Anda di halaman 1dari 77

UNIVERSITAS INDONESIA

STUDI PENGARUH RASIO MASSA BIJIH BESI DAN


REDUKTOR PADA PROSES REDUKSI LANGSUNG
MENGGUNAKAN AMPAS TEBU (BAGASSE) SEBAGAI
REDUKTOR

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik

MUHAMMAD FAJAR RAMADHAN


110601471

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK METALURGI DAN MATERIAL
DEPOK
JUNI 2015

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,


dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar

Nama

: Muhammad Fajar Ramadhan

NPM

: 1106014671

Tanda Tangan

Tanggal

ii
Universitas Indonesia

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh


Nama

: Muhammad Fajar Ramadhan

NPM

: 1106014671

Program Studi

: Teknik Metalurgi dan Material

Judul Skripsi

: Studi Pengaruh Rasio Massa Bijih Besi Dan


Reduktor

Pada

Proses

Reduksi

Langsung

Menggunakan Ampas Tebu (Bagasse) Sebagai


Reduktor

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik pada
Program Studi Teknik Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik, Universitas
Indonesia.

DEWAN PENGUJI
Pembimbing

: Prof . Dr. Ir. Johny Wahyuadi, M. DEA. (...........................)

Penguji 1

: Prof. Dr. Ir. Sutopo, M.Sc.

(...........................)

Penguji 2

: Yudha Pratesa, S.T., M.T.

(...........................)

Ditetapkan di

: Depok

Tanggal

Juli 2015

iii
Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR

Pertama dan yang utama, puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, karena atas berkat dan limpahan kasih-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir skripsi ini. Skripsi ini berjudul STUDI PENGARUH
RASIO MASSA BIJIH BESI DAN REDUKTOR PADA PROSES REDUKSI
LANGSUNG MENGGUNAKAN AMPAS TEBU (BAGASSE) SEBAGAI
REDUKTOR. Peneletian ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknik Jurusan Metalurgi dan Material
Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak akan sangatlah sulit dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Johny Wahyuadi M. S., DEA, selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk turut berpartisipasi
aktif dalam proses penyusunan skripsi ini..
2. Prof. Dr. Ir. Sutopo, M.Sc. dan Yudha

Pratesa, S.T., M.T.

selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan dukungan dalam
penyusunan skripsi ini.
3. Prof. Dr. Ir. Bondan T. Sofyan, M.Si., selaku pembimbing akademis yang
telah membantu dalam mengarahkan selama masa perkuliahan.
4. Orang tua dan keluarga penulis yang telah memberikan bantuan,
dukungan, dan doa.
5. Riana Arfani Toro, wanita tersayang yang tak pernah berhenti mendoakan
penulis agar penyusunan skripsi ini selalu berlajalan lancar.
6. Pak Adi, selaku karyawan Laboratorium Metalografi PNJ yang
mendampingi selama proses pengerjaan reduksi bijih besi.
7. Pak Priyambodo, selaku dosen UIN Syarif Hidayatullah yang telah
membantu dalam mengkarakterisasi sampel penelitian ini.
8. Amanda Mandor Arif Putra, yang telah membantu banyak dalam
membimbing penulis selama penelitian ini.
iv
Universitas Indonesia

9. Rekan kerja tim penelitian skripsi ini yang terdiri dari John Samuel dan
Cornelius Erick untuk kerja keras dan kerja samanya selama mengerjakan
penelitian ini.
10. Bang Sajalih, selaku karyawan DTMM FTUI yang selalu membantu
dalam pengerjaan penelitian ini.
11. Saudara-saudara Makassar dari kontrakan Pulau Komodo yang
senantiasa menemani dan menghibur selama proses penyusunan skripsi
ini.
12. Seluarga keluarga besar Ikatan Mahasiswa Sulawesi Selatan angkatan
2011 yang selalu memberikan semangat selama pengerjaan skripsi ini.
13. Para asisten laboratorium pasir cetak dan pengecoran logam yang selalu
memberikan dukungan doa.
14. Ikatan Mahasiswa Metalurgi dan Material FTUI yang memberikan banyak
ilmu dan pengalaman berharga selama menjadi mahasiswa.
15. Badan Pengurus Harian IMMt FTUI 2013 yang menjadi rekan
seperjuangan selama menjabat organisasi.
16. Badan Pengurus Harian dan seluruh panitia Kersos FTUI 2014 yang telah
menjadi teman seperjuang bersama.
17. Seluruh keluarga besar Metalurgi dan Material 2011 Solid Cerdas
Tanggung Jawab atas

semangat

dan motivasinya hingga dapat

menyelesaikan skripsi ini.


18. Keluarga besar kontingen cabang sepakbola BIG 2015 yang selalu
memberikan dukungan dan hiburan selama penyusunan skripsi ini.
19. Senior dan junior yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
memberikan semangat dan doa dalam melaksanakan skripsi ini.
20. Seluruh pihak lain yang membantu dalam penelitian dan penulisan skripsi
ini

v
Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS


AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:
Nama

: Muhammad Fajar Ramadhan

NPM

: 1106014671

Departemen

: Teknik Metalurgi dan Material

Fakultas

: Teknik

Jenis karya

: Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Studi Pengaruh Rasio Massa Bijih Besi Dan Reduktor Pada Proses Reduksi
Langsung Menggunakan Ampas Tebu (Bagasse) Sebagai Reduktor
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif

ini

Universitas

Indonesia

berhak

menyimpan,

mengalih

media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat,


dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di

: Depok

Pada tanggal

Yang menyatakan,

(Muhammad Fajar Ramadhan)

vi
Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama

: Muh Fajar Ramadhan

Program Studi : Teknik Metalurgi dan Material


Judul

: Studi Pengaruh Rasio Massa Bijih Besi dan Reduktor Pada


Proses Reduksi Langsung Menggunakan Ampas Tebu (Bagasse)
Sebagai Reduktor

Indonesia mempunyai sumber daya maupun cadangan bijih besi yang


tersebar di berbagai daerah. Oleh karena itu, perlu dibuat sebuah teknologi
sederhana yang dapat mengolah bijih besi sehingga didapatkan konsentrasi besi
yang tinggi dengan biaya yang lebih rendah serta ramah lingkungan.
Bijih besi yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis Laterit yang
berasal dari Kalimantan. Sedangkan reduktor yang digunakan ialah ampas tebu
(bagasse). Rasio massa antara bijih besi dan ampas tebu adalah variabel yang
diatur pada penelitian ini, yaitu 1:1, 1:2, 1:3, dan 1:4. Proses dilakukan di dalam
muffle furnace dan dipanaskan pada temperatur 700o C dan 1000o C selama 30
menit agar terjadi proses reduksi. Untuk mengetahui optimalisasi proses dan
melihat hasil reduksi secara kualitatif, maka dilakukan karakterisasi sampel
dengan menggunakan uji XRD.
Hasil reduksi yang paling tinggi terdapat pada sampel dengan rasio massa
1:3 di kedua temperatur. Pada sampel tersebut, didapatkan produk reduksi, yaitu
Magnetit (Fe3O4) serta Wustite (FeO) dengan jumlah peak yang paling banyak
ataupun dengan intensitas peak yang paling tinggi.

Kata kunci

: Perbandingan Ratio Massa, Muffle Furnace, Bijih Besi, Ampas

Tebu.

vii
Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name

: Muh Fajar Ramadhan

Study program : Metallurgy and Materials Engineering


Title

: Effects of Mass Ratio Between Iron Ore and Reductor on Direct


Reduction Process by Using Bagasse As The Reducing Agents

Indonesia has the resources and reserves of iron ore scattered in various
areas. Therefore, it should be made a simple technology that can process the iron
ore to obtain a high concentration of iron with lower cost and environmentally
friendly.
Iron ore that used in this study is the Laterite type from Kalimantan and
the reducing agent is bagasse. The mass ratio between iron ore and bagasse is a
variable that is set in this. The mass ratio that used is 1: 1, 1: 2, 1: 3 and 1: 4. The
process operate in the muffle furnace and heated at temperature of 700o C and
1000o C for 30 minutes to a process of reduction. To find out the optimization of
the process and see the reduction results qualitatively, then the sample
characterized using XRD test.
The highest result is on the sample with 1: 3 of mass ratio in booth
temperature. On these samples, Magnetite (Fe3O4) and Wustite (FeO) as the
reduction product have the most number of peak or the highest peak intensity.

Keywords

: Mass Ratio, Muffle Furnace, Iron Ore, Bagasse.

viii
Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR . vi
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
ABSTRACT ......................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................1
1.2 Perumusan Masalah ...............................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................3
1.4 Ruang Lingkup .......................................................................................3
1.5 Hipotesa .................................................................................................3
1.6 Sistematika Penulisan ............................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................5
2.1 Profil Bijih Besi di Indonesia .................................................................5
2.2 Profil Ampas Tebu (Bagasse) di Indonesia ...........................................6
2.3 Profil Muffle Furnace.............................................................................8
2.4 Tinjauan Termodinamik Dekomposisi Termal Bijih Besi .....................9
2.4.1 Termokimia Reaksi .....................................................................9
2.4.2 Energi Bebas ................................................................................9
2.4.3 Tahapan Reaksi Reduksi ............................................................13
2.5 Tinjauan Termodinamik Dekomposisi Termal Ampas Tebu...............14
2.6 Mekanisme Reduksi Langsung ............................................................15
2.7 Mekanisme Karakterisasi .....................................................................17
2.7.1 Uji Proximate .............................................................................17

ix
Universitas Indonesia

2.7.2 XRD ...........................................................................................18

BAB III METODE PENELITIAN.........................................................................20


3.1 Diagram Alir Penelitian .......................................................................20
3.2 Alat dan Bahan .....................................................................................21
3.2.1 Alat ........................................................................................21
3.2.2 Bahan ....................................................................................21
3.3 Prosedur Penelitian...............................................................................21
3.3.1 Proses Reduksi Langsung .....................................................21
3.3.2 Karakterisasi Sampel .............................................................22
BAB IV PEMBAHASAN ......................................................................................23
4.1 Karakterisasi Awal Sampel ..................................................................23
4.1.1 Hasil XRD Sampel Awal ......................................................23
4.1.2 Hasil Uji Proximate dan Ultimate .........................................25
4.2 Proses Reduksi Langsung ....................................................................27
4.2.1 Mekanisme Reduksi Langsung .............................................27
4.3 Data Karakterisasi Akhir Hasil Reduksi Langsung .............................28
4.3.1 Hasil XRD Pada Temperatur 700o C
Dengan Rasio Massa 1 : 1 ....................................................29
4.3.2 Hasil XRD Pada Temperatur 700o C
Dengan Rasio Massa 1 : 2 ....................................................30
4.3.3 Hasil XRD Pada Temperatur 700o C
Dengan Rasio Massa 1 : 3 ....................................................31
4.3.4 Hasil XRD Pada Temperatur 700o C
Dengan Rasio Massa 1 : 4 ....................................................33
4.3.5 Hasil XRD Pada Temperatur 1000o C
Dengan Rasio Massa 1 : 1 ....................................................34
4.3.6 Hasil XRD Pada Temperatur 1000o C
Dengan Rasio Massa 1 : 2 ....................................................35
4.3.7 Hasil XRD Pada Temperatur 1000o C
Dengan Rasio Massa 1 : 3 ....................................................36
4.3.8 Hasil XRD Pada Temperatur 1000o C

x
Universitas Indonesia

Dengan Rasio Massa 1 : 4 ....................................................37


4.4 Perbandingan Hasil Uji XRD ...............................................................38
4.4.1 Perbandingan Hasil XRD Rasio Massa
Pada Temperatur 700o C........................................................39
4.4.2 Perbandingan Hasil XRD Rasio Massa
Pada Temperatur 1000o C......................................................40
4.5 Hasil Proses Reduksi Langsung ..........................................................41
4.6 Stoikiometri Reaksi Reduksi Langsung ..............................................44
4.7 Perbandingan Hasil Reduksi Menggunakan Ampas Tebu
Dengan Biomass Lainnya .....................................................................46
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................49
5.1 Kesimpulan .........................................................................................49
5.2 Saran ....................................................................................................50
DAFTAR REFERENSI ........................................................................................51

xi
Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Potensi Bijih Besi Indonesia ...................................................................1


Tabel 2.1 Sumber Daya dan Cadangan Bijih Besi di Kalimantan (2010) ...............5
Tabel 2.2 Luas Area Perkebunan Tebu di Indonesia...............................................6
Tabel 2.3 Hasil Analisis Serat Ampas Tebu ............................................................7
Tabel 4.1 Hasil Uji Proximate dan Ultimate Pada Ampas Tebu ...........................26
Tabel 4.2 Perbandingan Hasil Uji Proximate dengan Literature ..........................27
Tabel 4.3 Perbandingan Hasil Reduksi Menggunakan Ampas Tebu Dengan
Biomass Lainnya ..................................................................................46

xii
Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema Muffle Furnace. a) tampak samping, b) tampak depan ..........9
Gambar 2.2 Diagram Ellingham ..........................................................................11
Gambar 2.3 Diagram Glaessner Boudouard .....................................................12
Gambar 2.4 Dekomposisi Karbohidrat .................................................................15
Gambar 2.5 Sketsa mekanisme XRD ..................................................................19
Gambar 2.6 Contoh grafik XRD .........................................................................19
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian ....................................................................20
Gambar 4.1 Hasil XRD Data Awal .....................................................................23
Gambar 4.2 Pattern Standard Fe2O3 .....................................................................24
Gambar 4.3 Pattern Standard Fe3O4 ...................................................................24
Gambar 4.4 Pattern Standard FeO .......................................................................24
Gambar 4.5 Pattern Standard Fe ..........................................................................25
Gambar 4.6 Hasil XRD Data Awal Setelah Identifikasi .....................................25
Gambar 4.7 Hasil Reduksi Langsung, T=700o C, rasio massa 1:1 ......................29
Gambar 4.8 Hasil Reduksi Langsung, T=700o C, rasio massa 1:2 ......................30
Gambar 4.9 Hasil Reduksi Langsung, T=700o C, rasio massa 1:3 ......................32
Gambar 4.10 Hasil Reduksi Langsung, T=700o C, rasio massa 1:4 ....................33
Gambar 4.11 Hasil Reduksi Langsung, T=1000o C, rasio massa 1:1 ..................34
Gambar 4.12 Hasil Reduksi Langsung, T=1000o C, rasio massa 1:2...................35
Gambar 4.13 Hasil Reduksi Langsung, T=1000o C, rasio massa 1:3...................36
Gambar 4.14 Hasil Reduksi Langsung, T=1000o C, rasio massa 1:4...................37
Gambar 4.15 Perbandingan Hasil Reduksi Langsung Pada 700o C .....................39
Gambar 4.16 Perbandingan Hasil Reduksi Langsung Pada 1000o C ...................40
Gambar 4.17 Diagram Glaessner Boudouard ...................................................42
Gambar 4.18 Diagram Ellingham ........................................................................43
Gambar 4.19 Perbandingan grafik XRD hasil reduksi dengan ampas tebu dan
cangkang sawit ...............................................................................47
Gambar 4.20 Perbandingan grafik XRD hasil reduksi menggunakan arang
tempurung kelapa[29] dan ampas tebu .............................................48

xiii
Universitas Indonesia

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peralatan...........................................................................................54
Lampiran 2. Bahan ..............................................................................................56
Lampiran 3. Kondisi Proses .................................................................................57
Lampiran 4. XRD Temperatur 700o C, Rasio Massa 1:1 .....................................58
Lampiran 5. XRD Temperatur 700o C, Rasio Massa 1:3 .....................................59
Lampiran 6. XRD Temperatur 700o C, Rasio Massa 1:4 .....................................60
Lampiran 7. XRD Temperatur 1000o C, Rasio Massa 1:1 ...................................61
Lampiran 8. XRD Temperatur 1000o C, Rasio Massa 1:3 ...................................62
Lampiran 9. XRD Temperatur 1000o C, Rasio Massa 1:4 ...................................63

xiv
Universitas Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Bijih besi merupakan bahan baku utama dalam pembuatan baja. Sejak dulu, baja
merupakan material pokok yang digunakan oleh manusia untuk menjadi beragam
aplikasi. Saat ini, jumlah konsumsi baja menjadi salah satu parameter kemajuan suatu
negara. Tahun demi tahun kebutuhan akan produksi baja terus meningkat. Tentunya hal
ini harus diiukuti dengan ketersediaan bijih besi untuk menopang produksi tersebut.
Pertumbuhan bijih besi memiliki trend positif yang perlu diimbangi dengan
jumlah pasokan. Keseimbangan antara penggunaan (demand) dan ketersediaan (supply)
bijih besi merupakan kunci utama dalam usaha pengembangan industri baja nasional
maupun industri produsen bijih besi itu sendiri. Dari segi potensi sebaran bahan baku,
Indonesia memiliki prospek yang cukup cerah. Sumber daya keseluruhan bijih besi
Indonesia yaitu 3.257.171.469 ton dengan kandungan logam sekitar 1.009.896.711 ton,
sedangkan cadangan bijih besi Indonesia diperkirakan sekitar 87.228.005 ton dimana
kandungan logamnya diperkirakan sekitar 21.863.086 ton. Bijih besi yang terdapat di
Indonesia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu Bijih Besi Primer, Bijih besi laterit, dan
Pasir Besi.[1]
Tabel 1.1. Potensi Bijih Besi Indonesia (2010). [2]
Sumber Daya (ton)

Cadangan (ton)

Jenis Cebakan
Bijih

Logam

Bijih

Logam

Bijih Besi Primer

557.185.779

309.516.579

29.884.494

18.824.146

Laterit Besi

1.462.374.969

591.836.571

106.030.000

24.178.655

Pasir Besi

1.647.778.892

148.854.726

4.732.000

2.417.961

Besi Sedimen

18.002.186

11.496.162

1
Universitas Indonesia

Dengan sumber daya yang ada, menunjukkan bahwa Indonesia memerlukan


teknologi untuk dapat mengolah dengan optimal sumber daya tersebut. Didalam
pengolahannya pun, bijih besi ini dapat diolah menjadi pig iron atau sponge iron.
Pada pengolahan bijih besi tersebut terdapat 2 jenis pengolahannya yaitu
proses reduksi tidak langsung dan proses reduksi tidak langsung. Proses reduksi tidak
langsung dilakukan pada tanur tinggi. Pada prosesnya dibutuhkan kokas sebagai
pereduktor dan dalam prosesnya suhu yang digunakan diatas titik lebur besi. Proses
ini kurang efektif dikarena hanya dapat mereduksi bijih hingga kandungan Fe masih
[3]

dibawah 60% . Dan untuk mendapatkan 1 ton besi cair memerlukan sekitar 1600
[4]

Kg. bijih besi dan 90-120 kg batu bara .


Sedangkan pada proses reduksi langsung, proses reduksi dilakukan tanpa
mengalami fasa cair. Proses reduksi terjadi karena bersifat endotermik sehingga akan
lebih efisien. Efektivitas reduksi tersebut bisa mencapai 95%. [4]
Dari pertimbangan diatas, maka dirasa butuh sebuah teknologi sederhana
yang dapat mengolah bijih besi tersebut hingga mendapatkan konsentrasi yang lebih
tinggi dengan biaya yang terjangkau serta ramah lingkungan. Salah satu caranya
adalah dengan menggunakan bahan reduktor dari golongan biomass, dimana bahan
ini merupakan limbah agrikultur yang dapat diperbarukan dan sebelumnya tidak
pernah digunakan untuk pemanfaatan massal. Salah satu dari limbah agrikultur yang
dapat ditemukan dengan jumlah yang sangat banyak dan dengan biaya yang sangat
terjangkau serta ramah lingkungan adalah Ampas Tebu atau Bagasse.
Pada prosesnya, banyak penelitian yang harus dilakukan. Beberapa
diantaranya seperti, pengaruh rasio massa, temperatur, waktu proses, dll. Sebagai
salah satu dari penelitian tersebut maka disini akan dibahas tentang pengaruh rasio
massa terhadap reduksi Bijih Besi dengan menggunakan ampas tebu (bagasse)
sebagai reduktor.

1.2 Perumusan Masalah


Didalam mereduksi bijih besi agar menghasilkan besi spons, bijih besi
tersebut harus dijadikan pellet sehingga lebih mudah dalam proses pengolahannya.
Universitas Indonesia

3
Pada proses pengolahannya, banyak yang perlu diatur untuk mendapatkan konsentrasi
Fe yang tinggi sebagai salah satu contoh adalah rasio massa.
Rasio massa yang dimaksud adalah perbandingan massa antara raw material
dengan pereduksinya. Pereduksi tersebut merupakan fix carbon yang terdapat
pada ampas tebu. Nantinya akan ada pengaruh antara skala fix carbon tersebut
dengan raw material. Maka dari itu akan diatur rasio massa yang efisien untuk
mendapatkan konsentrasi Fe yang tinggi.

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui pengaruh Rasio Massa antara bijih besi dan ampas tebu terhadap
proses reduksi langsung;
2. Mengetahui konsentrasi Fe yang dihasilkan dalam proses reduksi langsung;
3. Mengetahui Rasio Massa antara bijih besi dan ampas tebu yang optimal dari
proses reduksi langsung.

1.4 Ruang Lingkup


Ruang lingkup dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Penelitian dilakukan pada sampel bijih besi yang berasal dari Kalimantan.
2. Ratio massa bijih besi dan ampas tebu yang digunakan adalah 1:1, 1:2,
1:3, d a n 1 : 4 dengan beberapa ketentuan.

1.5 Hipotesa
Hipotesa sebagai analisa awal pada penelitian ini adalah
1. Rasio

massa

antara

bijih

besi

dengan

pereduktornya

dapat

mempengaruhi optimalisasi proses, dikarenakan semakin banyak


jumlah pereduktor, maka semakin tinggi konsentrasi kadar Fe yang
dihasilkan.
2. Pada proses reduksi langsung, konsentrasi kadar Fe yang dihasilkan
dapat mencapai 95%.
3. Dari proses reduksi langsung ini rasio massa yang optimal dan efisien
adalah 1:2
Universitas Indonesia

4
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika

penulisan

disusun

sehingga

poin-poin

yang

ingin

disampaikan dapat tersusun dengan berurutan, sehingga akan didapat alur


pemikiran yang mudah dan praktis. Sistematika tersebut dapat diuraikan dalam
bentuk bab-bab yang saling berkaitan satu sama lain, diantaranya ialah:

BAB I

PENDAHULUAN

Berisi tentang penelitian secara umum, yang meliputi latar belakang,


perumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika
penulisan.

BAB II

DASAR TEORI

Berisi tentang teori-teori pendukung.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Membahas mengenai diagram alir penelitian, alat, bahan, prosedur


penelitian, dan pengujian benda uji.

BAB IV

PEMBAHASAN

Membahas mengenai analisa dari hasil pengujian dan membandingkannya


dengan teori serta hasil penelitian lain sebelumnya.

BAB V

KESIMPULAN

Berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan

Universitas Indonesia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Proses reduksi

dengan menggunakan Muffle Furnace merupakan

proses

reduksi langsung untuk mendapatkan konsentrasi logam yang diinginkan tanpa


melewati fasa cair. Keuntungan dari proses tersebut adalah energi yang dibutuhkan
lebih rendah dari pada proses reduksi melewati fasa cair seperti teknologi tanur tinggi
sehingga cocok untuk industri kecil di bidang produksi bijih besi menjadi pig iron atau
sponge iron.

2.1

Profil Bijih Besi di Indonesia


Data potensi endapan besi di Indonesia,

diperoleh dari hasil

penyelidikan masa kolonial Belanda, hasil penyelidikan kerja sama antara


Pemerintah Indonesia Uni Sovyet (akhir 1950-an) untuk
industri

baja

dilaksanakan

di Krakatau
oleh

Steel,

pemegang

dan

Kuasa

berbagai

pengembangan

penyelidikan

Pertambangan

serta

yang

lembaga

pemerintah.[5]
Di Indonesia sendiri, endapan bijih besi tersebar di berbagai wilayah.
Namun wilayah dengan endapan terbanyak berada di pulau Kalimantan. Pulau
Kalimantan dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia mempunyai
potensi bijih besi yang paling banyak, baik dari jumlah lokasinya maupun
sumber daya dan/atau cadangannya. Sampel bijih besi yang digunakan juga
berasal dari wilayah ini.
Tabel 2.1. Sumber Daya dan Cadangan Bijih Besi di Kalimantan (2010) [2]
Total Sumber Daya (ton)

Total Cadangan (ton)

Wilayah
Besi Primer

Besi Laterit

Besi Primer

Besi Laterit

Pulau Kalimantan

319.307.707

485.345.835

24.091.005

3.644.183

Kalimantan Selatan

10.071.860

485.345.835

3.737.890

3.644.183

5
Universitas Indonesia

6
Pada Juli Tahun 2008, produksi bijih besi mencapai Indonesia angka
2.377.775,54 ton dengan nilai ekspor 2.016.147,00 ton dan penggunaan domestik
sebesar 7.323,54 ton.[5]
Bijih besi yang terdapat di Indonesia terbagi menjadi beberapa jenis
yaitu Bijih besi Primer, Laterit dan Pasir Besi. Adapun kandungan yang
dimiliki oleh masing-masing jenis tersebut adalah sebagai berikut : [5]

2.2

Bijih Besi Primer dengan kandungan Fe sekitar 25-62%

Bijih Besi Laterit dengan kandungan Fe sekitar 40-56%

Pasir Besi dengan kandungan Fe sekitar 25-40%

Profil Ampas Tebu (Bagasse) di Indonesia


Tebu (Saccharum officinarum) adalah tanaman yang ditanam untuk bahan
baku gula. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Tanaman
ini termasuk jenis rumput-rumputan. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa
dipanen mencapai kurang lebih 1 tahun.
Setap tahun, total konsumsi gula Indonesia mengalami kenaikan setiap.
Hal ini diimbangi dengan bertambahnya luas area perkebunan tebu di Indonseia.
Berikut adalah data luas area perkebunan tebu di Indonesia dari tahun ke tahun :
Tabel 2.2. Luas Area Perkebunan Tebu di Indonesia [6]
Tahun

Luas Areal/ Area (Ha)

2005

381.785,8

2006

396.441,1

2007

428.401,2

2008

436.516,4

2009

416.630,0

2010

418.266,4

2011

450.298,1

2012

451.191,3

2013*

451.462,6

Keterangan : *) Sementara
Universitas Indonesia

7
Ampas tebu atau lazimnya disebut bagas, adalah hasil samping dari
proses ekstraksi (pemerahan) cairan tebu. Berdasarkan data dari Pusat Penelitian
Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) ampas tebu yang dihasilkan sebanyak 32%
dari berat tebu giling. Ampas tebu sebagian besar mengandung ligno-cellulose.
Panjang seratnya antara 1,7 sampai 2 mm dengan diameter sekitar 20 mikro,
sehingga ampas tebu ini dapat memenuhi persyaratan untuk diolah menjadi
papan-papan buatan. Bagase mengandung air 48 - 52%, gula rata-rata 3,3% dan
serat rata-rata 47,7%. Serat bagase tidak dapat larut dalam air dan sebagian
besar terdiri dari selulosa, pentosan dan lignin. Hasil analisis serat ampas tebu
adalah seperti dalam tabel berikut: [7]
Tabel 2.3. Hasil analisis serat ampas tebu [7]
Kandungan
Kadar (%)
Abu

3,82

Lignin

22,09

Selulosa

37,65

Sari

1,81

Pentosan

27,97

SiO2

3,01

Reduktor merupakan material yang digunakan sebagai pereduksi bijih


besi. Reduktor yang sebenarnya adalah karbon, dikarenakan karbon tersebut
akan bereaksi dengan bijih besi sehingga dapat meningkatkan kadar
konsentrasi Fe. Material biomass yang mengandung karbon antara lain
adalah ampas tebu, arang tempurung kelapa, arang kayu, dan lain-lain. Untuk
mengetahui karbon aktif pada ampas tebu, maka dilakukan uji proximate.
Berikut ini merupakan hasil uji proximate pada ampas tebu.

Universitas Indonesia

8
Tabel 2.4. Hasil Uji Proximate Pada Ampas Tebu [8]

Uraian

Prasyarat kualitas (%)


Dry Condition

2.3

Volatile Matter

79.60

Konsentrasi air

8.35

Konsentrasi abu

7.70

Karbon aktif murni

12.70

Profil Muffle Furnace


Muffle furnace adalah tungku listrik kecil berbentuk segi empat. Tungku
jenis ini biasanya digunakan untuk skala kecil, seperti penelitian di laboratorium.
Pada umumya, muffle furnace memiliki suhu kerja maksimum 1100 C - 1200 C.
Muffle furnace memiliki tiga bagian utama, yaitu unit kontrol elektronik, ruang
dalam (inner chamber), dan bagian isolator.
Prinsip kerjanya adalah dengan memanaskan udara dalam ruang melalui
pemanasan kawat resistansi menggunakan energi listrik. Pengontrolan suhu
tergantung pada kinerja unit kontrol elektronik. Temperatur dapat dikendalikan
serta diatur oleh operator dengan men-setting unit kontrol elektronik Muffle
furnace biasanya tidak mengandung unit pendingin. Pendinginan dilakukan hanya
dengan menurunkan temperatur pada unit kontrol atau dengan membuka pintu
furnace. Terkadang juga ditambahkan sistem pengipasan sederhana sehingga
pendinginan dilakukan oleh sistem kipas ini yang juga dibantu dengan adanya
cerobong asap. Pada saat yang sama, beberapa gas yang diambil dari ruang dalam
(inner chamber) dikeluarkan melalui cerobong asap. Sistem ini sangat berfungsi
untuk menghilangkan gas korosif dari ruang dalam tungku. Sehingga menghindar
reaksi dari kemungkinan terjadinya oksidasi selama proses di dalam furnace.[9]

Universitas Indonesia

a)

b)

Gambar 2.1. Sketsa Muffle Furnace [9]. a) tampak samping, b) tampak depan

2.4

Tinjauan Termodinamik Dekomposisi Termal Bijih Besi


2.4.1 Termokimia Reaksi
Pada proses kimia, reaksi membutuhkan energi, begitu pula di dalam furnace
itu sendiri. Reaksi terbagi menjadi 2 jenis yaitu, reaksi endoterm dan reaksi eksoterm.
Reaksi Endoterm adalah reaksi yang menyerap kalor, sedangkan reaksi eksoterm
adalah reaksi yang mengeluarkan kalor. Adapun contoh persamaan reaksinya sebagai
berikut:
Eksoterm:
C + O2 CO2 H = - 94.052 cal/mol

(2.1)

CO2 C + O2 H = 94.052 cal/mol

(2.2)

Endoterm:

2.4.2 Energi Bebas


Energi bebas adalah selisih antara energi total pada sistem. Energi Bebas
pada temperatur konstan dirumuskan sebagai berikut[10] :
F = H - TS

(2.3)
Universitas Indonesia

10

Keterangan :
F = Energi Bebas (cal/mol)
H = Entalpi (cal/mol)
T = Temperatur (K)
S = Perubahan Entropi
Apabila F bernilai negatif maka reaksi tersebut dapat berjalan secara
spontan, namun apabila suatu reaksi F bernilai positif maka reaksi tersebut tidak
dapat berjalan secara spontan. Contoh energy bebas beberapa reaksi sebagai
berikut[11] :
1. 2Fe + O2 = 2FeO

F = -124100 + 29,9T kal/mol

(2.4)

2. CO2 + C = 2CO

F = +40500 - 41,25T kal/mol

(2.5)

Energi bebas suatu reaksi juga dapat ditentukan dengan menggunakan prinsip
kesetimbangan kimia. Pada reaksi kimia :
A+BC+D

(2.6)

Kecepatan reaksi pereaktan sama dengan kecepatan pereaksi produk (Vreaktan =


Vproduk). Energi bebas dapat ditentukan dengan Persamaan :
(2.7)
Keterangan :
Fo = Energi bebas (cal/mol)
R = konstanta gas
T = Temperatur (K)
a = aktivitas

Aktivitas pada gas sama dengan tekanan parsial yang dimiliki oleh gas
tersebut. Untuk material padat dan cair, sama dengan konsentrasi yang dimiliki.
Terdapat sebuah diagram yang menunjukkan Energi Bebas suatu reaksi,
diagram tersebut adalah Diagram Ellingham. Pada diagram ini menunjukkan logam
yang aktif secara kimia memiliki energi bebas yang paling negatif dalam bentuk
Universitas Indonesia

11
oksida. Diagram ini memiliki sumbu x yang merupakan suhu sedangkan sumbu y
adalah Energi Gibbs. Energi bebas paling negatif mengindikasikan energi bebas
yang paling tinggi dan semakin tinggi energi bebas maka oksida tersebut akan lebih
stabil dalam bentuk oksida[12].
Diagram Ellingham ini juga menunjukkan pada suhu berapa reaksi tersebut
dapat terjadi. Hal ini ditunjukkan pada perpotongan antara kurva oksidasi dan garis
pembentukan CO[12].

Gambar 2.2 Diagram Ellingham [12]

Sebagai acuan lain dalam melakukan reduksi langsung selain menggunakan


diagram diatas, juga dapat merujuk ke diagram Boudard-Baur-Glaessner. Diagram
ini memperlihatkan kesetimbangan antara Fe, FeO, Fe3O4, Fe2O3, CO dan CO2.
Diagram ini menunjukkan reaksi endothermis, hal ini dapat dsimpulkan bahwa
reaksi yang terjadi membutuhkan energi untuk dapat menstabilkan gas CO [13].
Universitas Indonesia

12

Gambar 2.3. Diagram Glaessner Boudouard [13].


Gambar 2.3, memperlihatkan bahwa pada temperatur 700o C kurva
kesetimbangan menyentuh kurva reaksi antara Wustite (FeO) menjadi Besi (Fe). Di
titik lain, pada temperatur 650o C, kurva kesetimbangan menyentuh kurva reaksi
antara Magnetite (Fe3O4) menjadi Wustite (FeO). Hal ini menunjukkan bahwa untuk
menghasilkan senyawa Wustite, temperatur yang dibutuhkan adalah diatas 650o C.
Dan untuk menghasilkan unsur Besi yang stabil, maka dibutuhkan temperature
diatas 700o C [14].
Pada Gambar 2.3, juga terlihat bahwa pada temperatur 900o C terjadi
pembentukan CO 100% stabil. Hal ini tentunya mampu menghasilkan Besi pada
proses reduksi bijih besi. Seiring dengan turunnya temperatur pada proses reduksi,
maka terjadi penurunan kadar CO. Inilah yang menjadikan kandungan CO pada
proses tersebut menjadi tidak stabil. Dengan tidak stabilnya kandungan CO tersebut
maka proses terjadinya reduksi tidak mampu mencapai embentukan Besi murni (Fe)
dan bahkan dalam pembentukan Wustite (FeO) [14].
Universitas Indonesia

13
2.4.3 Tahapan Reaksi Reduksi
Ada tiga tahapan reaksi reduksi yang terjadi pada besi oksida dengan
reduktor karbon, yakni [13] :
I

II

III

Fe2O3 Fe3O4 FeO Fe


(I)

3Fe2O3 + CO 2Fe3O4 + CO2 = - 1236 cal

(2.8)

(II)

Fe3O4 + CO 3FeO + CO2 = 8664 cal

(2.9)

(III)

FeO + CO Fe + CO2 = - 4136 cal

(2.10)

Dengan menggunakan rumus energi bebas, maka persamaan di atas secara


termodinamika dapat ditulis sebagai berikut :

Persamaan (I)
6Fe2O3 4Fe3O4 + O2

FTo = +119.240 67,24T cal/mol

2CO + O2 2 CO2

FTo = -135.000 + 41,6 T cal/mol O2 (2.12)

(2.11)

6Fe2O3 + 2CO 4Fe3O4 + 2CO2 FTo = -15.760 25,64 T cal/mol O2 (2.13)


Atau
3Fe2O3 + CO 2Fe3O4+ CO2 FTo = -7.880 - 12.82 T cal/molO2

(2.14)

Persamaan (II)
2Fe3O4 6FeO + O2

FTo = +149.240 59,80T cal/molO2

(2.15)

2CO + O2 2CO2

FTo = -135.000 + 41,6 T cal/molO2

(2.16)

2Fe3O4+2CO 6FeO+2CO2 FTo = + 14.240 18,2 T cal/molO2

(2.17)

Atau
FTo = + 7.120 9,1 T cal/molO2

(2.18)

2FeO Fe + O2

FTo = +124.100 29,90T cal/molO2

(2.19)

2CO + O2 2 CO2

FTo = -135.000 + 41,6 T cal/molO2

Fe3O4+CO 3FeO+CO2
Persamaan (III)

2FeO + 2CO 2Fe + 2CO2

(2.20)

FT = -10.900 + 11,7 T cal/molO2

(2.21)

FTo = -5.450 + 5,85 T cal/molO2

(2.22)

Atau
FeO + CO Fe + CO2

Universitas Indonesia

14
Untuk mengetahui apakah reaksi ini dapat berlangsung atau tidak pada
temperatur tertentu, maka kita perlu menghitung nilai energi bebasnya. Arti tanda
positif pada nilai energi bebas adalah reaksi tersebut tidak akan berjalan,
sebaliknya jika tanda nilai energi bebas negatif maka reaksi tersebut akan
berjalan. Semakin negatif nilai energi bebas maka reaksi tersebut akan berjalan
semakin cepat.

2.5

Tinjauan Termodinamik Dekomposisi Termal Ampas Tebu


Pada proses ini, bahan yang digunakan sebagai pereduksi adalah Ampas
Tebu (Bagasse). Ampas Tebu yang dipanaskan akan mengalami proses
pembakaran dan mengeluarkan gas-gas reduktor sebagai pereduktor proses ini.
Kualitas karbon aktif tergantung dari jenis bahan baku, teknologi pengolahan,
cara pengerjaan dan ketepatan penggunaannya.
Ampas tebu merupakan bahan reduktor pada proses reduksi dalam
furnace. Ampas tebu termasuk dalam senyawa karbohidrat dengan komposisi
yang sudah tertera pada pembahasan di atas. Dalam pemakaian ampas tebu
sebagai reduktor, ampas tebu langsung dicampur dengan pellet bijih besi.
Selama karbonisasi, unsur-unsur seperti Hidrogen dan Oksigen atau
Oksida dikeluarkan dari struktur selulosa untuk menghasilkan arang pada
temperatur 250 C dan pada tekanan 1 atmosfer.[15]

(2.23)
Kadar air yang tinggi dapat mengkatalisis dekomposisi karbon char,
sehingga menghasilkan yield Karbon yang sangat rendah, seperti yang
ditunjukkan oleh persamaan berikut. [15]
(2.24)
(2.25)
(2.26)
(2.27)

Universitas Indonesia

15
Ampas tebu akan terdekomposisi alam kondisi ruangan yang vakum pada
temperatur tertentu. Pada pemanasan material biomass seperti tebu didapat bahwa
selulosa akan terdekomposisi pada suhu sekitar 310 430o C dan menghasilkan 8%
weight char dalam bentuk padatan residu hasil penguapan gas dan liquid.
Sedangkan lignin akan terdekomposisi pada suhu 300-530oC dan 55% dari beratnya
akan menjadi char [16]

Gambar 2.4. Dekomposisi Karbohidrat [16]


Pada temperatur yang lebih tinggi terjadi pemutusan ikatan C-C dan C-H dan
menghasilkan gas gasifasi: CO, CO2, H2, dan CH4. Gas-gas inilah yang nantinya
digunakan sebagai pereduksi pada proses reduksi langsung bijih besi.
2.6

Mekanisme Reduksi Langsung


Reduksi dalam furnace terjadi akibat adanya gas-gas hasil gasifikasi dari
pemanasan ampas tebu. Gas tersebut berupa CO, CO2, H2, dan CH4. Selain itu dari
hasil gasifasi juga didapat char, yaitu padatan residu yang memiliki kandungan
karbon juga. Maka reaksi yang dapat terjadi di dalam furnace antara lain :
Fe3O4 + CO 3FeO + CO2

(2.28)

FeO + CO Fe + CO2

(2.29)

Universitas Indonesia

16
Karbondioksida yang terbentuk dapat bereaksi dengan:
CH4 + CO2 2CO + 2H2

(2.30)

Karbon monoksida dapat mereduksi bijih besi seperti berikut [17]:


Fe3O4 + CO 3FeO + CO2

(2.31)

FeO + CO Fe + CO2

(2.32)

Gas Karbon juga dapat mereduksi bijih besi seperti reaksi berikut [18] :
Fe3O4 + C 3FeO + CO

(2.33)

FeO + C Fe + CO

(2.34)

Gas Hidrogen pun dapat mereduksi bijih besi seperti pada reaksi berikut [13] :
Fe3O4 + H2 3FeO + H2O

(2.35)

FeO + H2 Fe + H2O

(2.36)

Sehingga dari proses yang terjadi sangat banyak produk-produk yang


dapat dihasilkan sehingga kemungkinan bijih besi akan tereduksi akan sangat
besar. Hal ini dikarenakan gas yang dihasilkan oleh fix carbon pada batu bara
dapat bereaksi dengan oksida besi sehingga didapatkan konsentrasi Fe yang besar.
Reaksi kimia adalah sebuah proses yang akan membentuk senyawa
kimia. Dalam prosesnya, reaksi kimia membutuhkan energi, energi ini yang
akan membuat material tersebut bereaksi. Dan hal ini juga membuktikan
bahwa seluruh material memiliki energi. Reaksi terbagi menjadi 2, yaitu
reaksi Endoterm dan Eksoterm. Reaksi Endoterm adalah reaksi yang
menyerap

kalor,

sedangkan

Reaksi

Eksoterm

adalah

reaksi

yang

mengeluarkan kalor.
Didalam pembentukan senyawa, akan terjadi reaksi Eksoterm karena
terjadi reaksi pembentukan seperti contoh persamaan reaksi berikut :
C + O2 CO2 , H = - 94.052 cal/mol

(2.37)

Universitas Indonesia

17
Sedangkan didalam penguraian senyawa akan terjadi reaksi endoterm karena
reaksi tersebut menyerap kalor, seperti :
CO2 C + O2 , H = 94.052 cal/mol

2.7

(2.38)

Mekanisme Karakterisasi
2.7.1

Uji Proximate
Untuk mengetahui atau menganalisa jumlah moisture, ash, volatile matter dan

fix carbon pada reduktor. Analisa dalam mengetahui jumlah hal tersebut adalah untuk
menunjukkan kesetimbangan panas, kesetimbangan tersebut terbentuk karena terdapat
volatile matter dan fixed carbon dari reduktor[19]. Moisture merupakan kandungan air
yang terdapat pada reduktor. Kandungan air dalam reduktor dapat ditentukan dengan
cara mengeringkan reduktor pada oven. 5 gram sampel dihaluskan dan ditimbang
sebagai berat awal sampel. Kemudian sampel dikeringkan pada oven pada
temperature 105o C, selanjutnya sampel didinginkan pada eksikator selama 15 menit
sebelum ditimbang berat akhir[20]. Setelah itu kadar air dapat dihitung menggunakan
rumus berikut :
( )

(2.39)

Ash adalah zat yang tidak terbakar atau biasa dikatakan dengan debu, zat ini
umumnya terdiri dari senyawa-senyawa silika oksida, kalsium oksida, dan mineral
lainnya[20]. Jumlah Ash dalam reduktor dapat ditentukan denga menimbang sampel 5
gram kemudian dikeringkan pada temperature 1500C. Setelah itu sampel dipanaskan
diatas bara atau pada lampu infra merah hingga asap berhenti mengepul. Kemudian
dimasukkan ke dalam tanur dan diabukan pada suhu 6500C hingga terbentuk abu
putih. Abu tersebut kemudian dibasahi dengan aquadest dan kemudian dikeringkan
kembali[21].

( )

(2.40)

Universitas Indonesia

18
Volatile matter adalah zat yang mudah menguap pada reduktor, pada
prinsipnya yang ditentukan adalah zat selain air. Zat-zat ini akan muncul setelah
reduktor dikenakan pada temperature tinggi tanpa terdapat oksigen[20]. Untuk
mengetahui jumlah zat yang mudah menguap ini dapa digunakan dengan menimbang
sampel hingga 20 gram dan dipanaskan pada tanur pada temperature 800-9000C
selama 15 menit. Kemudian sampel didinginkan dalam eksikator dan ditimbang[21].

( )

(2.41)

Fixed Carbon adalah kandungan karbon yang terdapat pada reduktor. Namun
kandungan karbon ini berbeda pada umumnya, karena kandungan karbon yang
dimaksud adalah karbon yang berikatan dan membentuk senyawa hidrokarbon[19].
Untuk menentukan kandungan ini maka hanya dilakukan pengurangan dari seluruh
kandungan yang ada seperti Moisture, Ash dan Volatile matter[21].

2.7.2

XRD
X-ray diffraction (XRD) merupakan sebuah metode yang digunakan dalam

mengkarakterisasi material untuk mengetahui senyawa atau fasa yang terdapat


didalamnya. Setiap material memiliki struktur kristal tertentu, ada yang bersifat
kristalin dan amorphous. Amorphous menunjukkan bahwa stuktur kristal yang
dimiliki oleh material tersebut tidak beraturan (random) seperti pada cairan,
sedangkan kristalin menunjukkan bahwa struktur kristal yang tersusun rapi seperti
membentuk suatu cetakan tertentu. Pada pengujian ini, senyawa diketahui disaat
material yang dikarakterisasi tersebut membentuk struktur kristalin[21].
Prinsip kerja alat ini adalah dengan menembakkan sinar x kepada sampel
diberbagai arah. Penembakan ke berbagai arah ini dilakukan dengan memutar sampel
hingga sudut tertentu. Pantulan sinar X dari sampel akan ditangkap dengan sensor.
Parameter yang terdapat pada alat ini adalah intensitas dan sudut penembakan, maka
dari itu hasil yang dikeluarkan berbentuk grafik antara Intensitas vs 2 2.

Universitas Indonesia

19

Gambar 2.5. Sketsa mekanisme XRD[21]

Intensitas yang dihasilkan berasal dari pantulan sinar X yang ditangkap oleh
sensor. Semakin kristalin senyawa yang terdapat pada sampel, maka semakin
diketahui bahwa pada sampel terbentuk senyawa tersebut. Dalam melakukan
karakterisasi, grafik hasil uji XRD ini akan dibandingkan dengan pattern standard
yang dimiliki oleh senyawa tersebut. Pada sampel ini diindikasikan terdapat senyawa
tersebut apabila setidaknya terdapat 3 peak yang sesuai dengan pattern standard,
contoh grafik XRD dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.6. Contoh grafik XRD

Universitas Indonesia

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Agar penelitian lebih sistematis dan terarah maka dari itu, disusun diagram alir
seperti pada gambar 3.1.
3.1

Diagram Alir Penelitian


MULAI

1:1
1:2
1:3
1:4

BIJIH BESI

AMPAS
TEBU

REDUKSI
CRUSHING
SIZING & CRUSHING
CRUSHING

XRD

XRD
PROXIMATE & ULTMMATE
DATA

ANALISA dan
KESIMPULAN

SELESAI

Gambar 3.1. Diagram alir penelitian

20
Universitas Indonesia

21

3.2 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam proses penelitian ini adalah
sebagai berikut :

3.2.1 Alat
Alat yang digunakan pada proses penelitian ini adalah :
a. Muffle furnace sebagai tempat terjadinya reduksi bijih besi
b. Mesin XRD, untuk mengetahui kadar senyawa Fe pada hasil
reduksi
c. Thermo Couple, untuk mengetahui temperature pada proses
reduksi berlangsung.
d. Timbangan Digital, untuk menimbang material yang masuk
pada Muffle Furnace
e. Krusibel, sebagai wadah penempatan ampas tebu dan bijih besi
saat berada di dalam furnace
f. Pelat baja, sebagai penutup krusibel.
.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian
a. Bijih besi sebagai raw material.
b. Ampas tebu yang digunakan sebagai pereduktor.

3.3 Prosedur Penelitian


Proses yang terdapat di bawah ini adalah proses yang akan dilakukan
selama proses penelitian.

3.3.1 Proses Reduksi Langsung


Proses ini berlangsung pada muffle furnace. Sampel bijih besi yang
sudah berukuran kecil seperti kerikil akan dibungkus dengan ampas tebu.
Keduanya akan dimasukkan di dalam krusibel. Setelah itu dimasukkan ke
dalam Muffle furnace yang kemudian dikondisikan pada temperature
700oC dan 1000oC.

Universitas Indonesia

22

Pada proses ini raw material dan pereduktornya akan dimasukkan


secara bersamaan dalam wadah krusibel. Proses ini dilakukan sampai
dengan batasan perbandingan antara raw material dengan pereduktornya
yaitu 1:1, 1:2, dan 1:3, 1:4.
Setelah proses reduksi selesai, maka sampel akan dikeluarkan dari
furnace dan kemudian raw material yang telah direduksi tersebut dihitung
kadar Fe yang terdapat didalamnya. Pengukuran kadar Fe pada hasil
reduksi menggunakan XRD.
3.3.2 Karakterisasi Sampel
Karakterisasi dilakukan pada sampel bijih besi sebelum reduksi dan
setelah proses reduksi dengan menggunakan XRD untuk mengetahui
senyawa terbentuk pada sampel. Hasil pengujian XRD merupakan grafik
perpaduan sumbu 2 dan Intensitas. Kemudian grafik ini dibandingkan
dengan pattern standard yang dihasilkan oleh software Xpert High Score.
Untuk ampas tebu, karakterisasi dilakukan dengan uji proximate dan
ultimate untuk mengetahui komposisi yang terkandung di dalamnya.
Kandungan penting seperti persentase Moisture, Ash, Volatile Matter dan
Fixed Carbon nantinya terlihat dari hasil uji tersebut.

Universitas Indonesia

BAB IV
PEMBAHASAN

Dari metode penelitian menghasilkan data-data yang akan mengarahkan ke


hipotesis awal. Data-data tersebut diolah dan kemudian dilakukan pembahasan
untuk mengetahui hasil akhir dan kesimpulan dari dilakukannya penelitian ini.
Adapun data yang terdapat pada penelitian ini adalah data awal, data pendukung
dan data akhir dari proses penelitian. Pembahasan yang dilakukan adalah
pembahasan dari setiap data yang ada.

4.1

Karakterisasi Awal Sampel


Karakterisasi awal ini guna untuk mendapatkan data awal dari sampel

sebelum dilakukannya proses reduksi. Hal ini berguna sebagai data pembanding
setelah didapatkan data hasil setelah reduksi.

4.1.1

Hasil XRD Sampel Awal


Karakterisasi sampel ini dilakukan dengan menggunakan alat Uji

XRD yang terdapat pada Pusat Laboratorium Terpadu Universitas Islam


Negeri Syarif Hidayatullah pada tanggal 2 Juni 2015.

Gambar 4.1 Hasil XRD Data Awal

23
Universitas Indonesia

24

Data hasil XRD belum diidentifikasi pada Gambar 4.1 akan


dilakukan analisa dengan menggunakan Software Xpert High Score. Dari
Software tersebut didapatkan pattern standard yang digunakan dalam
mengidentifikasi atau mengkarakterisasi. Pattern yang digunakan sebagai
pembanding adalah pattern Fe2O3, Fe3O4, FeO dan Fe. Hal ini dikarenakan
dalam proses reduksi yang dilakukan reaksi yang timbul adalah untuk
menghasilkan senyawa senyawa tersebut kecuali Fe2O3. Hematite
(Fe2O3) merupakan senyawa bijih besi yang digunakan sebelum direduksi.
Gambar 4.2, 4.3, 4.4, dan 4.5 merupakan pattern standard yang digunakan
sebagai pembanding.

Gambar 4.2. Pattern Standard Fe2O3

Gambar 4.3. Pattern Standard Fe3O4

Gambar 4.4. Pattern Standard FeO

Universitas Indonesia

25

Gambar 4.5. Pattern Standard Fe

Data hasil XRD kemudian dibandingkan dengan pattern tersebut,


sehingga dapat diidentifikasi peak mana yang menunjukkan terdapatnya
senyawa Fe2O3 dan Fe3O4. Penggunaan pattern standard ini dikarenakan
sampel yang digunakan sebagai raw material adalah bijih besi. Oleh
karena itu diduga pada raw material ini memiliki data awal sebagai
Hematite. Namun setelah mendapatkan hasil diidentifikasi diketahui
bahwa Hematite, Magnetite dan senyawa pengotor terdapat didalamnya
hal ini ditunjukkan pada Gambar 4.6.

Gambar 4.6. Hasil XRD Data Awal setelah Identifikasi

4.1.2

Hasil Uji Proximate dan Ultimate


Pengujian proximate merupakan pengujian untuk menganalisa

kandungan yang terdapat pada ampas tebu selama terjadinya proses

Universitas Indonesia

26

pembakaran. Kandungan yang akan didapati pada pengujian ini adalah


Moisture, Ash, Volatile Matter, dan Fixed Carbon. Sedangkan pengujian
Ultimate didapatkan kandungan unsur Carbon, Hydrogen, Nitrogen,
Sulphur, dan Oksigen pada ampas tebu. Pengujian ini dilakukan di
Laboratorium Batubara, TEKMIRA.

Tabel 4.1 Hasil Uji Proximate dan Ultimate Pada Ampas Tebu
Sampel Marks
ANALYSIS PARAMETER

No. Lab
1357/15

Unit

Basis

Ampas Tebu
Proximate:
Moisture in air dried sample

6,75

adb

Ash

1,77

adb

Volatile matter

78,40

adb

Fixed carbon

13,08

adb

Carbon

45,68

adb

Hydrogen

6,71

adb

Nitrogen

0,30

adb

Total Sulphur

0,24

adb

Oxygen

45,43

adb

Ultimate:

Dari Tabel 4.1. terlihat bahwa pada ampas tebu memiliki Fixed
Carbon yang lebih sedikit dibandingkan dengan arang tempurng kelapa.
Sedangkan Volatile Matter lebih tinggi

dibandingkan dengan arang

tempurung kelapa. Hal ini sesuai dengan teori yang ada bahwa kandungan
Volatile Matter dan Fixed carbon selalu berbanding terbalik.
Tabel 4.2 menunjukkan perbandingan hasil uji proximate ampas tebu
dengan literatur. Terlihat jumlah kandungan volatile matter dan karbon aktif
antara literatur dan sampel cukup sesuai. Ampas tebu tetap digunakan sebagai

Universitas Indonesia

27

reduktor karena dalam volatile matter terdapat kandungan senyawa CH 4, yang


mana senyawa ini juga dapat digunakan sebagai pereduksi.

Tabel 4.2 Perbandingan Hasil Uji Proximate dengan Literatur


Literatur

Ampas Tebu

(%)

(%)

Volatile Matter

79.60

78,40

Konsentrasi air

8.35

6,75

Konsentrasi abu

7.70

1,77

12.70

13,08

No

Uraian

Karbon aktif
murni

Terjadinya perbedaan dikarenakan terdapatnya perbedaan ampas


tebu

yang digunakan. Perbedaan tersebut dapat menghasilkan jumlah

kandungan yang tidak sama. Selain itu, perbedaan juga dapat dihasilkan
dari proses penyimpanan ampas tebu. Ketika ampas tebu tersebut disimpan
dalam lingkungan yang lembab maka kandungan air akan diserap kembali
oleh ampas tebu, hal ini sesuai sifat yang dimiliki oleh arang itu sendiri
untuk menyerap uap air.

4.2

Proses Reduksi Langsung

Pada penelitian ini dilakukan proses reduksi langsung dengan rasio massa
sebagai variabel yang akan dibahas. Proses reduksi langsung yang dilakukan
adalah dengan metode pemanasan pada muffle furnace di Laboratorium
Metalografi Politeknik Negeri Jakarta.

4.2.1

Mekanisme Proses Reduksi Langsung


Pada penelitian ini dilakukan prosedur standar yang ditentukan

sesuai dengan eksperimen yang dilakukan bersama. Untuk mendapatkan


hasil yang efisien dibutuhkan prosedur proses reduksi yang baik.

Universitas Indonesia

28

Eksperimen dalam mekanisme proses reduksi adalah dengan melakukan


prosedur prosedur sesuai dengan asumsi yang ada dari pembacaan
literature serta hasil konsultasi dengan ahli. Sebelum memulai proses,
muffle furnace terlebih dahulu dipanaskan pada suhu yang diinginkan
tanpa terisi sampel uji. Hal ini bertujuan agar sampel uji langsung
dikondisikan sesuai dengan lingkungan dan temperatur reduksi yang
diiginkan.
Pertama keringkan ampas tebu pada udara terbuka dengan tujuan
untuk menghilangkan kandungan airnya. Selanjutnya potong ampas tebu
menjadi bagian-bagian kecil, sekitar 1-2 cm. Hal ini dilakukan agar proses
reduksi bisa berlangsung lebih optimal, karena dengan ukuran kecil, luas
pemukaan reduktor ampas tebu menjadi bertambah.
Selanjutnya, bijih besi dan ampas tebu ditimbang sesuai dengan
ratio massa yang telah ditentukan, yaitu 1:1, 1:2, 1:3, dan 1:4. Kemudian
atur temperatur pada muffle furnace. Saat temperatur pada furnace telah
menunjukkan temperatur yang diinginkan ( 700oC dan 1000oC ), barulah
kedua material tersebut dibakar bersamaan di dalam furnace menggunakan
krusibel / kowi sebagai wadahnya dan ditutup dengan pelat baja. Sebelum
digunakan, krusibel / kowi terlebih dahulu di-coating menggunakan
coating tahan api. Proses ini berlangsung selama 30 menit.

4.3

Data Karakterisasi Akhir Hasil Reduksi Langsung


Pada

penelitian

ini

dilakukan

proses

reduksi

langsung

dengan

menggunakan Muffle Furnace. Parameter yang menjadi pembeda pada penelitian


ini adalah rasio massa antara bijih besi dengan ampas tebu. Adapun parameter
rasio massa yang telah ditentukan adalah 1 : 1, 1 : 3, dan 1 : 4. Karakterisasi akhir
dilakukan setelah sampel melewati proses reduksi langsung sesuai dengan
parameter yang ada. Karakterisasi dilakukan dengan melakukan pengujian XRD
pada setiap sampel.
Pada proses reduksi langsung, terjadi pembentukan gas CO pada waktu
tertentu. Selanjutnya gas CO tersebut akan berdifusi ke dalam bijih besi kemudian
mereduksinya dalam beberapa waktu. Variabel yang digunakan pada penelitian ini

Universitas Indonesia

29

adalah rasio massa bijih besi dengan ampas tebu yaitu 1:1, 1:2, 1:3, dan 1:4 pada
temperatur 700 oC dan 1000oC selama 30 menit.

4.3.1 Hasil XRD Pada Temperatur 700o C Dengan Rasio Massa 1:1
Pada sampel ini, didapatkan hasil setelah melakukan proses reduksi
dengan massa bijih besi sebanyak 9 gram dan massa ampas tebu sebesar 9
gram. Setelah dilakukan uji XRD terhadap sampel hasil reduksi, grafik hasil
reduksi dibandingan dengan pattern standard sesuai pada Gambar 4.2, 4.3,
4.4, dan 4.5 untuk mengidentifikasi kesesuaian peak yang terdapat pada
grafik. Sedangkan dilakukan juga pembandingan dengan Gambar 4.6. sebagai
sampel awal untuk mengetahui terjadinya proses reduksi.

Gambar 4.7. Hasil Reduksi Langsung, T=700o C, rasio massa 1:1

Pertama-tama dilakukan didentifikasi pada grafik untuk mengetahui


peak yang terbentuk dari sampel hasil reduksi. Pada Gambar 4.7. didapatkan
bahwa senyawa yang terbentuk adalah Magnetite (Fe3O4) dan Hematite
(Fe2O3). Hal penting yang perlu diketahui dari grafik ini adalah terbentuknya
senyawa Magnetite (Fe3O4) sebagai hasil reduksi awal dari sampel bijih besi
yang diuji. Diketahui bahwa sampel bijih besi yang digunakan adalah bijih
besi dengan senyawa Hematite (Fe2O3).

Universitas Indonesia

30

Tampak pada grafik, peak atau puncak maksimum dari senyawa


Fe3O4 berada pada rentang 30 40 di sumbu 2. Pada peak tersebut nilai
intensitas mencapai angka 1800. Nilai tersebut meningkat cukup tinggi jika
dibandingkan dengan sampel awal yang memiliki intensitas pada range 300
350. Hal ini mengindikasikan kadar Fe3O4 meningkat jika dibanding dengan
sampel awal.
Terlihat juga bahwa dari 9 peak yang teridentifikasi, terdapat 7 peak
yang menunjukkan terbentuknya senyawa Magnetit. Sedangkan hanya ada 2
peak yang menunjukkan senyawa Hematit. Hal ini menjelaskan bahwa pada
percobaan ini, senyawa Hematit sudah mulai tereduksi menjadi senyawa
Magnetit.
4.3.2 Hasil XRD Pada Temperatur 700o C Dengan Rasio Massa 1:2
Untuk sampel ini, proses reduksi dilakukan dengan massa bijih besi
sebesar 8 gram dan massa ampas tebu sebesar 16 gram. Selanjutnya
dilakukan prosedur yang sama dengan sampel sebelumnya, yaitu dengan
menguji XRD pada sampel hasil reduksi serta membandingkan pattern
dengan grafik sampel awal sebelum reduksi.

Gambar 4.8. Hasil Reduksi Langsung, T=700o C, rasio massa 1:2

Universitas Indonesia

31

Setelah melakukan identifikasi pada peak yang terbentuk, ditemukan


bahwa pada Gambar 4.8 senyawa yang terbentuk masih sama, yaitu
Magnetite (Fe3O4) dan Hematite (Fe2O3). Dari grafik ini, dapat dikatakan
bahwa proses reduksi dari senyawa Hematite menjadi Magnetite juga terjadi.
Pada grafik, terlihat peak tertinggi dari senyawa Fe3O4 berada pada
nilai 30 di sumbu 2. Pada peak tersebut nilai intensitas mencapai angka
1300. Nilai ini tergolong cukup tinggi jika dibandingkan dengan sampel awal
yang hanya memiliki intensitas pada range 300 350. Hal ini juga
menandakan bahwa terjadi peningkatan kadar Magnetit pada sampel hasil
hasil reduksi jika dibanding dengan sampel awal.
Pada rentang nilai 30-40 di sumbu 2, terdapat peak tertinggi yang
menunjukkan senyawa Hematit. Ini mengindikasikan bahwa masih ada
senyawa Hematit pada sampel dengan kadar yang cukup tinggi. Hal ini bisa
saja diakibatkan oleh perlakuan yang kurang optimal pada proses reduksi,
seperti

lingkungan proses

yang tidak

sepenuhnya

vakum

ataupun

penyimpanan sampel yang tidak tertutup rapat sehingga ada beberapa bagian
dari sampel yang kembali teroksidasi dari Magnetit ke Hematit.
Namun secara umum, tampak bahwa dari 10 peak yang
teridentifikasi, terdapat 7 peak yang didominasi oleh senyawa Magnetit.
Sedangkan hanya ada 3 peak yang menunjukkan senyawa Hematit. Hal ini
menjelaskan bahwa pada sampel ini, mayoritas senyawa Hematit telah
tereduksi menjadi senyawa Magnetit.
4.3.3 Hasil XRD Pada Temperatur 700o C Dengan Rasio Massa 1:3
Pada sampel ini, reduksi dilakukan dengan massa bijih besi sebesar
6,5 gram dan massa ampas tebu sebesar 19,5 gram. Selanjutnya dilakukan
prosedur yang sama dengan sampel sebelumnya, yaitu dengan menguji XRD
pada sampel hasil reduksi serta membandingkan pattern dengan grafik sampel
awal sebelum reduksi

Universitas Indonesia

32

.
Gambar 4.9. Hasil Reduksi Langsung, T=700o C, rasio massa 1:3

Pada Gambar 4.9. senyawa yang terbentuk masih sama dengan


sampel sebelumnya, yaitu. Magnetite (Fe3O4) dan Hematite (Fe2O3). Terlihat
bahwa 6 dari 7 peak yang teridentifikasi, merupakan peak untuk senyawa
Magnetit. Sedangkan hanya ada 1 peak dengan intensitas rendah yang
menunjukkan senyawa Hematit Hal ini menjelaskan bahwa pada percobaan
ini, senyawa Hematit semakin berkurang karena tereduksi menjadi senyawa
Magnetit.
Pada gambar grafik juga terlihat

peak maksimum dari senyawa

Fe3O4 berada pada rentang nilai 30 40 di sumbu 2 dengan intensitas


mencapai angka 1800. Nilai tersebut kembali meningkat dari sampel
sebelumnya. Nilai ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan sampel awal
yang hanya memiliki intensitas pada range 300 350. Hal ini memperjelas
bahwa kadar Fe3O4 meningkat jika dibanding dengan sampel awal sebelum
proses reduksi.

Universitas Indonesia

33

4.3.4 Hasil XRD Pada Temperatur 700o C Dengan Rasio Massa 1:4
Pada sampel ini, proses reduksi dilakukan dengan massa bijih besi
sebesar 5,5 gram dan massa ampas tebu sebesar 22 gram. Selanjutnya
dilakukan prosedur yang sama dengan sampel sebelumnya, yaitu dengan
menguji XRD pada sampel hasil reduksi serta membandingkan pattern
dengan grafik sampel awal sebelum reduksi.

Gambar 4.10. Hasil Reduksi Langsung, T=700o C, rasio massa 1:4

Telihat pada Gambar 4.10. senyawa Magnetite (Fe3O4) dan Hematite


(Fe2O3) juga terbentuk, sama seperti sampel sebelumnya. Tampak pula dari 7
peak yang teridentifikasi, terdapat 4 peak yang merupakan peak

untuk

senyawa Magnetit. Sementara ada 3 peak yang menunjukkan senyawa


Hematit. Hal ini menjelaskan bahwa pada percobaan ini, proses reduksi tidak
berjalan sebaik pada sampel sebelumnya. Hal ini bisa dikarenakan oleh
perlakuan proses yang tidak optimal, seperti kondisi di sekitar sampel tidak
vakum sepenuhnya sehingga gas-gas pereduksi tercampur dengan udara
sekitar dan menyebabkan proses reduksi yang tidak optimal. Hal lain yang
dapat menyebabkan terbentuknya kembali senyawa Hematit adalah
penyimpanan sampel setelah proses reduksi yang tidak tertutup rapat
sehingga memungkinkan terjadinya oksidasi pada sampel.

Universitas Indonesia

34

Namun, Pada gambar grafik terlihat peak maksimum dari senyawa


Fe3O4 berada pada rentang nilai 30 40 di sumbu 2 dengan intensitas
mencapai angka 1800. Nilai ini terhitung cukup tinggi jika dibandingkan
dengan sampel awal sebelum reduksi yang hanya memiliki intensitas pada
range 300 350. Dapat dikatakan bahwa kadar Fe3O4 meningkat jika
dibanding dengan sampel awal sebelum proses reduksi.
4.3.5 Hasil XRD Pada Temperatur 1000o C Dengan Rasio Massa 1:1
Setelah dilakukan proses reduksi, pada sampel ini dilakukan prosedur
yang sama dengan sampel sebelumnya, yaitu dengan menguji XRD pada
sampel hasil reduksi serta membandingkan pattern dengan grafik sampel awal
sebelum reduksi. Massa bijih besi yang digunakan adalah 11 gram.
Sedangkan massa ampas tebunya juga sama yaitu 11 gram.

Gambar 4.11. Hasil Reduksi Langsung, T=1000o C, rasio massa 1:1

Pada Gambar 4.11. terlihat adanya peak yang menunjukkan


terbentuknya senyawa Wustite (FeO) di sekitar nilai 40 dan 60 pada sumbu
2. Dari 6 peak yang teridentifikasi, 3 peak diantaranya menunjukkan
senyawa Magnetit, 2 peak menunjukkan Wustite, dan 1 peak menunjukkan
senyawa Hematit. Adapun peak Wustite yang tertinggi berada di sekitar angka

Universitas Indonesia

35

40 pada sumbu 2 dengan intensitas kurang lebih sebesar 1350. Hal ini
menjelaskan bahwa pada sampel ini ini, proses reduksi sudah mulai
memasuki tahap kedua, dimana senyawa Hematit semakin berkurang dan
senyawa Magnetit mulai tereduksi menjadi Wustite (FeO).
4.3.6 Hasil XRD Pada Temperatur 1000o C Dengan Rasio Massa 1:2
Pada sampel ini, setelah dilakukan reduksi, diterapkan proses yang
sama dengan sampel sebelumnya, yaitu dengan menguji XRD pada sampel
hasil reduksi serta membandingkan pattern dengan grafik sampel awal
sebelum reduksi. Massa bijih besi yang digunakan adalah 8 gram. Sedangkan
massa ampas tebunya sebesar 16 gram.

Gambar 4.12. Hasil Reduksi Langsung, T=1000o C, rasio massa 1:2

Tampak pada Gambar 4.12. juga terbentuk peak untuk senyawa


Wustite (FeO) di sekitar nilai 40 dan 60 pada sumbu 2. Hal ini menunjukkan
bahwa pada sampel ini, proses reduksi tahap kedua turut terjadi. Dari 7 peak
yang teridentifikasi, 4 peak merupakan senyawa Magnetit, 2 peak
menunjukkan Wustite, dan 1 peak menunjukkan senyawa Hematit. Dapat
dikatakan bahwa hasil reduksi pada sampel ini tak jauh berbeda dengan

Universitas Indonesia

36

sampel sebelumnya, dimana senyawa sudah hampir habis dan senyawa


Magnetit tereduksi menjadi Wustite (FeO).
4.3.7 Hasil XRD Pada Temperatur 1000o C Dengan Rasio Massa 1:3
Pada sampel ini, sampel hasil reduksi juga diterapkan proses yang
sama dengan sampel sebelumnya, yaitu dengan menguji XRD pada sampel
hasil reduksi serta membandingkan pattern dengan grafik sampel awal
sebelum reduksi. Adapun massa bijih besi yang digunakan adalah 7 gram.
Sedangkan massa ampas tebunya sebesar 21 gram

Gambar 4.13. Hasil Reduksi Langsung, T=1000o C, rasio massa 1:3

Gambar 4.13 menjelaskan bahwa pada sampel ini senyawa Hematit


sudah habis tereduksi. Hal ini ditandai dengan tidak adanya peak yang
menunjukkan keberadaan Hematit. Pada sampel ini juga tampak beberapa
peak untuk senyawa Wustite (FeO) sedangkan peak lainnya merupakan
Hematit.
Setelah dilakukan identifikasi, terlihat bahwa dari 8 peak yang
terbentuk, 6 peak masih merupakan senyawa Magnetit dan 2 peak
menunjukkan senyawa Wustite. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses

Universitas Indonesia

37

reduksi pada sampel ini juga merupakan reduksi tahap kedua, dimana
senyawa Hematit sudah habis tereduksi sedangkan beberapa senyawa
Magnetit tereduksi menjadi Wustite (FeO).
Selain itu, didapatkan peak Wustite

yang tertinggi memiliki

intensitas mendekati nilai 1500. Nilai yang meningkat jika dibandingkan


dengan sampel sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa pada sampel ini,
proses reduksi semakin meningkatkan kadar Wustite (FeO).
4.3.8 Hasil XRD Pada Temperatur 1000o C Dengan Rasio Massa 1:4
Sampel ini menjadi sampel terakhir pada penelitian kali ini. Perlakuan
setelah proses reduksi juga diterapkan hal yang sama dengan sampel
sebelumnya, yaitu dengan menguji XRD pada sampel hasil reduksi serta
membandingkan pattern dengan grafik sampel awal sebelum reduksi. Adapun
massa bijih besi yang digunakan adalah 5,5 gram. Sedangkan massa ampas
tebunya sebesar 22 gram

Gambar 4.14. Hasil Reduksi Langsung, T=1000o C, rasio massa 1:4

Pada Gambar 4.14 ditampilkan grafik hasil reduksi

yang

menjelaskan bahwa terdapat peak senyawa Wustite. Sama dengan sampel


sebelumnya, senyawa Hematit sudah habis tereduksi pada sampel ini. Hal ini

Universitas Indonesia

38

ditandai dengan tidak adanya peak yang menunjukkan adanya senyawa


Hematit.
Namun, dari 7 peak yang terbentuk, hanya ada 1 peak yang
menunjukkan senyawa Wustite. Sedangkan 6 peak lainnya merupakan
senyawa Magnetit. Intensitas semua peak yang terbentuk juga menurun
dibandingkan sampel sebelumnya. Hal ini menandakan bahwa proses reduksi
tahap kedua juga telah terjadi, namun tidak sepotimal pada sampel
sebelumnya. Ini bisa jadi disebabkan oleh perlakuan pada saat proses reduksi
maupun setelah proses reduksi yang kurang baik. Salah satunya adalah
kondisi di sekitar sampel yang tidak vakum sempurna sehingga gas-gas
pereduksi seperti Karbon monoksida yang semestinya terkonsentrasi untuk
mereduksi bijih besi menjadi tercampur dengan udara sekitar.
Selain itu, hal ini bisa disebabkan oleh terbentuknya lapiran Char
pada permukaan bijih besi saat proses reduksi. Dengan jumlah reduktor yang
banyak, lapisan Char ini bisa saja terbentuk saat pembakaran. Char
merupakan padatan residu hasil gasifikasi biomass atau hasil dekomposisi
lignin dari ampas tebu. Lapisan ini bisa saja menghambat laju difusi gas-gas
pereduktor, seperti CO, CO2, dan H2 untuk bereaksi mereduksi bijih besi.

4.4

Perbandingan Hasil Uji XRD


Untuk mengetahui sampel mana yang paling optimal pada proses reduksi

ini, maka dilakukan perbandingan dari sampel dengan aplikasi temperatur yang
sama. Yang menjadi variabel pembeda pada penelitian ini adalah rasio massa bijih
besi dengan ampas tebu. Rasio massa yang digunakan adalah 1:1, 1:2, 1:3, dan 1:4.
Selain itu diterapkan juga dua macam temperatur yang berbeda yaitu 700o C dan
1000o C. Waktu reduksi yang digunakan adalah sama untuk semua sampel yaitu
selama 30 menit. Adapun hal yang mengindikasikan efektifitas reduksi adalah
besarnya intensitas (tinggi peak) serta jumlah peak senyawa yang terbentuk.

Universitas Indonesia

39

4.4.1. Perbandingan Hasil XRD Rasio Massa Pada Temperatur 700o C

Gambar 4.15. Perbandingan Hasil Reduksi Langsung Pada 700o C

Jika melihat pada Gambar 4.15. didapatkan bahwa proses reduksi


telah terjadi pada temperatur 700o C. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya
beberapa peak senyawa Magnetit yang merupakan produk dari proses reduksi
tahap pertama. Juga masih terlihat banyak peak dari Hematit. Ini mengartikan
bahwa pada temperatur ini, proses belum sepenuhnya mereduksi Hematit
menjadi Magnetit. Senyawa Hematit ditandai dengan label angka 1,
sedangkan senyawa Magnetit ditandai dengan angka 2. Pada temperatur ini,
proses reduksi belum menghasilkan senyawa Wustite (FeO) dan Fe
Setelah memperhatikan gambar grafik, terlihat bahwa senyawa
Magnetit terbentuk di setiap sampel dengan rasio massa yang berbeda.
Namun rasio peak Magnetit paling banyak yang terbentuk dari total peak
pada setiap sampel berada di sampel dengan rasio massa 1:3. Tampak dari
sampel tersebut, 6 dari 7 peak yang terbentuk merupakan peak yang
menunjukkan senyawa Magnetit atau kurang lebih sebanyak 85% dari total
peak yang teridentifikasi. Dapat dikatakan bahwa pada temperatur reduksi
700o C selama 30 menit, sampel bijih besi yang tereduksi paling optimal
adalah sampel dengan rasio massa 1:3.

Universitas Indonesia

40

4.4.2. Perbandingan Hasil XRD Rasio Massa Pada Temperatur 1000o C

Gambar 4.16. Perbandingan Hasil Reduksi Langsung Pada 1000o C

Gambar 4.15. memperlihatkan terbentuknya senyawa Wustite (FeO)


pada proses reduksi ini. Dapat dilihat beberapa peak Wustite (FeO) yang
ditandai dengan label angka 3, muncul di setiap sampel dengan rasio massa
yang berbeda. Namun, tampak pula bahwa peak masih didominasi oleh
senyawa Magnetit. Juga masih terlihat sedikit peak dari Hematit di beberapa
sampel. Ini mengindikasikan bahwa pada temperatur ini, proses reduksi telah
memasuki reduksi tahap kedua dimana Wustite (FeO) telah terbentuk. Proses
reduksi juga semakin meningkat dimana senyawa Hematit sudah hampir atau
bahkan habis tereduksi menjadi Magnetit. Dapat dilihat beberapa peak
Wustite (FeO) yang ditandai dengan label angka 3, muncul di setiap sampel
dengan rasio massa yang berbeda, walaupun belum terbentuk peak untuk Fe.
Peak Wustite terdapat pada setiap sampel, namun jumlah yang
tergolong banyak dijumpai pada sampel dengan rasio massa 1:1, 1:2, dan 1:3.
Pada sampel dengan rasio massa 1:3, didapatkan peak Wustite tertinggi
diantara semua peak yang ada pada temperatur ini dengan intensitas yang
mendekati nilai 1500. Selain itu, pada sampel dengan rasio massa 1:3, tidak
terdapat lagi senyawa Hematit atau habis tereduksi. Dari penjelasan tersebut,

Universitas Indonesia

41

dapat diartikan bahwa pada temperatur reduksi 1000o C selama 30 menit,


sampel bijih besi yang tereduksi paling optimal adalah sampel dengan rasio
massa 1:3.

4.5

Hasil Proses Reduksi Langsung


Pada

penelitian

ini

dilakukan

proses

reduksi

langsung

dengan

menggunakan Muffle Furnace dengan parameter pembeda yaitu rasio massa.


Rasio massa sebagai pembeda adalah komposisi bijih besi dan ampas tebu yaitu
1:1, 1:2, 1:3, dan 1:4. Menurut literatur yang didapat, menunjukkan bahwaa
semakin banyak jumlah reduktor yang ada, maka semakin tinggi kemungkinan
untuk terjadinya proses reduksi.
Proses reduksi terjadi dengan adanya reaksi yang terjadi antara bijih besi
dan reduktornya. Reduktor digunakan sebagai material yang mampu mereduksi
bijih besi karena kandungan yag terdapat didalamnya. Reduktor merupakan
material yang memiliki kandungan karbon dan ikatan hidrokarbon didalamnya.
Karbon yang terdapat pada reduktor akan bereaksi dengan oksigen setelah
dilakukan pembakaran dan akan menghasilkan gas CO. Gas CO ini yang akan
bereaksi dan mereduksi bijih besi.
Ikatan hidrokarbon yang terdapat pada reduktor akan berpengaruh
terhadap kenaikan temperatur pada proses reduksi. Temperatur juga sangat
mempengaruhi terjadinya proses reduksi, hal ini ditunjukkan pada diagram
Glaessner Boudouard.

Universitas Indonesia

42

Gambar 4.17 Diagram Glaessner Boudouard[13]


Diagram ini menunjukkan pengaruh temperatur dengan pembentukan CO
dan CO2. Dijelaskan juga bahwa kandungan karbon dan temperature saling terkait
satu sama lain.
Pada penelitian kali ini, proses reduksi langsung yang terjadi hanya sampai
proses reduksi tahap kedua. Dapat dibuktikan pada grafik hasil uji XRD, dimana
terdapat senyawa Magnetit Fe3O4 dan Wustite (FeO) sebagai produk hasil reduksi
bijih besi Hematit. Jika ditunjukkan dengan persamaan reaksi, maka tamapak
sebagai berikut :
3Fe2O3 + CO 2Fe3O4 + CO2

(4.1)

Fe3O4 + CO 3FeO + CO2

(4.2)

Jika mengacu pada diagram Ellingham, reaksi pembentukan senyawa


Magnetit (Fe3O4) terjadi pada temperatur 290o C. Sedangkan reaksi pembentukan
senyawa Wustite (FeO) terjadi pada temperatur 700o C. Hal ini terjadi apabila
kondisi lingkungan sampel pada proses reduksi berada pada kondisi vakum.
Sehingga menghindarkan proses dari kemungkinan terjadinya oksidasi kembali
pada sampel. Selain itu temperatur proses reduksi juga bertahan pada kondisi
vakum.

Universitas Indonesia

43

Gambar 4.18 Diagram Ellingham [12]

Hal lain yang mempengaruhi proses reduksi selain dari kadar gas reduktor
adalah volatille matter. Vollatile matter merupakan partikel partikel kecil yang
terdapat pada aterial reduktor yang akan terdekomposisi selama proses reduksi
yang membentuk gas H2 dan gas CO sehingga memicu terjadinya reaksi reduksi.
Kadar Volatille Matter pada pada ampas tebu tergolong cukup tinggi yaitu sebesar
78,40%. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan arang tempurung kelapa yaitu
sebesar 9.02%. Hal ini tentunya mempengaruhi proses reduksi yang terjadi pada
sampel bijih besi.
Persediaan karbon harus selalu ada selama proses reduksi untuk
mendukung proses pembentukan CO. Hal lain yang turut menjadi perhatian
adalah temperatur yang diterapkan, digunakan untuk menghasilkan gas CO

Universitas Indonesia

44

selama proses reduksi. Berdasarkan literatur bahwa semakin banyak reduktor


yang digunakan maka hasil reduksi akan semakin besar. Hal ini disebabkan oleh
suplai karbon yang banyak untuk pembentukan gas CO sehingga semakin banyak
reduktor maka persediaan karbon akan semakin banyak, pada akhirnya proses
reduksi terus berjalan.
Pada penelitian ini didapatkan hasil yang menjelaskan beberapa hal yang
mempengaruhi berlangsungnya proses reduksi, Temperatur, Volatille Matter,
kadar reduktor yang digunakan, dan lingkungan proses yang vakum.

4.6

Stoikiometri Reaksi Reduksi Langsung


Proses reduksi langsung terjadi akibat terdapatnya reaksi kimia antar raw

material dan pereduktornya. Didalam menentukan kebutuhan dalam terjadinya


reaksi reduksi maka dilakukan perhitungan reaksi kimia atau stoikiometri.
Perbandingan rasio massa dari bijih besi dan ampas tebu adalah 1:1, 1:2,
1:3, dan 1:4. Pengambilan salah satu data sampel dari pengujian reduksi pada
suhu 700oC dan 1000oC selama 30 menit. Salah satu sampel yang kita gunakan
disini adalah sampel dengan massa bijih besi 7 gr dan massa dari bagasse 21 gr.
Maka perhitungan mol dari Fe2O3 adalah sebagai berikut
(4.3)
= 7 / 160
= 0,04375

setelah dilakukan perhitungan didapatkan bahwa molaritas Fe2O3 adalah


0,04375.

Kemudian

molaritas

tersebut

dimasukkan

dalam

perhitungan

stoikiometri kesetimbangan berikutnya Reaksi reduksi yang terjadi

3Fe2O3 +

CO

0,04375

0,0145

0,04375

0,0145

0,0292

0,0145

0,0292

0,0145

2Fe3O4

CO2

(4.4)

Universitas Indonesia

45

Dari hasil diatas, didapatkan bahwa dalam pembentukan Fe3O4 atau proses
reduksi tahap awal dibutuhkan molaritas CO sebesar 0,0145.

Fe3O4

CO

3FeO

0,0292

0,0292

0,0292

0,0292

0,0876

0,0292

0,0876

0,0292

CO2

(4.5)

Dari hasil proses ini disimpulkan bahwa diperlukan mol CO sebesar


0,0292 untuk membentuk FeO.

FeO

CO

0,0876

0,0876

0,0876

0,0876

Fe
-

CO2

(4.6)

0,0876

0,0876

0,0876

0,0876

Pada proses pembentukan Fe maka didapatkan bahwa molaritaas CO yang


dibutuhkan adalah 0,0876 mol.
Setelah didapatkan kebutuhan CO dari masing masing tahap reduksi maka
dapat diketahui CO total yang dibutuhkan adalah sebesar 0,1313 mol untuk
mereduksi bijih besi Fe2O3 menjadi Fe. Sehingga jumlah karbon yang dibutuhkan
untuk proses reduksi ini adalah sebagai berikut :
CO2 + C 2CO

(4.7)

C + O2 CO2

(4.8)

Maka dengan melakukan kesetimbangan sesuai dengan reaksi yang ada


diatas maka didapatkan bahwa karbon yang dibutuhkan adalah 0,0656 molaritas
atau setengah dari total molaritas CO. Kemudian dari nilai ini dicari nilai massa

Universitas Indonesia

46

dari karbon yaitu 0,7872 gram (dikalikan dengan Ar C). Jumlah ini sudah cukup
untuk mereduksi bijih besi.
Pada data sebelumnya didapat bahwa kandungan fixed carbon dari ampas
tebu adalah 13.08 % dari massanya. Maka massa fixed carbon yang terdapat saat
reaksi adalah 13.08 % dari 21 gr yaitu 2,74 gr. Jumlah tersebut sudah lebih dari
cukup untuk mereduksi bijih besi.

4.7

Perbandingan Hasil Reduksi Menggunakan Ampas Tebu Dengan


Biomass Lainnya
Reduktor yang digunakan pada penelitian ini adalah Ampas Tebu atau

Bagasse. Namun, beberapa penelitian lain terkait teknologi reduksi bijih besi,
digunakan pula reduktor lain yang juga berasal dari golongan biomass. Tabel di
bawah akan memperlihatkan perbandingan hasil reduksi mengunakan reduktor
ampas tebu dengan reduktor biomass.

Tabel 4.3. Perbandingan Hasil Reduksi Menggunakan Ampas Tebu Dengan


Biomass Lainnya
Bagasse

Arang
Tempurung
Kelapa[26]

Arang
Kayu[27]

Suhu (oC)

1000

700

700

900

550

Kondisi
Pembakaran
Hasil
Reduksi

Tidak
vacuum

Tidak
vacuum

Tidak
vacuum

vacuum

vacuum

FeO

Fe3O4

Fe3O4

Fe

Fe3O4

Cangkang
Kayu
[28]
Sawit
Cemara[27]

Hasil di atas didapatkan setelah mengatur beberapa variabel seperti


perbandingan rasio massa, temperatur, dan lama waktu reduksi. Dari tabel 4.3
dapat dilihat bahwa Ampas Tebu tergolong salah satu jenis Biomass yang cukup
baik karena mampu mereduksi bijih besi Hematit menjadi mineral Wustite. Hasil
ini lebih baik dibandingkan pada biomass menggunakan tempurung kelapa, arang
kayu, dan kayu cemara. Adapun hasil terbaik didapatkan dari biomass cangkang
sawit yang mampu menghasilkan kandungan Fe. Berikut perbandingan grafik
XRD dari hasil reduksi menggunakan ampas tebu dan cangkang sawit.

Universitas Indonesia

47

Gambar 4.19. Perbandingan grafik XRD hasil reduksi dengan ampas tebu dan

cangkang sawit.
Pada gambar grafik di atas, ditampilkan bahwa hasil reduksi menggunakan
reduktor biomass Palm Kernel Shell atau Cangkang Sawit mendapatkan hasil
yang optimal dikarenakan telah terbentuknya peak untuk Fe dengan intensitas
yang tinggi pada suhu 900o C. Sedangkan pada reduksi menggunakan ampas tebu
dengan rasio massa 1:3, terlihat 3 peak yang terbentuk adalah senyawa produk
reduksi tahap kedua yaitu Wustite.
Grafik reduksi hasil uji XRD menggunakan ampas tebu juga dibandingkan
dengan reduktor biomass lainnya yaitu arang tempurung kelapa. Pada penelitian
Amanda Arief Putra, juga menggunakan bijih besi laterit dari sumber yang sama.
Berikut ini perbandingannya.

Universitas Indonesia

48

Gambar 4.20. Perbandingan grafik XRD hasil reduksi menggunakan arang


tempurung kelapa[29] dan ampas tebu

Pada penelitian Amanda Arief Putra ini juga menggunakan bijih besi
laterit dari Kalimantan. Grafik di atas merupakan hasil reduksi pada temperatur
1000o C dengan rasio massa bijih besi terhadap arang atok kelapa sebesar 1:4.
Reduksi juga dilakukan di dalam muffle furnace. Tampak pada grafik bahwa
senyawa Fe sudah terbentuk dengan munculnya 3 peak Fe pada grafik tersebut.
Hal ini terjadi karena semakin banyak jumlah reduktor maka tahapan reduksi akan
meningkat sampai terbentuknya Fe metallic[29]. Ini dikarenakan semakin tinggi
jumlah reduktor yang ada maka pembentukan gas CO akan semakin mudah
meskipun dengan presentase yang sama dari setiap temperaturnya[29]. Sehingga
proses difusi gas CO masuk kedalam bijih besi semakin cepat dan menghasilkan
proses reduksi meningkat.

Universitas Indonesia

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1

Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini yang dilakukan tentang pengaruh ratio massa

terhadap proses reduksi langsung dengan menggunakan Muffle Furnace maka

didapatkan kesimpulan sebagai berikut :


a. Proses reduksi menggunakan ampas tebu sebagai reduktor berhasil
dilakukan hingga tahap kedua dimana terbentuk senyawa FeO.
Sampel bijih besi Hematit (Fe2O3) tereduksi menjadi senyawa
Magnetit (Fe3O4). Kemudian senyawa Magnetit (Fe3O4) tereduksi
menjadi Wustite (FeO). Namun proses reduksi tidak berhasil
mendapatkan Fe.
b. Temperatur yang diterapkan mempengaruhi hasil reduksi. Pada
temperatur 700o C, reaksi reduksi terjadi pada tahap pertama dimana
terbentuk senyawa Magnetit (Fe3O4) . Sedangkan pada temperatur
1000o C, reaksi reduksi terjadi pada tahap kedua dimana produk
reaksi menghasilkan senyawa Wustite (FeO).
c. Rasio massa paling baik yang didapatkan adalah 1 : 3 pada kedua
temperatur. Pada sampel denga rasio massa 1 : 3 (antara bijih besi
dengan ampas tebu), didapatkan produk reduksi, yaitu Magnetit
(Fe3O4) serta Wustite (FeO) dengan jumlah peak yang paling banyak
maupun intensitas peak yang paling tinggi.
d. Proses reduksi langsung dipengaruhi oleh kadar reduktor yang
digunakan. Reduktor memastikan terjadinya proses reduksi langsung
akibat suplai karbon yang dihasilkan oleh reduktor terus ada.
e. Kondisi lingkungan proses mempengaruhi hasil reduksi, khususnya
kondisi vakum. Dengan kondisi yang vakum, makan akan
menghindarkan proses dari kemungkinan terjadinya oksidasi
kembali pada sampel. Selain itu temperatur proses reduksi juga
bertahan pada kondisi vakum.

49
Universitas Indonesia

50

5.2

Saran
Saran jika penelitian ini dilakukan lebih lanjut sebagai berikut :
a. Penelitian sebaiknya menggunakan furnace yang menjamin kondisi
proses dalam keadaan vakum sehingga gas-gas pereduksi dari ampas
tebu lebih optimal dalam mereduksi bijih besi
b. Sebaiknya dilakukan pengujian lebih lanjut, seperti uji XRF setelah
proses reduksi untuk mengetahui kadar konsentrasi Fe yang terbentuk
secara kuantitatif.
c. Pastikan proses penyimpanan sampel hasil reduksi tertutup rapat
dengan baik sehingga sampel terhindar dari kemungkinan terjadinya
oksidasi kembali.

Universitas Indonesia

51

DAFTAR REFERENSI

[1] Usman, Dudi Nasrudin. Ketersediaan Potensi Endapan Bijih Besi


Indonesia Dalam Mendukung Industri Besi dan Baja Nasional. 2010
[2] Tim Neraca. Laporan penyusunan neraca sumber daya mineral. Pusat
Sumber Daya Geologi.2010
[3] Suharto, dkk. Proses Reduksi Bijih Besi Lampung Menjadi Sponge Iron
Menggunakan Rotary Kiln. Prosiding InSINas 2012.MT 98-101.
[4] Sofyan, Bondan T. Pengantar Material Teknik. Jakarta : Penerbit
Salemba Teknika. 2010
[5] Ishlah, Teuku. Potensi Bijih Besi Indonesia Dalam Kerangka
Pengembangan Klaster Industri Baja. Pusat Sumber Daya Geologi.
2009
[6] Rendemen dan Luas Areal Tebu. Dewan Gula Indonesia (DGI). 2013
[7] Husin, A.A. Pemanfaatan Limbah Untuk Bahan Bangunan. 2007
[8] Gabra, M., dkk. Alkali retention/separation during bagasse gasification:
a comparison between a fluidised bed and a cyclone gasifier. Biomass
and Bioenergy 21. 2001.
[9] Tetra Isi Sistemleri. Product Description: Muffe Furncae.Turkey. 2012
[10] Lin Yang, Jing-yu Ran, & Li Zhang. Mechanism and kinetics of
pyrolysis of coal with high ash and low fixed carbon contents.
Transactions of the ASME - M - Journal of Energy Resources
Technology, 133, 9, 031701. 2011
[11] Gaskell, David R. 2003. Introduction to the Thermodynamics of
Materials. New York: Taylor & Francis
[12] Komarudin. Studi Pengaruh Penambahan Karbon pada Proses
reduksi Langsung Batu Besi. Skripsi, Fakultas Teknik Universitas
Indonesia, Departemen Teknik Metalurgi dan Material. 2008.
[13] Stepershon, Robert L. Direct Reduced Iron (Technology and
Economics of Production and Use), USA Iron Steel Society of
AIME.1980.
[14] Yustanti, Erlina. Pengaruh Reduktor dan Temperatur Reduksi

Universitas Indonesia

52

terhadap Metalisasi Besi Spons. Prosiding Seminar Nasional


Pengembangan Energi Nuklir III.2010
[15] Lori, Lawal, Ekanem. Proximate and Ultimate Analyses of Bagasse,
Sorghum and Millet Straws as Precursors for Active Carbons. Nigeria.
2007.
[16] Bulusev, Dimitri. 2011. Catalysis for Conversion of Biomass to Fuels via
Pyrolysis and Gasification: A review.

[17] Anameric, B, DKK. Carburization effects on pig iron nugget


making.Mineral & Metallurgical Processing, Vol. 23 (No.3), 139-150.
2006.
[18] Fruehan, RJ. The Rate Reduction Iron Oxides by Carbon. Metalurgical
and Material Transaction B,8,279-286.1977
[19] Speight James G. Handbook of Coal Analysis 2nd Edition, Wiley
Interscience Publications, 2005.
[20] Sudradjat, R, Gustan Pari. Arang Aktif : Teknologi Pengolahan dan
Masa

Depannya.

Badan

Penelitian

dan

Pengembangan

Kehutanan.2013.
[21] Scintag, Inc. Chapter 7 : Basics of X-ray Diffraction. 10040 Bubb
Road Cupertino, CA 95014 U.S.A.1999
[22] Rao Y.K. The Kinetics of Reduction of Hematite by Carbon.
Metallurgical and Materials Transactions, 2, 1439-1447. 1971
[23] Yunyun, Wu. Effect of Different Parameters on the Direct Reduction
Processes of Natural Iron Ores from Uganda. KTH- School of
Industrial Engineering and Management. Stocholm. 2010
[24] Kawatara. Primary Metal Production. Chemical Engineering MTU
[25] J. Feinman, President, J. Feinman and Associates, Inc. Direct
Reduction and Smelting Processes (Retired U.S. Steel Corp.)
[26] Putra, Amanda Arief . Studi Pengaruh Rasio Massa Terhadap Proses
Reduksi Langsung Bijih Besi Pellet Menjadi Besi Spons Dengan
Menggunakan Rotary Kiln Sederhana Skala Industri Rumah Tangga.
Teknik Metalurgi dan Material. Universitas Indonesia. 2014
[27] Kudo, Shinji. 2013. Coproduction of clean syngas and iron from woody

Universitas Indonesia

53

biomass and natural goethite ore

[28] Zamani, Rusila. 2014. Reduction of low grade iron ore pellet using palm
kernel shell

[29] Putra, Amanda Arief . Studi Pengaruh Temperatur Dan Rasio Massa
Terhadap Reduksi Bijih Besi Dan Arang Sebagai Reduktor. Teknik
Metalurgi dan Material. Universitas Indonesia. 2015

Universitas Indonesia

54

Lampiran 1. Peralatan

Muffle Furnace

Timbangan Digital

Universitas Indonesia

55

Krusibel dan Pelat Baja

Sarung Tangan Tahan Panas dan Penjepit Krusibel

Universitas Indonesia

56

Lampiran 2. Bahan

Sampel Awal Ampas Tebu

Ampas Tebu Setelah Sizing

Bijih Besi dan Ampas Tebu Siap Proses

Universitas Indonesia

57

Lampiran 3. Kondisi Proses

Kondisi Sampel Di Dalam Furnace

Kondisi Sampel Setelah Dikeluarkan Dari Furnace

Universitas Indonesia

58

Lampiran 4. XRD Temperatur 700o C, Rasio Massa 1:1

Grafik XRD Hasil Olah Data Sampel

Universitas Indonesia

59

Lampiran 5. XRD Temperatur 700o C, Rasio Massa 1:3

Grafik XRD Hasil Olah Data Sampel

Universitas Indonesia

60

Lampiran 6. XRD Temperatur 700o C, Rasio Massa 1:4

Grafik XRD Hasil Olah Data Sampel

Universitas Indonesia

61

Lampiran 7. XRD Temperatur 1000o C, Rasio Massa 1:1

Grafik XRD Hasil Olah Data Sampel

Universitas Indonesia

62

Lampiran 8. XRD Temperatur 1000o C, Rasio Massa 1:3

Grafik XRD Hasil Olah Data Sampel

Universitas Indonesia

63

Lampiran 9. XRD Temperatur 1000o C, Rasio Massa 1:4

Grafik XRD Hasil Olah Data Sampel

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai