Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Metode analisa dari Steiner ini telah lama dikenal, yakni sejak 1953. Metode
ini merupakan gabungan dari metode Downs, W. Wylie, Brodie, Ricketts,
Thomson, Riedel, dan Holdway. Cecil C. Steiner menentukan apa yang
dianggapnya sebagai parameter penting dan menyusun gabungan analisis ini,
dimana dia yakini dapat memberikan informasi klinis secara maksimum dengan
jumlah pengukuran yang lebih sedikit (Jacobson, 1995).
Analisis Steiner merupakan analisis yang paling populer yang digunakan
untuk menentukan rencana perawatan ortodonti, karena analisis tersebut cukup
mudah dan cepat pengerjaannya. Analisis ini dianggap sebagai analisis modern
yang pertama karena dua alasan yaitu: dapat menunjukan ukuran-ukuran dengan
cara yang menekankan tidak saja pada individu tetapi juga hubungannya ke dalam
sebuah pola dan juga dapat memberi pedoman khusus untuk menggunakan
ukuran-ukuran sefalometri dalam menentukan rencana perawatan (Soemantri,
1999).
Analisis Steiner mencakup perhitungan posisi dan inklinasi gigi terhadap
rahang dan posisi rahang terhadap basis kranium. Dalam analisis sefalometri,
Steiner menggunakan garis orientasi S-N (S = sella tursica dan N = nasion)
sebagai bidang referensi karena titik S dan titik N terletak pada jaringan keras
yang mudah terlihat pada foto roentgen. Keduanya terletak dibidang midsagital

sehingga perpindahan letak kedua titik karena perbedaan posisi kepala hanya
sedikit sekali. Selain itu terdapat beberapa titik, garis, dan sudut pada kraniofasial
yang digunakan sebagai acuan dalam pengambilan data untuk melakukan analisis
ini (Soemantri, 1999)

BAB II
ANALISIS STEINER

Analisa Stainer dikembangkan dan diperkenalkan pertama kali oleh Cecil


C Steiner pada tahun 1950, Steiner seorang dokter gigi yang hidup antara tahun
1896 sampai tahun 1989 dan merupakan salah satu murid pertama dari Edwart H
Angle pada tahun 1921. Analisa Steiner dapat diterima sebagai analisa sefalometri
modern pertama kali, dengan dua alasan yang pertama pengukuran yang
dilakukan ditampilkan dengan cara menekankan tidak hanya pengukuran secara
individu tetapi pengukuran-pengukuran yang dilakukan dihubungkan dengan
pola-pola dasar, yang kedua yaitu pengukuran-pengukuran yang dilakukan
ditawarkan sebagai panduan khusus untuk penggunaan pengukuran sefalometri
dalam rencana perawatan.
Radiografi

sefalometri

digunakan

oleh

profesi

ortodontik

untuk

mengevaluasi proporsi dan menjelaskan dasar anatomi dari suatu maloklusi.


Seorang ortodontik harus mengetahui fungsi komponen-komponen utama pada
wajah (basis kranium, rahang, dan gigi) dan bagaimana mereka saling
berhubungan. Maloklusi apapun adalah hasil dari interaksi antara posisi rahang
dan posisi gigi setelah erupsi, yang juga dipengaruhi oleh hubungan rahang.
Walaupun pengamatan yang cermat pada wajah dapat memberikan informasi ini,
namun analisa sefalometri memungkinkan ketepatan yang jauh lebih baik. Untuk
tujuan diagnosa, fungsi utama dari radiografi sefalometri adalah untuk
menggambarkan

hubungan

gigi-geligi

dan

tulang

tulang

pada

pasien,

dibandingkan dengan kelompok per pasien tersebut yang diambil pada populasi
standar.
Tujuan analisa sefalometri adalah untuk menentukan hubungan tulang dan
gigi yang mengkontribusi terjadinya suatu maloklusi pada seorang individu
(dalam hal ini pasien). Salah satu cara melakukannya adalah dengan
membandingkan pada kelompok normal, sesuai dengan umur, kelompok atau
etnisnya. Sehingga hubungan dentofasial yang diinginkan pada pasien tersebut
dapat tercapai.
Salah satu analisa yang paling sering digunakan terutama di bidang
ortodontik adalah analisa steiner karena analisa ini cukup mudah dan cepat
pengerjaannya. Analisa ini mencakup perhitungan posisi dan inklinasi gigi
terhadap rahang dan posisi rahang terhadap basis kranium. Analisa ini memakai
panduan garis S-N (sella tursika-nasion) karena terletak pada jaringan keras yaitu
tulang spenoid yang mudah terlihat pada foto rontgen, terletak pada bidang
midsagital sehingga perpindahan letak kedua titik ini karena perbedaan posisi
kepala adalah sangat sedikit sekali. Sedangkan titik N atau nation terletak pada
sutura frontonasalis paling anterior yang berhimpit dengan garis tengah wajah.
Sella tursika adalah struktur yang mudah diketahui pada radiografi
sefalometri lateral dan rutin di trasing untuk analisa sefalometri. Titik sella tursika
ini berada di tengah-tengah sella tursika, tursika ini merupakan tempat dari
Glandula Pituitari yang berada di dasar kranial. Glandula ini berada di fosa
pituitari dan terdiri dari lobus anterior (adenohypophysis), lobus tengah dan lobus
posterior. Batas anterior dari sella tursika ini adalah tuberkulum sella dan bagian

posterior dibatasi oleh dorsum sella. Menurut penelitian Quakinine dan Hardy
tahun 1987 dengan cara melakukan pengamatan mikrosurgikal anatomi pada 250
tulang Spenoid yang berasal dari kadaver, mereka menemukan bahwa nilai ratarata lebar dari sella tursika adalah 12 mm, panjang (anteroposterior) 8 mm dan
tingginya 6 mm.
Titik sella tursika ini merupakan sumber yang bagus untuk mendiagnosa
sebagai informasi tambahan yang berhubungan dengan patologi pada hipofisis,
atau untuk berbagai sindrom yang mempengaruhi wilayah kraniofasial. Dokter
gigi harus membiasakan diri dengan radiografi dengan anatomi yang normal dan
variasi morfologi daerah ini, dalam rangka untuk mengetahui dan menyelidiki
penyimpangan yang mungkin merupakan cerminan situasi patologis.

Gambar 2. 1 Garis panduan S-N (sela tursika-nasion)


5

2.1 Titik-titik Referensi Dalam Analisa Steiner


1. S (sella) adalah titik yang terletak ditengah-tengah sella tursika (hypofisial
fossa).
2. N (nasion) adalah titik paling anterior dari sutura nasofrontalis.
3. A (subspinal) adalah titik terdalam pada kontur premaxilla antara tulang
belakang hidung anterior dan gigi insisivus.
4. B (supramental) adalah titik terdalam pada kontur mandibula antara gigi
insisivus dan tulang dagu terluar (Pog).
5. Pog (pogonion) adalah titik paling anterior dari tulang dagu pada garis
median.
6. Gn (gnation) titik paling luar pada kurvatura symphisis antara pogonion dan
menton. Titik ini ditemukan dengan membuat perpotongan antara garis
singgung tepi bawah mandibula dengan bidang fasial (N-Pog).
7. Go (gonion) titik yang terletak pada angulus mandibula yang ditentukan
dengan membuat perpotongan garis singgung tepi bawah mandibula dengan
garis singgung belakang mandibula.
8. O (Orbita) adalah titik terendah dari lingkar bawah pada mata.
9. Po (porion) adalah titik paling atas dari saluran telinga luar. Lokasi ini
digunakan sebagai tempat ear rods dari sefalostat.
10. Ba (basion) adalah titik paling bawah dari lingkar depan pada lubang
magnum.
11. PTM (Pterygomaxila) adalah bentukan dari fisur pterygomaxila.
12. ANS (anterior nasal spinal) adalah titik paling depan dari tulang maxilaris.
13. PNS (posterior nasal spin) adalah titik paling belakang dari tulang maxilaris.
14. Me (menton) adalah titik terendah dari simpisis mandibula.

Gambar 2.2 Landmark titik referensi analisis Steiner

2.2 Bidang Referensi dalam Analisa Steiner


1. Bidang Sella-Nasion (Sella Nasion Plane) : garis yang menghubungkan
titik S dan N.
2. Bidang frankfrut horizontal (Frankfrut Horizontal Plane) / FHP : garis
yang menghubungkan titik terbawah dari lengkung orbita (or) dan titik
paling atas dari kanalis auditoris eksternal (porion).
3. Bidang mandibula (Mandibula Plane-Mpl) : garis yang menghubungkan
titik Go dan Gn.
4. Bidang oklusal (Occlusal Plane) : garis yang melalui titik pertemuan
antara gigi insisif maksila dan bawah dengan titik pertemuan antara bonjol
mesiobukal dari M1 maksila dan bawah pada waktu oklusi.
5. Bidang palatal (Palatal Plane/Spina Plane) : garis yang menghubungkan
ANS dan PNS.

Gambar 2.3. Landmark bidang referensi analisis Steiner

Dalam melakukan penilaian analisa steiner, jenis radiografi yang


digunakan adalah sefalometri lateral. Dalam penilaiannya steiner membagi lagi

menjadi tiga bagian, yaitu : penilaian tulang, penilaian gigi-geligi, dan penilaian
soft tissue/jaringan luna

2.3 Penilaian Steiner


2.3.1 Analisa Tulang
Dalam analisa tulang, steiner membagi beberapa bagian yang diamati
meliputi:
1. Maksila (SNA)
Pada bagian maksila titik yang pertama kali diamati adalah titik A. Titik A
tersebut dapat berguna untuk menunjukan apakah maksila terletak lebih ke
anterior atau posterior terhadap dasar kranium. Pada maksila ini diambil
penilaian terhadap sudut dari SNA yaitu Sella-Nasion-Titik A. Nilai ratarata dari SNA sendiri adalah 82o. Pada pengukuran jika di dapat nilai SNA
lebih dari 82o berarti menunjukan kedudukan maksila lebih ke anterior
terhadap dasar kranium, begitu juga sebaliknya jika nilai yang di dapat
lebih kecil dari 82o maka menunjukan kedudukan maksila lebih ke
posterior terhadap dasar kranium.

Gambar 2.4. Sudut SNA : A : sudut SNA 82o normal, B : sudut SNA 91 o posisi maksila protrusi
terhadap dasar kranium, C : Sudut SNA 77 o posisi maksila retruded terhadap dasar
kranium

2.Mandibula (SNB)
Pada bagian mandibula titik yang pertama kali diamati adalah titik B. Titik B
tersebut dapat berguna untuk menunjukan apakah mandibula terletak lebih ke
anterior atau posterior terhadap dasar kranium atau bisa juga dikatakan protrusi
atau retrusi. Pada mandibula ini di ambil penilaian sudut dari SNB yaitu SellaNasion- Titik B. Nilai rata-rata dari SNB sendiri adalah 80 o. Pada pengukuran jika
didapatkan nilai SNB lebih dari 80

berarti menunjukan kedudukan mandibula

lebih ke anterior terhadap dasar kranium, begitu juga sebaliknya jika nilai yang di
dapat lebih kecil dari 80

maka menunjukan kedudukan mandibula lebih ke

posterior terhadap dasar kranium.

10

Gambar 2.5. Sudut SNB : A : sudut SNB 80o normal, B : suudut SNB 77
retruded terhadap dasar kranium, C : Sudut SNB 86

posisi Mandible

posisi maksila protruded

terhadap dasar kranium.

3.Maksila Dan Mandibula


Pada hubungan maksila dan mandibula perbandingan antara hasil yang di
dapat dari sudut SNA dibandingkan dengan SNB disebut sebagai sudut ANB.
Sudut ANB ini menunjukan gambaran diskrepansi anterior-poterior dari maksila
terhadap dasar apikal mandibula. Sudut normal ANB adalah 2

, jika sudut

tersebut lebih besar dari pada 2 o maka menunjukan adanya tendensi tendensi klas
II tulang tetapi jika sudut tersebut lebih kecil dari 2 o maka hal ini menunjukan
tendensi klas III tulang.

11

Gambar 2.6.C Sudut ANB, rata-rata sudut ANB normal adalah 20.

4. Bidang Oklusal
Bidang oklusal di gambar melalui daerah tumpang tindih cups dari
premolar pertama dan molar pertama. Pengamatan dari bidang oklusal ini
membandingkan bidang oklusal dengan bidang S-N sehingga didapatkan sudut
normal dari bidang oklusal terhadap garis S-N adalah 14,50.
5.Bidang Mandibula
Bidang mandibula digambar dengan cara menghubungkan titik gonion
(Go)

dengan

gnation

(Gn).

Pengamatan

dari

mandibular

plane

ini

membandingkan bidang mandibula dengan bidang S-N sehingga didapatkan


sudut normal dari mandibular plane terhadap garis S-N adalah 320 .

12

Gambar 2.7. Bidang oklusal no 14 dan bidang mandibula 32o

2.3.2 Analisa Gigi


Analisa gigi berguna untuk menegaskan dari pengamatan klinik yang telah
dibuat. Pada bagian lain, ada banyak contoh yang secara radiografi berbeda
dengan kenyataan secara klinik tentang tempat gigi-gigi insisifus. Pada analisa
gigi juga terdapat beberapa sudut dan jarak yang di ukur yaitu :
1.Posisi gigi insisif maksila terhadap Maksila
Posisi dari gigi insisif maksila di ukur dalam dua bentuk yaitu sudut dan
posisi insisal gigi insisif maksila terhadap garis N-A. pertama lokasi relatif dan
sudut inklinasi aksial dari gigi insisif atas terhadap garis N-A. dengan nilai
normalnya adalah 220. Bila sudut ini bertambah besar berarti gigi insisif atas
protrusive terhadap maksila, bila bertambah kecil berarti gigi insisif atas retrusif
terhadap maksila.

13

Gambar 2.8. Sudut NA 220 dengan jarak labial gigi insisif ke garis N-A 4mm adalah posisi ideal

Jarak dari gigi insisif maksila terhadap garis N-A dengan nilai normal nya
adalah 4 mm di depan garis N-A. Bila jarak ini bertambah besar berarti posisi gigi
insisif atas letaknya lebih ke depan (proposisi) dari maksila,bila jarak ini
bertambah kecil berarti posisi gigi insisif atas letaknya kebelakang dan jarak ini
dinilai sebagai negative (retroposisi). Penggunaan parameter garis dan sudut
dalam orientasi gigi insisif memberikan informasi yang berhubungan pada lokasi
gigi secara anteroposterior pada garis N-A dan hal itu harus disertai dengan sudut
yang bagus.
Pembacaan sudut gigi insisif saja bukan merupakan informasi yang tepat
dari letak gigi secara anterioposterior di dalam kompleks wajah. Sebagai contoh
gigi insisif maksila kemungkinan memiliki sudut 220 dan posisi anteroposterior 4
mm terhadap garis N-A. pada gambar 9B. Pada bagian lain menunjukkan bahwa
gigi insisif yang memiliki sudut kemiringan 220 tetapi memiliki jarak insisal insisif
minus 2 mm hal ini sesuai dengan gambar 9A. Pada gambar 9 C menunjukkan
bahwa insisal gigi insisif atas memiliki sudut 220 tetapi memiliki jarak antara
insisal insisif ke garis N-A 8 mm.

14

Gambar 2.9.Simpangan jarak labial gigi insisif atas terhadap garis N-A. A retroposisi, B normal,
C terlalu ke depan.

15

Pengamatan yang dilakukan pada melihat besarnya nilai jarak insisal gigi
insisif atas secara terpisah juga dapat memberikan gambaran gigi secara radiografi
sefalometri tidak baik. Sebagai contoh jarak antara insisal insisif atas memiliki
jarak 4 mm terhadap garis N-A tetapi memiliki sudut 400 gambar 10A, pada
gambar 9B sudut yang di bentuk antara insisal gigi insisif atas sebesar 22 0 hal ini
menunjukkan kenormalan, gambar 10B dan pada gambar 10C menunjukka sudut
gigi insisif atas terhadap garis N-A sebesar 3o. Hal ini tidaklah sulit dengan
pengamatan visual terhadap gigi, permukaan labial (biasanya dekat dengan ujung
mahkota) yang mana memiliki jarak 4 mm terhadap garis N-A dengan melihat
kemiringan dari gigi.

Gambar 2.10. Sudut gigi yang berbeda-beda tetapi memiliki jarak insisal insisiv dengan garis
N-A yang berbeda- beda, A sudut yang terlalu besar, B Normal, C sudut yang terlalu kecil.

16

2.Posisi gigi insisif mandibula terhadap Mandibula


Posisi gigi insisif mandibula secara anteroposterior dan sudut kemiringan
ditentukan oleh posisi gigi kepada garis N-B. Gigi insisifus mandibula ke garis NB diukur dalam milimeter, pada permukaan labial terletak 4 mm dari garis N-B.
Sudut inklinasi aksial insisif terhadap garis N-B dengan nilai normal nya adalah
250. Jarak dari insisif terhadap garis N-B dengan nilai normal nya adalah 4mm di
depan garis N-B.

Gambar 2.11. Jarak labial gigi insisif satu bawah 4mm dengan sudut inklinasi gigi insisif
bawah terhadap garis N- B 250 adalah posisi ideal

3.Sudut Interinsisal
Sudut ini menggambarkan posisi dari insisif maksila terhadap insisif
mandibula. Cara mengukur sudut ini dengan menarik garis aksial pada masingmasing gigi tersebut. Nilai normal dari sudut ini adalah 130 0 (gambar .12). Jika
sudut kurang dari 1300 maka mungkin diperlukan perawatan menegakkan posisi
gigi, tetapi jika sudutnya lebih dari 1300 maka perlu dilakukan koreksi inklinasi
aksial.

17

Gambar 2.12. Sudut Interinsisal.

4.Sudut gigi insisif mandibula terhadap dagu


Sejak dagu memiliki kontribusi secara umum pada outline wajah, maka
daerah ini harus dilakukan evaluasi. Derajat prominensia dari dagu dapat
mempengaruhi letak gigi pada lengkung rahang. Idealnya jarak antara permukaan
labial dari insisif bawah terhadap garis N-B adalah 4mm (gambar.11) Tetapi
diskrepansi sebanyak 2mm masih dapat diterima, begitu juga dengan 3mm masih
dapat ditoleransi.

2.3.3 Analisis Jaringan Lunak


Analisa jaringan lunak pada dasarnya berupa catatan grafis dari pengamatan
secara visual dalam pemeriksaan klinik terhadap pasien. Analisa jaringan lunak ini
termasuk penilaian terhadap adaptasi jaringan lunak ke tulang yang terdiri dari
ukuran, bentuk dan sikap bibir yang dilihat pada film lateral. Analisa pada jaringan
lunak menggunakan bantuan dari S-Line. S-Line ini pertama kali diperkenalkan
oleh Steiner, karena dianggap dapat membantu untuk mendiagnosa keadaan
18

jaringan lunak. Steiner mengatakan bahwa letak bibir yang ideal menyentuh garis S
yang dibentuk dari kontur dagu menuju bagian tengah dari batas bawah hidung.
Pada gambar 13.A menunjukkan posisi bibir yang normal, pada gambar
13.B terlihat posisi bibir yang lebih ke depan dari pada garis S, yang mana pada
kasus ini gigi-geligi atau rahang membutuhkan perawatan ortodontik untuk
memundurkannya. Sedangkan pada gambar 13C posisi bibir lebih ke dalam dari
pada garis S sehingga profil pasien menjadi cekung. Perawatan ortodontik ditujukan
untuk memajukan gigi-geligi dalam lengkung gigi untuk membentuk bibir
mendekati garis S.

Gambar 2.13. Bibir dalam posisi ideal, B : posisi bibir bawah protrusif, C : posisi bibir
retrusif.

19

BAB III
SIMPULAN

Analisis Steiner merupakan salah satu analisis yang paling sering


digunakan karena cukup mudah dan cepat pengerjaannya, juga merupakan analisis
yang paling populer yang digunakan untuk menentukan rencana perawatan
ortodonti. Analisis Steiner digunakan untuk melihat hubungan antara posisi rahang
terhadap basis kranium, melihat posisi rahang bawah terhadap rahang atas serta
melihat posisi serta inklinasi gigi pada rahang.
Analisis skeletal, dental dan jaringan lunak berperan dalam menentukan
diagnosis pada metode Steiner. Hasil analisis Steiner sangat berguna dalam
menentukan rencana perawatan ortodonti, yang didukung dengan paramater
pengukuran yang lebih sedikit namun mampu memberikan informasi klinis secara
maksimum.

20

DAFTAR PUSTAKA

Alkofide, Eman A., 2007. The shape and size of the sella turcica in tulang Class I,
Class II,and Class III Saudi subjects. European Journal of Orthodontics 29,
457463.
Andredaki, M., A. Koumantanou , D. Dorotheou and D. J. Halazonetis. 2007. A
cephalometric morphometric study of the sella turcica. European Journal of
Orthodontics 29 449456.
Http://en.wikipedia.org/wiki/Cecil_C._Steiner.
Jacobson, A., 1995. Stainer Analysis. Dalam Jacobson, A. Radiography
Cephalometry: from basic to videoimaging Selected reading, hlm. 77-85.
Hong Kong:Quintessence Publising.
Marcotty, Philipp Meyer, Tobias Reuther dan Angelika Stellzig-Eisenhauer. 2010.
Bridging of the sella turcica in tulang Class III subjects. European Journal
of Orthodontics 32, 148153.
Proffit, William R., Fields, Henry W., Sarver, David M., 2007. Contemporery
Orthodontics. Ed IV. Selected reading, hlm 208-210. St. Louis,
Missiouri:Mosby Elsevier.
Quakinine G E , Hardy J 1987 Microsurgical anatomy of the pituitary gland and
the sellar region: the pituitary gland . The American Surgeon 53 :285 290
Steiner, Cecil C. 1959. Cephalometrics In Clinical Practice. Journal of
Orthodontics Vol. 29, no. 1.

21

Rahardjo Pambudi.2008. Diagnosis Ortodontik,


Press.hlm: 163-164.
Soemantri, E.S.S., 1999. Sefalometri. Bandung.

22

Airlangga University

Anda mungkin juga menyukai