DAFTAR ISI............................................................................................... i
PENDAHULUAN....................................................................................... 1
DEFINISI.................................................................................................. 2
2.1 DEFINISI.......................................................................................... 2
2.2 EPIDEMIOLOGI................................................................................ 2
2.3 PATOGENESIS.................................................................................. 3
2.4 GAMBARAN KLINIS.........................................................................4
2.5 DIAGNOSIS...................................................................................... 6
2.6 DIAGNOSIS BANDING.......................................................................7
2.7 TERAPI............................................................................................ 7
2.8 KOMPLIKASI.................................................................................. 11
2.9 PROGNOSIS................................................................................... 11
2.10 PENCEGAHAN.............................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 16
1. PENDAHULUAN
Tetanus masih merupakan masalah kesehatan di negara berkembang karena
imunisasi yang buruk serta penatalaksaan tetanus yang membutuhkan ruangan
intensif care unit (ICU) yang tidak selalu tersedia di sebagian populasi penderita
tetanus yang berat. Di Indonesia, tetanus merupakan salah satu dari sepuluh besar
penyakit penyebab kematian pada anak (Simanjutak, 2013). Tetanus neonatorum
merupakan penyebab kematian paling sering yang terjadi akibat persalinan dan
penanganan tali pusat yang tidak bersih (Depkes,2012). Di negara berkembang
melebihi 50% dengan jumlah perkiraan 800.000-1.000.000 orang pertahun dan
sebagian besar pada neonatus. Kematian neonatus diperkirakan sejumlah 248.000
per tahun (Laksmi,2014). Menurut angka kematian bayi (AKB) di Indonesia
tahun 2007 terdapat 34 kematian per 1000 kelahiran dan salah satu penyebab
utama kematian adalah tetanus neonatorum (Depkes, 2012). Di bagian Neurologi
RS Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156 kasus tetanus pada tahun 1999-2000
dengan mortalitas 35,2%. Pada sebuah peneletian retrospektif tahun 2003-Oktober
2004 di RS Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan mortalitas 47%
(Laksmi,2014). Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta didapatkan
angka 80% untuk kasus neonatorum dan 30% untuk tetanus anak (FKUI, 2007).
Tetanus adalah suatu penyakit akut
bakteri Clostridium tetani yang hidup secara anaerob pada tempat yang kotor
misalnya pada luka nekrosis dan nantinya memproduksi tetanospasmin yang
merupakan neurotoksin poten. Neurotoksin ini akan memblok neurotransmitter
inhibitor pada system saraf pusat sehingga terjadi stiffness dan spasme pada
tetanus. (WHO,2010).
2. DEFINISI
Tetanus adalah penyakit yang disebabkan oleh toksin yang dikeluarkan oleh
bakteri Clotridium tetani. Tetanus telah dikenal sejak berabad-abad lalu dan
dipekenalkan oleh Carle dan Rattone tahun 1884. Penyakit ini merupakan
penyakit akut yang ditandai dengan peningkatan rigiditas dan kejang/ spasme
pada otot yang disebabkan oleh spora bakteri tersebut. Spora C.tetani dapat
ditemukan pada tanah, binatang dan feses manusia. Spora akan masuk kedalam
tubuh melalui kulit yang terluka dan pada kondisi yang sedikit oksigen atau
anaerob. Kemudian bakteri akan memproduksi toksin yang poten yaitu
tetanospasmin dan tetanolisin. Efek tetanolisin tidak diketahui secara pasti (CDC).
Efek tetanospasmin berefek memblokade neurotransmitter inhibitor di sitm saraf
pusat sehingga terjadi stiffnes dan spasme otot (Tejpratap, 2011).
Tetanus disebabkan oleh basil gram positif C.tetani merupakan bakteri
berbentuk batang yang selalu bergerak dan merupakan bakteri anaerob obligat
yang menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval,
menyerupai raket tenes, atau ayam. Spora ini dapat bertahan bertahun-tahun
dalam lingkungan tertentu. , tahan terhadap sinar matahari dan bersifat resisten
terhadap desinfektan dan pendidihan selama 20 menit.bakteri ini jarang dikultur
karena diagnosis berdasarkan gejala klinis.
3.
EPIDEMIOLOGI
Penyakit tetanus umumnya terjadi pada daerah pertanian, pedesaan dan
daerah iklim hangat , selama musim panas dan lebih banyak pada pria. Walaupun
tetanus dapat diimunisasi, namun masih menjadi beban bagi Negara-negara
berkembang dan Negara beriklim tropis. Di Indonesia, tetanus merupakan salah
satu
dari
sepuluh
besar
penyakit
penyebab
kematian
pada
anak
9,9 sampai 15,3% (Dir Jen P2M-PLP Depkes RI). Di Departemen Ilmu Kesehatan
Anak RSCM Jakarta, dari tahun 1990 sampai 1993 telah dirawat rata-rata 20,3
kasus tetanus anak per tahun dengan CFR berkisar antara 12,9 sampai 27,4%
(Rampengan et al, 2012).
4. PATOGENESIS
Infeksi terjadi ketika luka terkontaminasi oleh spora C.Tetani. C.Tetani
sendiri tidak menyebabkan inflamasi dan port d entry tetap tenang tanpa tanda
inflamasi, kecuali apabila ada infeksi oleh mikroorganisme lain. Dalam kondisi
anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus
mensekresi dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisis
mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi
sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi
bakteri. Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Tetanospasmin
mampu masuk kedalam sel dan mencegah pelepasan neurotransmitter dari neuron
yang dipengaruhi. Tetanospasmin yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan
dibawahnya dan terikat pada gangliosida pada membran ujung saraf lokal. Jika
toksin ini banyak dapat memasuki aliran darah lalu berdifusi untuk terikat pada
ujung-ujung
saraf
diseluruh
tubuh.
Toksin
kemudian
menyebar
dan
ditransportasikan dalam akson dan secara retrogret ke dalam batang otak dan saraf
spinal.
Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik lalu ke sensorik dan saraf
otonom. Jika toksin telah masuk kedalam sel ia akan berdifusi keluar dan akan
masuk dan mempengaruhi neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitor
spinal terpengaruh, gejala tetanus akan muncul. Toksin ini mempunyai efek pada
neuron inhibitor dimana setelah toksin menyeberangi sinapsis untuk mencapai
pre-sinaps, ia akan memblokade pelepasan neurotransmitter inhibitor yaitu glisin
dan asam amino butirik (GABA), sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi
inhibisinya.
Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang
otak, akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuluer yang dapat menyerupai
konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok antagonis hilang, sedangkan otot-otot
agonis dan antagonis berkontraksi secara stimulan. Spasme otot sangatlah nyeri
dan dapat berakibaat fraktur atau ruptur tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala
sering terlibat pertama kali kerena jalur aksionalnya pendek. Tubuh dan anggota
tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relatif jarang
terlibat. Terikatnya toksin pada neuron bersifat irreversible. Pemulihan
membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa
tetanus itu berdurasi lama.
5. GAMBARAN KLINIS
Tetanus biasanya terjadi setelah trauma. Kontaminasi luka dengan tanah,
kotoran binatang atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus dapat
terjadi sebagai komplikasi luka bakar, ulkus gangren, gigitan ular yang mengalami
nekrosis, infeksi telinga tengah, persalinan, injeksi intramuskular, dan
pembedahan. Pada bayi atau neonatorum terjadi karena ibu yang tidak diimunisais
secara adekuat, perawatan bekas potongan tali pusar yang tidak steril. Gambaran
klinis tergantung pada tipe tetanus yaitu:
A. Tetanus Generalisata
Merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus yang ditandai dengan
meningkatkan tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi bervariasi
tergantung pada lokasi luka. Tetanus berat onsetnya setelah trauma adalah 7 hari.
15% kasus terjadi dalam 3 hari dan 10% kasus terjadi setelah 14 hari.
Terdapat trias klinis berupa rigiditas spasme otot dan apabila berat disfungsi
otonomi. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut
sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter meyebabkan trismus
atau rahang terkunci. Spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah yang
menyebabkan ekspresi yang khas yaitu risus sardonikus dan meluas ke otot-otot
untuk menelan yang menyebabkan disfagia. Rigiditas otot leher menyebabkan
berat,spastisitas
generalisata,
spasme
refrek
yang
6. DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada pemeriksaan pada gejala klinis.
Tetanus tidak terjadi pada orang dengan riwayat vaksinasi yan telah diberikan
secara lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Secret luka
hendaknya dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus. Kultur yang positif bukan
merupakan bukti bahwa organism tersebut menghasilkan toksin dan menyebabkan
tetanus.
Leukosit
ungkin
meningkat.
Pemeriksaan
cairan
cerebrospinal
7. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis deferensial mencakup kondisi local yang dapat menyebabkan
trismus seperti abses alveolar, keracunan striknin, reaksi obat distonik (fenotiasin,
metoklorpamid),
hipokalsemia,
dan
perubahan-perubahan
metabolic
dan
8. TERAPI
Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan yaitu
1.
2.
menghilangkan toksin yang ada didalam tubuh dan diluar system saraf
pusat hendaknya dinetralisasi
3.
meminimalisasi efek dari toksin yang telah terikat pada system saraf
pusat
A. Penatalaksanaan umum
Pasien hendaknya ditempatkan diruangan yang tenang di ICU dimana
observasi dan pemantauan kardiopulmunal dapat dilakukan secara terusmenerus, sedagkan stimulasi diminimalisasi. Perlindungan jalan napas
bersifat vital.luka hendaknya dieksplorasi dibersihkan secara hati-hati,
dan dilakukan debridement secara menyeluruh.
B. Netralisasi dari toksin yang bebas
Antitoksin menurunkan mortalitas dengan menetralisasi toksin yang
beredar di sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat, walaupun
toksin
yang
melekat
pada
jaringah
saraf
tidak
terpengaruh.
terbukti,
terapi
antibiotic
diberikan
pada
tetanus
untuk
sering
merupakan
terapi
yang
utama.
Benzodiazepine,
Diazepam
Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik. Mendepresi
system
saraf
pusat
dan
meningkatkan
aktivitas
GABA
yaitu
suatu
dosis yang direkomendasikan pada anak umur <2 tahun yaitu 8mg/kgBB/hari
peroral dalam dosis 2-3 mg tiap 3 jam.
Apabila dosis rumatan telah memberikan makna klinis sesuai yang
diharapkan , dosis dpertahankan selama 3-5 hari dan selanjutnya dosis diturunkan
secara bertahap (sekitar 20% dari dosis awal tiap 2 hari)
Apabila tidak terdapat diazepam bisa menggunakan :
Luminal : 6 mg/kgBB/hari pada awal, IM, selanjutnya 5 mg/kg/hari dengan
maksimal dosis 200mg/ hari (oral ) atau 100mg/hari (paenteral).
Klorpomazin : 2-4 mg/kgBB/dosis awal diteruskan 4-6 mg/kg/hari IM lalu oral.
(PPM, 2009)
Fenobarbital
5mg/kgBB iv/im dosis terbagi dala 3 atau 4 hari.
Baklofen
Baklofen digunakan untuk melepaskan ventilator dan menghentikan infuse
diazepam
Dosis pediatric
< 16 th
: 500mcg IT
> 16 th
Penicilin
Mempunyai efek bakterisid terhadap mikroorganisme. Diperlukan terapi 1014 hari. Dosis besar Penicilin IV dapat menyebabkan anemia hemolitik dan
neurotoksisitas.
Dosis pediatric
kali/hari.50mg/kgBB/ hari (anak pada umur >8 tahun) atau eritromisin dengan
dosis 40-50mg/kgBB/hari secara peroral terbagi menjadi 4 dosis.
Jika terdapat hipersensitifitas terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin
Metronidazole
Efektif melawan bakteri anaerob dan protozoa. Doabsopsi ke dalam sel.
Direkomendasikan terapi selama 10-14 hari. Lebih dianjurkan menggunakan
metronidazol karena penicillin G mempunyai efek agonis GABA yang dapat
memperkuat efek toksin.
Dosis Pediatric
Perhatian khusus pada keadaan jalan nafas (akibat kejang dan aspirasi)
9. KOMPLIKASI
Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti laringospasme,
atau sebagai konsekuensi dari terapi sederhana seperti sedasi yang mengarah pada
koma, aspirasi, apnea, atau konsekuensi dari perawatan intensif seperti pneumonia
akibat ventilator. Dapat juga terjadi fraktur.
10. PROGNOSIS
Prognosis dapat ditentukan oleh system scoring untuk menilai prognosis
tetanus yaitu Phillips score dan Dakar score. Kedua system ini memasukkan
kriteria periode inkubasi dan periode onset begitu pula manifestasi neurologis dan
kardiak. Phillips score juga memasukkan status imunisasi pasien.
1. Philips score
<9
= severitas ringan
9-18
= severitas sedang
>18
= severitas sedang
2. Dakar Score
Keterangan :
Score
0-2
2-3
5-6
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Tingkat II
lebih dari 7
Hari dan onset lebih dari 2 hari, mortalitas 10 %
Tingkat III
Tingkat V
11. PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara :
1. Imunisasi
Diberikan imunisasi dasar DPT pada usia 2 bln, 3 bln, 4 bln. Bayi yang telah
mendapat imunisasi DPT 1, DPT 2, dan DPT 3 dinyatakan mempunyai status
imunisasi T2. Imunisasi lanjutan diberikan saat anak dibawah umur 3 tahun
yaitu umur 18 bln, kemudian diberikan pada saat usia Sekolah Dasar saat
kelas 1 SD diberikan DT, kelas 2 SD dan 3 SD diberikan Td. Balita yang
telah mendapai imunisasi lanjutan DPT dinyatakan status imunisasi T3. Anak
usia sekolah dasar yang telah mendapat imuniasi DT dan Td mempunyai
status imunisasi T4 dan T5 (Permenkes No. 42 Tahun 2013).
Pada wanita usia subur, juga dilakukan imunisasi lanjutan.
Status Imunisasi
Interval Minimal
Pemberian
T1
T2
4 minggu setelah T1
T3
6 bulan setelah T2
T4
1 tahun setelah T3
T5
1 tahun setelah T4
Sumber: Permenkes No. 42 Tahun 2013.
Masa Perlindungan
3 tahun
5 tahun
10 tahun
>25 tahun
2. Penatalaksanaan Luka
Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan pertimbangan akan perlunya
diberikan imunisasi aktif dengan TIG dan imuniasai pasif dengan vaksin,
terutama tetanus dan difteri untuk individu diatas 7 th (Sudoyo et al, 2007).
Berikut ini tabel tindakan profilaksis.
Tindakan profilaksis
Mendapat IA yang lengkap
Jenis Luka
15
5 10
> 10
tahun
tahun
tahun
Toks. 0,5
cc
Toks. 0,5
cc
Berat,
bersih, atau
cen derung
tetanus
ATS 1500
IU
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
Toks. 0,5
cc
Toks. 0,5
cc
Toks. 0,5
cc
Cenderung
tetanus,
debrimen
ATS 1500
IU
terlambat,m
atau tidak
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
bersih
Toks. 0,5
Toks. 0,5
cc
Toks. 0,5
cc
cc
ABT
ABT
(Utama, 2011)
DAFTAR PUSTAKA
CDC,
2011.
Tetanus.
[Serial
online]
http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf (diakses
tanggal 16 Mei 2016)
Depkes. 2012. Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal. Penerbit : Kementerian
Kesehatan RI
Hasan, R., Alatas, H.2007. Buku Ilmu Kesehatan Anak. Penerbit : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Laily, Alfi. 2015. Hubungan Faktor Predisposisi Terhadap Tindakan Imunisasi Tetanus
Toksoid Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Sambi Rejo Kecamatan Binjai
Kabupaten Langkat Tahun 2014. Tesis. Program Studi S2 Ilmu Kesehatan