Anda di halaman 1dari 37

CASE REPORT

SOL Supratentorial ec. Metastase CA Mammae

Oleh :
RADIAN RENDRA TUKAN
1102012222

Dokter Pembimbing:
dr. Sofie Minawati, SpS

KEPANITERAAN KLINIK
STASE NEUROLOGI
PERIODE OKTOBER 2016 NOVEMBER 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

STATUS PASIEN
1.1.

Identitas Pasien
: Ny. H

Umur

: 48 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Status Pernikahan

: Menikah

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: IRT

Alamat

: Pameungpeuk

Tanggal Masuk

: 24 oktober 2016

Tanggal Keluar

: 03 oktober 2016

Status Keluar

: Rujuk RSHS

Ruangan

: Cempaka bawah

No CM

: 89.56.29

1.2.

Nama

Anamnesis
Autoanamnesis dan Alloanamnesis pada tanggal 17 agustus 2016
A. Keluhan Utama

Tidak dapat menelan sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit


B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien wanita berumur 48 tahun dibawa oleh keluarganya ke IGD


RSUD dr. Slamet Garut karena tidak dapat menelan makanan sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit. Kesulitan menelan makanan diakui
pasien akibat banyak lendir pada kerongkongan pasien, yang mengakibatkan
proses makan menjadi sulit. Selain itu, pasien sering tersedak, sukar
mengunyah makanan, sesak napas dan pasien juga sulit untuk berbicara.
Keluhan-keluhan tersebut tidak menghilang meski pasien istirahat.
Penglihatan dan pendengaran pasien tidak ada gangguan. Pasien sudah tidak
dapat berjalan, menggerakkan kedua tangan dan leher pasien sejak 2 tahun
lalu dan pasien hanya bisa duduk diatas kursi roda.

Keluhan mual, muntah, kelemahan pada sebelah sisi, nyeri kepala


hebat, demam dan kejang disangkal. Riwayat trauma, keganasan, pingsan,
disangkal oleh pasien dan keluarga.
C. Riwayat Penyakit Dahulu

Kejadian pertama kali dialami pada 4 tahun yang lalu. Awalnya pasien
mengeluh sering merasa capek bila melakukan aktivitas ringan seperti
menyapu rumah, berbicara, dan kelopak mata menjadi turun, namun keluhan
membaik bila pasien istirahat. Lalu pasien memeriksakan diri ke dokter
spesialis saraf, dan disarankan untuk dirawat. Pasien dirawat selama 2
minggu di RSUD dr.Slamet bagian saraf dan didiagnosis mengalami penyakit
miastenia gravis. Pasien mengaku sebelum dan sesudah dirawat pasien masih
dapat berjalan dan melakukan kontrol rutin ke poli saraf sendiri. Pasien
melakukan kontrol ke poli secara teratur dan meminum obat mestinon secara
teratur. Namun, pasien mengaku setelah 4 bulan pasien meminum obat
mestinon pasien merasa tidak ada perbaikan dan pasien juga tidak melakukan
kontrol ke spesialis saraf. Pasien tetap melanjutkan meminum obat selama 1
tahun, tanpa melakukan kontrol ke poli saraf. Setelah 1 tahun meminum obat,
pasien merasa tidak ada perbaikan, pasien berhenti meminum obat mestinon
dan melakukan pengobatan ke alternatif. Setelah melakukan pengobatan ke
alternatif, os merasa keluhan semakin memberat sehingga membuat os tidak
dapat berjalan dan sulit untuk menggerakan ke dua tangan dan harus
menggunakan kursi roda.
Riwayat hipertensi, diabetes millitus, penyakit jantung, stroke,
trauma, obesitas, disangkal.
D. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit serupa dengan pasien pada anggota keluarga


disangkal. Riwayat tekanan darah tinggi, penyakit jantung, diabetes melitus,
penyakit stroke pada keluarga disangkal.
E. Riwayat Alergi

Pasien tidak memiliki riwayat alergi


F. Keadaan Sosial Ekonomi

Pasien tinggal bersama dengan ke 3 anaknya beserta suami nya.


Sehari-hari pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga.
1.3.

Pemeriksaan Fisik

A. Keadaan Umum
Keadaan umum

: Sakit Sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

GCS

: E4 Mtdd Vtdd

Tekanan darah

: Kanan = 110/70 mmHg, kiri = 110/70 mmHg

Nadi

: Kanan = 110x/menit regular, isi cukup. Kiri =

110x/menit regular, isi cukup


Heart rate

: 108x/menit

Respirasi

: 32x/menit

Suhu

: 36,3C

Kepala

: Normocephal

Leher

: KGB tidak teraba, kelenjar tiroid dbn, JVP tidak

meningkat
Thoraks

Jantung
a. Inspeksi

: Iktus cordis tidak terlihat

b. Palpasi

: Iktus cordis teraba pada sela iga ke 5 sebelah medial

garis midclavicula sinistra


c. Perkusi

Batas jantung kanan pada linea sternalis dextra sela iga ke 4


Batas jantung kiri pada linea midclavicula sinistra sela iga ke 5
Batas pinggang jantung pada linea parastenalis sinistra sela iga ke 3
d. Auskultasi: Bunyi jantung S1 = S2 murni reguler, S3/S4 (- / -)
Murmur (-) Gallop (-)
Paru - Paru

a. Inspeksi

: Gerakan statis dan dinamis hemitoraks kanan dan kiri

tidak terlihat, tampak retraksi sela iga, hematoma, udem, massa, dan
deformitas pada kedua hemitoraks.
b. Palpasi

: Fremitus Taktil simetris pada kedua hemitoraks.

Fremitus Vokal tidak dapat dinilai, tidak nyeri tekan.


c. Perkusi

: Sonor di kedua hemitoraks

d. Auskultasi

: Vesicular Breathing Sound sama di

hemitoraks

dextra, Ronkhi (-/-), Slam (+ / +), Wheezing (-/-)


Extremitas

: Akral hangat, edema -/-, turgor baik

B. Pemeriksaan Neurologi
1. Inspeksi:
Kepala
Bentuk

: Normocephalus

Nyeri tekan

: (-)

Simetris

: (+)

Pulsasi

: (-)

Leher
Sikap

: Dalam keadaan miring ke kanandan fleksi

Pergerakan

: tidak dapat digerakkan

Kaku kuduk

: (-)

Kuduk kaku

: (+)

2. Saraf otak
N. cranialis
N. I (Olfaktorius)
Subyektif
Dengan Bahan
N. II (Optikus)
Tajam Penglihatan
Lapang penglihatan
Melihat warna
Fundus okuli

Kanan

Kiri

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

TAK
TAK
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

TAK
TAK
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

N. III (Okulomotorius)
Sela mata
Pergerakan Bulbus
Strabismus
Nistagmus (Tes Waternberg)
Exoftalmus
Pupil (Besar, bentuk)
Refleks cahaya
Refleks Konsesual
Refleks konvergensi
Melihat kembar
N. IV (Troklearis)
Pergerakan mata
Sikap bulbus
Melihat kembar
N. VI (Abdusens)
Pergerakan mata
Sikap bulbus
Melihat kembar
N. V (Trigeminus)
Membuka mulut
Menguyah
Mengigit
Reflek kornea
Sensibilitas muka
N. VII (Facialis)
Mengerutkan dahi
Menutup mata
Memperlihatkan gigi
Bersiul
Rasa kecap 2/3 depan lidah
N. VIII
(Vestibulokoklearis)
Detik arloji
Suara berbisik
Tes Swabach
Tes Rinne
Tes Weber

Simetris
Baik ke segala
arah
D : 3mm, isokor
+
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
-

Simetris
Baik ke segala
arah
D : 3mm, isokor
+
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
-

Baik
Simetris
-

Baik
Simetris
-

Baik
Simetris
-

Baik
Simetris
-

Dbn
Lemah
Lemah
Tidak dilakukan
Dbn

Dbn
Lemah
Lemah
Tidak dilakukan
Dbn

(-)
Lemah
Plica nasolabialis
datar
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

(-)
Lemah
Plica nasolabialis
datar
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

N. IX (Glosofaringeus)
Refleks kecap 1/3 belakang
Sensibilitas faring
N. X (Vagus)
Arkus faring
Uvula
Berbicara
Menelan
N. XI ( Assesorius )
Menenggok kanan kiri
Mengangkat Bahu
N. XII ( Hipoglossus )
Pergerakan Lidah
Atropi lidah
Tremor lidah
Lidah deviasi
Artikulasi
Fungsi Luhur

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Dalam batas normal
Tidak deviasi
Sulit
Sulit
Dalam batas normal
Tidak dapat dilakukan
Lemah
Ada
Ada
Tidak ada deviasi
Tidak jelas
Afasia motorik

3. Badan dan anggota gerak


Badan
Respirasi

: Abdominal

Bentuk kolumna vetebralis

: Dalam batas normal

Pergerakan kolumna vetebralis

: Tidak dapat dilakukan

Refleks kulit perut atas

: Negatif

Refleks kulit perut tengah

: Negatif

Refleks kulit perut bawah

: Negatif

Anggota gerak atas


Motorik

: -/-

Pergerakan

: -/-

Kekuatan

: 0

Tonus

: Hipotonus

Atropi

: (+)

Refleks
6

Biceps

: +/+

Trisep

: +/+

Brakio Radialis

: -/-

Radius

: -/-

Ulna

: -/-

Hoffman/trommer

: Tidak dapat dilakukan

Sensibilitas

: Dalam batas normal

Taktil

: Dalam batas normal

Nyeri

: (-)

Suhu

: Dalam batas normal

Diskriminasi 2 titik

: Tidak dilakukan

Lokalis

: Tidak dilakukan

Getar

: Tidak dilakukan

Anggota gerak bawah


Motorik

:-/-

Pergerakan

: -/-

Kekuatan

: 0 0
0 0

Tonus

: (-)

Atropi

: (+)

Sensibilitas

: Dalam Batas normal

Taktil

: Dalam batas normal

Nyeri

: (-)

Suhu

: Dalam batas normal

Diskriminasi 2 titik

: Tidak dilakukan

Lokalis

: Tidak dilakukan

Getar

: Tidak dilakukan

Refleks fisiologis
Refleks
Biseps

Dextra / Sinistra
+ / +

Triseps
Brachioradialis
Patella
Achiles

+ / +
-/-/-/-

Refleks patologis
Refleks
Babinski
Chaddock
Openheim
Gordon
Schaeffer
Mendel Bechtrew
Rosolimo
Klonus paha
Klonus kaki
Chvostexs sign
Trousseaus sign
Test Laseque
Test brudzinsky

Ekstremitas Dextra
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
-

Ekstremitas Sinistra
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
-

I/II/III/IV
Test kernig
Meningial Sign
Patrick

Kontra patrick

4. Koordinasi, Gait dan keseimbangan


Cara berjalan

: Tidak dapat dilakukan

Test Romberg

: Tidak dapat dilakukan

Disdiadokokinesis

: (-)

Ataksia

: Tidak dilakukan

Rebound phenomen

: (-)

5. Gerakan gerakan abnormal


Tremor

: (-)

Athetosis

: (-)

Mioklonik

: (-)

Khorea

: (-)

6. Fungsi Vegetatif

1.4.

BAK

: Dalam batas normal

BAB

: Keras

Pemeriksaan Penunjang / Usulan Pemeriksaaan


Pada pasien ini dilakukan:
Laboratorium
(Tanggal 24/10/2016)

1) Hematologi lengkap
Darah rutin:
a.Hemoglobin

: 12,8 g/dL

b.

: 43 %

Hematokrit

c.Leukosit
d.

Trombosit

e.Eritrosit

: 11.600/mm3
: 367.000/mm3
: 4.30 juta/mm3

Kimia Klinik:
a.GDS

: 154 mg/dL

b.

Ureum

: 41 mg/dL

c.Kreatinin

: 0,5 mg/dL

d.

: 84 U/L

SGOT

e.SGPT

: 36 U/L

Elektrolit
a. Natrium

: 136 mEq/L

b. Kalium

: 4.4 mEq/L

c. Klorida

: 101 mEq/L

d. Kalsium

: 3.57 mg/dL

Ringkasan
Subyektif
Pasien wanita berumur 42 tahun dibawa oleh keluarganya ke IGD
RSUD dr. Slamet Garut karena tidak dapat menelan makanan sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit. Kesulitan menelan makanan diakui
pasien akibat banyak lendir pada kerongkongan pasien, yang mengakibatkan
proses makan menjadi sulit. Selain itu, pasien sering tersedak, sukar
mengunyah makanan, sesak napas dan pasien juga sulit untuk berbicara.
Keluhan-keluhan tersebut tidak menghilang meski pasien istirahat.
Penglihatan dan pendengaran pasien tidak ada gangguan. Pasien sudah tidak
dapat berjalan, menggerakkan kedua tangan dan leher pasien sejak 2 tahun
lalu dan pasien hanya bisa duduk diatas kursi roda.
Kejadian pertama kali dialami pada 4 tahun yang lalu. Awalnya pasien
mengeluh sering merasa capek bila melakukan aktivitas ringan seperti
menyapu rumah, berbicara, dan kelopak mata menjadi turun, namun
keluhan membaik bila pasien istirahat. Lalu pasien memeriksakan diri ke
dokter spesialis saraf, dan disarankan untuk dirawat. Pasien dirawat selama
2 minggu di RSUD dr.Slamet bagian saraf dan didiagnosis mengalami
penyakit miastenia gravis. Pasien mengaku telah mengonsumsi obat
mestinon selama 1 tahun namun menurut pasien tidak ada perbaikan.
Obyektif
Status Present
Kesadaran

: Compos mentis

GCS

: E4 Msdn Vsdn

Tekanan darah

: 110/70 mmHg

Nadi

: 110 x/ menit

Respirasi

: 32 x/ menit

Suhu

: 36,3 oC
10

Jantung

: Dalam batas normal

pernapasan

: Abdominal

Status Psikis
Dalam batas normal
Status Interna
Cor

BJ I-II reg murmur (-), Gallop (-)

Pulmo

VBS ka = ki Rh - / -, slam + / +, Wh - / Pergerakan statis dan dinamis hemitoraks kanan dan kiri tidak
terlihat.

Status Neurologis
Rangsang Meningeal

: Kaku kuduk (-)

Saraf Otak

: Pupil bulat isokor


0
0

0
0

Motorik

N VII

: Parase bilateral perifer

N XII

: Parase perifer

Tonus

: Hipotonus

Sensorik

: Dalam batas normal

Fungsi Luhur

: Afasia motorik

Fungsi vegetatif

: Baik
+
-

Refleks fisiologis

Refleks patologis

: (- / -)

+
-

1.5.

Diagnosa

Klinis

: Tetraplegi, Hipotonus, Disfonia, disfagia, disatria,

parase N VII bilateral tipe perifer, parase N XII perifer


Topis

: Neuromuscular junction

Diagnosis

: Krisis miastenia ec miastenia gravis

Diagnosis banding

: Lambert Eaton Myastenic syndrome

1.7.Rencana Awal
Rencana Diagnosis
Tes tensilon (injeksi edrofonium HCL 2 mg iv) perbaikan gejala klinis (+)
MG.
Tes antibodi :

Antibodi anti reseptor asetilkolin (AB Anti Ach-R)

Tes antibodi anti MuSK

Single fiber elctromyography


Rencana terapi
Terapi umum
Monitor tanda vital T,N,R.S
Terapi khusus
O2 3 lpm
Inf. Asering + Neurosanbe 15 gtt/mnt
Prostigmin 10 mg + Sulfas atropin 5 amp dalam 50 cc NaCl 0,9 % / 24 jam (IV)
Metil prednisolon 3x125 mg (IV)
Inj. Omeprazole 1x40mg (IV)
Inj. Cefotaxime 2x1gr (IV)
Nebu combivent 3x/hari
Acetenin
Suction

12

Pasang NGT + DC
Oral Hygine
Rencana edukasi
1. Istirahat yang cukup
2. Kontrol rutin ke dokter
Prognosis
Ad vitam

: dubia ad malam

Ad fungsionam

: dubia ad malam

Ad sanationam

: dubia ad malam

1.8 Follow Up
Tanggal

Catatan

27/10/1
6

S/ keluhan sulit menelan dan sesak napas masih


dirasakan, lendir pada tenggorokan masih
mengganggu, batuk namun tidak dapat
mngeluarkan dahak,
RPD: didiagnosis MG 4 tahun yang lalu
O/
KU : SS
KS : CM
TD : 110/70 mmHg
N
: 78x / menit
R
: 20x / menit
S
: 37,3o C
SI :
- PULMO : Ka = Ki, Wh -/-, Rh -/- COR
:S1S2 Reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Instruksi
PD /
Lab elektrolit
PT /

Inf.

Asering + Neurosanbe 15

gtt/mnt
Prostigmin 10 mg + Sulfas atropin
5 amp dalam 50 cc NaCl 0,9 % /
24 jam (IV)
Metil prednisolon 3x125 mg (IV)
Inj. Omeprazole 1x40mg (IV)
Inj. Cefotaxime 2x1gr (IV)

SN :
Nebu combivent 3x/hari
- RM : KK (-)
- Mata : CA -/-, Pupil bulat isokor, RCL (+/+), Oral hygine
RCTL (+/+), GBM baik
Suction
- NVII : parase bilateral perifer
- N XII : parase perifer
- Motorik
0
0
:
0
0
- Sensorik
: dbn
- FL
: Afasia motorik
- FV
: BAK dbn
BAB dbn

I
: +I +

- RF
- RP

: - /-

A/

Krisis miastenia ec miastenia gravis


Tanggal

Catatan

29/08/1
6

S/
Sesak napas (+), batuk berdahak (+),sulit dan
nyeri menelan (+), nyeri dada (-), mual muntah
(-)
O/
KU : SS
KS
: CM
TD : 120/80 mmHg
N
: 116x / menit
R
: 24 x / menit
S
: 36,2o C

Instruksi
PD /
PT /

Inf.

Asering + Neurosanbe 15

gtt/mnt
Prostigmin 10 mg + Sulfas atropin
5 amp dalam 50 cc NaCl 0,9 % /
24 jam (IV)

SI :
- PULMO : Ka = Ki, Wh -/-, Rh -/- COR
:S1S2 Reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Metil prednisolon 3x125 mg (IV)

SN :
- RM : KK (-)
- Mata : CA -/-, Pupil bulat isokor, RCL (+/+),
RCTL (+/+), GBM baik
- NVII : parase bilateral perifer
- N XII : parase perifer
- Motorik
: 0 0
0 0

Nebu combivent 3x/hari

- Sensorik
- RF
- RP
- FL
- FV

Inj. Omeprazole 1x40mg (IV)


Inj. Cefotaxime 2x1gr (IV)
Oral hygine
Suction

: dbn

I
: I

: - /: baik
: BAK dbn
BAB dbn

A/

Krisis miastenia ec miastenia gravis


Tanggal

Catatan

Instruksi

14

31/08/1
6

S/
Sesak napas (+) namun sudah berkurang, batuk
berdahak (+), sulit dan nyeri menelan (+), nyeri
dada (-), mual muntah (-)
O/
KU : SS
KS
: CM
TD : 110/80 mmHg
N
: 88 x / menit
R
: 22 x / menit
S
: 36,3o C

PD /
PT /

Inf.

Asering + Neurosanbe 15

gtt/mnt
Prostigmin 10 mg + Sulfas atropin
5 amp dalam 50 cc NaCl 0,9 % /
24 jam (IV)

SI :
- PULMO : Ka = Ki, Wh -/-, Rh -/- COR
:S1S2 Reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Metil prednisolon 3x125 mg (IV)

SN :
- RM : KK (-)
- Mata : CA -/-, Pupil bulat isokor, RCL (+/+),
RCTL (+/+), GBM baik
- NVII : parase bilateral perifer
- N XII : parase perifer
- Motorik
: 0 0
0 0

Nebu combivent 3x/hari

- Sensorik
- RF
- RP
- FL
- FV

: dbn

I
: I

: - /: baik
: BAK dbn
BAB dbn

A/

Krisis miastenia ec miastenia gravis

Inj. Omeprazole 1x40mg (IV)


Inj. Cefotaxime 2x1gr (IV)
Oral hygine
Suction

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1Definisi
Myasthenia gravis adalah penyakit neuromuskular junction yang disebabkan
oleh penyakit autoimun yang didapat dan dikarekteristik dengan fluktuasi kelemahan
patologis dengan remisi dan eksaserbasi berkait dengan satu atau beberapa kelompok
otot, terutamnya disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) pada
post sinaps neuromuscular junction.1-7
2.1.2 Epidemiologi
Prevelansi MG adalah 14 per 100000 populasi ( kira-kira 17,000 kasus) di
Amerika.3,4 Sebelum umur 40 tahun, penyakit ini adalah 3 kali lipat lebih banyak
di wanita dibandingkan pria, namun pada usia lebih tua kedua-dua jenis kelamin
bisa terkena MG.3,6-9
Myasthenia gravis pada anak-anak adalah jarang di Eropa dan Amerika
Utara, kira-kira 10-15% dari kasus myasthenia gravis, 7,8,10 namun kasus
myasthenia gravis pada anak adalah lebih sering di negara-negara Asia seperti
China, dimana 50 % pasien mempunyai onset penyakit myasthenia gravis
dibawah umur 15 tahun, kebanyakan dengan manifestasi ocular.7,8,10
Mengikut laporan RISKESDAS 2010, insidensi myasthenia gravis di
Indonesia diperkirakan 1 kasus dari 100000.11 Data yang didapatkan di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta terdapat 94 kasus dengan diagnosa
myasthenia gravis pada periode tahun 2010-2011.12
2.1.3 Klasifikasi
Myasthenia gravis dapat diklasifikasikan berdasarkan usia saat onset, dijumpai atau
tidaknya anti-AChR antibodies, keparahan dan etiologi penyakit.13

1. Usia saat onset

16

Myasthenia gravis dapat dibagi menjadi transient neonatal dan adult


autoimmune. Transient neonatal MG disebabkan oleh transfer antibodi anti-AChR
melalui plasenta yang kemudian bereaksi dengan AChR pada neonatus. Hanya 1015% bayi dengan antibodi ini menunjukkan gejala MG (hipotonia, menangis lemah,
gangguan pernafasan, dll) dalam beberapa jam pertama setelah lahir. Gejala biasanya
menghilang dalam 1 3 minggu, namun terapi suportif sementara dan
pyridostigmine tetap diperlukan.13

2. Anti- AChR antibodies


Myasthenia gravis dapat diklasifikasikan menjadi seropositif dan seronegatif.13
a. Seropositif
Tipe ini merupakan tipe yang paling banyak dari acquired autoimmune MG.
Hampir 85% penderita generalized MG dan 50%-60% penderita ocular
myasthenia menunjukkan hasil yang positif untuk anti-AChR antibody dengan
radioimmunoassay.13
b. Seronegatif
Sekitar 10% - 20% penderita acquired MG tidak menunjukkan antibodi antiAChR melalui radioimmunoassay. Seronegatif MG merupakan gangguan
autoimun yang melibatkan antibodi yang menyerang satu atau lebih komponen
sambungan

saraf

otot

yang

tidak

terdeteksi

dengan

anti-AChR

radioimmunoassay. Selain anti-MuSK antibodies, plasma dari pasien dengan


MG mengandung faktor humoral lainnya.13

3. Keparahan Penyakit
Osserman mengklasifikasikan MG pada dewasa kedalam 4 kelompok, berdasarkan
beratnya penyakit, yaitu :13
1. Ocular Myasthenia, dimana hanya mengenai otot-otot okular,
2. Generalized Myasthenia gravis, (a) ringan, (b) sedang,
3. Generalized Myasthenia gravis Berat,

4. Myasthenia Krisis dengan gagal nafas


Pada tahun 1997 Medical Scientific Advisory Board (MSAB) dari Myasthenia
gravis Foundation of America (MGFA) membentuk gugus tugas untuk membuat
klasifikasi dan penilaian outcome MG yang bertujuan mendapatkan keseragaman
dalam pencatatan dan pelaporan hasil studi atau riset dari MG.13

Tabel 1 . Klasifikasi Myasthenia berdasarkan klinis dari MGFA


Dikutip dari: Barohn RJ. Standards of Measurements in Myasthenia gravis.
Ann.N.Y.Sci. 2003; 998:432-39

2.1.4 Etiologi
Terdapat 4 kelas berdasarkan etiologinya :
18

1. Acquired autoimmune
2. Transient neonatal disebabkan transfer maternal dari antibodi anti-AChR.
3. Drug Induced : D-penicillamine merupakan prototipe obat yang dapat
mencetuskan MG. Presentasi klinis tampaknya identik dengan acquired
autoimmune MG dan antibodi terhadap AChR dapat dijumpai. Obat lain yang
dapat

menyebabkan

kelemahan

yang

menyerupai

MG

atau

dapat

mengeksaserbasi kelemahan MG mencakup curare, aminoglikosida, quinine,


procainamide, dan calcium channel blocker.
4. Congenital myasthenic syndrome : Pada penggunaan penicillamine dapat
dijumpai kejadian myasthenia gravis dengan onset dalam beberapa hari hingga
bulan setelah paparan awal walaupun dapat dijumpai setelah beberapa tahun.
Sindrom ini dapat menghilang dalam 2-6 bulan setelah penghentian obat.
Penjelasan mengenai mekanisme drug-induced myasthenia gravis kini berfokus
pada perubahan reaktivitas imunologis. Populasi limfosit B meningkat dan
memproduksi antibodi terhadap reseptor asetilkolin. Hal ini dapat disebabkan
oleh beberapa mekanisme : (1) keadaan antigenik reseptor ACh berubah yang
dapat menyulitkan self-recognition; (2) Hilangnya kontrol sel T supressor
terhadap produksi antibodi oleh sel B; (3) stimulasi langsung terhadap sel B,
yang menyebabkan peningkatan kadar antibodi. D-penicillamine menstimulasi
prostaglandin E1 synthetase untuk menghasilkan prostaglandin E1, yang
menempati allosteric site pada reseptor ACh. Hal ini dapat mengganggu ikatan
ACh dengan reseptor. 21

Gambar 1.Tempat kerja D-penicillamine

Dikutip dari : Katz LJ, Lesser RL, Merikangas JR, et al. Ocular myasthenia gravis
after D-penicillamine administration. British journal of ophtalmology 1989; 73:
1015-1018.
2.1.5 Patofiologi
Anatomi Neuromuscular Junction Normal
Sebelum memahami tentang MG, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal
NMJ sangatlah penting.Terdapat tiga komponen penting pada NMJ, yaitu presinaptik,
celah sinaptik dan postsinaptik.1,4,7,10

Gambar 2. Neuromuscular junction normal


Dikutip dari : Thanvi BR, Lo TCN. Update on myasthenia gravis. Postgrad Med J
2004;80:690-700.
Presinaptik
Komponen presinaptik terdiri dari ujung saraf motorik dan struktur yang
terkandung di dalamnya. Asetilkolin disintesis di terminal saraf dari asetil KoA dan
kolin oleh kerja enzim choline transferase. Asetilkolin terdapat dalam vesikel dan
dilepaskan ke celah sinaptik jika terdapat impuls saraf. Setiap vesikel berisi sekitar
8000-13000 molekul asetilkolin, yang disebut quanta. Pelepasan asetilkolin ke
celah sinaptik akibat stimulus saraf membutuhkan kalsium dan proses ini disebut
20

stimulus-secretion coupling. Influks kalsium terjadi melalui saluran kalsium yang


voltage-gated. Masuknya kalsium memicu fusi dari vesikel dengan membran
presinaptik sel saraf, sehingga isi dari vesikel dilepaskan ke celah sinaptik melalui
proses eksositosis.13,19,22

Gambar 3. Struktur Presinaptik


Dikutip dari : Amato AA, Russell JA. Neuromuscular disorders.New York: McGrawHill;2008.p 458-508.
Celah Sinaptik
Celah sinaptik dibagi menjadi celah sinaptik primer dan sekunder. Celah sinaptik
primer adalah ruang yang memisahkan membran presinaptik dari membran
postsinaptik. Celah ini berukuran sekitar 70 nm dimana luas dan panjangnya sama
dengan panjang membran presinaptik. Celah ini tidak memiliki batas lateral yang
tegas dan oleh karena itu, berkomunikasi dengan ruang ekstraseluler. Celah sinaptik
sekunder adalah ruang antara junctional folds pada membran postsinaptik dan

berhubungan dengan celah primer. Acetylcholinesterase paling banyak dijumpai pada


celah sinaptik sekunder. Enzim ini menghidrolisis asetilkolin untuk mengakhiri
transmisi neuromuskuler sehingga serat otot dapat dirangsang lagi.13,22
Postsinaptik
Permukaan membran sel otot pada sambungan neuromuskuler terdiri dari beberapa
lipatan (lipatan junctional). Lipatan junctional normal memiliki terkonsentrasi pada
puncak lipatan ini. 13,22

Gambar 4. Struktur Postsinaptik


Dikutip dari : Amato AA, Russell JA. Neuromuscular disorders.New York: McGrawHill;2008.p 458-508.
Reseptor ACh adalah suatu glikoprotein yang terdiri dari lima sub-unit yang tersusun
di sekitar saluran tengah. Pada otot yang diinervasi, subunit ini terdiri dari dua
subunit, satu subunit,satu dan satu subunit. 13 Lokasi main immunogenic region
(MIR) pada antibodi AChR terletak pada sub unit .15 Dalam keadaan istirahat,
saluran ion AChR tertutup. Ketika kedua situs subunit ditempati, saluran ion terbuka
dan memungkinkan masuknya ion natrium ke dalam otot, yang menghasilkan

22

depolarisasi parsial membran postsinaptik dan terbentuknya potensial eksitasi


postsinaptik. Jika jumlah saluran natrium yang terbuka mencapai ambang batas,
potensial aksi akan terbentuk dan menyebar di sepanjang serabut otot.13,17,22

Gambar 5. Struktur reseptor asetilkolin


Dikutip dari : Thanvi BR, Lo TCN. Update on myasthenia gravis. Postgrad Med J
2004;80:690-700.
Fisiologi Neuromuscular Junction Normal
Asetilkolin dilepaskan dari membran presinaptik akibat dari impuls saraf. saluran
kation reseptor terbuka sementara, potensial listrik endplate lokal (Endplate
potential/EPP). Jika ini cukup, akan terbentuk suatu potensial yang menyebar di
sepanjang serat otot, kalsium dan kontraksi otot. Dengan stimulasi saraf berulang,
jumlah asetilkolin yang dilepaskan menurun setelah beberapa rangsangan yang
disebut synaptic rundown. Dalam kondisi normal, dari EPP lebih dari yang
diperlukan untuk menghasilkan suatu yang memicu kontraksi otot. Kelebihan ini .
Safety factor ini bergantung pada beberapa jumlah asetilkolin dilepaskan dan
integritas reseptor ACh. Pada MG, faktor ini berkurang. Penurunan safety factor
bersamaan dengan synaptic rundown yang normal menyebabkan penurunan
kekuatan otot progresif pada pada MG.13

Suatu protein transmembran postsynaptic,muscle-specific tyrosine kinase (MuSK)


merupakan autoantigen utama pada beberapa pasien MG. Ekspresi MuSK terutama
dijumpai pada NMJ,dan merupakan bagian dari reseptor agrin. Agrin adalah protein
yang disintesis oleh motor neuron dan disekresi ke dalam lamina basal sinaptik.
Sinyal yang dimediasi oleh interaksi agrin/MuSK memicu dan mempertahankan
pengelompokan AChR dan protein postsynaptic lain yang bergantung rapsyn.
Rapsyn, suatu protein membran perifer yang mengarah ke permukaan sitoplasma dari
membran

postsynaptic,

diperlukan

untuk

pengelompokan

AChR.

Rapsyn

menyebabkan pengelompokan protein NMJ selain AChR, termasuk MuSK. Tikus


percobaan yang kekurangan agrin atau MuSK akan mengalami kegagalan
pembentukan NMJ dan mati pada kelahiran akibat kelemahan otot yang berat. 12

24

Gambar 6. Fisiologi Neuromuscular Junction


Dikutip Dari : Conti-fine BM, Milani M, Kaminski HJ. Myasthenia gravis: past,
present, and future. J Clin Invest 2006; 116:2843-2854.
Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular Junction pada Myasthenia gravis
Abnormalitas NMJ utama pada MG mencakup (a) penurunan jumlah reseptor ACh,
(b) lipatan sinaptik dan (c) pelebaran celah sinaptik pemendekan lipatan junctional
(gambar 6). Perubahan ini disebabkan oleh proses autoimun pada postsinaptik.
kelainan ini adalah berkurangnya safety factor. telah dibahas sebelumnya,
pengurangan safety factor bersamaan dengan synaptic rundown menyebabkan

penurunan progresif amplitudo EPP yang menyebabkan myasthenic ditandai dengan


kelelahan akibat aktivitas yang terus-menerus.13

Gambar 7. Neuromuscular junction pada Myasthenia gravis


Dikutip dari : Thanvi BR, Lo TCN. Update on myasthenia gravis. Postgrad Med J
2004;80:690-700.
Struktur NMJ bervariasi antar otot dan dapat mempengaruhi kerentanan otot terhadap
MG. Hal ini diilustrasikan oleh NMJ dari otot-otot ekstra okuler yang sangat rentan
terhadap MG. Struktur NMJ otot ekstraokuler berbeda dari otot rangka dalam
beberapa hal, dimana otot-otot ekstraokuler memiliki lipatan sinaptik yang kurang
banyak, dan karenanya memiliki lebih sedikit AChRs postsynaptic dan saluran Na+,
dan penurunan safety factor. Otot-otot ini juga menunjukkan frekuensi neuronal
firing yang sangat tinggi, yang menyebabkan otot-otot ini rentan terhadap kelelahan.
Otot-otot ekstraokuler juga lebih sedikit mengekspresikan regulator komlemen
intrinsik, yang membuat mereka lebih rentan untuk mengalami cedera yang
diperantarai komplemen.16

26

Pada MG dengan anti-AchR, autoantibodi dengan target reseptor asetilkolin (AchR)


mengakibatkan blokade reseptor yang tersedia untuk berinteraksi dengan Ach yang
dilepaskan dari ujung saraf. Aktivasi komplemen menarik makrofag yang aktif, yang
menyebabkan kerusakan yang signifikan pada lipatan sinaptik dan saluran natrium
yang Voltage-gated yang pada gilirannya meningkatkan ambang yang diperlukan
untuk memulai potensial aksi otot. Konsekuensi dari hilangnya AchRs dan saluran
natrium adalah berkurangnya safety favtor untuk transmisi neuromuskuler
berkurang dan transmisi di endplates gagal.
2.1.6 Gambaran Klinis
Penyakit-penyakit dengan gangguan transmisi neuromuskular, terutama MG,
memiliki gambaran klinis yang membedakannya dari penyakit neuromuskular lain.
Salah satunya adalah gambaran kelemahan yang berfluktuasi dan pola kelemahan
yang cukup khas dimana sebagian besar menunjukkan kecenderungan untuk
mengenai otot yang diinervasi oleh saraf kranial. Dasar dari hal ini tidak sepenuhnya
dipahami tetapi, dalam kasus MG, tampaknya terkait dengan perbedaan dalam jenis
dan distribusi NMJ. Pola dan intensitas kelemahan dalam MG bisa sangat bervariasi.
Dapat bersifat fokal, multifokal, atau difus. Setiap otot volunter dapat terkena,
meskipun otot yang paling rentan adalah otot yang dikendalikan oleh saraf kranial
motorik.19
Biasanya, pasien datang dengan riwayat kelemahan dan kelelahan otot pada
aktivitas berkelanjutan atau berulang-ulang yang membaik setelah beristirahat.
Gejala bervariasi dari hari ke hari dan dari jam ke jam, biasanya meningkat
menjelang malam. Otot-otot yang paling sering terkena secara berurutan adalah : m.
levator palpebra, otot ekstraokular, otot proksimal ekstremitas, otot-otot ekspresi
wajah, dan ekstensor leher. 13,24
Sekitar setengah dari pasien MG awalnya akan menunjukkan gejala okular
saja. Ptosis, yang sering bersifat parsial dan unilateral,merupakan gambaran yang
sering dijumpai dan bersifat fluktuatif. 13,19 Kelemahan okular dengan ptosis
asimetrik dan diplopia binokular merupakan gejala awal yang peling sering

dijumpai.14 Ptosis merupakan gejala awal pada 50-90% pasien, sementara 15%
mengeluh penglihatan kabur atau diplopia. Jika tidak muncul sebagai gejala awal,
keterlibatan otot okular eksternal dijumpai pada 90-95% dari pasien pada suatu
waktu dalam perjalanan penyakitnya. Ptosis dapat lebih jelas setelah upgaze
berkelanjutan dan merupakan manuver provokatif yang sering dilakukan. Ptosis
dapat berhubungan dengan kontraksi otot frontalis ipsilateral untuk membantu
mengkompensasi kelemahan otot levator palpebra. Elevasi kelopak mata yang
berlebihan atau tanda Cogans lid twitch dapat dijumpai saat gaze diarahkan dari
bawah ke atas. 13,14,19,24
Lebih dari tiga perempat pasien MG awalnya menunjukkan keluhan visual
berupa ptosis atau pandangan ganda, dan sekitar setengah pasien dengan manifestasi
okular akan menjadi general dalam enam bulan.Sekitar 80% pasien MG akan
menjadi general dalam dua tahun dan sekitar 90% dalam tiga tahun. Beberapa studi
restrospektif menunjukkan bahwa terapi awal dengan prednisolone oral dapat
memperlambat onset dan tampaknya juga memperlambat perkembangan penyakit
dari miastenia okular menjadi general. 13,14,19,24
Wajah dapat terlihat tanpa ekspresi. Mulut dapat terbuka dan pasien mungkin
harus menyangga rahangnya dengan jari. Ketika pasien berusaha untuk tersenyum,
wajah tampak menyeringai. Suara dapat hypophonic karena kelemahan pita suara
atau otot ekspirasi. Pasien dapat menunjukkan disartria sebagai akibat kelemahan
dari bibir, lidah, atau pipi. Kelemahan dapat tampak lebih jelas dengan aktivitas otot.
Disfonia dapat dijumpai sebagai akibat dari kelemahan laring. Disfagia adalah
gambaran umum akibat kelelahan otot yang terlibat dalam mengunyah dan
menelan.13,19 Perkembangan kelemahan pada MG biasanya terjadi dalam arah
kraniokaudal. Myasthenia gravis juga dapat mengenai ekstremitas. Kelemahan otot
tungkai terutama mengenai bagian proksimal otot.13-15,19,24 Krisis miastenia adalah
suatu eksaserbasi MG yang ditandai dengan bertambahnya kelemahan yang
menyebabkan episode gagal nafas akut yang menyebabkan ventilasi mekanik.
Kelemahan dapat melibatkan otot-otot pernafasan atau kelemahan bulbar, yang
mengganggu airway. Krisis miastenia adalah komplikasi MG yang paling berbahaya

28

dan mengancam hidup yang memerlukan perawatan intensif. Krisis miastenia


biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama setelah onset MG (74% pasien) dan 15-20%
pasien dengan MG akan mengalami krisis miastenia.22
2.1.7 Diagnosa
Diagnosis MG dapat ditegakkan tanpa kesulitan pada kebanyakan pasien dari
riwayat karekteristik dan pemeriksaan fisik.

25-28

Perbaikan yang dramatis setelah

injeksi neostigmine bromide (Prostigmin) atau edrophonium (Tensilon) membuat


administrasi obat ini penting untuk MG.,26,27,29 Kekuatan otot kembali setelah
adminstrasi neostigmine atau edrophonium; jika tidak ada respon berlaku, diagnosis
MG dapat diragukan.27,29 Demonstrasi respon farmakologi terkadang susah namun
jika gejala klinis mengarahkan ke MG, harus dilakukan tes ulang dengan dosis
berbeda atau cara adminstrasi.27,29 Pemberian obat antikolinesterase semalaman dapat
membantu menegakkan diagnosis.27,29 Respon negatif palsu terhadap edrophonium
adalah terkecualikan jika ada lesi structural, seperti tumor batang otak.27,29 (MG dapat
disertai penyakit lain seperti Graves ophtalmopati atau sindroma Lambert-Eaton.27,29
Diagnosis MG dapat juga ditegakkan dengan titer tinggi antibodi terhadap
AChR namun titer yang normal tidak mengeksklusikan diagnosis MG.28 Respon
terhadap stimulasi yang berulang-ulang dan EMG serabut tunggal juga dapat
menegakkan diagnosis.11,18,28, Jika ada timoma , diagnosis MG adalah lebih mungkin
dibandingkan penyakit neuromuscular yang lain.29
Pada tes neostigmin, dosis obat adalah 1.5 mg hingga 2.0 mg dan atrofin sulfat
0.4 mg diberikan secara intramuskular.30 Perbaikan objektif pada tenaga otot telah
tercatat pada interval 20 menit hingga 2 jam setelah adminstrasi obat tersebut.

30

Adminstrasi edrophonium pada dosis 1 mg hingga 10 mg. 30 Dosis insial adalah 2 mg


diikuti dengan 2 mg setelah 30saat jika perlu dan tambahan dosis 5 mg dalam 15
hingga 30 saat hingga dosis maksimum 10 mg. 30 Perbaikan diperhatikan dalam 30
saat dan bertahan untuk beberapa menit.30 Kebanyakkan respon diperhatikan pada
dosis kurang dari 5.0 mg.30 Respon yang sangat cepat dan dramatik, edrophonium
adalah lebih disukai untuk evaluasi kelemahan otot okular dan otot kranial. 30

Neostigmin umumnya digunakan untuk evaluasi untuk otot tungkai atau otot
pernafasan, yang membutuhkan lebih banyak waktu.30
Pemeriksaan laboratorium pada pasien MG adalah berguna untuk konfirmasi
diagnosis gawat darurat myasthenia gravis (MG).27,28 Pemeriksaan analisa gas darah
dapat membantu penanganan respiratori.27,28 Elevasi PaCO2 dapat menunjukkan
kegagalan respiratori yang progresif dan merupakan indikasi manajemen saluran
napas kegawat daruratan.27,28
Pencitraan diindikasi untuk determinasi apakah adanya pneumonia aspirasi
atau pneumonia tipe lain yang terjadi pada pasien MG.27,28 MRI atau CT scan dada
adalah sangat akurat untuk mendeteksi timoma dan harus dilakukan pada setiap
kasus baru MG.27,28 Foto toraks adalah tidak sensitif untuk skreening timoma.27,28
Ice pack test adalah salah satu pemeriksaan mudah yang dapat dilakukan
karena dengan mendinginkan otot terutama otot okular dapat memperbaiki transmisi
neuromuskular.27 Es batu dimasukkan ke dalam sarung tangan bedah atau dibungkus
dalam kain dan diletakkan di atas kelopak mata untuk 2 menit. 27 Tes ini positif
apabila terjadi perbaikan dari ptosis namun tes adalah kurang sensitif dan jarang
dilakukan.27
Elektromiografi serabut otot tunggal dan assay untuk antibodi reseptor
asetilkolinerase digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis MG, namun tes ini
jarang dapat dilakukan dalam kondisi gawat darurat.27,28
Pemeriksaan EMG menunjukkan karekteristik yang mirip dengan subyek
normal yang diberikan relaxant otot dosis kecil sewaktu dianastesi. 27,28 Terjadinya
penurunan aksi potensial kompound otot.27,28

2.1.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding termasuk gangguan lainnya di mana tanda-tanda dan
gejala utama berupa gangguan motorik.19 Sejumlah kondisi dapat menyerupai MG,
yang terdiri dari gangguan NMJ lainnya (Lambert-Eaton syndrome, botulismus,
30

neuromyotonia didapat, dll), miopati dan penyakit batang otak (misalnya, iskemik,
inflamasi, dan neoplastik) jika miastenia terbatas hanya menunjukkan keterlibatan
bulbar, AIDP dan varian AIDP yang mengenai otot kranial seperti Miller-Fisher dan
cervical-brAChial-pharyngeal.13,14
Lambert-Eaton syndrome adalah gangguan autoimun pada NMJ yang
bermanifestasi sebagai kelemahan otot dan sering dikaitkan dengan karsinoma paru.
Botulismus dapat menyebabkan kelemahan umum, ophthalmoplegia internal dan
eksternal, dan kelumpuhan pernapasan. Hipertiroidisme dapat dengan mudah
dieksklusikan dengan uji fungsi tiroid yang harus diperiksa secara rutin dalam
evaluasi MG. Miastenia okular harus dibedakan dengan ophthalmoplegia eksternal
progresif, penyakit Graves okular dan space occupying lesion intrakranial.13
2.1.9 Terapi
Terapi MG terdapat 5 tipe yaitu obat antikolinesterase dan plasmaperesis
dimana merupakan terapi simptomatik, manakala timektomi, steroid dan obat
imunosuppresif yang lain dapat mengubah haluan penyakit.7,11,31
Pengobatan antikolinesterase biasanya diberikan setelah diagnosa
ditegakkan.27,28,31 Terdapat 3 tipe obat antikolinesterase yang paling sering digunakan
yaitu neostigmine, pyridostigmine bromide dan ambenonium (Mytelase).

31

Pyridostigmine bromide adalah obat paling popular antara 3 tipe obat namun belum
pernah dinilai dan dibandingkan secara terkontrol dengan obat-obatan lain.31 Efek
samping muskarinik adalah kram abdominal dan diare, pyridostigmine bromide
mempunyai efek samping muskarinik yang paling kurang dibandingkan dengan
lain.31 Pyridostigmine diawali dengan dosis 60 mg secara oral setiap 4 jam sewaktu
pasien sadar.31 Dosis dinaikkan tergantung pada dosis klinis namun peningkatan
manfaat tidak diharapkan pada jumlah lebih dari 120mg setiap 2 jam. Jika pasien
mempunyai kesulitan untuk makan, obat dapat diminum 30 menit sebelum makan.31
Simptom muskarinik dapat diperbaiki dengan preparasi atropine (0.4 mg)
dengan setiap dosis pyridostigmine.31 Dosis atropine yang berlebihan dapat

menyebabkan psikosis tapi jumlah yang diminum pada regimen ini tidak mempunyai
efek psikotik.31
Walaupun terapi kolinergik memberikan efek yang impresif namun terapi
mempunyai limitasi.31 Pada pasien MG generalisata, gejala pasien dapat menghilang
namun terdapat simptom yang masih menetap dan resiko krisis menetap karena
penyakit tidak disembuhkan dengan pemberian obat ini.31
Timektomi dulunya hanya dilakukan pada pasien dengan disablitias yang
serious karena timektomi dapat menyebabkan mortalitas tinggi.

31

Namun dengan

kemajuan pada pembedahan dan anestesi , mortalitas sudah berkurang pada


timektomi.31 Kira-kira 80% pasien tanpa timoma menjadi asimptomatik atau menjadi
remisi komplit setelah timektomi.31 Makanya timektomi telah direkomendasi untuk
kebanyakkan pasien dengan MG generalisata.31 Walaupun timektomi adalah operasi
mayor dan tidak direkomendasi untuk pasien dengan myasthenia okular kecuali
pasien mempunyai timoma.31
Terapi prednisone digunakan untuk persiapan pasien melakukan timektomi atau
menggunakan plasmapheresis atau terapi IVIG.31 Penukaran dengan plasmapheresis
kira-kira 5% volume darah dapat diberikan beberapa kali sebelum hari pembedahan
yang bertujuan untuk memperbaiki krisis respiratori atau mencegah krisis pernafasan
pasca operasi.31 Plasmapheresis digunakan untuk eksaserbasi lain

yang dapat

menyebabkan perbaikan pada kebanyakan pasien.31 Plasmapheresis adalah aman


namun mahal dan tidak mudah untuk kebanyakkan pasien.31 Adminstrasi IVIG
adalah lebih mudah namun adalah lebih mahal dibandingkan plasmapheresis dan
IVIG adalah lebih disukai dibandingkan plasmapheresis terutama pada pasien akses
vena yang jelek, termasuk pada anak.31
Terapi IVIG biasanya diberikan dosis 5 kali dengan jumlah 2g/kg BB. Efek
sampingnya termasuk nyeri kepala, meningitis aseptic.31 Terapi IVIG dan
plasmapheresis dapat digunakan untuk pasien MG dengan eksaserbasi.31 Jika pasien
pasca timektomi masih mengalami disablitas, prednisone 60 hingga 100 mg
diberikan setiap hari untuk mencapai respon dalam beberapa hari atau minggu. 31

32

Setelah sudah ada perbaikan, dosis harus diturunkan 20 hingga 35 mg setiap hari.

31

Jika pasien tidak sembuh dalam waktu 6 bulan, azathioprine atau siklofosfamid
diberikan dengan dosis 2.5 mg/kgBB setiap hari untuk orang dewasa. 31 Dosis harus
dinaikkan secara gradual dan harus diminum setelah makan untuk mencegah terasa
mual. Prednison 20 hingga 35 mg dapat diberikan selang hari myasthenia okular.31
Pasien dengan timoma sering mempunyai MG lebih parah dan kurang bisa
didefinisikan

sebagai kebutuhan ventilasi yang dibantu, dimana ia merupakan

kondisi yang terjadi pada kira-kira 10% pasien MG dengan disarthria, disfagia, dan
kelemahan otot pernafasan yang telah didokumentasi.31 Pengobatan kolinergik
diberhentikan setelah intubasi dilakukan.31 Prinsip terapi adalah memerlihara fungsi
vitaldan mengelakkan atau mengobatiinfeksi sehingga pasien pulih dari krisis
tersebut.31 Terapi kolinergik tidak perlu dimulai sehingga tanda infeksi telah hilang
dan tidak ada komplikasi paru yang yang lain, pasien dapat bernapas sendiri tanpa
bantuan.31

DAFTAR PUSTAKA
1. Drachman DB. Myasthenia gravis. N Engl J Med 2001; 330: 1797-810.
2. Khadilkar S.V., Sahni A.O., Patil S.G., Myasthenia Gravis. JAPI 2004
November; 52:897-903.
3. Romi F., Gilhus N.E., Aarli J.A., Myasthenia gravis: clinical, immunological,
and therapeutic advances. Acta Neurol Scand 2005 January; 111: 134-141.
4. Beekman R., Kuks J.B.M., Oostherhius HJGH. Myasthenia gravis: diagnosis
and follow-up of 100 consecutive patients. J Neurol 2007 August; 244: 112-8.

5. Willcox N., Myasthenia gravis. Curr Opin Immunol 2003 April; 5:910-7.
6. Christensen P.B., Jensen T.S., Tsirropoulus I., et.al., Mortality and survival in
myasthenia gravis: a Danish population based study. J Neurol Neurosurg
Psychiatry 2003; 64: 78-63.
7. Sanders D.B., Generalized myasthenia gravis: clinical presentation and
diagnosis. 56th Annual Meeting. San Francisco, CA: American Academy of
Neurology, 2004.
8. Brainin M., Barnes M., Baron J.C., et al. Guidance for the preparation of
neurological management guidelines by EFNS scientific task forces-revised
recommendations 2004. Eur J Neurol 2004 October; 11:577-581.
9. Vincent A., Unravelling the pathogenesis of myasthenia gravis. Nat Rev
Immunol 2002; 2: 797-804.
10. Hoch W, McConville J., Helms S., Newsom-Davis J., Melms A., Vincent A.,
Auto-antibodies to the reseptor tyrosine kinase MuSK in patients with
myasthenia gravis without acethylcholine receptor antibodies. Nat Med 2001;
7: 365-368.
11. Vernino S., Lennon V.A., Autoantibody profiles and neurological correlations
of thymoma. Clin Cancer Res 2004 May; 18: 678-80.
12. Berrih S., Morel E., Gaud C., Raimond F., LeBrigand H., Bach J.F., AntiAChR antibodies,thymic histology, and T cell subsets in myasthenia gravis.
Neurology 2001 March;34:66-71.
13. Thanvi BR, Lo TCN. Update on myasthenia gravis. Postgrad Med J
2004;80:690-700.
14. Juel VC, Massey JM. Myasthenia gravis. Orphanet Journal of Rare Disease
2007;2:4.
15. Romi F, Gilus NE, Aarli JA. Myestenia gravis; Clinical, imunological, and
therapeutic advances. Acta Neurol Scand 2005;111:134-141.
16. Conti-fine Bm, Milani M, Kamiski HJ. Myesthenia gravis: past, presenta, and
future. J Clin Invest 2006; 116:2843-54.
17. Vincent A. Immunology of disorders of neuromuscular transmisoan. Acta
Neurol Scand 2006; 113(Suppl 183):1-7.
18. Hill M. The Neuromuscular Junction Disorder. J Neurol Neurosurg
Psychiatry 2003: 74 (suppl II): ii32-ii37.
19. Amato AA, Russel JA. Neuromuscular disorders. New York: MCGrawHill;2008.p 458-508.

34

20. Carr AS, Cardwell CR, McCarron PO, et al. A systematic review of
population based epidemiological studies in Myastenia gravis. BMC
Neurology 2010;10:46.
21. Katz LJ, Laser RL, Merikangs JR, et al. Ocular myastenia gravis after DPenicilamine Adminitration. Britist journal of ophtalmology 1989; 73:101518.
22. Ruff RI. Neuromuscular junction physiology abd patophysiology. In:kamiski
HJ, editor. Myastenia Gravis and related disorder. Totowa, New jersey:
Humana Pers; 2003. P1-13.
23. OnoderaH. The role of the thymus in the pathogenesis of yasthenia Gravis
Tohoku j Exp Med 2005;207:87-98.
24. Kuks JBM, Oosterhuis HJGH. Clinical presentation and epidemiology of
myastenia gravis. In: Kaminski HJ, edior. Myastenia Gravis and related
disorder Totawa, New Jersey: Humana Pers; 2003. P93-113.
25. Brenner T., et.al., The role of readthrough acetylcholinesterase in the
pathophysiology of myasthenia gravus. FASEB J. 2003 December;17:214222.
26. Bradley W.G., Neurology in Clinical Practice. Elsevier Science and and
Technology Books; 4th Edition Volume 2:2441-60.
27. Almeida D.F., Radaeli R.F., Melo A.C., Ice pack test in the diagnosis of
Myasthenia Gravis. Arq Neuropsiquitr. 2008 May; 66:96-98.
28. Skeie G.O., Apostolski A., Evoli A., Gilhus E., Illa I., Harms L., Melms A.,
Horge H.W., Verschuuren J., Guidelines for treatment of autoimmune
neuromuscular
29. transmission disorders. European Journal of Neurology. 2010 February:10; 17.
30. Meriggiolo M.N., Sanders D.B., Autoimmune myasthenia gravis: emerging
clinical and biological heterogeneity.The lancet Neurology. 2009 May;8: 475486.
31. Richman D.P., Agius M.A., Treatment of myasthenia gravis. Neurology.
2003 December; 61: 1652-1659.

32. Ronager J., Ravnborg M., Hermansen I., Vorstrup S., Immunoglobulin
treatment versus plasma exchange in patients with chronic moderate to severe
myasthenia gravis. Artif Organs 2001 March;25:967-973.

36

Anda mungkin juga menyukai