Anda di halaman 1dari 18

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................... i
PENDAHULUAN....................................................................................... 1
DEFINISI.................................................................................................. 2
2.1 DEFINISI.......................................................................................... 2
2.2 EPIDEMIOLOGI................................................................................ 2
2.3 PATOGENESIS.................................................................................. 3
2.4 GAMBARAN KLINIS.........................................................................4
2.5 DIAGNOSIS...................................................................................... 6
2.6 DIAGNOSIS BANDING.......................................................................7
2.7 TERAPI............................................................................................ 7
2.8 KOMPLIKASI.................................................................................. 11
2.9 PROGNOSIS................................................................................... 11
2.10 PENCEGAHAN.............................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 16

1. PENDAHULUAN
Tetanus masih merupakan masalah kesehatan di negara berkembang karena
imunisasi yang buruk serta penatalaksaan tetanus yang membutuhkan ruangan
intensif care unit (ICU) yang tidak selalu tersedia di sebagian populasi penderita
tetanus yang berat. Di Indonesia, tetanus merupakan salah satu dari sepuluh besar
penyakit penyebab kematian pada anak (Simanjutak, 2013). Tetanus neonatorum
merupakan penyebab kematian paling sering yang terjadi akibat persalinan dan
penanganan tali pusat yang tidak bersih (Depkes,2012). Di negara berkembang
melebihi 50% dengan jumlah perkiraan 800.000-1.000.000 orang pertahun dan
sebagian besar pada neonatus. Kematian neonatus diperkirakan sejumlah 248.000
per tahun (Laksmi,2014). Menurut angka kematian bayi (AKB) di Indonesia
tahun 2007 terdapat 34 kematian per 1000 kelahiran dan salah satu penyebab
utama kematian adalah tetanus neonatorum (Depkes, 2012). Di bagian Neurologi
RS Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156 kasus tetanus pada tahun 1999-2000
dengan mortalitas 35,2%. Pada sebuah peneletian retrospektif tahun 2003-Oktober
2004 di RS Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan mortalitas 47%
(Laksmi,2014). Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta didapatkan
angka 80% untuk kasus neonatorum dan 30% untuk tetanus anak (FKUI, 2007).
Tetanus adalah suatu penyakit akut

akibat toksin yang dihasilkan oleh

bakteri Clostridium tetani yang hidup secara anaerob pada tempat yang kotor
misalnya pada luka nekrosis dan nantinya memproduksi tetanospasmin yang
merupakan neurotoksin poten. Neurotoksin ini akan memblok neurotransmitter
inhibitor pada system saraf pusat sehingga terjadi stiffness dan spasme pada
tetanus. (WHO,2010).

2. DEFINISI
Tetanus adalah penyakit yang disebabkan oleh toksin yang dikeluarkan oleh
bakteri Clotridium tetani. Tetanus telah dikenal sejak berabad-abad lalu dan
dipekenalkan oleh Carle dan Rattone tahun 1884. Penyakit ini merupakan
penyakit akut yang ditandai dengan peningkatan rigiditas dan kejang/ spasme
pada otot yang disebabkan oleh spora bakteri tersebut. Spora C.tetani dapat
ditemukan pada tanah, binatang dan feses manusia. Spora akan masuk kedalam
tubuh melalui kulit yang terluka dan pada kondisi yang sedikit oksigen atau
anaerob. Kemudian bakteri akan memproduksi toksin yang poten yaitu
tetanospasmin dan tetanolisin. Efek tetanolisin tidak diketahui secara pasti (CDC).
Efek tetanospasmin berefek memblokade neurotransmitter inhibitor di sitm saraf
pusat sehingga terjadi stiffnes dan spasme otot (Tejpratap, 2011).
Tetanus disebabkan oleh basil gram positif C.tetani merupakan bakteri
berbentuk batang yang selalu bergerak dan merupakan bakteri anaerob obligat
yang menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval,
menyerupai raket tenes, atau ayam. Spora ini dapat bertahan bertahun-tahun
dalam lingkungan tertentu. , tahan terhadap sinar matahari dan bersifat resisten
terhadap desinfektan dan pendidihan selama 20 menit.bakteri ini jarang dikultur
karena diagnosis berdasarkan gejala klinis.

3.

EPIDEMIOLOGI
Penyakit tetanus umumnya terjadi pada daerah pertanian, pedesaan dan

daerah iklim hangat , selama musim panas dan lebih banyak pada pria. Walaupun
tetanus dapat diimunisasi, namun masih menjadi beban bagi Negara-negara
berkembang dan Negara beriklim tropis. Di Indonesia, tetanus merupakan salah
satu

dari

sepuluh

besar

penyakit

penyebab

kematian

pada

anak

(Simanjutak,2013). Tetanus neonatorum merupakan penyebab kematian paling


sering yang terjadi akibat persalinan dan penanganan tali pusat yang tidak bersih
(Depkes,2012). Di Indonesia, antara tahun 1990 sampai 1993 telah dirawat ratarata 3363 kasus tetanus pertahun dengan case fatalitiy rate (CFR) berkisar antara

9,9 sampai 15,3% (Dir Jen P2M-PLP Depkes RI). Di Departemen Ilmu Kesehatan
Anak RSCM Jakarta, dari tahun 1990 sampai 1993 telah dirawat rata-rata 20,3
kasus tetanus anak per tahun dengan CFR berkisar antara 12,9 sampai 27,4%
(Rampengan et al, 2012).

4. PATOGENESIS
Infeksi terjadi ketika luka terkontaminasi oleh spora C.Tetani. C.Tetani
sendiri tidak menyebabkan inflamasi dan port d entry tetap tenang tanpa tanda
inflamasi, kecuali apabila ada infeksi oleh mikroorganisme lain. Dalam kondisi
anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus
mensekresi dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisis
mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi
sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi
bakteri. Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Tetanospasmin
mampu masuk kedalam sel dan mencegah pelepasan neurotransmitter dari neuron
yang dipengaruhi. Tetanospasmin yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan
dibawahnya dan terikat pada gangliosida pada membran ujung saraf lokal. Jika
toksin ini banyak dapat memasuki aliran darah lalu berdifusi untuk terikat pada
ujung-ujung

saraf

diseluruh

tubuh.

Toksin

kemudian

menyebar

dan

ditransportasikan dalam akson dan secara retrogret ke dalam batang otak dan saraf
spinal.
Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik lalu ke sensorik dan saraf
otonom. Jika toksin telah masuk kedalam sel ia akan berdifusi keluar dan akan
masuk dan mempengaruhi neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitor
spinal terpengaruh, gejala tetanus akan muncul. Toksin ini mempunyai efek pada
neuron inhibitor dimana setelah toksin menyeberangi sinapsis untuk mencapai
pre-sinaps, ia akan memblokade pelepasan neurotransmitter inhibitor yaitu glisin
dan asam amino butirik (GABA), sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi
inhibisinya.

Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang
otak, akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuluer yang dapat menyerupai
konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok antagonis hilang, sedangkan otot-otot
agonis dan antagonis berkontraksi secara stimulan. Spasme otot sangatlah nyeri
dan dapat berakibaat fraktur atau ruptur tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala
sering terlibat pertama kali kerena jalur aksionalnya pendek. Tubuh dan anggota
tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relatif jarang
terlibat. Terikatnya toksin pada neuron bersifat irreversible. Pemulihan
membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa
tetanus itu berdurasi lama.

5. GAMBARAN KLINIS
Tetanus biasanya terjadi setelah trauma. Kontaminasi luka dengan tanah,
kotoran binatang atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus dapat
terjadi sebagai komplikasi luka bakar, ulkus gangren, gigitan ular yang mengalami
nekrosis, infeksi telinga tengah, persalinan, injeksi intramuskular, dan
pembedahan. Pada bayi atau neonatorum terjadi karena ibu yang tidak diimunisais
secara adekuat, perawatan bekas potongan tali pusar yang tidak steril. Gambaran
klinis tergantung pada tipe tetanus yaitu:
A. Tetanus Generalisata
Merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus yang ditandai dengan
meningkatkan tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi bervariasi
tergantung pada lokasi luka. Tetanus berat onsetnya setelah trauma adalah 7 hari.
15% kasus terjadi dalam 3 hari dan 10% kasus terjadi setelah 14 hari.
Terdapat trias klinis berupa rigiditas spasme otot dan apabila berat disfungsi
otonomi. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut
sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter meyebabkan trismus
atau rahang terkunci. Spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah yang
menyebabkan ekspresi yang khas yaitu risus sardonikus dan meluas ke otot-otot
untuk menelan yang menyebabkan disfagia. Rigiditas otot leher menyebabkan

retraksi kepala. Rigiditas tubuh menyebabkan opitostonus dan gangguan respirasi


yaitu dengan menurunnya kelenturan dinding dada. Refleks tendon meningkat.
Pasien dapat demam dapat tidak sedangkan kesadaran tidak terpengaruh.
Disamping peningkatan tonus otot, terdapat spasme yang bersifat periodik seperti
konvulsi yang terjadi pada kelompok agonis dan antagonis secara bersamaa.
Kontraksi ini dapat bersifat spontan atau dengan stimulus sentuhan, auditori,
cahaya, dan emosional.
Pada keadaan berat, tetanus generalisata juga terdapat instabilitas otonomi.
System saraf simpatik terjadi peningkatan, sehingga menyebabkan takikardi
persisten dan hipertensi. Dijumpai pula vasokontriksi yang tampak jelas, pireksia
dan keringat yang berlebihan. Badai autonomic terjadi dengan adanya instabilitas
kardiovaskuler yang nyata, hipertensi berat dan takikardi dapat terjadi bergantian
dengan hipotensi berat, bradikardi dan henti jantung berulang.
B. Tetanus Lokal
Merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasinya hanya terbatas pada
otot-otot disekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran toksin pada
tempat hubungan neuromuskuler. Gejalanya bersifat ringan dan dan bertahan
selama beberapa bulan. Progesi ke tetanus generalisata dapat terjadi.
C. Tetanus Sefalik
Merupakan bentuk yang jarang. Tetanus ini dapat terjadi akibat trauma kepala
atau infeksi telinga. Masa inkubasi 1-2 hari. Dijumpai trismus dan disfungsi satu
atau lebih saraf kranial. Tersering pada saraf ke 7.disfagia dan paralisis otot
ektraokular dapat terjadi. Mortalitas tinggi.
D. Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya
fatal bila tidak diterapi. Tetanus neonatorum dapat terjadi dari anak dengan ibu
tanpa imunisasi yang tidak adekuat, pemotongan tali pusat yang tidak steril.
Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan lingkungan dan
kebersihan saat memotong dan mengikat umbilikus. Onset biasanya dalam 2
minggu kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas, dan spesme

merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Diantara neonatus yang terinfeksi,


90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.
Gejala menurut derajat keparahan dibagi menjadi empat oleh Ablet sebagai
berikut.
A. Derajat I (ringan)
trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan
pernapasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia
B. Derajat II (sedang)
Trismus sedang, rigiditas yang Nampak jelas, spasme singkat ringan
sampai sedang, gangguan pernapasan sedang dengan frekuesi pernapasan
>30 x/menit, disfagia ringan
C. Derajat III (berat)
Trismus

berat,spastisitas

generalisata,

spasme

refrek

yang

berkepanjangan, frekuensi > 40, serangan apnea, disfagia berat dan


takikardi lebih dari 120 x/menit
D. Derajat IV (sangat berat)
Derajat III dengan gangguan otonomik berat melibatkan system kardio
vascular. Hipertensi berat dan takikardi terjadi berelingan dengan
hipotensi dan bradikardi salah satunya dapat menetap.

6. DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada pemeriksaan pada gejala klinis.
Tetanus tidak terjadi pada orang dengan riwayat vaksinasi yan telah diberikan
secara lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Secret luka
hendaknya dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus. Kultur yang positif bukan
merupakan bukti bahwa organism tersebut menghasilkan toksin dan menyebabkan
tetanus.

Leukosit

ungkin

meningkat.

Pemeriksaan

cairan

cerebrospinal

menunjukkan hasil yang normal. Kadar antitoksin serum> 15 U/ml dianggap


protektif dan pada kadar ini tidak terjadi tetanus.

7. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis deferensial mencakup kondisi local yang dapat menyebabkan
trismus seperti abses alveolar, keracunan striknin, reaksi obat distonik (fenotiasin,
metoklorpamid),

hipokalsemia,

dan

perubahan-perubahan

metabolic

dan

neurologis pada neonatal. Kondisi lain yang mengacaukan yaitu meningitis/


encephalitis, rabies, dan proses intraabdominal akut.

8. TERAPI
Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan yaitu
1.

membunuh organisme yang terdapat dalam tubuh untuk mencegah


pelepasan toksin lebih lanjut

2.

menghilangkan toksin yang ada didalam tubuh dan diluar system saraf
pusat hendaknya dinetralisasi

3.

meminimalisasi efek dari toksin yang telah terikat pada system saraf
pusat
A. Penatalaksanaan umum
Pasien hendaknya ditempatkan diruangan yang tenang di ICU dimana
observasi dan pemantauan kardiopulmunal dapat dilakukan secara terusmenerus, sedagkan stimulasi diminimalisasi. Perlindungan jalan napas
bersifat vital.luka hendaknya dieksplorasi dibersihkan secara hati-hati,
dan dilakukan debridement secara menyeluruh.
B. Netralisasi dari toksin yang bebas
Antitoksin menurunkan mortalitas dengan menetralisasi toksin yang
beredar di sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat, walaupun
toksin

yang

melekat

pada

jaringah

saraf

tidak

terpengaruh.

Immunoglobulin tetanus pada manusia (TIG) merupakan pilahan utama.


Paling baik memberikan antitoksin sebelum memanipulasi luka.
C. Menyingkirkan sumber infeksi

Luka hendaknya harus didebridemen secara bedah. Walaupun manfaatnya


belum

terbukti,

terapi

antibiotic

diberikan

pada

tetanus

untuk

mengeradikasi sel-sel vegetative sebagai sumber toksin. Penggunaan


penicillin telah direkomendasikan dan sudah digunakan bertahun-tahun,
tetapi merupakan antagonis GABA. Metronidazol merupakan antibiotic
pilihan
D. Pengendalian rigiditas dan spasme
Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal maupun
kombinasi untuk mengobati spasme otot pada tetanus yang nyeri dan
dapat mengancam respirasi karena menyebabkan laringospasme atau
kontraksi secara terus-menerus pada otot pernapasan. Sedasi yang dapat
digunakan yaitu benzodiazepine. Diazepam dapat diberikan, namun
metabolit kerjanya panjang dan dapat berakibat pada koma.. sebagai
sedasi tambahan dapat diberikan fenobarbital yang memperkuat aktivitas
GABAnergik.
E. Penatalaksaan Respirasi
Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin
dibutuhkan pada hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi yang
berlebihan atau laringospasme atau untuk menghindari aspirasi oleh
pasien dengan trismus,gangguan kemampuan menelan atau disfagia.
F. Pengendalian disfungsi Otonomik
Sedasi

sering

merupakan

terapi

yang

utama.

Benzodiazepine,

antikonvulsi, morfin sering dipergunakan.


G. Penatalaksanaan Intensif Supportif
Turunya berat badan umum terjadi pada tetanus. Factor yang ikut menjadi
penyebabnya adalah ketidakmampuan untuk menelan, meningkatnya laju
metabolism akibat pireksia dan aktivitas muscular dan masa kritis yang
berkepanjangan. Oleh karena itu, nutrisi harus diberikan sedini mungkin.
Komplikasi dari masa kritis yang berkepanjangan yaitu pneumonia akibat
ventilator umum terjadi pada tetanus. Lindungi jalan napas pada tahap

awal penyakit dan mencegah terjadinya aspirasi dan sepsis merupakan


langkah untuk mengurangi resiko ini.
Tindakan penting dalam penatalaksanaan rutin pasien dengan tetanus
seperti halnya pasien kritis jangka panjang lain yaitu dengan profilaksis
terhadap tromboembolisme, perdarahan gastrointestinal, dan dekubitus.
H. Penatalaksanaan lain
Penatalaksanaan lain meliputi hidrasi, mengontrol kehilanga cairan,
kecukupan kebutuhan gizi yang meningkat dengan pemberian cairan
enteral maupun parenteral, fisioterapi untuk mencegah kontraktur . fungsi
ginjal, kandung kemih dan saluran cerna harus dimonitor. Infeksi
sekunder harus dicegah
Farmakologi yang biasa digunakan pada terapi tetanus yaitu

Diazepam
Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik. Mendepresi

system

saraf

pusat

dan

meningkatkan

aktivitas

GABA

yaitu

suatu

neurotransmitter inhibitor. Pada dosis pediatric yaitu sebagai berikut.


Spasme ringan

: 0,1-0,8 mg/kgBB/ hari dalam dosis terbagi


tiga samapai empat kali sehari.

Spasme sedang sampai berat

: 0,1-0,3 mg/kgBB/hari iv tiap 4-6 jam atau

dosis yang direkomendasikan pada anak umur <2 tahun yaitu 8mg/kgBB/hari
peroral dalam dosis 2-3 mg tiap 3 jam.
Apabila dosis rumatan telah memberikan makna klinis sesuai yang
diharapkan , dosis dpertahankan selama 3-5 hari dan selanjutnya dosis diturunkan
secara bertahap (sekitar 20% dari dosis awal tiap 2 hari)
Apabila tidak terdapat diazepam bisa menggunakan :
Luminal : 6 mg/kgBB/hari pada awal, IM, selanjutnya 5 mg/kg/hari dengan
maksimal dosis 200mg/ hari (oral ) atau 100mg/hari (paenteral).
Klorpomazin : 2-4 mg/kgBB/dosis awal diteruskan 4-6 mg/kg/hari IM lalu oral.
(PPM, 2009)

Fenobarbital
5mg/kgBB iv/im dosis terbagi dala 3 atau 4 hari.

Baklofen
Baklofen digunakan untuk melepaskan ventilator dan menghentikan infuse
diazepam
Dosis pediatric

< 16 th

: 500mcg IT

> 16 th

: seperti dosis dewasa yaitu 100 mcg IT

Penicilin
Mempunyai efek bakterisid terhadap mikroorganisme. Diperlukan terapi 1014 hari. Dosis besar Penicilin IV dapat menyebabkan anemia hemolitik dan
neurotoksisitas.
Dosis pediatric

: 50.000-100.000 U/kg/hari IV/IM dosis terbagi 4

kali/hari.50mg/kgBB/ hari (anak pada umur >8 tahun) atau eritromisin dengan
dosis 40-50mg/kgBB/hari secara peroral terbagi menjadi 4 dosis.
Jika terdapat hipersensitifitas terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin

Metronidazole
Efektif melawan bakteri anaerob dan protozoa. Doabsopsi ke dalam sel.
Direkomendasikan terapi selama 10-14 hari. Lebih dianjurkan menggunakan
metronidazol karena penicillin G mempunyai efek agonis GABA yang dapat
memperkuat efek toksin.
Dosis Pediatric

: 15-30 mg/kg BB/hari IV terbagi tiap 8-12 jam, tidak

beleh lebih dari 2 gr/hari

Netralisasi toksin dengan ATS


ATS diberikan pada tetanus neonatorum 5.000 iu( setengahnya diberikan IM,
bila ada toleransi diberikan secara IV pelan-pelan. Atau berikan TIG (tetanus
immunoglobulin) 500 iu dosis tunggal IM. Pada anak berikan ATS dengan
dosis 100.000 iu atau TIG 3000-6000 IU dosis tunggal IM. Sebelum
pemberian ATS dilakukan tes sensitifitas (PPM, 2009)

Terapi menurut derajat tetanus :


Tetanus ringan dan sedang
Diberikan pengobatan tetanus dasar
Tetanus sedang

Terapi dasar tetanus

Perhatian khusus pada keadaan jalan nafas (akibat kejang dan aspirasi)

Pemberian cairan parenteral, bila perlu nutrisi secara parenteral.

Tetanus berat/sangat berat

Terapi dasar seperti di atas

Perawatan dilakukan di ICU, diperlukan intubasi atau tracheostomi

Balans cairan dimonitor secara ketat.

Apabila spasme sangat hebat (tetanus berat), perlu ventilasi mekanik


dengan pankuronium bromida 0,02 mg/kg bb intravena, diikuti 0,05
mg/kg bb/kali, diberikan tiap 2-3 jam.

Apabila terjadi aktifitas simpatis yang berlebihan, berikan b-blocker


seperti propanolol/a dan b- blocker labetalol (Utama, 2011)

9. KOMPLIKASI
Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti laringospasme,
atau sebagai konsekuensi dari terapi sederhana seperti sedasi yang mengarah pada
koma, aspirasi, apnea, atau konsekuensi dari perawatan intensif seperti pneumonia
akibat ventilator. Dapat juga terjadi fraktur.
10. PROGNOSIS
Prognosis dapat ditentukan oleh system scoring untuk menilai prognosis
tetanus yaitu Phillips score dan Dakar score. Kedua system ini memasukkan
kriteria periode inkubasi dan periode onset begitu pula manifestasi neurologis dan
kardiak. Phillips score juga memasukkan status imunisasi pasien.
1. Philips score

<9

= severitas ringan

9-18

= severitas sedang

>18

= severitas sedang

2. Dakar Score

Keterangan :
Score
0-2

: severitas ringan, mortalitas 10 %

2-3

: severitas sedang, mortalitas 20%

: severitas berat, mortalitas 20-40 %

5-6

: severitas sangat berat, mortalitas 50%a

Patel dan Joeg


Patel dan Joag membagi penyakit tetanus ini dalam tingkatan dengan berdasarkan
gejala klinis yang dibaginya dalam 5 kriteria :
Kriteria 1

: rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang


belakang

Kriteria 2

: spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya

Kriteria 3

: inkubasi antara 7 hari atau kurang

Kriteria 4

: waktu onset adalah 48 jam atau kurang

Kriteria 5

: kenaikan suhu rektal sampai 100 0 farenheit dan aksila sampai


990 farenheit

Dengan berdasarkan 5 kriteria di atas, maka sebagai berikut :


Tingkat I

: Ringan, minimal 1 kriteria ( K1 / K2 ) mortalitas 0 %

Tingkat II

: Sedang, minimal 2 kriteria ( K1& K2) dengan masa inkubasi

lebih dari 7
Hari dan onset lebih dari 2 hari, mortalitas 10 %
Tingkat III

: Berat, minimal 3 kriteria dengan masa inkubasi kurang dari 7 hari

dan onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32%


Tingkat IV

: Sangat berat, minimal ada 4 kriteria dengan mortalitas 60%

Tingkat V

: Biasanya mortalitas 84 % dengan 5 kriteria, termasuk di

dalamnya adalahtetanus neonatorum.

11. PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara :
1. Imunisasi
Diberikan imunisasi dasar DPT pada usia 2 bln, 3 bln, 4 bln. Bayi yang telah
mendapat imunisasi DPT 1, DPT 2, dan DPT 3 dinyatakan mempunyai status

imunisasi T2. Imunisasi lanjutan diberikan saat anak dibawah umur 3 tahun
yaitu umur 18 bln, kemudian diberikan pada saat usia Sekolah Dasar saat
kelas 1 SD diberikan DT, kelas 2 SD dan 3 SD diberikan Td. Balita yang
telah mendapai imunisasi lanjutan DPT dinyatakan status imunisasi T3. Anak
usia sekolah dasar yang telah mendapat imuniasi DT dan Td mempunyai
status imunisasi T4 dan T5 (Permenkes No. 42 Tahun 2013).
Pada wanita usia subur, juga dilakukan imunisasi lanjutan.
Status Imunisasi

Interval Minimal

Pemberian
T1
T2
4 minggu setelah T1
T3
6 bulan setelah T2
T4
1 tahun setelah T3
T5
1 tahun setelah T4
Sumber: Permenkes No. 42 Tahun 2013.

Masa Perlindungan
3 tahun
5 tahun
10 tahun
>25 tahun

Imunisasi pada wanita hamil


Tetanus toksoid merangsang pembentukan antitoksin untuk menetralkan
toksin tetanus, anti toksin yang melewati plasenta ke janin pasca imunisasi
aktif pada ibu dapat mencegah kejadian tetanus neonatorum. Imunisasi aktif
didapat dengan menyuntikan tetanus toksoid dengan tujuan merangsang
tubuh membentuk antibodi. Ibu hamil yang telah mendapatkan imunisasi
tetanus toksoid mendapatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit tetanus dan
kekebalan tersebut disalurkan melalui plasenta dan tali pusat kepada janin
yang dikandungnya, selain itu setelah melahirkan ibu tetap menyalurkan
kekebalan tersebut melalui air susu ibu (IDAI, 2011 dalam Laily).
Imunisasi TT untuk ibu hamil diberikan 2 kali (Saifuddin dalam Nur), dengan
dosis 0,5 cc disuntikkan secara intramuskuler atau subkutan. Sebaiknya
imunisasi TT diberikan sebelum kehamilan 8 bulan. Suntikan TT1 dapat
diberikan sejak diketahui postif hamil dimana biasanya di berikan pada
kunjungan pertama ibu hamil ke sarana kesehatan. Jarak pemberian (interval)
imunisasi TT1 dengan TT2 adalah minimal 4 minggu (Depkes RI, 2005).

2. Penatalaksanaan Luka
Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan pertimbangan akan perlunya
diberikan imunisasi aktif dengan TIG dan imuniasai pasif dengan vaksin,
terutama tetanus dan difteri untuk individu diatas 7 th (Sudoyo et al, 2007).
Berikut ini tabel tindakan profilaksis.

Tindakan profilaksis
Mendapat IA yang lengkap

Jenis Luka

Belum IA atau sebagian

15

5 10

> 10

tahun

tahun

tahun

Toks. 0,5
cc

Toks. 0,5
cc

Mulai atau melengkapi IA


Ringan,
bersih

toks. 0,5 cc hingga


lengkap

Berat,
bersih, atau
cen derung
tetanus

ATS 1500
IU
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc

Toks. 0,5
cc

Toks. 0,5
cc

Toks. 0,5
cc

Cenderung
tetanus,
debrimen

ATS 1500
IU

terlambat,m
atau tidak

ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc

bersih

Hingga lengkap ABT

Toks. 0,5

Toks. 0,5
cc

Toks. 0,5
cc

cc

ABT

ABT

(Utama, 2011)

DAFTAR PUSTAKA

CDC,
2011.
Tetanus.
[Serial
online]
http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf (diakses
tanggal 16 Mei 2016)
Depkes. 2012. Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal. Penerbit : Kementerian
Kesehatan RI
Hasan, R., Alatas, H.2007. Buku Ilmu Kesehatan Anak. Penerbit : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Laily, Alfi. 2015. Hubungan Faktor Predisposisi Terhadap Tindakan Imunisasi Tetanus
Toksoid Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Sambi Rejo Kecamatan Binjai
Kabupaten Langkat Tahun 2014. Tesis. Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara


Medan
Laksmi, S. 2014. Penatalaksanaan Tetanus. CDK-222/Vol. 41 No. 11 Tahun 2014
Nur, N. K. 2010. Gambaran Pengetahuan Ibu-Ibu Hamil Tentang Imunisasi
Tetanus Toxoid (TT) Dan Tindakan Pengambilan Imunisasi TT Di Poliklinik
Ibu Hamil Rsup. Haji Adam Malik Tahun 2010. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan
Permenkes no. 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi
Pujadi, A., Hegar, B., Idris, N., Gandaputra, E. 2009. Pedoman Pelayanan Medis.
Penerbit : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Rampengan, Novie., Pangestu Y., Tatura, S.N.N., Rampengan T.H. 2012. Profil
Kasus Tetanus Anak di RS Prof. Dr. R.D Di Kandau Manado. Sari Pediatri
Vol. 14 No. 3, Oktober 2012
Simanjutak ,P. 2013. Penatalaksanaan Tetanus pada Anak. Medula, Vol.1 No. 4,
Tahun 2013
Sudoyo, Aru., Setiyohadi P., Alwi ,Idrus., Simadibrata, M. Setiati,S. 2007. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Penerbit : Persatuan Ilmu Penyakit Dalam.
Telpratap S.P dan Tiwari MD. 2011. Tetanus. VPD Survailence Manual, 5 th
Edition

Utama, Herry S Y. 2011. Tetanus. SMF Bedah RSUD Arjawinangun

WHO. 2010. Current Recommendations Treatment for Tetanus During


Humanitarian Emergencies

Anda mungkin juga menyukai