Anda di halaman 1dari 18

2.1.

1Definisi
Myasthenia gravis adalah penyakit neuromuskular junction yang disebabkan oleh
penyakit autoimun yang didapat dan dikarekteristik dengan fluktuasi kelemahan patologis
dengan remisi dan eksaserbasi berkait dengan satu atau beberap kelompok otot, terutamnya
disebabkan oleh antibodi terhdapa reseptor asetilkolin (AChR) pada post sinaps
neuromuscular junction.1-7
2.1.2 Epidemiologi
Prevelansi MG adalah 14 per 100000 populasi ( kira-kira 17,000 kasus) di
Amerika.3,4 Sebelum umur 40 tahun, penyakit ini adalah 3 kali lipat lebih banyak di
wanita dibandingkan pria, namun pada usia lebih tua kedua-dua jenis kelamin bisa
terkena MG.3,6-9
Myasthenia gravis pada anak-anak adalah jarang di Eropa dan Amerika Utara,
kira-kira 10-15% dari kasus myasthenia gravis, 7,8,10 namun kasus myasthenia gravis pada
anak adalah lebih sering di negara-negara Asia seperti China, dimana 50 % pasien
mempunyai onset penyakit myasthenia gravis dibawah umur 15 tahun, kebanyakan
dengan manifestasi ocular.7,8,10
Mengikut laporan RISKESDAS 2010, insidensi myasthenia gravis di Indonesia
diperkirakan 1 kasus dari 100000.11 Data yang didapatkan di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta terdapat 94 kasus dengan diagnosa myasthenia gravis pada
periode tahun 2010-2011.12
2.1.3 Klasifikasi
Myasthenia gravis dapat diklasifikasikan berdasarkan usia saat onset, dijumpai atau tidaknya
anti-AChR antibodies, keparahan dan etiologi penyakit.13

1. Usia saat onset


Myasthenia gravis dapat dibagi menjadi transient neonatal dan adult autoimmune.
Transient neonatal MG disebabkan oleh transfer antibodi anti-AChR melalui plasenta yang
kemudian bereaksi dengan AChR pada neonatus. Hanya 10-15% bayi dengan antibodi ini
menunjukkan gejala MG (hipotonia, menangis lemah, gangguan pernafasan, dll) dalam
beberapa jam pertama setelah lahir. Gejala biasanya menghilang dalam 1 3 minggu, namun
terapi suportif sementara dan pyridostigmine tetap diperlukan.13

2. Anti- AChR antibodies


Myasthenia gravis dapat diklasifikasikan menjadi seropositif dan seronegatif.13
a. Seropositif
Tipe ini merupakan tipe yang paling banyak dari acquired autoimmune MG. Hampir
85% penderita generalized MG dan 50%-60% penderita ocular myasthenia
menunjukkan

hasil

yang

positif

untuk

anti-AChR

antibody

dengan

radioimmunoassay.13
b. Seronegatif
Sekitar 10% - 20% penderita acquired MG tidak menunjukkan antibodi anti-AChR
melalui radioimmunoassay.Seronegatif MG merupakan gangguan autoimun yang
melibatkan antibodi yang menyerang satu atau lebih komponen sambungan saraf otot
yang tidak terdeteksi dengan anti-AChR radioimmunoassay. Selain anti-MuSK
antibodies, plasma dari pasien dengan MG mengandung faktor humoral lainnya.13

3. Keparahan Penyakit
Osserman mengklasifikasikan MG pada dewasa kedalam 4 kelompok, berdasarkan beratnya
penyakit, yaitu :13
1. Ocular Myasthenia, dimana hanya mengenai otot-otot okular,
2. Generalized Myasthenia gravis, (a) ringan, (b) sedang,
3. Generalized Myasthenia gravis Berat,
4. Myasthenia Krisis dengan gagal nafas
Pada tahun 1997 Medical Scientific Advisory Board (MSAB) dari Myasthenia gravis
Foundation of America (MGFA) membentuk gugus tugas untuk membuat klasifikasi dan
penilaian outcome MG yang bertujuan mendapatkan keseragaman dalam pencatatan dan
pelaporan hasil studi atau riset dari MG.13

Tabel 1 . Klasifikasi Myasthenia berdasarkan klinis dari MGFA


Dikutip dari: Barohn RJ. Standards of Measurements in Myasthenia gravis. Ann.N.Y.Sci.
2003; 998:432-39

2.1.4 Etiologi
Terdapat 4 kelas berdasarkan etiologinya :
1. Acquired autoimmune
2. Transient neonatal disebabkan transfer maternal dari antibodi anti-AChR.
3. Drug Induced : D-penicillamine merupakan prototipe obat yang dapat mencetuskan
MG. Presentasi klinis tampaknya identik dengan acquired autoimmune MG dan antibodi
terhadap AChR dapat dijumpai. Obat lain yang dapat menyebabkan kelemahan yang
menyerupai MG atau dapat mengeksaserbasi kelemahan MG mencakup curare,
aminoglikosida, quinine, procainamide, dan calcium channel blocker.
4. Congenital myasthenic syndrome

Pada penggunaan penicillamine dapat dijumpai kejadian myasthenia gravis dengan


onset dalam beberapa hari hingga bulan setelah paparan awal walaupun dapat dijumpai
setelah beberapa tahun. Sindrom ini dapat menghilang dalam 2-6 bulan setelah penghentian
obat. Penjelasan mengenai mekanisme drug-induced myasthenia gravis kini berfokus pada
perubahan reaktivitas imunologis. Populasi limfosit B meningkat dan memproduksi antibodi
terhadap reseptor asetilkolin. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme : (1)
keadaan antigenik reseptor ACh berubah yang dapat menyulitkan self-recognition; (2)
Hilangnya kontrol sel T supressor terhadap produksi antibodi oleh sel B; (3) stimulasi
langsung terhadap sel B, yang menyebabkan peningkatan kadar antibodi. D-penicillamine
menstimulasi prostaglandin E1 synthetase untuk menghasilkan prostaglandin E1, yang
menempati allosteric site pada reseptor ACh. Hal ini dapat mengganggu ikatan ACh dengan
reseptor. 21

Gambar 1.Tempat kerja D-penicillamine


Dikutip dari : Katz LJ, Lesser RL, Merikangas JR, et al. Ocular myasthenia gravis after Dpenicillamine administration. British journal of ophtalmology 1989; 73: 1015-1018.
2.1.5 Patofiologi
Anatomi Neuromuscular Junction Normal
Sebelum memahami tentang MG, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal NMJ
sangatlah penting.Terdapat tiga komponen penting pada NMJ, yaitu presinaptik, celah
sinaptik dan postsinaptik.1,4,7,10

Gambar 2. Neuromuscular junction normal


Dikutip dari : Thanvi BR, Lo TCN. Update on myasthenia gravis. Postgrad Med J
2004;80:690-700.
Presinaptik
Komponen presinaptik terdiri dari ujung saraf motorik dan struktur yang terkandung
di dalamnya. Asetilkolin disintesis di terminal saraf dari asetil KoA dan kolin oleh kerja
enzim choline transferase. Asetilkolin terdapat dalam vesikel dan dilepaskan ke celah
sinaptik jika terdapat impuls saraf. Setiap vesikel berisi sekitar 8000-13000 molekul
asetilkolin, yang disebut quanta. Pelepasan asetilkolin ke celah sinaptik akibat stimulus
saraf membutuhkan kalsium dan proses ini disebut stimulus-secretion coupling. Influks
kalsium terjadi melalui saluran kalsium yang voltage-gated. Masuknya kalsium memicu fusi
dari vesikel dengan membran presinaptik sel saraf, sehingga isi dari vesikel dilepaskan ke
celah sinaptik melalui proses eksositosis.13,19,22

Gambar 3. Struktur Presinaptik


Dikutip dari : Amato AA, Russell JA. Neuromuscular disorders.New York: McGrawHill;2008.p 458-508.
Celah Sinaptik
Celah sinaptik dibagi menjadi celah sinaptik primer dan sekunder. Celah sinaptik primer
adalah ruang yang memisahkan membran presinaptik dari membran postsinaptik. Celah ini
berukuran sekitar 70 nm dimana luas dan panjangnya sama dengan panjang membran
presinaptik. Celah ini tidak memiliki batas lateral yang tegas dan oleh karena itu,
berkomunikasi dengan ruang ekstraseluler. Celah sinaptik sekunder adalah ruang antara
junctional folds pada membran postsinaptik dan berhubungan dengan celah primer.
Acetylcholinesterase paling banyak dijumpai pada celah sinaptik sekunder. Enzim ini
menghidrolisis asetilkolin untuk mengakhiri transmisi neuromuskuler sehingga serat otot
dapat dirangsang lagi.13,22
Postsinaptik
Permukaan membran sel otot pada sambungan neuromuskuler terdiri dari beberapa lipatan
(lipatan junctional). Lipatan junctional normal memiliki terkonsentrasi pada puncak lipatan
ini. 13,22

Gambar 4. Struktur Postsinaptik


Dikutip dari : Amato AA, Russell JA. Neuromuscular disorders.New York: McGrawHill;2008.p 458-508.
Reseptor ACh adalah suatu glikoprotein yang terdiri dari lima sub-unit yang tersusun di
sekitar saluran tengah. Pada otot yang diinervasi, subunit ini terdiri dari dua subunit, satu
subunit,satu dan satu subunit.13 Lokasi main immunogenic region (MIR) pada antibodi
AChR terletak pada sub unit .15 Dalam keadaan istirahat, saluran ion AChR tertutup. Ketika
kedua situs subunit ditempati, saluran ion terbuka dan memungkinkan masuknya ion natrium
ke dalam otot, yang menghasilkan depolarisasi parsial membran postsinaptik dan
terbentuknya potensial eksitasi postsinaptik. Jika jumlah saluran natrium yang terbuka
mencapai ambang batas, potensial aksi akan terbentuk dan menyebar di sepanjang serabut
otot.13,17,22

Gambar 5. Struktur reseptor asetilkolin


Dikutip dari : Thanvi BR, Lo TCN. Update on myasthenia gravis. Postgrad Med J
2004;80:690-700.
Fisiologi Neuromuscular Junction Normal
Asetilkolin dilepaskan dari membran presinaptik akibat dari impuls saraf. saluran kation
reseptor terbuka sementara, potensial listrik endplate lokal (Endplate potential/EPP). Jika ini
cukup, akan terbentuk suatu potensial yang menyebar di sepanjang serat otot, kalsium dan
kontraksi otot. Dengan stimulasi saraf berulang, jumlah asetilkolin yang dilepaskan menurun
setelah beberapa rangsangan yang disebut synaptic rundown. Dalam kondisi normal, dari
EPP lebih dari yang diperlukan untuk menghasilkan suatu yang memicu kontraksi otot.
Kelebihan ini . Safety factor ini bergantung pada beberapa jumlah asetilkolin dilepaskan dan
integritas reseptor ACh. Pada MG, faktor ini berkurang. Penurunan safety factor bersamaan
dengan synaptic rundown yang normal menyebabkan penurunan kekuatan otot progresif
pada pada MG.13
Suatu protein transmembran postsynaptic,muscle-specific tyrosine kinase (MuSK) merupakan
autoantigen utama pada beberapa pasien MG. Ekspresi MuSK terutama dijumpai pada
NMJ,dan merupakan bagian dari reseptor agrin. Agrin adalah protein yang disintesis oleh
motor neuron dan disekresi ke dalam lamina basal sinaptik. Sinyal yang dimediasi oleh
interaksi agrin/MuSK memicu dan mempertahankan pengelompokan AChR dan protein
postsynaptic lain yang bergantung rapsyn. Rapsyn, suatu protein membran perifer yang

mengarah ke permukaan sitoplasma dari membran postsynaptic, diperlukan untuk


pengelompokan AChR. Rapsyn menyebabkan pengelompokan protein NMJ selain AChR,
termasuk MuSK. Tikus percobaan yang kekurangan agrin atau MuSK akan mengalami
kegagalan pembentukan NMJ dan mati pada kelahiran akibat kelemahan otot yang berat. 12

Gambar 6. Fisiologi Neuromuscular Junction


Dikutip Dari : Conti-fine BM, Milani M, Kaminski HJ. Myasthenia gravis: past, present, and
future. J Clin Invest 2006; 116:2843-2854.
Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular Junction pada Myasthenia gravis
Abnormalitas NMJ utama pada MG mencakup (a) penurunan jumlah reseptor ACh, (b)
lipatan sinaptik dan (c) pelebaran celah sinaptik pemendekan lipatan junctional (gambar 6).
Perubahan ini dseibabkan oleh proses autoimun pada postsinaptik. kelainan ini adalah
berkurangnya safety factor. telah dibahas sebelumnya, pengurangan safety factor bersamaan

dengan synaptic rundown menyebabkan penurunan progresif amplitudo EPP yang


menyebabkan myasthenic ditandai dengan kelelahan akibat aktivitas yang terus-menerus.13

Gambar 7. Neuromuscular junction pada Myasthenia gravis


Dikutip dari : Thanvi BR, Lo TCN. Update on myasthenia gravis. Postgrad Med J
2004;80:690-700.
Struktur NMJ bervariasi antar otot dan dapat mempengaruhi kerentanan otot terhadap MG.
Hal ini diilustrasikan oleh NMJ dari otot-otot ekstra okuler yang sangat rentan terhadap MG.
Struktur NMJ otot ekstraokuler berbeda dari otot rangka dalam beberapa hal, dimana otototot ekstraokuler memiliki lipatan sinaptik yang kurang banyak, dan karenanya memiliki
lebih sedikit AChRs postsynaptic dan saluran Na+, dan penurunan safety factor. Otot-otot ini
juga menunjukkan frekuensi neuronal firing yang sangat tinggi, yang menyebabkan otot-otot
ini rentan terhadap kelelahan. Otot-otot ekstraokuler juga lebih sedikit mengekspresikan
regulator komlemen intrinsik, yang membuat mereka lebih rentan untuk mengalami cedera
yang diperantarai komplemen.16
Pada MG dengan anti-AchR, autoantibodi dengan target reseptor asetilkolin (AchR)
mengakibatkan blokade reseptor yang tersedia untuk berinteraksi dengan Ach yang
dilepaskan dari ujung saraf. Aktivasi komplemen menarik makrofag yang aktif, yang
menyebabkan kerusakan yang signifikan pada lipatan sinaptik dan saluran natrium yang
Voltage-gated yang pada gilirannya meningkatkan ambang yang diperlukan untuk memulai

potensial aksi otot. Konsekuensi dari hilangnya AchRs dan saluran natrium adalah
berkurangnya safety favtor untuk transmisi neuromuskuler berkurang dan transmisi di
endplates gagal.
2.1.6 Gambaran Klinis
Penyakit-penyakit dengan gangguan transmisi neuromuskular, terutama MG,
memiliki gambaran klinis yang membedakannya dari penyakit neuromuskular lain. Salah
satunya adalah gambaran kelemahan yang berfluktuasi dan pola kelemahan yang cukup khas
dimana sebagian besar menunjukkan kecenderungan untuk mengenai otot yang diinervasi
oleh saraf kranial. Dasar dari hal ini tidak sepenuhnya dipahami tetapi, dalam kasus MG,
tampaknya terkait dengan perbedaan dalam jenis dan distribusi NMJ. Pola dan intensitas
kelemahan dalam MG bisa sangat bervariasi. Dapat bersifat fokal, multifokal, atau difus.
Setiap otot volunter dapat terkena, meskipun otot yang paling rentan adalah otot yang
dikendalikan oleh saraf kranial motorik.19
Biasanya, pasien datang dengan riwayat kelemahan dan kelelahan otot pada aktivitas
berkelanjutan atau berulang-ulang yang membaik setelah beristirahat. Gejala bervariasi dari
hari ke hari dan dari jam ke jam, biasanya meningkat menjelang malam. Otot-otot yang
paling sering terkena secara berurutan adalah : m. levator palpebra, otot ekstraokular, otot
proksimal ekstremitas, otot-otot ekspresi wajah, dan ekstensor leher. 13,24
Sekitar setengah dari pasien MG awalnya akan menunjukkan gejala okular saja.
Ptosis, yang sering bersifat parsial dan unilateral,merupakan gambaran yang sering dijumpai
dan bersifat fluktuatif.13,19 Kelemahan okular dengan ptosis asimetrik dan diplopia
binokular merupakan gejala awal yang peling sering dijumpai. 14 Ptosis merupakan gejala
awal pada 50-90% pasien, sementara 15% mengeluh penglihatan kabur atau diplopia. Jika
tidak muncul sebagai gejala awal, keterlibatan otot okular eksternal dijumpai pada 90-95%
dari pasien pada suatu waktu dalam perjalanan penyakitnya. Ptosis dapat lebih jelas setelah
upgaze berkelanjutan dan merupakan manuver provokatif yang sering dilakukan. Ptosis dapat
berhubungan dengan kontraksi otot frontalis ipsilateral untuk membantu mengkompensasi
kelemahan otot levator palpebra. Elevasi kelopak mata yang berlebihan atau tanda Cogans
lid twitch dapat dijumpai saat gaze diarahkan dari bawah ke atas. 13,14,19,24

Lebih dari tiga perempat pasien MG awalnya menunjukkan keluhan visual berupa
ptosis atau pandangan ganda, dan sekitar setengah pasien dengan manifestasi okular akan
menjadi general dalam enam bulan.Sekitar 80% pasien MG akan menjadi general dalam dua
tahun dan sekitar 90% dalam tiga tahun. Beberapa studi restrospektif menunjukkan bahwa
terapi awal dengan prednisolone oral dapat memperlambat onset dan tampaknya juga
memperlambat perkembangan penyakit dari miastenia okular menjadi general. 13,14,19,24
Wajah dapat terlihat tanpa ekspresi. Mulut dapat terbuka dan pasien mungkin harus
menyangga rahangnya dengan jari. Ketika pasien berusaha untuk tersenyum, wajah tampak
menyeringai. Suara dapat hypophonic karena kelemahan pita suara atau otot ekspirasi. Pasien
dapat menunjukkan disartria sebagai akibat kelemahan dari bibir, lidah, atau pipi. Kelemahan
dapat tampak lebih jelas dengan aktivitas otot. Disfonia dapat dijumpai sebagai akibat dari
kelemahan laring. Disfagia adalah gambaran umum akibat kelelahan otot yang terlibat dalam
mengunyah dan menelan.13,19 Perkembangan kelemahan pada MG biasanya terjadi dalam arah
kraniokaudal. Myasthenia gravis juga dapat mengenai ekstremitas. Kelemahan otot tungkai
terutama mengenai bagian proksimal otot.13-15,19,24 Krisis miastenia adalah suatu eksaserbasi
MG yang ditandai dengan bertambahnya kelemahan yang menyebabkan episode gagal nafas
akut yang menyebabkan ventilasi mekanik. Kelemahan dapat melibatkan otot-otot pernafasan
atau kelemahan bulbar, yang mengganggu airway. Krisis miastenia adalah komplikasi MG
yang paling berbahaya dan mengancam hidup yang memerlukan perawatan intensif. Krisis
miastenia biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama setelah onset MG (74% pasien) dan 1520% pasien dengan MG akan mengalami krisis miastenia.22
2.1.7 Diagnosa
Diagnosis MG dapat ditegakkan tanpa kesulitan pada kebanyakan pasien dari riwayat
karekteristik dan pemeriksaan fisik.

25-28

Perbaikan yang dramatis setelah injeksi neostigmine

bromide (Prostigmin) atau edrophonium (Tensilon) membuat administrasi obat ini penting
untuk MG.,26,27,29 Kekuatan otot kembali setelah adminstrasi neostigmine atau edrophonium;
jika tidak ada respon berlaku, diagnosis MG dapat diragukan. 27,29 Demonstrasi respon
farmakologi terkadang susah namun jika gejala klinis mengarahkan ke MG, harus dilakukan
tes ulang dengan dosis berbeda atau cara adminstrasi.27,29 Pemberian obat antikolinesterase
semalaman dapat membantu menegakkan diagnosis.27,29 Respon negatif palsu terhadap
edrophonium adalah terkecualikan jika ada lesi structural, seperti tumor batang otak. 27,29 (MG
dapat disertai penyakit lain seperti Graves ophtalmopati atau sindroma Lambert-Eaton.27,29

Diagnosis MG dapat juga ditegakkan dengan titer tinggi antibodi terhadap AChR
namun titer yang normal tidak mengeksklusikan diagnosis MG.28 Respon terhadap stimulasi
yang berulang-ulang dan EMG serabut tunggal juga dapat menegakkan diagnosis.11,18,28, Jika
ada timoma , diagnosis MG adalah lebih mungkin dibandingkan penyakit neuromuscular
yang lain.29
Pada tes neostigmin, dosis obat adalah 1.5 mg hingga 2.0 mg dan atrofin sulfat 0.4 mg
diberikan secara intramuskular.30 Perbaikan objektif pada tenaga otot telah tercatat pada
interval 20 menit hingga 2 jam setelah adminstrasi obat tersebut.

30

Adminstrasi edrophonium

pada dosis 1 mg hingga 10 mg.30 Dosis insial adalah 2 mg diikuti dengan 2 mg setelah 30saat
jika perlu dan tambahan dosis 5 mg dalam 15 hingga 30 saat hingga dosis maksimum 10
mg.30

Perbaikan diperhatikan dalam 30 saat dan bertahan untuk beberapa menit. 30

Kebanyakkan respon diperhatikan pada dosis kurang dari 5.0 mg. 30 Respon yang sangat
cepat dan dramatik, edrophonium adalah lebih disukai untuk evaluasi kelemahan otot okular
dan otot kranial.30 Neostigmin umumnya digunakan untuk evaluasi untuk otot tungkai atau
otot pernafasan, yang membutuhkan lebih banyak waktu.30
Pemeriksaan laboratorium pada pasien MG adalah berguna untuk konfirmasi diagnosis
gawat darurat myasthenia gravis (MG).27,28 Pemeriksaan analisa gas darah dapat membantu
penanganan respiratori.27,28 Elevasi PaCO2 dapat menunjukkan kegagalan respiratori yang
progresif dan merupakan indikasi manajemen saluran napas kegawat daruratan.27,28
Pencitraan diindikasi untuk determinasi apakah adanya pneumonia aspirasi atau
pneumonia tipe lain yang terjadi pada pasien MG. 27,28 MRI atau CT scan dada adalah sangat
akurat untuk mendeteksi timoma dan harus dilakukan pada setiap kasus baru MG. 27,28 Foto
toraks adalah tidak sensitif untuk skreening timoma.27,28
Ice pack test adalah salah satu pemeriksaan mudah yang dapat dilakukan karena
dengan

mendinginkan

otot

terutama

otot

okular

dapat

memperbaiki

transmisi

neuromuskular.27 Es batu dimasukkan ke dalam sarung tangan bedah atau dibungkus dalam
kain dan diletakkan di atas kelopak mata untuk 2 menit. 27 Tes ini positif apabila terjadi
perbaikan dari ptosis namun tes adalah kurang sensitif dan jarang dilakukan.27
Elektromiografi serabut otot tunggal dan assay untuk antibodi reseptor asetilkolinerase
digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis MG, namun tes ini jarang dapat dilakukan dalam
kondisi gawat darurat.27,28

Pemeriksaan EMG menunjukkan karekteristik yang mirip dengan subyek normal yang
diberikan relaxant otot dosis kecil sewaktu dianastesi. 27,28 Terjadinya penurunan aksi potensial
kompound otot.27,28

2.1.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding termasuk gangguan lainnya di mana tanda-tanda dan gejala utama
berupa gangguan motorik.19 Sejumlah kondisi dapat menyerupai MG, yang terdiri dari
gangguan NMJ lainnya (Lambert-Eaton syndrome, botulismus, neuromyotonia didapat, dll),
miopati dan penyakit batang otak (misalnya, iskemik, inflamasi, dan neoplastik) jika
miastenia terbatas hanya menunjukkan keterlibatan bulbar, AIDP dan varian AIDP yang
mengenai otot kranial seperti Miller-Fisher dan cervical-brAChial-pharyngeal.13,14
Lambert-Eaton syndrome adalah gangguan autoimun pada NMJ yang bermanifestasi
sebagai kelemahan otot dan sering dikaitkan dengan karsinoma paru. Botulismus dapat
menyebabkan kelemahan umum, ophthalmoplegia internal dan eksternal, dan kelumpuhan
pernapasan. Hipertiroidisme dapat dengan mudah dieksklusikan dengan uji fungsi tiroid yang
harus diperiksa secara rutin dalam evaluasi MG. Miastenia okular harus dibedakan dengan
ophthalmoplegia eksternal progresif, penyakit Graves okular dan space occupying lesion
intrakranial.13
2.1.9 Terapi
Terapi MG terdapat 5 tipe yaitu obat antikolinesterase dan plasmaperesis dimana
merupakan terapi simptomatik, manakala timektomi, steroid dan obat imunosuppresif yang
lain dapat mengubah haluan penyakit.7,11,31
Pengobatan antikolinesterase biasanya diberikan setelah diagnosa ditegakkan. 27,28,31
Terdapat 3 tipe obat antikolinesterase yang paling sering digunakan yaitu neostigmine,
pyridostigmine bromide dan ambenonium (Mytelase).

31

Pyridostigmine bromide adalah obat

paling popular antara 3 tipe obat namun belum pernah dinilai dan dibandingkan secara
terkontrol dengan obat-obatan lain.31 Efek samping muskarinik adalah kram abdominal dan
diare, pyridostigmine bromide mempunyai efek samping muskarinik yang paling kurang
dibandingkan dengan lain.31 Pyridostigmine diawali dengan dosis 60 mg secara oral setiap 4
jam sewaktu pasien sadar.31 Dosis dinaikkan tergantung pada dosis klinis namun peningkatan

manfaat

tidak diharapkan pada jumlah lebih dari 120mg setiap 2 jam. Jika pasien

mempunyai kesulitan untuk makan, obat dapat diminum 30 menit sebelum makan.31
Simptom muskarinik dapat diperbaiki dengan preparasi atropine (0.4 mg) dengan
setiap dosis pyridostigmine.31 Dosis atropine yang berlebihan dapat menyebabkan psikosis
tapi jumlah yang diminum pada regimen ini tidak mempunyai efek psikotik.31
Walaupun terapi kolinergik memberikan efek yang impresif namun terapi mempunyai
limitasi.31 Pada pasien MG generalisata, gejala pasien dapat menghilang namun terdapat
simptom yang masih menetap dan resiko krisis menetap karena penyakit tidak disembuhkan
dengan pemberian obat ini.31
Timektomi dulunya hanya dilakukan pada pasien dengan disablitias yang serious
karena timektomi dapat menyebabkan mortalitas tinggi.

31

Namun dengan kemajuan pada

pembedahan dan anestesi , mortalitas sudah berkurang pada timektomi. 31 Kira-kira 80%
pasien tanpa timoma menjadi asimptomatik atau menjadi remisi komplit setelah timektomi. 31
Makanya timektomi telah direkomendasi untuk kebanyakkan pasien dengan MG
generalisata.31 Walaupun timektomi adalah operasi mayor dan tidak direkomendasi untuk
pasien dengan myasthenia okular kecuali pasien mempunyai timoma.31
Terapi prednisone digunakan untuk persiapan pasien melakukan timektomi atau
menggunakan plasmapheresis atau terapi IVIG.31 Penukaran dengan plasmapheresis kira-kira
5% volume darah dapat diberikan beberapa kali sebelum hari pembedahan yang bertujuan
untuk memperbaiki krisis respiratori atau mencegah krisis pernafasan pasca operasi.31
Plasmapheresis digunakan untuk eksaserbasi lain yang dapat menyebabkan perbaikan pada
kebanyakan pasien.31 Plasmapheresis adalah aman namun mahal dan tidak mudah untuk
kebanyakkan pasien.31 Adminstrasi IVIG adalah lebih mudah namun adalah lebih mahal
dibandingkan plasmapheresis dan IVIG adalah lebih disukai dibandingkan plasmapheresis
terutama pada pasien akses vena yang jelek, termasuk pada anak.31
Terapi IVIG biasanya diberikan dosis 5 kali dengan jumlah 2g/kg BB. Efek
sampingnya termasuk nyeri kepala, meningitis aseptic.31 Terapi IVIG dan plasmapheresis
dapat digunakan untuk pasien MG dengan eksaserbasi.31 Jika pasien pasca timektomi masih
mengalami disablitas, prednisone 60 hingga 100 mg diberikan setiap hari untuk mencapai
respon dalam beberapa hari atau minggu.31 Setelah sudah ada perbaikan, dosis harus
diturunkan 20 hingga 35 mg setiap hari.

31

Jika pasien tidak sembuh dalam waktu 6 bulan,

azathioprine atau siklofosfamid diberikan dengan dosis 2.5 mg/kgBB setiap hari untuk orang
dewasa.31 Dosis harus dinaikkan secara gradual dan harus diminum setelah makan untuk
mencegah terasa mual. Prednison 20 hingga 35 mg dapat diberikan selang hari myasthenia
okular.31
Pasien dengan timoma sering mempunyai MG lebih parah dan kurang bisa
didefinisikan sebagai kebutuhan ventilasi yang dibantu, dimana ia merupakan kondisi yang
terjadi pada kira-kira 10% pasien MG dengan disarthria, disfagia, dan kelemahan otot
pernafasan yang telah didokumentasi.31 Pengobatan kolinergik diberhentikan setelah intubasi
dilakukan.31 Prinsip terapi adalah

memerlihara fungsi vitaldan mengelakkan atau

mengobatiinfeksi sehingga pasien pulih dari krisis tersebut.31 Terapi kolinergik tidak perlu
dimulai sehingga tanda infeksi telah hilang dan tidak ada komplikasi paru yang yang lain,
pasien dapat bernapas sendiri tanpa bantuan.31

DAFTAR PUSTAKA
1. Drachman DB. Myasthenia gravis. N Engl J Med 2001; 330: 1797-810.
2. Khadilkar S.V., Sahni A.O., Patil S.G., Myasthenia Gravis. JAPI 2004 November;
52:897-903.
3. Romi F., Gilhus N.E., Aarli J.A., Myasthenia gravis: clinical, immunological, and
therapeutic advances. Acta Neurol Scand 2005 January; 111: 134-141.
4. Beekman R., Kuks J.B.M., Oostherhius HJGH. Myasthenia gravis: diagnosis and
follow-up of 100 consecutive patients. J Neurol 2007 August; 244: 112-8.
5. Willcox N., Myasthenia gravis. Curr Opin Immunol 2003 April; 5:910-7.
6. Christensen P.B., Jensen T.S., Tsirropoulus I., et.al., Mortality and survival in
myasthenia gravis: a Danish population based study. J Neurol Neurosurg Psychiatry
2003; 64: 78-63.

7. Sanders D.B., Generalized myasthenia gravis: clinical presentation and diagnosis. 56 th


Annual Meeting. San Francisco, CA: American Academy of Neurology, 2004.
8. Brainin M., Barnes M., Baron J.C., et al. Guidance for the preparation of neurological
management guidelines by EFNS scientific task forces-revised recommendations
2004. Eur J Neurol 2004 October; 11:577-581.
9. Vincent A., Unravelling the pathogenesis of myasthenia gravis. Nat Rev Immunol
2002; 2: 797-804.
10. Hoch W, McConville J., Helms S., Newsom-Davis J., Melms A., Vincent A., Autoantibodies to the reseptor tyrosine kinase MuSK in patients with myasthenia gravis
without acethylcholine receptor antibodies. Nat Med 2001; 7: 365-368.
11. Vernino S., Lennon V.A., Autoantibody profiles and neurological correlations of
thymoma. Clin Cancer Res 2004 May; 18: 678-80.
12. Berrih S., Morel E., Gaud C., Raimond F., LeBrigand H., Bach J.F., Anti-AChR
antibodies,thymic histology, and T cell subsets in myasthenia gravis. Neurology 2001
March;34:66-71.
13. Thanvi BR, Lo TCN. Update on myasthenia gravis. Postgrad Med J 2004;80:690-700.
14. Juel VC, Massey JM. Myasthenia gravis. Orphanet Journal of Rare Disease 2007;2:4.
15. Romi F, Gilus NE, Aarli JA. Myestenia gravis; Clinical, imunological, and therapeutic
advances. Acta Neurol Scand 2005;111:134-141.
16. Conti-fine Bm, Milani M, Kamiski HJ. Myesthenia gravis: past, presenta, and future.
J Clin Invest 2006; 116:2843-54.
17. Vincent A. Immunology of disorders of neuromuscular transmisoan. Acta Neurol
Scand 2006; 113(Suppl 183):1-7.
18. Hill M. The Neuromuscular Junction Disorder. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2003:
74 (suppl II): ii32-ii37.
19. Amato AA, Russel JA. Neuromuscular disorders. New York: MCGraw-Hill;2008.p
458-508.
20. Carr AS, Cardwell CR, McCarron PO, et al. A systematic review of population based
epidemiological studies in Myastenia gravis. BMC Neurology 2010;10:46.
21. Katz LJ, Laser RL, Merikangs JR, et al. Ocular myastenia gravis after D-Penicilamine
Adminitration. Britist journal of ophtalmology 1989; 73:1015-18.
22. Ruff RI. Neuromuscular junction physiology abd patophysiology. In:kamiski HJ,
editor. Myastenia Gravis and related disorder. Totowa, New jersey: Humana Pers;
2003. P1-13.
23. OnoderaH. The role of the thymus in the pathogenesis of yasthenia Gravis Tohoku j
Exp Med 2005;207:87-98.

24. Kuks JBM, Oosterhuis HJGH. Clinical presentation and epidemiology of myastenia
gravis. In: Kaminski HJ, edior. Myastenia Gravis and related disorder Totawa, New
Jersey: Humana Pers; 2003. P93-113.
25. Brenner T., et.al., The role of readthrough acetylcholinesterase in the pathophysiology
of myasthenia gravus. FASEB J. 2003 December;17:214-222.
26. Bradley W.G., Neurology in Clinical Practice. Elsevier Science and and Technology
Books; 4th Edition Volume 2:2441-60.
27. Almeida D.F., Radaeli R.F., Melo A.C., Ice pack test in the diagnosis of Myasthenia
Gravis. Arq Neuropsiquitr. 2008 May; 66:96-98.
28. Skeie G.O., Apostolski A., Evoli A., Gilhus E., Illa I., Harms L., Melms A., Horge
H.W., Verschuuren J., Guidelines for treatment of autoimmune neuromuscular
29. transmission disorders. European Journal of Neurology. 2010 February:10; 1-7.
30. Meriggiolo M.N., Sanders D.B., Autoimmune myasthenia gravis: emerging clinical
and biological heterogeneity.The lancet Neurology. 2009 May;8: 475-486.
31. Richman D.P., Agius M.A., Treatment of myasthenia gravis. Neurology. 2003
December; 61: 1652-1659.
32. Ronager J., Ravnborg M., Hermansen I., Vorstrup S., Immunoglobulin treatment

versus plasma exchange in patients with chronic moderate to severe myasthenia


gravis. Artif Organs 2001 March;25:967-973.

Anda mungkin juga menyukai