Assalamualaikum wr.wb.
Dengan mengucapkan Alhamdulillahirabbilalamin, kami menyampaikan
puji syukur kehadirat Tuhan Semesta Alam, Allah Subhanahu wa taala Yang telah
memberikan kami ilmu dan kesempatan untuk menyusun makalah diskusi klinik
ini.
Kami berharap bahwa kesimpulan yang kami susun ini dapat bermanfaat
bagi orang yang membacanya. Semoga karya ini juga dapat menjadi referensi
dalam penyusunan makalah lainnya. Mohon maaf apabila ada kesalahankesalahan tata bahasa, salah tafsir ataupun salah ketik, sesungguhnya kami telah
berusaha sebaik mungkin untuk menyusun karya ilmiah ini hingga mendekati
sempurna.
Sekali lagi, kami ucapkan terima kasih kepada para pembaca karya kami
ini, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dalam memperbaiki karya kami di
kesempatan selanjutnya
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Banjarmasin, November 2016
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.........................................................................................................1
Daftar Isi..................................................................................................................2
BAB I Pendahuluan
1.1. Latar Belakang..................................................................................................3
1.2. Tujuan Penulisan...............................................................................................4
1.3. Metode Penulisan..............................................................................................4
BAB II Pembahasan
2.1. Kelenjar Saliva..................................................................................................5
2.2. Penyakit dan Kelainan Kelenjar Saliva...........................................................11
2.3. Pemeriksaan Penetapan Diagnosis..................................................................25
2.4. Sialoendoskopi................................................................................................28
2.5. Jenis Sialoendoskopi.......32
BAB III Penutup
3.1. Kesimpulan.....................................................................................................33
Daftar Pustaka........................................................................................................34
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelenjar saliva merupakan suatu kelenjar eksokrin yang berperan penting
dalam mempertahankan kesehatan jaringan mulut. Kelenjar saliva mensekresi
saliva kedalam rongga mulut. Saliva terdiri dari cairan encer yang mengandung
enzim dan cairan kental yang mengandung mukus. Menurut struktur anatomis dan
letaknya, kelenjar saliva dibagi alam dua kelompok besar yaitu kelenjar saliva
mayor dan kelenjar saliva minor. Kelenjar saliva mayor dan minor menghasilkan
saliva yang berbeda-beda menurut rangsangan yang diterimanya. Rangsangan ini
dapat berupa rangsangan mekanik (mastikasi), kimiawi (manis, asam, asin, dan
pahit), neural, psikis (emosi dan stress), dan rangsangan sakit besarnya sekresi
saliva normal yang dihasilkan oleh semua kelenjar ini kira-kira 1-1,5 liter per hari.
Kelenjar saliva manusia tidak lepas dari gangguan penyakit. Beberapa alat
telah ditemukan untuk diagnosis penyakit ini dan dengan semakin berkembangnya
teknologi, sangat diharapkan berkembang pula alat diagnosis yang lebih baik.
Sialoendoskopi dapat digunakan sebagai alat diagnostik maupun terapi pada
penyakit kelenjar saliva. Sebagai alat terapi, sialoendoskopi dapat berperan pada
fragmentasi dan ekstraksi batu serta dilatasi stenosis dan striktur. Sialoendoskopi
memiliki keunggulan dalam diagnosis dan terapi penyakit kelenjar saliva, namun
penggunaannya masih terbatas karena harganya yang mahal dan diperlukan
operator yang trampil dan berpengalaman.
BAB II
PEMBAHASAN
dan
sublingualis.
Masing-masing
kelenjar
mayor
ini
lainnya.
Letak kelenjar berpasangan ini tepat di bagian bawah telinga terletak
antara prosessus mastoideus dan ramus mandibula. Kelenjar ini meluas ke
lengkung zygomatikum di depan telinga dan mencapai dasar dari
muskulus masseter.
Kelenjar parotis memiliki duktus utama yang dikenal dengan duktus
Stensen. Duktus ini berjalan menembus pipi dan bermuara pada vestibulus
oris pada lipatan antara mukosa pipi dan gusi dihadapkan molar dua atas.
Kelenjar ini terbungkus oleh suatu kapsul yang sangat fibrous dan
memiliki beberapa bagian seperti arteri temporalis superfisialiis, vena
kolinesterase.
Kelenjar parotis adalah kelenjar tubuloasinosa kompleks, yang pada
manusia adalah serosa murni. Kelenjar ini dikelilingi oleh kapsula jaringan
ikat yang tebal, dari sini ada septa jaringan ikat termasuk kelenjar dan
membagi kelenjar menjadi lobulus yang kecil. Kelenjar parotis
mempunyai sistem saluran keluar yang rumit sekali dan hampir semua
seruos.
Saliva pada manusia terdiri atas 25% sekresi kelenjar parotis.
Kelenjar ini terletak di dasar mulut dibawah ramus mandibula dan meluas
ke sisi leher melalui bagian tepi bawah mandibula dan terletak
Histologi :
-
terbanyak
Saliva pada manusia terdiri atas 70% sekresi kelenjar submandibularis.
lainnya.
Duktus utama yang membantu sekresi disebut duktus Bhartolin yang
terletak berdekatan dengan duktus mandibularis dan duktus rivinus yang
satu.
Fisiologi :
- Kelenjar
-
sublingualis
menghasilkan
sekret
yang
mukous
dan
konsistensinya kental.
Saliva pada manusia terdiri atas 5% sekresi kelenjar sublingualis.
2. KELENJAR SALIVA
MINOR
Lokasi dari kelenjar ini berada dalam isthimus dari lipatan glossopalatinal dan
dapat meluas kebagian posterior dari kelenjar sublingualis ke kelenjar yang ada di
palatum molle.
2. Kelenjar Labialis
Kelenjar ini terletak di submukosa bibir. Banyak ditemui pada midline dan
memiliki banyak duktus.
3. Kelenjar Bukal
Kelenjar ini terdapat pada mukosa pipi, kelenjar ini serupa dengan kelenjar
labialis.
4. Kelenjar Palatinal
Kelenjar ini ditemukan di sepertiga posterior palatal dan dipalatum molle.
Kelenjar ini dapat dilihat secara visual dan dilindungi oleh jaringan fibrous yang
padat.
5. Kelenjar Lingual
Kelenjar ini dikelompokkan dalam beberapa tipe, yaitu :
a)
Kelenjar anterior lingual
Lokasi kelenjar ini tepat di ujung lidah.
b)
Kelenjar lingual Van Ebner
Kelenjar ini ditemukan di papila sirkumvalata.
c)
Kelenjar posterior lingual
Kelenjar ini dapat ditemukan pada sepertiga posterior lidah yang berdekatan
dengan tonsil.
kelainan
kelenjar
ludah
yang
disebabkan
karena
gangguan
10
Agenesis total dari kelenjar ludah mayor jarang terjadi, biasanya disertai
dengan kelainan fasial yang lain. Agenesis salah satu kelenjar ludah meski jarang
tetapi jika terjadi biasanya berhubungan dengan mandibulofacial dysostosis atau
facial hemiatrophy. Tidak adanya duktus parotis kongenital juga pernah
dilaporkan. Agenesis total akan menyebabkan xerostomia, pasien akan
mengeluhkan bahwa ia hanya bisa makan makanan yang berair saja dan terdapat
karies yang luas.
Hypoplasia
kelenjar
parotis
sering
dijumpai
pada
sindroma
11
dihubungkan dengan sialadenitis khronis dan obstruksi parsial. Keadaan ini tak
ada hubungannya dengan metabolisme kalsium dan fosfor sistemik.
Sialolithiasis lebih sering terjadi pada sistem duktus gld. Submandibularis,
pada gld. Parotis jarang terjadi. Sialolith dapat juga terjadi pada kelenjar ludah
minor, pada bibir atas atau mukosa bukal. Sialolith dapat terjadi pada semua usia,
tetapi lebih sering terjadi pada orang dewasa muda atau usia pertengahan.
Sialolith pada glandula mayor menyebabkan rasa sakit yang episodik, pembesaran
glandula terjadi terutama pada waktu makan. Keparahan simptom bervariasi,
tergantung pada derajat sumbatan dan tekanan dari produksi glandula. Jika batu
terletak pada terminal duktus maka masa yang keras akan teraba di bawah mukosa
pada palpasi.
Sialolith merupakan masa radiopak pada pemeriksaan radiografi. Batu
multipel pada parotis sering mirip dengan gambaran limfonodi parotis yang
terkalsifikasi pada penyakit tuberkulosis. Sialografi, ultrasonografi dan computed
tomografi ( CT ), scanning dapat membantu diagnosis. Sialolith pada glandula
salivarius minor sering asimptomatis tetapi dapat juga menyebabkan pembesaran
setempat atau rasa sakit pada glandula yang bersangkutan, sedikit bisa terdeteksi
dengan radiografi jaringan lunak.
3. Mukokel
Mukokel merupakan istilah klinis yang dipergunakan untuk pembesaran
(swelling) pada mukosa oral yang disebabkan karena akumulasi saliva pada
tempat duktus kelenjar ludah minor yang mengalami obstruksi atau terkena
12
trauma. Mucocele diklasifikasikan sebagai tipe ekstravasasi dan tipe retensi yaitu
mucus extravasation phenomenon dan mucus retention cyst, dan ranula
a. Mucus Extravasation Phenomenon ( Mucus Escape Reaction )
Mucus extravasation phenomenon ( MEP ) merupakan lesi yang sering
dijumpai pada mucosa oral sebagai akibat dari rupturnya duct-us glandula
salivarius dan tercurahnya mucin ke jaringan lunak disekitarnya. Tercurahnya
mucin ini biasanya sebagai akibat dari adanya trauma, meskipun pada beberapa
kasus tidak ditemukan riwayat trauma. Tidak seperti kista duktus salivarius, MEP
ini bukan suatu true cyst karena tidak dilapisi oleh epitel.
Ciri khas MEP nampak sebagai pembesaraan mucosa berbentuk kubah
dengan ukuran berkisar antara 1 atau 2 cm bahkan sampai beberapa cm. Biasanya
terjadi pada anak-anak atau dewasa muda. Meskipun begitu MEP dilaporkan
dapat juga terjadi pada semua usia termasuk bayi dan orang lanjut usia.
Penampakan pembesaran mukosa yang translusen berwarna kebiruan. Lesi
biasanya berfluktuasi tetapi beberapa MEP pada palpasi terasa firm. Durasi
keberadaan lesi bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa tahun.. Beberapa
pasien mempunyai riwayat pembesaran mukosa kambuhan yang secara periodik
ruptur dan mengeluarkan cairan.
Lokasi yang sering terjadi adalah pada bibir bawah , meliputi 60% dari semua
kasus. MEP biasanya terjadi pada sebeleh lateral dari medianline. Jarang terjadi
pada mukosa bukal, ventral lidah sebelah anterior dan pada dasar mulut ( ranula ).
MEP jarang sekali terjadi pada bibir atas. Ini kontradiksi dengan tumor kelenjar
ludah yang serting terjadi pada bibir atas tetapi jarang dijumpai pada bibir bawah.
13
MEP juga dapat terjadi pada daerah palatum mole dan retromolare, MEP pada
daerah ini merupakan MEP yang superfisial. MEP superfisial berpenampilan
klinis seperti vesikel dengan ukuran diameter 1 mm sampai 4 mm, dapat tunggal
atau multipel. Lesi ini sering pecah meninggalkan ulkus dangkal dan sakit yang
akan sembuh dalam beberapa hari. Episode ini sering berulang pada lokasi yang
sama. Pada beberapa pasien munculnya lesi berhubungan dengan waktu makan.
Gambaran vesikel terjadi karena mucin tercurah pada daerah yang lebih
superfisial yaitu antara epitel danja ringan ikat. Keadaan ini sering menyebabkan
kesalahan diagnosis sebagai penyakit vesikulobulosa.
MEP pada pemeriksaan mikroskopis terlihat sebagai, area curahan mucin
yang dikelilingi oleh jaringan granulasi dan sel inflamasi berupa makrofag , pada
beberapa kasus terlihat adanya duktus salivarius yang ruptur. Pada kelenjar ludah
yang berdekatan sering dijumpai infiltrat sel-sel inflamasi khronis dengan duktus
mengalami dilatasi.
b. Ranula
Ranula adalah istilah yang digunakan untuk mucocele yang terjadi pada dasar
mulut. Nama ini berasal dari bahasa latin rana yang berarti katak, karena
penampilan lesi ini seperti katak.. Meski sumber mucin yang tercurah biasanya
dari gld. sublingualis, ranula juga bisa berasal dari duktus gld. submandibularis
juga bisa terjadi. dari glandula salivarius minor pada dasar mulut.
Ranula merupaka pembesaran berbentuk kubah berwarna kebiruan dengan
fluktuasi pada dasar mulut. Lesi yang lebih dalam penampakan warnanya normal.
14
Ranula berlokasi pada lateral dari median line, ini membedakannya dari kista
dermoid yang terletak pada median line. Plunging ranula atau cervical ranula
terjadi jika mucin yang tercurah mengalir sepanjang m. mylohyoideus dan
mengakibatkan pembesaran pada leher.
Gambaran mikroskopis ranula sama dengan mucocele di tempat lain, yaitu
terlihat mucin dikelilingi jaringan granulasi yang merupakan respon jaringan yang
khas mengandung foamy histiocyt.
c. Salivary duct cyst ( Mucus retention cyst; mucus duct cyst; sialocyst )
Salivary duct cyst (SDC) merupakan ruangan yang dibatasi oleh epitel yang
berasal dari jaringan glandula salivarius. Ini merupaka suatu true cyst karena
dibatasi oleh epitel. Penyebab yang pasti tidak jelas. SDC biasa terjadi pada orang
dewasa, dapat melibatkan kelenjar ludah minor maupun mayor, yang paling sering
adalah gld. Parotis, yang terlihat sebagai pembesaran yang lambat, asimptomatik.
Intra oral kista dapat terjadi pada gld minor, lebih sering terjadi pada dasar mulut,
mukosa bukal dan bibir. Klinis menyerupai MEP yaitu pembesaran lunak
berwarna kebiruan berfluktuasi, tergantung kedalaman kista, beberapa kista pada
palpasi teraba kenyal. Pada beberapa lesi sering berupa nodul, terasa sakit, dan
muara duktus pada permukaan mukosa terlihat dilatasi dan terdapat mukus atau
pus pada tempat tersebut. Dinding kista duktus salivarius bervariasi, berupa
cuboid, kolumner atau epitel squamous atrofik yang mengelilingi sekresi mukoid
di dalam lumen. Jika proliferasi ini cukup ekstensif maka lesi ini sering
didiagnosis sebagai papillary cyst adenoma, meski bukan suatu true neoplasma.
4. Kondisi sistemik yang melibatkan kelenjar ludah
15
16
17
kasus. ANA juga ada pada kebanyakan penderita. Dua macam nuclear antibodies,
anti-SS-A ( anti-Ro) dan anti-SS-B (anti-La) sering dijumpai, terutama pada
pasien dengan SS primer. Kadang-kadang autoantibodies pada duktus salivarius
juga bisa dijumpai, terutama pada SS sekunder.
Gambaran mikroskopis dasar pada SS adalah infiltrasi lymphocytic pada
glandula saliva dengan destruksi pada bagian acinar. Pada glandula mayor yang
membesar
pemeriksaan
mikroskopis
sering
terlihat
progresi
ke
lesi
18
a. Tuberculosis
Tuberculosis ( TB) adalah infeksi khronis karena bakteri Mycobacterium
Tuberculosis, yang menyebabkan formasi granuloma pada jaringan yang
terinfeksi. Biasanya menyerang paru-paru tetapi glandula saliva dapat juga
terlibat. Pasien dengan TB akan menunjukkan gejala xerostomia dan/atau
pembengkakan kelenjar ludah, dengan formasi granuloma atau kista pada
glandula. Pembengkakan biasanya unilateral. Kelenjar saliva yang paling sering
terkena adalah kelenjar parotis. Penegakan diagnosis dengan cara pemeriksaan
acid fast salivary stain dan purified proteine derivative skin test. Diagnosis
tergantung pada identifikasi dari mycobacterium . Perawatan dengan obat-obatan
standard kemoterapi anti-TB.Jika tak ada respon maka diperlukan intervensi
bedah.
b. Sarcoidosis
Sarcoidosis merupakan suatu kondisi khronis dimana T limfosit, mononuclear
phagocytes dan granuloma menyebabkan destruksi jaringan yang terlibat.
Penyebab penyakit tidak jelas. Primer terjadi pada usia dekade ketiga atau
keempat. Lebih banyak pada wanita dibanding pria. Secara klinis, ,manifestasi
penyakit ini ke kelenjar saliva hanya sekitar 6%, namun secara histologi,
keterlibatan pada kelenjar saliva dapat mencapat 33%. Sindroma Heerfordt's
(uveoparotid fever) merupakan bentuk sarcoid yang dapat terjadi dengan atau
tanpa sistemik sarcoidosis. Sindrome berupa trias dari inflamasi traktus uveal
meta, pembesaran parotis dan facial palsy. Gejala awal yang dialami dapat berupa
demam, malaise, kemerahan, mual, serta keringat dimalam hari.
19
akibat virus. Penyakit ini merupakan penyebab edema kelenjar parotis yang paling
sering. Mumps disebabkan oleh RNA Paramyxovirus ditularkan melalui kontak
langsung dengan percikan saliva. Biasanya mumps terjadi pada anak-anak usia
antara 4 dan 6 tahun. Diagnosis mumps pada orang dewasa lebih sulit. Masa
inkubasi antara 2 sampai 3 minggu; kemudian diikuti dengan inflamasi dan
pembengkakan glandula, rasa sakit pada preauricular, demam, malaise, sakit
kepala dan myalgia. Sebagian besar menyerang glandula parotis, tapi 10% kasus
melibatkan gld. submandibular saja. Pembengkakan glandula terjadi tiba-tiba dan
terasa sakit pada palpasi, kulit yang menutupi glandula edematous. Duktus
glandula inflamasi tanpa cairan purulen. Jika terjadi obstruksi duktus parsial maka
20
akan terasa sakit pada waktu makan. Jarak antara pembengkakan glandula pada
satu sisi dengan sisi yang lain berkisar antara 24 sampai 48 jam. Pembengkakan
bilateral terjadi sampai 7 hari. Diagnosis ditegakkan dari adanya antibodi terhadap
antigen mumps S danV serta antigen hemagglutinasi. Level serum amilase naik.
Komlikasi
mumps
adalah
meningitis, encephalitis,
ketulian,
thyroiditis,
myocarditis, pancreatitis, dan oophoritis. Pada pria dapat terjadi epididimitis dan
orchitis yang mengakibatkan testis atrofi dan dikemudian hari menyebabkan
kemandulan.
-
Infeksi Cytomegalovirus
21
kelenjar
parotis,
dan
terkadang
juga
melibatkan
kelenjar
22
Gejala yang sering dirasakan pada penderita penyakit ini adalah adanya
pembengkakan yang disertai dengan rasa nyeri. Bisa didapatkan adanya saliva
yang purulen pada orifisium duktus saliva, yang mudah didapatkan dengan sedikit
pemijatan di sekitar kelenjar. Organisme penyebab infeksi dapat berupa
Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumonia, Eschericia coli, serta
Haemophylus influenzae. Bakteri anaerob penyebab yang paling sering adalah
Bacteroides melaninogenicus dan Streptocccus micros. Terapi pertama yang harus
dilakukan adalah hidrasi secara adekuat, perbaikan higiene oral, pemijatan secara
berulang pada daerah sekitar kelenjar, serta antibiotik intravena. Pemberian
antibiotik secara empiris perlu dilakukan sambil menunggu hasil kultur resistensi.
Sialadenitis kronis
Etiologi dari sialadenitis kronis adalah sekresi saliva yang sedikit dan
adanya stasis saliva. Kelainan ini lebih sering terjadi pada kelenjar parotis.
Beberapa pasien dengan sialadenitis kronis merupakan rekurensi dari parotitis
yang diderita saat masih kecil. Sebagian besar penderita menunjukkan adanya
kerusakan yang permanen pada kelenjar yang disebabkan infeksi supuratif akut.
Penyakit ini dapat memudahkan terjadinya sialektasis, ductal ectasia, serta
destruksi asinar yang progresif.
c. Allergic sialadenitis
23
24
Radioaktif tidak hanya diserap oleh jaringan thyroid saja akan tetapi juga diserap
oleh oncocyt di dalam kelenjar ludah. Radioaktif iodine dapat menyebabkan
kerusakan yang permanen dan fibrosis yang berakibat hypofungsi kelenjar ludah .
Mandel dkk., melaporkan perubahan komposisi saliva sesudah terapi 131.
Kerusakan glandula saliva berkaitan erat dengan dosis yang diberikan. Pasien
DTC yang diterapi dengan131 dapat terjadi xerostomia dan penurunan fungsi
glandula saliva . Meskipun begitu terapi 131 kurang kaustik jika dibandingkan
dengan terapi radiasi eksternal dan juga kurang destruktif pada glandula saliva.
Pasien yang menjalani terapi 131 dianjurkan untuk mengulum lemon drops atau
permen karet untuk menstimulasi saliva. Ini akan membantu pembersihan iodine
radioaktif dari glandula saliva sehingga kerusakan bisa berkurang.
26
27
sulit
memastikan
apakah
duktusnya
cukup
lebar
dan
lurus
sehingga
2.4 SIALOENDOSKOPI
Sialoendoskopi diagnostik
Pada penanganan pasien dengan kecurigaan obstruksi kelenjar saliva harus
dilakukan
anamnesis
secara
seksama.
Biasanya
pada
pasien
dengan
melihat
kondisi
patologi
duktus
secara
langsung.
Pemeriksaan
28
Sialoendoskopi terapeutik
Sialoendoskopi berperan dalam memutus siklus inflamasi dengan dua cara,
yaitu melalui dilatasi duktus saat insersi endoskop serta membersihkan debris di
dalam duktus dengan irigasi.
Fragmentasi dan ekstraksi batu
Obstruksi kelenjar saliva sering disebabkan oleh sialolitiasis. Tujuan dari
terapi pada sialolitiasis adalah pengambilan batu secara keseluruhan. Teknik
endoskopi merupakan salah satu cara dalam penatalaksanannya. Dimungkinkan
juga untuk dilakukan terapi kombinasi (multimodal therapy). Perlu informasi yang
cukup dalam penegakan diagnosis untuk menentukan terapi. Parameter yang
sangat penting adalah keluhan pasien dan komplikasinya, posisi, ukuran serta
jumlah batu, serta diameter duktus di antara batu dan papila.
Ada beberapa parameter yang harus dipenuhi untuk terapi dengan
menggunakan sialoendoskopi. Diameter duktus submandibula dan parotis yang
normal sekitar 1,5 mm dengan penyempitan sekitar 0,5 mm pada papila. Diameter
rata-rata batu bervariasi antara 3-8 mm. Apabila digunakan teknik fragmentasi,
maka diameter maksimal batu tidak boleh lebih dari 150% dari diameter duktus
anterior dan diameter absolutnya tidak melebihi 3-5 mm untuk duktus Stensen dan
4-7 mm untuk duktus Wharton. Kemungkinan pengeluaran batu yang melekat
pada duktus akan lebih sulit daripada batu yang mobile. Aplikasi baru pada batu
kelenjar saliva adalah dengan menentukan lokalisasi batu menggunakan skin
transillumination.
29
31
32
Merupakan gabungan antara serat optik lentur dan kaku. Bagian yang panjang
merupakan fleksibel yang menggunakan serat optik untuk transmisi cahaya.
Penggunaan
endoskop
semikaku
akan
memudahkan
pergerakan
dan
33
memiliki
keunggulan
dalam
mendiagnosis
dan
34
BAB III
PENUTUP
2.4 Kesimpulan
Kelenjar saliva merupakan suatu kelenjar eksokrin yang berperan penting
dalam mempertahankan kesehatan jaringan mulut. Menurut struktur anatomis dan
letaknya, kelenjar saliva dibagi alam dua kelompok besar yaitu kelenjar saliva
mayor dan kelenjar saliva minor. Kelainan pada kelenjar saliva dapat
dikelompokkan menjadi beberapa bagian, antara lain : Kelainan kelenjar ludah
akibat gangguan pertumbuhan dan perkembangan, Obstruksi kelenjar ludah,
Mukokel, Kondisi sistemik yang melibatkan kelenjar ludah, Kelainan kelenjar
ludah karena faktor imun, Kondisi granulomatous yang melibatkan kelenjar ludah,
dan yang lainnya. Beberapa alat telah ditemukan untuk diagnosis penyakit ini dan
dengan semakin berkembangnya teknologi, sangat diharapkan berkembang pula
alat diagnosis yang lebih baik. Sialoendoskopi dapat digunakan sebagai alat
diagnostik maupun terapi pada penyakit kelenjar saliva.Sialoendoskopi memiliki
keunggulan dalam diagnosis dan terapi penyakit kelenjar saliva, namun
penggunaannya masih terbatas karena harganya yang mahal dan diperlukan
operator yang trampil dan berpengalaman.
35
DAFTAR PUSTAKA
Amerogen AV. Ludah dan Kelenjar Ludah Arti Bagi Kesehatan Gigi. Alih Bahasa
Rafiah Abyono. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada Press. 1988
Atlas Anatomi Manusia Sobbota. EGC: 2000
Akbarisyah T, Permata DT, dkk. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi dari Kelenjar
Saliva. Palembang: Universitas Sriwijaya. 2011
Dixon, Andrew D. Anatomi untuk kedokteran gigi ed.5. Jakarta: Hipokrates. 1993
Guyton. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 8. Jakarta:EGC. 2002
Geneser, Finn. Buku Teks Histologi, Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara. 1994
Roth GL, Calmes R. Oral Biology. St. Louis: CV Mosby. 1981
Tamin S, Yassi D. Penyakit Kelenjar Saliva dan Peran Sialoendoskopi untuk
Diagnostik dan Terapi. ORLI Vol.41 (2). Jakarta:2011
Tim Penyusun. Kelainan dan Penyakit Kelenjar Ludah. Yogyakarta: Universitas
Gajah Mada. 2012
36