Anda di halaman 1dari 36

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.
Dengan mengucapkan Alhamdulillahirabbilalamin, kami menyampaikan
puji syukur kehadirat Tuhan Semesta Alam, Allah Subhanahu wa taala Yang telah
memberikan kami ilmu dan kesempatan untuk menyusun makalah diskusi klinik
ini.
Kami berharap bahwa kesimpulan yang kami susun ini dapat bermanfaat
bagi orang yang membacanya. Semoga karya ini juga dapat menjadi referensi
dalam penyusunan makalah lainnya. Mohon maaf apabila ada kesalahankesalahan tata bahasa, salah tafsir ataupun salah ketik, sesungguhnya kami telah
berusaha sebaik mungkin untuk menyusun karya ilmiah ini hingga mendekati
sempurna.
Sekali lagi, kami ucapkan terima kasih kepada para pembaca karya kami
ini, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dalam memperbaiki karya kami di
kesempatan selanjutnya
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Banjarmasin, November 2016

Tim Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................................................................1
Daftar Isi..................................................................................................................2
BAB I Pendahuluan
1.1. Latar Belakang..................................................................................................3
1.2. Tujuan Penulisan...............................................................................................4
1.3. Metode Penulisan..............................................................................................4
BAB II Pembahasan
2.1. Kelenjar Saliva..................................................................................................5
2.2. Penyakit dan Kelainan Kelenjar Saliva...........................................................11
2.3. Pemeriksaan Penetapan Diagnosis..................................................................25
2.4. Sialoendoskopi................................................................................................28
2.5. Jenis Sialoendoskopi.......32
BAB III Penutup
3.1. Kesimpulan.....................................................................................................33
Daftar Pustaka........................................................................................................34

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelenjar saliva merupakan suatu kelenjar eksokrin yang berperan penting
dalam mempertahankan kesehatan jaringan mulut. Kelenjar saliva mensekresi
saliva kedalam rongga mulut. Saliva terdiri dari cairan encer yang mengandung
enzim dan cairan kental yang mengandung mukus. Menurut struktur anatomis dan
letaknya, kelenjar saliva dibagi alam dua kelompok besar yaitu kelenjar saliva
mayor dan kelenjar saliva minor. Kelenjar saliva mayor dan minor menghasilkan
saliva yang berbeda-beda menurut rangsangan yang diterimanya. Rangsangan ini
dapat berupa rangsangan mekanik (mastikasi), kimiawi (manis, asam, asin, dan
pahit), neural, psikis (emosi dan stress), dan rangsangan sakit besarnya sekresi
saliva normal yang dihasilkan oleh semua kelenjar ini kira-kira 1-1,5 liter per hari.
Kelenjar saliva manusia tidak lepas dari gangguan penyakit. Beberapa alat
telah ditemukan untuk diagnosis penyakit ini dan dengan semakin berkembangnya
teknologi, sangat diharapkan berkembang pula alat diagnosis yang lebih baik.
Sialoendoskopi dapat digunakan sebagai alat diagnostik maupun terapi pada
penyakit kelenjar saliva. Sebagai alat terapi, sialoendoskopi dapat berperan pada
fragmentasi dan ekstraksi batu serta dilatasi stenosis dan striktur. Sialoendoskopi
memiliki keunggulan dalam diagnosis dan terapi penyakit kelenjar saliva, namun
penggunaannya masih terbatas karena harganya yang mahal dan diperlukan
operator yang trampil dan berpengalaman.

1.2. Tujuan Penulisan

1. Menjelaskan klasifikasi kelenjar saliva.


2. Menjelaskan penyakit dan kelainan kelenjar saliva
3. Menjelaskan pemeriksaan penetapan diagnosis kelainan kelenjar saliva
4. Menjelaskan tatalaksana penanganan kelainan kelenjar saliva dengan cara
sialoendoskopi.

1.3. Metode Penulisan


1. Metode Literatur
Penyusun melakukan metode literature dengan berpedoman pada buku-buku
kedokteran dan buku-buku kesehatan lainnya yang relevan dengan topik.
2. MetodeTeknologi
Penyusun mengambil sebagian bahan dari internet dengan sumber yang valid.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 KELENJAR SALIVA


1. KELENJAR SALIVA MAYOR
Kelenjar saliva ini merupakan kelenjar saliva terbanyak dan ditemui
berpasangan yang terletak di ekstraoral dan memiliki duktus yang sangat panjang.
Kelenjar-kelenjar saliva mayor terletak agak jauh dari rongga mulut dan sekretnya
disalurkan melalui duktusnya kedalam rongga mulut. Menurut struktur anatomis
dan letaknya, kelenjar saliva mayor dapat dibagi atas tiga tipe yaitu parotis,
submandibularis

dan

sublingualis.

Masing-masing

kelenjar

mayor

ini

menghasilkan sekret yang berbeda-beda sesuai rangsangan yang diterimanya.


Saliva pada manusia terdiri atas sekresi kelenjar parotis (25%), submandibularis
(70%), dan sublingualis (5%).
1.1 Kelenjar Parotis
Anatomis:
-

Kelenjar ini merupakan kelenjar terbesar dibanding kelenjar saliva

lainnya.
Letak kelenjar berpasangan ini tepat di bagian bawah telinga terletak
antara prosessus mastoideus dan ramus mandibula. Kelenjar ini meluas ke
lengkung zygomatikum di depan telinga dan mencapai dasar dari

muskulus masseter.
Kelenjar parotis memiliki duktus utama yang dikenal dengan duktus
Stensen. Duktus ini berjalan menembus pipi dan bermuara pada vestibulus
oris pada lipatan antara mukosa pipi dan gusi dihadapkan molar dua atas.

Kelenjar ini terbungkus oleh suatu kapsul yang sangat fibrous dan
memiliki beberapa bagian seperti arteri temporalis superfisialiis, vena

retromandibular dan nervus fasialia yang menembus melalui kelenjar ini.


Histologi :
- Kelenjar ini dibungkus oleh jaringan ikat padat dan mengandung sejumlah
besar enzim antara lain amylase, lisozim, fosfatase asam, aldolase, dan
-

kolinesterase.
Kelenjar parotis adalah kelenjar tubuloasinosa kompleks, yang pada
manusia adalah serosa murni. Kelenjar ini dikelilingi oleh kapsula jaringan
ikat yang tebal, dari sini ada septa jaringan ikat termasuk kelenjar dan
membagi kelenjar menjadi lobulus yang kecil. Kelenjar parotis
mempunyai sistem saluran keluar yang rumit sekali dan hampir semua

duktus intralobularis adalah duktus striata.


Saluran keluar yang utama yaitu duktus parotidikius steensen terdiri dari
epitel berlapis semu, bermuara kedalam vestimbulum rongga mulut
berhadapan dengan gigi molar kedua atas. Kelenjar parotis secara khas

dipengaruhi oleh mumps yaitu parotis epodemika.


Fisiologi :
- Kelenjar parotis menghasilkan suatu sekret yang kaya akan air yaitu
-

seruos.
Saliva pada manusia terdiri atas 25% sekresi kelenjar parotis.

1.2 Kelenjar Submandibularis


Anatomis :
-

Kelenjar ini merupakan kelenjar yang berbentuk seperti kacang dan

memiliki kapsul dengan batas yang jelas.


Di dalam kelenjar ini terdapat arteri fasialis yang melekat erat dengan
kelenjar ini.

Kelenjar ini terletak di dasar mulut dibawah ramus mandibula dan meluas
ke sisi leher melalui bagian tepi bawah mandibula dan terletak

dipermukaan muskulus mylohyoid.


Pada proses sekresi kelenjar ini memiliki duktus Wharton yang bermuara
di ujung lidah.

Histologi :
-

Kelenjar ini terdiri dari jaringan ikat yang padat.


Kelenjar submandibularis adalah kelenjar tubuloasinosa kompleks, yang
pada manusia terutama pada kelenjar campur dengan sel-sel serosa yang
dominan, karena itu disebut mukoserosa. Terdapat duktus interkalaris,
tetapi saluran ini pendek karena itu tidak banyak dalam sajian, sebaliknya

duktus striata berkembang baik dan panjang.


Saluran keluar utama yaitu duktus submandibularis wharton bermuara
pada ujung papila sublingualis pada dasar rongga mulut dekat sekali
dengan frenulum lidah, dibelakang gigi seri bawah. Baik kapsula maupun

jaringan ikat stroma berkembang baik pada kelenjar submandibularis


Fisiologis :
- Kelenjar submandibularis menghasilkan 80% serous (cairan ludah yang
-

encer) dan 20% mukous (cairan ludah yang padat).


Kelenjar submandibularis merupakan kelenjar yang memproduksi air liur

terbanyak
Saliva pada manusia terdiri atas 70% sekresi kelenjar submandibularis.

1.3 Kelenjar Sublingualis


Anatomi:

Kelenjar ini terletak antara dasar mulut dan muskulus mylohyoid


merupakan suatu kelenjar kecil antara kelenjar-kelenjar mayor yang

lainnya.
Duktus utama yang membantu sekresi disebut duktus Bhartolin yang
terletak berdekatan dengan duktus mandibularis dan duktus rivinus yang

berjumlah 8-20 buah.


- Kelenjar ini tidak memiliki kapsul yang dapat melindunginya.
Histologi :
- Kelenjar sublingualis adalah kelenjar tubuloasinosa dan kelenjar tubulosa
kompleks. Pada masnusia kelenjar ini adalah kelenjar campur meskipun
terutama kelenjar mukosa karena itu disebut seromukosa. Sel-sel serosa
yang sedikit hampir seluruhnya ikut membentuk demilune. Duktus
-

interkalaris dan duktus striata jaringan terlihat


Kapsula jaringan ikat tidak berkembang baik, tetapi kelenjar ini lobular
halus biasanya terdapat 10-12 saluran luar yaitu duktus sublingualis, yang
bermuara kesepanjang lipatan mukosa yaitu plika sublingualis, masingmasing mempunyai muara sendiri. Saluran keluar yang lebih besar yaitu
duktus sublingualis mayor bartholin bermuara pada karunkula sublingualis
bersama-sama dengan duktus wharton, kadang-kadang keduanya menjadi

satu.
Fisiologi :
- Kelenjar
-

sublingualis

menghasilkan

sekret

yang

mukous

dan

konsistensinya kental.
Saliva pada manusia terdiri atas 5% sekresi kelenjar sublingualis.

2. KELENJAR SALIVA

MINOR

Kebanyakan kelenjar saliva minor merupakan kelenjar kecil-kecil yang


terletak didalam mukosa atau submukosa. Kelenjar minor hanya menyumbangkan
5% dari pengeluaran ludah dalam 24 jam. Kelenjar-kelenjar ini diberi nama
berdasarkan lokasinya atau nama pakar yang menemukannya. Kelenjar saliva
minor dapat ditemui pada hampir seluruh eitel dibawah rongga mulut. Kelenjar ini
terdiri dari beberapa unit sekresi kecil dan melewati duktus pendek yang
berhubungan langsung dengan rongga mulut. Selain itu kelenjar saliva minor
tidak memiliki kapsul yang jelas seperti layaknya kelenjar salova mayor, kelenjar
saliva minor secara keseluruhan menghasilkan sekret yang mukous kecuali
kelenjar lingaul tipe Van Ebner. Saliva yang dihasilkan mempunyai pH antara 6,07,4 sangat membantu didalam pencernaan ptyalin.
1. Kelenjar Glossopalatinal

Lokasi dari kelenjar ini berada dalam isthimus dari lipatan glossopalatinal dan
dapat meluas kebagian posterior dari kelenjar sublingualis ke kelenjar yang ada di
palatum molle.
2. Kelenjar Labialis
Kelenjar ini terletak di submukosa bibir. Banyak ditemui pada midline dan
memiliki banyak duktus.
3. Kelenjar Bukal
Kelenjar ini terdapat pada mukosa pipi, kelenjar ini serupa dengan kelenjar
labialis.
4. Kelenjar Palatinal
Kelenjar ini ditemukan di sepertiga posterior palatal dan dipalatum molle.
Kelenjar ini dapat dilihat secara visual dan dilindungi oleh jaringan fibrous yang
padat.
5. Kelenjar Lingual
Kelenjar ini dikelompokkan dalam beberapa tipe, yaitu :
a)
Kelenjar anterior lingual
Lokasi kelenjar ini tepat di ujung lidah.
b)
Kelenjar lingual Van Ebner
Kelenjar ini ditemukan di papila sirkumvalata.
c)
Kelenjar posterior lingual
Kelenjar ini dapat ditemukan pada sepertiga posterior lidah yang berdekatan
dengan tonsil.

2.2 KELAINAN DAN PENYAKIT KELENJAR SALIVA


1. Kelainan kelenjar ludah akibat gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
Suatu

kelainan

kelenjar

ludah

yang

disebabkan

karena

gangguan

perkembangan bisa berupa agenesis, malformasi dan aberrasi.

10

Agenesis total dari kelenjar ludah mayor jarang terjadi, biasanya disertai
dengan kelainan fasial yang lain. Agenesis salah satu kelenjar ludah meski jarang
tetapi jika terjadi biasanya berhubungan dengan mandibulofacial dysostosis atau
facial hemiatrophy. Tidak adanya duktus parotis kongenital juga pernah
dilaporkan. Agenesis total akan menyebabkan xerostomia, pasien akan
mengeluhkan bahwa ia hanya bisa makan makanan yang berair saja dan terdapat
karies yang luas.
Hypoplasia

kelenjar

parotis

sering

dijumpai

pada

sindroma

MelkerssonRosenthal, merupakan malformasi genetik atau karena perubahan


atrofi pada syaraf.
Kelenjar ludah dapat berkembang di tempat yang tidak biasanya, kedaan ini
disebut aberrasi, biasanya pada daerah retromolar atau parabukal, atau pada leher,
artikulatio temporomandibular, dan telinga tengah.
Duktus tambahan (accessory salivary ducts ) biasa terjadi pada duktus
parotis, letaknya dapat di atas atau di bawah duktus Stensen's.
Diverticuli adalah kantung atau saccus yang berasal dari penonjolan dinding
duktus, yang menyebabkan tertimbunnya saliva dan menyebabkan sialeditis
kambuhan.
2. Obstruksi kelenjar ludah
Sialolithiasis adalah formasi struktur terkalsifikasi yang berkembang di dalam
kelenjar atau sistem duktus yang berasal dari nodus berupa debris dalam lumen
duktus yang kemudian terdiposisi kalsium. Debris termasuk mucus, bakteri, sel
epitel duktus atau benda asing. Penyebab sialolithisis tidak jelas, tetapi formasi ini

11

dihubungkan dengan sialadenitis khronis dan obstruksi parsial. Keadaan ini tak
ada hubungannya dengan metabolisme kalsium dan fosfor sistemik.
Sialolithiasis lebih sering terjadi pada sistem duktus gld. Submandibularis,
pada gld. Parotis jarang terjadi. Sialolith dapat juga terjadi pada kelenjar ludah
minor, pada bibir atas atau mukosa bukal. Sialolith dapat terjadi pada semua usia,
tetapi lebih sering terjadi pada orang dewasa muda atau usia pertengahan.
Sialolith pada glandula mayor menyebabkan rasa sakit yang episodik, pembesaran
glandula terjadi terutama pada waktu makan. Keparahan simptom bervariasi,
tergantung pada derajat sumbatan dan tekanan dari produksi glandula. Jika batu
terletak pada terminal duktus maka masa yang keras akan teraba di bawah mukosa
pada palpasi.
Sialolith merupakan masa radiopak pada pemeriksaan radiografi. Batu
multipel pada parotis sering mirip dengan gambaran limfonodi parotis yang
terkalsifikasi pada penyakit tuberkulosis. Sialografi, ultrasonografi dan computed
tomografi ( CT ), scanning dapat membantu diagnosis. Sialolith pada glandula
salivarius minor sering asimptomatis tetapi dapat juga menyebabkan pembesaran
setempat atau rasa sakit pada glandula yang bersangkutan, sedikit bisa terdeteksi
dengan radiografi jaringan lunak.
3. Mukokel
Mukokel merupakan istilah klinis yang dipergunakan untuk pembesaran
(swelling) pada mukosa oral yang disebabkan karena akumulasi saliva pada
tempat duktus kelenjar ludah minor yang mengalami obstruksi atau terkena

12

trauma. Mucocele diklasifikasikan sebagai tipe ekstravasasi dan tipe retensi yaitu
mucus extravasation phenomenon dan mucus retention cyst, dan ranula
a. Mucus Extravasation Phenomenon ( Mucus Escape Reaction )
Mucus extravasation phenomenon ( MEP ) merupakan lesi yang sering
dijumpai pada mucosa oral sebagai akibat dari rupturnya duct-us glandula
salivarius dan tercurahnya mucin ke jaringan lunak disekitarnya. Tercurahnya
mucin ini biasanya sebagai akibat dari adanya trauma, meskipun pada beberapa
kasus tidak ditemukan riwayat trauma. Tidak seperti kista duktus salivarius, MEP
ini bukan suatu true cyst karena tidak dilapisi oleh epitel.
Ciri khas MEP nampak sebagai pembesaraan mucosa berbentuk kubah
dengan ukuran berkisar antara 1 atau 2 cm bahkan sampai beberapa cm. Biasanya
terjadi pada anak-anak atau dewasa muda. Meskipun begitu MEP dilaporkan
dapat juga terjadi pada semua usia termasuk bayi dan orang lanjut usia.
Penampakan pembesaran mukosa yang translusen berwarna kebiruan. Lesi
biasanya berfluktuasi tetapi beberapa MEP pada palpasi terasa firm. Durasi
keberadaan lesi bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa tahun.. Beberapa
pasien mempunyai riwayat pembesaran mukosa kambuhan yang secara periodik
ruptur dan mengeluarkan cairan.
Lokasi yang sering terjadi adalah pada bibir bawah , meliputi 60% dari semua
kasus. MEP biasanya terjadi pada sebeleh lateral dari medianline. Jarang terjadi
pada mukosa bukal, ventral lidah sebelah anterior dan pada dasar mulut ( ranula ).
MEP jarang sekali terjadi pada bibir atas. Ini kontradiksi dengan tumor kelenjar
ludah yang serting terjadi pada bibir atas tetapi jarang dijumpai pada bibir bawah.

13

MEP juga dapat terjadi pada daerah palatum mole dan retromolare, MEP pada
daerah ini merupakan MEP yang superfisial. MEP superfisial berpenampilan
klinis seperti vesikel dengan ukuran diameter 1 mm sampai 4 mm, dapat tunggal
atau multipel. Lesi ini sering pecah meninggalkan ulkus dangkal dan sakit yang
akan sembuh dalam beberapa hari. Episode ini sering berulang pada lokasi yang
sama. Pada beberapa pasien munculnya lesi berhubungan dengan waktu makan.
Gambaran vesikel terjadi karena mucin tercurah pada daerah yang lebih
superfisial yaitu antara epitel danja ringan ikat. Keadaan ini sering menyebabkan
kesalahan diagnosis sebagai penyakit vesikulobulosa.
MEP pada pemeriksaan mikroskopis terlihat sebagai, area curahan mucin
yang dikelilingi oleh jaringan granulasi dan sel inflamasi berupa makrofag , pada
beberapa kasus terlihat adanya duktus salivarius yang ruptur. Pada kelenjar ludah
yang berdekatan sering dijumpai infiltrat sel-sel inflamasi khronis dengan duktus
mengalami dilatasi.

b. Ranula
Ranula adalah istilah yang digunakan untuk mucocele yang terjadi pada dasar
mulut. Nama ini berasal dari bahasa latin rana yang berarti katak, karena
penampilan lesi ini seperti katak.. Meski sumber mucin yang tercurah biasanya
dari gld. sublingualis, ranula juga bisa berasal dari duktus gld. submandibularis
juga bisa terjadi. dari glandula salivarius minor pada dasar mulut.
Ranula merupaka pembesaran berbentuk kubah berwarna kebiruan dengan
fluktuasi pada dasar mulut. Lesi yang lebih dalam penampakan warnanya normal.

14

Ranula berlokasi pada lateral dari median line, ini membedakannya dari kista
dermoid yang terletak pada median line. Plunging ranula atau cervical ranula
terjadi jika mucin yang tercurah mengalir sepanjang m. mylohyoideus dan
mengakibatkan pembesaran pada leher.
Gambaran mikroskopis ranula sama dengan mucocele di tempat lain, yaitu
terlihat mucin dikelilingi jaringan granulasi yang merupakan respon jaringan yang
khas mengandung foamy histiocyt.
c. Salivary duct cyst ( Mucus retention cyst; mucus duct cyst; sialocyst )
Salivary duct cyst (SDC) merupakan ruangan yang dibatasi oleh epitel yang
berasal dari jaringan glandula salivarius. Ini merupaka suatu true cyst karena
dibatasi oleh epitel. Penyebab yang pasti tidak jelas. SDC biasa terjadi pada orang
dewasa, dapat melibatkan kelenjar ludah minor maupun mayor, yang paling sering
adalah gld. Parotis, yang terlihat sebagai pembesaran yang lambat, asimptomatik.
Intra oral kista dapat terjadi pada gld minor, lebih sering terjadi pada dasar mulut,
mukosa bukal dan bibir. Klinis menyerupai MEP yaitu pembesaran lunak
berwarna kebiruan berfluktuasi, tergantung kedalaman kista, beberapa kista pada
palpasi teraba kenyal. Pada beberapa lesi sering berupa nodul, terasa sakit, dan
muara duktus pada permukaan mukosa terlihat dilatasi dan terdapat mukus atau
pus pada tempat tersebut. Dinding kista duktus salivarius bervariasi, berupa
cuboid, kolumner atau epitel squamous atrofik yang mengelilingi sekresi mukoid
di dalam lumen. Jika proliferasi ini cukup ekstensif maka lesi ini sering
didiagnosis sebagai papillary cyst adenoma, meski bukan suatu true neoplasma.
4. Kondisi sistemik yang melibatkan kelenjar ludah

15

Beberapa penyakit sistemik bermanifestasi berupa disfungsi kelenjar ludah.


Contoh yang paling menonjol adalah sindroma Sjogren's, Xerostomia yaitu gejala
mulut kering yang berhubungan dengan kondisi sistemik. Pada beberapa kasus
tidak jelas apakah penyakitnya yang menyebabkan disfungsi glandula ataukah
pengobatannya.
5. Kelainan kelenjar ludah karena faktor imun
a. Benign lymphoepithelial lesion (Mikulicz's disease, Myoepithelial
sialadenitis)
Etiologi dari benign lymphoepithelial lesion tidak jelas. Mungkin
berhubungan dengan faktor autoimun, virus atu genetik yang merupakan triger.
Kondisi iniikebanyakan terjadi pada wanita usia pertengahan. Pasien mengalami
pembengkakan unilateral atau bilateral dari glandula salivarius yang disebabkan
karena infiltrasi benign lymphoid. Turunnya aliran saliva menyebabkan pasien
peka terhadap infeksi glandula saliva. Diagnosis banding termasuk sindroma
Sjogren's, limfoma, sarkoidosis, dan penyakit lainnya yang berhubungan dengan
pembesaran kelenjar ludah.
b. Sjogren's syndrome ( primer atau sekunder )
Sindroma Sjogren's ( SS ) merupakan penyakit autoimun khronis dengan
simptom karakteristik kekeringan mata, infiltrasi limfositik dan destruksi glandula
eksokrin. Adanya xerostomia dan xeropthalmia disebut sebagai sindroma sicca.
Efek pada mata berupa keratoconjunctivitis sicca. Etiologi SS tidak jelas dan tidak
bisa diobati. Glandula saliva dan lakrimal pertama terlibat , kemudian jaringan
eksokrin lainnya termasuk tiroid, paru-paru dan ginjal juga terlibat. Pasien dengan

16

SS juga menunjukkan gejala arthralgia, myalgia, neuropati dan rash. SS terutama


melibatkan wanita postmenopause( rasio wanita-pria adalah 9:1 ) dan
diklasifikasikan sebagai primer dan sekunder. Pada pasien dengan SS sekunder
terjadi disfungsi glandula saliva dan/atau lakrimal yang disertai dengan penyakit
jaringan ikat yang lain. SS primer merupakan kelainan sistemik yang melibatkan
kedua glandula baik glandula saliva maupun lakrimal tanpa kondisi autoimun
yang lain.
Pasien dengan SS menderita komplikasi oral sebagai akibat menurunnya
fungsi saliva . Pasien megeluh adanya kekeringan mulut. Kekeringan ini akan
menyebabkan kesulitan pengunyahan, penelanan, dan berbicara tanpa tambahan
cairan. Bibir pasien terlihat kering dan pecah-pecah serta terjadi anguler cheilitis.
Intra oral mukosa pucat, kering , kumpulan saliva hanya sedikit, saliva tampak
kental dan ropy ( seperti tali ). Infeksi kandida mucocutaneous sering terjadi,
mukosa oral memerah jika ada infeksi sekunder dari kandida. Penurunan aliran
saliva menyebabkan kenaikan karies gigi terutama karies servikal, dan erosi
struktur email.
Untuk konfirmasi penurunan sekresi air mata dapat dilakukan tes Schirmer's,
Pasien SS 1/3 sampai 1/2 dapat mengalami pembesaran glandula saliva yang
khronis. Pembesaran biasanya bilateral, tidak sakit atau sedikit sakit, dan dapat
intermetent atau persistent. Mereka juga peka terhadap infeksi glandula dan/atau
obstruksi glandula dapat sebagai akut eksaserbasi dari pembesaran glandula yang
khronis. Pasien dengan SS, ESR( erythrocyt sedimentation rate ) tinggi dan level
imunoglobulin terutama Ig G naik. RF ( Rheumatoid Factor) positif pada 75%

17

kasus. ANA juga ada pada kebanyakan penderita. Dua macam nuclear antibodies,
anti-SS-A ( anti-Ro) dan anti-SS-B (anti-La) sering dijumpai, terutama pada
pasien dengan SS primer. Kadang-kadang autoantibodies pada duktus salivarius
juga bisa dijumpai, terutama pada SS sekunder.
Gambaran mikroskopis dasar pada SS adalah infiltrasi lymphocytic pada
glandula saliva dengan destruksi pada bagian acinar. Pada glandula mayor yang
membesar

pemeriksaan

mikroskopis

sering

terlihat

progresi

ke

lesi

lymphoepithelial, dengan karakteristik pulau epimyoepithelial dengan Tatar


belakang stroma lymphoid. Infiltrasi lymphocytic pada glandula minor juga dapat
terjadi meskipun pulau epimyoepithelial jarang ditemui. Biopsi pada glandula
minor pada bibir bawah merupakan tes yang cukup berhasil untuk menegakkan
SS.
c. Sialadenosis
Kelainan ini merupakan istilah nonspesifik untuk mendeskripsikan suatu
pembesaran kelenjar saliva yang bukan merupakan reaksi inflamasi maupun
neoplasma. Patofisiologi penyakit ini masih belum jelas. Pembesaran kelenjar
saliva biasanya terjadi asimtomatik. Pada penderita obesitas dapat terjadi
pembengkakan kelenjar parotis bilateral karena hipertrofi lemak. Namun perlu
dilakukan pemeriksaan endokrin dan metabolik yang lengkap sebelum
menegakkan diagnosis tersebut karena obesitas dapat berkaitan dengan berbagai
macam penyakit seperti diabetes melitus, hipertensi, hiperlipidemia dan
menopause.
6. Kondisi granulomatous yang melibatkan kelenjar ludah

18

a. Tuberculosis
Tuberculosis ( TB) adalah infeksi khronis karena bakteri Mycobacterium
Tuberculosis, yang menyebabkan formasi granuloma pada jaringan yang
terinfeksi. Biasanya menyerang paru-paru tetapi glandula saliva dapat juga
terlibat. Pasien dengan TB akan menunjukkan gejala xerostomia dan/atau
pembengkakan kelenjar ludah, dengan formasi granuloma atau kista pada
glandula. Pembengkakan biasanya unilateral. Kelenjar saliva yang paling sering
terkena adalah kelenjar parotis. Penegakan diagnosis dengan cara pemeriksaan
acid fast salivary stain dan purified proteine derivative skin test. Diagnosis
tergantung pada identifikasi dari mycobacterium . Perawatan dengan obat-obatan
standard kemoterapi anti-TB.Jika tak ada respon maka diperlukan intervensi
bedah.
b. Sarcoidosis
Sarcoidosis merupakan suatu kondisi khronis dimana T limfosit, mononuclear
phagocytes dan granuloma menyebabkan destruksi jaringan yang terlibat.
Penyebab penyakit tidak jelas. Primer terjadi pada usia dekade ketiga atau
keempat. Lebih banyak pada wanita dibanding pria. Secara klinis, ,manifestasi
penyakit ini ke kelenjar saliva hanya sekitar 6%, namun secara histologi,
keterlibatan pada kelenjar saliva dapat mencapat 33%. Sindroma Heerfordt's
(uveoparotid fever) merupakan bentuk sarcoid yang dapat terjadi dengan atau
tanpa sistemik sarcoidosis. Sindrome berupa trias dari inflamasi traktus uveal
meta, pembesaran parotis dan facial palsy. Gejala awal yang dialami dapat berupa
demam, malaise, kemerahan, mual, serta keringat dimalam hari.

19

Sarcoidosis melibatkan glandula saliva dalam 1 dari 20 kasus. Biasanya


terjadi pembesaran glandula bilateral tanpa rasa sakit. Pembesaran unilateral juga
pernah dilaporkan. Penurunan fungsi biasanya terjadi pada glandula yang
bersangkutan. Pemeriksaan spesimen biopsi pada glandula saliva minor dapat
mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan laboratorium kimia dari serum meliputi
calciun level, autoimmune serologi dan konsentrasi angiotensin I-coverting enzym
dapat membantu diagnosis. Perawatan dari komponen salivary adalah palliative.
Biasanya dengan kortikosteroid atau chloroquine atau kombinasi keduanya
tergantung respon pada pasien.
7. Peradangan kelenjar ludah karena infeksi, alergi dan yang lain
a. Infeksi virus
-

Mumps (Epidemic Parotitis)


Epidemik parotitis merupakan penyakit infeksi pada kelenjar parotis

akibat virus. Penyakit ini merupakan penyebab edema kelenjar parotis yang paling
sering. Mumps disebabkan oleh RNA Paramyxovirus ditularkan melalui kontak
langsung dengan percikan saliva. Biasanya mumps terjadi pada anak-anak usia
antara 4 dan 6 tahun. Diagnosis mumps pada orang dewasa lebih sulit. Masa
inkubasi antara 2 sampai 3 minggu; kemudian diikuti dengan inflamasi dan
pembengkakan glandula, rasa sakit pada preauricular, demam, malaise, sakit
kepala dan myalgia. Sebagian besar menyerang glandula parotis, tapi 10% kasus
melibatkan gld. submandibular saja. Pembengkakan glandula terjadi tiba-tiba dan
terasa sakit pada palpasi, kulit yang menutupi glandula edematous. Duktus
glandula inflamasi tanpa cairan purulen. Jika terjadi obstruksi duktus parsial maka

20

akan terasa sakit pada waktu makan. Jarak antara pembengkakan glandula pada
satu sisi dengan sisi yang lain berkisar antara 24 sampai 48 jam. Pembengkakan
bilateral terjadi sampai 7 hari. Diagnosis ditegakkan dari adanya antibodi terhadap
antigen mumps S danV serta antigen hemagglutinasi. Level serum amilase naik.
Komlikasi

mumps

adalah

meningitis, encephalitis,

ketulian,

thyroiditis,

myocarditis, pancreatitis, dan oophoritis. Pada pria dapat terjadi epididimitis dan
orchitis yang mengakibatkan testis atrofi dan dikemudian hari menyebabkan
kemandulan.
-

Infeksi Cytomegalovirus

Human CMV merupakan beta herpesvirus yang hanya menginfeksi manusia.


CMV dapat tetap laten setelah paparan pertama dan infeksi. Reaktivasi dapat
terjadi, pada orang sehat tidak menimbulkan gejala, tetapi pada orang dengan
kondisi immuno compromised dapat membahayakan jiwa. Transmisi melalui
muntahan, urine, sekresi respiratory, dan ASI serta trans plasental yang
menyebabkan infeksi kongenital dan malformasi. Pada bayi dan anak-anak dapat
berakibat fatal. CMV mononukleosis biasanya terjadi pada dewasa muda disertai
demam akut dengan pembesaran glandula. Diagnosis ditetapkan berdasar pada
kenaikan titer antibodi terhadap CMV, prognosis pada orang dewasa sehat adalah
baik. Infeksi pada anak-anak dapat berakibat fatal, jika anak tersebut dapat
bertahan hidup maka dapat terjadi kerusakan syaraf yang permanen yang
menyebabkan keterbelakangan mental dan seizure disorders. Infeksi pada orang
dewasa dapat terjadi karena reaktivasi virus laten atau karena infeksi primer.
Sistem immun yang kurang baik memberi kesempatan pada virus untuk replikasi

21

dan menyebabkan infeksi. Pasien yang menggunakan obat imunosupressive dan


pasien dengan kelainan hematologik atau infeksi HIV akan peka terhadap infeksi
CMV yang berat.
b. Bakterial sialadenitis
Kejadian bakterial sialadenitis biasanya tiba-tiba terjadi pembesaran glandula
dapat bilateral atau unilateral. Kira-kira 20% kasus terjadi bilateral. Glandula yang
tertlibat sakit, indurasi, dan lembut pada palpasi, kulit yang menutupi eritematous.
Discharge purulent keluar dari muara duktus, ini merupakan sampel yang harus
diperiksa dengan kultur untuk identifikasi bakteri penyebab. Bakteri penyebab
yang sering adalah koagulase positif, Stafilokokus aureus, Streptokokus viridans,
Streptokokus pneumoniae, Escherichia coli dan Hemophilus influenzae.
Sialadenitis supuratif akut
Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1828. Sebagian besar penyakit ini
melibatkan

kelenjar

parotis,

dan

terkadang

juga

melibatkan

kelenjar

submandibula. Seringnya terjadi keterlibatan kelenjar parotis dibandingkan


dengan kelenjar saliva lainnya disebabkan karena aktivitas bakteriostatis pada
kelenjar parotis lebih rendah dibandingkan pada kelenjar saliva lainnya.
Kemungkinan penyakit ini disebabkan karena adanya stasis saliva, akibat adanya
obstruksi atau berkurangnya produksi saliva. Faktor predisposisi lain terjadinya
penyakit ini adalah striktur duktus atau kalkuli. Berkurangnya produksi kelenjar
saliva bisa disebabkan karena konsumsi beberapa obat. Pasien pasca operasi juga
dapat menderita penyakit ini akibat produksi saliva yang kurang yang diikuti
dengan higiene oral yang buruk.

22

Gejala yang sering dirasakan pada penderita penyakit ini adalah adanya
pembengkakan yang disertai dengan rasa nyeri. Bisa didapatkan adanya saliva
yang purulen pada orifisium duktus saliva, yang mudah didapatkan dengan sedikit
pemijatan di sekitar kelenjar. Organisme penyebab infeksi dapat berupa
Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumonia, Eschericia coli, serta
Haemophylus influenzae. Bakteri anaerob penyebab yang paling sering adalah
Bacteroides melaninogenicus dan Streptocccus micros. Terapi pertama yang harus
dilakukan adalah hidrasi secara adekuat, perbaikan higiene oral, pemijatan secara
berulang pada daerah sekitar kelenjar, serta antibiotik intravena. Pemberian
antibiotik secara empiris perlu dilakukan sambil menunggu hasil kultur resistensi.
Sialadenitis kronis
Etiologi dari sialadenitis kronis adalah sekresi saliva yang sedikit dan
adanya stasis saliva. Kelainan ini lebih sering terjadi pada kelenjar parotis.
Beberapa pasien dengan sialadenitis kronis merupakan rekurensi dari parotitis
yang diderita saat masih kecil. Sebagian besar penderita menunjukkan adanya
kerusakan yang permanen pada kelenjar yang disebabkan infeksi supuratif akut.
Penyakit ini dapat memudahkan terjadinya sialektasis, ductal ectasia, serta
destruksi asinar yang progresif.

c. Allergic sialadenitis

23

Pembesaran glandula saliva berhubungan dengan paparan bermacam-macam


agen pharmaceutical dan alergen. Karakteristik gambaran reaksi alergik adalah
pembesaran glandula akut kadang disertai rasa gatal pada glandula. Alergik
sialadenitis akan sembuh sendiri. Pasien dijauhkan dari alergen keseimbangan
cairan dijaga dan monitoring adanya infeksi sekunder.
8. Lesi reaktif kelenjar ludah akibat radiasi
a. Efek sinar radiasi-eksternal
Sinar radiasi eksternal merupakan perawatan standard untuk tumor kepala dan
leher, dan glandula saliva sering termasuk dalam area radiasi. Dosis lebih besar
atau sama dengan 50 Gy akan berakibat kerusakan permanen pada glandula
dengan gejala kekeringan oral. Mekanisme yang pasti belum jelas. Radioterapi
biasanya dilakukan dengan dosis terbagi. Efek akut pada fungsi kelenjar ludah
dirasakan pada minggu pertama pada dosis 2 Gy perhari dan pasien mengeluh
tentang perubahan suara atau kekeringan rongga mulut pada akhir minggu kedua.
Jika disfungsi ini jadi permanen, maka pasien beresiko tinggi mengalami
komplikasi oral. Pada dosis > 50 Gy disfungsi gld. saliva parah dan permanen.
Kesulitan berbicara, menelan dan kenaikan karies gigi merupakan keluhan pasien
yang akan mempengaruhu kehidupannya. Saliva sangat sedikit dan menjadi kental
dan ropy.
b. Efek terapi radiasi internal
Desseminated thyroid cancer (DTC) biasanya dirawat dengan pengambilan
gld. thyroid yang kemudian diikuti dengan pemberian radioaktif iodine 131 ( 1311

24

Radioaktif tidak hanya diserap oleh jaringan thyroid saja akan tetapi juga diserap
oleh oncocyt di dalam kelenjar ludah. Radioaktif iodine dapat menyebabkan
kerusakan yang permanen dan fibrosis yang berakibat hypofungsi kelenjar ludah .
Mandel dkk., melaporkan perubahan komposisi saliva sesudah terapi 131.
Kerusakan glandula saliva berkaitan erat dengan dosis yang diberikan. Pasien
DTC yang diterapi dengan131 dapat terjadi xerostomia dan penurunan fungsi
glandula saliva . Meskipun begitu terapi 131 kurang kaustik jika dibandingkan
dengan terapi radiasi eksternal dan juga kurang destruktif pada glandula saliva.
Pasien yang menjalani terapi 131 dianjurkan untuk mengulum lemon drops atau
permen karet untuk menstimulasi saliva. Ini akan membantu pembersihan iodine
radioaktif dari glandula saliva sehingga kerusakan bisa berkurang.

2.3PEMERIKSAAN PENETAPAN DIAGNOSIS


Pemeriksaan Radiologis
Sialografi
Sialografi merupakan pemeriksaan untuk melihat kondisi duktus dengan
menggunakankontras. Dengan pemeriksaan ini kita dapat mengidentifikasi adanya
iregularitas pada dinding duktus, identifikasi adanya polip, mucous plug atau
fibrin, serta area granulomatosa. Selain itu dapat pula diidentifikasi adanya
kemungkinan obstruksi duktus maupun stenosis. Pemeriksaan dimulai dengan
melakukan identifikasi terhadap duktus Stensen dan Wharton. Langkah
selanjutnya adalah dilakukan dilatasi duktus. Saat dilatasi duktus sudah maksimal,
maka dapat dimasukkan kateter sialografi. Pada pemeriksaan sialografi ini
digunakan kontras, yang bisa berupa etiodol atau sinografin.
25

Sialografi dapat memberikan pemandangan yang jelas pada duktus secara


keseluruhan dan dapat memberikan informasi mengenai area yang tidak dapat
dijangkau dengan sialoendoskop, misalnya pada area di belakang lekukan yang
tajam dan striktur. Kekurangan dari pemeriksaan sialografi adalah paparan radiasi
dan hasil positif palsu pada pemeriksaan batu karena adanya air bubble
(gelembung udara).
Tomografi komputer
Pemeriksaan ini merupakan salah satu pilihan untuk mengevaluasi sistem
duktus dan parenkim pada kelenjar saliva. Identifikasi dapat dilakukan pada
potongan aksial, koronal maupun sagital. Dengan pemeriksaan ini dapat
diidentifikasi adanya iregularitas pada dinding duktus dengan melihat adanya
penebalan dan penyangatan pada dinding duktus. Pada obstruksi yang disebabkan
karena batu, kalsifikasi dapat dilihat berupa masa hiperdens tanpa penyangatan
pada pemeriksaan tomografi komputer. Adanya penyangatan dapat merupakan
indikasi adanya obstruksi sialodenitis akut.
Sialografi tomografi komputer
Pemeriksaan ini merupakan kombinasi antara pemeriksaan sialografi dengan
menggunakan kontras dan pemeriksaan tomografi komputer. Pemeriksaan
dilakukan dengan memasukkan kateter pada duktus, kemudian mengisinya dengan
kontras, lalu dilakukan pemeriksaan tomografi komputer. Pemeriksaan ini
digunakan untuk mengevaluasi parenkim secara detail.
Resonance sialography

26

Pemeriksaan dengan MRI juga dapat mengidentifikasi adanya kelainan pada


kelenjar saliva. Dengan pemeriksaan ini akan tampak perbedaan antara struktur
duktus dan parenkim. Pemeriksaan Magnetic Resonance Sialography dapat
digunakan untuk mengidentifikasi struktur duktus pada kelenjar parotis dan
submandibula dengan melakukan sialografi dengan menggunakan kontras
Magnetic Resonance.
Ultrasonografi
Dalam mendiagnosis kelainan pada kelenjar saliva terkadang diperlukan
pemeriksaan ultrasonografi dengan resolusi tinggi. Pemeriksaan dengan
ultrasonografi bermanfaat dalam mengidentifikasi massa dan membedakan
konsistensi massa tersebut, apakah padat atau kistik. Ultrasonografi yang
digunakan pada pemeriksaan kelenjar saliva adalah ultrasonografi dengan
transduser beresolusi tinggi, yaitu 7,5-10,0 MHz. Pada kasus abses atau massa
kistik kelenjar saliva terkadang dilakukan aspirasi jarum halus. Pada kasus ini,
ultrasonografi dapat dimanfaatkan untuk menjadi panduan dalam aspirasi.
Pemeriksaan ultrasonografi juga penting dilakukan untuk melihat adanya kelokan
atau cabang-cabang duktus, yang bisa menimbulkan komplikasi pada proses
obstruksi. Kekurangan pada pemeriksaan dengan Ultrasonografi adalah, alat ini
tidak dapat memvisualisasi kelenjar saliva secara keseluruhan. Pada penegakan
kelainan obstruksi kelenjar saliva menggunakan ultrasonografi sering sulit untuk
menentukan ukuran batu secara tiga dimensi begitu juga dengan struktur
stenosisnya. Selain itu, pemeriksaan dengan alat ini tidak dapat memberikan
informasi yang cukup jelas mengenai diameter bagian distal obstruksi sehingga

27

sulit

memastikan

apakah

duktusnya

cukup

lebar

dan

lurus

sehingga

memungkinkan masuknya instrumen pada endoskopi terapeutik.

2.4 SIALOENDOSKOPI
Sialoendoskopi diagnostik
Pada penanganan pasien dengan kecurigaan obstruksi kelenjar saliva harus
dilakukan

anamnesis

secara

seksama.

Biasanya

pada

pasien

dengan

pembengkakan pada kelenjar saliva akan mengalami kesulitan dalam asupan


makanannya. Pada pemeriksaan fisik dilakukan inspeksi dan palpasi. Pada
kebanyakan kasus, perencanaan terapi pada kelainan kelenjar saliva dapat
ditentukan dengan terlebih dahulu melakukan anamnesis yang baik dan
pemeriksaan ultrasonografi.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan perencanaan terapi,
antara lain pada batu yang nonechoic dan striktur sulit dibedakan, sehingga perlu
dilakukan sialoendoskopi untuk memastikan dugaan. Alat ini bermanfaat dalam
menentukan ukuran batu secara tiga dimensi begitu juga dengan struktur
stenosisnya. Selain itu, penting juga untuk mengetahui diameter bagian distal
obstruksi untuk memastikan bahwa duktusnya cukup lebar dan lurus sehingga
memungkinkan untuk masuknya instrumen. Penting juga untuk mengetahui
apakah fragmen yang dihasilkan dari litotripsi gelombang extracorporeal mudah
dikeluarkan oleh saliva dari duktus. Sialoendoskopi memungkinkan pemeriksa
untuk

melihat

kondisi

patologi

duktus

secara

langsung.

Pemeriksaan

sialoendoskopi memungkinkan untuk mengubah dari tindakan diagnostik menjadi


tindakan terapeutik seketika itu juga.

28

Sialoendoskopi terapeutik
Sialoendoskopi berperan dalam memutus siklus inflamasi dengan dua cara,
yaitu melalui dilatasi duktus saat insersi endoskop serta membersihkan debris di
dalam duktus dengan irigasi.
Fragmentasi dan ekstraksi batu
Obstruksi kelenjar saliva sering disebabkan oleh sialolitiasis. Tujuan dari
terapi pada sialolitiasis adalah pengambilan batu secara keseluruhan. Teknik
endoskopi merupakan salah satu cara dalam penatalaksanannya. Dimungkinkan
juga untuk dilakukan terapi kombinasi (multimodal therapy). Perlu informasi yang
cukup dalam penegakan diagnosis untuk menentukan terapi. Parameter yang
sangat penting adalah keluhan pasien dan komplikasinya, posisi, ukuran serta
jumlah batu, serta diameter duktus di antara batu dan papila.
Ada beberapa parameter yang harus dipenuhi untuk terapi dengan
menggunakan sialoendoskopi. Diameter duktus submandibula dan parotis yang
normal sekitar 1,5 mm dengan penyempitan sekitar 0,5 mm pada papila. Diameter
rata-rata batu bervariasi antara 3-8 mm. Apabila digunakan teknik fragmentasi,
maka diameter maksimal batu tidak boleh lebih dari 150% dari diameter duktus
anterior dan diameter absolutnya tidak melebihi 3-5 mm untuk duktus Stensen dan
4-7 mm untuk duktus Wharton. Kemungkinan pengeluaran batu yang melekat
pada duktus akan lebih sulit daripada batu yang mobile. Aplikasi baru pada batu
kelenjar saliva adalah dengan menentukan lokalisasi batu menggunakan skin
transillumination.

29

Endoskopi pada penanganan batu memerlukan perlengkapan seperti forsep,


grasper, suction, basket serta balon. Fragmentasi dapat dilakukan dengan
menggunakan forsep, bor, serta laser. Suction digunakan untuk mengeluaran
fragmen batu yang tipis. Balon juga digunakan untuk mengeluarkan batu yang
kecil (berdiameter 2-3mm). Balon diletakkan di belakang batu kemudian
dikembangkan dan ditarik keluar bersama dengan batu yang ada di depannya.
Dilatasi stenosis dan striktur
Striktur yang panjang memiliki prognosis yang lebih buruk daripada stenosis
yang pendek. Banyak pilihan teknik yang dapat digunakan untuk dilatasi striktur
atau stenosis. Prosedur endoskopi akan sangat membantu untuk penatalaksanaan
stenosis yang pendek atau pada stenosis yang berada pada permulaan cabang
duktus. Untuk kondisi yang terakhir ini sulit diatasi dengan fluoroskopi atau
sonografi.

Stenosis duktus kelenjar saliva


Kerugian dari penggunaan dilatasi balon dengan endoskopi adalah pelebaran
duktus yang dibuat dengan dilatasi balon dapat dilihat setelah balon dikempeskan
tetapi terkadang mengalami kesulitan dalam menentukan posisi ujung balon.
Penatalaksanaan juga dapat berupa multimodal therapy, yang menggunakan
kombinasi dengan teknik imaging lain. Teknik endoskopi pada penatalaksanaan
kasus stenosis atau striktur yang sulit dapat menggunakan guidewire. Guidewire
30

ditinggalkan pada lokasi striktur atau stenosis, kemudian endoskopnya


dikeluarkan. Selanjutnya balon atau dilatator ditempatkan melalui guidewire dan
prosedur dilatasi dilanjutkan di bawah kontrol ultrasonografi atau fluoroskopi.
Pada penatalaksanaan striktur dapat digunakan balon, forsep, bor serta stent.
Bor putar digunakan untuk membuka filiform yang menyempit sehingga
instrumen lainnya dapat masuk. Penggunaan bor lebih baik daripada laser karena
laser dapat menyebabkan jaringan sekitar menjadi menyusut disebabkan oleh
koagulasi. Balon digunakan untuk mendilatasi bagian yang menyempit. Balon
didorong ke daerah yang menyempit kemudian dikembangkan. Terkadang perlu
untuk mengembangkan dan mengempiskan kembali balon beberapa kali sampai
sriktur cukup terbuka.

Penggunaan balon untuk dilatasi


Kontraindikasi
Kontraindikasi absolut sialendoskopi adalah sialadenitis akut karena dinding
duktus yang membengkak menjadi lebih rapuh sehingga rawan terjadi perforasi
bila dilakukan sialendoskopi. Selain itu, pemeriksaan sialadenitis pada fase akut
juga akan lebih sulit karena terhalang oleh debris mukopurulen.
Komplikasi

31

Komplikasi penggunaan sialendoskopi antara lain pembengkakan sementara


selama 2-3 hari akibat proses irigasi (100%), terhalangnya wire-basket (6%),
perforasi dinding kanal (0,3-6%), rekurensi gejala (1-6%), parestesia nervus
lingualis temporal (0,5%), ranula (1%), infeksi pascaoperasi (2%), serta striktur
pada duktus (0,3-3,5%).
2.5 JENIS SIALOENDOSKOP
Pada pemeriksaan sialoendoskopi terdapat 3 jenis endoskop yaitu serat optik
lentur, kaku, serta sialendoskop semifleksibel (semikaku).
Sialendoskop serat optik lentur
Endoskop jenis serat optik lentur akan lebih mudah melewati lekukan pada
duktus serta lebih sedikit menimbulkan trauma. Namun penggunaannya relatif
lebih sulit daripada endoskop kaku maupun semirigid. Pada penatalaksanaan
kasus sialolitiasis, keberhasilannya lebih rendah daripada jika menggunakan
semikaku. Endoskopi serat optik lentur lebih rapuh dan lebih mudah rusak
daripada endoskop kaku, serta tidak dapat disterilkan dengan autoklav.
Sialendoskop kaku
Sialoendoskop jenis kaku menggunakan sistem lensa dengan kualitas
superoptikal dan resolusinya lebih baik. Endoskop ini memiliki diameter yang
lebih besar sehingga lebih stabil dan dapat disterilkan dengan autoklav.
Kameranya terletak pada perlekatan okular dengan endoskop sehingga
penggunaannya agak kurang praktis.
Sialendoskop semikaku

32

Merupakan gabungan antara serat optik lentur dan kaku. Bagian yang panjang
merupakan fleksibel yang menggunakan serat optik untuk transmisi cahaya.
Penggunaan

endoskop

semikaku

akan

memudahkan

pergerakan

dan

membutuhkan kekuatan yang minimal untuk mengambil gambar dengan presisi


yang tepat.
Sialoendoskop semikaku compact
Sialoendoskop jenis ini merupakan sialoendoskop untuk terapeutik,
merupakan kombinasi antara serat transmisi cahaya, serat transmisi gambar,
working channel serta channe untuk irigasi dalam sebuah instrumen yang padat
(compact).
Sialoendoskop semikaku modular
Serat optik yang digunakan untuk transmisi cahaya dan gambar terdapat
dalam satu komponen seperti probe tunggal. Endoskop jenis ini digunakan untuk
diagnostik. Jarak antara sistem optik dengan dinding selubung luar digunakan
sebagai channel irigasi. Jika dibandingkan dengan tipe compact, perbandingan
antara working channel dengan diameter endoskop secara keseluruhan lebih kecil
pada jenis modular. Udara sering terperangkap pada selubung luar endoskop
modular sehingga dapat menghalangi pandangan. Sistem modular ini memiliki
beberapa keuntungan antara lain endoskop jenis ini lebih ekonomis, karena hanya
membutuhkan satu sistem optikal untuk beberapa prosedur.
Anestesia pada sialendoskopi

33

Pada tindakan dilatasi papila dan endoskopi diagnostik terkadang tidak


membutuhkan anestesi karena tindakan tersebut tidak menimbulkan nyeri yang
berat. Pada tindakan sialendoskopi intervensi diperlukan anestesi. Anastesi
biasanya cukup dengan melakukan irigasi pada duktus dengan menggunakan
kanul intravena atau dengan memanfaatkan working channel. Anestesi yang
digunakan dapat berupa xylometazolin 2% dan bupivacaine 3%. Kadang-kadang
diperlukan juga anastesi lokal maupun regional. Penggunaan anestesi umum dapat
dilakukan pada kasus yang sulit (dengan komplikasi) dan pada pasien anakanak.
Kelenjar saliva manusia berperan untuk memproduksi saliva. Kelenjar ini
dapat mengalami gangguan baik karena infeksi maupun autoimun serta dapat
berhubungan dengan proses sekresi yang terhambat. Sialoendoskopi dapat
digunakan sebagai alat diagnostik maupun terapi pada penyakit kelenjar saliva.
Sialoendoskopi

memiliki

keunggulan

dalam

mendiagnosis

dan

penatalaksanaan penyakit kelenjar saliva, namun penggunaannya masih terbatas,


karena harganya yang mahal dan prosedurnya harus dilakukan oleh tenaga yang
sudah terlatih mengingat duktus kelenjar saliva memiliki diameter yang sangat
kecil sehingga risiko perforasi lebih besar jika tidak dilakukan secara hati-hati.

34

BAB III
PENUTUP
2.4 Kesimpulan
Kelenjar saliva merupakan suatu kelenjar eksokrin yang berperan penting
dalam mempertahankan kesehatan jaringan mulut. Menurut struktur anatomis dan
letaknya, kelenjar saliva dibagi alam dua kelompok besar yaitu kelenjar saliva
mayor dan kelenjar saliva minor. Kelainan pada kelenjar saliva dapat
dikelompokkan menjadi beberapa bagian, antara lain : Kelainan kelenjar ludah
akibat gangguan pertumbuhan dan perkembangan, Obstruksi kelenjar ludah,
Mukokel, Kondisi sistemik yang melibatkan kelenjar ludah, Kelainan kelenjar
ludah karena faktor imun, Kondisi granulomatous yang melibatkan kelenjar ludah,
dan yang lainnya. Beberapa alat telah ditemukan untuk diagnosis penyakit ini dan
dengan semakin berkembangnya teknologi, sangat diharapkan berkembang pula
alat diagnosis yang lebih baik. Sialoendoskopi dapat digunakan sebagai alat
diagnostik maupun terapi pada penyakit kelenjar saliva.Sialoendoskopi memiliki
keunggulan dalam diagnosis dan terapi penyakit kelenjar saliva, namun
penggunaannya masih terbatas karena harganya yang mahal dan diperlukan
operator yang trampil dan berpengalaman.

35

DAFTAR PUSTAKA
Amerogen AV. Ludah dan Kelenjar Ludah Arti Bagi Kesehatan Gigi. Alih Bahasa
Rafiah Abyono. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada Press. 1988
Atlas Anatomi Manusia Sobbota. EGC: 2000
Akbarisyah T, Permata DT, dkk. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi dari Kelenjar
Saliva. Palembang: Universitas Sriwijaya. 2011
Dixon, Andrew D. Anatomi untuk kedokteran gigi ed.5. Jakarta: Hipokrates. 1993
Guyton. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 8. Jakarta:EGC. 2002
Geneser, Finn. Buku Teks Histologi, Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara. 1994
Roth GL, Calmes R. Oral Biology. St. Louis: CV Mosby. 1981
Tamin S, Yassi D. Penyakit Kelenjar Saliva dan Peran Sialoendoskopi untuk
Diagnostik dan Terapi. ORLI Vol.41 (2). Jakarta:2011
Tim Penyusun. Kelainan dan Penyakit Kelenjar Ludah. Yogyakarta: Universitas
Gajah Mada. 2012

36

Anda mungkin juga menyukai