Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Nomor 001/PUU-IV/2006
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara konstitusi pada tingkat
pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
1. Nama
Agama
Islam;
Pekerjaan
Alamat
KTP
32.77.73.1011/00108/73000519;
Nomor Telepon
Nomor Faksimili
Nomor HP
2. Nama
Agama
Islam;
Pekerjaan
Guru;
Alamat
KTP
32.77.01.1009/9273/3280614;
Nomor Telepon
(021)8721717;
Nomor Faksimili
Nomor HP
0816184 9046;
Dalam hal ini memberi kuasa kepada Alberth M. Sagala dan Muhyar Nugraha,
SH., Advokat yang tergabung dalam Tim Hukum dan Advokasi, Badrul Kamal
dan KH. Shyihabudin Achmad, BA, yang berkantor di Kota Kembang Depok
Raya Sektor
Hp.
DUDUK PERKARA
Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan pengujian
Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) dengan surat permohonannya
bertanggal 3 Januari 2006 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada hari
Senin, 9 Januari 2006 dengan registrasi perkara Nomor 001/PUU-IV/2006;
Menimbang bahwa Pemohon di dalam permohonannya mengemukakan
hal-hal sebagai berikut:
Nomor 01
Undang-undang Nomor 32
Tahun
2004 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 jo. Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 2 Tahun 2005;
Pada saat putusan Mahkamah Agung Nomor 01 PK/Pilkada /2005 tersebut
menjadi yurisprudensi maka kekuatannya dan kedudukannya setara dengan
undang-undang atau bahkan lebih tinggi dari undang-undang dengan cara
menunjuk/merujuk yurisprudensi itu dan menyampingkan undang-undang;
Ketika Putusan Mahkamah Agung menjadi yurisprudensi (setara atau lebih
kuat dari undang-undang) maka kewenangan untuk menguji yurisprudensi itu (in
casu putusan Mahkamah Agung) yang berkedudukan setara dengan undangundang, berada
dalam
ruang-lingkup
tugas
Mahkamah
Konstitusi
untuk
kehakiman
merupakan
kekuasaan
yang
merdeka
untuk
undang;
Undang-undang yang berlaku untuk penyelenggaraan dan penyelesaian
sengketa pemilihan kepala daerah adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah;
ditempuh upaya hukum hal ini dipertegas lagi dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2005 pada Pasal 94 ayat (7) yang berbunyi Putusan Pengadilan
Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final dan mengikat.
Bahwa dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung Nomor 01
PK/Pilkada/2005 yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat di
Bandung Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg., maka Pemohon sangat dirugikan
sebagai pasangan calon walikota dan calon wakil walikota yang seharusnya sudah
dilantik jadi Walikota dan Wakil Walikota Depok setelah dimenangkan oleh
Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung tersebut;
Karena
dikeluarkannya
putusan
Mahkamah
Agung
Nomor
01
dari
pikiran
Gustav
Radbruch
(halaman
15
Put.
No.
01
karena putusan Mahkamah Agung tersebut nantinya dapat menjadi setara atau
lebih kuat dari sebuah Undang Undang namun tidak bersumber dan tidak sesuai
dengan Undang-Undang Dasar 1945..
Hal ini berarti bahwa sesuai dengan Pasal 30 huruf a Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi
harus memeriksa dan memberi putusan atas putusan Mahkamah Agung Nomor
01 PK/Pilkada/2005, karena tidak bersumber dari Pasal 24 ayat (1) Undang
Undang Dasar 1945, melainkan bersumber dari pendapat Gustav Radbruch
sebagai alasan pembenar putusan tersebut.
Bahwa untuk keperluan pemeriksaan berikut ini Pemohon lampirkan
Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg., dan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 PK/Pilkada/2005, dan bila Mahkamah
Konstitusi berkenan, kami akan mengajukan saksi.
Untuk itu Pemohon memohon Mahkamah Konstitusi memeriksa dan
memberi putusan yang menyatakan Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 PK/
Pilkada/2005 adalah bertentangan dengan Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945
jo. Pasal 106 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, sehingga harus dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon telah
mengajukan bukti-bukti surat/tulisan yang dilampirkan dalam permohonan dan
juga mengajukan bukti tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada
hari Jumat, tanggal 13 Januari 2006, bukti-bukti tersebut oleh Pemohon telah
dibubuhi materai dengan cukup, dan diberi tanda Bukti P-1 s/d Bukti P-5, yaitu:
1. Bukti P-1
Nomor 01 PK/PILKADA/2005;
3. Bukti P-3
Undang-undang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah;
4. Bukti P-4
5. Bukti P-5
Nomor 02 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan
Terhadap Penetapan Hasil Pilkada Dan Pilwakada Dari KPUD Propinsi dan
KPUD Kabupaten/Kota;
Menimbang bahwa pada persidangan hari Rabu tanggal 18 Januari 2006,
Komisi Pemilihan Umum Kota Depok telah menyerahkan keterangan tertulisnya
tertanggal 18 Januari 2006, yang berbunyi sebagai berikut:
1.
Rakapitulasi
Hasil
Penghitungan
Suara
Pemilihan
Walikota dan Wakil Walikota Depok Tahun 2005. Hasil perolehan suara
yang telah ditetapkan tersebut, yaitu:
Nomor Urut 1 memperoleh 32.461 suara;
Nomor Urut 2 memperoleh 23.859 suara;
Nomor Urut 3 memperoleh 206.781 suara;
Nomor Urut 4 memperoleh 34.096 suara;
Nomor Urut 5 memperoleh 232.610 suara;
Jumlah suara sah 529.807 suara. (vide surat bukti T-2).
3. Bahwa Pasangan Calon Nomor 3, Drs. H. Badrul Kamal, MM. dengan
KH. Syihabuddin Ahmad, BA, tidak dapat menerima hasil yang telah
ditetapkan oleh KPU Kota Depok, dan mengajukan Permohonan
Keberatan;
4. Bahwa permohonan tersebut telah diajukan kepada Pengadilan Tinggi
Bandung melalui Pengadilan Negeri Cibinong. Permohonan diterima dan
diregistrasi oleh Pengadilan Tinggi Bandung pada tanggal 12 Juli 2005
dengan Nomor Perkara 01/PILKADA/2005 PT.Bdg.;
5. Bahwa dalam permohonannya, Pemohon telah mengajukan berbagai
dalil. Dalil-dalil yang oleh Pengadilan Tinggi Bandung dianggap relevan
dan kemudian dijadikan dasar pengambilan Putusan adalah, sebagai
berikut:
-
yang
keseluruhannya
berjumlah
62.750
suara.
atau
undangan
untuk
memilih,
dan
memohon
agar
MENGADILI:
DALAM EKSEPSI :
-
10
permohonan
Peninjauan
Kembali
dari
Pemohon
TANGGAPAN
TERHADAP
PERMOHONAN
PENGUJIAN
UNDANG
11
sengketa
kewenangan
lembaga
negara
yang
dengan
cara
menunjuk/merujuk
yurisprudensi
ini
dan
menyampingkan Undang-Undang;
Bahwa dalil Pemohon seolah-olah yurisprudensi sama dengan undangundang
tersebut
kekuatan
jelas
imperatif
keliru,
mengikat
sebab
dan
undang-undang
bersifat
umum,
mempunyai
sedangkan
undang-undang
dan
yurisprudensi
adalah
sama-sama
12
pada
putusan
yang
terdahulu,
sehingga
melahirkan
13
tersebut
di
atas
dengan
jelas
menegaskan
bahwa
14
Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat dan
terkadang perlu digunakan untuk melakukan koreksi terhadap putusanputusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketentuan di atas merupakan
ketentuan umum yang berlaku bagi setiap jenis perkara. Pengecualian atas
ketentuan umum ini harus didasarkan pada norma yang jelas, tegas dan
tidak memuat keraguan;
Norma yang masih memuat peluang untuk diinterprestasikan ke arah yang
saling bertentangan tidak dapat dipakai sebagai dasar pengecualian.
Penegasan ini menjadi sangat perlu dikemukakan oleh karena nilai yang
hendak dilindungi oleh lembaga peninjauan kembali merupakan niIai dasar
dalam penegakan hukum dan keadilan, sehingga peradilan tidak berubah
maknanya menjadi lembaga yang justru menciptakan ketidakadilan;
Upaya hukum Peninjauan Kembali dalam hal-hal tertentu yang disebutkan
dalam perundang-undangan dibolehkan penggunaannya terhadap putusanputusan dalam perkara perdata, perkara pidana, dan perkara tata usaha
negara. Mutatis mutandis upaya hukum Peninjauan Kembali harus pula
diterapkan terhadap putusan dalam perkara sengketa hasil pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah;
Pasal 106 ayat (7) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
menyatakan:
"Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud ayat (6) bersifat final;
Dalam Penjelasan Pasal tersebut dinyatakan:
"Putusan Pengadilan Tinggi yang bersifat final dalam ketentuan ini adalah
putusan pengadilan tinggi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dan tidak bisa lagi ditempuh upaya hukum ";
Namun Penjelasan tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai apa
yang dimaksud dengan upaya hukum. Padahal dari ketentuan perundangundangan yang berlaku dalam sistem peradilan Indonesia dikenal adanya
dua macam upaya hukum masing-masing upaya hukum biasa dan upaya
hukum luar biasa in casu Peninjauan Kembali. Dengan perkataan lain,
tidak dijelaskan apakah upaya hukum yang dimaksud dalam penjelasan di
atas termasuk upaya hukum luar biasa.
15
Mengartikan upaya hukum dalam Penjelasan Pasal 106 ayat (7) UU No. 32
Tahun 2004 dalam arti luas sehingga tercakup ke dalamnya upaya hukum
luar biasa, yang berarti menutup peluang dilakukannya upaya korektif
terhadap Putusan Pengadilan. Menurut hemat Termohon merupakan hal
yang sulit diterima akal sehat mengingat kualitas kepentingan yang
terkandung di dalam perkara sengketa hasil Pilkada bukan semata-mata
kepentingan individu, melainkan terkandung hak-hak politik rakyat yang
dijamin konstitusi, sehingga upaya koreksi terhadap putusan Pengadilan
Tinggi Bandung melalui upaya peninjauan kembaii harus terbuka;
Membatasi kemungkinan pengajuan Peninjauan Kembali untuk sengketa
yang menyangkut kepentingan publik dan hak politik rakyat serta proses
demokrasi
di
sebuah
daerah
seperti
halnya
Kota
Depok
dengan
Tingkat
Banding
dan
Tingkat
Kasasi
kesemuanya
hanya
tertutup
untuk
upaya
banding
maupun
kasasi.
16
17
berkenaan
dengan
hasill
penghitungan
suara
yang
18
19
terdapat
dugaan
terjadi
kesalahan
atau
kekeliruan
dalam
2005}
yang
mengalami,
melihat.
dan/atau
menyaksikan
20
21
seolah-olah
tidak
ada
bukti
perlawanan
dari
13
22
Bukti P.16
Suara
Pernyataan
warga
sebanyak
183
warga
pendukung
pasangan calon No. 3. tidak dapat memilih karena tidak dapat kartu
pemilih dan tidak dapat surat undangan sebagaimana dijelaskan
oleh saksi Mohamad Hasan;
-
Bukti P.17
Tim Pencari Fakta BKSA menemukan di Kecamatan Pancoran Mas
Depok antara lain ada 60.919 orang yang tidak menggunakan hak
pilihnya yang merupakan pendukung calon No.3: (catatan Pemohon
PK : BKSA adalah kependekan dari Badrul Kamal Syihabuddin
Ahmad);
Bukti P. I8
Keluhan dari warga Depok Ernawati
Bukti P.29
597 warga Kelurahan Sukatani, Kecamatan Cimanggis, pendukung
calon No. 3, tidak mendapat kartu pemilih dan tidak mendapat surat
pemberitahuan dari Panitia bahwa mereka bisa dapat surat
undangan sehingga tidak bisa menggunakan hak pilihnva;
Bukti P.30.
755 warga Kelurahan Jatijajar tidak diberi kartu pemilih dan surat
pemberitahuam dikarenakan mereka diketahui adalah pemilih dan
pendukung pasangan calon No. 3;
Bukti P. 31
221 warga Kelurahan Sukamaju Baru Cimanggis sengaja tidak
mengijinkan memilih karena diketahui mereka adalah pendukung
dan pemilih pasangan calon Nomor urut 3;
Bukti P.32
84 warga di Kelurahan Abadi Java Kecamatan Sukma Jaya, warga
pendukung calon No. 3 yang tidak dapat kartu pemilih dan tidak
dapat surat undangan;
23
Bukti P.33
Di TPS 06 25 warga Kelurahan Batujajar. Kecamatan Cimanggis
tidak dapat surat undangan mencoblos pada Pilkada Depok 2005,
karena diketahui sebagai pendukung pasangan calon No.3;
Menimbang
24
orang lain. Di samping itu tata cara pemberian suara juga telah
dilanggar;
Mengenai pertimbangan Pengadilan Tinggi Bandung seolah-olah KPU
Depok/(kini Termohon) tidak mengajukan bukti perlawanan adalah tidak
benar. Disamping bukti-bukti surat, dalam persidangan telah dihadirkan
saksi Empy Gurandi (dalam salinan Putusan namanya tertulis H.M.T.
HUTOYO GUNARDI) yang telah memberikan kesaksian yang pada
pokoknya adalah sebagai berikut (hal. 58-60 salinan putusan):
Secara umum proses di TPS berjalan lancar tidak ada keributan dan
tidak ada keberatan dari masing-masing saksi di TPS waktu
penghitungan suara;
Dapat
ditambahkan
Pengadilan
Tinggi
telah
salah
dan
keliru
menetapkan surat suara yang sah, hanya atas dasar surat bukti P.16
sampai dengan P.33, yang notabene merupakan surat pernyataan
belaka, padahal berdasarkan ketentuan telah diatur secara tegas dalam
25
Bukti P.23.
Ditemukan kartu pemilih fiktif 18 orang, tidak terdaftar di DPT
menggunakan kartu pemilih dan C6 orang yang meninggal
dunia dan mencoblos untuk calon No. 5;
Bukti P.24.
767 orang diijinkan ikut mencoblos pasangan calon Nomor 5
walaupun hanya pakai kartu fiktif;
Bukti P.25.
di Kelurahan Beji Kecamatan Beji terdapat 26.936 orang di 11
Kecamatan yang tidak terdaftar di DPT. maupun di TPS yang
bersangkutan tetap ikut mencohlos untuk penggelembungan
suara bagi pasangan calon Nomor 5:
26
Bukti P.26.
5 suara untuk calon pasangan calon No. 5. di Kelurahan
Pangasinan Kecamatan Sawangan Depok-Jawa Barat tanpa
KP7 Depok, tapi orang berasal dari luar Kota Depok mencoblos
No.5;
Bukti P.34.
20 pendukung calon Nomor 5 tidak punya Kartu Pemilih hanya
dapat Kartu undangan dan bisa ikut mencoblos;
Bukti P.35.
4 orang yang punya KTP DKI ikut mencoblos di Depok untuk
calon No. 5;
27
KPUD tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota
Depok, lagi pula alat bukti tersebut
Tinggi
Bandung
Apabila
Putusan
Pengadilan
Tinggi
menjadi
preseden
pelanggaran
konstruksi
dan
azas-azas
28
dibuat
dan
diberlakukan
Mahkamah
Agung
terkait
dengan
29
maupun
putusan
sengketa
Pilkada/Pilwakada
Tingkat
Kabupaten/Kota;
Bahwa
secara
materil,
putusan
Mahkamah
Agung
Nomor
01
sebagai
yurisprudensi
terkait
perkara
sengketa
hasil
30
31
MERUSAK
PROGRAM
PENYELENG-GARAAN
PILKADA/
32
termasuk
Pilkada/Pilwakada,
perkara
permohonan
seharusnya
peninjauan
Mahkamah
Agung
kembali
lebih
sengketa
mengutamakan
penegakan hukum yaitu dalam hal ini menegakkan hukum yang berlaku
dalam penyelenggaraan Pilkada/-Pilwakada demi menciptakan keadilan;
6. Bahwa UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dibentuk
berdasarkan UUD 1945. Sementara putusan Mahkamah Agung Nomor 01
PK/PILKADA/2005 tanggal 16 Desember 2005 yang akan menjadi yurisprudensi
dan dasar hukum penyelenggaraan Pilkada/Pilwakada, khususnya menyangkut
proses hukum sengketa hasil Pilkada/Pilwakada, dibuat tidak berdasarkan
ketentuan UUD 1945 bahkan bertentangan dengan amanat UUD 1945. Oleh
karenanya, maka putusan Mahkamah Agung Nomor 01 PK/PILKADA/2005
tanggal 16 Desember 2005, harus diuji secara materiil oleh Mahkamah
Konstitusi untuk diputuskan bahwa putusan Mahkamah Agung tersebut
bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya putusan Mahkamah
Agung Nomor 01 PK/PILKADA/2005 Tanggal 16 Desember 2005 harus
dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
7. Bahwa penyelenggaraan Pilkada/Pilwakada adalah bagian terpenting dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah mengingat eksistensi kepala daerah dan
wakil kepala daerah sangat strategis terkait dengan legitimasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Oleh sebab itu, supaya penyelenggaraan Pilkada/
Pilwakada berjalan mulus tanpa kendala, maka azas kepastian hukum dalam
penyelenggaraannya
harus
ditegakkan
lebih
dahulu
dan
itu
berarti
33
tetapi
putusan
apabila
Mahkamah
Mahkamah
Agung
Konstitusi
tersebut
(MK)
maka
tidak
berarti
Pilkada/Pilwakada
sangat
ditunggu
oleh
segenap
a quo
Pemohon;
Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, pihak terkait dalam hal
ini pasangan calon Walikota/Wakil Kota Depok (Nur Mahmudi IsmailIsmail - Yuyun
Wirasaputra) menyampaikan tanggapan keterangan tertulisnya bertanggal 24
Januari 2006 yang diserahkan di persidangan Mahkamah Konstitusi pada hari
Selasa tanggal 24 Januari 2006, berbunyi sebagai berikut:
I. Mahkamah Tidak Berwenang Mengadili
Kami berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk
memeriksa, mengadili dan memutus permohonan yang diajukan oleh
Pemohon dalam perkara Nomor 001/PUU-IV/2006 karena Putusan Mahkamah
Agung Nomor 01PK/Pilkada/2005 (selanjutnya disebut Putusan MA) bukan
merupakan undang-undang yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi,
34
35
rancangan
undang-undang
itu
tidak
mendapat
persetujuan
Peraturan
perundang-undangan
yang
dibentuk
oleh
Dewan
36
sistem hukum di Amerika, Inggris dan semua negara bekas jajahannya yang
menganut sistem hukum Anglo Saxon. Perbedaan ini nampak dalam tempat,
kedudukan dan peran daripada Yurisprudensi. Dalam sistem hukum nasional
Indonesia,
Yurisprudensi
bukan
merupakan
undang-undang
karena
Namun
hal
itupun
dapat,
berubah
sesuai
dengan
tidak bisa diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi, karena berada di
luar wewenang Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, Termohon berpendapat bahwa kekuasaaan kehakiman, yang
dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki posisi
yang sederajat, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan
bahwa
"kekuasaan
kehakiman
dilakukan
oleh
sebuah
37
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi". Oleh karena itu, produk dari Mahkamah Agung tidak
bisa diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian,
Termohon berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili
permohonan Pemohon.
II. Pemohon tidak memiliki Kedudukan Hukum (Legal Standing)
Termohon berpendapat bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Pasal 51 ayat (1) UU MK pada pokoknya menyatakan bahwa Pemohon yang dapat
mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945 adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang
diatur dalam UUD 1945. Hak konstitusional warga negara Indonesia yang ditentukan
dalam UUD 1945 antara lain tercantum dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28A sampai
dengan Pasal 28J, Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1) dan (2), Pasal 32, Pasal 33
dan Pasal 34;
Selanjutnya dalam Pasal 51 ayat (2) UU MK disebutkan bahwa Pemohon wajib,
menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya;
Dalam permohonannya, Pemohon menyatakan bahwa ,"Pemohon keberatan
terhadap putusan Mahkamah Agung No. 01 PK/PILKADA/2005 tersebut, oleh
karena putusan Mahkamah Agung No. 01 PK/PILKADA/2005 BERTENTANGAN
DENGAN UU No. 32 Tahun 2004, jo. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005,
j.o. Perma No. 2 Tahun 2005 (hal 2 alinea 3). Lebih lanjut Pemohon
menyatakan bahwa "Permohonan pengujian materiil sangat beralasan berdasarkan
eksistensi suatu putusan Mahkamah Agung yang akan menjadi yurisprudensi yang berarti,
berkedudukan setara dengan undang-undang atau bisa lebih kuat dari undang-undang, padahal
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 24 ayat (1) yang berbunyi
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan" (hal 4 alinea 3).
Selanjutnya Pemohon menyebutkan bahwa "Lebih ironis lagi, para. kepala daerah yang
38
sedang bekerja berdasarkan undang--undang Nomor 32 Tahun 2004 j.o. Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2005 j.o. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 akan terganggu,
manakala kepastian hukum khususnya Pasal 106 undang--undang Nomor 32 Tahun 2005 tentang
Pemerintahan Daerah dilabrak oleh putusan a quo. Jika hal ini terjadi, maka pemerintahan tidak akan
kondusif mengelola jalannya pemerintahan dan pada gilirannya akan mengganggu kepentingan
bangsa dan negara".
Termohon berpendapat bahwa Pemohon tidak memenuhi ketentuan sebagai
Pemohon seperti yang diatur di dalam Pasal 51 ayat (1) dan (2) UU MK dan
ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 06/PMK//2005 yang pada pokoknya mengatur bahwa permohonan
harus menguraikan secara jelas kedudukan hukum Pemohon. Pemohon
sama sekali tidak menguraikan, atau setidak-tidaknya Termohon masih
bingung dan belum jelas mengenai apa hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
Sebetulnya siapa yang dirugikan, apakah Pemohon atau para kepala daerah?
Pemohon juga tidak bisa menguraikan dengan jelas apa kaitannya antara
terganggunya para kepala daerah oleh putusan a quo? Oleh karena itu,
Termohon berpendapat bahwa permohonan para Pemohon tidak dapat
diterima;
Berdasarkan uraian tersebut di atas, mohon kiranya Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia berkenan menetapkan sebagai berikut:
Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili permohonan
Pemohon
Menimbang bahwa pada persidangan hari Selasa tanggal 24 Januari 2006,
Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah (Panwas Pilkada) Kota Depok
mengajukan tambahan keterangan tertulisnya bertanggal 24 Desember 2006,
yang berbunyi sebagai berikut:
1.Pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) KPU Kota Depok terhadap
putusan Pengadilan Tinggi yang bersifat final dan mengikat sampai dengan
proses pemeriksaan permohonan oleh Majlis Hakim Agung Mahkamah Agung,
secara substansi adalah pengajuan permohonan uji materil terhadap
ketentuan Pasal 106 ayat (5) dan ayat (7) Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Hal itu dapat diperhatikan dari fakta-fakta
39
memori
permohonan
PK,
Pemohon
PK
menganjurkan
memori
permohonan
PK,
Pemohon
PK
memohon
dan
Pemeriksaan
Mahkamah
Agung
terhadap
pengajuan
Agung
menyatakan
bahwa
sebelum
permohonan
40
Pasal
dan
ayat
tersebut.
Mahkamah
Agung
41
4.Dengan mempertimbangkan:
4.1. Bahwa putusan uji materiil Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dalam
bentuk putusan MA No.01 PK/PILKADA/2005 telah mempunyai
kekuatan hukum mengikat sejak diberlakukan tanggal 16 Desember
2005.
4.2. Bahwa putusan uji materiil Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dalam
bentuk putusan MA No.01 PK/PILKADA/2005 secara formil dan
materiil telah menggeser dan/atau telah mengganti ketentuan Pasal
106 ayat (5) dan ayat (7) UU No. 32 Tahun 2004.
4.3. Bahwa putusan uji materiil Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dalam
bentuk putusan MA No.01 PK/PILKADA/2005, telah diakui secara
resmi oleh lembaga penyelenggara negara dan pemerintahan pusat
dan daerah seperti:
a. Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia (Mendagri) dengan
menerbitkan Surat Keputusan Pengangkatan dan Pengesahan
Pasangan Calon Terpilih Pilkada Kota Depok Tahun 2005 atas
nama Dr. Ir. Nur Mahmudi IsmailIsmail dan Drs. Yuyun Wirasaputra
sebagai Walikota dan Wakil Walikota Depok.
b. Pemerintah
Daerah
Propinsi
Jawa
Barat
(Gubernur)
yang
42
Walikota dan Wakil Walikota Depok atas nama Dr.Ir. Nur Mahmudi
IsmailIsmail dan Drs. Yuyun Wirasaputra.
f. Sejumlah media massa yang telah menyebarluaskan jadwal acara
pelantikan Walikota dan Wakil Walikota Depok atas nama Dr.Ir.
Nur Mahmudi IsmailIsmail dan Drs. Yuyun Wirasaputra.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka Panitia
Pengawas Pilkada (Panwasda) Kota Depok telah menetapkan keyakinan bahwa
Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 PK/PILKADA/2005 Tanggal 16 Desember
2005 dengan amar putusan mengabulkan pengajuan permohonan upaya hukum
Peninjauan Kembali terhadap putusan Pengadilan Tinggi yang bersifat final dan
mengikat adalah ketentuan hukum baru hasil uji materiil Mahkamah Agung
terhadap ketentuan Pasal 106 ayat (5) dan ayat (7) Undang-undang No. 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dan oleh karena ketentuan hukum
baru yang diciptakan Mahkamah Agung tersebut telah menggeser dan
menggantikan ketentuan Pasal dan ayat sebuah undang-undangt maka
kedudukan hukum baru itu sejajar dan/atau lebih tinggi dari undang-undang
yang direvisinya.
Selanjutnya, terkait hal tersebut di atas, maka Panitia Pengawas Pilkada
(Panwasda) Kota Depok dengan didahului SUMPAH :`DEMI ZAT YANG
MENGGENGGAM JIWA KAMI' semua keterangan Panwasda Kota Depok tersebut
diatas adalah benar dan bisa dipertangung jawabkan di hadapan ALLOH SWT
dan dihadapan hukum.
Dengan didasari sumpah tentang kebenaran keterangan yang disampaikan, tidak
berlebihan jika kami menyatakan bahwa :
1. Putusan Mahkamah Agung No.01 PK/PILKADA/2005 Tanggal 16 Desember
2005 telah memenuhi syarat untuk diposisikan sebagai ketentuan hukum baru
yang sejajar undang-undang dan/atau lebih tinggi dari
undang-undang
43
ketentuan
hukum
tentang
2004,
maka
putusan
MA
tersebut
harus
dibatalkan
guna
44
Ahli bukan sarjana dalam Ilmu Hukum, tetapi Ahli menafsirkan secara umum
bahwa Mahkamah Konstitusi adalah suatu tempat di mana bisa diajukan
judicial review, baik terhadap undang-undang maupun terhadap keputusankeputusan yang dianggap oleh pihak yang dirugikan sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan undang-undang.;
Sebagaimana yang Ahli pahami yaitu ketika Ahli belajar di Amerika Serikat
dalam mata kuliah Constitutional Interpretation. Constitutional Interpretation
memugkinkan bagi warga negara biasa mengajukan judicial review atas
penerapan satu undang-undang untuk keputusan yang dinilai bertentangan
dengan ketentuan yang lebih tinggi atau undang-undang dasar, tetapi hal Ahli
pahami tersebut berlaku di sini;
45
Menurut pemahaman Ahli bahwa ketentuan tentang keputusan yang final itu
dimulai dari Mahkamah
Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden. Ketentuan kata Final tersebut kemudian
diadopsi oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu pada kata final
adalah meng-copy apa yang telah dipraktekkan oleh Mahkamah Konstitusi
dalam memutuskan berbagai perkara mengenai Pilpres dan legislatif kemarin.
Secara pribada, Ahli tidak terlalu suka terhadap ketentuan final seperti itu,
karena akan mematikan upaya hukum setelah itu, walaupun ada bukti-bukti
baru yang dapat dinyatakan bahwa bukti yang dibawa seseorang tersebut
sudah batal. Tapi, sebagai suatu ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam
penjelasan bahwa hal itu sudah tidak bisa lagi digugat;
-
yang mau
putusannya
dimenangkan,
sehingga
Mahkamah
Konstitusi
bahwa pihak Pemohon dalam hal ini Badrul Kamal dan Syihabudin Ahmad
sebagai pasangan calon Walikota yang ikut dalam Pilkada, mempunyai
46
kedudukan hukum yang sah menurut hukum tata negara sebagai pihak dalam
perkara ini.
-
47
48
4. HAK MENGUJI
a. MA berhak melakukan uji materiel peraturan perundang-undangan
dibawah UU terhadap UUD.
b. MK berhak melakukan uji materiel UU terhadap UUD.
c. Hak
menguji
materiel
berkaitan
denga
materi
muatan
peraturan
perundangan.
d. Hak menguji formai berkaitan dengan kewenangan badan/lembaga
pembentuknya.
5. KEPUTUSAN PENGADILAN TINGGI BERSIFAT FINAL
Periksa ketentuan ayat (7) Pasal 106 UU No.32 tahun 2004, dengan
a.
b.
d.
dalam hal ini pasangan calon walikota/wakil walikota Kota Depok (Nur Mahmudi
IsmailIsmail Yuyun Wirasaputra) pada persidangan hari Selasa tanggal 24
Januari 2006, juga mengajukan 2 (dua) orang ahli, masing-masing bernama 1.
Topo Santoso, SH., MH., 2. Denny Indrayana, SH., LLM., PhD., yang
memberikan keterangan dibawah sumpah, pada pokoknya menerangkan sebagai
berikut:
1. Topo Santoso, SH, MH
-
49
tegas
dikatakan
bahwa
undang-undang
adalah
peraturan
Dari sisi hukum positif, bahwa tidak ada Undang-Undang Dasar Tahun
1945, Undang-undang Mahkamah Konstitusi, Undang-undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan,
dan bahkan Peraturan Mahkamah Konstitusi sendiri Nomor 6 Tahun
2005 tentang constitutional review pada intinya mengatakan bahwa
yang dijadikan obyek pengujian adalah undang-undang. UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 5, Pasal 20 sudah
sangat jelas menyebutkan undang-undang dan tidak menyebutkan
yurisprudensi. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan perundang-undangan, dan bahkan peraturan Mahkamah Konstitusi
sendiri Nomor 6 Tahun 2005 tentang constitutional sama sekali tidak disebut
50
Dari sisi doktrin, berdasarkan buku yang Ahli baca Keiten tentang The
Text of Jurisprudence, kemudian buku-buku Indonesia, buku Ibu Maria
tentang Ilmu Perundangan-undangan, dan buku-buku lainnya, memang
ada yang mengatakan bahwa yurisprudensi adalah sumber hukum, ada
juga yang mengatakan bahwa undang-undang adalah sumber hukum,
tetapi dua-duanya tidak bisa disamakan sebagai satu bentuk hukum
yang sama. Misalnya dari sisi format, Prof. Soedikno mengatakan,
berbeda
antara
yurisprudensi
dengan
undang-undang.
Kalau
yurisprudensi
daya
ikatnya
butuh
pengakuan,
Dari sistem hukum, bahwa Indonesia menganut sistem civil law, kita
tidak terikat pada yurisprudensi. Tidak demikian halnya terhadap negara
yang menganut common law, yaitu hakim terikat pada yurispruddensi
binding precedent, secara decicios, sehingga sekali lagi, dari segi
51
Pasal 24C,
tidak
bisa
diartikan
bahwa
Mahkamah
Konstitusi
menguji
yang
dipisah.
Yang
satu
biacara
tentang
pengujian
di
bawah
undang-undang
dasar.
Kalau
Putusan
52
Mahkamah Agung tersebut, dan itu bukan semangat yang diinginkan oleh
undang-undang dasar;
-
berwenang
untuk
menguji
permohonan
tentang
pengujian
Ahli berpendapat Mahkamah Agung adalah penginterpreter undangundang. Kalau Mahkamah Konstitusi merupakan the guardian the
constitution
maka
53
Posisi Kasus
Tim Hukum dan Advokasi Calon Walikota dan Wakil Walikota Depok Drs.
Badrul Kamal, MM dan KH. Syihabudin Ahmad, BA melalui surat tanggal 08
Januari 2006 mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap
UUD 1945. Yang menjadi obyek permohonan pengujian adalah Putusan
Mahkamah Agung No. 01 PK/Pilkada/2005;
Argumentasi Pemohon menyangkut obyek permohonan pengujian adalah
pada saat putusan Mahkamah Agung nomor 01/PK/Pilkada/2005 menjadi
yurisprudensi maka kekuatannya dan kedudukannya setara dengan undangundang
atau
bahkan
lebih
tinggi
dari
undang-undang
dengan
cara
54
Dengan titik tolak ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 seperti yang
dikutip di atas, isu utama adalah :
Apakah Putusan Mahkamah Agung (no. 01
PK/Pilkada/2005) adalah
55
kategori
undang-undang
menurut
sistem
pendekatan
perbandingan
diketengahkan
kompetensi
56
4b .........................
5
(2)The Federal Constitutional Court shall Edson rule on any other
cases referred to by federal legislation.
Perbandingan dengan Kompetensi Mahkamah Konstitusi Jerman, diantara
kekuasaan yang ada, ayat (2) dengan tegas dalam rumusan legislation.
Perbandingan tersebut di atas menunjukkan kompetensi Mahkamah
Konstitusi Jerman tidak menjangkau judicial decision.
IV. Kesimpulan
Analisis atas isu hukum dengan dua pertanyaan tersebut melahirkan
kesimpulan bahwa konsep undang-undang dalam sistem ketatanegaraan kita
adalah legislation. Oleh karena itu makna undang-undang dalam konteks
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 haruslah didasarkan pada ketentuan Pasal 20
ayat (1) UUD 1945, yaitu legislation. Dengan demikian putusan Mahkamah.
Agung sebagai judicial decision jelas bukan undang-undang dalam konteks
ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian Mahkamah
Konstitusi tidak berwenang menguji konstitusionalitas putusan Mahkamah
Agung (No. 01 PK/Pilkada/2005).
Perbedaan
karakter
yuridis
undang-undang
dengan
putusan
57
berbunyi sebagai
berikut :
Undang-undang merupakan produk lembaga legislatif. Sebagai
produk lembaga legislatif bersifat abstrak/umum, berlaku umum menurut
waktu, umum menurut tempat dan umum menurut orang. Waktu berlakunya
undang-undang tidak dibatasi, hanya diundangkan dengan ditentukan hari,
tanggal bulan dan tahunnya. Tempatnya berlaku untuk seluruh Indonesia,
sedangkan orang yang tunduk padanya tidak dibatasi berlaku bagi setiap
orang.
Undang-undang bermaksud untuk mengatur kegiatan kehidupan
manusia. Tidak mungkin ada suatu undang-undang yang lengkap selengkap
lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena itu maka undangundang harus dijelaskan atau dtafsirkan.
Yang
berwenang
melakukan
berwibawa
adalah
hakim.
Hakim
berwenang
membuat/melakukan
atau
memberi
berdasarkan
penafsiran.
penafsiran
freies
Perlu
yang
Ermessennya
diketahui
bahwa
58
Undang-undang
dengan
putusan
pengadilan
tidak
sama
59
adalah keputusan yang tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi, baik upaya
hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Hal ini adalah rumusan yang
disepakati dengan suara bulat oleh Pansus Undang-Undang Pemerintahan
Daerah, yang disetujui dengan suara bulat oleh Rapat Paripurna DPR RI.
Sehingga, upaya melakukan perlawanan hukum melalui PK (peninjauan
kembali)
sengketa
adalah
bertentangan
Pilkada
berdasarkan
dengan
UU
prinsip
No.32
dasar
Tahun
penyelesaian
2004
tentang
Pemerintahan Daerah.
Menimbang
bahwa
Panitia
Pengawas
Pilkada
Kota
Depok
telah
termasuk dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM
60
menolak untuk mengadili suatu perkara, lagi pula untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus permohonan, Mahkamah harus menyelenggarakan persidangan
dalam rangka proses persidangan yang jujur dan adil (processual fairness, een
goede process);
Pemohon
memiliki
kedudukan
hukum
(legal
standing)
untuk
61
Presiden
diduga
telah
melakukan
pelanggaran
hukum
berupa
62
63
ayat (7) UU Pemda dan tidak menyangkut kewenangan Mahkamah dan legal
standing Pemohon, maka Mahkamah tidak mempertimbangkannya lebih lanjut;
Menimbang pula bahwa Pihak Terkait KPU Kota Depok telah memberikan
keterangan lisan dan tertulis yang intinya menolak dalil-dalil Pemohon dan
menyatakan Mahkamah tidak berwenang mengadili permohonan a quo, serta
Pemohon tidak memiliki legal standing. Keterangan lengkap KPU Kota Depok
seperti tercantum dalam uraian mengenai Duduk Perkara dan selain itu KPU Kota
Depok juga mengajukan keterangan tertulis ahli Prof. Dr. RM. Sudikno
Mertokusumo, S.H. yang pada pokoknya sebagai berikut:
Undang-undang
merupakan
produk
lembaga
legislatif
yang
bersifat
Dari tata urutan sumber hukum kedudukan undang-undang lebih tinggi dari
pada putusan pengadilan;
Upaya hukum terhadap putusan pengadilan hanya ada tiga cara yaitu banding,
kasasi, dan peninjauan kembali; putusan pengadilan tidak dapat dilakukan
judicial review;
Menimbang bahwa Pihak Terkait Panwas Pilkada Kota Depok memberikan
keterangan secara lisan dan tertulis yang selengkapnya tercantum dalam uraian
mengenai duduk perkara, tetapi pada pokoknya mendukung dalil-dalil Pemohon;
Menimbang pula bahwa Pihak Terkait Nur Mahmudi Ismail dan Yuyun
Wirasaputra melalui kuasa hukumnya mengajukan keterangan lisan dan tertulis
yang selengkapnya tercantum dalam uraian mengenai duduk perkara, tetapi pada
pokoknya menolak dalil-dalil Pemohon, serta meminta Mahkamah menyatakan
tidak berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon tidak memiliki legal
standing. Selain itu, pihak terkait juga mengajukan 2 (dua) orang ahli yang
memberikan keterangan lisan di bawah sumpah dan seorang ahli yang
memberikan keterangan tertulis sebagai berikut:
1. Topo Santoso, S.H., M.H. memberikan keterangan lisan di bawah sumpah
yang pada intinya menyatakan bahwa yurisprudensi tidak sama dengan
64
pengujian
undang-undang
terhadap
UUD
1945,
dengan
membangun
65
konstruksi
hukum
seolah-olah
putusan
Mahkamah
Agung
Nomor
01
pengujian
putusan
Mahkamah
Agung
bukanlah
kewenangan
baik dalam arti formil maupun materiil, undang-undang tidak sama dengan
yurisprudensi. Putusan Mahkamah Agung adalah putusan peradilan (een
judicieele vonnis), yang termasuk dalam kategori kaidah individual-konkrit
(individual and concrete norms) yang tidak mengikat secara umum (erga
omnes), melainkan hanya mengikat para pihak (inter-partes). Putusan
Mahkamah Agung ataupun yurisprudensi bukanlah merupakan peraturan
perundang-undangan yang bersifat umum-abstrak (general and abstract
norms). Kedua jenis norma hukum tersebut tidak dapat dipersamakan
satu dengan yang lain meskipun sama-sama merupakan sumber hukum
dalam arti formil.
selain itu, tidak semua putusan Mahkamah Agung terus menerus diikuti
oleh putusan pengadilan berikutnya (constante jurisprudentie) dan
menjadi yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie). Bahkan dalam hal telah
menjadi yurisprudensi tetap pun quod non tidak menjadikannya obyek
kewenangan Mahkamah untuk mengujinya dalam pengertian Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945;
66
Pemohon
berada
di
luar
ruang
lingkup
kewenangan
67
hubungan
sebab
akibat
(causal
verband)
antara
kerugian
negara
Indonesia,
tetapi
Pemohon
tidak
menjelaskan
hak
68
MENGADILI
Menyatakan
permohonan
Pemohon
tidak
dapat
diterima
(niet
ontvankelijk verklaard);
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)
Terhadap putusan di atas, Hakim Konstitusi Soedarsono, S.H. dan
Maruarar Siahaan, S.H. menyampaikan pendapat berbeda sebagai berikut:
Hakim Konstitusi Soedarsono, S.H.
I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Bahwa Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), yang antara lain
dijabarkan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (yang selanjutnya disebut
UU MK) menyebutkan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
69
adalah
pihak
yang
menganggap
hak
dan/atau
kewenangan
karena
berlakunya
undang-undang
maupun
adanya
putusan
70
71
Bahwa para Pemohon adalah pasangan calon walikota dan calon wakil
walikota Kota Depok peserta Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah (Pilkada) Kota Depok Tahun 2005 dengan nomor urut 3 (tiga), yang
dengan Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung Nomor
01/PILKADA/2005/PT.BDG tanggal 04 Agustus 2005 dinyatakan sebagai
pemenang pertama dengan perolehan suara 269.551 suara.
Bahwa Putusan MA a quo yang bersumber dari pikiran Gustav Radbruch yang
memprioritaskan keadilan baru kepastian hukum dinilai oleh para Pemohon
tidak seharusnya mengenyampingkan Undang-undang Republik Indonesia
72
(1) Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung
73
dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan
hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
(3) Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota.
(4) Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya permohonan keberatan oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/
Mahkamah Agung.
(5) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final
dan mengikat.
(6) Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi
untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah kabupaten dan kota.
(7) Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat
final.
Dalam penjelasan Pasal 106 UU Pemda, disebutkan, Ayat (1) cukup jelas; Ayat
(2) cukup jelas;
Ayat (3) dalam hal daerah tersebut belum terdapat pengadilan negeri, pengajuan
keberatan dapat disampaikan ke DPRD;
Ayat (4) cukup jelas; Ayat (5) cukup jelas; Ayat (6) cukup jelas;
Ayat (7) putusan pengadilan tinggi yang bersifat final dalam ketentuan ini adalah
putusan pengadilan tinggi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak
bisa lagi ditempuh upaya hukum.
Bahwa walaupun nampak terdapat ketidakkonsistenan perumusan Pasal
106 ayat (5) UU Pemda yang menyebutkan putusan MA bersifat final dan
mengikat, sedangkan pada ayat (7) menyebutkan putusan pengadilan tinggi
bersifat final; saya berpendapat hal tersebut tidak menyebabkan adanya
ketidakpastian
hukum
karena
dalam
penjelasannya
disebutkan
putusan
74
pengadilan tinggi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak bisa lagi
ditempuh upaya hukum;
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 106 UU Pemda dan penjelasannya
tersebut dapat dipahami sebagai berikut:
75
sengketa hasil penghitungan suara Pilkada Kota Depok Tahun 2005 sesuai
wewenang yang diberikan oleh ketentuan Pasal 106 UU Pemda a quo.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Putusan MA Nomor
01 PK/PILKADA/2005 tanggal 16 Desember 2005 tidak bertentangan dengan UUD
1945. Dengan demikian permohonan para Pemohon tidak beralasan dan oleh
karenanya harus ditolak.
Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, S.H.
Yang menjadi pertanyaan pertama yang harus dijawab, apakah dengan analogi
yang diutarakan pemohon tentang kedudukan putusan MA sebagai jurispudensi
benar setara dengan UU, karenanya menjadi tunduk pada wewenang pengujian
MK?
Putusan MA tidak selalu dapat dikatakan sebagai jurisprudensi. Dikatakan
demikian jika putusan MA tentang satu masalah hukum tertentu telah demikian
rupa secara tetap atau ajeg dipedomani sehingga menjadi hukum yang berlaku.
Akan tetapi terlepas dari fakta bahwa putusan MA a quo belum merupakan satu
jurisprudensi, karena baru merupakan pendapat hukum MA yang menyangkut arti
putusan final dan mengikat, yang menyebabkan dibukanya pintu PK dalam
perkara a quo, dan sesungguhnya masih merupakan
putusan yang telah ditetapkan oleh hakim yang berwenang dan diterima sebagai
satu bukti kebenaran (evidence of truth) untuk perkara pilkada Depok. Dalam
urutan peraturan perundang-undangan dalam UU 10 Tahun 2004, jurisprudensi
bukanlah termasuk satu peraturan perundangan yang ada dalam hierarki secara
formal. Oleh karena Pasal 24C UUD l945 dan Pasal 10 UU 24 Tahun 2004
menyebut secara formal yang diuji adalah Undang-undang, maka seandainya juga
Putusan MA telah mengesampingkan satu UU, maka prima facie hal demikian
bukan menjadi kompetensi
76
konstitusional
untuk
mengadili
dan
memutus
yang
sifat
77
dari
konstitusional),
sudut
yang
individual
sesungguhnya
constitutional
memiliki
dasar
complaint
hukum
(pengaduan
yang
cukup
78
79
apakah yang dilakukan lembaga Negara tersebut sesuai atau menyimpang dari
kehendak rakyat yang dirumuskan dalam Konstitusi, agar pelayan tidak menjadi
lebih besar dari majikannya. Karenanya kami melihat bahwa individual
constitutional complaint seperti permohonan a quo merupakan upaya hukum yang
luar biasa yang harus disediakan bagi orang/perorangan untuk mempertahankan
hak-hak konstitusionalnya, tapi juga dengan tujuan untuk memelihara Hukum
(Tata Negara) secara objektif melalui interpretasi dalam pengembangannya.
Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU No. 24/2003 juncto Pasal
51 ayat (1) UU 24/2003, yang memberi legal standing pada perorangan
mengajukan pengujian konstitusionalitas UU, sesungguhnya harus ditafsir
termasuk pengujian perbuatan lembaga Negara yang menjalankan UU yang
melanggar hak dasar yang kemudian menimbulkan kerugian Konstitusi bagi
perorangan dan masyarakat, karena legal standing bagi perorangan untuk menguji
UU, tidak banyak ditemukan dalam UUD maupun UU tentang MK di banyak
Negara di dunia, tapi memberikan kepada perseorangan legal standing untuk
menggugat pelanggaran hak-hak dasar (basic rights) yang diatur Konstitusi, yang
dikeluhkan telah dilakukan dalam lembaga-lembaga negara baik eksekutif,
legislatif maupun judikatif.
Oleh karenanya kami berpendapat, bahwa kewenangan MK dalam Pasal
24C UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU 24 Tahun 2003 serta Pasal 51 ayat (1)
UU 24/2003, adalah sesuatu kewenangan yang terbuka untuk kemungkinan
perkembangan, sepanjang masih dalam batas-batas yang menjadi tugas utama
MK, sehingga oleh karenanya permohonan pemohon yang meskipun
dirumuskan sebagai satu pengujian UU karena menganggap putusan MA a quo
sebagai satu jurisprudensi yang tingkatnya sama dengan UU yang dalam
kenyataannya sesungguhnya dilakukan Pemohon sebagai upaya untuk memenuhi
syarat kompetensi MK padahal kenyataannya adalah putusan MA yang didalilkan
Pemohon bertentangan dengan hak-hak Dasar (basic right) yang diakui dalam
UUD 1945, sesungguhnya merupakan satu constitutional complaint, sebagaimana
diakui sebagai salah satu wewenang MK di Jerman dan Korea dan sejumlah besar
MK dari negara-negara bekas Komunis di bawah Uni Soviet. Hemat kami juga
dengan keyakinan penuh sebagai hasil interpretasi yang benar (comparative study
interpretation), pilihan perancang perubahan UUD 1945 yang membentuk sebuah
80
Mahkamah
kewenangan
Konstitusi
secara
melakukan
terpisah
judicial
review,
dari
Mahkamah
secara
logis
Agung,
juga
dengan
mengandung
********
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri
oleh 9 (sembilan) Hakim Konstitusi pada hari ini Rabu, tanggal 25 Januari 2006
dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk
umum pada hari ini juga, oleh kami Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Ketua
merangkap
selaku
81
KETUA,
Soedarsono, S.H.
82
PANITERA PENGGANTI
Sunardi, S.H.