Anda di halaman 1dari 11

MASYARAKAT SIPIL SEBAGAI PILAR UTAMA YANG

MEMBANTU KELANCARAN PROSES TRANSISI DEMOKRASI

Oleh :
Robertus Eka Sakti Nugraha
14/367152/SP/26380

JURUSAN POLITIK PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

LATAR BELAKANG

Dewasa

ini,

banyak

negara

di

dunia

yang

mulai

meninggalkan

sistem

pemerintahannya yang otoriter untuk menggantinya dengan suatu sistem pemerintahan yang
lebih demokratis. Salah satu negara yang dapat dijadikan contoh adalah Indonesia. Lebih dari
30 tahun rezim Soeharto yang otoriter memimpin Indonesia. Sampai akhirnya lengser ketika
Indonesia mengalami krisis ekonomi regional pada tahun 90-an yang menyebabkan tidak
terpenuhinya kebutuhan ekonomi masyarakat. Masyarakat mulai protes terhadap rezim
Soeharto yang pada akhirnya mengakibatkan Soeharto mundur dari jabatannya pada tahun
1998. Indonesia mulai mengalami proses transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju ke
pemerintahan yang demokratis.
Dalam keadaan tersebut, perlu adanya dukungan untuk memperlancar proses transisi
demokrasi yang sedang berjalan. Masyarakat sipil muncul sebagai pilar utama yang dapat
memperlancar proses tersebut. Hal ini berkaitan dengan demokrasi yang merupakan kondisi
di mana masyarakat berkesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri dengan cara
mengkompromikan hak-hak asasi individu milik mereka. Dengan masyarakat sipil yang kuat,
demokrasi akan berjalan dengan baik (Putnam, 1993). Begitu juga sebaliknya, dalam keadaan
negara yang demokratis, masyarakat sipil dapat berkembang dan tumbuh dengan kuat.
Pada akhirnya, selain untuk memenuhi tugas pengganti Ujian Akhir Semester (UAS)
yang diberikan, makalah ini akan membahas lebih dalam mengapa masyarakat sipil menjadi
pilar utama dalam proses transisi demokrasi serta bagaimana masyarakat sipil berperan dalam
proses transisi tersebut.

PEMBAHASAN

Masyarakat Sipil Dalam 3 Konteks Yang Berbeda


1. Organisasi
Dalam konteks organisasi, masyarakat sipil dimaknai sebagai sekumpulan orang yang
memiliki kepentingan yang sama. Orang-orang tersebut sadar kepentingannya akan
tercapai jika mereka berkumpul untuk membentuk sebuah organisasi yang akan
mencapai kepentingan mereka. Namun, perlu dicatat, apabila organisasi tersebut lebih
berorientasi pada kekuasaan, maka akan terjadi perubahan dari masyarakat sipil
menjadi masyarakat politik. Karena pada dasarnya masyarakat sipil tidak berorientasi
pada kekuasaan.
2. Media
Dalam konteks media, masyarakat sipil dimaknai sebagai ruang maya atau public
sphere. Yang dimaksud disini adalah internet maupun sosial media. Ruang tersebut
tidak membatasi siapa saja yang boleh memasukinya, semua yang ingin dapat masuk
ke ruang tersebut. Untuk lebih jelasnya, dapat diambil contoh orang-orang dapat
protes di sosial media yang nantinya akan dijadikan bahan rujukan untuk kebijakan
yang akan diambil.
3. Nilai-Nilai Keberadaban
Dalam konteks ini, masyarakat sipil dimaknai sebagai masyarakat yang mempunyai
nilai-nilai keberadaban. Nilai-nilai dimaksud antara lain toleransi, pluralisme, tanpa
kekerasan.

Pandangan Hegel Akan Masyarakat Sipil


Hegel berpandangan bahwa masyarakat sipil hanyalah sebuah tahapan transisi yang
penting dari suatu unit keluarga menuju ke unit negara. Suatu pertunjukan atau theater di

mana dua prinsip masyarakat modern dinegoisasikan. Prinsip yang dimaksud adalah
partikularitas dan universalitas. Partikularitas berkaitan dengan kepentingan pribadi
sedangkan universalitas berkaitan dengan kepentingan umum. Untuk menegoisasi dua prinsip
tersebut dapat melalui dua cara, yaitu otoritas lembaga negara (apparatus) dan usaha-usaha
kecil. Hegel menganggap masyarakat sipil merupakan bagian dari negara.
Pandangan Marx akan Masyarakat Sipil
Masyarakat Sipil Dengan Negara
Dalam hubungan masyarakat sipil dan negara, masyarakat sipil mempunyai 3 fungsi, antara
lain :
1. Komplementer
Masyarakat sipil melakukan serangkaian aktivitas memajukan kesejahteraan untuk
melengkapi peran negara sebagai pelayan publik. Hal ini dikarenakan negara masih
belum bisa memberikan pelayanan yang maksimal kepada warganya.
2. Subtitutor
Masyarakat sipil mempunyai aktivitas yang belum atau tidak dilaksanakan oleh
negara dalam kaitannya sebagai suatu institusi yang melayani kepentingan masyarakat
secara luas atau umum.
3. Checks and balances
Masyarakat sipil melakukan aktivitas seperti pengadvokasian, pendampingan, ligitasi,
maupun praktik-praktik oposisi yang bertujuan untuk mengimbangi kekuatan
hegemonik negara. Hal ini berkaitan dengan usaha agar mencegah negara tidak
bertindak otoriter.

Peran Masyarakat Sipil Sebagai Pilar Demokrasi


1. Fungsi pendidikan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil melalui
pemberian informasi mengenai nilai-nilai demokrasi dan partisipasi publik dapat
meningkatkan awareness rakyat terhadap proses demokratisasi yang tengah
berlangsung.

2. Organisasi Masyarakat Sipil dapat memunculkan isu-isu yang perlu didiskusikan.


Misalnya, isu lingkungan, hak asasi manusia dan kemiskinan yang nantinya dapat
disuarakan kepada pemerintah agar membuat kebijakan yang berpihak pada
kepentingan rakyat.
3. Memobiliasasi

rakyat

untuk

memaksa

pemerintah

lebih

transparan

dalam

menjalankan pemerintahan.
4. Melakukan pemantauan terhadap implementasi dan akibat yang ditimbulkan dari
sebuah kebijakan yang diambil di tingkat global. Melalui fungsi akuntabilitas
demokratik, Organisasi Masyarakat Sipil dapat mendorong otoritas di tingkat global
agar lebih bertanggungjawab terhadap publik atas tindakan dan kebijakan yang telah
diambilnya.
Demokratisasi Pemerintahan
Untuk menuju pemerintahan yang demokratis diperlukan keterlibatan dari warga
negara. Hal tersebut dikarenakan pemerintah yang demokratis memiliki sumber kedaulatan
utama dari warga negara. Keterlibatan warga negara dalam asosiasi-asosiasi yang potensial
menumbuhkan sikap terbuka, trust, toleransi, dan sikap positif lainnya yang kemudian
menjadi penting dalam bangunan politik nasional (Putnam, 1993). Komponen dasar dari
demokrasi adalah partisipasi aktif dari masyarakat sipil. Terdapat proses yang melibatkan
warga negara dalam mengawasi kinerja pemerintahan dan di dalam pengambilan keputusan.
Oleh karena itu, demokrasi tidak hanya muncul pada saat pemilu saja namun muncul secara
terus-menerus dan transparan di ruang publik. Untuk mencapai pemerintahan yang
demokratis diperlukan tiga komponen, yaitu modal sosial, partisipasi sosial, dan partisipasi
politik.
Modal Sosial
Masyarakat sipil mempunyai tiga bagian di dalamnya yaitu civil culture, civil value,
dan civil knowledge. Civil culture merupakan faktor yang penunjang demokrasi dalam suatu
masyarakat.
Keterlibatan publik merupakan salah satu indikator tumbuhnya kultur demokrasi di
dalam suatu masyarakat. Dengan adanya kultur demokrasi, maka demokrasi dapat tumbuh
dengan baik dalam masyarakat. Inglehart (1999) pernah mengatakan bahwa kultur demokrasi

erat kaitannya dengan sikap saling percaya atau interpersonal trust antara warga negara yang
diyakini menjadi pendorong yang cukup kuat ke arah demokrasi.
Rasa saling

percaya

di antara

warga tidak

mudah

untuk ditumbuhkan.

Ketidakpercayaan di antara warga berakibat pada kurangnya kepercayaan pada institusiinstitusi publik. Institusi-institusi yang dimaksud antara lain pengadilan, kepolisisan,
parlemen, dan institusi-institusi lain yang notabene adalah institusi demokrasi. Hal tersebut
menyebabkan

sulitnya

demokrasi

tumbuh

dalam

masyarakat,

padahal

demokrasi

membutuhkan modal sosial agar demokrasi tersebut dapat tumbuh dengan subur. Secara
umum, modal sosial diartikan sebagai organisasi sosial atau jaringan sosial yang berisi
interaksi sosial.
Menurut Imam Prasodjo (2002), modal sosial merupakan akumulasi rasa saling
percaya sebagaimana ditunjukkan oleh keragaman dan kombinasi aksi sukarela yang pada
akhirnya menghasilkan pemerintahan yang efektif. Sikap toleran dan saling percaya dalam
kehidupan sosial bermasyarakat merupakan indikator dari adanya modal sosial. Walaupun
demikian, modal sosial tidak berperan dalam memunculkan demokrasi, melainkan lebih
berperan dalam membantu stabilnya demokrasi.
Partisipasi Sosial
Parameter dari keterlibatan publik atau civic engagement adalah sikap saling percaya
dan partisipasi sosial. Keterlibatan publik berbeda dengan keterlibatan politik atau political
engagement. Keterlibatan publik berkaitan dengan keterlibatan waga negara di dalam
kegiatan sosial secara sukarela dan sikap saling percaya antar sesama warga negara
sedangkan keterlibatan politik berkaitan dengan keterlibatan warga negara dengan urusanurusan politik dan pemerintahan.
Benang merah dari masyarakat sipil dan demokrasi sebenarnya adalah partisipasi
politik dalam hubungan sosial yang dilakukan tanpa paksaan. Hal tersebut menandakan
bahwa partisipasi masyarakat dalam pemerintahan yang demokratis merupakan syarat yang
mutlak. Secara umum, partisipasi politik didefinisikan sebagai aksi sukarela untuk mengubah
suatu keadaan atau kebijakan publik. Partisipasi politik terdiri dari dua bagian, yaitu
partisipasi politik itu sendiri dan partisipasi sosial.
Keterlibatan wargan negara dalam kelompok sosial merupakan ruh bagi partisipasi
sosial. Kelompok sosial mempunyai dua indikator. Pertama, intensitas partisipasi untuk

memecahkan masalah sosial antar warga negara. Semakin seringnya warga negara saling
berinteraksi akan semakin mempererat ikatan sosial yang telah terjalin. Ikatan sosial tersebut
yang nantinya akan memunculkan pemecahan-pemecahan masalah publik. Kedua, intensitas
dalam membentuk organisasi sosial. Hal ini membutuhkan aspek kepemimpinan atau
leadership, memiliki pengetahuan berorganisasi, memenuhi elemen-elemen pokok dari
organisasi, dan lain-lain. Semakin kuat ikatan sosial antar warga negara, semakin sering
warga membentuk kelompok atau organisasi sosial.

Partisipasi Politik
Partisipasi aktif dari warga negara mempunyai dampak yang vital dalam
pemerintahan yang demokratis. Hal tersebut dikarenakan dalam pemerintahan yang
demokratis warga negara merupakan aktor utama yang berdaulat.
Partisipasi politik mempunyai bentuk yang beragam, antara lain terlibat dalam
pemilihan umum, kegiatan-kegiatan kampanye dari partai politik, kegiatan-kegiatan sosial
dalam masyarakat, dan kegiatan yang berkaitan dengan protes maupun demonstrasi.
Demokrasi dan partisipasi politik mempunyai relasi yang kuat. Semakin negara
tersebut stabil demokrasinya, semakin stabil pula partisipasi politik warganya. Berbeda
dengan pemerintahan yang otoriter yang biasanya memakai kekerasan untuk membelenggu
partisispasi dari warga negaranya. Sehingga yang terjadi sama sekali tidak ada partisipasi
dalam pemerintahan yang otoriter. Negara yang sedang mengalami proses transisi demokrasi
disibukkan dengan berbagai bentuk partisipasi yang sangat banyak mulai dari yang bersifat
formal hingga yang bersifat non formal.
Partisipasi politik yang paling sering dilakukan adalah melalui pemilihan umum.
Pemilihan umum dimaknai sebagai proses penyaluran suara warga negara dalam bilik suara
untuk memilih pejabat publik. Jumlah dari warga negara yang mengikuti pemilu menunjukan
tingkat partisipasi konvensional dari warga negara itu sendiri. Warga negara yang
berpartisipasi dalam pemilu sadar atau tidak sadar telah menunjukkan komitmennya sebagai
warga negara. Berbeda dengan yang tidak ikut berpartisipasi dalam pemilu, warga negara
tersebut kemungkinan tidak memiliki rasa peduli terhadap isu-isu publik atau tindakan
tersebut merupakan cara untuk menunjukkan kekecewaan akan kinerja pemerintahan yang
sedang berjalan.

ANALISIS

Dari pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis mencoba untuk


menganalis pembahasan mengenai masyarat sipil sebagai pilar utama yang membantu
kelancaran proses transisi demokrasi.
Demokrasi dan masyarakat sipil bagaikan dua sisi mata uang di mana keduanya
mempunyai sifat saling mengisi. Selain itu, masyarakat sipil diibaratkan seperti rumah
untuk demokrasi berkembang. Sehingga demokrasi tidak hanya muncul ketika diadakannya
pemilihan umum, namun muncul dalam keberadaan mayarakat sipil yang di dalamnya
terdapat demokrasi.
Berangkat dari pandangan Hegel yang mengatakan bahwa masyarakat sipil
merupakan suatu tahapan transisi dari unit keluarga menuju ke unit negara, masyarakat sipil
mempunyai peranan dalam proses transisi demokrasi. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa dalam masyarakat sipil terdapat prinsip-prinsip demokrasi, untuk
mencapai negara atau suatu sistem pemerintahan yang demokratis diperlukan masyarakat
sipil yang demokrasinya stabil atau sehat. Bahkan pakar-pakar seperti Cohen, Arato, maupun
Putnam, berpendapat bahwa masyarakat sipil yang solid dan dinamis akan menjadi pilar
utama bagi proses demokrasi.
Apakah benar keberadaan masyarakat sipil dapat menjamin dan menjelaskan proses
demokratisasi di suatu negara? Padahal munculnya demokrasi sering lebih bisa dijelaskan
sebagai akibat dari konflik-konflik sosial-ekonomi berbasis kelas maupun konflik politik
untuk mengubah alokasi sumber daya. Berkaitan dengan hal tersebut, Indonesia dapat
menjadi salah satu contoh yang tepat. Selain itu, Schmitter melihat bahwa masyarakat sipil
yang kuat namun tersegmentasi secara eksklusif berdasarkan perbedaan budaya, teknik, dan
bahasa dapat menghambat konsolidasi demokrasi (Pridham, 2000).
Contoh lain, masyarakat sipil yang kuat di Jerman dan Italia dapat hidup
berdampingan dengan pemerintahan yang non demokratis. Hal tersebut menunjukkan bahwa
masyarakat sipil berperan dalam mendorong terbentuknya ruang-ruang publik atau public
spheres bagi dialog dan kerja sama antar warga negara, berfungsinya hukum dan pengakuan

hak-hak sipil maupun politik warga negara, serta elemen-elemen demokrasi lainnya. Namun,
hal tersebut tidak dengan sendirinya menjamiin bahwa demokrasi yang substantif akan
berjalan di negara tersebut. Menurut Tornquist (2002), dibutuhkan lebih dari sekedar
aktivisme masyarakat sipil untuk mewujudkan demokrasi yang bermakna; suatu tatanan di
mana masyarakat secara luas mempunyai kesempatan dan kapasitas untuk menggunakan
(serta memperbaiki) prinsip-prinsip dan kelembagaan demokrasi yang telah ada dengan jalan
mempengaruhi, mengendalikan, dan berperan serta secara setara serta damai dalam tata
kelola dan pengaturan sektor-sektor kehidupan yang penting dalam masyarakat mereka.

KESIMPULAN

Masyarakat sipil bukan hanya sekedar sekelompok orang yang ingin memenuhi
kepentingnya, namun masyarakat sipil merupakan perwujudan dari kesadaran masyarakat
yang ingin berkumpul dalam sebuah organisasi sosial tanpa adanya paksaan dari pihak
manapun untuk mencapai suatu keteraturan sosial.
Masyarakat sipil dan demokrasi adalah dua komponen yang tidak dapat dipisahkan.
Kedua komponen tersebut bersifat saling mengisi di mana masyarakat sipil merupakan wujud
demokrasi dan demokrasi dapat tumbuh dengan baik dengan adanya masyarakat sipil yang
solid dan stabil.
Selama dapat menjalankan peran maupun fungsinya dengan baik, maka masyarakat
sipil telah berhasil disebut sebagai pilar utama dalam membantu kelancaran proses transisi
demokrasi. Namun, jika tidak, maka masyarakat sipil justru akan dianggap sebagai
penghambat proses transisi demokrasi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Inglehart, Ronald. The Renaissance of Political Culture, Journal American


Political Science Review 82 (1999).
Pridham, G. 2000. The Dynamics of Democratization: A Comparative Approach.
London: Continuum.
Putnam, Robert D. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy.
Princeton, NJ: Princenton University Press. 1993.
Triwibowo, Darmawan. 2006. Gerakan Sosial : Wahana Civil Society bagi
Demokratisasi. Jakarta: LP3ES
Widjajanto, Andi. 2007. Transnasionalisasi Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LkiS
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai