Anda di halaman 1dari 3

Menurut ketentuan dalam pasal 62 ayat 2 undang-undang Dasar nedherland, pemerintahan

umum di Hindia Belanda dilakukan oleh gubernur jendral atas nama raja. Pemerintahan
dilaksanakan sesua dengan Indese Staatsregeling dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk raja.
Gubernur jendral diangkat dan di berhentikan oleh raja, sedang kepada mentri mengurusi urusan
daerah jajahan (minister van kolonien ). Di masa pemerintahan kolonial belanda saat itu,
terdapat 3 lembaga pemerintahnnya :

1. Bidang perundang-perundangan (wetgeving )/ legislatif


Dalam hal

perundang-undang gubernur jendral membuat perjanjian-

perjanjian dengan raja-raja dan rakyat Indonesia . Berdasarkan ketentuan


pasal 81-100 I.S. hal-hal yang di tetapkan dalam perundang-undanagn
tersebut antara lain :
a. Regeringsverordeningen
peraturan

umum

penetapannya

(peraturan

untuk

pemerintahan

melaksanakan

berisi

tentang

undang-undang

bila

ditugaskan kepadanya. Dalam Regeringsverordeningen

dapat diadakan ancaman pidana pada pelanggarnya.

b. Ordonansi , bisi tentang :


Hal-hal mengenai urusan-urusan di Hindia Belanda yang tidak tertulis dalam

2.

undang-undang dasar, indise staatregeling atau wet-wet.


Hal-hal yang menurut A.M.V.B harus di atur dalam ordonansi
Bidang pelaksanaan (uitvoering ) /eksekutif
Sebelum tahun 1900 (sebelum sistem politik Etis) sistem pemerintahan untuk daerah
jajahan (Hindia Belanda) masih bersifat sentralistis. Dimana:

Tidak ada partisipasi dari perangkat lokal segala sesuatu diatur oleh pemerintah
pusat.

Tidak ada sama sekali otonomi untuk mengatur sendiri rumah tangga daerah sesuai
dengan kepentingan daerah.

Tujuan di terapkannya sentralisasi


Sentralisasi dipandang sebagai cara terbaik oleh pemerintah Belanda untuk
memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Oleh karena itu, dengan sentralisasi
Belanda dapat mempertahankan tanah jajahannya.
Sentralisasi sebagai bentuk ketakutan Belanda untuk kehilangan tanah jajahannya
sebagai daerah keuntungan.

Bagi Belanda kehilangan Indonesia berarti sebuah malapetaka.


Pada perkembangannya muncul tuntutan adanya desentralisasi sejak tahun 1854
dimana parlemen Belanda berhak mengawasi pelaksanaan pemerintahan di Hindia
Belanda. Desentralisasi adalah pembagian wewenang atau urusan penyelenggaraan
pemerintahan Tuntutan tersebut secara perlahan terwujud diawali dengan adanya
desentralisasi keuangan (1903), kemudian baru adanya pemerintahan daerah baru
(1922). Berdasarkan Undang-undang Perubahan tahun 1922 Hindia Belanda dibagi
dalam provinsi dan wilayah (gewest)
1. Provinsi
Provinsi memiliki otonomi.Tiap provinsi dikepalai oleh seorang gubernur.
Ada 3 provinsi yaitu Jawa Barat (1926),Jawa Timur (1929), dan Jawa
Tengah(1930).
2. Gewest (wilayah)
Gewest tidak memiliki otonomi.
Sampai tahun 1938 Hindia Belanda terbagi menjadi 8 gewest yang terdiri dari:
3 Provinsi
5 Gewesten

: Jawa Barat,Jawa Timur, dan Jawa Tengah.


: Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Gewest Sumatera,

Gewest Kalimantan (Borneo), Gewest Timur Besar (Grote Oost) yang terdiri dari
Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan Irian Barat.
Untuk Surakarta dan Yogyakarta termasuk Gubernemen yaitu wilayah yang
langsung diperintah oleh pejabat-pejabat gubernemen.
3. Bidang pengadilan (rechtspraak ) /yudikatif
Dalam bidang peradilan , seorang gubernur jendral apbila sudah mendengar pertimbangan
hooggerechtshof, dia berwenang untuk

memberi grasi pada pidana yang terlibat dalam

pengadilan. Dalam hal ini, hukumn mati tidak dilkasanakan, jika grasi di berikan oleh gubernur
jendral
Sepanjang mengenai raja-raja atau kepala-kepala daerah yang ada di Indonesia,
persetujuan dari rad van nedherlannds indie, dapat memberi amnesti dan abolisi. Izin dari
gubernur jendral ini di perlukan untuk mengjukan tuntutan perdata atau tuntutan pidana pada
raja-raja atau kepal daerah Indonesia ang di sebut dalam ordonasi

Anda mungkin juga menyukai