Disusun Oleh :
INDRIATI RAHMI
201520461011103
LEMBAR PEGESAHAN
Laporan pendahuluan, asuhan keperawatan dan resume keperawatan ini dibuat dalam
rangka Praktik Profesi Ners mahasiswa S1 keperawatan Universitas Muhammadiyah
Malang di Unit Hemodialisa RS dr. Soepraoen Malang mulai tanggal 26 September
01 Okteober 2016
Malang, 28 September 2016
Nama Mahasiswa (Ners Muda)
Mengetahui
Pembimbing Institusi
(.......)
Pembimbing Lahan
(.....)
Kidney
Disease)
terjadi
apabila
kedua
ginjal
sudah
tidak
mampu
indikasi
CKD
pada
penderita
kelainan
bawaan
B. KLASIFIKASI
Klasifikasi
gagal
ginjal
kronis
berdasarkan
derajat
(stage)
LFG
(Laju
Penjelasan
t
I
II
III
IV
>90 ml/mim
60-89 ml/min
30-59 ml/min
15-29 ml/min
Gagal ginjal
>15 ml/min
Sumber: Suduyono, 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jakarta: FKUI
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test ) dapat
digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatinin serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
C. ETIOLOGI
Dibawah ini ada beberapa penyebab CKD menurut Price, dan Wilson (2006)
diantaranya adalah tubula intestinal, penyakit peradangan, penyakit vaskuler hipertensif,
gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik, nefropati
toksik, nefropati obsruktif. Beberapa contoh dari golongan penyakit tersebut adalah :
1. Penyakit infeksi tubulointerstinal seperti pielo nefritis kronik dan refluks nefropati.
2. Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskular seperti hipertensi, nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, dan
stenosis arteria renalis.
4. Gangguan jaringan ikat seperti Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, dan
seklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit ginjal polikistik, dan asidosis tubulus
ginjal.
6. Penyakit metabolik seperti diabetes militus, gout, dan hiperparatiroidisme, serta amiloidosis.
7. Nefropati toksik seperti penyalah gunaan analgetik, dan nefropati timah.
8. Nefropati obstruktif seperti traktus urinarius bagian atas yang terdiri dari batu, neoplasma,
fibrosis retroperitoneal. Traktus urinarius bagian bawah yang terdiri dari hipertropi prostat,
setriktur uretra, anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra.
D. MANIFESTASI KLINIS
Karena pada CKD setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka
pasien akan menunjukkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala
tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, dan kondisi lain yang mendasari.
Manifestasi yang terjadi pada CKD antara lain terjadi pada sistem kardio vaskuler,
dermatologi, gastro intestinal, neurologis, pulmoner, muskuloskletal dan psiko-sosial
menurut Smeltzer, dan Bare (2001) diantaranya adalah :
1. Kardiovaskuler :
a. Hipertensi, yang diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem renin
angiotensin aldosteron.
b. Gagal jantung kongestif.
c. Edema pulmoner, akibat dari cairan yang berlebih.
2. Dermatologi seperti Pruritis, yaitu penumpukan urea pada lapisan kulit.
3. Gastrointestinal seperti anoreksia atau kehilangan nafsu makan, mual sampai dengan
terjadinya muntah.
4. Neuromuskuler seperti terjadinya perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi,
kedutan otot sampai kejang.
5. Pulmoner seperti adanya seputum kental dan liat, pernapasan dangkal, kusmol, sampai
terjadinya edema pulmonal.
6. Muskuloskletal seperti terjadinya fraktur karena kekurangan kalsium dan
pengeroposan
E. KOMPLIKASI
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa
komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer (2010) & Udjianti (2010) antara lain
adalah :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan
diit berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin angiotensin
aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar alumunium
6.
7.
8.
9.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Price & Wilson (2006) pemeriksaan penunjang untuk gagal ginjal kronik adalah
sebagai berikut :
a. Radiologi : ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal.
1. Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya
massa kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagianatas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa.
b. Foto Polos Abdomen : menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah batu atau
obstruksi lain.
c. Pielografi Intravena : menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi
penurunan faal ginjal pada usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
d. USG : menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal , anatomi sistem
pelviokalises, dan ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem
pelviokalises dan ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
e. Renogram : menilai fungsi ginjal kanan dan kiri , lokasi gangguan (vaskuler,
parenkhim) serta sisa fungsi ginjal.
f. Pemeriksaan Radiologi Jantung : mencari adanya kardiomegali, efusi perikarditis.
g. Pemeriksaan Radiologi Tulang : mencari osteodistrofi (terutama pada falangks /jari)
kalsifikasi metatastik.
h. Pemeriksaan Radiologi Paru : mencari uremik lung yang disebabkan karena
bendungan.
i. Pemeriksaan Pielografi Retrograde : dilakukan bila dicurigai adanya obstruksi yang
reversible.
j. EKG : untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia).
k. Biopsi Ginjal : dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal kronis
atau perlu untuk mengetahui etiologinya.
(anuria)
Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri, lemak,
partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya
berat).
Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio
natrium.
Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan
78 g/dL
SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada azotemia.
GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil
akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun, PCO2 menurun .
Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal kehabisan Natrium atas normal
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan terhadap CKD meliputi :
1. Restriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat.
2. Obat-obatan : diuretik untuk meningkatkan urinasi; alumunium hidroksida untuk
terapi hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta diberi obat yang
dapat menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa bila terjadi anemia.
3. Dialisis
4. Transplantasi ginjal
(Reeves, Roux, Lockhart, 2001)
Menurut Price & Wilson (2006) penatalaksanaan dari CKD berdasarkan derajat LFG
nya, yaitu:
Menurut Suwitra (2006) penatalaksanaan untuk CKD secara umum antara lain
adalah sebagai berikut :
1. Waktu yang tepat dalam penatalaksanaan penyakit dasar CKD adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga peningkatan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasono grafi, biopsi serta pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya bila LFG sudah menurun sampai 2030 % dari normal terapi dari penyakit
dasar sudah tidak bermanfaat.
2. Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
penyakit CKD, hal tersebut untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat
memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tak terkontrol, infeksi traktus urinarius,
obstruksi traktus urinarius, obatobat nefrotoksik, bahan radio kontras, atau
peningkatan aktifitas penyakit dasarnya. Pembatasan cairan dan elektrolit pada
penyakit CKD sangat diperlukan. Hal tersebut diperlukan untuk mencegah terjadinya
edema dan komplikasi kardiovaskuler. Asupan cairan diatur seimbang antara masukan
dan pengeluaran urin serta Insesible Water Loss (IWL). Dengan asumsi antara 500-800
ml/hari yang sesuai dengan luas tubuh. Elektrolit yang harus diawasi dalam asupannya
adalah natrium dan kalium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemi dapat
mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu pembatasan obat dan
makanan yang mengandung kalium (sayuran dan buah) harus dibatasi dalam jumlah
3,55,5 mEg/lt. sedangkan pada natrium dibatasi untuk menghindari terjadinya
hipertensi dan edema. Jumlah garam disetarakan dengan tekanan darah dan adanya
edema.
3. Menghambat perburukan fungsi ginjal. Penyebab turunnya fungsi ginjal adalah
hiperventilasi glomerulus yaitu :
a) Batasan asupan protein, mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt, sedangkan diatas
batasan tersebut tidak dianjurkan pembatasan protein. Protein yang dibatasi antara
0,6-0,8/kg BB/hr, yang 0,35-0,50 gr diantaranya protein nilai biologis tinggi.
Kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/ kg BB/hr dalam pemberian diit. Protein
perlu dilakukan pembatasan dengan ketat, karena protein akan dipecah dan
diencerkan melalui ginjal, tidak seperti karbohidrat. Namun saat terjadi malnutrisi
masukan protein dapat ditingkatkan sedikit, selain itu makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, fosfor, sulfur, dan ion anorganik lain yang diekresikan
melalui ginjal. Selain itu pembatasan protein bertujuan untuk membatasi asupan
fosfat karena fosfat dan protein berasal dari sumber yang sama, agar tidak terjadi
hiperfosfatemia.
b) Terapi farmakologi untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
anti hipertensi disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko komplikasi pada
kardiovaskuler juga penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron
dengan cara mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.
Selain itu pemakaian obat hipertensi seperti penghambat enzim konverting
angiotensin (Angiotensin Converting Enzim / ACE inhibitor) dapat memperlambat
perburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi akibat mekanisme kerjanya sebagai anti
hipertensi dan anti proteinuri.
4. Pencegahan dan terapi penyakit kardio faskuler merupakan hal yang penting, karena
40-45 % kematian pada penderita CKD disebabkan oleh penyakit komplikasinya pada
kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk pencegahan dan terapi penyakit vaskuler
adalah pengendalian hipertensi, DM, dislipidemia, anemia, hiperfosvatemia, dan terapi
pada kelebian cairan dan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi
terhadap komplikasi CKD secara keseluruhan.
5. CKD mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat
penurunan LFG. Seperti anemia dilakukan penambahan / tranfusi eritropoitin.
Pemberian kalsitrol untuk mengatasi osteodistrasi renal. Namun dalam pemakaiannya
harus dipertimbangkan karena dapat meningkatkan absorsi fosfat.
6. Terapi dialisis dan transplantasi dapat dilakukan pada tahap CKD derajat 4-5. Terapi
ini biasanya disebut dengan terapi pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal dilakukan
pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit.
Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal
(Suwitra, 2006).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi
tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN)
> 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah
dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal
buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel
(hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur
yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang
mahal (Rahardjo, 2006).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal
alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
Dialysis : Membersihkan tubuh dari zat sisa-sisa metabolisme dan kelebihan cairan.
Atau disebut DPMB (Dialysis Peritoneal Mandiri Berkesinambungan)
B. PROSES CAPD
1. Proses dialysis peritoneal ini tidak menimbulkan rasa sakit.
2. Membutuhkan waktu yang singkat, terdiri dari 3 langkah.
a. Pertama, masukkan dialisat berlangsung selama 10 menit
b. Kedua, cairan dibiarkan dalam rongga perut untuk selama periode waktu
tertentu (4-6 jam)
c. Ketiga,
pengeluaran
cairan
yang
berlangsung
selama
20
menit
Ketiga proses diatas dilakukan beberapa kali tergantung kebutuhan dan bisa
dilakukan oleh pasien sendiri secara mandiri setelah dilatih dan tidak perlu ke
rumah sakit
Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan metabolic yang
cepat (hemodinamik yang tidak stabil)
Hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary yang tidak
responsive terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis peritoneal.
D. KONTRAINDIKASI CAPD
-
Adhesi abdominal
Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat kelainan pada
discus intervertebalis yang dapat diperburuk dengan adanya tekanan cairan dialisis
dalam abdomen yang kontinyu
1. Efektifitas CAPD
Selain bisa dikerjakan sendiri, proses penggantian cairan dengan cara CAPD lebih
hemat waktu dan biaya, tak menimbulkan rasa sakit, dan fungsi ginjal yang masih tersisa
dapat dipertahankan lebih lama (Wurjanto, 2010). Menurut Wurjanto, CAPD adalah cara
penanganan penderita gagal ginjal, yakni dialisis yang dilakukan melalui rongga
peritoneum (rongga perut) di mana yang berfungsi sebagai filter adalah selaput/membran.
Cara kerjanya, diawali dengan memasukkan cairan dialisis ke dalam rongga perut melalui
selang kateter yang telah ditanam dalam rongga perut. Teknik ini memanfaatkan selaput
rongga perut untuk menyaring dan membersihkan darah. Ketika cairan dialisis berada
dalam rongga perut, zat-zat di dalam darah akan dibersihkan, juga kelebihan air akan
ditarik. Cara CAPD antara lain hanya butuh 30 menit, dilakukan di rumah oleh pasien
bersangkutan, tidak ada tusukan jarum yang menyakitkan, fungsi ginjal yang tersisa bisa
lebih lama, dialisis dapat dilakukan setiap saa, dan pasiennya lebih bebas atau dapat
bekerja seperti biasa (Wurjanto, 2010).
2. Keuntungan CAPD dibandingkan HD :
Terdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis peritoneal:
a) Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti diketahui sebenarnya
saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih tersisa sedikit. Di samping untuk
membersihkan kotoran, fungsi ginjal (keseluruhan) yang penting lainnya adalah
mengeluarkan eritropoetin (zat yang bisa meningkatkan HB) dan pelbagai hormon
seks. Berbeda dengan dialisis yang lain, dialisis peritoneal tidak mematikan fungsifungsi tersebut.
b) Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan hemodialisis
pada tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun pada akhirnya, semua mempunyai
usia juga, tetapi diketahui bahwa pada tahun-tahun pertama penggunaan dialisis
peritoneal menyatakan angka bertahan hidup bisa sama atau relatif lebih tinggi.
c) Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya untuk tenaga/fasilitas
kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004).
Hemodialisa (HD)
Segi
dilakukan
di
kepraktisan
rumah/tempat
kerja,
Sekali cuci darah Rp. 500 ribu-1 juta, Satu kantong dialisat (cairan
seminggu bisa 2-3 kali. Total biaya pencuci darah) Rp. 40 ribu
per bulannya akan mencapai akan sehari penggantian dialisat.
mencapai Rp. 4-5 juta
Biaya
per
bulannya
Resiko
komplikasi
menurun
karena
dipaksa
lebih
tinggi
dengan
untuk
penurunan kadar Hb
mengimbangi dibutuhkan
sehingga
lebih
sedikit
infeksi
sehingga
kebersihan
A.
C. Diagnosa
D. Tujuan & KH
E. (NIC = Nursin
Keperawatan
G. Kelebihan
Intervensi Keper
volume
I. Tujuan:
J. Setelah
M.
dilakukan
natrium.
K. Kriteria Hasil:
Fluid Management
H.
dari
edema,
efusi,
anasarka
Bunyi nafas bersih,tidak adanya
dipsnea
Memilihara tekanan vena sentral,
tekanan
kapiler
paru,
output
cairan
Kolaborasi pemberian cai
N.
Hemodialysis the
vita
panj
keterbatasan cairan
O.
P. Gangguan
kurang
nutrisi
R. Setelah
dari
mual
muntah.
Q.
dilakukan
asuhan
U.
X.
3
Y. Perubahan
pola
napas berhubungan
dengan
hiperventilasi paru
V.
Z. Setelah
dilakukan
asuhan
AC.
Respirator
dan
dyspneu
(mampu
mengeluarkan
sputum,
mampu
AD.
1.
2.
3.
4.
5.
Oxygen Th
normal
AH.
perfusi
dilakukan
AK.
Circulator
jaringan
berhubungan dengan
penurunan suplai O2
adekuat.
dan
nutrisi
ke
jaringan sekunder.
AG.
H. Patofisiologi
AL.
AM.
Setelah
ekstremitas).
2. Kaji nyeri
3. Inspeksi kulit dan Palp
4. Atur posisi pasien, eks
memperbaiki sirkulasi
5. Monitor status cairan i
6. Evaluasi nadi, oedema
AN.
DAFTAR PUSTAKA
1. Syamsir. 2007. Asuhan Keperawatan Sistem Pencernaan dan Kardiovaskuler Dengan
Pendekatan Patofisiology. Magelang. Poltekes Semarang PSIK
2. Brunner dan Suddarth. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
2 Edisi8. Jakarta : EGC.
Volume