Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

DEPARTEMEN KEPERAWATAN DASAR


CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
RUANG HEMODIALISA DI RUMAH SAKIT Dr. SOEPRAOEN

Disusun Oleh :
INDRIATI RAHMI
201520461011103

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016

LEMBAR PEGESAHAN
Laporan pendahuluan, asuhan keperawatan dan resume keperawatan ini dibuat dalam
rangka Praktik Profesi Ners mahasiswa S1 keperawatan Universitas Muhammadiyah
Malang di Unit Hemodialisa RS dr. Soepraoen Malang mulai tanggal 26 September
01 Okteober 2016
Malang, 28 September 2016
Nama Mahasiswa (Ners Muda)

Mengetahui
Pembimbing Institusi

(.......)

Pembimbing Lahan

(.....)

I. KONSEP CHRONIC KIDNEY DESEASE


A. PENGERTIAN
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kasus penurunan fungsi ginjal yang terjadi
secara akut (kambuhan) maupun kronis (menahun) (Syamsir, 2007). Penyakit ginjal kronik
(Chronic

Kidney

Disease)

terjadi

apabila

kedua

ginjal

sudah

tidak

mampu

mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup. Kerusakan


pada kedua ginjal bersifat ireversibel.
Gagal ginjal kronis (chronic kidney disease, CKD) adalah proses kerusakan
pada ginjal dengan rentang waktu lebih dari 3 bulan. CKD dapat menimbulkan
simtoma berupa laju filtrasi glomerular di bawah 60 mL/men/1.73 m2, atau di atas nilai
tersebut namun disertai dengan kelainan sedimen urin. Adanya batu ginjal juga dapat
menjadi

indikasi

CKD

pada

penderita

kelainan

bawaan

seperti hiperoksaluria dan sistinuria. (Wikipedia, 2016)


CKD adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tidak dapat pulih, dan dapat
disebabkan berbagai hal. Istilah uremia sendiri telah dipakai sebagai nama keadaan ini
selama lebih dari satu abad. Walaupun sekarang kita sadari bahwa gejala CKD tidak selalu
disebabkan oleh retensi urea dalam darah (Sibuea, Panggabean, dan Gultom, 2005)
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa CKD adalah penyakit ginjal
yang tidak dapat lagi pulih atau kembali sembuh secara total seperti sediakala. CKD
adalah penyakit ginjal tahap ahir yang dapat disebabakan oleh berbagai hal. Dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
elektrolit, yang menyebabkan uremia.

B. KLASIFIKASI
Klasifikasi

gagal

ginjal

kronis

berdasarkan

derajat

(stage)

LFG

(Laju

FiltrationGlomerulus) dimana nilai normalnya adalah 125 ml/min/1,73 m2 dengan rumus


Kockroft Gault sebagai berikut :
Deraja

Penjelasan

LFG (ml/min/17,3 m2)

t
I
II
III
IV

Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau


Kerusakan ginjal dengan LFG atau ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG atau sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG atau berat

>90 ml/mim
60-89 ml/min
30-59 ml/min
15-29 ml/min

Gagal ginjal
>15 ml/min
Sumber: Suduyono, 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jakarta: FKUI

Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test ) dapat
digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatinin serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
C. ETIOLOGI
Dibawah ini ada beberapa penyebab CKD menurut Price, dan Wilson (2006)
diantaranya adalah tubula intestinal, penyakit peradangan, penyakit vaskuler hipertensif,
gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik, nefropati
toksik, nefropati obsruktif. Beberapa contoh dari golongan penyakit tersebut adalah :
1. Penyakit infeksi tubulointerstinal seperti pielo nefritis kronik dan refluks nefropati.
2. Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskular seperti hipertensi, nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, dan
stenosis arteria renalis.
4. Gangguan jaringan ikat seperti Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, dan
seklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit ginjal polikistik, dan asidosis tubulus
ginjal.
6. Penyakit metabolik seperti diabetes militus, gout, dan hiperparatiroidisme, serta amiloidosis.
7. Nefropati toksik seperti penyalah gunaan analgetik, dan nefropati timah.
8. Nefropati obstruktif seperti traktus urinarius bagian atas yang terdiri dari batu, neoplasma,
fibrosis retroperitoneal. Traktus urinarius bagian bawah yang terdiri dari hipertropi prostat,
setriktur uretra, anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra.

D. MANIFESTASI KLINIS

Karena pada CKD setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka
pasien akan menunjukkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala
tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, dan kondisi lain yang mendasari.
Manifestasi yang terjadi pada CKD antara lain terjadi pada sistem kardio vaskuler,
dermatologi, gastro intestinal, neurologis, pulmoner, muskuloskletal dan psiko-sosial
menurut Smeltzer, dan Bare (2001) diantaranya adalah :
1. Kardiovaskuler :
a. Hipertensi, yang diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem renin
angiotensin aldosteron.
b. Gagal jantung kongestif.
c. Edema pulmoner, akibat dari cairan yang berlebih.
2. Dermatologi seperti Pruritis, yaitu penumpukan urea pada lapisan kulit.
3. Gastrointestinal seperti anoreksia atau kehilangan nafsu makan, mual sampai dengan
terjadinya muntah.
4. Neuromuskuler seperti terjadinya perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi,
kedutan otot sampai kejang.
5. Pulmoner seperti adanya seputum kental dan liat, pernapasan dangkal, kusmol, sampai
terjadinya edema pulmonal.
6. Muskuloskletal seperti terjadinya fraktur karena kekurangan kalsium dan

pengeroposan

tulang akibat terganggunya hormon dihidroksi kolekalsi feron.


7. Psiko sosial seperti terjadinya penurunan tingkat kepercayaan diri sampai pada harga
diri rendah (HDR), ansietas pada penyakit dan kematian

E. KOMPLIKASI
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa
komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer (2010) & Udjianti (2010) antara lain
adalah :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan
diit berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.

3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin angiotensin
aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar alumunium
6.
7.
8.
9.

akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.


Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Price & Wilson (2006) pemeriksaan penunjang untuk gagal ginjal kronik adalah
sebagai berikut :
a. Radiologi : ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal.
1. Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya
massa kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagianatas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa.
b. Foto Polos Abdomen : menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah batu atau
obstruksi lain.
c. Pielografi Intravena : menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi
penurunan faal ginjal pada usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
d. USG : menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal , anatomi sistem
pelviokalises, dan ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem
pelviokalises dan ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
e. Renogram : menilai fungsi ginjal kanan dan kiri , lokasi gangguan (vaskuler,
parenkhim) serta sisa fungsi ginjal.
f. Pemeriksaan Radiologi Jantung : mencari adanya kardiomegali, efusi perikarditis.
g. Pemeriksaan Radiologi Tulang : mencari osteodistrofi (terutama pada falangks /jari)
kalsifikasi metatastik.
h. Pemeriksaan Radiologi Paru : mencari uremik lung yang disebabkan karena
bendungan.
i. Pemeriksaan Pielografi Retrograde : dilakukan bila dicurigai adanya obstruksi yang
reversible.
j. EKG : untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia).
k. Biopsi Ginjal : dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal kronis
atau perlu untuk mengetahui etiologinya.

l. Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal ginjal :


1. Laju endap darah
2. Urinaria
a. Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria atau urine tidak ada
(anuria).
b. Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus / nanah,
bakteri, lemak, partikel koloid,fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan
menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
c. Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan
ginjal berat).
d. Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular,
amrasio urine / ureum sering 1:1.
3. Ureum dan Kreatinin
a. Ureum:
b. Kreatinin: Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL
diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
m. Urine
- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar
-

(anuria)
Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri, lemak,
partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya

darah, HB, mioglobin.


Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal

berat).
Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio

urine/serum sering 1:1


Klirens keratin : Mungkin agak menurun
Natrium : Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi

natrium.
Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan

glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.


n. Darah
- BUN / Kreatin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin 16
-

mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)


Hitung darah lengkap : Ht : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang ari

78 g/dL
SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada azotemia.
GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil
akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun, PCO2 menurun .

Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal kehabisan Natrium atas normal

(menunjukan status dilusi hipernatremia).


Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan

seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir, perubahan


EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.
Magnesium/Fosfat : Meningkat
Kalsium : Menurun
Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau

penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.


Osmolalitas Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan terhadap CKD meliputi :
1. Restriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat.
2. Obat-obatan : diuretik untuk meningkatkan urinasi; alumunium hidroksida untuk
terapi hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta diberi obat yang
dapat menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa bila terjadi anemia.
3. Dialisis
4. Transplantasi ginjal
(Reeves, Roux, Lockhart, 2001)
Menurut Price & Wilson (2006) penatalaksanaan dari CKD berdasarkan derajat LFG
nya, yaitu:

Menurut Suwitra (2006) penatalaksanaan untuk CKD secara umum antara lain
adalah sebagai berikut :

1. Waktu yang tepat dalam penatalaksanaan penyakit dasar CKD adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga peningkatan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasono grafi, biopsi serta pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya bila LFG sudah menurun sampai 2030 % dari normal terapi dari penyakit
dasar sudah tidak bermanfaat.
2. Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
penyakit CKD, hal tersebut untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat
memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tak terkontrol, infeksi traktus urinarius,
obstruksi traktus urinarius, obatobat nefrotoksik, bahan radio kontras, atau
peningkatan aktifitas penyakit dasarnya. Pembatasan cairan dan elektrolit pada
penyakit CKD sangat diperlukan. Hal tersebut diperlukan untuk mencegah terjadinya
edema dan komplikasi kardiovaskuler. Asupan cairan diatur seimbang antara masukan
dan pengeluaran urin serta Insesible Water Loss (IWL). Dengan asumsi antara 500-800
ml/hari yang sesuai dengan luas tubuh. Elektrolit yang harus diawasi dalam asupannya
adalah natrium dan kalium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemi dapat
mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu pembatasan obat dan
makanan yang mengandung kalium (sayuran dan buah) harus dibatasi dalam jumlah
3,55,5 mEg/lt. sedangkan pada natrium dibatasi untuk menghindari terjadinya
hipertensi dan edema. Jumlah garam disetarakan dengan tekanan darah dan adanya
edema.
3. Menghambat perburukan fungsi ginjal. Penyebab turunnya fungsi ginjal adalah
hiperventilasi glomerulus yaitu :
a) Batasan asupan protein, mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt, sedangkan diatas
batasan tersebut tidak dianjurkan pembatasan protein. Protein yang dibatasi antara
0,6-0,8/kg BB/hr, yang 0,35-0,50 gr diantaranya protein nilai biologis tinggi.
Kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/ kg BB/hr dalam pemberian diit. Protein
perlu dilakukan pembatasan dengan ketat, karena protein akan dipecah dan
diencerkan melalui ginjal, tidak seperti karbohidrat. Namun saat terjadi malnutrisi
masukan protein dapat ditingkatkan sedikit, selain itu makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, fosfor, sulfur, dan ion anorganik lain yang diekresikan
melalui ginjal. Selain itu pembatasan protein bertujuan untuk membatasi asupan
fosfat karena fosfat dan protein berasal dari sumber yang sama, agar tidak terjadi

hiperfosfatemia.
b) Terapi farmakologi untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
anti hipertensi disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko komplikasi pada
kardiovaskuler juga penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron
dengan cara mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.
Selain itu pemakaian obat hipertensi seperti penghambat enzim konverting
angiotensin (Angiotensin Converting Enzim / ACE inhibitor) dapat memperlambat
perburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi akibat mekanisme kerjanya sebagai anti
hipertensi dan anti proteinuri.
4. Pencegahan dan terapi penyakit kardio faskuler merupakan hal yang penting, karena
40-45 % kematian pada penderita CKD disebabkan oleh penyakit komplikasinya pada
kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk pencegahan dan terapi penyakit vaskuler
adalah pengendalian hipertensi, DM, dislipidemia, anemia, hiperfosvatemia, dan terapi
pada kelebian cairan dan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi
terhadap komplikasi CKD secara keseluruhan.
5. CKD mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat
penurunan LFG. Seperti anemia dilakukan penambahan / tranfusi eritropoitin.
Pemberian kalsitrol untuk mengatasi osteodistrasi renal. Namun dalam pemakaiannya
harus dipertimbangkan karena dapat meningkatkan absorsi fosfat.
6. Terapi dialisis dan transplantasi dapat dilakukan pada tahap CKD derajat 4-5. Terapi
ini biasanya disebut dengan terapi pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal dilakukan
pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit.
Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal
(Suwitra, 2006).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi
tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN)

> 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah
dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal
buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel
(hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur
yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang
mahal (Rahardjo, 2006).

b. Dialisis peritoneal (DP)


Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD,
yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien
yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal)
dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai comorbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri,
tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang
jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).

c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal
alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

II. KONSEP CAPD (CONTINUOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS)


A. PENGERTIAN
CAPD merupakan sebuah kateter yang dipasang di dalam perut, ke dalam rongga
peritoneum.Pemasangan ini dilakukan melalui tindakan operasi.Setelah kateter tersebut
terpasang, lalu digunakan cairan dialisat, yang sering dipakai adalah Dianel Baxter dari
Kalbe untuk membilas rongga peritoneum tempat bersarang kateter.Iniberfungsi sebagai
sarana cuci darah, yang berlangsung sepanjang hari.
CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis) / Dialysis Peritoneal Mandiri
Berkesinambungan.Bedanya tidak menggunakan mesin khusus seperti APD.Dialysis
peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk dialysis) ke
dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6jam.Yang dimaksud
dengan kateter adalah selang plastik kecil (silikon) yang dimasukan ke dalam rongga
peritoneal melalui pembedahan sederhana, kateter ini berfungsi untuk mengalirkan cairan
dialysis peritoneal keluar dan masuk rongga peritoneum anda. Ketika dialisat berada di
dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan
tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat

CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis) :


Continous : Terus menerus selama 24 jam
Ambulatory : Bebas bergerak
Peritoneal : Peritoneum sebagai membran semi permeable

Dialysis : Membersihkan tubuh dari zat sisa-sisa metabolisme dan kelebihan cairan.
Atau disebut DPMB (Dialysis Peritoneal Mandiri Berkesinambungan)
B. PROSES CAPD
1. Proses dialysis peritoneal ini tidak menimbulkan rasa sakit.
2. Membutuhkan waktu yang singkat, terdiri dari 3 langkah.
a. Pertama, masukkan dialisat berlangsung selama 10 menit
b. Kedua, cairan dibiarkan dalam rongga perut untuk selama periode waktu
tertentu (4-6 jam)
c. Ketiga,

pengeluaran

cairan

yang

berlangsung

selama

20

menit

Ketiga proses diatas dilakukan beberapa kali tergantung kebutuhan dan bisa
dilakukan oleh pasien sendiri secara mandiri setelah dilatih dan tidak perlu ke
rumah sakit

Perpindahan cairan pada CAPD dipengaruhi oleh :


a) Kualitas membrane
b) Ukuran & karakteristik larutan
c) Volume dialisat
Proses dialysis pada CAPD terjadi karena adanya perbedaan :
a) Tekanan osmotic
b) Konsentrasi zat terlarut antara cairan CAPD dengan plasma darah dalam
pembuluh kapiler
c) Pada saat cairan dialisat dimasukkan dalam peritoneum, air akan diultrafiltrasi
dari plasma ke dialisat, sehingga meningkatkan volume cairan intra peritoneal.
Peningkatan volume cairan intraperitoneal berbanding lurus dengan konsentrasi
glukosa dari cairan dialisat.
d) Kecepatan transport air dan zat terlarut dapat diestimasi secara periodic melalui
PET test (Peritoneal Equilibrum Test)
Standar konsentrasi elektrolit cairan CAPD:
a) Na (132 meq /lt)
b) Cl ( 102 meq /lt)
c) Mg (0,5 meq /lt)
d) K (0 meq /lt)
C. INDIKASI CAPD
-

Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan metabolic yang
cepat (hemodinamik yang tidak stabil)

Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat penyakit diabetes

Pasien yang berisiko mengalami efek samping pemberian heparin secara


sistemik

Pasien dengan akses vascular yang jelek (lansia)

Adanya penyakit kardiovaskuler yang berat

Hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary yang tidak
responsive terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis peritoneal.

D. KONTRAINDIKASI CAPD
-

Riwayat pembedahan abdominal sebelumnya (kolostomi, ileus, nefrostomi)

Adhesi abdominal

Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat kelainan pada
discus intervertebalis yang dapat diperburuk dengan adanya tekanan cairan dialisis
dalam abdomen yang kontinyu

Pasien dengan imunosupresi


E. EFEKTIFITAS CAPD, KEUNTUNGAN SERTA KERUGIAN

1. Efektifitas CAPD
Selain bisa dikerjakan sendiri, proses penggantian cairan dengan cara CAPD lebih
hemat waktu dan biaya, tak menimbulkan rasa sakit, dan fungsi ginjal yang masih tersisa
dapat dipertahankan lebih lama (Wurjanto, 2010). Menurut Wurjanto, CAPD adalah cara
penanganan penderita gagal ginjal, yakni dialisis yang dilakukan melalui rongga
peritoneum (rongga perut) di mana yang berfungsi sebagai filter adalah selaput/membran.
Cara kerjanya, diawali dengan memasukkan cairan dialisis ke dalam rongga perut melalui
selang kateter yang telah ditanam dalam rongga perut. Teknik ini memanfaatkan selaput
rongga perut untuk menyaring dan membersihkan darah. Ketika cairan dialisis berada
dalam rongga perut, zat-zat di dalam darah akan dibersihkan, juga kelebihan air akan
ditarik. Cara CAPD antara lain hanya butuh 30 menit, dilakukan di rumah oleh pasien
bersangkutan, tidak ada tusukan jarum yang menyakitkan, fungsi ginjal yang tersisa bisa
lebih lama, dialisis dapat dilakukan setiap saa, dan pasiennya lebih bebas atau dapat
bekerja seperti biasa (Wurjanto, 2010).
2. Keuntungan CAPD dibandingkan HD :
Terdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis peritoneal:
a) Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti diketahui sebenarnya
saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih tersisa sedikit. Di samping untuk
membersihkan kotoran, fungsi ginjal (keseluruhan) yang penting lainnya adalah

mengeluarkan eritropoetin (zat yang bisa meningkatkan HB) dan pelbagai hormon
seks. Berbeda dengan dialisis yang lain, dialisis peritoneal tidak mematikan fungsifungsi tersebut.
b) Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan hemodialisis
pada tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun pada akhirnya, semua mempunyai
usia juga, tetapi diketahui bahwa pada tahun-tahun pertama penggunaan dialisis
peritoneal menyatakan angka bertahan hidup bisa sama atau relatif lebih tinggi.
c) Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya untuk tenaga/fasilitas
kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004).

Keuntungan tambahan yang lain yaitu:


a) Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja
b) Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri
c) Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.
d) Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit sebagaimana HD
e) Pembuangan cairan dan racun lebih stabil
f) Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas
g) Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung
h) Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun pertama.
3. Kelemahan CAPD :
a) Resiko infeksi. Peritonitis merupakan komplikasi yang sering. Juga dapat terjadi
infeksi paru karena goncangan diafragma
b) Pengobatan yang tidak nayman dan penderita sebagian tidak boleh bergerak di
tempat tidur. Kateter harus diganti setiap 4-5 hari
c) Pengeluaran protein dari dialisat, sampai pada 40 gram/24 jam. Baik subnutrisi
(pengeluaran asam amino) maupun hipovolemia (pengeluaran albumin) dapat
terjadi.
d) BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi (Iqbal et al, 2005).
Table 1. Perbandingan hemodialisis dengan dialisis mandiri
Kategori

Hemodialisa (HD)

Dialisis Mandiri (CAPD)

Segi

Harus dilakukan di Rumah Sakit, Dapat

dilakukan

di

kepraktisan

lamanya proses 4-5 jam

rumah/tempat

kerja,

lamanya proses 30 menit


Biaya

Sekali cuci darah Rp. 500 ribu-1 juta, Satu kantong dialisat (cairan
seminggu bisa 2-3 kali. Total biaya pencuci darah) Rp. 40 ribu
per bulannya akan mencapai akan sehari penggantian dialisat.
mencapai Rp. 4-5 juta

Biaya

per

bulannya

mencapai Rp. 5,5 juta.


Pantangan

Pantang beragam makanan terutama Tidak perlu diet ketat


yang tinggi protein

Resiko

Fungsi ginjal dan jantung dapat Fungsi ginjal, jantung, dan

komplikasi

menurun

karena

dipaksa

bekerja darah relatif aman karena

lebih keras selama proses pencucian tidak terganggu. Kadar Hb


darah. Dengan pengeluaran darah, relativ

lebih

tinggi

darah tidak cukup aman dari resiko dibandingkan

dengan

kontaminasi. Butuh terapi hormon hemodialis,


eritropoetin

untuk

penurunan kadar Hb

mengimbangi dibutuhkan

sehingga
lebih

sedikit

eritroprotein. Namun, CAPD


rawan

infeksi

sehingga

pasien perlu dilatih untuk


menjaga
badannya

kebersihan

III. PROSES KEPERAWATAN


1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang mengalami
CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal seperti proses
pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD dapat terjadi pada
siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu
kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan
lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum / mengandung banyak senyawa/
zat logam dan pola makan yang tidak sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo nefritis,
hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus urinarius
bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
3. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun waktu 6
bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun.
4. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya adalah
penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah
atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
5. Pengkajian fisik :
a. Penampilan / keadaan umum : lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas
nyeri. Kesadaran pasien dari compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital : tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi
meningkat dan reguler.
c. Antropometri : penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan
nutrisi, atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebihan cairan.
d. Kepala : rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran
telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering
dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok : peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada
leher.
f. Dada : dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot
bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru
(rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada
jantung.
g. Abdomen : terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut
buncit.

h. Genital : kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi,


terdapat ulkus.
i. Ekstremitas : kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema,
pengeroposan tulang, dan Capillary Refill lebih dari 1 detik.
j. Kulit : turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat /
uremia, dan terjadi perikarditis.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada CKD adalah sebagai berikut:
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan retensi
cairan dan natrium.
2. Perubahan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi paru.
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia mual
muntah.
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2 dan nutrisi ke
jaringan sekunder.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan anemia, retensi produk sampah dan
prosedur dialysis.
6. Resiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan alveolus sekunder
terhadap adanya edema pulmoner.
7. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak seimbangan cairan
mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik, gangguan
frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidak seimbangan elektrolit).

A.

Rencana Asuhan Keperawatan


B.
N
F.
1

C. Diagnosa

D. Tujuan & KH

E. (NIC = Nursin

Keperawatan
G. Kelebihan

Intervensi Keper

volume

I. Tujuan:

cairan b.d penurunan

J. Setelah

M.
dilakukan

asuhan Kaji status cairan ; tim

haluaran urin dan

keperawatan selama 3x24 jam

retensi cairan dan

volume cairan seimbang.

natrium.

K. Kriteria Hasil:

Fluid Management

masukan dan haluara


Batasi masukan cairan
Identifikasi sumber poten
Jelaskan pada pasien d

H.

L. NOC : Fluid Balance


Terbebas

dari

edema,

efusi,

anasarka
Bunyi nafas bersih,tidak adanya
dipsnea
Memilihara tekanan vena sentral,
tekanan

kapiler

paru,

output

jantung dan vital sign normal.

cairan
Kolaborasi pemberian cai
N.

Hemodialysis the

1. Ambil sampel dara

(misalnya BUN, krea

phospor) sebelum per


thdp terapi.
2. Rekam tanda

vita

pernapasan, dan tek

respon terhadap terap


3. Sesuaikan tekanan fil

yang tepat dari cairan


4. Bekerja secara ko
menyesuaikan

panj

keterbatasan cairan
O.

P. Gangguan

kurang

nutrisi

R. Setelah

dari

kebutuhan tubuh b.d


anoreksia

mual

muntah.

Q.

dilakukan

asuhan

keperawatan selama 3x24 jam 1. Monitor adanya mual d


2. Monitor adanya kehil
nutrisi seimbang dan adekuat.
status nutrisi.
S. Kriteria Hasil:
3. Monitor albumin, t
T. NOC : Nutritional Status
hematocrit level yang
Nafsu makan meningkat
untuk perencanaan trea
Tidak terjadi penurunan BB
4. Monitor intake nutrisi
Masukan nutrisi adekuat
5. Berikan makanan sedi
Menghabiskan porsi makan
6. Berikan perawatan mu
Hasil lab normal (albumin, kalium) 7. Kolaborasi dengan ahl
terapi

U.
X.
3

Y. Perubahan

pola

napas berhubungan
dengan
hiperventilasi paru

cairan dan elektrolit p


W. Nutritional Mana

V.
Z. Setelah

dilakukan

asuhan

AC.

Respirator

keperawatan selama 1x24 jam 1. Monitor rata rata, ke


2. Catat pergerakan dad
pola nafas adekuat.
otot tambahan, ret
AA.
Kriteria Hasil:
intercostal
AB.
NOC : Respiratory
3. Monitor pola nafas
Status
hiperventilasi, cheyne
4. Auskultasi suara naf
Peningkatan
ventilasi
dan
adanya ventilasi dan su
oksigenasi yang adekuat

Bebas dari tanda tanda distress


pernafasan
Suara nafas yang bersih, tidak ada
sianosis

dan

dyspneu

(mampu

mengeluarkan

sputum,

mampu

AD.
1.
2.
3.
4.
5.

Oxygen Th

Auskultasi bunyi nafa


Ajarkan pasien nafas
Atur posisi senyaman
Batasi untuk beraktivi
Kolaborasi pemberian

bernafas dengan mudah, tidak ada


pursed lips)
Tanda tanda vital dalam rentang
AE. AF.Gangguan
4

normal
AH.

perfusi

dilakukan

AK.

Circulator

jaringan

asuhan keperawatan selama 1. Lakukan penilaian sec

berhubungan dengan

3x24 jam perfusi jaringan

penurunan suplai O2

adekuat.

dan

nutrisi

ke

AI. Kriteria Hasil:

jaringan sekunder.
AG.

H. Patofisiologi
AL.
AM.

Setelah

AJ.NOC: Circulation Status

Membran mukosa merah muda


Conjunctiva tidak anemis
Akral hangat
TTV dalam batas normal.
Tidak ada edema

periper. (cek nadi prip

ekstremitas).
2. Kaji nyeri
3. Inspeksi kulit dan Palp
4. Atur posisi pasien, eks

memperbaiki sirkulasi
5. Monitor status cairan i
6. Evaluasi nadi, oedema

AN.

DAFTAR PUSTAKA
1. Syamsir. 2007. Asuhan Keperawatan Sistem Pencernaan dan Kardiovaskuler Dengan
Pendekatan Patofisiology. Magelang. Poltekes Semarang PSIK
2. Brunner dan Suddarth. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
2 Edisi8. Jakarta : EGC.

Volume

3. Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, edisi 3. Jakarta: EGC.


4. Nahas, Meguid El & Adeera Levin. 2010. Chronic Kidney Disease: A Practical Guide
toUnderstanding and Management . USA : Oxford University Press.
5. Purnomo, Basuki. B. 2011. Dasar Dasar Urologi. Edisi Ke Tiga. Jakarta :Sagung
Seto
6. Price, Sylvia A. & Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC.
7. Rindiastuti, Yuyun. 2006. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta: EGC.
8. Sudoyo, Aru W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed. IV. Jakarta: FKUI. 2006.
9. Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi
IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
10. Smeltzer, Suzanne C. (2009). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :EGC
11. Sudoyo. 2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
12. Suyono, Slamet. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.:
Balai Penerbit FKUI
13. https://id.wikipedia.org/wiki/Gagal_ginjal_kronis
AO.
AP.

Anda mungkin juga menyukai