang diadakan oleh Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam sidang itu, dua
pertiga Negara-Negara Pihak yang hadir merupakan kuorum;
orang-orang yang terpilih sebagai anggota Komite adalah mereka
yang memperoleh suara terbanyak dan mayoritas mutlak dari

290

4.

5.

6.

7.

1.
2.

suara para wakil Negara-Negara Pihak yang hadir dan


memberikan suara.
Pemilihan pertama harus diadakan paling lambat enam bulan
setelah tanggal diberlakukannya Konvensi ini. Sekurangkurangnya empat bulan sebelum tanggal setiap pemilihan,
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirimkan
surat kepada Negara-Negara Pihak yang meminta agar dalam
waktu tiga bulan mereka sudah mengajukan calon-calonnya.
Sekretaris Jenderal mempersiapkan suatu daftar menurut abjad
semua calon beserta Negara-negara Pihak yang mencalonkannya
dan kemudian mengajukannya kepada Negara-Negara Pihak.
Para anggota Komite dipilih untuk masa jabatan empat tahun.
Jika dicalonkan kembali, mereka dapat dipilih lagi. Akan tetapi,
masa jabatan dari lima orang di antara para anggota yang dipilih
pada pemilihan pertama berakhir pada akhir tahun kedua; segera
setelah pemilihan pertama nama-nama dari lima orang anggota ini
akan dipilih lewat undian oleh Ketua Sidang yang disebut dalam
ayat 3, pasal ini.
Kalau seorang anggota Komite meninggal atau mengundurkan
diri atau karena suatu alasan tidak dapat lagi menjalankan tugastugasnya dalam Komite, Negara Pihak yang mencalonkannya
harus menunjuk seorang ahli lain di antara warganegaranya untuk
bertugas selama sisa masa jabatannya, setelah ada persetujuan
mayoritas dari Negara-Negara Pihak. Persetujuan dianggap telah
diberikan, kecuali kalau setengah atau lebih Negara-Negara Pihak
memberi jawaban negatif dalam waktu enam minggu setelah
diberitahu oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengenai penunjukan orang yang diusulkan.
Negara-Negara Pihak menanggung pembiayaan yang dikeluarkan
para anggota Komite dalam melakukan tugas-tugas mereka.
Pasal 18
Komite memilih-pejabat-pejabatnya untuk masa jabatan dua
tahun dan dapat dipilih kembali.
Komite menetapkan aturan tata kerjanya sendiri yang menentukan
antara lain, bahwa :
a. Enam anggota Komite merupakan suatu kuorum;
b. Keputusan-keputusan Komite diambil dengan suara
mayoritas dari para anggota yang hadir.

291

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menyediakan staf


dan fasilitas yang diperlukan agar tugas-tugas Komite
berdasarkan Konvensi ini efektif dilaksanakan.
4. Sekretaris
Jenderal
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
menyelenggarakan sidang pertama Komite. Setelah sidang
pertama ini, Komite akan mengadakan pertemuan pada waktuwaktu yang ditetapkan dalam peraturan tata kerjanya.
5. Negara-Negara Pihak harus menanggung pembiayaan yang
timbul berkenaan dengan penyelenggaraan rapat-rapat NegaraNegara Pihak dan rapat Komite, termasuk penggantian
pembayaran kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa atas semua
pengeluaran, seperti biaya staf dan fasilitas, yang telah
dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sesuai dengan ayat
3 pasal ini.
3.

1.

2.

3.

4.

Pasal 19
Negara-negara Pihak akan menyerahkan kepada Komite, melalui
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, laporan tentang
tindakan-tindakan yang telah mereka ambil dalam rangka
penerapan Konvensi ini, dalam waktu satu tahun setelah
diberlakukannya Konvensi ini untuk Negara Pihak yang
bersangkutan. Setelah itu Negara-Negara Pihak menyerahkan
laporan pelengkap setiap empat tahun sekali tentang setiap
langkah baru yang diambil dan laporan-laporan lain yang
mungkin diminta Komite.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa harus
meneruskan laporan-laporan tersebut kepada semua Negara
Pihak.
Setiap laporan akan dipertimbangkan oleh Komite yang dapat
memberikan komentar umum terhadap laporan tersebut apabila
Komite menganggapnya tepat dan akan meneruskan komentar ini
kepada Negara Pihak yang bersangkutan. Negara tersebut dapat
menanggapi dengan observasi-observasi yang dibuatnya kepada
Komite.
Atas kebijaksanaannya, Komite dapat memutuskan untuk
memasukkan setiap komentar yang dibuatnya sesuai dengan ayat
3 pasal ini bersamaan dengan observasi atas komentar itu dari

292

1.

2.

3.

4.

5.

Negara Pihak yang bersangkutan, dalam laporan tahunan yang


disusun sesuai dengan pasal 24. Jika diminta oleh Negara Pihak
yang bersangkutan, Komite juga dapat menyertakan salinan
laporan yang diajukan berdasarkan ayat 1 pasal ini.
Pasal 20
Kalau Komite menerima informasi terpercaya yang menurut
Komite mengandung petunjuk yang cukup beralasan bahwa
penyiksaan dilakukan secara sistematik di wilayah suatu Negara
Pihak, Komite dapat mengajak Negara Pihak itu untuk bekerja
sama dalam memeriksa kebenaran informasi tersebut dan untuk
keperluan ini mengajukan observasi berkenaan dengan informasi
tersebut.
Berdasarkan observasi yang mungkin telah disampaikan oleh
Negara Pihak dan informasi terkait lainnya yang dimiliki Komite,
Komite dapat menugaskan, jika hal itu dibenarkan, seorang atau
lebih anggotanya mengadakan suatu penyelidikan rahasia dan
segera melaporkan hasilnya kepada Komite.
Kalau penyelidikan diadakan sesuai dengan ayat 2 pasal ini,
Komite akan mengupayakan kerja sama dengan Negara Pihak
yang bersangkutan. Dengan persetujuan Negara Pihak,
penyelidikan semacam itu dapat berupa kunjungan ke wilayah
Negara Pihak tersebut.
Setelah memeriksa temuan-temuan dari anggota atau para
anggotanya yang diajukan sesuai dengan ayat 2 pasal ini, Komite
akan meneruskan temuan-temuan tersebut kepada Negara Pihak
yang bersangkutan bersama dengan komentar atau saran yang
tepat dengan situasi yang ada.
Semua tata cara kerja yang dilakukan Komite seperti disebutkan
dalam ayat 1 sampai 4 pasal ini harus bersifat rahasia, dan pada
setiap tahap harus diupayakan adanya kerja sama dengan Negara
Pihak yang bersangkutan. Setelah rangkaian tata cara berkenaan
dengan penyelidikan dilakukan sesuai dengan ayat 2 tersebut
selesai dan setelah berkonsultasi dengan Negara Pihak yang
bersangkutan, Komite dapat memutuskan untuk memasukkan
laporan singkat mengenai hasil-hasilnya dalam laporan tahunan
yang disusun berdasarkan pasal 24.
Pasal 21

293
1.

Suatu Negara Pihak Konvensi ini setiap saat dapat menyatakan,


berdasarkan pasal ini, bahwa pihaknya mengakui kewenangan
Komite untuk menerima dan mempertimbangkan pengaduan yang
menyebutkan bahwa suatu Negara Pihak menyatakan bahwa
suatu Negara Pihak lain tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya
berdasarkan Konvensi ini. Pengaduan semacam ini dapat diterima
dan dibahas sesuai dengan prosedur yang diatur dalam pasal ini
hanya jika diajukan oleh suatu Negara Pihak yang telah
mengeluarkan pernyataan yang mengakui kewenangan Komite.
Komite tidak akan menangani laporan pengaduan berdasarkan
pasal ini, jika itu menyangkut suatu Negara Pihak yang belum
mengeluarkan pernyataan seperti itu. Pengaduan yang diterima
berdasarkan pasal ini akan ditangani sesuai dengan prosedur
berikut ini:
a. Jika suatu Negara Pihak berpendapat bahwa suatu Negara
Pihak lain tidak menjalankan ketentuan-ketentuan Konvensi
ini, Negara tersebut melalui komunikasi tertulis dapat
mengangkat persoalan itu agar diperhatikan Negara Pihak yang
bersangkutan. Dalam waktu tiga bulan setelah diterimanya
komunikasi tersebut, Negara penerima akan memberi kepada
Negara yang mengirimkan pengaduan suatu penjelasan atau
suatu pernyataan lain secara tertulis untuk menjelaskan
persoalan yang mencakup, sejauh dimungkinkan dan berkaitan,
acuan kepada prosedur-prosedur dalam negeri dan langkah
perbaikan yang diambil, disiapkan atau tersedia untuk dalam
masalah tersebut;
b.Jika persoalan itu tidak bisa diselesaikan sendiri secara
memuaskan oleh kedua Negara Pihak yang terlibat dalam
sengketa dalam waktu enam bulan sejak diterimanya
pengaduan awal oleh Negara penerima, kedua Negara berhak
menyerahkan permasalahannya kepada Komite, melalui
pemberitahuan yang disampaikan kepada Komite dan kepada
Negara lain tersebut;
c. Komite akan menangani masalah yang diserahkan kepadanya
berdasarkan pasal ini hanya setelah Komite memastikan bahwa
semua langkah perbaikan dalam negeri telah diupayakan dan
digunakan sepenuhnya untuk masalah ini, sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara umum.

294

Hal ini tidak berlaku apabila penerapan langkah perbaikan itu


diperpanjang secara tidak masuk akal atau tidak mungkin
menghasilkan perbaikan secara efektif bagi korban
pelanggaran hukum seperti yang diatur dalam Konvensi ini;
d. Komite mengadakan rapat-rapat tertutup saat memeriksa
laporan pengaduan berdasarkan pasal ini;
e. Berdasarkan ketentuan sub-ayat (c), Komite memberikan jasajasa baiknya kepada Negara-negara Pihak yang terlibat
sengketa dengan maksud untuk memecahkan permasalahan
secara bersahabat dan atas dasar penghormatan terhadap
kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam Konvensi ini.
Untuk tujuan ini, apabila dipandang tepat, Komite dapat
membentuk suatu Komisi pendamai ad hoc;
f. Dalam menangani setiap masalah yang diajukan kepadanya
berdasarkan pasal ini, Komite dapat meminta kepada Negaranegara Pihak yang bersangkutan, seperti disebut dalam subayat (b), agar memberikan semua informasi yang berkaitan;
g. Negara-Negara Pihak yang terlibat sengketa, seperti disebut
dalam sub-ayat (b), berhak untuk memberikan pandangannya
secara lisan dan/atau tertulis kalau masalah itu dibahas oleh
Komite;
h. Komite dalam jangka waktu dua belas bulan setelah
diterimanya pemberitahuan berdasarkan sub-ayat (b), harus
menyampaikan suatu laporan:
i) Kalau suatu penyelesaian menurut sub-ayat (e) tercapai,
Komite membatasi laporannya pada pernyataan singkat
tentang fakta dan penyelesaian yang dicapai;
ii) Kalau suatu penyelesaian menurut sub-ayat (e) tidak
tercapai, Komite membatasi laporannya pada pernyataan
singkat tentang fakta; pengajuan tertulis dan rekaman
mengenai pengajuan-pengajuan lisan yang disampaikan
oleh Negara-Negara Pihak yang bersangkutan dilampirkan
pada laporan tersebut. Dalam setiap penanganan masalah,
laporan akan dikomunikasikan kepada Negara-Negara
Pihak yang bersangkutan.
2. Ketentuan-ketentuan pasal ini berlaku apabila lima Negara Pihak
Konvensi ini telah membuat pernyataan berdasarkan ayat 1 pasal ini.
Pernyataan tersebut harus disampaikan oleh Negara-Negara Pihak

295

kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang akan


meneruskan salinan-salinannya kepada Negara-Negara Pihak lainnya.
Suatu pernyataan dapat ditarik kembali sewaktu-waktu dengan
pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal. Penarikan kembali
semacam itu tidak mempengaruhi pertimbangan mengenai suatu
masalah yang merupakan pokok persoalan dari suatu pengaduan yang
sudah dikirimkan berdasarkan pasal ini; pengaduan lebih lanjut dari
suatu Negara Pihak berdasarkan pasal ini tidak akan diterima begitu
pemberitahuan mengenai penarikan pernyataan itu sampai pada
Sekretaris Jenderal, kecuali kalau Negara Pihak yang bersangkutan
membuat pernyataan baru.
Pasal 22
1. Suatu Negara Pihak Konvensi ini setiap waktu dapat menyatakan

berdasarkan pasal ini bahwa pihaknya mengakui kewenangan Komite


untuk menerima dan membahas laporan pengaduan dari atau atas
nama pribadi-pribadi yang tunduk pada kewenangan hukumnya, yang
menyatakan menjadi korban pelanggaran yang dilakukan oleh Negara
Pihak terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi. Laporan pengaduan
tidak akan diterima Komite kalau itu menyangkut suatu Negara Pihak
yang belum membuat pernyataan seperti itu.
2. Komite akan menyatakan tidak menerima laporan pengaduan
berdasarkan pasal ini yang tidak ditanda-tangani (tidak jelas
pengirimnya) atau yang dianggap Komite sebagai penyalahgunaan
hak pengajuan pengaduan semacam itu atau bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan Konvensi ini.
3. Berdasarkan ketentuan ayat 2, Komite akan membawa setiap laporan
pengaduan yang diajukan berdasarkan Pasal ini agar diperhatikan
Negara-Negara Pihak Konvensi ini yang telah membuat pernyataan
berdasarkan ayat 1 dan dituduh melanggar suatu ketentuan Konvensi
ini. Dalam waktu enam bulan, Negara penerima harus mengajukan
kepada Komite penjelasan tertulis atau pernyataan-pernyataan yang
menjernihkan permasalahan dan langkah perbaikan, kalau ada, yang
mungkin telah dilakukan oleh Negara tersebut.
4. Komite akan mempertimbangkan pengaduan yang diterima menurut
pasal ini berdasarkan semua informasi yang tersedia bagi Komite
oleh atau atas nama pribadi dan oleh Negara Pihak yang
bersangkutan.

296

Komite tidak akan mempertimbangkan suatu pengaduan dari


seorang pribadi berdasarkan pasal ini, kecuali Komite merasa yakin
bahwa :
a. Masalah yang sama belum dan tidak sedang diperiksa
berdasarkan suatu prosedur penyelidikan atau penyelesaian
internasional lainnya;
b. Pribadi tersebut telah menggunakan semua upaya penyelesaian
yang tersedia di dalam negerinya; hal ini tidak berlaku apabila
penerapan upaya penyelesaian tersebut ditunda-tunda secara
tidak masuk akal atau mungkin sekali tidak menghasilkan
perbaikan efektif bagi korban pelanggaran dari Konvensi ini.
6. Komite memeriksa pengaduan-pengaduan berdasarkan pasal ini
dalam sidang-sidang tertutup
7. Komite akan menyampaikan pandangan-pandangannya kepada
Negara Pihak dan kepada pribadi yang bersangkutan.
8. Ketentuan-ketentuan pasal ini mulai berlaku apabila lima Negara
Pihak Konvensi ini telah membuat pernyataan berdasarkan ayat 1
pasal ini. Pernyataan semacam itu harus dikirimkan oleh NegaraNegara Pihak kepada Sekretaris Jenderal. Penarikan pernyataan
semacam itu tidak akan mempengaruhi pertimbangan mengenai
suatu masalah yang merupakan pokok persoalan pengaduan yang
telah dikirimkan berdasarkan pasal ini; pengaduan selanjutnya oleh
atau atas nama seorang pribadi berdasarkan pasal ini tidak akan
diterima setelah pemberitahuan mengenai penarikan kembali
pernyataan itu diterima Sekretaris Jenderal, kecuali kalau NegaraNegara Pihak tersebut membuat suatu pernyataan baru.
Pasal 23
Para anggota Komite dan Komisi Pendamai ad hoc yang mungkin telah
ditunjuk berdasarkan pasal 21, ayat 1 (e), berhak atas fasilitas, hak
istimewa, dan kekebalan sebagai ahli yang bertugas untuk Perserikatan
Bangsa-Bangsa seperti diatur di dalam bagian-bagian terkait dari
Konvensi Hak Istimewa dan Kekebalan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 24
Komite menyerahkan laporan tahunan tentang kegiatan-kegiatannya
berdasarkan Konvensi ini kepada Negara-Negara Pihak dan kepada
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
5.

297

BAGIAN III
Pasal 25
1.
2.

Konvensi ini terbuka untuk ditandatangani oleh semua Negara.


Konvensi ini harus diratifikasi. Piagam ratifikasi akan diserahkan
kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pasal 26
Konvensi ini terbuka bagi persetujuan oleh semua Negara. Persetujuan
berlaku dengan penyerahan piagam persetujuan kepada Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 27
1. Konvensi ini berlaku pada hari ketiga puluh setelah tanggal
penyerahan piagam kedua puluh dari ratifikasi atau persetujuan
kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2. Bagi setiap Negara yang meratifikasi Konvensi ini atau
menyetujuinya setelah penyerahan piagam kedua puluh dari ratifikasi
atau persetujuan, Konvensi ini akan berlaku pada hari ketiga puluh
setelah tanggal penyerahan piagam ratifikasi atau persetujuan Negara
tersebut.
Pasal 28
1. Setiap Negara, pada waktu menandatangani, meratifikasi atau
menyetujui Konvensi ini, dapat menyatakan bahwa pihaknya tidak
mengakui kewewenangan Komite yang ditetapkan pada Pasal 20.
2. Setiap Negara Pihak yang telah memberi pembatasan sesuai dengan
ayat 1 pasal ini, setiap saat dapat menarik kembali pembatasannya
dengan pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Pasal 29
1. Setiap Negara Pihak Konvensi ini dapat mengusulkan perubahan
dengan mengajukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa, selanjutnya Sekretaris Jenderal akan mengkomunikasikan
usulan perubahan itu kepada Negara-Negara Pihak dengan suatu
permintaan agar mereka memberitahu apakah mereka menyetujui
untuk mengadakan suatu konferensi Negara-Negara Pihak dengan
tujuan membahas dan memberikan suara kepada usulan itu. Apabila
dalam waktu empat bulan sejak tanggal komunikasi tersebut

298

2.

3.

1.

2.

3.

1.

sekurang-kurangnya sepertiga dari Negara-Negara Pihak menyetujui


Konferensi semacam itu, Sekretaris Jenderal akan menyelenggarakan
konferensi itu di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Setiap
perubahan yang disahkan oleh mayoritas Negara-Negara Pihak yang
hadir dan memberikan suara dalam konferensi itu harus disampaikan
oleh Sekretaris Jenderal kepada semua Negara-Negara Pihak untuk
disetujui.
Suatu perubahan yang disahkan sesuai dengan ayat 1 pasal ini
berlaku apabila dua pertiga Negara-Negara Pihak telah
memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa bahwa mereka telah menerimanya sesuai dengan proses
perundang-undangan masing-masing.
Sesudah diberlakukan, perubahan-perubahan itu mengikat NegaraNegara Pihak yang telah menerimanya, sedangkan Negara-Negara
Pihak lain masih terikat dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini
dan setiap perubahan terdahulu yang telah mereka terima.
Pasal 30
Setiap perselisihan antara dua atau lebih Negara Pihak mengenai
penafsiran atau penerapan Konvensi ini yang tidak dapat diselesaikan
melalui perundingan, atas permintaan salah satu dari Negara tersebut,
diajukan kepada arbitrasi. Jika dalam waktu enam bulan sejak tanggal
diajukannya permintaan untuk arbitrasi Pihak-Pihak yang berselisih
tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai organisasi arbitrasi,
salah satu dari mereka dapat meminta Mahkamah Internasional
menyelesaikan perselisihan tersebut berdasarkan ketentuan
mahkamah tersebut.
Setiap Negara, pada saat penandatangan atau ratifikasi atau
persetujuan terhadap Konvensi ini dapat menyatakan bahwa pihaknya
tidak terikat oleh ayat 1 pasal ini. Negara-Negara Pihak lainnya tidak
terikat pada ayat 1 pasal ini bila berhubungan dengan setiap Negara
Pihak yang telah membuat pembatasan semacam itu.
Setiap Negara Pihak yang telah membuat pembatasan sesuai dengan
ayat 2 pasal ini, setiap saat dapat menarik kembali pembatasannya
dengan pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Pasal 31
Suatu Negara Pihak dapat menarik diri dari Konvensi ini dengan
pemberitahuan tertulis kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan

299

Bangsa-Bangsa. Penarikan diri berlaku setahun setelah tanggal


diterimanya pemberitahuan tersebut oleh Sekretaris Jenderal.
2. Penarikan diri semacam itu tidak membebaskan Negara Pihak
tersebut dari kewajibannya berdasarkan Konvensi ini, berkenaan
dengan setiap tindakan atau penghapusan yang terjadi sebelum
tanggal penarikan diri itu berlaku, demikian pula penarikan diri itu
tidak mempengaruhi, dengan cara apapun, setiap pertimbangan yang
berlanjut dari setiap masalah yang sudah menjadi pertimbangan
Komite sebelum tanggal penarikan diri itu berlaku.
3. Setelah tanggal penarikan diri suatu Negara Pihak berlaku efektif,
Komite tidak akan memulai pertimbangan mengenai suatu masalah
baru berkenaan dengan Negara itu.
Pasal 32
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa akan memberitahu
semua Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dan semua Negara
yang telah menandatangani atau menyetujui Konvensi ini mengenai halhal berikut:
a. Penandatangan, ratifikasi, dan persetujuan berdasarkan pasal 25 dan
b.
c.
1.

2.

26;
Tanggal diberlakukannya Konvensi ini berdasarkan pasal 27 dan
tanggal diberlakukannya setiap perubahan berdasarkan pasal 29;
Penarikan diri berdasarkan Pasal 31.
Pasal 33
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menyimpan semua
naskah asli Konvensi dalam bahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis,
Rusia dan Spanyol.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirimkan
salinan Konvensi yang telah disahkan kepada semua Negara.

300

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 7 TAHUN 1984
TENTANG
PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN
SEGALA BENTUK DISKIRIMINASI TERHADAP WANITA
(CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF
DISCRIMANATION AGAINST WOMEN)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a. bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan, sehingga segala bentuk diskriminasi
terhadap wanita harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam
sidangnya pada tanggal 18 Desember 1979, telah menyetujui
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women);
c. bahwa ketentuan-ketentuan di dalam Konvensi tersebut di atas
pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila, UndangUndang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia;
d. bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani
Konvensi tersebut pada tanggal 29 Juli 1980 sewaktu diadakan
Konperensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa
bagi Wanita di Kopenhagen;
e. bahwa berhubung dengan hal tersebut di atas maka dipandang
perlu mengesahkan Konvensi sebagaimana tersebut pada huruf
b di atas dengan Undang-undang;

301

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara;

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI
MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK
DISKRIMINASI TERHADAP WANITA (CONVENTION ON THE
ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINST
WOMEN).
Pasal 1
Mengesahkan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women) yang telah disetujui oleh
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18
Desember 1979, dengan pensyaratan (reservation) terhadap Pasal 29
ayat (1) tentang penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau
penerapan Konvensi ini, yang salinannya dilampirkan pada Undangundang ini.
Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

302

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juli 1984
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juli 1984
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

SUDHARMONO, S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1984
NOMOR 29

303

KONVENSI TENTANG PENGHAPUSAN


DARI SEGALA BENTUK
DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN

Teks lengkap dari Konvensi dalam bahasa Inggris

""... Dan menyelesaikan pengembangan penuh suatu negara,


kesejahteraan dunia dan penyebab perdamaian memerlukan partisipasi
maksimum perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki dalam
semua bidang"
ISI
PENDAHULUAN
Konten dan Signifikansi Konvensi
MUKADIMAH
BAGIAN I
Diskriminasi ( Pasal 1 )
Kebijakan Tindakan ( Pasal 2 )
Jaminan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental Dasar (Pasal 3)

Langkah-langkah khusus ( Pasal 4 )


Peran seks Stereotipe dan Prasangka ( Pasal 5 )
Prostitusi ( Pasal 6 )
BAGIAN II
Politik dan Kehidupan Publik ( Pasal 7 )
Representasi ( Pasal 8 )
Kewarganegaraan ( Pasal 9 )

BAGIAN III
Pendidikan ( Pasal 10 )

304

Pekerjaan ( Pasal 11 )
Kesehatan ( Pasal 12 )
Manfaat Ekonomi dan Sosial ( Pasal 13 )
Pedesaan Perempuan ( Pasal 14 )
PART IV BAGIAN IV
Hukum ( Pasal 15 )
Perkawinan dan Kehidupan Keluarga ( Pasal 16 )

BAGIAN V
Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan ( Pasal 17 )
Laporan Nasional ( Pasal 18 )
Aturan Prosedur ( Pasal 19 )
Rapat Komite ( Pasal 20 )
Laporan Komite ( Pasal 21 )
Peran Badan Khusus ( Pasal 22 )
BAGIAN VI
Pengaruh tentang Perjanjian Internasional lainnya ( Pasal 23 )
Komitmen Negara Pihak ( Pasal 24 )
Administrasi Konvensi ( Pasal 25-30 )
PENDAHULUAN
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB. Hal ini mulai
berlaku sebagai perjanjian internasional pada tanggal 3 September 1981
setelah kedua puluh negara telah meratifikasinya. Dengan ulang tahun
kesepuluh dari Konvensi pada tahun 1989, hampir seratus negara telah
setuju untuk terikat oleh ketentuan-ketentuannya.
Konvensi ini adalah puncak dari lebih dari tiga puluh tahun bekerja
dengan Komisi PBB tentang Status Perempuan, sebuah badan yang
dibentuk pada tahun 1946 untuk memantau situasi perempuan dan
untuk mempromosikan hak-hak perempuan. . Komisi Pekerjaan telah
berperan dalam membawa untuk menyalakan semua daerah di mana

305

perempuan ditolak kesetaraan dengan laki-laki. Upaya ini untuk


kemajuan perempuan telah menghasilkan beberapa deklarasi dan
konvensi, di mana Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan dan paling komprehensif dokumen pusat.
Di antara perjanjian hak asasi manusia internasional, Konvensi
mengambil tempat penting dalam membawa perempuan setengah umat
manusia ke dalam fokus masalah hak asasi manusia. Semangat
Konvensi berakar pada tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa: untuk
menegaskan kembali iman dalam hak asasi manusia, di v, martabat dan
nilai pribadi manusia, dalam persamaan hak laki-laki dan perempuan.
Dokumen ini merinci arti kesetaraan dan bagaimana hal itu dapat
dicapai. Dengan demikian, Konvensi menetapkan tidak hanya tagihan
internasional hak-hak bagi perempuan, tetapi juga agenda untuk aksi
oleh negara-negara untuk menjamin pemenuhan hak-hak tersebut.
Konvensi secara eksplisit mengakui bahwa "diskriminasi yang luas
terhadap perempuan tetap ada", dan menekankan bahwa diskriminasi
seperti "melanggar prinsip-prinsip kesetaraan hak dan menghormati
martabat manusia". Sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1,
diskriminasi dipahami sebagai "pembedaan, pengucilan atau
pembatasan yang dibuat o.1 dasar jenis kelamin ... di, ekonomi, sosial,
budaya, sipil atau bidang politik lainnya". Konvensi tersebut
memberikan penegasan positif terhadap prinsip kesetaraan dengan
meminta Negara Pihak untuk mengambil "semua langkah yang tepat,
termasuk legislasi, untuk memastikan pengembangan penuh dan
kemajuan perempuan, dengan tujuan untuk menjamin mereka
melaksanakan dan menikmati hak asasi manusia dan kebebasan dasar
atas dasar kesetaraan dengan laki-laki "(pasal 3).
Agenda untuk kesetaraan ditentukan dalam empat belas artikel
berikutnya. Dalam pendekatannya, Konvensi mencakup tiga dimensi
tentang situasi perempuan. Hak Sipil dan status hukum perempuan
ditangani dengan sangat rinci. Selain itu, dan tidak seperti lain
perjanjian hak asasi manusia, Konvensi juga khawatir dengan dimensi
reproduksi manusia serta dengan dampak dari faktor budaya pada

306

hubungan jender.
Status hukum perempuan menerima perhatian luas. Keprihatinan atas
hak-hak dasar partisipasi politik belum berkurang sejak adopsi dari
Konvensi Hak-hak Politik Perempuan tahun 1952. Ketentuanketentuannya, oleh karena itu, disajikan kembali dalam pasal 7 dari
dokumen ini, dimana perempuan dijamin hak untuk memilih, untuk
memegang jabatan publik dan untuk melaksanakan fungsi publik. Ini
termasuk hak yang sama bagi perempuan untuk mewakili negara
mereka di tingkat internasional (pasal 8). Konvensi Kebangsaan dari
Perempuan Menikah - diadopsi pada tahun 1957 - terintegrasi menurut
pasal 9 menyediakan untuk kenegaraan wanita, terlepas dari status
perkawinan mereka. Konvensi ini, dengan demikian, menarik perhatian
pada fakta yang sering status hukum perempuan telah dikaitkan dengan
pernikahan, membuat mereka tergantung pada suami kebangsaan
mereka bukan individu di kanan mereka sendiri. Pasal 10, 11 dan 13,
masing-masing, menegaskan hak-hak perempuan untuk nondiskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan dan kegiatan ekonomi dan
sosial. Tuntutan ini diberi penekanan khusus berkaitan dengan situasi
perempuan pedesaan, yang khusus perjuangan dan kontribusi ekonomi
penting, seperti yang tercantum dalam pasal 14, menjamin perhatian
lebih dalam perencanaan kebijakan. Pasal 15 menegaskan kesetaraan
penuh perempuan dalam dan bisnis masalah perdata, menuntut bahwa
semua instrumen diarahkan untuk membatasi kapasitas hukum
perempuan''akan dianggap batal demi hukum ",. Akhirnya dalam pasal
16, Konvensi kembali ke masalah perkawinan dan keluarga hubungan,
menegaskan persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki
berkaitan dengan pilihan pasangan, orangtua, hak-hak pribadi dan
komando atas properti.
Selain isu-isu hak-hak sipil, Konvensi juga mencurahkan perhatian
besar pada perhatian penting sebagian besar perempuan, yaitu hak
reproduksi mereka. Pembukaan menetapkan nada dengan menyatakan
bahwa "peran perempuan dalam prokreasi tidak boleh dasar untuk
diskriminasi". Hubungan antara diskriminasi dan peran reproduksi
perempuan adalah masalah perhatian berulang dalam Konvensi.
Misalnya, advokat, dalam pasal 5,''pemahaman yang tepat tentang

307

kehamilan sebagai "fungsi sosial, menuntut tanggung jawab bersama


sepenuhnya untuk membesarkan anak oleh kedua jenis kelamin,. Oleh
karena ketentuan untuk perlindungan kehamilan dan perawatan anak
dinyatakan sebagai hak penting dan dimasukkan ke dalam semua area
Konvensi, apakah berhubungan dengan pekerjaan, hukum keluarga, inti
kesehatan atau pendidikan meluas Society. kewajiban untuk
menawarkan jasa sosial, perawatan anak fasilitas khususnya, yang
memungkinkan individu untuk mengkombinasikan tanggung jawab
keluarga dengan pekerjaan dan partisipasi dalam masyarakat kehidupan.
Langkah-langkah khusus untuk perlindungan bersalin yang
direkomendasikan dan "tidak dianggap diskriminatif".. (pasal 4)
"Konvensi juga menegaskan's hak perempuan untuk memilih
reproduksi. Khususnya, itu adalah hak asasi manusia hanya perjanjian
menyebutkan keluarga berencana. Negara berkewajiban untuk
memasukkan saran tentang keluarga berencana dalam proses
pendidikan (pasal l Oh) dan untuk mengembangkan kode keluarga
bahwa perempuan hak-hak jaminan "untuk secara bebas dan
bertanggung jawab atas jumlah dan jarak anak-anak mereka dan untuk
Hove akses ke informasi, pendidikan dan sarana untuk memungkinkan
mereka melaksanakan hak-hak "(pasal 16.e).
Dorongan umum ketiga Konvensi bertujuan memperbesar pemahaman
kita tentang konsep hak asasi manusia, karena memberikan pengakuan
formal terhadap pengaruh budaya dan tradisi di membatasi's
penikmatan perempuan hak-hak fundamental mereka. Kekuatankekuatan ini mengambil bentuk dalam stereotip, adat istiadat dan
norma-norma yang menimbulkan banyaknya, politik dan ekonomi
kendala hukum atas kemajuan perempuan. . Memperhatikan keterkaitan
ini, Pembukaan Konvensi menekankan "bahwa perubahan dalam peran
tradisional laki-laki maupun peran perempuan dalam masyarakat dan
dalam keluarga diperlukan untuk mencapai kesetaraan penuh dengan
laki-laki dan perempuan". Negara-negara Pihak demikian berkewajiban
untuk bekerja terhadap modifikasi dan budaya pola sosial perilaku
individu dalam rangka untuk menghilangkan "prasangka dan adat dan
semua praktek-praktek lainnya yang didasarkan pada gagasan
inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau pada stereotip
peran laki-laki dan perempuan "(pasal 5). Dan Pasal 1O.c. mandat revisi

308

buku teks, program-program sekolah dan metode pengajaran dengan


maksud untuk menghilangkan konsep stereotip di bidang pendidikan.
Akhirnya, pola-pola budaya yang mendefinisikan wilayah publik
sebagai manusia dunia dan lingkup domestik sebagai Teman domain
perempuan sangat ditargetkan di seluruh Konvensi ketentuan yang
menegaskan tanggung jawab yang sama dari kedua jenis kelamin dalam
kehidupan keluarga dan hak-hak mereka sama berkenaan dengan
pendidikan dan pekerjaan . Secara keseluruhan, Konvensi menyediakan
kerangka kerja yang komprehensif untuk menantang berbagai kekuatan
yang telah menciptakan dan berkelanjutan diskriminasi berdasarkan
jenis kelamin.
Implementasi Konvensi dipantau oleh Komite tentang Penghapusan
Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Mandat komite dan
administrasi perjanjian didefinisikan dalam Pasal 17 sampai 30 dari
Konvensi. Komite ini terdiri dari 23 ahli dicalonkan oleh Pemerintah
dan dipilih oleh Negara Pihak sebagai individu "moral yang tinggi dan
kompetensi di bidang yang dicakup oleh Konvensi".
Setidaknya setiap empat tahun, Negara-negara Pihak diharapkan dapat
menyampaikan laporan nasional kepada Komite, yang menunjukkan
langkah-langkah mereka telah mengadopsi untuk memberikan
ketentuan-ketentuan Konvensi. Dalam sidang tahunan, anggota Komite
mendiskusikan laporan-laporan ini dengan wakil Pemerintah dan
menjelajahi dengan mereka daerah untuk tindakan lebih lanjut oleh
negara tertentu. .Komite juga membuat rekomendasi umum untuk para
pihak Serikat pada hal-hal mengenai penghapusan diskriminasi terhadap
perempuan.

Teks lengkap dari Konvensi ini ditetapkan sini

KONVENSI TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK


DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN

Memperhatikan

Negara-negara Pihak Konvensi ini,


bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa

309

menegaskan kembali keyakinan dalam hak asasi manusia, dalam


martabat dan nilai seseorang manusia dan dalam hak yang sama dari
pria dan wanita,
termasuk perbedaan berdasarkan jenis kelamin,
Memperhatikan bahwa Negara Pihak dalam Kovenan Internasional
tentang Hak Asasi Manusia memiliki kewajiban untuk menjamin
persamaan hak laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua, sosial,
budaya, sipil dan politik hak-hak ekonomi,
Mempertimbangkan konvensi-konvensi internasional menyimpulkan di
bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khusus
mempromosikan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan,
Memperhatikan juga resolusi-resolusi, deklarasi dan rekomendasi yang
diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khusus
mempromosikan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan,
Khawatir, bagaimanapun, bahwa meskipun berbagai
diskriminasi yang luas terhadap perempuan terus ada,

instrumen

Mengingat bahwa diskriminasi terhadap perempuan melanggar prinsip


persamaan hak dan penghormatan terhadap martabat manusia,
merupakan halangan bagi partisipasi perempuan, atas dasar persamaan
dengan laki-laki, dalam, sosial, ekonomi dan budaya kehidupan politik
negara mereka, menghambat pertumbuhan dari kesejahteraan
masyarakat dan keluarga dan membuat lebih sulit pengembangan penuh
potensi perempuan dalam pelayanan negara mereka dan kemanusiaan,
Prihatin bahwa dalam situasi kemiskinan perempuan memiliki akses
paling tidak untuk makanan, kesehatan, pendidikan, pelatihan dan
kesempatan untuk dan lainnya kebutuhan kerja,
Yakin bahwa pembentukan ekonomi tatanan internasional baru
berdasarkan pemerataan dan keadilan akan memberikan kontribusi yang

310

signifikan terhadap promosi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan,


Menekankan bahwa penghapusan apartheid, segala bentuk rasisme,
diskriminasi rasial, kolonialisme, neo-kolonialisme, agresi, pendudukan
asing dan dominasi dan campur tangan dalam urusan internal negara
adalah penting untuk penikmatan penuh hak-hak laki-laki dan
perempuan,
Menegaskan bahwa memperkuat perdamaian dan keamanan
internasional, relaksasi ketegangan internasional, kerjasama timbalbalik antara semua Negara terlepas dari sistem sosial dan ekonomi,
umum dan lengkap pelucutan senjata mereka, perlucutan senjata nuklir
tertentu di bawah pengawasan internasional yang efektif dan ketat,
pengukuhan prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan dan saling
menguntungkan dalam hubungan antar negara dan realisasi hak rakyat
bawah dan dominasi kolonial asing dan pendudukan asing untuk
menentukan nasib sendiri dan kemerdekaan, serta menghormati
kedaulatan nasional dan integritas teritorial, akan mempromosikan
sosial kemajuan dan pembangunan dan sebagai konsekuensinya akan
memberikan kontribusi pada pencapaian kesetaraan penuh antara lakilaki dan perempuan,
Yakin bahwa dan menyelesaikan pengembangan penuh suatu negara,
kesejahteraan dunia dan penyebab perdamaian memerlukan partisipasi
maksimum perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki dalam
semua bidang,
Mengingat kontribusi besar perempuan untuk kesejahteraan keluarga
dan perkembangan masyarakat, sejauh ini tidak sepenuhnya diakui, arti
sosial dari kehamilan dan peran kedua orang tua dalam keluarga dan
membesarkan anak-anak, dan sadar bahwa peran perempuan dalam
prokreasi tidak harus menjadi dasar untuk diskriminasi tetapi bahwa
pengasuhan anak-anak memerlukan pembagian tanggung jawab antara
laki-laki dan perempuan dan masyarakat secara keseluruhan,
Menyadari bahwa perubahan dalam peran tradisional laki-laki maupun
peran perempuan dalam masyarakat dan dalam keluarga diperlukan

311

untuk mencapai kesetaraan penuh antara laki-laki dan perempuan,


Bertekad untuk menerapkan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam
Deklarasi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan dan,
untuk tujuan tersebut, untuk mengadopsi langkah-langkah yang
dibutuhkan untuk penghapusan diskriminasi tersebut dalam segala
bentuk dan manifestasinya,
Telah menyetujui sebagai berikut:
BAGIAN I
Pasal I
Untuk tujuan Konvensi ini, istilah "" diskriminasi terhadap perempuan
berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas
dasar jenis kelamin yang memiliki efek atau tujuan merusak atau
meniadakan pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan oleh perempuan,
terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan laki-laki
dan perempuan, hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dalam
ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya, politik.
Pasal 2
Negara-negara Pihak mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam
segala bentuknya, setuju untuk mengejar dengan segala cara yang tepat
dan tanpa penundaan suatu kebijakan untuk menghapuskan diskriminasi
terhadap perempuan, dan untuk tujuan ini berusaha:
(a) Menggalang prinsip pesamaan di antar laki-laki dan perempuan di
dalam konstitusi nasional atau hokum perundang-undangan lainnya
yang terkait yang disepakati ketika itu dan menegaskan, melaui
hukum atau upaya-upaya yang cocok lainnya, realisasi praktis dari
dari prinsip ini;
(b) Menagadopsi hukum perundang-undangan dan produk hukum yang
cocok, termasuk sanksi yang sesuai, yang mencegah deskriminasi
terhadap perempuan;
(c) Memberikan perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan atas
dasar persamaan hak dengan laki-laki dan menjamin, melalui
pengadilan-pengadilan nasional yang kompeten dan lembaga-

312

lembaga kemasyarakatan lainnya, perlindungan yang efektif kepada


perempuan untuk melawan semua tindakan diskriminasi;
(d) Menghindari segala bentuk tindakan yang merupakan diskriminasi
terhadap perempuan dan menjamin bahwa kantor-kantor dan
lembaga-lembaga kemasyarakatan akan berupaya menyesuaikan
dengan kewajiban ini;
(e) Menagambil kebijakan-kebijakan yang sesuai dalam rangka
menghapus diskriminasi terhadap perempuan oleh setiap orang,
organisasi, atau swasta;
(f) Menagambil kebijakan-kebijakan yang sesuai,
termasuk
pengesahan undang-undang, yang mengubah atau menghapus
hokum-hukum, peraturan-peraturan, adat-istiadat dan tindakantindakan yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan;
(g) Mencabut pasal-pasal hukuman yang merupakan dikriminasi
terhadap perempuan;
Pasal 3
Negara Pihak akan mengambil bagian, khususnya di bidang-bidang;
politik, sosial, ekonomi dan budaya, segala kebijakan yang sesuai,
termasuk pengesahan undang-undang, dalam rangka memastikan
perkembangan dan pengembangan yang penuh bagi perempuan, yang
tujuannya dapat memberikan jaminan kepada perempuan untuk
mengenyam pendidikan dan dan hak-hak asasi manusia, dan kebebasan
fundamental atas dasar persamaan dengan laki-laki;
Pasal 4
1. Adopsi oleh Negara-negara Pihak pada pertimbangan khusus
temporer bertujuan untuk menyelengarakan persamaan de facto di
antara laki-laki dan perempuan tidak akan dianggap diskriminasi
seperti dimaksudkan pada konvensi sekarang, namun pada
penutupan jalan yang diperlukan sebagai suatu konsekwensi
penjagaan dari ketidaksamaan dan pembedaan standar;
pertimbangan-pertimbangan ini tidak akan diteruskan ketika
tujuan-tujuan untuk persamaan peluang dan pelayanan sudah
dicapai.
2. Adopsi oleh Negara-negara Pihak dengan pertimbangan tertentu,
termasuk pertimbangan-pertimbangan yang terdapat di dalam
Konvensi sekarang, yang bertujuan untuk melindugi persalinan
tidak akan dianggap diskriminasi

313

Pasal 5
Negara-negara Pihak akan mengambil lagkah-langkah yang sesuai:
(a) Untuk mengubah pola social-budaya dari perilaku laki-laki dan
perempuan, dengan sutu pandangan dalam mencapai penghapusan
syakwa sangaka dan adat-istiadat dan prektek lainnya yang terkait
denga ide perendahan dan peninggian satu sama lain terkait jenis
lelamin atau pada peran-peran kesejajaran bagi laki-laki dan
perempuan;
(b) Untuk memastikan bahwa pendidikan keluarga termasuk
pemahaman yang tepat tentang persalinan sebagai suatu fungsi
sosial dan pengakuan tentang tanggung jawab yang semestinya bagi
laki-laki dan perempuan di dalam pendidikan dan pengembangan
anak-anak mereka, dengan kata lain bahwa kepentingan anak-anak
adalah perkara utama di dalam semua perkara.
Pasal 6
Negara-negara pihak akan mengambil langkah yang tepat, termasuk
pengesahan undang-undang, untuk menekankan segala bentuk
perdagangan gelap perempuan dan ekspoitasi pada pelacuran
perempuan
BAGIAN II
Pasal 7
Negara-negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang cocok
untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di dalam kehidupan
politik dan public di suatu Negara dan, khususnya, akan memastikan
perempuan, atas kesamaan nilai dengan laki-laki, dalam bidang hak:
(a) Untuk memberikan suara dalam semua pemilihan umum dan
referendum publik dan dapat dipilh di dlam pemilihan semua badan
publik yang dipilih;
(b) Untuk berpartisipasi di dalam perumusan kebijakan pemerintahan
dan penerapan kebijakan itu dan menjabat di kantor publik dan
memainkan semua fungsi publik di semua level pemerintahan;
(c) Untuk ikut serta di dalam organisasi-organisasi non-pemerintah dan
perkumpulan-perkumpulan yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat dan politik di suatu negara.
Pasal 8

314

Negara-negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang sesuai


untuk memastikan perempuan, atas persamaan nilai dengan laki-laki
dan tanpa ada diskriminasi, peluang untuk mewakilkan
pemerintah/pemimpin mereka pada level internasional dan
berpartisipasi di dalam kegiatan organisasi-oeganisasi internasional.
Pasal 9
1. Negara-negara pihak akan memberikan kepada perempuan hak-hak
yang sama dengan laki-laki untuk memperolah, mengubah atau
mempertahankan kebangsaan mereka. Negara-negara Pihak akan
memastikan khususnya bahwa bukan karena kawin dengan seorang
asing juga bukan berubah kebangsaan atas paksaan si suami selama
perkawinan yang secara serta merta berubah kebagsaan si isteri,
menyebabkannya si isteri tanpa negara atau terpaksa tunduk kepda
kebangsaan si suami
2. Negara-negara Pihak akan memberikan hak-hak yang sama kepada
perempuan dengan laki-laki dalam menghargai kebangsaan anakanak mereka.
BAGIAN III
Pasal 10
Negara-negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang sesuai
untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam rangka
memastikan mereka akan persamaan hak dengan laki-laki di dalam
bidang-bidang pendidikan dan khususnya memastikan, atas dasar
persamaan laki-laki dan perempuan:
(a) Kondisi yang sama untuk karir dan bimbingan pendidikan, untuk
memasuki studi atau untuk pencapaian diploma di dalam
pemantapan pendidikan dari semua kategori baik di kawasan
pedesaan mapun perkotaan; persamaan ini akan dipastikan pada prasekolah, umum, teknik, pendidikan teknik lebih tinggi dan
profsional, sebagiamana halnya pada tipe pelatihan pendidikan;
(b) Memperoleh kurikulum yang sama, ujian-ujian yang sama,
pengajaran staf dengan kualifikasi standar yang sama dan
lingkungan sekolah yang sama, dan perlengkapan yang sama
kwalitas;
(c) Penghapusan banyaknya konsep stereotipe pada peran-peran laki-

315

(d)
(e)

(f)

(g)
(h)

laki dan perempuan pada semua level dan di dalam semua bentuk
pendidikan dengan meningkatkan pendidikan bersama dan tipe-tipe
lain dari pendidikan yang akan membantu pencapaian tujuan ini dan,
khususnya, dengan merevisi buku-buku naskah dan programprogram sekolah dan pemnyesuain metode pengajaran;
Kesempatan yang sama untuk memperoleh beasiswa dan anugerah
studi lainnya;
Kesempatan yanga sama di dalam mendapatkan program-program
kelanjutan pendidikan, termasuk orang dewasa dan programprogram fungsi aksara, khususnya yang bertujuan pada pengurangan,
sedini mungkin, celah di dalam pendidikan yang terjadi antara lakilaki dan perempuan;
Pengurangan angka drop-out pelajar perempuan dan penyusunan
program-program
bagi anak perempuan dan wanita yang
meninggalkan sekolah secara prematur;
Kesempatan yang sama di dalam berpartisipasi aktif di bidang olah
raga dan pendidikan fisik;
Mengenyam pengetahuan pendidikan khusus yang dapat membantu
di dalam menjaga kesehatan dan kebahagiaan keluarga, termasuk
pengetahuan dan nasehat pada keluarga berencana

Pasal 11
1. Negara-negara Pihak akan mengambil kebijakan yang tepat untuk
penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di lapangan
pekerjaan dalam rangka memastikan, atas dasar persamaan laki-laki
dan perempuan, persamaan hak, khususnya:
(a) Hak untuk bekerja sebagai suatu hak yang tidak dapat dihindari
bagi semua manusia;
(b) Hak pada peluang yang sama di dalam pekerjaan, termasuk
permohonan kriteria yang sama untuk memilih bidang-bidang
pekerjaan;
(c) Hak bebas memilih profesi dan pekerjaan, hak promosi,
keamanan pekerjaan dan semua keuntungan dan kondisi
perlakuan dan hak untuk menerima pelatihan kerja dan
pelatihan ulang, termasuk magang, pelatihan kerja lanjutan dan
latihan ulangan;
(d) Hak untuk pembayaran yang sama, termasuk keuntungankeuntungan, dan perlakuan yang sama dari hasil kerja dengan

316

nilai yang sama, sebagaimana halnya persamaan perlakuan


dalam evaluasi persamaan kerja;
(e) Hak untuk keamanan sosial, khususnya pada perkara-perkara
pensiun, pengangguran, sakit, pembatalan dan usia senja dana
kasitas lain yang tidak memungkinkan bekerja, sebagaimana
halnya hak cuti;
(f) Hak untuk perlindungan kesehatan dan keselamatan di dalam
kondisi kerja, termasuk perlindungan fungsi reproduksi.
2. Untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan atas dasar
perkawinan atau kehamilan dan untuk menjamin hak efektif mereka
untuk bekerja, Negara-negara Pihak harus mengambil langkah yang
tepat:
(a) Untuk melarang, dengan dikenakan sanksi, pemecatan atas
dasar kehamilan atau cuti hamil dan diskriminasi dalam
pemberhentian atas dasar status perkawinan;
(b) Untuk memperkenalkan cuti hamil dengan bayaran atau dengan
tunjangan sosial yang sebanding tanpa kehilangan pekerjaan
mantan, senioritas atau tunjangan sosial;
(c) Untuk mendorong penyediaan pendukung pelayanan sosial yang
diperlukan untuk memungkinkan orang tua untuk
menggabungkan kewajiban keluarga dengan tanggung jawab
pekerjaan dan partisipasi dalam kehidupan publik, khususnya
melalui mempromosikan pembentukan dan pengembangan
jaringan fasilitas perawatan anak;
(d) Untuk memberikan perlindungan khusus bagi perempuan
selama kehamilan dalam jenis pekerjaan yang terbukti
berbahaya bagi mereka.
3. pelindung undang-undang yang berkaitan dengan hal-hal yang
tercakup dalam pasal ini harus ditinjau secara berkala dalam terang
dan teknologi pengetahuan ilmiah dan harus direvisi, dicabut atau
diperluas seperlunya.
Pasal 12
1. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat
untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang
perawatan kesehatan untuk menjamin, atas dasar persamaan antara
pria dan wanita, akses ke pelayanan perawatan kesehatan, termasuk

317

yang terkait dengan keluarga berencana.


2. Menyimpang dari ketentuan ayat I dari pasal ini, Negara Pihak
harus menjamin agar sesuai jasa wanita sehubungan dengan
kehamilan, persalinan dan periode pasca-melahirkan, memberikan
pelayanan gratis bila perlu, serta gizi yang cukup selama kehamilan
dan menyusui.
Pasal 13
Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk
menghapus diskriminasi terhadap perempuan di daerah lain kehidupan
ekonomi dan sosial untuk menjamin, atas dasar kesetaraan laki-laki dan
perempuan, hak yang sama, khususnya:
(a) hak atas imbalan keluarga;
(b) Hak atas pinjaman bank, hipotek dan bentuk lain dari kredit
keuangan;
(c) Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan rekreasi, olahraga dan
semua aspek kehidupan budaya.
Pasal 14
1. Negara-negara Pihak wajib memperhatikan masalah-masalah khusus
yang dihadapi perempuan pedesaan dan peran penting yang
dimainkan perempuan pedesaan dalam kelangsungan hidup ekonomi
keluarga mereka, termasuk pekerjaan mereka di-Monetisasi sektorsektor non ekonomi, dan harus mengambil semua langkah yang tepat
untuk menjamin penerapan ketentuan Konvensi ini bagi perempuan
di daerah pedesaan.
2. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat
untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di daerah
pedesaan untuk menjamin, atas dasar kesetaraan laki-laki dan
perempuan, bahwa mereka berpartisipasi dalam dan memperoleh
manfaat dari pembangunan pedesaan dan, khususnya, harus
memastikan untuk wanita demikian kanan:
(a) Untuk berpartisipasi dalam perluasan dan pelaksanaan
perencanaan pembangunan di semua tingkat;
(b) Untuk memiliki akses ke fasilitas perawatan kesehatan yang
memadai, termasuk informasi, konseling dan pelayanan keluarga
berencana;
(c) Untuk mendapatkan manfaat langsung dari program jaminan
sosial;
(d) Untuk memperoleh segala jenis pelatihan dan pendidikan, formal

318

dan non-formal, termasuk yang berkaitan dengan keaksaraan


fungsional, serta, antara lain, manfaat dari semua dan perluasan
layanan masyarakat, dalam rangka meningkatkan kemampuan
teknis mereka;
(e) Untuk membentuk kelompok self-help dan koperasi untuk
mendapatkan akses yang sama terhadap kesempatan ekonomi
melalui kerja atau pekerjaan sendiri;
(f) Untuk berpartisipasi dalam semua kegiatan masyarakat; Untuk
memiliki akses ke kredit dan pinjaman pertanian, fasilitas
pemasaran, teknologi tepat guna dan perlakuan yang sama di
tanah dan reformasi agraria serta skema pemukiman kembali
tanah;
(g) Untuk menikmati kondisi hidup yang memadai, terutama dalam
hubungannya dengan perumahan,, listrik sanitasi dan penyediaan
air, transportasi dan komunikasi.
BAGIAN IV
Pasal 15
1. Negara-negara Pihak harus memberikan kesetaraan perempuan
dengan laki-laki di hadapan hukum.
2. Negara Pihak wajib memberikan kepada perempuan, dalam hal
sipil, kapasitas hukum identik dengan laki-laki dan kesempatan
yang sama untuk menggunakan kapasitas tersebut. Secara khusus,
mereka harus memberikan perempuan hak yang sama untuk
menutup kontrak-kontrak dan untuk mengelola harta dan akan
memperlakukan mereka sama di semua tahapan prosedur di
pengadilan dan pengadilan.
3. Negara-negara Pihak setuju bahwa semua kontrak dan semua
instrumen swasta lainnya dalam bentuk apapun dengan efek hukum
yang diarahkan pada membatasi kapasitas hukum perempuan akan
dianggap batal demi hukum.
4. Negara Pihak wajib memberikan kepada laki-laki dan perempuan
hak yang sama berkenaan dengan hukum yang terkait dengan
pergerakan orang dan kebebasan untuk memilih tempat tinggal dan
domisili mereka.

319

Pasal 16
1. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat
untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam segala
hal yang berkaitan dengan hubungan perkawinan dan keluarga dan
khususnya harus menjamin, atas dasar persamaan antara pria dan
wanita:
(a) hak yang sama untuk masuk ke dalam perkawinan;
(b) Hak yang sama untuk bebas memilih pasangan dan untuk
masuk ke dalam pernikahan hanya dengan bebas dan
persetujuan penuh mereka;
(c) hak yang sama dan tanggung jawab selama perkawinan dan
pada saat perceraian;
(d) Hak yang sama dan tanggung jawab sebagai orangtua, terlepas
dari status perkawinan mereka, dalam hal-hal yang berkaitan
dengan anak-anak mereka, dalam semua kasus kepentingan
anak harus menjadi yang utama;
(e) Hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan
bertanggung jawab tentang jumlah dan jarak anak-anak mereka
dan untuk memiliki akses ke informasi, pendidikan dan sarana
untuk memungkinkan mereka melaksanakan hak-hak;
(f) Hak yang sama dan tanggung jawab berkaitan dengan
perwalian,, perwalian perwalian dan adopsi anak, atau lembaga
serupa di mana konsep-konsep ini ada dalam perundangundangan nasional, dalam semua kasus kepentingan anak harus
menjadi yang utama;
(g) Hak pribadi yang sama sebagai suami dan istri, termasuk hak
untuk memilih nama keluarga, profesi dan pekerjaan;
(h) Hak yang sama untuk kedua pasangan sehubungan dengan
akuisisi kepemilikan,, manajemen,, kenikmatan administrasi
dan pembagian harta, baik secara gratis atau untuk hal yang
berharga.
2. Para pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak memiliki
kekuatan hukum, dan semua tindakan yang diperlukan, termasuk
legislasi, harus diambil untuk menetapkan usia minimum untuk
menikah dan membuat pendaftaran pernikahan dalam registri wajib
resmi.
BAGIAN V

320

Pasal 17
1. Untuk tujuan mempertimbangkan kemajuan yang dibuat dalam
pelaksanaan Konvensi ini, harus ada dibentuk suatu Komite
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (selanjutnya
disebut sebagai Komite) yang terdiri, pada saat berlakunya
Konvensi, delapan belas tahun dan, setelah ratifikasi atau aksesi
Konvensi oleh Negara Pihak kelima-tiga puluh, dua puluh tiga
orang ahli yang bermoral tinggi dan kompetensi di bidang yang
dicakup oleh Konvensi. Para pakar harus dipilih oleh Negara-negara
Pihak dari warga negara mereka dan bertugas dalam kapasitas
pribadi mereka, pertimbangan diberikan pada distribusi geografis
yang adil dan perwakilan dari berbagai bentuk peradaban maupun
sistem hukum yang utama.
2. Para anggota Komite harus dipilih dengan pemungutan suara secara
rahasia dari daftar orang-orang yang dicalonkan oleh Negara Pihak.
Setiap Negara Pihak dapat mencalonkan satu orang dari warga
negaranya sendiri.
3. Pemilihan pertama akan diselenggarakan enam bulan setelah
tanggal berlakunya Konvensi ini. Setidaknya tiga bulan sebelum
tanggal setiap pemilihan Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa harus mengirimkan surat kepada Negara Pihak mengundang
mereka untuk menyampaikan calon mereka dalam waktu dua bulan.
Sekretaris Jenderal harus menyiapkan daftar menurut abjad semua
orang yang dicalonkan, dengan menunjukkan Negara-negara Pihak
yang mencalonkan mereka, dan akan menyampaikannya kepada
Negara-negara Pihak.
4. Pemilihan anggota Komite harus diselenggarakan pada sidang
Negara-negara Pihak yang diselenggarakan oleh Sekretaris Jendral
di Markas Besar PBB. Pada pertemuan itu, di mana dua pertiga
Negara Pihak merupakan suatu kuorum, orang yang dipilih untuk
Komite adalah mereka calon yang memperoleh suara terbanyak dan
mayoritas mutlak dari suara wakil-wakil dari Negara Pihak dan
suara hadir .
5. Para anggota Komite akan dipilih untuk masa jabatan empat tahun.
Namun, persyaratan sembilan anggota terpilih pada pemilihan

321

6.

7.

8.

9.

pertama akan berakhir pada akhir dua tahun; segera setelah


pemilihan pertama nama-nama sembilan anggota ini akan dipilih
melalui undian oleh Ketua Komite.
Pemilihan lima anggota tambahan Komite akan diadakan sesuai
dengan ketentuan ayat 2, 3 dan 4 pasal ini, setelah lima tiga puluh
ratifikasi atau aksesi. Syarat dua anggota tambahan yang dipilih
pada kesempatan ini akan berakhir pada akhir dua tahun, nama
kedua anggota yang telah dipilih melalui undian oleh Ketua
Komite.
Untuk mengisi kekosongan kasual, Negara Pihak yang ahli telah
berhenti berfungsi sebagai anggota Komite harus menunjuk ahli
lain dari antara warga negaranya, tunduk pada persetujuan Komite.
Para anggota Komite, dengan persetujuan Majelis Umum,
menerima honorarium dari sumber-sumber Perserikatan BangsaBangsa sesuai dengan syarat dan kondisi Majelis dapat
memutuskan, dengan mempertimbangkan pentingnya tanggung
jawab Komite.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa harus menyediakan
staf dan fasilitas yang diperlukan untuk pelaksanaan efektif fungsifungsi Komite berdasarkan Konvensi ini.

Pasal 18
1. Negara-negara Pihak berjanji untuk menyampaikan kepada
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa,
untuk
dipertimbangkan oleh Komite, laporan mengenai, peradilan,
administratif atau lain tindakan legislatif yang mereka telah
mengadopsi untuk memberikan ketentuan-ketentuan dalam
Konvensi ini dan di kemajuan dalam hal ini:
(a) Dalam satu tahun setelah berlakunya bagi Negara yang
bersangkutan;
(b) Setelah itu setidaknya setiap empat tahun dan selanjutnya
setiap kali Komite memintanya.
2. Laporan dapat mengindikasikan faktor dan kesulitan-kesulitan yang
mempengaruhi tingkat pemenuhan kewajiban berdasarkan
Konvensi ini.
Pasal 19
1. Komite harus menetapkan aturan prosedurnya sendiri.
2. Komite harus memilih para stafnya untuk masa jabatan dua tahun.

322

Pasal 20
1. Komite biasanya bersidang untuk jangka waktu tidak lebih dari dua
minggu setiap tahun untuk mempertimbangkan laporan yang
disampaikan sesuai dengan pasal 18 Konvensi ini.
2. Pertemuan-pertemuan Komite biasanya akan diselenggarakan di
Markas Besar PBB atau di tempat yang nyaman lain yang
ditetapkan oleh Komite ( perubahan , status ratifikasi )
Pasal 21
1. Komite harus, melalui Dewan Ekonomi dan Sosial, laporan tahunan
kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
kegiatan-kegiatannya dan dapat memberikan usulan dan
rekomendasi umum berdasarkan pemeriksaan laporan dan informasi
yang diterima dari Negara Pihak. Saran-saran dan rekomendasi
umum tersebut wajib dimasukkan dalam laporan Komite bersamasama dengan komentar, jika ada, dari Negara-negara Pihak.
2. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa harus meneruskan
laporan-laporan Komite kepada Komisi Status Perempuan untuk
informasinya.
Pasal 22
Badan-badan khusus berhak untuk diwakili dalam mempertimbangkan
pelaksanaan ketentuan-ketentuan Konvensi ini, seperti yang berada
dalam lingkup kegiatan mereka. Komite dapat mengundang badanbadan khusus untuk menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan
Konvensi di bidang-bidang yang termasuk dalam ruang lingkup
kegiatan mereka.
BAGIAN VI
Pasal 23
Tidak ada dalam Konvensi ini akan mempengaruhi setiap ketentuan
yang lebih kondusif untuk pencapaian kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan yang mungkin dimuat:
(a) Dalam undang-undang suatu Negara Pihak; atau
(b) perjanjian konvensi internasional, atau perjanjian yang berlaku bagi
Negara.
Pasal 24
Negara-negara Pihak untuk mengambil semua langkah yang diperlukan

323

pada tingkat nasional ditujukan untuk mencapai realisasi penuh hak-hak


yang diakui dalam Konvensi ini.
Pasal 25
1. Konvensi ini terbuka untuk penandatanganan oleh semua Negara.
2. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa ditunjuk sebagai
penyimpan Konvensi ini.
3. Instrumen ratifikasi harus disimpan oleh Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
4. Konvensi ini terbuka untuk aksesi oleh semua Negara. Aksesi akan
berlaku efektif dengan penyimpanan instrumen aksesi pada
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 26
1. Permintaan untuk merevisi Konvensi ini dapat dilakukan setiap saat
oleh setiap Negara Pihak melalui pemberitahuan secara tertulis
disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa.
2. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa akan memutuskan
langkah-langkah, jika ada, yang akan diambil sehubungan dengan
permintaan tersebut.
Pasal 27
1. Konvensi ini mulai berlaku pada hari ketiga puluh setelah tanggal
penyimpanan dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa instrumen kedua puluh dari ratifikasi atau aksesi.
2. Untuk setiap Negara yang meratifikasi Konvensi ini atau
melakukan aksesi setelah penyimpanan instrumen kedua puluh dari
ratifikasi atau aksesi, Konvensi akan mulai berlaku pada hari ketiga
puluh setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi atau aksesi.
Pasal 28
1. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menerima dan
mengedarkan pada semua Negara naskah reservasi yang dibuat oleh
Negara-negara pada saat ratifikasi atau aksesi.
2. Suatu reservasi yang tidak sesuai dengan tujuan dan maksud
konvensi ini tidak diperkenankan.
3. Reservasi dapat ditarik setiap waktu dengan pemberitahuan ini yang
disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa, yang kemudian akan memberitahukan semua Negara
daripadanya. Pemberitahuan tersebut mulai berlaku pada tanggal
yang diterima.

324

Pasal 29
1. Setiap sengketa antara dua atau lebih Negara Pihak mengenai
penafsiran atau penerapan Konvensi ini yang tidak diselesaikan
melalui negosiasi, atas permintaan salah satu dari mereka, harus
diajukan untuk arbitrase. Jika dalam waktu enam bulan dari tanggal
permintaan untuk arbitrasi para pihak tidak dapat bersepakat
mengenai struktur arbitrase, salah satu dari para pihak dapat
mengajukan sengketa kepada Mahkamah Internasional melalui
permohonan sesuai dengan Statuta Mahkamah .
2. Setiap Negara peserta pada saat penandatanganan atau ratifikasi
Konvensi ini atau aksesi dapat menyatakan bahwa ia tidak
menganggap dirinya terikat oleh ayat I dari pasal ini. Negara-negara
Pihak lainnya tidak akan terikat oleh ayat berkenaan dengan setiap
Negara Pihak yang telah membuat reservasi dimaksud.
3. Setiap Negara Pihak yang telah membuat reservasi sesuai dengan
ayat 2 pasal ini dapat setiap saat menarik kembali reservasi tersebut
dengan pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Pasal 30
Konvensi ini, dalam bahasa Arab, Cina, Inggris, Rusia dan Spanyol teks
Prancis yang sama-sama otentik, akan disimpan pada Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.

325

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM


NOMOR 12 TAHUN 2003
TENTANG
MINUMAN KHAMAR DAN SEJENISNYA
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
Menimbang :
a. bahwa Keistimewaan dan Otonomi Khusus yang diberikan
untuk Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam berdasarkan Undang-undang Nomor 44
Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001,
antara lain bertujuan mengaplikasikan Syariat Islam dalam
kehidupan masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan
masyarakat yang sejahtera, aman, tenteram, adil dan tertib
guna mencapai ridha Allah;
b. bahwa mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya
merupakan pelanggaran terhadap Syariat Islam, merusak
kesehatan, akal dan kehidupan masyarakat dan berpeluang
timbul maksiat lainnya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
huruf a dan b perlu membentuk Qanun tentang Larangan
Minuman Khamar dan sejenisnya.
Mengingat :
1. Al-Quran;
2. Al-Hadits;
3. Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945
4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan
Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan
Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1103);
5. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3209);

326

6. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
7. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3892);
8. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
KUHAP (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3258);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi
Kegiatan Instansi vertical di daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3373);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
12. Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan
dan Pengendalian Minuman Beralkohol;
13. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk
Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah,
dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 70);
14. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 1986 tentang
Ketentuan Umum Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil di
Lingkungan Pemerintah Daerah;
15. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Larangan, Pengawasan, Penertiban, Peredaran dan Penjualan
Minuman Beralkohol di Daerah;
16. Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam

327

(Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000


Nomor 30);
17. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun
2002 tentang Peradilan Syariat Islam (Lembaran Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 2 Seri E Nomo
2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor 4);
18. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun
2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah
dan Syiar Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Tahun 2003 Nomor 3 Seri E Nomor 3, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor
5);
..
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI
NANGGROE ACEH
DARUSSALAM
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
TENTANG MINUMAN KHAMAR DAN SEJENISNYA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
2. Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah
Gubernur beserta perangkat lainnya sebagai badan eksekutif
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
3. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota beserta
perangkat lain pemerintah Kabupaten/Kota sebagai badan
eksekutif Kabupaten/Kota dalam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

328

5. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota Kabupaten/Kota dalam


Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
6. Camat adalah kepala pemerintahan di kecamatan.
7. Imum Mukim/Kepala Mukim adalah pimpinan dalam suatu
kesatuan masyarakat hukum yang terdiri atas gabungan beberapa
gampong.
8. Keuchik adalah Kepala pemerintahan terendah dalam suatu
kesatuan masyarakat hukum di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang berhak menyelenggarakan urusan rumah
tangganya sendiri.
9. Masyarakat adalah himpunan orang-orang yang berdomisili di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
10. Mahkamah adalah Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kota dan
Mahkamah Syariyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
11. Wilayatul
Hisbah
adalah
lembaga
yang
bertugas
membina,mengawasi dan melakukan advokasi terhadap
pelaksanaan amar makruf nahi mungkar.
12. Polisi adalah Polisi Nanggroe Aceh Darussalam yang diberi tugas
dan wewenang khusus menangani pelaksanaan penegakan
Syariat Islam.
13. Penyidik adalah Penyidik Umum dan/atau Penyidik Pegawai
Negeri Sipil.
14. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat Pegawai Negeri
Sipil yang diangkat oleh Gubernur yang diberi tugas dan
wewenang untuk melakukan penyidikan pelanggaran Syariat
Islam.
15. Jaksa adalah Jaksa Nanggroe Aceh Darussalam yang diberi tugas
dan wewenang menjalankan tugas khusus di bidang Syariat
Islam;
16. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi tugas dan wewenang
khusus untuk melaksanakan penuntutan di bidang Syariat dan
melaksanakan penetapan dan putusanhakim Mahkamah;
17. Pejabat yang berwenang adalah Kepala Polisi Nanggroe Aceh
Darussalam dan/atau pejabat lain di lingkungannya yang ditunjuk
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
18. Jarimah adalah perbuatan yang diancam dengan uqubat qishashdiat, hudud, dan tazir.

329

19. Uqubat adalah ancaman uqubat terhadap pelanggaran jarimah


qishas-diat, hudud dan tazir.
20. Khamar dan sejenisnya adalah minuman yang memabukkan,
apabila dikonsumsi dapat menyebabkan terganggu kesehatan,
kesadaran dan daya pikir.
21. Memproduksi adalah serangkaian kegiatan atau proses
menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan,
mengemas, dan/atau mengubah bentuk menjadi minuman khamar
dan sejenisnya.
22. Mengedarkan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
dalam rangka penyaluran minuman khamar dan sejenisnya
kepada perorangan dan/atau masyarakat.
23. Mengangkut adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
membawa minuman khamar dan sejenisnya dari suatu tempat ke
tempat lain dengan kendaraan atau tanpamenggunakan kendaraan.
24. Memasukkan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
membawa minuman khamar dan sejenisnya dari daerah atau
negara lain ke dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
25. Memperdagangkan adalah setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan dalam rangka penawaran, penjualan atau memasarkan
minuman khamar dan sejenisnya.
26. Menyimpan adalah menempatkan khamar dan sejenisnya di
gudang, hotel, penginapan, losmen, wisma, bar, restoran, warung
kopi, rumah makan, kedai, kios dan tempat-tempat lain.
27. Menimbun adalah mengumpulkan minuman khamar dan
sejenisnya di gudang, hotel, penginapan, losmen, wisma ,
restoran, warung kopi, rumah makan, kedai, kios dan tempattempat lain.
28. Mengkonsumsi adalah memakan atau meminum minuman
khamar dan sejenisnya baik dilakukan sendiri maupun dengan
bantuan orang lain.
BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Pasal 2

330

Ruang lingkup larangan minuman khamar dan sejenisnya adalah


segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan
segala minuman yang memabukkan.
Pasal 3
Tujuan larangan minuman khamar dan sejenisnya ini adalah :
a. Melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau
perbuatan yang merusak akal;
b. Mencegah terjadinya perbuatan atau kegiatan yang timbul akibat
minuman khamar dalam masyarakat;
c. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan
memberantas terjadinya perbuatan minuman khamar dan
sejenisnya.
BAB III
LARANGAN DAN PENCEGAHAN
Pasal 4
Minuman Khamar dan yang sejenisnya hukumnya haram.
Pasal 5
Setiap orang dilarang mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya.
Pasal 6
(1) Setiap orang atau badan hukum/badan usaha dilarang
memproduksi
menyediakan,
menjual,
memasukkan,
mengedarkan,
mengangkut,
menyimpan,
menimbun,
memperdagangkan, menghadiahkan dan mempromosikan
minuman khamar dan sejenisnya.
(2) Setiap orang atau badan hukum dilarang turut serta/membantu
memproduksi,
menyediakan,
menjual,
memasukkan,
mengedarkan,
mengangkut,
menyimpan,
menimbun,
memperdagangkan dan memproduksi minuman khamar dan
sejenisnya.
Pasal 7
Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 berlaku juga bagi badan
hukum dan atau badan usaha yang dimodali atau mempekerjakan tenaga
asing.
Pasal 8

331

Instansi yang berwenang menerbitkan izin usaha hotel, penginapan,


losmen, wisma, bar, restoran, warung kopi, rumah makan, kedai, kios,
dan tempat-tempat lain dilarang melegalisasikan penyediaan minuman
khamar dan sejenisnya.
Pasal 9
Setiap orang atau kelompok/institusi masyarakat berkewajiban mencegah
perbuatan minuman khamar dan sejenisnya.
BAB IV
PERANSERTA MASYARAKAT
Pasal 10
(1) Masyarakat berperan serta dalam upaya pemberantasan minuman
khamar dan sejenisnya.
(2) Masyarakat wajib melapor kepada pejabat yang berwenang baik
secara lisan maupun tertulis apabila mengetahui adanya
pelanggaran terhadap larangan minuman khamar dan sejenisnya.
Pasal 11
Wujud peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
adalah melapor kepada pejabat yang berwenang terdekat, apabila
mengetahui adanya perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 sampai Pasal 7.
Pasal 12
Dalam hal pelaku pelanggaran tertangkap tangan oleh warga masyarakat,
maka pelaku beserta barang bukti segera diserahkan kepada pejabat yang
berwenang.
Pasal 13
Pejabat yang berwenang wajib memberikan perlindungan dan jaminan
keamanan kepada pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
dan/atau orang yang menyerahkan pelaku sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12.
Pasal 14
Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 apabila
lalai dan/atau tidak memberikan perlindungan dan jaminan keamanan
dapat dituntut oleh pihak pelapor dan/atau pihak yang menyerahkan
tersangka.

332

Pasal 15
Tata cara penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diajukan ke
Mahkamah.
BAB V
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
Pasal 16
(1) Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Imum Mukim dan Keuchik
berkewajiban melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap
penerapan larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 sampai
Pasal 8.
(2) Untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap
pelaksanaan qanun ini, Gubernur, Bupati/Walikota membentuk
Wilayatul Hisbah.
(3) Susunan dan kedudukan Wilayatul Hisbah diatur lebih lanjut
dengan Surat Keputusan Gubernur setelah mendengar pendapat
Majelis Permusyawaratan Ulama setempat.
Pasal 17
(1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, Pejabat Wilayatul
Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal16 yang
mengetahui pelaku pelanggaran terhadap larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 sampai Pasal 8, menyampaikan laporan
secara tertulis kepada penyidik.
(2) Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul
Hisbah dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu
kepada pelaku sebelum menyerahkan laporannya kepada
penyidik.
(3) Pejabat Wilayatul Hisbah wajib menyampaikan laporan kepada
penyidik tentang telah dilakukan peringatan dan pembinaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 18
Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan praperadilan kepada
Mahkamah apabila laporannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal 17 tidak ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah
setelah jangka waktu 2 (dua) bulan sejak laporan diterima penyidik.
BAB VI

333

PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN


Pasal 19
Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran larangan khamar dan
sejenisnya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sepanjang tidak diatur dalam Qanun ini.
Pasal 20
Penyidik adalah :
a. pejabat Polisi Nanggroe Aceh Darussalam;
b. pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus untuk
melakukan penyidikan bidang Syariat Islam;
Pasal 21
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam huruf a Pasal 20
mempunyai wewenang :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya jarimah khamar;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti tersangka dan memeriksa tanda pengenal
dirinya;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa
tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan
merupakan jarimah khamar dan memberitahukan hal tersebut
kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya dan
Wilayatul Hisbah;
j. mengadakan tindakan lain menurut aturan hukum yang
berlaku.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam huruf b Pasal 20
mempunyai wewenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dan berada di bawah koordinasi penyidik umum.

334

(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang
berlaku.
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya jarimah khamar;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti tersangka dan memeriksa tanda pengenal
dirinya;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa
tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan
merupakan jarimah khamar dan memberitahukan hal tersebut
kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya dan
Wilayatul Hisbah;
j. mengadakan tindakan lain menurut aturan hukum yang
berlaku.
Pasal 22
Untuk kepentingan penyidikan, Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan
(POM) wajib melakukan pemeriksaan dan pengujian kimiawi terhadap
minuman atau makanan yang diduga mengandung alkohol atau ethanol
atau sejenisnya, yang beredar di kalangan masyarakat atau yang
ditemukan oleh penyidik, dalam rangka memperlancar proses
penyidikan.
Pasal 23
Setiap penyidik yang mengetahui dan/atau menerima laporan telah terjadi
pelanggaran terhadap larangan khamar dan sejenisnya wajib segera
melakukan penyidikan.
Pasal 24

335

Penuntut umum menuntut perkara jarimah khamar dan sejenisnya yang


terjadi dalam daerah hukumnya menurut peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 25
Penuntut umum mempunyai wewenang :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik;
b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan
penyidikan dari penyidik;
c. memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh
penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke Mahkamah;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat
panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk
datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
h. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut hukum yang berlaku;
i. melaksanakan putusan dan penetapan hakim.
BAB VII
KETENTUAN UQUBAT
Pasal 26
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5, diancam dengan uqubat hudud 40 (empat puluh)
kali cambuk.
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaiamana dimaksud
dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 diancam dengan uqubat tazir
berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun, paling singkat 3
(tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 75.000.000,- (tujuh
puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp 25.000.000,- (dua puluh
lima juta rupiah).
(3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 adalah jarimah hudud.

336

(4) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 6 sampai Pasal 8 adalah jarimah tazir.
Pasal 27
Denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal 26 merupakan
penerimaan Daerah dan disektor langsung ke Kas Baital Mal.
Pasal 28
Terhadap barang-barang/benda-benda yang digunakan dan/atau diperoleh
dari jarimah minuman khamar dirampas untuk Daerah atau dimusnahkan.
Pasal 29
Pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26, uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari uqubat
maksimal.
Pasal 30
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 sampai Pasal 8 :
a. apabila dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka
uqubatnya dijatuhkan kepada penanggung jawab;
b. apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain
uqubat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal26, dapat
juga dikenakan uqubat administratif dengan mencabut atau
membatalkan izin usaha yang telah diberikan.
BAB VIII
PELAKSANAAN UQUBAT
Pasal 31
(1) Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk
oleh Jaksa Penuntut Umum.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan
yang diatur dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang akan diatur
dalam Qanun tentang hukum formil.
Pasal 32
(1) Pelaksanaan uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim
mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Penundaan pelaksanaan uqubat hanya dapat dilakukan
berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan apabila terdapat

337

hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat


keterangan dokter yang berwenang.
Pasal 33
(1) Uqubat cambuk dilakukan di tempat yang dapat disaksikan orang
banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang
ditunjuk;
(2) Pencambukan dilakukan dengan rotan yang berdiameter 0,75 s/d
1(satu) senti meter, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai
ujung ganda/belah.
(3) Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka,
leher, dada dan kemaluan.
(4) Kadar pukulan atau cambukan tidak sampai melukai.
(5) Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa
penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup
aurat. Sedangkan perempuan dalam posisi duduk dan ditutup kain
di atasnya.
(6) Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60
(enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan.
Pasal 34
Apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang membahayakan
terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa
cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.
Pasal 35
Pelaksanaan uqubat kurungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
Pasal 26 dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 36
Dengan berlakunya qanun ini, maka Peraturan Daerah Propinsi Daerah
Istimewa Aceh Nomor 4 Tahun 1999 tentang Larangan Minuman
Beralkohol di Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Nomor 4 Tahun 2000
tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1999
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 37

338

Sebelum adanya hukum acara yang diatur dalam qanun tersendiri, maka
hukum acara yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dan peraturan
perundang-undangan lainnya tetap berlaku sepanjang tidak diatur di
dalam qanun ini.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 38
Hal-hal yang menyangkut dengan teknis pelaksanaan diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 39
Qanun ini, mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Disahkan di Banda Aceh
Pada tanggal 5 Juli 2003 M
7 Jumadil Awal 1424 H
GUBERNUR
PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
ABDULLAH PUTEH
Diundangkan di Banda Aceh
Pada tanggal 16 Juli 2003 M
16 Jumadil Awal 1424 H
LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH
DARUSALAM TAHUN 2003 NOMOR 25 D NOMOR 12

339

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM


NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
MAISIR (PERJUDIAN)
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
Menimbang :
a. bahwa Keistimewaan dan Otonomi Khusus yang diberikan untuk
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
AcehDarussalam berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun
1999dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, antara lain di
bidang penyelenggaraan kehidupan beragama, kehidupan
adat,pendidikan dan peran Ulama dalam penetapan kebijakan
daerah;
b. bahwa Maisir termasuk salah satu perbuatan mungkar
yangdilarang dalam Syariat Islam dan agama lain serta
bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam
masyarakat
Aceh
karena
perbuatan
tersebut
dapat
menjerumuskan seseorang kepada perbuatan maksiat lainnya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a
dan b perlu membentuk Qanun tentang Maisir;
Mengingat :
1. Al-Quran;
2. Al-Hadits;
3. Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945
4. Undang-undang
Nomor
24
Tahun
1956
tentang
PembentukanDaerah
OtonomPropinsiAcehdanPerubahan
PeraturanPembentukan Propinsi Sumatera Utara(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan
LembaranNegara Nomor 1103);
5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban
Perjudian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1974Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3040);\
6. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
UndangundangHukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik

340

Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran


NegaraNomor 3209 );
7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1999Nomor
60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
8. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72,Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3893);
9. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Daerah IstimewaAceh sebagai Provinsi
NanggroeAceh Darussalam (Lembaran Negara Republik
IndonesiaTahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara
Nomor4134);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
KUHAP (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 36,Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3258);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan
Penertiban Perjudian (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor
10,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3192);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang
KoordinasiKegiatan Instansi Vertikal diDaerah (Lembaran
Negara Tahun1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3373);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan
Pemerintah
danKewenangan
Provinsi
sebagaiDaerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor
54,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3953);
14. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang
TeknikPenyusunan
Peraturan
Perundang-undangan
dan
BentukRancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan
Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaran
Negara Tahun1999 Nomor 70);
15. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 1986
tentangKetentuan Umum Mengenai
Penyidik Pegawai Negeri Sipil diLingkungan Pemerintah Daerah;
16. Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam

341

(Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun


2000Nomor 30);
17. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10
Tahun2002 tentang Peradilan Syariat Islam (Lembaran Daerah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 2 Seri E
Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe
AcehDarussalam Nomor 4);
18. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun
2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah,
Ibadahdan Syiar Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe
AcehDarussalam Tahun 2003 Nomor 3 Seri E Nomor 3,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor5);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI
NANGGROE ACEH
DARUSSALAM
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
TENTANG MAISIR (PERJUDIAN).
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
2. Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalamadalah
Gubernur beserta perangkat lain Pemerintah DaerahIstimewa
Aceh sebagai badan eksekutif Provinsi NanggroeAceh
Darussalam.
3. Pemerintah
Kabupaten/Kota
adalah
Bupati/Walikota
besertaperangkat lain pemerintahKabupaten/Kota sebagai
badaneksekutif Kabupaten/Kota dalam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe AcehDarussalam.
5. Bupati/Walikota
adalah
Bupati/Walikota
dalam
ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam.

342

6. Camat adalah kepala pemerintahan di kecamatan.


7. Imeum Mukim/Kepala Mukim adalah pimpinan dalam
suatukesatuan
masyarakat
hukumyangterdiri
atas
gabunganbeberapa gampong.
8. Guechik adalah Kepala pemerintahan terendah dalam
suatukesatuan masyarakat hukum di Provinsi Nanggroe
AcehDarussalam yang berhak menyelenggarakan urusan rumah
tangganya sendiri.
9. Masyarakat adalah himpunan orang-orang yang berdomisilidi
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
10. Mahkamah adalah Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kotadan
Mahkamah Syariyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
11. Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas membina,
mengawasi dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan amar
makruf nahi mungkar.
12. Polisi adalah Polisi Nanggroe Aceh Darussalam yang diberitugas
dan wewenang khusus menangani pelaksanaan penegakan
Syariat Islam.
13. Penyidik adalah Penyidik Umum dan/atau Penyidik
PegawaiNegeri Sipil.
14. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat PegawaiNegeri
Sipil yang diangkat oleh Gubernur yang diberi tugasdan
wewenang untuk melakukan penyidikan pelanggaran Syariat
Islam.
15. Jaksa adalah Jaksa Nanggroe Aceh Darussalam yang diberi tugas
dan wewenang menjalankan tugas khusus di bidangSyariat
Islam.
16. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi tugas danwewenang
khusus untuk melaksanakan penuntutan dibidang Syariat dan
melaksanakan penetapan dan putusan hakim Mahkamah.
17. Pejabat yang berwenang adalah Kepala Polisi DaerahProvinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan/atau pejabat laindi
lingkungannya yang ditunjuk berdasarkan peraturanperundangundangan yang berlaku.
18. Jarimah adalah perbuatan terlarang yang diancam dengan
qishash-diat, hudud, dan tazir.
19. Uqubat adalah ancaman hukuman terhadap pelanggaran
jarimah.

343

20. Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang


bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih dimana pihakyang
menang mendapatkan bayaran.
BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Pasal 2
Ruang lingkup larangan maisir dalam Qanun ini adalah segala bentuk
kegiatan dan/atau perbuatan serta keadaan yang mengarah kepada
taruhan dan dapat berakibat kepada kemudharatan bagi pihak-pihakyang
bertaruh dan orang-orang/lembaga yang ikut terlibat dalam taruhan
tersebut.
Pasal 3
Tujuan larangan maisir (perjudian) adalah untuk :
a. Memelihara dan melindungi harta benda/kekayaan;
b. Mencegah
anggota
mayarakat
melakukan
perbuatan
yangmengarah kepada maisir;
c. Melindungi masyarakat dari pengaruh buruk yang timbul
akibatkegiatan dan/atau perbuatan maisir;
d. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam upayapencegahan
dan pemberantasan perbuatan maisir.
BAB III
LARANGAN DAN PENCEGAHAN
Pasal 4
Maisir hukumnya haram.
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan maisir.
Pasal 6
(1) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang
menyelenggarakan dan/atau memberikan fasilitas kepada orang
yang akan melakukan perbuatan maisir.
(2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang
menjadi pelindung terhadap perbuatan maisir.
Pasal 7
Instansi Pemerintah, dilarang memberi izin usaha
penyelenggaraanmaisir.
Pasal 8

344

Setiap orang atau kelompok atau institusi masyarakat berkewajiban


mencegah terjadinya perbuatan maisir.
BAB IV
PERANSERTA MASYARAKAT
Pasal 9
(1) Setiap anggota masyarakat berperan serta dalam membantu upaya
pencegahan dan pemberantasan maisir.
(2) Setiap anggota masyarakat diharuskan melapor kepadapejabat
yang berwenang baik secara lisan maupun tulisan apabila
mengetahui adanya perbuatan maisir.
Pasal 10
Dalam hal pelaku pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6,
dan 7 tertangkap tangan oleh warga masyarakat, maka pelakubeserta
barang bukti segera diserahkan kepada pejabat yang
berwenang.
Pasal 11
Pejabat yang berwenang wajib memberikan perlindungan danjaminan
keamanan bagi pelapor sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 dan/atau
orang yang menyerahkan pelaku sebagaimana dimaksuddalam pasal 10.
Pasal 12
Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 apabila
lalai dan/atau tidak memberikan perlindungan dan jaminan keamanan
kepada pelapor dapat dituntut oleh pihak pelapor dan/atau pihak yang
menyerahkan tersangka.
Pasal 13
Tata cara penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 dilakukan
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diajukan ke
Mahkamah.
BAB V
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
Pasal 14
(1) Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Imum Mukim dan Keuchik
berkewajiban melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap
penerapan larangan sebagaimana dimaksud dalampasal 5, 6, dan
7.

345

(2) Untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap


pelaksanaan Qanun ini, Gubernur, dan Bupati/Walikota
membentuk Wilayatul Hisbah.
(3) Susunan dan Kedudukan Wilayatul Hisbah diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Gubernur setelah mendengar pendapat Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU).
Pasal 15
(1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, pejabatWilayatul
Hisbah sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayatyang
menemukan pelaku pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
pasal 5, 6, dan 7, menyerahkan persoalan itu kepada Penyidik.
(2) Dalam
melaksanakan
fungsi
pembinaannya,
Pejabat
WilayatulHisbah yang menemukan pelaku jarimah maisir dapat
memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada
pelaku sebelum menyerahkannya kepada penyidik.
Pasal 16
Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan pra-peradilan kepada
Mahkamah apabila laporannya sebagaimana dimaksud dalam pasal15
ayat (1) tidak ditindak lanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah
setelah jangka waktu 2 (dua) bulan sejak laporan diterimapenyidik.
BAB VI
PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN
Pasal 17
Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran larangan maisir
dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sepanjang tidak diatur dalam Qanun ini.
Pasal 18
Penyidik adalah :
a. Pejabat Polisi Nanggroe Aceh Darussalam;
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khususuntuk
melakukan penyidikan bidang Syariat Islam;
Pasal 19
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 huruf a
mempunyai wewenang :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya jarimah Maisir;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempatkejadian;

346

c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda


pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
h. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
i. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa
tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan
merupakan jarimah dan memberitahukan hal tersebut kepada
penuntut umum, tersangka atau keluarganya dan Wilayatul
Hisbah;
j. mengadakan tindakan lain menurut aturan hukum
yangberlaku.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 huruf
bmempunyai wewenang sesuai dengan ketentuan yang
berlakudan berada di bawah koordinasi penyidik umum.
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya jarimah Maisir;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempatkejadian;
c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagaitersangka atau saksi;
h. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalamhubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
i. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa
tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan
merupakan jarimah dan memberitahukan hal tersebut kepada
penuntut umum, tersangka atau keluarganya dan Wilayatul
Hisbah;

347

j.

mengadakan
yangberlaku.

tindakan

lain

menurut

aturan

hukum

Pasal 20
Setiap penyidik yang mengetahui dan/atau menerima laporan telah terjadi
pelanggaran terhadap larangan maisir wajib segera melakukan
penyidikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 21
Penuntut umum menuntut perkara jarimah maisir yang terjadi
dalamdaerah hukumnya menurut peraturan perundang-undangan
yangberlaku;
Pasal 22
Penuntut umum mempunyai wewenang :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik;
b. mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan
penyidikan dari penyidik;
c. memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh
penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke Mahkamah;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat
panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi,untuk
datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
h. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan
tanggungjawab sebagai penuntut umum menurut hukum yang
berlaku;
i. melaksanakan putusan dan penetapan hakim.
BAB VII
KETENTUAN UQUBAT
Pasal 23
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5, diancam dengan uqubat cambuk di depan umum
paling banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit 6 (enam) kali.

348

(2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha Non Instansi
Pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimanadimaksud
dalam pasal 6, dan 7 diancam dengan uqubat atau denda paling
banyak Rp. 35.000.000,- (tiga puluh limajuta rupiah), paling
sedikit Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah).
(3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud
dalampasal 5, 6 dan 7 adalah jarimah tazir.
Pasal 24
Denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) merupakan
penerimaan Daerah dan disetor langsung ke Kas Baital Mal.
Pasal 25
Barang-barang/benda-benda yang digunakan dan/atau diperoleh dari
jarimah maisir dirampas untuk Daerah atau dimusnahkan.
Pasal 26
Pengulangan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6 dan 7
uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari uqubatmaksimal.
Pasal 27
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalampasal 6 :
a. apabila
dilakukan
oleh
badan
hukum/badan
usaha,
makauqubatnya dijatuhkan kepada penanggung jawab;
b. apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain
sanksi uqubat sebagaimana dimaksud dalam pasal 23ayat (2),
dapat juga dikenakan uqubat administratif denganmencabut atau
membatalkan izin usaha yang telah diberikan;
BAB VIII
PELAKSANAAN UQUBAT
Pasal 28
(1) Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk
oleh Jaksa Penuntut Umum.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan
yang diatur dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang akan diatur
dalam Qanun tentang hukum formil.
Pasal 29
(1) Pelaksanaan uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim
mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Penundaan pelaksanaan uqubat hanya dapat dilakukan
berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan Negeri apabila

349

terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat


keterangan dokter yang berwenang.
Pasal 30
(1) Uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat yang dapatdisaksikan
orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter
yang ditunjuk.
(2) Pencambukan dilakukan dengan rotan yang berdiameterantara
0.75 cm sampai 1 (satu) senti meter, panjang 1 (satu) meter dan
tidak mempunyai ujung ganda/dibelah.
(3) Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala,muka,
leher, dada dan kemaluan.
(4) Kadar pukulan atau cambukan tidak sampai melukai.
(5) Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa
penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yangmenutup
aurat. Sedangkan terhukum perempuan dalam posisi duduk dan
ditutup kain di atasnya.
(6) Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan set elah 60
(enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan.
Pasal 31
Apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang membahayakan
terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka
sisacambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
Sebelum adanya hukum acara yang diatur dalam Qanun tersendiri,maka
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-undangNomor 8
Tahun 1981), dan peraturan perundang-undangan lainnya tetap berlaku
sepanjang tidak diatur di dalam Qanun ini.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 33
Hal-hal yang menyangkut dengan teknis pelaksanaan diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 34
Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar semua orang
dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan

350

penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh


Darussalam.
Disahkan di Banda Aceh
pada tanggal 15 J u l i 2003
7 Jumadil Awal 1424
GUBERNUR
PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
ABDULLAH PUTEH
Diundangkan di Banda Aceh
pada tanggal 16 J u l i
2003
16 Jumadil Awal 1424
LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH
DARUSSALAM TAHUN 2003
NOMOR 256 SERI D NOMOR 139

351

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM


NOMOR 14 TAHUN 2003
TENTANG
KHALWAT (MESUM)
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
Menimbang :
a. bahwa Keistimewaan dan Otonomi Khusus yang diberikan
untukDaerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam di dasarkan pada Undang-undang Nomor 44
Tahun1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001,
antaralain di bidang Pelaksanaan Syariat Islam dalam kehidupan
masyarakat guna terwujudnya tata kehidupan masyarakat
yangtertib, aman, tenteram, sejahtera dan adil untuk mencapai
ridhaAllah;
b. bahwa khalwat/mesum termasuk salah satu perbuatan mungkar
yang dilarang dalam Syariat Islam dan bertentangan pula
denganadat istiadat yang berlaku dalam masyayarakat Aceh
karenaperbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang
kepadaperbuatan zina;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a
dan b perlu membentuk Qanun tentang Larangan
Khalwat/Mesum;
Mengingat :
1. Al-Quran;
2. Al-Hadits;
3. Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945
4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan
Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan
Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1103);
5. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
NegaraNomor 3209);

352

6. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999Nomor 60, tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
7. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3893);
8. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khususbagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi
NanggroeAceh Darussalam (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4134);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
KUHAP (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1983
Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor3258);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi
Kegiatan Instansi vertikal di daerah (Lembaran Negara
RepublikIndonesia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran
NegaraNomor 3373);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun2000, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
12. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik
Penyusunan
Peraturan
Perundang-undangan
dan
BentukRancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan
Pemerintah,dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaran
Negara RepublikIndonesia Tahun 1999 Nomor 70);
13. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 1986 tentang
Ketentuan Umum Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil
diLingkungan Pemerintah Daerah;
14. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5Tahun
2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam (LembaranDaerah
Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30);
15. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10
Tahun2002 tentang Peradilan Syariat Islam (Lembaran Daerah
ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 2 Seri E

353

Nomor2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe


AcehDarussalam Nomor 4);
16. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11
Tahun2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah,
Ibadahdan Syiar Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 3 Seri E Nomor 3,
TambahanLembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 5);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAMTENTANG
KHALWAT (MESUM)
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
2. Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah
Gubernur beserta perangkat lainnya sebagai badan eksekutif
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
3. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota beserta
perangkat lain pemerintah Kabupaten/Kota sebagai badan
eksekutif
Kabupaten/Kota
dalam
Provinsi
Nanggroe
AcehDarussalam.
4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe AcehDarussalam.
5. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota dalam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
6. Camat adalah kepala pemerintahan di kecamatan.
7. Imeum Mukim/Kepala Mukim adalah pimpinan dalam suatu
kesatuan masyarakat hukum yang terdiri atas gabungan beberapa
gampong.
8. Keuchik adalah kepala pemerintahan terendah dalam suatu
kesatuan masyarakat hukum di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang berhak menyelenggarakan urusan rumah
tangganya sendiri.

354

9. Masyarakat adalah himpunan orang-orang yang berdomisilidi


Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
10. Mahkamah adalah Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kotadan
Mahkamah Syariyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
11. Wilayatul
Hisbah
adalah
lembaga
yang
bertugas
membina,melakukan advokasi dan mengawasi pelaksanaan amar
makruf nahi mungkar dan dapat berfungsi sebagai penyelidik.
12. Polisi adalah Polisi Nanggroe Aceh Darussalam yang diberitugas
dan wewenang khusus menangani pelaksanaan penegakan
Syariat Islam.
13. Penyidik adalah Penyidik Umum dan/atau Penyidik
PegawaiNegeri Sipil.
14. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat Pegawai Negeri
Sipil yang diangkat oleh Gubernur yang diberi tugas dan
wewenang untuk melakukan penyidikan pelanggaran Syariat
Islam.
15. Jaksa adalah Jaksa Nanggroe Aceh Darussalam yang diberi tugas
dan wewenang menjalankan tugas khusus di bidangSyariat
Islam;
16. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi tugas danwewenang
khusus untuk melaksanakan penuntutan dibidang syariat dan
melaksanakan penetapan putusan hakim mahkamah;
17. Pejabat yang berwenang adalah Kepala Polisi NanggroeAceh
Darussalam dan/atau pejabat lain di lingkungannyayang ditunjuk
berdasarkan peraturan perundang-undanganyang berlaku.
18. Jarimah adalah perbuatan terlarang yang diancam dengan
qishash-diat, hudud, dan tazir.
19. Uqubat adalah ancaman hukuman terhadap pelanggaran jarimah.
20. Khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antaradua orang
mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau
tanpa ikatan perkawinan.
BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Pasal 2
Ruang lingkup larangan khalwat/mesum adalah segala kegiatan,
perbuatan dan keadaan yang mengarah kepada perbuatan zina.
Pasal 3
Tujuan larangan khalwat/mesum adalah :

355

a. menegakkan Syariat Islam dan adat istiadat yang berlaku dalam


masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
b. melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan
dan/atauperbuatan yang merusak kehormatan;
c. mencegah anggota masyarakat sedini mungkin darimelakukan
perbuatan yang mengarah kepada zina;
d. meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah
danmemberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum;
e. menutup peluang terjadinya kerusakan moral.
BAB III
LARANGAN DAN PENCEGAHAN
Pasal 4
Khalwat/Mesum hukumnya haram.
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan khalwat/mesum.
Pasal 6
Setiap orang atau kelompok masyarakat, atau aparatur pemerintahan dan
badan usaha dilarang memberikan fasilitas kemudahan dan/atau
melindungi orang melakukan khalwat/mesum.
Pasal 7
Setiap orang baik sendiri maupun kelompok berkewajiban mencegah
terjadinya perbuatan khalwat/mesum.
BAB IV
PERANSERTA MASYARAKAT
Pasal 8
(1) Masyarakat berperanserta dalam membantu upaya pencegahan
dan pemberantasan perbuatan khalwat/mesum.
(2) Masyarakat wajib melapor kepada pejabat yang berwenang baik
secara lisan maupun tulisan apabila mengetahui adanya
pelanggaran terhadap larangan khalwat/mesum.
Pasal 9
Dalam hal pelaku pelanggaran tertangkap tangan oleh warga masyarakat,
maka pelaku beserta barang bukti segera diserahkan kepada pejabat yang
berwenang.
Pasal 10
Pejabat yang berwenang wajib memberikan perlindungan dan jaminan
keamanan kepada pelapor sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 dan/atau
orang yang menyerahkan pelaku sebagaimana

356

dimaksud dalam pasal 9.


Pasal 11
Warga masyarakat dapat menuntut pejabat yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9 apabila lalai memberikan perlindungan dan
jaminan keamanan bagi pelapor dan/atau orang yang menyerahkan
pelaku.
Pasal 12
Tata cara penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 11dilakukan
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diajukan ke
Mahkamah.
BAB V
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
Pasal 13
(1) Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Imum Mukim dan Keuchik
berkewajiban melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap
penerapan larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6.
(2) Untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap
pelaksanaan qanun ini, Gubernur, Bupati/Walikota membentuk
Wilayatul Hisbah.
(3) Susunan dan kedudukan Wilayatul Hisbah diatur lebih lanjut
dengan surat Keputusan Gubernur dan/atau Bupati/Walikota
setelah mendengar pendapat Majelis PermusyawaratanUlama.
Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, Pejabat Wilayatul
Hisbah sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 bila menemukan
pelaku pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5 dan 6, menyampaikan laporan secara tertulis
kepada penyidik;
(2) Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul
Hisbah yang menemukan pelaku jarimah khalwat/mesum dapat
memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulukepada pelaku
sebelum menyerahkannya kepada penyidik.
(3) Pejabat Wilayatul Hisbah wajib menyampaikan laporan kepada
penyidik tentang telah dilakukan peringatan dan pembinaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 15
Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan praperadilan kepada
Mahkamah apabila laporannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 14

357

ayat (1) tidak ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yangsah
setelah jangka waktu 2 (dua) bulan sejak laporan diterima
penyidik.
BAB VI
PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN
Pasal 16
Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran larangan
khalwat/mesum dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku sepanjang tidak diatur dalam Qanun ini.
Pasal 17
Penyidik adalah :
a. Pejabat Polisi Nanggroe Aceh Darussalam;
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus
untuk melakukan penyidikan bidang Syariat Islam.
Pasal 18
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 huruf akarena
kewajibannya mempunyai wewenang :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorangtentang
adanya jarimah;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempatkejadian;
c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksatanda
pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahandan
penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksasebagai
tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. menghentikan penyidikan setelah mendapat tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan jarimah
dan memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum,
tersangka atau keluarganya dan Wilayatul Hisbah;
j. mengadakan tindakan lain menurut aturan hukum yang
berlaku.

358

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai wewenang sesuai


dengan ketentuan yang berlaku dan berada di bawah
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang
berlaku.
Pasal 19
Setiap penyidik yang mengetahui dan/atau menerima laporan telahterjadi
pelanggaran terhadap larangan khalwat/mesum wajib segera melakukan
penyidikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 20
Penuntut umum menuntut perkara jarimah khalwat/mesum yang terjadi
dalam daerah hukumnya menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 21
Penuntut umum mempunyai wewenang :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan
daripenyidik;
b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan
penyidikan dari penyidik;
c. memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
mengubah status tahanan setelah perkaranyadilimpahkan oleh
penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke Mahkamah;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentangketentuan
hari dan waktu perkara disidangkan yang disertaisurat panggilan,
baik kepada terdakwa maupun kepada saksi,untuk datang pada
sidang yang telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
h. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut hukum yang berlaku;
i. melaksanakan putusan dan penetapan hakim.
BAB VII
KETENTUAN UQUBAT
Pasal 22

359

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam pasal 4, diancam dengan uqubat tazir berupa dicambuk
paling tinggi 9 (sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali
dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta
rupiah), paling sedikit Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu
rupiah).
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5 diancam dengan uqubat tazir berupa kurungan
paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (limabelas juta rupiah),
paling sedikit Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).
(3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 5 dan 6 adalah jarimah tazir.
Pasal 23
Denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) dan (2)
merupakan peneriman Daerah dan disetor langsung ke Kas BaitalMal.
Pasal 24
Pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 22, uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari uqubat
maksimal.
Pasal 25
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan (2) dapat juga dikenakan uqubat administrative dengan mencabut
atau membatalkan izin usaha yang telahdiberikan.
BAB VIII
PELAKSANAAN UQUBAT
Pasal 26
(1) Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk
oleh Jaksa Penuntut Umum.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan
yang diatur dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang akan diatur
dalam Qanun tentang hukum formil.
Pasal 27
(1) Pelaksanaan uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim
mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Penundaan pelaksanaan uqubat hanya dapat dilakukan
berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan apabila terdapat

360

hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat


keterangan dokter yang berwenang.
Pasal 28
(1) Uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat yang dapat disaksikan
orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter
yang ditunjuk.
(2) Pencambukan dilakukan dengan rotan yang berdiameter antara
0,7 cm dan 1,00 cm, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai
ujung ganda/tidak dibelah.
(3) Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka,
leher, dada dan kemaluan.
(4) Kadar pukulan atau cambukan tidak sampai melukai.
(5) Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa
penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup
aurat. Sedangkan perempuan dalam posisi duduk dan ditutup kain
di atasnya.
(6) Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60
(enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan.
Pasal 29
Apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang membahayakan
terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka
sisacambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.
Pasal 30
Pelaksanaan uqubat kurungan sebagaimana dimaksud dalam pasal22
ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 31
Sebelum adanya hukum acara yang diatur dalam qanun tersendiri, maka
hukum acara yang diatur dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dan peraturan
perundang-undangan lainnya tetap berlaku sepanjang tidak diatur di
dalam qanun ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32

361

Hal-hal yang menyangkut dengan teknis pelaksanaan diatur lebih lanjut


dengan keputusan Gubernur.
Pasal 33
Qanun ini, mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Disahkan di Banda Aceh
pada tanggal 15 Juli 2003
15 Jumadil Awal 1424
GUBERNUR
PROVINSI NANGGROE ACEH DARU
ABDULLAH PUTEH
Diundangkan di Banda Aceh
pada tanggal 16 Juli
2003
16 Jumadil Awal 1424
LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH
DARUSSALAM TAHUN 2003
NOMOR 27 SERI D NOMOR 14

362

TENTANG PENULIS

Muhammad Yani dilahirkan di Manyang Lancok, 12 Februari 1973


kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Setelah menyelesaikan Sarjana (S1) jurusan
Bahasa Arab di IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh tahun 1999, ia bekerja
sebagai Pegawai Administrasi di KUA Kec. Jangka Buya, Aceh. Ia juga
pernah bekerja sebagai guru di beberapa Lembaga Pendidikan di Aceh
seperti: MAN 2 Sigli, PTI Al-Hilal Sigli dan Univesitas Muhammadiyah
Aceh Tahun 2001-2009.
Di sela-sela aktifitasnya di jajaran tersebut, ia juga kerab menimba
pengalaman di berbagai Organisasi Kemasyarakatan seperti menjabat
Sekretaris Umum Majlis Permusywaratan Ulama (MPU) Meureudu
tahun 2005-2009; Sekretaris Komisi Bidang Zakat DPP Muhammadiyah
Pidie Jaya, periode 2007-2011; Sekeretaris 1 Dewan Kemakmuran
Mesjid Kab. Pidie tahun 2003-2007; dan Sekretaris Umum Dewan
Kemakmuran Mesjid Aceh (DKMA) Kab. Pidie Jaya periode 2007-2011;
Ia gemar menulis di Media Masa. Karyanya yang
sudah
dipublikasikan antara lain: Hukum Allah untuk Dunia Global, Serambi
Indonesia, 8 April 2001; Kekuasaan, Suara Aceh, 1 Agustus 2000;
Ketauhidan dan al-Quran di Ujung Senjata, Aceh Express, 17 Juli
2001; Ahlu al-Haq Pembela Ummat dan Kemanusiaan, Suara Aceh,
2002; dan Lembaga Qadhi dan Pernikahan Yausniar, Serambi
Indonesia, 15 Februari 2008.
Pada akhir tahun 2009 ia melanjutkan studi ke jenjang strata II di
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta di bidang Hukum Islam. Pada tanggal 21 April
2011, ia dinyatakan lulus di dalam Sidang Promosi Magister dengan
karyanya yang telah diterbikan ini. Ia tercatat sebagai magister yang ke1886 di lembaga tersebut. Sekarang ia ingin melanjutkan studinya ke

363

jenjang doktoral di Om Durman Islamic University (OIU), Sudan di


dalam bidang yang sama .

Anda mungkin juga menyukai