Diajukan untuk Memenuhi Tugas Praktikum BFFK pada Semester 7 Program Studi
Farmasi Angkatan 2013
OLEH
KELOMPOK 1
Ahmad Hasyim Abbas
1113102000010
Aisyah
1113102000030
Puspa Novadianti S.
1113102000028
1113102000049
KELAS B
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Metode yang teliti dan akurat dibutuhkan dalam penetapan kadar
parasetamol dalam suatu sediaan. Sebelum menetapkan kadar parasetamol terlebih
dahulu dilakukan validasi metode. Prosedur validasi metode digunakan untuk
membuktikan bahwa metode analisis memberikan hasil yang sesuai dan ketelitian
dan kecermatan tinggi. Pembuatan kurva kalibrasi dan penentuan panjang
gelombang maksimum termasuk ke dalam langkah validasi metode. Praktikum
BFFK kali ini bertujuan untuk menetapkan kurva kalibrasi dan panjang
gelombang maksimum menggunakan metode analisis spektrofotometri UV-Vis.
Spektrofotometri Sinar Tampak (UV-Vis) adalah pengukuran energi cahaya
oleh suatu sistem kimia pada panjang gelombang tertentu (Day dan Underwood,
2002). Pengukuran spektrofotometri menggunakan alat spektrofotometer yang
melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis,
sehingga spektrofotometer UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif
dibandingkan kualitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan
dengan
mengukur
absorban
pada
panjang
gelombang
tertentu
dengan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Parasetamol (Acetaminophen)
Struktur Kimia
Kandungan
Rumus Kimia
BM
Pemerian
Kelarutan
:
:
:
:
Penetapan Kadar
seksama
sejumlah
Au
As
Kegunaan
:
:
:
:
NaOH
40
Alkalizing agent; buffering agent
Massa berwarna putih atau hamper putih. Biasa
berbentuk small pellets, flakes, sticks dan berbagai
bentuk. Jika terkena udara cepat menyerap karbon
Titik leleh
Kelarutan
Stabilitas
:
:
Inkompatibilitas
Penyimpanan
(UV-Vis). Spektrum absorbsi daerah ini adalah sekitar 220 nm sampai 800 nm
dan dinyatakan sebagai spectrum elektron. Suatu spektrum ultraviolet meliputi
bagian Ultraviolet (190-380nm) dan (spektrum Visibel) bagian sinar tampak (380780). Instrumentasi dari spektrofotometer UV-Vis ini dapat diuraikan sebagai
berikut.
1. Sumber energi cahaya yang berkesinambungan yang meliputi daerah
spektrum yang mana alat tersebut dirancang untuk beroperasi
2. Monokromator, yaitu sebuah perangkat untuk mempersempit panjang
gelombang dari spectrum lebar ysng dipancarrkan oleh sumber cahaya
3. Wadah untuk sampel (kufet)
4. Detektor, berupa transduser yang mengubah energi cahaya menjadi isyarat
listrik
5. Amplifier dan rangkaian untuk memembuat isyarat dapat dibaca
6. Sistem baca
(Ibnu Ghalib, 2009; Hal 261)
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1
Bahan
a. Air suling;
b. Parasetamol.
3.1.2
Alat
a. Alat-alat gelas laboratorium;
b. spektrofotometer UV-Vis;
c. mikropipet dan tip.
V1 = 0,3 ml / 300 l
5. 14 ppm dalam labu ukur 25 ml
V1.N1 = V2.N2
V1. 1000 ppm = 25 ml. 14 ppm
V1 = 350/1000
V1 = 0,35 ml / 350 l
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
Gambar
Keterangan
Pembuatan larutan
Perhitungan
Mr NaOH = 40
alkali 0,1 N
N NAOH = 0.1
V= 500 mL
N =
gram
Mr
1000
500
1.1 =
gram
40
1000
500
1.1 =
gram
40
x2
4
2
= 2 gram
Pembuatan larutan
induk parasetamol
(1000 ppm)
x
100 ml
1000 ppm =
1 mg
ml
x
100 ml
= 100 mg
Pengenceran larutan
parasetamol 10 ppm
V1.M1
= V2. M2
(labu 10 mL)
= 0,1 ml =100 l
Pengukuran larutan
parasetamol 10 ppm
= 256 nm
dengan menggunakan
alat spektrofotometri
Absorbansi = 0,388
Pembuatan seri
Konsentrasi 6 ppm :
konsentrasi larutan
V1.M1 = V2.M2
parasetamol
(menggunakan labu 25
mL)
=
25 ml .6 ppm
1000 ppm
= 0.15 ml = 150 l
Konsentrasi 8 ppm :
V1.M1 = V2.M2
25 ml . 8 ppm = X . 1000 ppm
=
25 ml .8 ppm
1000 ppm
= 0.2 ml = 200 l
Konsentrasi 12 ppm :
V1.M1 = V2.M2
25 ml . 12 ppm = X . 1000 ppm
X
=
25 ml .12 ppm
1000 ppm
= 0.3 ml = 300 l
Konsentrasi 14 ppm :
V1.M1 = V2.M2
25 ml . 14 ppm = X . 1000 ppm
X
=
25 ml .14 ppm
1000 ppm
= 0.35 ml = 350 l
Peak
1
2
Panjang gelombang
256 nm
215,5 nm
Absorbansi (A)
0,388
0,755
Absorbansi
0,214
0,281
0,540
0,669
0.4
0.2
0
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Konsentrasi (ppm)
a
Linear (a)
Konsentrasi (ppm)
Absorbansi 1
Absorbansi 2
6
8
10
12
14
0,212
0,277
0,330
0,415
0,512
0,212
0,279
0,331
0,414
0,512
Absorbansi ratarata
0,212
0,278
0,330
0,414
0,512
0.4
Absorbansi
0.3
a
Linear (a)
0.2
0.1
0
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Konsentrasi (ppm)
Absorbansi
0,262
0,335
0,405
0,483
0.4
Absorbansi
0.3
A
Linear (A)
0.2
0.1
0
7
9 10 11 12 13 14 15
Konsentrasi (ppm)
Absorbansi
0,254
0,331
0,398
0,482
0.4
Absorbansi
A
Linear (A)
0.2
0
7
9 10 11 12 13 14 15
Konsentrasi (ppm)
Absorbansi 1
Absorbansi 2
Absorbansi rata-
4
6
8
10
0,276
0,442
0,588
0,734
rata
0,287
0,44
0,587
0,733
0,297
0,438
0,585
0,731
0.6
0.4
Absorbansi
A
Linear (A)
0.2
0
3 4 5 6 7 8 9 10 11
Konsentrasi (ppm)
Absorbansi
0,17
0,426
0,609
0.4
Linear (a)
0.2
0
1
Konsentrasi (ppm)
4.2 Pembahasan
Ketersediaan hayati merupakan kecepatan dan jumlah obat yang
mencapai sirkulasi sistemik dan secara keseluruhan menunjukkan kinetik dan
perbandingan zat aktif yang mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat yang
diberikan.Ketersediaan hayati obat yang diformulasikan menjadi sediaan farmasi
merupakan bagian dari salah satu tujuan rancangan bentuk sediaan dan yang
terpenting untuk keefektifan obat tersebut. Pengkajian terhadap ketersediaan
hayati ini tergantung pada absorpsi obat dalam sirkulasi umum serta pengukuran
dari obat yang terabsorpsi tersebut. Dalam menaksir ketersediaan hayati ada tiga
parameter yang biasanya di ukur yaitu konsentrasi dalam darah dan waktu dari
obat yang diberikan.
1. Konsentrasi puncak (Cmax), menggambarkan konsentrasi obat tertinggi
dalam sirulasi sistemik. Konsentrasi ini tergantung pada konstanta absorpsi, dosis,
volume distribusi dan waktu pencapaian konsentrasi obat maksimum dalam darah.
Konsentrasi puncak sering kali di kaitkan dengan intensitas respon biologis dan
harus diatas MEC (minimum effect concentration) dan tidak melebihi MTC
(minimum toxic concentration)
2. Waktu untuk konsentrasi puncak (tmax), menggambarkan lamanya waktu
tersedia untuk mencapai konsentrasi puncak dari obat sirkulasi sistemik.
3. Luas daerah di bawah kurva (AUC), merupakan total area di bawah kurva
konsentrasi vs waktu yang menggambarkan perkiraan jumlah obat yang berapa
dalam sirkulasi sistemik.
Untuk menghitung kadar obat dalam darah diperlukan kurva standar yang
akan kita gunakan dalam menghitung kadar obat dalam darah atau matriks lainnya
sehingga dengan mengetahui kadar obat dalam darah kita bisa mengetahui
bioavailabilitas dari obat tersebut serta menilai keefektifan obat dalam mengobati
suatu penyakit.
Pada praktikum ini dilakukan pembuatan kurva standar parasetamol yang
nantinya akan kita gunakan untuk menentukan konsentrasi obat parasetamol
dalam darah sehingga biovailabilitas obat dalam tubuh bisa kita tentukan.
Sebelum dilakukan pembuatan kurva kalibrasi, terlebih dahulu di lakukan
penentuan panjang gelombang maksimum dan pembuatan larutan parasetamol.
Larutan parasetamol di buat dengan menggunakan larutan alkali NaOH 0,1 N
dengan konsentrasi 1000 ppm sebagai larutan induk. Dari larutan induk tersebut,
di buat pengenceran menjadi larutan parasetamol dengan konsentrasi 10 ppm.
Larutan parasetamol 10 ppm ini di pakai untuk menentukan panjang gelombang
maksimum dengan menggunakan spektrofotometri dan larutan NaOH sebagai
blanko.
Pada praktikum ini seharusnya dilakukan prosedur operating time
terlebih dahulu sebelum menentukan panjang gelombang maksimum parasetamol,
namun hal ini tidak dilakukan karena operating time dilakukan apabila sampel
yang akan di ukur mengandung zat warna sedangkan pada praktikum ini sampel
(larutan parasetamol) yang digunakan tidak mengandung zat warna.
Panjang golombang larutan parasetamol yang di ukur menggunakan
spektrofotometri adalah 256 nm dan di dapat nilai absorbansi parasetamol yaitu
0,388. Panjang gelombang maksimum yang di peroleh tidak terlalu jauh dengan
panjang gelombang maksimum parasetamol menurut referensi yaitu 257-258 nm.
Nilai serapan yang baik berkisar antara 0,2-0,8. Karena absorbansi yang di
peroleh pada larutan parasetamol 10 ppm adalah 0,388 sehingga seri konsentrasi
yang di buat untuk membuat kurva standar adalah 2 konsentrasi di bawah 10 ppm
dan 2 konsentrasi diatas 10 ppm. Hal ini di tujukan agar serapan yang diperoleh
nanti tidak kurang dari 0,2 dan tidak lebih dari 0,8. Seri konsentrasi yang di buat
untuk membuat kurva standar parasetamol adalah 6 ppm, 8 ppm, 10 ppm, 12 ppm
dan 14 ppm.
Seri konsentrasi yang telah di siapkan kemudian di ukur absorbansinya
menggunakan spektrofotometri dan larutan NaOH sebagai larutan blanko pada
panjang gelombang maksimum yang telah di peroleh sebelumnya yaitu 256 nm.
Dari data tersebut di peroleh absorbansi sebagai berikut.
Konsentrasi (ppm)
6
8
10
Absorbansi
0,214
0,281
0,358
12
14
0,540
0,669
0.4
a
Linear (a)
0.2
0
5 6 7 8 9 101112131415
Konsentrasi (ppm)
alat
praktikum
yang
kurang
memadai
dalam
melakukan
pengenceran, yaitu perbedaan labu ukur yang digunakan, labu ukur yang
digunakan untuk membuat larutan konsentrasi 10 ppm adalah labu ukur 10 ml
sedangkan labu ukur yang digunakan untuk membuat larutan konsentrasi 6 ppm, 8
ppm, 12 ppm, dan 14 ppm adalah labu ukur 25 ml. Perbedaan volume labu ukur
yang digunakan bisa mempengaruhi nilai absorbansi dari larutan parasetamol.
Selain itu, kemurnian parasetamol yang dipakai dalam praktikum juga
bisa mempengaruhi nilai absorbansi dari larutan parasetamol. Pemakaian larutan
parasetamol yang sudah lama di buat memungkinkan terjadinya kontaminasi
sehingga banyak pengotor yang ikut terdeteksi akibatnya absorbansi nya
terganggu. Hal ini bisa kita amati dari hasil kurva standar kelompok lain
(kelompok 1 & 2 A) yang memakai larutan parasetamol yang baru dibuat
menghasilkan absorbansi dan nilai r yang bagus yaitu 0,999. Sedangkan kelompok
0.4
a
Linear (a)
0.2
0
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Konsentrasi (ppm)
Gambar 4.1 Kurva Standar Kelompok yang Memakai Larutan Parasetamol yang Telah
Dibuat Beberapa Jam Sebelum Praktikum
0.6
Absorbansi
A
Linear (A)
0.4
0.2
0
3
10 11
Konsentrasi (ppm)
Gambar 4.2 Kurva Standar Kelompok yang Memakai Larutan Parasetamol yang Baru
Dibuat
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Panjang gelombang maksimum larutan parasetamol adalah 256 nm
2. Dari kurva standar parasetamol diperoleh persamaan y = 0,0584x - 0,1585
3. Kurva yang di hasilkan linier dengan nilai r = 0,9902
4. Beberapa faktor yang mempengaruhi nilai koefisien relasi adalah :
5. Human error dan tidak telitinya praktikan dalam pembuatan larutan induk
parasetamol dan pengenceran larutan parasetamol
6. Penggunaan labu ukur yang berbeda dalam membuat larutan seri konsentrasi
5.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, L. V. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients, Sixth Edition. London :
Pharmaceutical Press and American Pharmacists Assosiation; Hal. 648).
British Pharmacopoeia. 2009. British Pharmacopoeia, Volume I & II. London:
Medicines and Healthcare Products Regulatory Agency (MHRA); Hal.4548
Day, R. A. and A. L. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi Keenam.
Jakarta. Penerbit Erlangga.
Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I.
Hal. 649) (Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th Ed, 2009; Hal. 648)
Rohman, Abdul. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Shargel, Leon. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga University
Press.
Tulandi, Grace Pricilia,. Sri Sudewi dan Astuty Widya. 2015. Validasi Metode Analisis
untuk
Penetapan
Kadar
Parasetamol
dalam
Sediaan
Tablet
secara