Anda di halaman 1dari 21

LABORATORIUM PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI

SEMESTER GANJIL TAHUN AJARAN 2016/2017

MODUL

: Analisis BOD

PEMBIMBING

: Ir. Endang Kusumawati MT.

Praktikum : 6 September 2016


Penyerahan: 22 September 2016
(Laporan)

Oleh :
Kelompok

: IV

Nama

: 1. Harindiarto Rahmaana
141411013
2. Intan Larasati Dewi 141411014
3. Khoirin Najiyyah Sably
141411015
4. Lutfi Arif Rachman
141411016

Kelas

: 3A

PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK KIMIA


JURUSAN TEKNIK KIMIA

POLITEKNIK NEGERI BANDUNG


2016
BAB I
PENDAHULUAN
1 Latar Belakang
Jumlah industri yang semakin meningkat di Indonesia berakibat pula pada
jumlah limbah yang dihasilkan terutama limbah cair. Umumnya limbah tersebut
dibuang ke perairan dan tak jarang menyebabkan pencemaran lingkungan. Perairan
yang tercemar akan berdampak pada ketersediaan air bersih untuk pemenuhan
kebutuhan sehari-hari bagi manusia.
Untuk menanggulangi pencemaran air yang disebabkan oleh limbah, perlu
dilakukan suatu pengolahan air limbah industri agar limbah yang akan dibuang ke
perairan sesuai dengan baku mutu dan tidak menyebabkan pencemaran. Salah satu
parameter yang umum digunakan sebagai tolak ukur pencemaran ekosistem air
adalah BOD (Biochemical Oxygen Demand). Biological Oxygen Demand atau
Kebutuhan Oksigen Biologis (KOB) adalah suatu analisa empiris yang mencoba
mendekati secara global proses-proses mikrobiologis yang benar-benar terjadi di
dalam air. Dengan mengetahui nilai BOD suatu limbah cair, maka dapat diketahui
tingkat polutan yang dikandung dalam limbah tersebut.
2 Tujuan
a Menentukan nilai BOD dalam suatu limbah
b Menghitung faktor ketelitian dan penetapan angka KmnO4 yang digunakan
c Menghitung oksigen terlarut yang ada dalam sejumlah sampel tertentu sebelum
maupun sesudah diinkubasi pada temperatur 20o C selama lima hari.

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Air Limbah
Air limbah yaitu air dari suatu daerah permukiman yang telah
dipergunakan untuk berbagai keperluan, harus dikumpulkan dan dibuang untuk
menjaga lingkungan hidup yang sehat dan baik. Faktor penting yang harus
diperhatikan dalam sistem pengolahan air limbah yaitu jumlah dan mutu
(Simanungkalit,2010).
2.1.1 Ciri Ciri Air Limbah
Menurut Simanungkalit (2010), air limbah mengandung tambahan
kotoran akibat pemakaian untuk keperluan rumah tangga, komersial dan
industri. Beberapa analisis yang dipakai untuk penentuan ciri ciri fisik,
kimiawi, dan biologis dari kotoran yang terdapat dari air limbah.
a. Ciri Ciri Fisik
Ciri ciri fisik utama air limbah adalah kandungan padat, warna, bau, dan
suhunya.
Bahan padat total terdiri dari bahan padat tak terlarut atau bahan padat
yang terapung serta senyawa senyawa yang larut dalam air. Kandungan
bahan padat terlarut ditentukan dengan mengeringkan serta menimbang
residu yang didapat dari pengeringan.
Warna adalah ciri kualitatif yang dapat dipakai untuk mengkaji kondisi
umum air limbah. Jika warnanya coklat muda, maka umur air kurang dari
6 jam. Warna abu abu muda sampai setengah tua merupakan tanda
bahwa air limbah sedang mengalami pembusukanatau telah ada dalam
sistem pengumpul untuk beberapa lama. Bila warnanya abu abu tua atau
hitam, air limbah sudah membusuk setelah mengalami pembusukan oleh
bakteri dengan kondisi anaerobik.
Penentuan bau menjadi semakin penting bila masyarakat sangat
mempunyai kepentingan langsung atas terjadinya operasi yang baik pada
sarana pengolahan air limbah. Senyawa utama yang berbau adalah
hidrogen sulfida, senyawa senyawa
lain seperti indol skatol, cadaverin dan mercaptant yang terbentuk pada
kondisi anaerobik dan menyebabkan bau yang sangat merangsang dari

pada bau hidrogen sulfida. Suhu air limbah biasanya lebih tinggi dari pada
air bersih karena adanya tambahan air hangat dari pemakaian perkotaan.
Suhu air limbah biasanya bervariasi dari musim ke musim, dan juga
tergantung pada letak geografisnya.
2.1.2 Jenis Limbah
Berdasarkan karakteristiknya, limbah dapat digolongkan menjadi 4 macam,
yaitu :
1. Limbah cair
Limbah cair adalah sisa dari suatu hasil usaha atau kegiatan yang
berwujud cair (PP 82 thn 2001 dalam Simanungkalit, 2010).
2. Limbah Padat
Limbah padat berasal dari kegiatan industri dan domestik. Limbah
domestik pada umumnya berbentuk limbah padat rumah tangga, limbah
padat kegiatan perdagangan, perkantoran, peternakan, pertanian serta dari
tempat-tempat umum. Jenis-jenis limbah padat: kertas, kayu, kain,
karet/kulit tiruan, plastik, metal,gelas/kaca, organik, bakteri, kulit telur, dll
3. Limbah gas dan partikel
Polusi udara adalah tercemarnya udara oleh berberapa partikulat zat
(limbah) yang mengandung partikel (asap dan jelaga), hidrokarbon, sulfur
dioksida, nitrogen oksida, ozon (asap kabut fotokimiawi), karbon monoksida
dan timah.
4. Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)
Suatu limbah digolongkan sebagai limbah B3 bila mengandung bahan
berbahaya atau beracun yang sifat dan konsentrasinya, baik langsung
maupun tidak langsung, dapat merusak atau mencemarkan lingkungan
hidup atau membahayakan kesehatan manusia. Yang termasuk limbah B3
antara lain adalah bahan baku yang berbahaya dan beracun yang tidak
digunakan lagi karena rusak, sisa kemasan, tumpahan, sisa proses, dan oli
bekas kapal yang memerlukan penanganan dan pengolahan khusus. Bahanbahan ini termasuk limbah B3 bila memiliki salah satu atau lebih
karakteristik berikut: mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif,
beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif, dan lain-lain, yang bila
diuji dengan toksikologi dapat diketahui termasuk limbah B3.
Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:

Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada
pemisahan awal dan banyak mengandung biomassa senyawa organik yang

stabil dan mudah menguap.


Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi dan

flokulasi.
Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan
dengan lumpur aktif sehingga banyak mengandung padatan organik berupa

lumpur dari hasil proses tersebut.


Digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan
digested aerobik maupun anaerobik di mana padatan/lumpur yang
dihasilkan cukup stabil dan banyak mengandung padatan organik.

2.1.3 Pengolahan Limbah Cair


Menurut Simanungkalit (2010), penanganan air limbah dapat dikelompokkan
menjadi :
a) Pengolahan Awal/Pendahuluan (Preliminary Treatment)
Pada tahap ini dilakukan penyaringan, penghancuran atau pemisahan
air dari partikel-partikel yang dapat merusak alat-alat pengolahan air
limbah, seperti pasir, kayu, sampah, plastik dan lain-lain.
b) Pengolahan Primer (Primary Treatment)
Perlakuan dengan cara sedimentasi dan flotasi. Sehingga partikel padat
akan mengendap (disebut sludge) sedangkan partikel lemak dan minyak
akan berada di atas / permukaan (disebut grease).
c) Pengolahan Sekunder (Secondary Treatment)
Pada tahap ini air limbah diberi mikroorganisme dengan tujuan untuk
menghancurkan atau menghilangkan material organik yang masih ada
pada air limbah.
d) Pengolahan Akhir (Final Treatment)
Fokus dari pengolahan akhir (Final Treatment) adalah menghilangkan
organisme penyebab penyakit yang ada pada air. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara menambahkan klorin ataupun dengan menggunakan sinar
ultraviolet.
e) Pengolahan Lanjutan (Advanced Treatment)

Pengolahan lanjutan diperlukan untuk membuat komposisi air limbah


sesuai dengan yang dikehendaki. Misalnya untuk menghilangkan
kandungan fosfor.
Sistem pengelolaan air limbah yang diterapkan harus memenuhi
persyaratan berikut:
1. Tidak mengakibatkan kontaminasi terhadap sumber-sumber air minum
2. Tidak mengakibatkan pencemaran air permukaan
3. Tidak menimbulkan pencemaran pada flora dan fauna yang hidup di air
didalam penggunaannya sehari-hari
4. Tidak dihinggapi oleh vector atau serangga yang menyebabkan penyakit
5. Tidak terbuka dan harus tertutup
6. Tidak menimbulkan bau atau aroma tidak sedap
(Sumber : Chandra, 2007 dalam Simanungkalit, 2010)
2.1.4 Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha Dan/Atau Kegiatan Domestik
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air Limbah, pada pasal 1 ayat 30
dijelaskan bahwa Air Limbah Domestik adalah air limbah yang berasal dari
usaha

dan/atau

kegiatan

permukiman,

rumah

makan,

perkantoran,

perniagaan, apartemen dan asrama.


Sesuai dengan sampel yang digunakan oleh praktikan, yaitu air limbah
domestik dari rumah makan PUJASERA POLBAN maka terdapat baku
mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan domestik berikut,

Gambar 2.1.4.1 Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan
Domestik
(Sumber : PERMEN-LH No.5 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air Limbah)
2.2 Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya
oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik,
pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwabahan organik
ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh
dari proses oksidasi (Pescod,1973 dalam Salmin, 2005).

Parameter BOD, secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat


pencemaran air buangan. Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri
aliran pencemaran dari tingkat hulu ke muara. Sesungguhnya penentuan BOD
merupakan suatu prosedur bioassay yang menyangkut pengukuran banyaknya
oksigen yang digunakan oleh organisme selama organisme tersebut menguraikan
bahan organik yang ada dalam suatu perairan, pada kondisi yang hampir sama
dengan kondisi yang ada di alam. Selama pemeriksaan BOD, contoh yang
diperiksa harus bebas dari udara luar untuk mencegah kontaminasi dari oksigen
yang ada di udara bebas. Konsentrasi air buangan/sampel tersebut juga harus
berada pada suatu tingkat pencemaran tertentu, hal ini untuk menjaga supaya
oksigen terlarut selalu ada selama pemeriksaan. Hal ini penting diperhatikan
mengingat kelarutan oksigen dalam air terbatas dan hanya berkisar 9 ppm pada
suhu 20C (Sawyer & Mc Carty, 1978 dalam Salmin, 2005).
Penguraian bahan organik secara biologis di alam, melibatkan
bermacam-macam organisme dan menyangkut reaksi oksidasi dengan hasil akhir
karbon dioksida (CO2) dan air (H2O). Pemeriksaan BOD tersebut dianggap
sebagai suatu prosedur oksidasi dimana organisme hidup bertindak sebagai
medium untuk menguraikan bahan organik menjadi CO2 dan H2O. Reaksi
oksidasi selama pemeriksaan BOD merupakan hasil dari aktifitas biologis
dengan kecepatan reaksi yang berlangsung sangat dipengaruhi oleh jumlah
populasi dan suhu. Karenanya selama pemeriksaan BOD, suhu harus diusahakan
konstan pada 20C yang merupakan suhu yang umum di alam. Secara teoritis,
waktu yang diperlukan untuk proses oksidasi yang sempurna sehingga bahan
organik terurai menjadi CO2 dan H2O adalah tidak terbatas. Dalam prakteknya
di laboratorium, biasanya berlangsung selama 5 hari dengan anggapan bahwa
selama waktu itu persentase reaksi cukup besar dari total BOD. Nilai BOD 5
hari merupakan bagian dari total BOD dan nilai BOD 5 hari merupakan 70 80% dari nilai BOD total (Sawyer & Mc Carty,1978 dalam Salmin, 2005).
Penentuan waktu inkubasi adalah 5 hari, dapat mengurangi kemungkinan hasil
oksidasi ammonia (NH3) yang cukup tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa,
ammonia sebagai hasil sampingan ini dapat dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat,
sehingga dapat mempengaruhi hasil penentuan BOD. Reaksi kimia yang dapat
terjadi adalah :

2NH3 +3O2 2NO2- + 2H+ + 2 H2O


2NO2 + O2 2 NO3Oksidasi nitrogen anorganik ini memerlukan oksigen terlarut, sehingga
perlu diperhitungkan.
Dalam praktek untuk penentuan BOD yang berdasarkan pada
pemeriksaan oksigen terlarut (DO), biasanya dilakukan secara langsung atau
dengan cara pengenceran. Prosedur secara umum adalah menyesuaikan sampel
pada suhu 20C dan mengalirkan oksigen atau udara kedalam air untuk
memperbesar kadar oksigen terlarut dan mengurangi gas yang terlarut, sehingga
sampel mendekati kejenuhan oksigen terlarut. Dengan cara pengenceran,
pengukuran BOD didasarkan atas kecepatan degradasi biokimia bahan organik
yang berbanding langsung dengan banyaknya zat yang tidak teroksidasi pada
saat tertentu. Kecepatan dimana oksigen yang digunakan dalam pengenceran
sampel berbanding lurus dengan persentase sampel yang ada dalam pengenceran
dengan anggaapan faktor lainnya adalah konstan. Sebagai contoh adalah 10 %
pengenceran akan menggunakan sepersepuluh dari kecepatan penggunaan
sampel 100% (Sawyer & Mc Carty, 1978 dalam Salmin, 2005). Saat dilakukan
pengenceran, kualitas airnya perlu diperhatikan dan secara umum yang dipakai
aquades yang telah mengalami demineralisasi. Untuk analisis air laut, pengencer
yang digunakan adalah standard sea water (SSW). Derajat keasaman (pH) air
pengencer biasanya berkisar antara 6,5 - 8,5 dan untuk menjaga agar pH-nya
konstan bisa digunakan larutan penyangga (buffer) fosfat. Untuk menentukan
BOD, terlebih dahulu diukur DO nya (DO 0 hari), sementara sampel yang
lainnya diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20C, selanjutnya setelah 5 hari
diukur DO nya (DO 5hari).
Kadar BOD ditentukan dengan rumus :
5 X [ kadar { DO(0 hari) - DO (5 hari) }] ppm
Selama penentuan oksigen terlarut, baik untuk DO maupun BOD,
diusahakan seminimal mungkin larutan sampai yang akan diperiksa tidak
berkontak dengan udara bebas. Khusus untuk penentuan BOD, sebaiknya
digunakan botol sampel BOD dengan volume 250 ml dan semua isinya dititrasi
secara langsung. Perhitungan kadar DO nya :
DO,ml/L = B/B -2 x 5,6 x 10 x N x V
Dimana :

B
B-2

= Volume botol sampel BOD = 250 ml


= Volume air dalam botol sampel setelah ditambah 1 ml larutan

5,6
10
N
V

MnCl2 dan 1 ml NaOH - KI.


= Konstanta yang sama dengan ml oksigen ~ 1 mgrek tiosulfat
= Volume K2Cr2O7 0,01 N yang ditambahkan
= Normalitas tiosulfat
= Volume tiosulfat yang dibutuhkan untuk titrasi.

Berikut ini adalah tabel nilai DO dan BOD untuk tingkat pencemaran
perairan.
Tabel 2.2.1 Tingkat pencemaran perairan berdasarkan nilai DO den BOD
Parameter
Tingkat Pencemaran
DO (ppm)
BOD
Rendah
>5
0-10
Sedang
0-5
10-20
Tinggi
0
25
Sumber : WIROSARJONO (1974) dalam Salmin, 2005
2.3 Metode Penentuan BOD
Prinsip pengukuran BOD pada dasarnya cukup sederhana, yaitu
mengukur kandungan oksigen terlarut awal (DO0) dari sampel segera setelah
pengambilan contoh, kemudian mengukur kandungan oksigen terlarut pada
sampel yang telah diinkubasi selama 5 hari pada kondisi gelap dan suhu tetap
(20oC) yang sering disebut dengan DO 5. Selisih DO0 dan DO5 (DOo- DO5)
merupakan nilai BOD yang dinyatakan dalam miligram oksigen per liter (mg/L).
Pengukuran oksigen dapat dilakukan secara analitik dengan cara titrasi (metode
Winkler, iodometri) atau dengan menggunakan alat yang disebut DO-meter
yang dilengkapi dengan probe khusus. Jadi pada prinsipnya dilakukan dalam
kondisi gelap, yaitu agar tidak terjadi proses fotosintesis yang menghasilkan
oksigen, dan dalam suhu yang tetap selama lima hari, diharapkan hanya terjadi
proses dekomposisi oleh mikroorganime, sehingga yang terjadi hanyalah
penggunaan oksigen, dan oksigen tersisa ditera sebagai DO5. Yang penting
diperhatikan dalam hal ini adalah mengupayakan agar masih ada oksigen tersisa
pada pengamatan hari kelima sehingga DO5 tidak bernilai nol. Bila DO5 bernilai
nol maka nilai BOD tidak dapat ditentukan (Hariyadi, 2004).

Menurut

Hariyadi

(2004),

Pada

prakteknya,

pengukuran

BOD

memerlukan kecermatan tertentu untuk mengingat kondisi sampel atau perairan


yang sangat variatif, sehingga

kemungkinan diperlukan penetralan pH,

pengenceran, aerasi, atau penambahan populasi bakteri. Pengenceran dan/atau


aerasi diperlukan agar masih cukup tersisa oksigen pada hari kelima.
Karena melibatkan mikroorganisme (bakteri) sebagai pengurai bahan
organik, maka analisis BOD memang cukup memerlukan waktu. Oksidasi
biokimia adalah proses yang lambat. Dalam waktu 20 hari, oksidasi bahan
organik karbon mencapai 95 99 %, dan dalam waktu 5 hari sekitar 60 70 %
bahan organik telah terdekomposisi (Metcalf & Eddy, 1991 dalam Hariyadi,
2004). Lima hari inkubasi adalah kesepakatan umum dalam penentuan BOD.
Bisa saja BOD ditentukan dengan menggunakan waktu inkubasi yang berbeda,
asalkan dengan menyebutkan lama waktu tersebut dalam nilai yang dilaporkan
(misal

BOD7,

BOD10)

agar

tidak

memperbandingkan. Temperatur 20oC

salah

dalam

interpretasi

atau

dalam inkubasi juga merupakan

temperatur standar. Temperatur 20oC adalah nilai rata-rata temperatur sungai


beraliran lambat di daerah beriklim sedang

(Metcalf & Eddy, 1991 dalam

Hariyadi, 2004) dimana teori BOD ini berasal. Untuk daerah tropik seperti
Indonesia, bisa jadi temperatur inkubasi ini tidaklah tepat. Temperatur perairan
tropik umumnya berkisar antara 25 30oC, dengan temperatur inkubasi yang
relatif lebih rendah bisa jadi aktivitas bakteri pengurai juga lebih rendah dan
tidak optimal sebagaimana yang diharapkan. Ini adalah salah satu kelemahan
lain BOD selain waktu penentuan yang lama tersebut.
2.4 Dissolve Oxygen (DO)
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen=DO) dibutuhkan oleh semua jasad
hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian
menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu,
oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik
dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari
suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup
dalam perairan tersebut (Salmin, 2000 dalam Salmin, 2005). Kecepatan difusi
oksigen dari udara, tergantung dari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu,
salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang

surut. Menurut ODUM dalam Salmin (2005) menyatakan bahwa, kadar oksigen
dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang
dengan semakin tingginya salinitas. Pada lapisan permukaan, kadar oksigen
akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara air dengan udara bebas
serta adanya proses fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi
penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang
dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk pernapasan dan oksidasi
bahan-bahan organik dan anorganik. Keperluan organisme terhadap oksigen
relatif bervariasi tergantung pada jenis, stadium dan aktifitasnya. Kebutuhan
oksigen untuk ikan dalam keadaan diam relatif lebih sedikit apabila
dibandingkan dengan ikan pada saat bergerak atau memijah. Jenis-jenis ikan
tertentu yang dapat menggunakan oksigen dari udara bebas, memiliki daya tahan
yang lebih terhadap perairan yang kekurangan oksigen terlarut (Wardoyo, 1978
dalam Salmin, 2005). Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm
dalam keadaan nornal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik).
Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan
organisme (Swingle, 1968 dalam Salmin, 2005). Idealnya, kandungan oksigen
terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya
pada tingkat kejenuhan sebesar 70 % (HUET, 1970 dalam Salmin, 2005). KLH
menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut adalah 5 ppm untuk kepentingan
wisata bahari dan biota laut (Anonimous, 2004 dalam Salmin,2005).
Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan,
karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan
organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan khan biologis yang
dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik. Dalam kondisi aerobik,
peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik
dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang pada akhirnya dapat memberikan
kesuburan perairan. Dalam kondisi anaerobik, oksigen yang dihasilkan akan
mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana dalam bentuk
nutrien dan gas. Karena proses oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen
terlarut sangat penting untuk membantu mengurangi beban pencemaran pada
perairan secara alami maupun secara perlakuan aerobik yang ditujukan untuk
memurnikan air buangan industri dan rumah tangga. Sebagaimana diketahui

bahwa oksigen berperan sebagai pengoksidasi dan pereduksi bahan kimia


beracun menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak beracun.
Disamping itu, oksigen juga sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk
pernapasan. Organisme tertentu, seperti mikroorganisme, sangat berperan dalam
menguraikan senyawa kimia beracun menjadi senyawa lain yang lebih
sederhana dan tidak beracun. Karena peranannya yang penting ini, air buangan
industri dan limbah sebelum dibuang ke lingkungan umum terlebih dahulu
diperkaya kadar oksigennya.
2.5 Analisis Oksigen Terlarut
Menurut Salmin (2005), Oksigen terlarut dapat dianalisis atau ditentukan dengan
2 macam cara, yaitu :
1. Metoda Titrasi Dengan Cara Winkler
2. Metoda Elektrokimia
2.5.1 Metoda Titrasi Dengan Cara Winkler
Metoda titrasi dengan cara Winkler secara umum banyak digunakan
untuk menentukan kadar oksigen terlarut. Prinsipnya dengan menggunakan
titrasi iodometri. Sampel yang akan dianalisis terlebih dahulu ditambahkan
larutan MnCl2 den NaOH - KI, sehingga akan terjadi endapan MnO 2. Dengan
menambahkan H2SO4 atan HCl maka endapan yang terjadi akan larut kembali
dan juga akan membebaskan molekul iodium (I2) yang ekivalen dengan oksigen
terlarut. Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya dititrasi dengan

larutan

standar natrium tiosulfat (Na2S2O3) dan menggunakan indikator larutan amilum


(kanji). Reaksi kimia yang terjadi dapat dirumuskan sebagai berikut :
MnCl2 + NaOH

Mn(OH)2 + 2NaCl
2Mn(OH)2 + O2

2MnO2 + 2H2O
MnO2 + 2KI + 2 H2O
Mn(OH)2 + I2 + 2KOH
I2 + 2Na2S2C3

Na2S4O6 + 2NaI

2.5.2 Metoda elektrokimia


Cara penentuan oksigen terlarut dengan metoda elektrokimia adalah cara
langsung untuk menentukan oksigen terlarut dengan alat DO meter. Prinsip
kerjanya adalah menggunakan probe oksigen yang terdiri dari katoda dan anoda
yang direndam dalam larutan elektrolit. Pada alat DO meter, probe ini biasanya
menggunakan katoda perak (Ag) dan anoda timbal (Pb). Secara keseluruhan,
elektroda ini dilapisi dengan membran plastik yang bersifat semipermeable
terhadap oksigen. Reaksi kimia yang akan terjadi adalah :
Katoda
: O2 + 2H2O + 4e
4HOAnoda
: Pb + 2HO
PbO + H2O + 2eAliran reaksi yang terjadi tersebut tergantung dari aliran oksigen pada
katoda. Difusi oksigen dari sampel ke elektroda berbanding lurus terhadap
konsentrasi oksigen terlarut.
Penentuan oksigen terlarut (DO) dengan cara titrasi berdasarkan metoda
Winkler lebih analitis apabila dibandingkan dengan cara alat DO meter. Hal
yang perlu diperhatikan dalam titrasi iodometri ialah penentuan titik akhir
titrasinya, standarisasi larutan tiosulfat dan pembuatan larutan standar
kaliumbikromat yang tepat. Dengan mengikuti prosedur penimbangan
kaliumbikromat dan standarisasi tiosulfat secara analitis, akan diperoleh hasil
penentuan oksigen terlarut yang lebih akurat. Sedangkan penentuan oksigen
terlarut dengan cara DO meter, harus diperhatikan suhu dan salinitas sampel
yang akan diperiksa. Peranan suhu dan salinitas ini sangat vital terhadap akurasi
penentuan oksigen terlarut dengan cara DO meter. Disamping itu, sebagaimana
lazimnya alat yang digital, peranan kalibrasi alat sangat menentukan akurasinya
hasil penentuan. Berdasarkan pengalaman di lapangan, penentuan oksigen
terlarut dengan cara titrasi lebih dianjurkan untuk mendapatkan hasil yang lebih
akurat. Alat DO meter masih dianjurkan jika sifat penentuannya hanya bersifat
kisaran (Salmin, 2005).

BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Alat dan Bahan
Alat:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

Gelas Ukur
Gelas Kimia
Labu Erlenmeyer
Botol BOD
Pipet tetes
Bola hisap
Pipet volume
Buret
Batang pengaduk
Hot plate

Bahan:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.

Aquadest
Sample air limbah
Larutan KMnO4 0.01 N
Larutan H2SO4 6 N
Larutan CaCl2
Larutan FeCl3
Larutan MgSO4
Larutan asam oksalat 0.01 N
Larutan buffer fosfat
Cairan bibit seed/mikroba
Larutan MnSO4 0.1 N
Larutan TiSO4
Larutan kanji
Pereaksi O2

3.2 Pereaksi
a. Air suling yang tidak boleh mengandung Cu lebih dari 0.01 mg/L, klor,
kloramin, alkali, zat organik atau asam
b. Larutan buffer posfat
c. Larutan garam-garam berikut secara terpisah dan air suling steril
8.5 gr KH2PO4
21,8 gr K2HPO4
33,4 gr Na2HPO4
3,24 gr KNO3
Larutan-larutan berikut dicampurkan dan diencerkan dengan air suling hingga

d.
e.
f.
g.
h.

1000 mL.
Disimpan di tempat gelas dan dingin. Larutan ini bila keruh atau sudah

disimpan lebih dari satu bulan tidak dapat digunakan lagi.


Larutan Magnesium Sulfat
22.5 gr MgSO4.7H2O dilarutkan dalam air suling hingga 1 L
Larutan Feriklorida
27.5 gr FeCl3.6H2O dilarutkan dalam air suling hingga 1 L
Larutan Kalsium Klorida
22.5 gr CaCl2 Anhydrous dilarutkan dalam air suling hingga 1 L
Larutan Natrium Hidroksida 1 N
40 gr NaOH dilarutkan dalam air suling hingga 1 L
Larutan Asam Klorida 1 N
84 mL HCl 36% diencerkan dengan air suling hingga 1 L

3.3 Langkah Kerja


Pembebasan Reduktor dari Labu Erlenmeyer

3 butir batu didih

100 ml air kran


5 mL H2SO4 6 N Pencampuran di dalam erlenmeyer
10 mL KMnO4 0,01 N

Pemanasan selama 10 menit

Cairan di buang (setelah warna KMnO4 tidak hilang)

Penetapan Angka KMnO4

10 mL sample
sampai terjadi gelembung cairan
90 mL aquadest
Pemanasan dalam erlenmeyer tadi
10 mL H2SO4 6 N
10 mL Asam oksalat 0,01 N
10 mL KMnO4 0,01 N

Pendidihan selama 10 menit

Titrasi dengan KMnO4 0,01 N

Catat KMnO4 yang dibutuhkan

Penetapan Faktor Ketelitian KMnO4 0,01 M


10 mL asam oksalat 0,01 N
Cairan bekas
pemeriksaan
Titrasi dengan KMnO4 0,01 N

Pengenceran
sample

Pengenceran
(P1, P2, P3)

Catat KMnO4 yang dibutuhkan

pengencer

Botol pertama:
Botol kedua :
Ditetapkan langsung oksigen terlarutnya
Dimasukan ke dalam inkubator 200C selama 7 ha

Tetapkan langsung oksigen terlarutnya pada hari ke

Penetepan BOD untuk air pengencernya

Penetapan Oksigen Terlarut Metode Winkler


1 mL larutan MnSO4
Pencampuran dalam Botol BOD

dikocok

1 mL pereaksi O2

Biarkan 10 menit
1 mL H2SO4 pekat

1 mL H2SO4 pekat

2/3 dalam erlenmeyer


Tuangkan ke dalam Erlenmeyer sampai 1/3 isi botol

Titrasi dengan thiosulfate 1/80 N sampai warna cairan menjadi kuning jerami

Penambahan larutan kanji 1% sebanyak 3 tetes dan titrasi sampai tepat warna biru hilang

Catat ml thiosulfate yang dibutuhkan

BAB IV
PENGOLAHAN DATA
4.1 Data Pengamatan
4.1.1 Pengenceran
Penetapan Angka KmnO4
-

mL KMnO4 untuk titrasi (a) = 11,6 mL (volume KMnO4 yang dibutuhkan

untuk titrasi pada langkah kerja penetapan angka KMnO4 0,01 N)


mL KMnO4 untuk titrasi (b) = 14,7 mL (volume KMnO4 yang dibutuhkan
untuk titrasi pada langkah kerja penetapan faktor ketelitian KMnO4 0,01 N)

4.1.2 Penentuan Oksigen Terlarut Metode Winkler


Volume Thiosulfat (ml)
Titrasi

Erlenmeyer 1 (larutan atas)

Erlenmeyer 2 (larutan bawah)

Titrasi
Awal

Ditamba
h
Amilum

Nilai
Akhir

Titrasi
Awal

Ditamba
h
Amilum

Nilai
Akhir

Blanko (1)

16.3

31.7

48

15.8

23.1

38.9

Blanko (2)

8.2 mL

18.8 mL

27 mL

8.2 mL

11.8 mL

26.2 mL

BOD0 (1)

7.8

8.4

16.2

22

25.3

47.3

BOD0 (2)

3.4

15.2

18.6

6.2

17.4

23.6

BOD7 (1)

4.8 mL

0 mL

4.8 mL

0.8 mL

1.3 mL

2.1 mL

BOD7 (2)

3.2 mL

3.1 mL

6.4 mL

3.2 mL

3.2 mL

6.4 mL

4.2 Pengolahan Data


4.2.1 Penetapan Angka KMnO4
Volume KMnO4 (a)
= 11.6 mL
Volume KMnO4 (b)
= 14.7 mL
10
Faktor ketelitian (f)
= mL KMnO4 ( b )
=

mg/lt KMnO4

mg/lt KMnO4

10
14.7

= 0.6803
1000
{ ( 10+a ) f 10 } 0,01 31,6
ml sample

1000
{ ( 10+11.6 ) 0.680310 } 0,0131,6
10

= 148.1408 mg/liter

4.2.2 Pengenceran
Angka KMnO4 = 148.1408 mg/Liter
Karena nilai tersebut dibawah 300 mg/Liter, maka pembagi pengencernya
adalah 3, sehingga:
Pengenceran
= 148.1408/3
= 49.38 yang artinya 1 bagian sampel dan 49.38 bagian
pengencer
Untuk volume 680 mL
mL sampel
= (1/49.38) * 680 mL = 13.77 mL
mL pengencer
= (48.38/49.38) * 680 mL = 666.23 mL
Untuk volume 620 mL
mL sampel
= (1/49.38) * 620 mL = 12.55 mL
mL pengencer
= (48.38/49.38) * 620 mL = 607.444 mL

Volume total: mL sampel = (13.77+12.55) mL


= 26.32 mL
mL pengencer = (666.23+607.444) mL = 1273.674 mL
Volume total sampel+pengencer = (26.32 + 1273.674) mL = 1299.994 mL
4.2.3 Penentuan Nilai BOD
Konsentrasi thiosulfat = 1/80 N = 0.0125 N
1000 ml thiosulfat N 8
mg/ltr O2 =
( ml vol . botol2 ml )
a) Sample hari ke-0 (A)
1) DO0 (1)
Erlenmeyer 1 (larutan atas)
1000 16.2 0.0125 8
=
mg/Lt O2 =
4.793 mg/liter
( 340 ml2 ml)

Erlenmeyer 2 (larutan bawah)


1000 47.3 0,0125 8
mg/Lt O2 =
(340 ml2 ml)

= 13.994 mg/liter

Total= (+) mg/L = 18.787 mg/L


2) DO0 (2)
Erlenmeyer 1
1000 18.6 0.0125 8
=6.039
mg/Lt O2 =
mg/liter
(310 ml2ml)

Erlenmeyer 2
mg/Lt O2 =

1000 23.6 0.0125 8


=
7.662 mg/liter
(310 ml2ml )

Total= (+) mg/L = 13.701 mg/L


(18.787+13.701)
=16.2441 mg/liter
Maka DO0 (A) =
2

b) Sample hari ke-7 (B)


1) DO7 (1)
Erlenmeyer 1
mg/Lt O2 =

1000 4.8 0.0125 8


=1.42
mg/liter
(340 ml2 ml)

Erlenmeyer 2
mg/Lt O2 =

1000 2.1 0,0125 8


(340 ml2ml)

Total= (1.42+0.621) mg/L = 2.041 mg/L


2) DO7 (2)

= 0.621 mg/liter

Erlenmeyer 1
mg/Lt O2 =

1000 6.4 0.0125 8


=
2.0126 mg/liter
(320 ml2 ml)

Erlenmeyer 2
mg/Lt O2 =

1000 6.4 0.0125 8


=
2.0126 mg/liter
(320 ml2 ml)

Total= (0,564+1,034) mg/L = 4.0251 mg/L


(2.0126+2.0126)
= 3.033 mg/liter
Maka DO7 (B) =
2
c) Blanko
1) Blanko 1 (0 hari)
Erlenmeyer 1
mg/Lt O2 =

1000 1,7 0.0125 8


=0,506
mg/liter
( 310 ml2ml )

Erelenmeyer 2
1000 2,9 0.0125 8
mg/Lt O2 =
(310 ml2ml)

= 0,863 mg/liter

Total (C) = (0,506+0,863) mg/L = 1,369 mg/L


2) Blanko 2 (7 hari)
Erlenmeyer 1
1000 27 0.0125 8
=8.766
mg/Lt O2 =
mg/liter
(310 ml2ml )

Erlenmyer 2
mg/Lt O2 =

1000 26.2 0.0125 8


(310 ml2ml)

Total (D) = (8.766+8.506) mg/L = 17.272 mg/L


NILAI BOD TERUKUR
BOD = P(A - B) (C - D)
BOD = 3 x (16.2441 3.033) (1.369 17.272)
BOD = 87.3423 mg/L

= 8.506 mg/liter

Anda mungkin juga menyukai