Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
Ketuban pecah dini preterm merupakan komplikasi kehamilan pada 1-2%
dari seluruh wanita hamil dan menyebabkan 30-40% persalinan preterm (kurang dari
37 minggu). Sampai sekarang belum terdapat konsensus yang optimal untuk
penatalaksanaan ketuban pecah dini preterm pada wanita hamil dengan janin yang
relatif matur, dengan usia kehamilan antara 34-37 minggu. Sebagai dokter harus
dapat mempertimbangkan risiko yang akan dihadapi dan keuntungan yang mungkin
didapat apabila dilakukan terminasi kehamilan ataukah harus dilakukan manajemen
ekspektatif sampai kehamilan aterm dengan mempertimbangkan komplikasi yang
terjadi. Tujuan penatalaksanaan pada ibu dengan ketuban pecah dini preterm adalah
memaksimalkan manfaat pematangan janin dengan menghindari semua hal yang
membahayakan keadaan janin dalam kandungan.1,2
Ketuban pecah dini menimbulkan banyak komplikasi seperti misalnya
ascending infection, persalinan prematur, hipoksia dan asfiksia, dan sindrom
deformitas janin. Mungkin ketuban pecah dini preterm yang dikelola dengan
manajemen ekspektatif dengan menunggu sampai waktu persalinan spontan
berlangsung meningkatkan risiko untuk terjadinya komplikasi pada janin. Hal ini
dikaitkan dengan semakin lamanya paparan infeksi terhadap janin intrauterin.
Namun dengan terminasi kehamilan lebih awal juga memiliki risiko pada ketuban
pecah dini preterm dengan usia kehamilan antara 34-37 minggu. Bahkan, risiko
terjadinya prematuritas iatrogenik sangat signifikan berhubungan dengan persalinan
sebelum 34 minggu. 1,2
Ketuban pecah dini merupakan masalah penting dalam obstetri berkaitan
dengan penyulit kelahiran berupa prematuritas dan terjadinya infeksi korioamnionitis
sampai sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal dan
menyebabkan infeksi ibu. Penanganan ketuban pecah dini memerlukan pertimbangan
usia gestasi, adanya infeksi atau komplikasi pada ibu dan janin serta adanya tandatanda persalinan. Saat aterm, 8-10 % wanita hamil datang dengan ketuban pecah dini
yang akan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami infeksi intrauterin jika jarak
waktu antara pecahnya ketuban dan persalinan memanjang. Pemberian antibiotika
1

pada ketuban pecah dini preterm secara signifikan memperbaiki morbiditas neonatal
maupun morbiditas maternal, dimana kehamilan dapat dipertahankan lebih lama,
risiko infeksi dapat diturunkan dan penggunaan terapi oksigen dapat diturunkan. 2,3
Delapan puluh lima persen dari morbiditas dan mortalitas neonatus
merupakan akibat dari prematuritas. Preterm Prematur Rupture Of Membrans
(PPROM) atau ketuban pecah dini preterm (terjadi pada sekitar 1% dari semua
kehamilan) berhubungan dengan 30% sampai 40% kelahiran preterm dan merupakan
penyebab utama dari kelahiran preterm yang dapat teridentifikasi. Tiga faktor risiko
ketuban pecah dini preterm yang paling umum adalah merokok, kelahiran preterm
sebelumnya, serta perdarahan vaginal dalam masa kehamilan. 2,3,4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Ketuban dikatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses persalinan
berlangsung. Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan
membran atau meningkatnya tekanan intra uterin atau oleh kedua faktor tersebut.
Berkurangnya kekuatan membran disebabkan adanya infeksi yang dapat berasal dari
vagina/seviks.1,5,6
2.2 Etiologi
Membran fetus yang normal adalah sangat kuat pada awal kehamilan.
Kombinasi akibat peregangan membran dengan pertumbuhan uterus, seringnya
kontraksi uterus dan gerakan janin memegang peranan dalam melemahnya membran
amnion. Ketuban pecah dini pada kehamilan aterm merupakan variasi fisiologis,
namun pada kehamilan preterm melemahnya membran merupakan proses yang
patologis. Ketuban pecah dini sebelum kehamilan preterm sering diakibatkan oleh
adanya infeksi.1,2,7,8
Faktor predisposisi yang berperan pada terjadinya ketuban pecah dini adalah:
1. Infeksi
Adanya infeksi pada selaput ketuban (korioamnionitis lokal) sudah cukup untuk
melemahkan selaput ketuban di tempat tersebut. Bila terdapat bakteri patogen di
dalam vagina maka frekuensi amnionitis, endometritis, infeksi neonatal akan
meningkat 10 kali.
2. Defisiensi vitamin C
Vitamin C diperlukan untuk pembentukan dan pemeliharaan jaringan kolagen.
Selaput ketuban (yang dibentuk oleh jaringan kolagen) akan mempunyai elastisitas
yang berbeda tergantung kadar vitamin C dalam darah ibu.
3. Faktor selaput ketuban
Pecahnya ketuban dapat terjadi akibat peregangan uterus yang berlebihan atau
terjadi peningkatan tekanan yang mendadak di dalam kavum amnion, di samping
juga ada kelainan selaput ketuban itu sendiri. Melemahnya kekuatan selaput
3

ketuban ada hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan


gerakan janin.
4. Faktor umur dan paritas
Paritas merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya ketuban pecah
dini, karena makin tinggi paritas ibu akan makin mudah terjadi infeksi cairan
amnion akibat rusaknya struktur serviks akibat persalinan sebelumnya.
2.3. Patogenesis
Pecahnya selaput ketuban saat persalinan disebabkan oleh melemahnya selaput
ketuban karena kontraksi uterus dan peregangan yang berulang. Pada sebuah
penelitian didapatkan bahwa daya regang selaput ketuban yang diperiksa setelah
persalinan normal adalah lebih rendah jika dibandingkan dengan selaput dari seksio
sesarea tanpa tanda inpartu. Daya regang ini dipengaruhi oleh keseimbangan antara
sintesis dan degradasi komponen matriks ekstraseluler pada selaput ketuban.9,10,11
Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan ketuban pecah dini melalui beberapa mekanisme.
Beberapa flora vagina termasuk Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus, dan
Trikomonas vaginalis mensekresi protease yang akan menyebabkan terjadinya
degradasi membran dan akhirnya melemahkan selaput ketuban.12,13
Respon terhadap infeksi berupa reaksi inflamasi akan merangsang produksi
sitokin, MMP, dan prostalglandin oleh netrofil PMN dan makrofag. Interleukin-1 dan
tumor nekrosis faktor yang diproduksi oleh monosit akan meningkatkan aktivitas
MMP-1 dan MMP-3 pada sel korion.12,13,14
Hormon
Progesteron dan estradiol menekan proses remodeling matriks ekstraseluler
pada jaringan reproduktif. Kedua hormon ini didapatkan menurunkan konsentrasi
MMP-1 dan MMP-3 serta meningkatkan konsentrasi TIMP pada fibroblas serviks
dari kelinci percobaan. Tingginya konsentrasi progesteron akan menyebabkan
penurunan produksi kolagenase pada babi walaupun kadar yang lebih rendah dapat
menstimulasi produksi kolagen. Ada juga protein hormon relaxin yang berfungsi
mengatur pembentukan jaringan ikat diproduksi secara lokal oleh sel desidua dan
plasenta. Hormon ini mempunyai aktivitas yang berlawanan dengan efek inhibisi
4

oleh progesteron dan estradiol dengan meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-9
dalam membran janin. Aktivitas hormon ini meningkat sebelum sebelum persalinan
pada selaput ketuban manusia saat aterm. Peran hormon-hormon tersebut dalam
patogenesis pecahnya selaput ketuban belum dapat sepenuhnya dijelaskan.15,16
Kematian Sel Terprogram
Pada ketuban pecah dini aterm ditemukan sel-sel yang mengalami kematian
sel terpogram (apoptosis) di amnion dan korion terutama disekitar robekan selaput
ketuban. Pada korioamnionitis telihat sel yang mengalami apoptosis melekat dengan
granulosit, yang menunjukkan respon imunologis mempercepat terjadinya kematian
sel. Kematian sel yang terprogram ini terjadi setelah proses degradasi matriks
ekstraseluler dimulai, menunjukkan bahwa apoptosis merupakan akibat dan bukan
penyebab degradasi tersebut. Namun mekanisme regulasi dari apoptosis ini belum
diketahui dengan jelas.6,17,18
Peregangan Selaput Ketuban
Overdistensi uterus seperti pada polihidramnion dan kehamilan multipel
dapat meningkatkan risiko ketuban pecah dini. Peregangan secara mekanis akan
merangsang beberapa faktor di selaput ketuban seperti prostalglandin E 2 dan
interleukin-8. Selain itu peregangan juga merangsang aktivitas MMP-1 pada
membran. Interleukin-8 yang diproduksi dari sel amnion dan korionik bersifat
kemotaktik terhadap neutrofil dan merangsang aktifitas kolegenase. Hal-hal tersebut
akan menyebabkan terganggunya keseimbangan proses sintesis dan degradasi
matriks ektraseluler yang akhirnya menyebabkan pecahnya selaput ketuban.6,7,19,20

Gambar 2

Diagram berbagai mekanisme multifaktorial yang diteorikan sebagai penyebab


ketuban pecah dini9

2.4.

Epidemiologi
Ketuban pecah dini berkisar antara 3% sampai 18% dari seluruh kehamilan.

Variasi yang luas ini disebabkan oleh adanya perbedaan definisi (dengan atau tanpa
fase laten) dan variasi insiden yang berbeda pada populasi yang berbeda. Sekitar 510% dari kehamilan aterm mengalami ketuban pecah dini 2,4,5,7. Hampir 30-40%
persalinan preterm disebabkan oleh ketuban pecah dini.8,21,22
Sedangkan prevalensi ketuban pecah dini preterm adalah sekitar 2% dari
seluruh kehamilan, dan 25% dari seluruh kasus ketuban pecah dini. Hal ini juga
berkaitan dengan meningkatnya risiko morbiditas pada ibu ataupun janin.
Komplikasi seperti korioamnionitis dapat terjadi sampai 30% dari kasus ketuban
pecah dini, sedangkan solusio plasenta berkisar antara 4-7%. Komplikasi pada janin
berhubungan dengan kejadian prematuritas dimana 80% kasus ketuban pecah dini
preterm akan bersalin dalam waktu kurang dari 7 hari. Risiko infeksi meningkat baik
pada ibu maupun bayi. Insiden korioamnionitis 0,5-1,5% dari seluruh kehamilan, 315% pada ketuban pecah dini prolonged, 15-25% pada ketuban pecah dini preterm
dan mencapai 40% pada ketuban pecah dini < 24 minggu. Sedangkan insiden sepsis
neonatus 1 dari 500 bayi dan 2-4% pada ketuban pecah dini prolonged.2,6,23,24
2.5

Gejala Klinis
Pasien dengan ketuban pecah dini umumnya datang dengan keluhan keluarnya

cairan dalam jumlah cukup banyak secara mendadak dari vagina. Mungkin juga
merasakan kebocoran cairan yang terus menerus atau kesan basah di vagina atau
perineum. Pemeriksaan yang terbaik untuk diagnosis pasti adalah melalui observasi
langsung keluarnya cairan amnion dari lubang vagina.25,26,27
Gejala klinis dan diagnosis dapat juga ditegakkan dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik antara lain:
1. Anamnesis:
a. Kapan keluarnya cairan, warna dan baunya.
b. Adakah partikel-partikel dalam cairan (lanugo dan verniks).
2. Inspeksi: keluar cairan pervaginam.
3. Inspekulo: bila fundus uteri ditekan atau bagian terendah digoyangkan, keluar
cairan dari ostium uteri internum (OUI).
7

4. Pemeriksaan dalam:
a. Ada cairan dalam vagina.
b. Selaput ketuban sudah pecah.
Catatan:
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada ketuban pecah dini adalah:
1. Saat ketuban pecah ditentukan berdasarkan anamnesis diketahui pasti
kapan ketuban pecah.
2. Bila anamnesis tidak dapat memastikan kapan ketuban pecah, maka saat
ketuban pecah adalah saat penderita masuk rumah sakit.
Bila berdasarkan anamnesis pasti bahwa ketuban sudah pecah > 12 jam, maka
dikamar bersalin dilakukan observasi selama dua jam. Bila setelah dua jam tidak ada
tanda-tanda inpartu dilakukan terminasi kehamilan.2,4,5
2.6 Diagnosis
Untuk mendiagnosa ketuban pecah dini dapat dengan berbagai cara. Pertama, dengan
melakukan anamnesis yang baik dan teliti kapan mulai keluar air, jumlahnya,
merembes ataukah tiba-tiba banyak, konsistensinya encer ataukah kental, baunya.
Kemudian dengan melakukan pemeriksaan fisik, sebagai berikut.2,4,5,9
-

Semua wanita dengan keluhan keluar air pervaginam harus dilakukan


pemeriksaan inspekulo steril. Pemeriksaan serviks mungkin memperlihatkan
keluarnya cairan amnion dari lubang serviks.

Jika meragukan apakah cairan berasal dari lubang serviks atau cairan pada
forniks posterior vagina, dilakukan pemeriksaan pH dari cairan tersebut (cairan
amnion akan merubah lakmus menjadi berwarna biru karena bersifat alkalis).
Cairan vagina dalam keadaan normal bersifat asam. Perubahan pH dapat
terjadi akibat adanya cairan amnion, adanya infeksi bahkan setelah mandi. Tes
nitrazine kuning dapat menegaskan diagnosa dimana indikator pH akan
berubah berwarna hitam, walaupun urine dan semen dapat memberikan hasil
positif palsu.

Melihat cairan yang mengering di bawah mikroskop, cairan amnion akan


menunjukkan fern-like pattern (gambaran daun pakis), walaupun tes ini sedikit
rumit dan tidak dilakukan secara luas.
8

Jangan lakukan pemeriksaan dalam, untuk mencegah ascending infection.


Lakukan vaginal swab tinggi. Jika curiga terjadi infeksi, periksa darah lengkap,
cRP, MSU dan kultur darah. Berikam antibiotika spektrum luas.

Pemeriksaan lebih lanjut seperti USG digunakan untuk melihat organ interna
dan fungsinya, juga menilai aliran darah uteroplasenta. USG yang
menunjukkan berkurangnya volume likuor pada keadaan ginjal bayi yang
normal, tanpa adanya IUGR sangat mengarah pada terjadinya ketuban pecah
dini, walaupun volume cairan yang normal tidak mengeksklusi diagnosis.

Pada masa yang akan datang, tes seperti cairan prolaktin atau alphafetoprotein, dan penghitungan fibronektin bayi mungkin dapat menentukan
dengan lebih tepat adanya ketuban pecah dini.

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ketuban pecah dini mempertimbangkan beberapa hal, yaitu:
-

Kehamilan, keadaan kesehatan secara umum, dan riwayat kesehatan

Keparahan kondisi akibat ketuban pecah dini

Toleransi terhadap obat-obatan, tindakan atau terapi yang diberikan

Ekspektasi dari keadaan pasien

Pendapat atau pilihan pasien

Risiko terbesar pada bayi setelah terjadinya ketuban pecah dini pada
kehamilan preterm dihubungkan dengan komplikasi prematuritasnya. Oleh
karena itu, penatalaksanaan ditujukan untuk memperpanjang kehamilan untuk
pasien yang belum ada tanda-tanda persalinan, tidak mengalami infeksi dan tidak
menunjukkan adanya tanda gawat janin. Terdapat beberapa penatalaksanaan
alternatif yang dapat dikembangkan.10
Secara umun penatalaksanaan ketuban pecah dini pada kehamilan preterm adalah
sebagai berikut:
Dirawat di Rumah Sakit
Satu dari alasan penting perlunya merawat pasien dengan di rumah sakit adalah
pada saat persalinan dimulai terdapat insiden yang tinggi dari gawat janin
terutama yang berasal dari kompresi tali pusat. Seperti yang telah digambarkan,
gawat janin pada kehamilan yang sangat preterm dapat sangat berbeda dengan
gawat janin pada kehamilan aterm. Pada janin dapat mengalami variable
9

deselerasi dari ringan sampai berat dengan cepat, variabilitas denyut jantung
janin dapat hilang dengan lebih cepat dan terdapat korelasi antara denyut jantung
yang abnormal dengan depresi dari Apgar skor, asidosis tali pusat dan komplikasi
neonatal. Oleh karena itu, adalah perlu untuk mengevaluasi keadaan janin secara
tepat sebelum pasien mengalami persalinan dan untuk melakukan persalinan
yang lebih cepat jika ditemukan tanda gawat janin.
Manajemen ekspektatif
Penatalaksanaan yang paling banyak diterima untuk pasien dengan umur
kehamilan 36 minggu dengan ketuban pecah dini namun dengan janin yang
viable adalah dengan manajemen ekspektatif di rumah sakit. Dilakukan penilaian
yang terdiri dari observasi dari tanda-tanda infeksi, tanda-tanda persalinan, atau
gawat janin dalam upaya untuk menambah waktu bagi janin untuk tumbuh dan
maturasi. Pada saat MRS, diagnosis dikonfirmasikan dengan pemeriksaan
menggunakan spekulum. Pasien dievaluasi dengan monitoring denyut jantung
janin dan kontraksi uterus (untuk 12 sampai 24 jam). Jika timbul tanda-tanda
persalinan dan infeksi atau terjadi gawat janin, maka persalinan dibenarkan;
namun pada kasus yang lain, pasien diobservasi di ruangan. Penilaian meliputi
evaluasi klinis setiap hari, non stress test dan evaluasi profil biofisik. Jika umur
kehamilan sudah mencapai 36 atau 37 minggu, maka persalinan diindikasikan.
Penatalaksanaan lain meliputi penggunaan manajemen ekspektatif yang selektif.
Pada algoritma ini, pasien dievaluasi maturitas paru-paru janinnya dan persalinan
diindikasikan jika adanya maturitas dapat dibuktikan. Hal ini masuk akal untuk
diterima bahwa maturitas paru adalah tidak baik pada umur kehamilan kurang
dari 31 minggu dan pasien pada grup ini dapat dilakukan manajemen ekspektatif.
Pada umur kehamilan 32 minggu atau lebih, pemeriksaan PG dari cairan di pool
vagina dengan menggunakan rapid slide agglutination test. Pada pasien dengan
hasil PG negative, amniocentesis dapat dipertimbangkan dan jika pada
pemeriksaan cairan amnion didapatkan bukti maturitas paru-paru janin maka
persalinan dapat diinduksi. Cairan yang diperoleh dari amniocentesis harus
dilakukan pemeriksaan Gram dan penentuan kadar glukosa. Penemuan adanya
infeksi merupakan indikasi untuk dilakukan persalinan dan pemberian
10

antibiotika. Paru-paru janin yang masih imatur dan tidak ada infeksi adalah
indikasi untuk dilakukan manajemen ekspektatif.
Risiko yang dialami ibu dan fetus pada manajemen ekspektatif berbeda-beda
tergantung umur kehamilan saat pecah ketuban dan konsekuensi terhadap infeksi
uterin dan sepsis. Jika bermaksud untuk melakukan manajemen ekspektatif
sebelum 25 minggu, pertimbangan tambahan perlu diberikan untuk risiko
oligohidramnion pada fetus dengan diserta hipoplasia pulmonal dan deformitas
akibat penekanan anggota badan.
Terapi Antimikroba
Pemberian antibiotika pada ketuban pecah dini preterm dihubungkan dengan
penundaan persalinan yang secara statistik signifikan dan penurunan morbiditas
neonatal (walaupun bukan mortalitasnya). Penundaan persalinan ini memberikan
waktu yang cukup bagi timbulnya efek kortikosteroid profilaksis pada prenatal.
Dari penelitian tersebut diatas, erithromycin merupakan antibiotika pilihan
utama.2,4,5,6
Penelitian-penelitian belakangan ini

telah memeriksa adanya efikasi dari

pemendekan pemberian terapi dan kombinasi antimikroba lainnya. Tiga hari


perawatan dibandingkan dengan 7 hari perawatan menggunakan baik ampicillin
atau ampicillin-sulbactam menunjukkan efektifitas yang sama. Pemberian terapi
antimikroba yang lama pada kehamilan semacam ini dapat menimbulkan
konsekuensi yang tidak diinginkan. Terdapat potensi terjadinya resistensi
terhadap bakteri. Bagaimanapun, sepsis karena infeksi Streptococcus grup B
mengalami penurunan dari periode tahun 1991 1993 dibandingkan dengan
periode tahun 1998-2000 (5,9 menjadi 1,7 per 1000 kelahiran), sepsis oleh karena
E. coli meningkat dari 3,2 menjadi 6,8 per 1000 kelahiran. Hampir 85% coliform
terisolasi pada penelitian kohort dengan pasien yang resisten ampicillin
Perbaikan Membran
Beberapa kemungkinan yang menggembirakan untuk terapi definitif meliputi
pembedahan untuk menutup membran telah dikembangkan. Pada penelitianpenelitian pendahuluan, membran ditutup dengan graft kolagen, platelet dan
kriopresipitat, dan fibrin dan atau trombin sampai spon gelatin. Penggunaan spon
11

gelatin untuk menyumbat servik telah digambarkan oleh OBrien dkk (2002)
pada 15 wanita dengan pecah ketuban pada awal midtrimester. Tehnik ini masih
dalam investigasi.
Amnioinfusion
Membran dari kantong amnion biasanya pecah saat persalinan. Apabila ketuban
pecah sebelum usia kehamilan kurang dari 37 minggu akan meningkatkan risiko
infeksi, juga meningkatkan risiko terjadinya penekanan tali pusat yang dapat
mengurangi pasokan nutrisi dan oksigen ke janin dan amnionitis. Amnioinfusion
dilakukan untuk mencegah ataupun mengurangi penekanan tali pusat dengan
memasukkan cairan ke dalam kavum uteri. Larutan saline dapat dimasukkan
dengan kateter secara transervikal ke kavum uterus, ataupun transabdominal
dengan menyuntikkan jarum spinal pada membran yang intak. Teknik ini
digunakan pada kasus oligohidramnion maupun terapi terhadap penurunan
denyut jantung janin akibat adanya penekanan tali pusat.
Steroid
Pemberian kortikosteroid prenatal ditujukan untuk meningkatkan produksi
surfaktan janin dan pematangan paru. Jika diberikan dalam sedikitnya 24- 48 jam
sebelum kelahiran, dapat menurunkan kejadian sindroma gagal nafas, perdarahan
intraventricular dan kematian janin sampai 50%. Efek steroid bertahan sampai 1
minggu. Tidak ditemukan keuntungan dari pemberian dosis steroid ulangan.2,4,6

12

Tokolisis
Penekanan kontraksi uterus dapat menjadi solusi yang nyata dari masalah
persalinan preterm. Bagaimanapun, tokolitik tidak bekerja secara efektif untuk
lebih dari 48 jam, kemungkinan oleh karena tachyphylaxis. Penggunaan
utamanya untuk penundaan persalinan untuk memberikan waktu bagi
kortikosteroid sampai ke fetus untuk meningkatkan pelepasan surfaktan pada
paru fetus. Efek ini hanya signifikan untuk umur kehamilan diatas 34 minggu.
Bagaimanapun, terdapat banyak situasi dimana penggunaan tokolitik tidak
diperlukan. Dari 3000 persalinan dalam 1 tahun, hanya sekitar 50 wanita yang
cocok dengan tokolitik.
Banyak tokolitik yang belakangan ini dipakai. Simpatomimetik seperti ritodrine
dan salbutamol digunakan secara umum sebagai pilihan yang paling aman untuk
ibu dan janin, walaupun dapat menimbulkan takikardi dan edema paru jika
diberikan dalam dosis yan berlebihan. Indomethacin dapat menimbulkan
penutupan prematur pada duktus arteriosus jika digunakan setelah 32 minggu
yang dapat menyebabkan hipertensi pulmonal yang signifikan. Alkohol dan
isoxuprine hydrochloride tidak lagi digunakan. Calcium channel blocker seperti
nifedipin dapat menimbulkan hipotensi yang signifikan. Atosiban, suatu oksitosin
antagonis, dapat memberikan harapan seperti halnya dengan nimesulide, suatu
inhibitor selektif dari siklooksigenase tipe 2, nitric oxide seperti glyceryl trinitrate
juga telah dievaluasi. Dari penelitian tidak ditemukan keuntungan dengan
pemberian tokolitik profilaktik pada kehamilan trimester 1 dan 2. Jika terjadi
pecah ketuban, penggunaan tokolitik masih kontroversial. Kontraksi dapat terjadi
akibat dari korioamnionitis dan dengan menunda persalinan dapat meningkatkan
penyebaran infeksi. Jika tokolitik digunakan pada situasi ini, maka harus
diberikan antibiotika spektrum luas secara intravena2,4,6,10.
2.8. Komplikasi
Ketuban pecah dini dapat menimbulkan komplikasi yang bervariasi sesuai dengan
usia kehamilan. Kurangnya pemahaman terhadap kontribusi dari komplikasi yang
mungkin timbul dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas perinatal bertanggung

13

jawab terhadap kontroversi dalam penatalaksanaannya. Beberapa komplikasi yang


berhubungan dengan ketuban pecah dini antara lain. 2,3,4,28,28,30
-

Infeksi
Risiko infeksi meningkat baik pada ibu maupun bayi. Infeksi pada ibu dapat
berupa ascending infection yang insidennya sekitar 30% dan korioamnionitis.
Insiden korioamnionitis bervariasi sesuai dengan populasi. Insidennya 0,51,5% dari seluruh kehamilan, 3-15% pada ketuban pecah dini prolonged, 1525% pada ketuban pecah dini preterm dan mencapai 40% pada ketuban pecah
dini dengan usia kehamilan kurang dari 24 minggu. Sedangkan insiden sepsis
neonatus 1 dari 500 bayi dan 2-4% pada ketuban pecah dini prolonged.

Persalinan preterm
Pada kehamilan aterm 90% kasus akan bersalin dalam 24 jam. Sedangkan
pada ketuban pecah dini dengan usia kehamilan 28-34 minggu, 50%
melahirkan dalam 24 jam, 80-90% dalam waktu seminggu. Sebelum 26
minggu, 50% akan melahirkan dalam waktu seminggu.

Hipoksia dan atau asfiksia sekunder oleh karena penekanan tali pusat dan
atau disertai solusio plasenta.

Peningkatan persalinan perabdominal dengan Apgar skor lima menit pertama


yang rendah.

Oligohidramnion, menyebabkan hipoplasia paru pada neonatus

Peningkatan insiden retensio plasenta, dan kejadian perdarahan postpartum


primer ataupun sekunder.

Pecahnya vasa previa dapat menyebabkan kematian janin antara 33-100%

Pemecahan ketuban secara sengaja masih kontroversial karena dapat menyebabkan


komplikasi dan dianggap tindakan yang tidak perlu dilakukan. Sedangkan pendapat
lain mengatakan amniocentesis dapat dilakukan dengan mempertimbangkan
keuntungan, indikasi yang jelas dengan monitoring ketat keadaan bayi, serta
mencegah partus lama.
Indikasi

Induksi persalinan

Augmentasi persalinan

14

Monitoring bayi saat persalinan : monitoring likuor, fetal scalp electrode,


contoh darah bayi.

Komplikasi

Peningkatan rasa nyeri pada ibu

Gawat janin

Sepsis pada ibu ataupun janin

Prolaps tali pusat

Kesalahan dalam perhitungan hari pertama haid terakhir dapat menyebabkan


terjadinya prematuritas

Pecahnya vasa previa dapat menyebabkan kematian janin antara 33-100%.

15

DAFTAR PUSTAKA
1. Saifuddin, A. B. 2011. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta.
2. Allahyar
Jazayeri.
2011.
Premature
http://www.emedicine.medscape.com.

Rupture

of

Membranes.

3. Medina, Tanya M. and Hill, Ashley D. Preterm Premature Rupture of


Membranes: Diagnosis and Management. Am Fam Physician 2006;73:659-64.
4. Wirdasari. 2011. Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini pada Kehamilan Preterm
dan Aterm. Program Pendidikan Profesi Dokter. Bagian Obstetri dan Ginekologi
RSUD Setjonegoro Wonosobo.
5. Soewarto S. Ketuban Pecah Dini. Dalam Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan.
Bagian Ketiga: Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas dan Bayi Baru Lahir. Edisi
Keempat. Cetakan Kedua. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2009. hal 677-82.
6. Manuaba.I.B.G. Ketuban Pecah Dini dalam Kapita Selekta Penatalaksanaan
Obstetri Ginekologi dan KB, EGC, Jakarta, 2001, hal : 221 225.
7. Manuaba I.B.G, Chandranita Manuaba I.A, Fajar Manuaba I.B.G.(eds) Pengantar
Kuliah Obstertri. Bab 6: Komplikasi Umum Pada Kehamilan. Ketuban Pecah
Dini. Cetakan Pertama. Jakarta. Penerbit EGC. 2007. Pp 456-60.
8. Nili F., Ansaari A.A.S. Neonatal Complications Of Premature Rupture Of
Membranes. Acta Medica Iranica. [Online] 2003. Vol 41. No.3. Diunduh dari
http://journals.tums.ac.ir/upload_files/pdf/59.pdf.
9. Cunningham Gary F, Leveno J Kenneth , Bloom L Steven , Hauth C John , III
Gilstrap Larry , Wenstrom D Katharine . Williams Obstetrics Edisi 22.2005 .
10. Saifudin, Abdul B. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal
& Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
11. Saifuddin, Abdul B 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
12. Soewarto, S. 2009. Ketuban Pecah Dini. Dalam: Winkjosastro H., Saifuddin
A.B., dan Rachimhadhi T. (Editor). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal. 677-680.
13. Bagus Gde Manuaba, Ida. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri
Ginekologi dan KB. Jakarta. EGC.
14. Geri Morgan & Carole Hamilton. 2009. Obstetri dan ginekologi Panduan
praktis. Jakarta. EGC.
16

15. Graber, Mark A, dkk. 2006. Buku saku Dokter Keluarga University OfLowa,
Edisi 3. Jakarta. EGC.
16. Green, Carol J. 2012. Maternal Newborn NURSING CARE PLANS. United
States of America : Jones & Bartlett Learning, LLC.
17. Ida Ayu Chandranita dan Manuaba, SpOG, dkk.2009. Buku Ajar Patologi
Obstetri. Jakarta. EGC.
18. Leveno, Kenneth J. 2009. Obstetri Williams Panduan Ringkas Ed. 21. Jakarta :
EGC
19. Nugroho, T. 2011. Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah, Penyakit
Dalam.Yogyakarta: Nuha Medika.
20. Manuaba, Candranita Manuaba, Fajar Manuaba. 2007. Pengantar Kuliah
Obstetri. Jakarta : EGC.
21. Morgan, Geri dan Carole Hamilton. 2009. Obstetri Dan Ginekologi Panduan
Praktis. Jakarta : EGC.
22. Suhartono, Agus.2002.Perbandingan kadar CRP serum ibu pada kehamilan
aterm ketuban pecah dini dan normal. Universitas Diponegoro.
23. Varney, Helen. Dkk. 2004. VARNEYS MIDWIFERY : FOURTH EDITION.
United States of America : Jones and Bartlett Publishers, Inc.
24. Ketuban Pecah Dini. 2011. Diambil dari situs http://www.scribd.com/doc/6174
2900/Lapsus-KPD-singaraja.html. diakses pada tanggal 16 Juli 2012.
25. Ketuban Pecah Dini. 2011. Diambil dari situs http://www.scribd.com/doc/
59744828/ketuban-pecah-dini-2.html. diakses pada tanggal 16 Juli 2012.
26. Ketuban Pecah Dini. 2011. Diambil dari situs http://www.scribd.com/doc/
65772733/KPD.html. diakses pada tanggal 16 Juli 2012.
27. Gde Manuaba, I.B. Ketuban Pecah Dini (KPD). Ilmu Kebidanan, Penyakit
Kandungan & Keluarga Berencana. Jakarta: EGC; 2001. Hal: 229-232.
28. Ketuban Pecah Dini. 2011. Diambil dari situs http://www.scribd.com/doc/
65476803/tinjauan-pustaka-KPD.html. diakses pada tanggal 16 Juli 2012.
29. Saifudin A.B. 2006. Ketuban Pecah Dini, Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Hal : 218-220.
30. Ketuban Pecah Dini. 2011. Diambil dari situs http://www.scribd.com/doc/
50265897/BAB-I.html. diakses pada tanggal 16 Juli 2012.

17

Anda mungkin juga menyukai